Anda di halaman 1dari 29

KH Ahmad Dahlan (Ketua 1912 - 1922)

Andai saja pada tahun 1868 tidak lahir seorang bayi bernama
Muhammad Darwisy (ada literatur yang menulis nama Darwisy
saja), Kampung Kauman di sebelah barat Alun-alun Utara
Yogyakarta itu boleh dibilang tak memiliki keistimewaan lain,
selain sebagai sebuah pemukiman di sekitar Masjid Besar
Yogyakarta. Sejarah kemudian mencatat lain, dan Kauman pada
akhirnya menjadi sebuah nama besar sebagai kampung kelahiran
seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia, Kiai Haji
Ahmad Dahlan: Sang Penggagas lahirnya Persyarikatan
Muhammadiyah pada 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah bertepatan
dengan 18 November 1912.
Muhammad Darwisy dilahirkan dari kedua orang tua yang
dikenal sangat alim, yaitu KH. Abu Bakar (Imam Khatib Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan
Nyai Abu Bakar (puteri H. Ibrahim, HooId Penghulu Yogyakarta). Muhammad Darwisy merupakan
anak keempat dari tujuh saudara yang lima diantaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Tak ada
yang menampik silsilah Muhammad Darwisy sebagai keturunan keduabelas dari Maulana Malik
Ibrahim, seorang wali besar dan terkemuka diantara Wali Songo, serta dikenal pula sebagai pelopor
pertama penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan SaIwan, 1991). Demikian
matarantai silsilah itu: Muhammad Darwisy adalah putra K.H. Abu Bakar bin K.H. Muhammad
Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang
Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Jatinom) bin Maulana Muhammad
Fadlullah (Prapen) bin Maulana Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus
Salam, 1968: 6).
Muhammad Darwisy dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil, dan sekaligus menjadi
tempatnya menimba pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ia menunaikan ibadah haji ketika berusia
15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa Arab di Makkah selama
lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam,
seperti Muhammad Abduh, Al-AIghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-
tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar pada Darwis. Jiwa dan pemikirannya penuh
disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan
yang sama, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman
keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersiIat ortodoks (kolot).
Ortodoksi ini dipandang menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi
(keterbelakangan) ummat Islam. Oleh karena itu, pemahaman keagamaan yang statis ini harus dirubah

dan diperbaharui, dengan gerakan puriIikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-
Qur`an dan al-Hadis.
Pada usia 20 tahun (1888), ia kembali ke kampungnya, dan berganti nama Haji Ahmad Dahlan
(suatu kebiasaan dari orang-orang Indonesia yang pulang haji, selalu mendapat nama baru sebagai
pengganti nama kecilnya). Sepulangnya dari Makkah ini, iapun diangkat menjadi Khatib Amin di
lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua
kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah.
Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, saudara sepupunya sendiri, anak Kyai
Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional
dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, K.H. Ahmad Dahlan mendapat enam
orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, IrIan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah
(Kutojo dan SaIwan, 1991). Di samping itu, K.H. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai
Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak.
K.H. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik
Ajengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai
Yasin, Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9).
Ahmad Dahlan adalah seorang yang sangat hati-hati dalam kehidupan sehari-harinya. Ada sebuah
nasehat yang ditulisnya dalam bahasa Arab untuk dirinya sendiri:
'Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan
mengefutkan engkau, yang pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu melewatinya dengan
selamat, tetapi mungkin fuga engkau akan binasa karenanya. Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan
seolah-olah engkau berada seorang diri bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian,
pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan dari sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang
terdekat kepadamu, dan tinggalkanlah lainnya (diterjemahkan oleh Djarnawi Hadikusumo).
Dari pesan itu tersirat sebuah semangat dan keyakinan yang besar tentang kehidupan akhirat. Dan
untuk mencapai kehidupan akhirat yang baik, maka Dahlan berpikir bahwa setiap orang harus
mencari bekal untuk kehidupan akhirat itu dengan memperbanyak ibadah, amal saleh, menyiarkan
dan membela agama Allah, serta memimpin ummat ke jalan yang benar dan membimbing mereka
pada amal dan perjuangan menegakkan kalimah Allah. Dengan demikian, untuk mencari bekal
mencapai kehidupan akhirat yang baik harus mempunyai kesadaran kolektiI, artinya bahwa upaya-
upaya tersebut harus diserukan (dakwah) kepada seluruh ummat manusia melalui upaya-upaya yang
sistematis dan kolektiI.
Kesadaran seperti itulah yang menyebabkan Dahlan sangat merasakan kemunduran ummat Islam
di tanah air. Hal ini merisaukan hatinya. Ia merasa bertanggung jawab untuk membangunkan,
menggerakkan dan memajukan mereka. Dahlan sadar bahwa kewajiban itu tidak mungkin
dilaksanakan seorang diri, tetapi harus dilaksanakan oleh beberapa orang yang diatur secara seksama.
Kerjasama antara beberapa orang itu tidak mungkin tanpa organisasi.
Untuk membangun upaya dakwah (seruan kepada ummat manusia) tersebut, Dahlan gigih
membina angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya dakwah tersebut, dan juga
untuk meneruskan dan melangsungkan cita-citanya membangun dan memajukan bangsa ini dengan
membangkitkan kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan ummat Islam di Indonesia.
Strategi yang dipilihnya untuk mempercepat dan memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah
Muhammadiyah ialah dengan mendidik para calon pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di
OSVIA Magelang dan para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta, karena ia
sendiri diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk mengajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut.
Dengan mendidik para calon pamongpraja tersebut diharapkan akan dengan segera memperluas
gagasannya tersebut, karena mereka akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas di tengah
masyarakat. Demikian juga dengan mendidik para calon guru yang diharapkan akan segera
mempercepat proses transIormasi ide tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, karena mereka akan
mempunyai murid yang banyak. Oleh karena itu, Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang
kemudian dikenal dengan Madrasah Mu`allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah
Mu`allimat (Kweekschool Putri Muhammadiyah). Dahlan mengajarkan agama Islam dan tidak lupa
menyebarkan cita-cita pembaharuannya.
Di samping aktiI dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia
juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Di
samping itu, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang
batik yang saat itu merupakan proIesi entrepreneurship yang cukup menggejala di masyarakat.
Sebagai seorang yang aktiI dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan
cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat,
sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam`iyatul Khair, Budi Utomo,
Syarikat Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad Saw.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-
cita pembaharuan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan
dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam
Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan Al-Qur`an dan Al-Hadis. Perkumpulan ini berdiri
pada tanggal 18 Nopember 1912. Sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan
organisasi politik tetapi bersiIat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik dari
keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai Iitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-
tubi kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang
menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam
tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan
tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan
pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah
Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914,
dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk
daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah
Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya
dibatasi.
Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri dan
lain-lain tempat telah berdiri Cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan dengan
keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka K.H. Ahmad Dahlan menyiasa-
tinya dengan menganjurkan agar Cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain,
misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Makassar, dan di Garut dengan nama Ahmadiyah.
Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan $idiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat
pimpinan dari Cabang Muhammadiyah.
Di dalam kota Yogyakarta sendiri, Ahmad Dahlan menganjurkan adanya jama`ah dan
perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-
perkumpulan dan Jamaah-jamaah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang di antaranya
ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-$uci, Khayatul Qulub, Priya
Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Taawanu alal birri, Taruf bima kanu
wal-Fafri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, $yahratul Mubtadi (Kutojo dan SaIwan, 1991: 33).
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan
tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini
ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-
ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap
Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh
karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah
Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan
ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Dalam bulan Oktober 1922, Ahmad Dahlan memimpin delegasi Muhammadiyah dalam kongres
Al-Islam di Cirebon. Kongres ini diselenggarakan oleh Sarikat Islam (SI) guna mencari aksi baru
untuk konsolidasi persatuan ummat Islam. Dalam kongres tersebut, Muhammadiyah dan Al-Irsyad
(perkumpulan golongan Arab yang berhaluan maju di bawah pimpinan Syeikh Ahmad Syurkati)
terlibat perdebatan yang tajam dengan kaum Islam ortodoks dari Surabaya dan Kudus.
Muhammadiyah dipersalahkan menyerang aliran yang telah mapan (tradisionalis-konservatiI) dan
dianggap membangun mazhab baru di luar mazhab empat yang telah ada dan mapan.
Muhammadiyah juga dituduh hendak mengadakan taIsir Qur`an baru, yang menurut kaum
ortodoks-tradisional merupakan perbuatan terlarang. Menanggapi serangan tersebut, Ahmad Dahlan
menjawabnya dengan argumentasi: 'Muhammadiyah berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam
dari keadaan terbekelakang. Banyak penganut Islam yang menfunfung tinggi tafsir para ulama dari
pada Quran dan Hadis. Umat Islam harus kembali kepada Quran dan Hadis. Harus mempelafari
langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir`.
Sebagai seorang demokrat dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah,
Dahlan memIasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan
pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah
Muhammadiyah, telah diselenggarakan duabelas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang
saat itu dipakai istilah Algemeene Jergadering (persidangan umum).
Atas jasa-jasa K.H. Ahmad Dahlan dalam mem-bangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pemba-
haruan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan
Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah
sebagai berikut :
1. K.H. Ahmad Dahlan telah memelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya
sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.
2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam
yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi
masyarakat dan ummat, dengan dasar iman dan Islam.
3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan
yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam.
4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan
wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berIungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.
















Kyai Haji Ibrahim (Ketua 1923 - 1933)


Sebelum Kyai Haji Ahmad Dahlan waIat, ia berpesan kepada
para sahabatnya agar tongkat kepemimpinan Muhamadiyah
sepeninggalnya diserahkan kepada Kiai Haji Ibrahim, adik ipar
KHA. Dahlan. Mula-mula K.H. Ibrahim yang terkenal sebagai
ulama besar menyatakan tidak sanggup memikul beban yang
demikian berat itu. Namun, atas desakan sahabat-sahabatnya
agar amanat pendiri Muhammadiyah bisa dipenuhi, akhirnya dia
bisa menerimanya. Kepemimpinannya dalam Muhammadiyah
dikukuhkan pada bulan Maret 1923 dalam Rapat Tahunan
Anggota Muhammadiyah sebagai Joor:itter Hoofdbestuur
Moehammadijah Hindia Timur (Soedja, 1933: 232).
K.H. Ibrahim lahir di Kauman Yogyakarta pada tanggal 7 Mei 1874. Ia adalah putra K.H. Fadlil
Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Kesultanan Yogyakarta pada zaman Sultan Hamengku-
buwono ke VII OGRE(Soedja. 1933: 227), dan ia merupakan adik kandung Nyai Ahmad Dahlan.
Ibrahim menikah dengan Siti Moechidah binti Abdulrahman alias Djojotaruno (Soeja, 1933:228)
pada tahun 1904. Pernikahannya dengan Siti Moechidah ini tidak berlangsung lama, karena istrinya
segera dipanggil menghadap Allah. Selang beberapa waktu kemudian Ibrahim menikah dengan ibu
Moesinah, putri ragil dari K.H. Abdulrahman (adik kandung dari ibu Moechidah).
Ibu Moesinah (Nyai Ibrahim yang ke-2) dikaruniai usia yang cukup panjang yaitu sampai 108
tahun, dan baru meninggal pada 9 September 1998. Menurut penilaian para sahabat dan saudaranya,
Ibu Moesinah Ibrahim merupakan potret wanita zuhud, penyabar, gemar sholat malam dan gemar
silaturahmi. Karena kepribadiannya itulah maka Hj. Moesinah sering dikatakan sebagai ibu teladan
(Suara Aisyiyah. No.1/1999: 20).
Masa kecil Ibrahim dilalui dalam asuhan orang tuanya dengan diajarkan mengkaji Al-Qur`an sejak
usia 5 tahun. Ia juga dibimbing memperdalam ilmu agama oleh saudaranya sendiri (kakak tertua),
yaitu KH. M. Nur. Ia menunaikan ibadah haji pada usia 17 tahun, dan dilanjutkan pula menuntut ilmu
di Mekkah selama lebih kurang 7-8 tahun. Pada tahun 1902 ia pulang ke tanah air karena ayahnya
sudah lanjut usia.
K.H. Ibrahim yang selalu mengenakan jubah panjang dan sorban dikenal sebagai ulama besar dan
berilmu tinggi. Setibanya di tanah air, K.H. Ibrahim mendapat sambutan yang luar biasa dari
masyarakat. Banyak orang berduyun-duyun untuk mengaji ke hadapan K.H. Ibrahim. Beliau termasuk
seorang ulama besar yang cerdas, luas wawasannya, sangat dalam ilmunya dan disegani. Ia haIal
(hafidh) Al-Quran dan ahli qira`ah (seni baca Al-Quran), serta mahir berbahasa Arab. Sebagai seorang
Jawa, ia sangat dikagumi oleh banyak orang karena keahlian dan keIasihannya dalam penghaIalan Al-

Qur`an dan bahasa Arab. Pernah orang begitu kagum dan takjub, ketika dalam pidato pembukaan
(khutbah al-arsy atau sekarang disebut khutbah iItitah) Kongres Muhammadiyah ke-19 di
Bukittinggi Sumatera Barat pada tahun 1939, ia menyampaikan dalam bahasa Arab yang Iasih.
K.H. Ibrahim juga memimpin kaum ibu supaya rajin beramal dan beribadah, senantiasa mengingat
Allah, rajin mengerjakan perintah agama Islam dan diberi nama Ad:-D:akiraat (Soedja, 1933: 136).
Perkumpulan Ad:-D:akiraat ini banyak memberikan jasa kepada Muham-madiyah dan Aisyiyah,
misalnya banyak membantu pencarian dana untuk Kas Muhammadiyah, Aisyiyah, PKU, Bagian
Tabligh, dan Bagian Taman Poestaka.
Pengajian yang diasuh K.H. Ibrahim itu memakai metode sorogan dan weton. Pengajian dilaksanakan
setiap hari, kecuali hari Jumat dan Selasa. Dalam menerapkan dua macam metode tersebut, dipakai
waktu yang berbeda, yaitu :
1. Pada pagi hari mulai pukul 07.00 sampai 09.00 dengan cara sorogan, yaitu mengaji dengan diajar
seorang demi seorang/satu persatu, terutama untuk anak-anak muda yang ada di Kauman pada saat
itu.
2. Pada waktu sore hari sesudah Ashar sampai kurang lebih pukul 17.00 dengan cara weton, yaitu
mengajar mengaji dengan cara Kyai membaca sedang santri-santrinya mendengarkan dengan
memegang kitabnya masing-masing.
Semenjak kepemimpinan K.H. Ibrahim, kemajuan Muhammadiyah begitu pesat. Muhammadiyah
berkembang di seluruh Indonesia, dan meresap di seluruh Jawa dan Madura. Kongres-kongres mulai
diselenggarakan di luar kota Yogyakarta, seperti Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya,
Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan, Kongres Muhammadiyah ke-17 di Solo, Kongres
Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi, Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar, dan Kongres
Muhammadiyah ke-22 di Semarang. Dengan berpindah-pindahnya tempat kongres tersebut, maka
Muhammadiyah dapat meluas ke seluruh wilayah Indonesia.
Menurut catatan K.H. AR. Fachruddin (1991), pada masa kepemimpinan K.H. Ibrahim, kegiatan-
kegiatan yang dapat dikatakan menonjol, penting dan patut dicatat adalah: tahun 1924, K.H. Ibrahim
mendirikan Fonds Dachlan yang bertujuan membiayai sekolah untuk anak-anak miskin. Pada tahun
1925, ia juga mengadakan khitanan massal. Disamping itu, ia juga mengadakan perbaikan badan
perkawinan untuk menjodohkan putra-putri keluarga Muhammadiyah. Dakwah Muhammadiyah juga
secara gencar disebarluaskan ke luar Jawa (AR Fachruddin, 1991).
Pada periode kepemimpinan K.H. Ibrahim, Muhammadiyah sejak tahun 1928 mengirim putra-putri
lulusan sekolah-sekolah Muhammadiyah (Muallimin, Muallimat, Tabligh $chool, Normaalschool)
ke seluruh pelosok tanah air, yang kemudian di kenal dengan anak panah Muhammadiyah` (AR
Fachruddin, 1991).
Pada Kongres Muhammadiyah di Solo tahun 1929, Muhammadiyah mendirikan Uitgeefster My,
yaitu badan usaha penerbit buku-buku sekolah Muhammadiyah yang bernaung di bawah Majelis
Taman Pustaka. Pada waktu itu pula terjadi penurunan gambar Ahmad Dahlan karena pada saat itu
ada gejala mengkultuskan beliau. Sementara dalam Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar tahun
1932 diputuskan supaya Muhammadiyah menerbitkan surat kabar (dagblaad). Untuk pelaksanaannya
diserahkan kepada Pengurus Muhammadiyah Cabang Solo, yang di kemudian hari dinamakan Adil.
K.H. Ibrahim selalu terpilih kembali sebagai ketua dalam sepuluh kali Kongres Muhammadiyah.
Selama periode kepemimpinannya, ia lebih banyak memberikan kebebasan gerak bagi angkatan muda
untuk mengekspresikan aktivitasnya dalam gerakan dakwah Muhammadiyah. Di samping itu, ia juga
berhasil membimbing gerakan Aisyiyah untuk semakin maju, tertib, dan kuat. Ia juga berhasil
meningkatkan kualitas takmirul masafid (pengelolaan masjid-masjid), serta berhasil pula dalam
mendorong berdirinya Koperasi Ad:-D:akirat.
Dalam masa kepemimpinannya, Muhammadiyah pernah mengalami Iitnah dari pihak-pihak yang
tidak suka akan kemajuan Muhammadiyah. Muhammadiyah dan pengurus besarnya dianggap sebagai
kaki tangan Politieke Economische Bond (PEB), sebuah organisasi yang dibentuk oleh persatuan
pabrik gula yang dimiliki Belanda. Tujuan PEB ialah untuk mengatur koordinasi dan kerjasama antar-
pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam produksi, pemasaran dan juga dalam aspek sosial-
budaya yang ada hubungannya dengan politik-ekonomi pabrik gula.
PEB mendirikan perkumpulan dengan nama Jamiyatul Hasanah yang bertujuan untuk menghimpun
guru-guru agama dan membiayai mereka untuk mengajarkan agama Islam kepada buruh-buruh di
pabrik gula. Dengan demikian, Iitnahan terhadap Pengurus Besar Muhammadiyah semakin besar
karena Pengurus Besar Muhammadiyah dianggap telah bekerja-sama dan menerima dana dari PEB
yang merupakan kaki-tangan Belanda. Namun Iitnahan tersebut bisa diatasi dengan keterbukaan
dalam kepemimpinan K.H. Ibrahim dengan mengundang para utusan dari Cabang-cabang
Muhammadiyah untuk memeriksa keuangan dan notulensi rapat di Pengurus Besar Muhammadiyah di
Yogyakarta, dan terbukti Iitnahan tersebut tidak benar.
Pada periode kepemimpinan K.H. Ibrahim telah diselenggarakan sepuluh kali Rapat Tahunan
Muhammadiyah. Mulai tahun 1926, istilah Rapat Tahunan Muhammadiyah diganti menjadi Kongres
Muhammadiyah, mengambil tempat di Surabaya sebagai Kongres Muhammadiyah ke-5.
K.H. Ibrahim waIat dalam usia yang masih sangat muda, 46 tahun, pada awal tahun 1934, setelah
menderita sakit agak lama. Di bawah kepemimpinannya, Muhammadiyah mengalami perkembangan
yang sangat pesat, bahkan pada Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang tahun 1933 (Kongres
Muhammadiyah terakhir dalam periode kepemimpinan K.H. Ibrahim) Cabang-cabang
Muhammadiyah telah berdiri hampir di seluruh tanah air.






KH Hisyam ( Ketua 1934 -1936)

Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah yang ketiga ialah
Kyai Haji Hisyam. Ia dipilih dan dikukuhkan sebagai Ketua
Pengurus Besar Muhammadiyah dalam Kongres
Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934. Ia adalah
salah satu murid langsung K.H. Ahmad Dahlan, yang juga
adalah seorang abdi dalem ulama Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat.
K.H. Hisyam lahir di Kauman Yogyakarta, tanggal 10
November 1883 dan waIat 20 Mei 1945. Ia memimpin
Muhamadiyah hanya selama tiga tahun. Pertama kali ia dipilih
dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun
1934, kemudian dipilih lagi dalam Kongres Muhammadiyah ke-
24 di Banjarmasin pada tahun 1935, dan berikutnya dipilih kembali dalam Kongres Muhammadiyah
ke-25 di Batavia (Jakarta) pada tahun 1936.
Yang paling menonjol pada diri Hisyam adalah ketertiban administrasi dan manajemen organisasi
pada zamannya. Pada periode kepemimpinannya, titik perhatian Muhammadiyah lebih banyak diarah-
kan pada masalah pendidikan dan pengajaran, baik pendidikan agama maupun pendidikan umum. Hal
ini tercermin dari pendidikan putra-putrinya yang disekolahkan di beberapa perguruan yang didirikan
pemerintah. Dua orang putranya disekolahkan menjadi guru, yang saat itu disebut, sebagai bevoegd
yang akhirnya menjadi guru di HIS Met de Qur`an Muhammadiyah di Kudus dan Yogyakarta. Satu
orang putranya menamatkan studi di Hogere Kweekschool di Purworejo, dan seorang lagi mena-
matkan studi di Europese Kweekschool Surabaya. Kedua sekolah tersebut merupakan sekolah yang
didirikan Pemerintah Kolonial Belanda untuk mendidik calon guru yang berwenang untuk mengajar
HIS Gubernemen.
Tak ayal lagi bahwa dunia pendidikan pada periode kepemimpinan K.H. Hisyam mengalami
perkembangan yang sangat pesat, dan juga bahwa ketertiban dalam administrasi dan organisasi juga
semakin mantap. Hal ini terjadi barangkali karena K.H. Hisyam pada periode kepemimpinan sebe-
lumnya telah menjadi Ketua Bahagian Sekolah (saat ini disebut Majelis Pendidikan) dalam Pengurus
Besar Muhammadiyah.
Pada periode kepemimpinan Hisyam ini, Muhammadiyah telah membuka sekolah dasar tiga tahun
(volkschool atau sekolah desa) dengan menyamai persyaratan dan kurikulum sebagaimana volkschool
gubernemen. Setelah itu, dibuka pula vervolgschool Muhammadiyah sebagai lanjutannya. Dengan
demikian, maka bermunculan volkschool dan vervolgschool Muhammadiyah di Indonesia, terutama di
Jawa. Ketika pemerintah kolonial Belanda membuka standaardschool, yaitu sekolah dasar enam
tahun, Muhammadiyah pun mendirikan sekolah yang semacam dengan itu. Bahkan, Muhammadiyah

juga mendirikan Hollands Inlandsche $chool Met de Quran Muhammadiyah untuk menyamai usaha
masyarakat Katolik yang telah mendirikan Hollands Inlandsche $chool Met de Bifbel.
Kebijakan K.H. Hisyam dalam memimpin Muhammadiyah saat itu diarahkan pada modernisasi
sekolah-sekolah Muhammadiyah, sehingga selaras dengan kemajuan pendidikan yang dicapai oleh
sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial. Ia berpikir bahwa masyarakat yang ingin putra-
putrinya mendapatkan pendidikan umum tidak perlu harus memasukkannya ke sekolah-sekolah yang
didirikan pemerintah kolonial, karena Muhammadiyah sendiri telah mendirikan sekolah-sekolah
umum yang mempunyai mutu yang sama dengan sekolah-sekolah pemerintah, bahkan masih dapat
pula dipelihara pendidikan agama bagi putra-putri mereka. Walaupun harus memenuhi persyaratan-
persyaratan yang berat, sekolah-sekolah yang didirikan Muhammadiyah akhirnya banyak yang
mendapatkan pengakuan dan persamaan dari pemerintah kolonial saat itu.
Dalam memajukan pendidikan Muhammadiyah K.H. Hisyam mau bekerjasama dengan
pemerintah kolonial dengan bersedia menerima bantuan keuangan dari pemerintah kolonial, walaupun
jumlahnya sangat sedikit dan tidak seimbang dengan bantuan pemerintah kepada sekolah-sekolah
Kristen saat itu. Hal inilah yang menyebabkan K.H. Hisyam dan Muhammadiyah mendapatkan
kritikan keras dari Taman Siswa dan Syarikat Islam yang saat itu melancarkan politik non-kooperatiI.
Namun, Hisyam berpendirian bahwa subsidi pemerintah itu merupakan hasil pajak yang diperas dari
masyarakat Indonesia, terutama ummat Islam. Dengan subsidi tersebut, Muhammadiyah bisa
memanIaatkannya untuk membangun kemajuan bagi pendidikan Muhammadiyah yang pada akhirnya
juga akan mendidik dan mencerdaskan bangsa ini. Menerima subsidi tersebut lebih baik daripada
menolaknya, karena jika subsidi tersebut ditolak, maka subsidi tersebut akan dialihkan pada sekolah-
sekolah Kristen yang didirikan pemerintah kolonial yang hanya akan memperkuat posisi kolonialisme
Belanda.
Berkat perkembangan pendidikan Muhammadiyah yang pesat pada periode Hisyam, maka pada
akhir tahun 1932, Muhammadiyah sudah memiliki 103 Jolkschool, 47 $tandaardschool, 69 Hollands
Inlandse $chool (HIS), dan 25 $chakelschool, yaitu sekolah lima tahun yang akan menyambung ke
MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwifs, setingkat SMP saat ini) bagi murid tamatan vervolgschool
atau standaardschool kelas V. Di sekolah-sekolah Muhammadiyah tersebut juga dipakai bahasa
Belanda sebagai bahasa pengantar. Sekolah-sekolah Muhammadiyah saat itu merupakan lembaga
pendidikan pribumi yang dapat menyamai kemajuan pendidikan sekolah-sekolah Belanda, sekolah-
sekolah Katolik, dan sekolah-sekolah Protestan.
Berkat jasa-jasa K.H. Hisyam dalam memajukan pendidikan untuk masyarakat, ia mendapatkan
penghargaan dari pemerintah kolonial Belanda saat itu berupa bintang tanda jasa, yaitu Ridder Orde
van Oranfe Nassau. Ia dinilai telah berjasa kepada masyarakat dalam pendidikan Muhammadiyah
yang dilakukannya dengan mendirikan berbagai macam sekolah Muhammadiyah di berbagai tempat
di Indonesia.

KH Mas Mansyur (Ketua 1937 - 1941)

Sebelum Muhammadiyah Cabang Surabaya didirikan,
K.H. Ahmad Dahlan sudah sering melakukan tabligh ke daerah
ini. Tabligh-tabligh itu dilaksanakan berupa pengajian yang
diselenggarakan di Peneleh, Surabaya. Dalam pengajian-
pengajian itulah Bung Karno muda dan Roeslan Abdul Gani
muda, untuk pertama kalinya mendengarkan penjelasan tentang
ajaran Islam dari K.H. Ahmad Dahlan.
Setiap melaksanakan tabligh di Surabaya, K.H. Ahmad Dahlan
biasanya bermalam di penginapan. Namun, suatu malam ia
didatangi seorang tamu yang memintanya agar setiap K.H.
Ahmad Dahlan ke Surabaya bersedia untuk menginap di
rumahnya. Tamu itu ialah Kiai Haji Mas Mansur. Mas Mansur
selalu mengikuti pengajian yang diberikan oleh K.H. Ahmad Dahlan, dan ia sangat tertarik oleh isi
kajian yang diberikannya, serta tertarik juga akan kesederhanaannya.
Mas Mansur lahir pada hari Kamis tanggal 25 Juni 1896 di Surabaya. Ibunya bernama Raudhah,
seorang wanita kaya yang berasal dari keluarga Pesantren Sidoresmo, Wonokromo, Surabaya.
Ayahnya bernama K.H. Mas Ahmad Marzuqi, seorang pioneer Islam, ahli agama yang terkenal di
Jawa Timur pada masanya. Dia berasal dari keturunan bangsawan Astatinggi Sumenep, Madura. Dia
dikenal sebagai imam tetap dan khatib di Masjid Agung Ampel Surabaya, suatu jabatan terhormat
pada saat itu.
Masa kecilnya dilalui dengan belajar agama pada ayahnya sendiri. Di samping itu, dia juga belajar di
Pesantren Sidoresmo dengan Kiai Muhammad Thaha sebagai gurunya. Pada tahun 1906, ketika Mas
Mansur berusia sepuluh tahun, dia dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Demangan, Bangkalan,
Madura. Di sana, dia mengkaji Al-Quran dan mendalami kitab AlIiyah ibn Malik kepada Kiai Khalil.
Belum lama dia belajar di sana, kurang lebih dua tahun, Kiai Khalil meninggal dunia, sehingga Mas
Mansur meninggalkan pesantren itu dan pulang ke Surabaya.
Sepulang dari Pesantren Demangan pada tahun 1908, oleh orang tuanya disarankan untuk menunaikan
ibadah haji dan belajar di Makkah pada Kiai MahIudz yang berasal dari Pondok Pesantren Termas,
Jawa Tengah. Setelah kurang lebih empat tahun belajar di sana, situasi politik di Saudi memaksanya
pindah ke Mesir. Penguasa Arab Saudi, Sultan SyariI Hussen, mengeluarkan instruksi bahwa orang
asing harus meninggalkan Makkah supaya tidak terlibat sengketa itu. Pada mulanya ayah Mas Mansur
tidak mengizinkannya ke Mesir, karena citra Mesir (Kairo) saat itu kurang baik di mata ayahnya, yaitu
sebagai tempat bersenang-senang dan maksiat. Meskipun demikian, Mas Mansur tetap melaksanakan
keinginannya tanpa izin orang tuanya. Kepahitan dan kesulitan hidup karena tidak mendapatkan
kiriman uang dari orang tuanya untuk biaya sekolah dan biaya hidup harus dijalaninya. Oleh karena

itu, dia sering berpuasa Senin dan Kamis dan mendapatkan uang dan makanan dari masjid-masjid.
Keadaan ini berlangsung kurang lebih satu tahun, dan setelah itu orang tuanya kembali mengiriminya
dana untuk belajar di Mesir.
Di Mesir, dia belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar pada Syaikh Ahmad Maskawih. Suasana Mesir
pada saat itu sedang gencar-gencarnya membangun dan menumbuhkan semangat kebangkitan
nasionalisme dan pembaharuan. Banyak tokoh memupuk semangat rakyat Mesir, baik melalui media
massa maupun pidato. Mas Mansur juga memanIaatkan kondisi ini dengan membaca tulisan-tulisan
yang tersebar di media massa dan mendengarkan pidato-pidatonya. Ia berada di Mesir selama kurang
lebih dua tahun. Sebelum pulang ke tanah air, terlebih dulu dia singgah kembali ke Makkah selama
satu tahun, dan pada tahun 1915 dia pulang ke Indonesia.
Sepulang dari belajar di Mesir dan Makkah, ia menikah dengan puteri Haji AriI yaitu Siti Zakiyah
yang tinggalnya tidak jauh dari rumahnya. Dari hasil pernikahannya itu, mereka dikaruniai enam
orang anak, yaitu NaIiah, AinurraIiq, Aminah, Muhammad Nuh, Ibrahim dan Luk-luk. Disamping
menikah dengan Siti Zakiyah, dia juga menikah dengan Halimah. Dia menjalani hidup dengan istri
kedua ini tidak berlangsung lama, hanya dua tahun, karena pada tahun 1939 Halimah meninggal
dunia.
Langkah awal Mas Mansur sepulang dari belajar di luar negeri ialah bergabung dalam Syarikat Islam.
Peristiwa yang dia saksikan dan alami baik di Makkah, yaitu terjadinya pergolakan politik, maupun di
Mesir, yaitu munculnya gerakan nasionalisme dan pembaharuan merupakan modal baginya untuk
mengembangkan sayapnya dalam suatu organisasi. Pada saat itu, SI dipimpin oleh HOS.
Cokroaminoto, dan terkenal sebagai organisasi yang radikal dan revolusioner. Ia dipercaya sebagai
Penasehat Pengurus Besar SI.
Selain itu, Mas Mansur juga membentuk majelis diskusi bersama Abdul Wahab Hasbullah yang diberi
nama Taswir al-Afkar (Cakrawala Pemikiran). Terbentuknya majelis ini diilhami oleh keadaan
masyarakat Surabaya yang diselimuti kabut kekolotan. Masyarakat sulit diajak maju, bahkan mereka
sulit menerima pemikiran baru yang berbeda dengan tradisi yang mereka pegang. Taswir al-Afkar
merupakan tempat berkumpulnya para ulama Surabaya yang sebelumnya mereka mengadakan
kegiatan pengajian di rumah atau di surau masing-masing. Masalah-masalah yang dibahas berkaitan
dengan masalah-masalah yang bersiIat keagamaan murni sampai masalah politik perjuangan melawan
penjajah.
Aktivitas Taswir al-Afkar itu mengilhami lahirnya berbagai aktivitas lain di berbagai kota, seperti
Nahdhah al-Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang menitikberatkan pada pendidikan. Sebagai
kelanjutan Nahdhah al-Wathan, Mas Mansur dan Abdul Wahab Hasbullah mendirikan madrasah yang
bernama Khitab al-Wathan (Mimbar Tanah Air), kemudian madrasah Ahl al-Wathan (Keluarga Tanah
Air) di Wonokromo, Faru al-Wathan (Cabang Tanah Air) di Gresik dan Hidayah al-Wathan
(Petunjuk Tanah Air) di Jombang. Kalau diamati, dari nama yang dimunculkan, yaitu wathan yang
berarti tanah air, maka dapat diketahui bahwa kecintaan mereka terhadap tanah air sangat besar.
Mereka berusaha mencerdaskan bangsa Indonesia dan berusaha mengajak mereka untuk
membebaskan tanah air dari belenggu penjajah. Pemerintahan sendiri tanpa campur tangan bangsa
lain, itulah yang mereka harapkan.
Taswir al-Afkar merupakan wadah yang diskusinya, mau tidak mau permasalahan yang mereka
diskusikan, merembet pada masalah khilaIiyah, ijtihad dan madzhab. Terjadinya perbedaan pendapat
antara Mas Mansur dengan Abdul Wahab Hasbullah mengenai masalah-masalah tersebut yang
menyebabkan Mas Mansur keluar dari Taswir al-Afkar.
Mas Mansur juga banyak menghasilkan tulisan-tulisan yang berbobot. Pikiran-pikiran pemba-
haruannya dimuat di media massa. Majalah yang pertama kali diterbitkan bernama Suara Santri. Kata
santri digunakan sebagai nama majalah, karena pada saat itu kata santri sangat digemari oleh
masyarakat. Oleh karena itu, majalah Suara Santri mendapat sukses yang gemilang. Majalah Jinem
merupakan majalah kedua yang pernah diterbitkan oleh Mas Mansur. Majalah ini terbit dua kali
sebulan dengan menggunakan bahasa Jawa dengan huruI Arab (pegon). Kedua majalah tersebut
merupakan sarana untuk menuangkan pikiran-pikirannya dan mengajak para pemuda melatih
mengekspresikan pikirannya dalam bentuk tulisan. Melalui majalah itu, Mas Mansur mengajak kaum
muslimin untuk meninggalkan kemusyrikan dan kekolotan. Selain itu, Mas Mansur pernah menjadi
redaktur majalah Kawan Kita di Surabaya.
Tulisan-tulisan Mas Mansur pernah dimuat di majalah Siaran dan majalah Kentungan di Surabaya;
Penganjur dan Islam Bergerak di Yogyakarta; Panji Islam dan Pedoman Masyarakat di Medan dan
Adil di Solo. Di samping melalui majalah-majalah, Mas Mansur juga menuliskan ide dan gagasannya
dalam bentuk buku, antara lain yaitu Hadis Nabawiyah; Syarat Syahnya Nikah; Risalah Tauhid dan
Syirik; dan Adab al-Bahts wa al-Munadlarah.
Selain aktiI dalam bidang tulis-menulis, dia juga aktiI dalam organisasi, meskipun aktivitas organisasi
menyita waktunya dalam dunia jurnalistik. Pada tahun 1921, Mas Mansur masuk organisasi
Muhammadiyah. Aktivitas Mas Mansur di Muhammadiyah membawa angin segar dan memperkokoh
keberadaan Muhammadiyah sebagai organisasi pembaharuan. Tangga-tangga yang dilalui Mas
Mansur selalu dinaiki dengan mantap. Hal ini terlihat dari jenjang yang dilewatinya, yakni setelah
Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya, kemudian menjadi Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa
Timur. Puncak dari tangga tersebut adalah ketika Mas Mansur menjadi Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah pada tahun 1937-1943. Mas Mansur dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta pada bulan Oktober 1937.
Banyak hal pantas dicatat sebelum Mas Mansur terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Muham-
madiyah. Suasana yang berkembang saat itu ialah ketidakpuasan angkatan muda Muhammadiyah
terhadap kebijakan Pengurus Besar Muhammadiyah yang terlalu mengutamakan pendidikan, hanya
mengurusi persoalan sekolah-sekolah Muhammadiyah, tetapi melupakan bidang tabligh (penyiaran
agama Islam). Angkatan muda Muham-madiyah berpendapat bahwa Pengurus Besar Muhammadiyah
hanya dikuasai oleh tiga tokoh tua, yaitu K.H. Hisyam (Ketua Pengurus Besar), K.H. Mukhtar (Wakil
Ketua), dan K.H. Syuja` sebagai Ketua Bahagian PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem).
Situasi bertambah kritis ketika dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta pada tahun 1937,
Ranting-ranting Muhammadiyah lebih banyak memberikan suara kepada tiga tokoh tua tersebut.
Kelompok muda di lingkungan Muhammadiyah semakin kecewa. Namun setelah terjadi dialog,
ketiga tokoh tersebut ikhlas mengundurkan diri.
Setelah mereka mundur lewat musyawarah, Ki Bagus Hadikusumo diusulkan untuk menjadi Ketua
Pengurus Besar Muhammadiyah, namun ia yang menolak. Kiai Hadjid juga menolak ketika ia
dihubungi untuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Perhatian pun diarahkan kepada
Mas Mansur (Konsul Muhammadiyah Daerah Surabaya). Pada mulanya Mas Mansur menolak, tetapi
setelah melalui dialog panjang ia bersedia menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.
Pergeseran kepemimpinan dari kelompok tua kepada kelompok muda dalam Pengurus Besar Muham-
madiyah tersebut menunjukkan bahwa Muhammadiyah saat itu sangat akomodatiI dan demokratis
terhadap aspirasi kalangan muda yang progresiI demi kemajuan Muhammadiyah, bukan demi
kepentingan perseorangan. Bahkan Pengurus Besar Muhammadiyah pada periode Mas Mansur juga
banyak didominasi oleh angkatan muda Muhammadiyah yang cerdas, tangkas, dan progresiI.
Sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Mas Mansur bertindak disiplin dalam
berorganisasi. Sidang-sidang Pengurus Besar Muhammadiyah selalu diadakan tepat pada waktunya.
Demikian juga dengan para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah. Berbeda dari Pengurus Besar
Muhammadiyah sebelumnya yang seringkali menyelesaikan persoalan Muhammadiyah di rumahnya
masing-masing, Mas Mansur selalu menekankan bahwa kebiasaan seperti itu tidak baik bagi disiplin
organisasi, karena Pengurus Besar Muhammadiyah telah memiliki kantor sendiri beserta segenap
karyawan dan perlengkapannya. Namun ia tetap bersedia untuk menerima silaturrahmi para tamu
Muhammadiyah dari daerah-daerah itu di rumahnya untuk urusan yang tidak berkaitan dengan
Muhammadiyah.
Kepemimpinannya ditandai dengan kebijaksanaan baru yang disebut Langkah Muhammadiyah
1938-1949. Ada duabelas langkah yang dicanangkan. Mas Mansur juga banyak membuat gebrakan
dalam hukum Islam dan politik ummat Islam saat itu. Yang perlu juga dicatat, Mas Mansur tidak ragu
mengambil kesimpulan tentang hukum bank, yakni haram, tetapi diperkenankan, dimudahkan, dan
dimaaIkan, selama keadaan memaksa untuk itu. Ia berpendapat bahwa secara hukum bunga bank
adalah haram, tetapi ia melihat bahwa perekonomian ummat Islam dalam kondisi yang sangat
memprihatinkan, sedangkan ekonomi perbankan saat itu sudah menjadi suatu sistem yang kuat di
masyarakat. Oleh karena itu, jika ummat Islam tidak memanIaatkan dunia perbankan untuk sementara
waktu, maka kondisi perekonomian ummat Islam akan semakin turun secara drastis. Dengan
demikian, dalam kondisi keterpaksaan tersebut dibolehkan untuk memanIaatkan perbankan guna
memperbaiki kondisi perekonomian ummat Islam.
Dalam dunia politik ummat Islam saat itu, Mas Mansur banyak melakukan gebrakan. Sebelum
menjadi Ketua PB Muhammadiyah, Mas Mansur sebenarnya sudah banyak terlibat dalam berbagai
aktivitas politik ummat Islam. Setelah menjadi Ketua PB Muhammadiyah, ia mulai melakukan
gebrakan politik yang cukup berhasil bagi ummat Islam dengan memprakarsai berdirinya Majelis
Islam A`la Indonesia (MIAI) bersama K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Wahab Hasbullah yang
keduanya dari Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII)
bersama Dr. Sukiman Wiryasanjaya sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatiI dari Partai
Syarikat Islam Indonesia (PSII). Demikian juga ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Mas Mansur
termasuk salah seorang dari empat orang tokoh nasional yang sangat diperhitungkan, yang terkenal
dengan sebutan empat serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Mas
Mansur.
Keterlibatannya dalam empat serangkai mengharuskannya pindah ke Jakarta, sehingga jabatan
ketua PB Muhammadiyah diserahkan kepada Ki Bagus Hadikusumo. Namun, kekejaman pemerintah
Jepang yang luar biasa terhadap rakyat Indonesia menyebabkannya tidak tahan dalam aktivitas empat
serangkai tersebut, sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Surabaya, dan kedudukannya dalam
empat serangkai digantikan oleh Ki Bagus Hadikusumo.
Ketika pecah perang kemerdekaan, Mas Mansur belum sembuh benar dari sakit. Namun, ia tetap
ikut berjuang memberikan semangat kepada barisan pemuda untuk melawan kedatangan tentara
Belanda (NICA). Akhirnya, ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di Surabaya. Di tengah
pecahnya perang kemerdekaan yang berkecamuk itulah, Mas Mansur meninggal di tahanan pada
tanggal 25 April 1946. Jenazahnya dimakamkan di Gipo Surabaya.
Atas jasa-jasanya, oleh Pemerintah Republik Indonesia ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional
bersama H. Fakhruddin.














Ki Bagus Hadikusuma (Ketua 1944 - 1953)

Pahlawan perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia ini
dilahirkan di kampung Kauman Yogyakarta dengan nama R.
Hidayat pada 11 Rabi`ul Akhir 1038 Hijriyah. Ia putra ketiga
dari lima bersaudara Raden Haji Lurah Hasyim, seorang abdi
dalem putihan agama Islam di Kraton Yogyakarta. Seperti
umumnya keluarga santri, Ki Bagus mulai memperoleh
pendidikan agama dari orang tuanya dan beberapa Kiai di
Kauman. Setelah tamat dari $ekolah Ongko Loro` (tiga tahun
tingkat sekolah dasar), Ki Bagus belajar di Pesantren
Wonokromo, Yogyakarta. Di Pesantren ini ia banyak mengkaji
kitab-kitab Iiqh dan tasawuI.
Dalam usia 20 tahun Ki Bagus menikah dengan Siti Fatmah
(putri Raden Haji Suhud) dan memperoleh enam anak. Salah seorang di antaranya ialah Djarnawi
Hadikusumo, yang kemudian menjadi tokoh Muhammadiyah dan pernah menjadi orang nomor satu di
Parmusi. Setelah Fatmah meninggal, ia menikah lagi dengan seorang wanita pengusaha dari
Yogyakarta bernama Mursilah. Pernikahan ini dikaruniai tiga orang anak. Ki Bagus kemudian
menikah lagi dengan Siti Fatimah (juga seorang pengusaha) setelah istri keduanya meninggal. Dari
istri ketiga ini ia memperoleh lima anak.
Sekolahnya tidak lebih dari sekolah rakyat (sekarang SD) ditambah mengaji dan besar di pesantren.
Namun, berkat kerajinan dan ketekunan mempelajari kitab-kitab terkenal akhirnya ia menjadi orang
alim, mubaligh dan pemimpin ummat. Ia merupakan pemimpin Muhammadiyah yang besar andilnya
dalam penyusunan Muqadimah UUD 1945, karena ia termasuk anggota Panitia Persiapan
Kemerdekan Indonesia (PPKI). Peran Ki Bagus sangat besar dalam perumusan Muqadimah UUD
1945 dengan memberikan landasan ketuhanan, kemanusiaan, keberadaban, dan keadilan. Pokok-
pokok pikirannya dengan memberikan landasan-landasan itu disetujui oleh semua anggota PPKI.
Secara Iormal, selain kegiatan tabligh, Ki Bagus pernah menjadi Ketua Majelis Tabligh (1922), Ketua
Majelis Tarjih, anggota Komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadiyah (1926), dan Ketua PP Muham-
madiyah (1942-1953). Pokok-pokok pikiran Ahmad Dahlan berhasil ia rumuskan sedemikian rupa
sehingga dapat menjiwai dan mengarahkan gerak langkah serta perjuangan Muhammadiyah. Bahkan,
pokok-pokok pikiran itu menjadi Muqadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah. Muqaddimah yang
merupakan dasar ideologi Muhammadiyah ini menginspirasi sejumlah tokoh Muhammadiyah lainnya.
HAMKA, misalnya, mendapatkan inspirasi dari muqaddimah tersebut untuk merumuskan dua
landasan idiil Muhammadiyah, yaitu Matan Kepribadian Muhammadiyah dan Matan Keyakinan dan
Cita-cita Hidup Muhammadiyah.

Ki Bagus juga sangat produktiI dalam menuliskan buah pikirannya. Buku karyanya antara lain Islam
sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin. Karya-karyanya yang lain yaitu Risalah Katresnan
Dfati (1935), Poestaka Hadi (1936), Poestaka Islam (1940), Poestaka Ichsan (1941), dan Poestaka
Iman (1954). Dari buku-buku karyanya tersebut tercermin komitmennya terhadap etika dan bahkan
juga syariat Islam. Dari komitmen tersebut, Ki Bagus adalah termasuk seorang tokoh yang memiliki
kecenderungan kuat untuk pelembagaan Islam.
Bagi Ki Bagus, pelembagaan Islam menjadi sangat penting untuk alasan-alasan ideologi, politis, dan
juga intelektual. Ini nampak dalam upayanya memperkokoh eksistensi hukum Islam di Indonesia
ketika ia dan beberapa ulama lainnya terlibat dalam sebuah kepanitiaan yang bertugas memperbaiki
peradilan agama (priesterraden commisse). Hasil penting sidang-sidang komisi ini ialah kesepakatan
untuk memberlakukan hukum Islam. Akan tetapi Ki Bagus dikecewakan oleh sikap politik pemerintah
kolonial yang didukung oleh para ahli hukum adat yang membatalkan seluruh keputusan penting
tentang diberlakukannya hukum Islam untuk kemudian diganti dengan hukum adat melalui penetapan
Ordonansi 1931. Kekecewaannya itu ia ungkap kembali saat menyampaikan pidato di depan Sidang
BPUKPKI.
Munculnya Ki Bagus Hadikusumo sebagai Ketua PB Muhammadiyah adalah pada saat terjadi
pergolakan politik internasional, yaitu pecahnya perang dunia II. Kendati Ki Bagus Hadikusuma
menyatakan ketidaksediaannya sebagai Wakil Ketua PB Muhammadiyah ketika diminta oleh Mas
Mansur pada Kongres ke-26 tahun 1937 di Yogyakarta, ia tetap tidak bisa mengelak memenuhi
panggilan tugas untuk menjadi Ketua PB Muhammadiyah ketika Mas Mansur dipaksa menjadi
anggota pengurus Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) di Jakarta pada tahun 1942. Apalagi dalam situasi
di bawah penjajahan Jepang, Muhammadyah memerlukan tokoh kuat dan patriotik. Ki Bagus
Hadikusumo berani menentang perintah pimpinan tentara Dai Nippon yang terkenal ganas dan kejam,
untuk memerintahkan ummat Islam dan warga Muhammadiyah melakukan upacara kebaktian tiap
pagi sebagai penghormatan kepada Dewa Matahari.
Ki Bagus Hadikusumo menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah selama 11 tahun (1942-
1953) dan waIat pada usia 64 tahun. Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai
Pahlawan Perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia.









KH Abdul Kahar Muzakkir


Tokoh nasional gerakan Muhammadiyah Kotagede. Lahir di Yogyakarta tahun 1907, putera
H. Muzakkir (seorang pedagang terhormat di Kota-Gede). Ibunya adalah puteri satu-satunya dari lima
bersaudara keluarga H. Mukmin. Salah seorang saudara ibunya yaitu H. Masyhudi tokoh yang
terkenal di Kotagede pada saat itu, karena ikut serta membentuk lahirnya organisasi Muhammadiyah
di Kotagede. Selain itu, H. Masyhudi bersama-sama dengan Kyai Amir memprakarsai pembangunan
Mesjid Perak
Sedangkan ayahnya H. Mudzakir membantu dana untuk pembangunan Mesjid Perak
Kotagede. Dengan demikian, segala hal yang baik dari keluarga H. Mukmin, kakeknya itu, telah
membentuk pribadi Abdul Kahar Muzakkir muda menjadi seorang yang tekun dan taat pada agama. Ia
memulai pendidikannya pada SD Muhammadiyah di Selakraman, Kotagede, sembari memperdalam
ilmu agama di beberapa pondok pesantren. Ia memperkaya ilmu agama dengan masuk Madrasah di
Solo.
Abdul Kahar Muzakkir adalah cicit dari Kyai Hasan Bashari, seorang guru agama dan
pemimpin thariqat Satariyah, yang dikenal juga sebagai salah satu seorang komandan lascar Pangeran
Diponegoro (ketika berperang melawan Belanda 1825-1830). Setelah menyelesaikan pendidikan di
SD Muhammadiyah Selokraman Kotagede, ia melanjutkan ke Ponpes Gading dan Krapyak untuk
memperdalam ilmu agama; dan dilanjutkan ke Pondok Pesantren Jamsaren Solo sambil belajar di
madrasah Mambaul Ulum.
Tahun 1924 berangkat menunaikan ibadah haji, dengan maksud terus bermukim dan belajar
di sana; tetapi perang yang berkecamuk di sana memaksanya pergi ke Mesir. Pada tahun 1925 ia
berkirim surat kepada keluarganya bahwa ia sudah diterima menjadi Mahasiswa Universitas Al Azhar
di Kairo. Kemudian untuk eIektivas Gerakan Pelajar Indonesia di Kairo dalam menyongsong
Indonesia merdeka, pada tahun 1927 Abdul Kahar Muzakir pindah ke Universitas Darul Ulum yang
berkedudukan di Kairo.
Tahun 1938 ia pulang ke Indonesia langsung menceburkan diri ke berbagai organisasi
Da`wah dan politik. Pertama-tama yang dimasukinya Muhammadiyah dan diangkat menjadi Direktur
Mu`allimin, kemudian menjadi pengurus Majelis Pemuda dan Majelis PKU Muhammadiyah; tahun
1953 menjadi Pengurus Pusat Muhammadiyah sampai akhir hayatnya. Pergerakan politik dilakukan
melalui Partai Islam Indonesia bersama-sama dengan ProI. Dr. H.M Rasyidi, KH. Mansoer, ProI. KH.
Faried Ma`aroeI, Mr. Kasmat Bahuwinangun, dan Dr. Soekiman Wirjosandjojo.
Ia kembali ke Indonesia pada tahun 1938, dan mulai menggeluti dunia politik dan organisasi
dakwah seperti dalam Partai Islam Indonesia (PII) dan organisasi Muhammadiyah. Sejalan dengan
berkembangnya paham pembaharuan (reIormasi) Islam dari Timur Tengah yang masuk ke kampung-
kampung Kotagede. Kegiatannya terus berlanjut hingga tahun 1945. Ia terlibat aktiI dalam BPUPKI
untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia serta ikut mencanangkan Piagam Jakarta. Mitshuo
Nakamura dalam bukunya Bulan Sabit Muncul di Balik Pohon Beringin menulis: barangkali yang
paling hebat adalah munculnya Abdul Kahar Muzakkir pertama sebagai pegawai pemerintahan
Jepang di daerah Yogyakarta, kemudian sebagai wakil kepala Kantor Urusan Agama Pusat di Jakarta.
Puncaknya dengan keikutsertaannya dalam kancah tertinggi politik Nnsional selama akhir
masa pendudukan Jepang, dimana sebenarnya ia dapat menduduki jabatan politik tetapi ia tidak mau.
Abdul Kahar Muzakkir memilih mengabdikan diri untuk mendirikan dan mengembangkan
Universitas Islam. Sejak tahun 1945, ia mencurahkan seluruh tenaganya pada Sekolah Tinggi Islam
(STI) yang didirikan pada tanggal 8 Juli 1945. Ia sebagai Rektor MagniIicus yang pertama. Kemudian
STI pindah ke Yogyakarta pada tahun 1946, dan berubah nama menjadi Unirvesitas Islam Indonesia
(UII) tahun 1948. ProIesor KH. Abdul Kahar Muzakkir tetap terpilih sebagai rector UII.
Pengabdiannya sebagai rector dijalaninya dari tahun 1945-1960.
Ia adalah orang yang paling lama memimpin UII. Sejak STI didirikan pada 8 Juli 1945 ia
dipilih sebagai Rektor MagniIicus yang pertama; setelah pada tahun 1946 STI pindah ke Yogyakarta
ia masih tetap menjadi Rektor MagniIicus. Kemudian setelah STI diubah menjadi UII (1948), masih
dipercaya menjabat Presiden (Rektor). Kedudukan sebagai Rektor UII dilepaskannya setelah UII
(terhitung dari STI) berusia tak kurang dari 15 tahun. Tahun 1960 digantikan oleh Mr. Kasmat
Bahuwinangun dan ia sendiri terjun ke Fakultas Hukum UII untuk menjadi dekan. Selama kurang
lebih 1960-1973 ia menjadi Dekan Fakultas Hukum sampai hari waIatnya.
Kesetiaan Kahar Muzakkir pada cita-cita perjuangan UII telah dibuktikan sejarah, dan tak
seorang pun dapat menyangkalnya. Sampai-sampai ia pernah menyelenggarakan Dies Natalis UII
sambil bergerilya melawan Belanda di desa Tegalayung, Bantul pada Dies IV. Ia amat banyak
mengarungi suka duka perjalanan UII. Di kalangan mahasiswa ia dikenal sebagai tokoh yang
kebapakan, mengerti aspirasi.
Dalam bidang pemerintahan, pernah memasuki Jawatan Ekonomi Pemerintahan Militer,
Pegawai Sipil Jawatan Siaran Radio Militer,, Markas Besar Tentara sebagai komentator Luar Negeri
bersama Muchtar Lubis, dan di Jawatan Kementrian Agama; semua itu dilaluinya sebagai pekerjaan
dalam Pemerintahan Jepang di Indonesia. Dalam negara Indonesia merdeka ia pernah menjadi Wakil
Kepala Kementrian Agama dengan pangkat sebagai pegawai tinggi tingkat II.
Partisipasinya yang besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia adalah
keterlibatannya secara aktiI dalam BPUPKI tahun 1945. dan ikut memancangkan tonggak sejarah
dalam proses perumusan dasar negara dalam Piagam Jakarta. Ia meninggal pada tanggal 2 Desember
1973 dengan memberikan banyak warna kenangan bagi UII, dan masyarakat Kotagede. Ia telah
menjadi salah seorang pemimpin nasional gerakan Muhammadiyah yang dihasilkan dari Kotegede.


































endral Besar (TNI) Sudirman


Jendral Soedirman Pahlawan Pembela Kemerdekaan 1916 1950
Di Bodas Karangjati lah Sudirman dilahirkan, tepatnya di kabupaten Purbalingga tanggal 24
Januari 1916. Pendidikan terakhirnya adalah Sekolah Guru Muhammadiyah di Solo, tapi tidak sampai
tamat. Kemudian ia menjadi guru di Muhammadiyah Cilacap. Semasa mudanya Sudirman aktiI dalam
organisasi pramuka dan terkenal sangat disiplin.
Dimasa pendudukan Jepang, Sudirman sangat memperhatikan masalah sosial. Lalu ia
mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan. Dan ia juga menjadi anggota
Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Keresidenan Banyumas.
Pada masa itu pula Sudirman mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor.
Kemudian ia diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Jasa pertama Sudirman setelah
kemerdekaan ialah merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas.
Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia diangkat menjadi Panglima Divisi V
/ Banyumas dengan pangkat kolonel. Bulan Desember 1945 ia memimpin pasukan TKR dalam
pertempuran melawan Inggris di Ambarawa. Tanggal 12 Desember dilancarkan serangan serentak
terhadap semua kedudukan Inggris. Akhirnya pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang.
Dalam KonIerensi TKR tanggal 12 Nopember 1945 Sudirman terpilih menjadi Panglima Besar TKR.
Lalu tanggal 18 Desember 1945 ia dilantik oleh Presiden dengan pangkat Jenderal. Sejak itu TKR
tumbuh menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Sewaktu Belanda melancarkan Agresi Militer II, Jendral Sudirman sedang sakit, tetapi ia
menolak saran Presiden untuk tetap tinggal didalam kota. Kurang lebih tujuh bulan ia mempimpim
perang gerilya di hutan-hutan dan gunung-gunung. Banyak penderitaan yang dialaminya terutama
penyakitnya sering kambuh dan tidak tersedianya obat-obatan.
Pulang dari medan gerilya, karena masih sakit, ia tidak dapat memimpin Angkatan Perang
secara langsung, tetapi buah pemikirannya selalu dibutuhkan oleh Pemerintah.
Pengalima Besar Jenderal Sudirman meninggal dunia di Magelang pada tanggal 29 Januari
1950 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Pembelengguan Sebuah Fakta Sejarah
SOEDIRMAN, salah seorang pahlawan nasional dan simbol Tentara Nasional Indonesia
(TNI) bukanlah nama yang asing di telinga. Ia mendapat tempat istimewa dalam sejarah perjuangan
kemerdekaan Indonesia karena menjabat panglima angkatan bersenjata pada awal berdirinya republik
ini. Namun, pengetahuan tentang Soedirman yang diberikan bangku sekolah tidak pernah cukup
mendalam. Sementara ketersediaan literatur yang membahas Soedirman secara khusus jumlahnya
tidak memadai.
Dalam kurun waktu 25 tahun pertama pascakemerdekaan, tercatat hanya ada satu buku saja
yang menempatkan Soedirman sebagai pokok bahasan, yaitu "Djenderal Soedirman Pahlawan
Kemerdekaan" (1963) yang ditulis Solichin Salam. Selebihnya pembahasan tentang Soedirman selalu
hanya merupakan pelengkap bagi kerangka bahasan lain seperti tentang gerakan Pemuda
Muhammadiyah, kepanduan Hizbul Wathan, perang revolusi kemerdekaan, tentara, politik militer,
hingga tentang Tan Malaka.
Baru sekitar tahun 1980-an mulai bermunculan buku yang membahas Soedirman secara lebih
spesiIik, seperti "Perjalanan Bersahaja Jenderal Sudirman" karya SA Soekanto (1981), "Panglima
Besar TNI Jenderal Soedirman: Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia, Kisah
Seorang Pengawal" (1992) yang ditulis Tjokropranolo, mantan Gubernur DKI Tahun 1977-1982, atau
"Panglima Besar Jenderal Sudirman Kader Muhammadiyah" (2000) karya Sardiman AM. Meskipun
cukup banyak kuantitasnya, namun sebagian besar buku yang hadir tersebut cenderung mengaitkan
tokoh ini dengan dunia ketentaraan dan lebih berupa memoar atau biograIi Soedirman sebagai seorang
tokoh.
Sedikit saja buku seperti "Genesis oI Power General Sudirman and the Indonesian Military in
Politics 1945-49" (1992) yang ditulis Salim Said, yang mengupas sikap dan pandangan politik
Soedirman secara lebih mendalam, baik menyangkut penentangan Soedirman terhadap langkah politik
pemerintah yang menjalin kerja sama dengan Belanda, tentang langkah-langkah politis yang diambil
Soedirman dalam rangka mengedepankan sikap politiknya, dan keterkaitan Soedirman dengan
Peristiwa 3 Juli 1946. Umumnya jika sampai pada pembahasan tentang hal tersebut, penulis-penulis
cenderung "melindungi" keterlibatan Soedirman dalam peristiwa yang diyakini sebagai upaya coup d'
etat dan "membersihkan" kecenderungan ideologi kiri Soedirman dengan berbagai alasan.
Fakta sejarah tersebut memang rawan dibicarakan ketika rezim yang berkuasa bersandar pada
kekuatan militer yang mengangkat Soedirman sebagai panglima besarnya. Tak ayal lagi, ketika buku
yang menganalisis Peristiwa 3 Juli 1946 terbit, pemerintah Orde Baru langsung membelenggu
peredarannya lewat daItar cekal Kejaksaan Agung (Kejagung). "Tingkah Laku Politik Panglima Besar
Soedirman", buku yang mengangkat Peristiwa 3 Juli 1946 sebagai Iokus bahasan, memaparkan
pergolakan internal para elite politik Indonesia pada awal kemerdekaan dengan titik berat telaah pada
pandangan dan sikap politik yang diambil Soedirman selaku panglima besar dalam menanggapi
berbagai situasi politik yang berkembang saat itu.
Panglima Besar Soedirman" merupakan kumpulan beberapa tulisan, di antaranya tulisan dua
pelaku sejarah bangsa ini yaitu Abdul Haris Nasution dari kalangan militer dan Roeslan Abdulgani
yang mewakili unsur sipil yang turut berjuang dalam perang kemerdekaan. Selain itu, termaktub pula
analisis terhadap Peristiwa 3 Juli 1946 dari SI Poeradisastra, sejarawan dan Guru Besar UI, dan
rangkuman dari Sides Sudyarto DS, pemenang sayembara puisi Prasasti Ancol tahun 1977 dan
mantan wartawan yang pernah bergabung di Kompas tahun 1974-1981.
Buku yang pertama kali dicetak sebanyak 5.000 eksemplar dan diluncurkan sekitar awal
tahun 1984, ini tamat riwayat peredarannya di masyarakat kurang lebih enam bulan kemudian,
tepatnya tanggal 28 Agustus 1984, setelah diharamkan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) lewat Iatwa
No 167/JA/8/1984. Menurut Sides, editor buku itu yang sempat diinterogasi Kejagung sebanyak
sembilan kali, tidak ada alasan Iormal yang menjadi landasan pencekalan buku yang bermuatan Iakta
sejarah tersebut.
Dalam "Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman", Nasution menuangkan
pengalaman pribadi sebagai prajurit di lapangan yang langsung menerima perintah Soedirman.
Sebagai seorang bawahan, ia lebih banyak menyoroti kepemimpinan Soedirman sebagai panglima
besar dalam menyikapi berbagai kondisi politik bangsa dan menghindari pembahasan tentang
Peristiwa 3 Juli 1946. Meskipun begitu, ia mengakui bahwa dirinya berseberangan pendapat dengan
Soedirman dalam persoalan "Reorganisasi-Rasionalisasi" (Re-Ra) tentara yang merupakan imbas dari
Perjanjian Renville tahun 1948.
Dalam mengulas Soedirman, Abdulgani menempatkan panglima besar tersebut dalam konteks
pertikaian ideologi yang mendominasi kala itu. Meskipun dalam Peristiwa 3 Juli 1946 di Yogyakarta
Soedirman dituduh membantu upaya coup d' etat terhadap duet Soekarno-Hatta, dengan
membebaskan orang-orang dari kelompok Marxisme-Leninisme independen (Tan Malaka) yang
ditahan di Penjara Wirogunan, namun menurut Abdulgani tekad untuk mempertahankan kemerdekaan
dan loyalitas terhadap negara tetap dipegang teguh Soedirman yang secara historis masuk dalam
kelompok Islamisme, namun bukan aliran yang Ianatik dan intoleran. Walaupun sempat
berseberangan pandangan politik dengan pemerintah yang saat itu dikuasai kelompok Marxisme-
Liberalisme moderat (Amir SjariIuddin dan Sjahrir), Soedirman tidak memanIaatkan posisi panglima
besar yang strategis untuk menggulingkan pemerintah resmi Soekarno-Hatta.
Poeradisastra sebagai seorang sejarawan berupaya obyektiI dalam melihat Iakta Peristiwa 3
Juli 1946. Analisis terhadap rangkaian kejadian, proses sidang di Mahkamah Agung, kesaksian
Soedirman, serta pernyataan dan pembelaan dari para pelaku yang terlibat dalam peristiwa itu, seperti
Iwa Koesoema Soemantri, Ahmad Soebardjo, dan M Yamin dari kubu Persatuan Perjuangan yang
beraIiliasi pada Tan Malaka, melahirkan satu kesimpulan bahwa telah terjadi tawar-menawar antara
Soedirman dengan para anggota Kabinet Sjahrir yang secara coute que coute membentuk pra-
anggapan peristiwa tersebut sebagai suatu coup d' etat.
Meskipun Poeradisastra tidak mengingkari keterlibatan Soedirman dalam Peristiwa 3 Juli
1946, namun ia yakin Soedirman melakukan negosiasi tersebut untuk menyelamatkan keutuhan
komando tentara saat itu. Sejarah membuktikan, Soedirman tetap menjaga manunggalnya tentara
dengan pemerintah. Ia mengorbankan hati nuraninya yang tidak setuju dengan keputusan pemerintah
untuk berkompromi dengan Belanda demi persatuan negara dan membayar beban psikologisnya
dengan kesehatan yang kian hari semakin memburuk.
Upaya meminta Soekarno mengubah susunan Kabinet Sjahrir dan menerima minimum
program Persatuan Perjuangan 7 pasal yang dikenal dengan Peristiwa 3 Juli 1946, memang tidak
dibahas secara mendalam dalam wacana sejarah Indonesia selama ini. Padahal, peristiwa tersebut
jelas melibatkan Soedirman yang disinyalir mendukung Persatuan Perjuangan yang berada di bawah
komando Tan Malaka. Kedekatan dan kesamaan visi Soedirman dengan Tan Malaka yang oleh Orde
Baru dituding sebagai komunis mengindikasikan ideologi yang dianut Soedirman.Hal inilah yang
coba ditutupi rezim Orde Baru yang berdiri di atas kekuatan militer. Bagaimana publik akan bereaksi
jika menyadari Iakta bahwa Panglima Besar TNI adalah seorang sosialis! (Nurul Fatchiati)




















!rof. Dr. Hamka
(Haji Abdul Malik Karim Amrullah)


Haji Abdul Malik Karim Amrullah (atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA, yakni
singkatan namanya), lahir tahun 1908, di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, dan
meninggal di Jakarta 24 Juli 1981, adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, dan aktivis politik.
Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal
dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.
Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang
merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun
1906.
HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul
Karim Amrullah. Ia adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di
alam Nusantara. Ia lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat,
Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul,
seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika
usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang.
Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti
pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa,
Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing
Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik
sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari
tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam,
Jakarta dan Universitas Moestopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat
sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika
Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis
Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti IilsaIat,
sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya
yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki
Mubarak, George Zaidan, Abbas al-Aqqad, MustaIa al-ManIaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa
Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William
James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga
rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS
Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus
Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.
Hamka juga aktiI dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia mengikuti
pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khuraIat, bidaah, tarekat dan kebatinan
sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang
Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua
tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih
menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh KonIerensi Muhammadiyah,
menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Ia menyusun kembali pembangunan dalam
Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.
Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pada 26
Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, ProI. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum
Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena
nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik
Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke
Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947,
Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Ia menjadi anggota
Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi
kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun
1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa
dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis TaIsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah
terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah
Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga
Kebudayaan Nasional, Indonesia.
Selain aktiI dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis,
editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa koran seperti Pelita
Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi
editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan
majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat,
Panji Masyarakat dan Gema Islam.
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatiI seperti novel dan cerpen.
Karya ilmiah terbesarnya ialah TaIsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat
perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli.
Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti
anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa,
Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari
pemerintah Indonesia.
Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih
terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Ia bukan saja diterima sebagai seorang tokoh
ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk
Malaysia dan Singapura, turut dihargai.

























Ir. H. Djuanda


Ir. R. Djoeanda Kartawidjaja (ejaan baru: Juanda Kartawijaya) lahir di Tasikmalaya, Jawa
Barat, 14 Januari 1911 meninggal di Jakarta, 7 November 1963 pada umur 52 tahun adalah Perdana
Menteri Indonesia ke-10 sekaligus yang terakhir. Ia menjabat dari 9 April 1957 hingga 9 Juli 1959.
Setelah itu ia menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Kerja I.
Sumbangannya yang terbesar dalam masa jabatannya adalah Deklarasi Djuanda tahun 1957
yang menyatakan bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan
Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI atau dikenal dengan sebutan sebagai negara
kepulauan dalam konvensi hukum laut United Nations Convention on Law oI the Sea (UNCLOS)
|1|
.
Namanya diabadikan sebagai nama lapangan terbang di Surabaya, Jawa Timur yaitu Bandara Djuanda
atas jasanya dalam memperjuangkan pembangunan lapangan terbang tersebut sehingga dapat
terlaksana. Selain itu juga diabadikan untuk nama hutan raya di Bandung yaitu Taman Hutan Raya Ir.
H. Djuanda, dalam taman ini terdapat Museum dan Monumen Ir. H. Djuanda.
Djuanda waIat di Jakarta 7 November 1963 karena serang jantung dan dimakamkan di TMP
Kalibata, Jakarta. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.244/1963 Ir. H. Djuanda Kartawidjaja
diangkat sebagai tokoh nasional/pahlawan kemerdekaan nasional.
Ir. H. Djuanda dilahirkan di Tasikmalaya, 14 januari 1911, merupakan anak pertama
pasangan Raden Kartawidjaja dan Nyi Monat, ayahnya seorang Mantri Guru pada Hollandsch
Inlansdsch School (HIS). Pendidikan sekolah dasar diselesaikan di HIS dan kemudian pindah ke
sekolah untuk anak orang Eropa Europesche Lagere School (ELS), tamat tahun 1924. Selanjutnya
oleh ayahnya dimasukkan ke sekolah menengah khusus orang Eropa yaitu Hogere Burger School
(HBS) di Bandung, dan lulus tahun 1929. Pada tahun yang sama dia masuk ke sekolah Tinggi Teknik
(Technische Hooge School) sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB) di Bandung, mengambil
jurusan teknik sipil dan lulus tahun 1933. Semasa mudanya Djuanda hanya aktiI dalam organisasi non
politik yaitu Paguyuban Pasundan dan anggota Muhamadiyah, dan pernah menjadi pimpinan sekolah
Muhamadiyah. Karir selanjutnya dijalaninya sebagai pegawai Departemen Pekerjaan Umum propinsi
Jawa Barat, Hindia Belanda sejak tahun 1939.
Ir. H. Djuanda seorang abdi negara dan abdi masyarakat. Dia seorang pegawai negeri yang
patut diteladani. Meniti karir dalam berbagai jabatan pengabdian kepada negara dan bangsa.
Semenjak lulus dari Technische Hogeschool (1933) dia memilih mengabdi di tengah masyarakat. Dia
memilih mengajar di SMA Muhammadiyah di Jakarta dengan gaji seadanya. Padahal, kala itu dia
ditawari menjadi asisten dosen di Technische Hogeschool dengan gaji lebih besar.
Setelah empat tahun mengajar di SMA Muhammadiyah Jakarta, pada 1937, Djuanda
mengabdi dalam dinas pemerintah di Jawaatan Irigasi Jawa Barat. Selain itu, dia juga aktiI sebagai
anggota Dewan Daerah Jakarta.
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, tepatnya pada 28 September 1945, Djuanda memimpin
para pemuda mengambil-alih Jawatan Kereta Api dari Jepang. Disusul pengambil-alihan Jawatan
Pertambangan, Kotapraja, Keresidenan dan obyek-obyek militer di Gudang Utara Bandung.
Kemudian pemerintah RI mengangkat Djuanda sebagai Kepala Jawatan Kereta Api untuk wilayah
Jawa dan Madura. Setelah itu, dia diangkat menjabat Menteri Perhubungan. Dia pun pernah menjabat
Menteri Pengairan, Kemakmuran, Keuangan dan Pertahanan. Beberapa kali dia memimpin
perundingan dengan Belanda. Di antaranya dalam Perundingan KMB, dia bertindak sebagai Ketua
Panitia Ekonomi dan Keuangan Delegasi Indonesia. Dalam Perundingan KMB ini, Belanda mengakui
kedaulatan pemerintahan RI.
Djuanda sempat ditangkap tentara Belanda saat Agresi Militer II tanggal 19 Desember 1948.
Dia dibujuk agar bersedia ikut dalam pemerintahan Negara Pasundan. Tetapi dia menolak.
Dia seorang abdi negara dan masyarakat yang bekerja melampaui batas panggilan tugasnya. Mampu
menghadapi tantangan dan mencari solusi terbaik demi kepentingan bangsa dan negaranya. Karya
pengabdiannya yang paling strategis adalah Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957.
Ir. Djuanda oleh kalangan pers dijuluki menteri marathon` karena sejak awal kemerdekaan (1946)
sudah menjabat sebagai menteri muda perhubungan sampai menjadi Perdana Menteri dan Menteri
Pertahanan (1957-1959) sampai menjadi Menteri Pertama pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-
1963). Sehingga dari tahun 1946 sampai meninggalnya tahun 1963, beliau menjabat sekali sebagai
menteri muda, 14 kali sebagai menteri, dan sekali menjabat Perdana Menteri.
Dia seorang pemimpin yang luwes. Dalam beberapa hal dia kadangkala berbeda pendapat
dengan Presiden Soekarno dan tokoh-tokoh politik lainnya.

Anda mungkin juga menyukai