Anda di halaman 1dari 25

Etika Dakwah

OLEH Abbas M Basalamah (Penulis adalah Dosen Pendidikan Agama Islam di Universitas Gunadarma dan Universitas Nasional)

Dakwah secara harfiyah berarti mengajak atau menyeru. Dakwah merupakan salah satu dari istilah keagamaan yang telah banyak disalahgunakan baik fungsi maupun hakikatnya. Terlebih ketika kata atau istilah tersebut telah menjadi bagian bahasa Indonesia yang dibakukan dan mempunyai makna beragam. Dalam kamus bahasa Indonesia misalnya, kata dakwah diartikan antara lain propaganda yang mempunyai konotasi positif dan dan negatif. Sementara dakwah dalam istilah agama Islam konotasinya selalu tunggal dan positif. Yakni mengajak kepada peningkatan ibadah dan pengabdian pda sang khaliq (dalam arti luas).Bahkan dalam Alquran dan Sunnah merupakan bagian dari prinsip ajaran yang diwajibkan.

Dari realita dan fakta yang ada, ternyata pergeseran makna dakwah hingga mempunyai dua konotasi tidak sedikit disebabkan oleh etika para dainya. Antara lain banyaknya dai yang menempatkan dirinya pada bidang yang bertolakbelakang dengan inti maupun substansi amar makruf nahi munkar. Contohnya adalah seorang dai yang menjadi juru kampanye partai politik atau iklan komersil yang dengan kemahiran retorika mengolah ayat atau hadits untuk dijadikan bahan melegitimasi tindakan-tindakan tertentu yang tidak sejalan dengan etika Islam secara umum atau etika dakwah secara khusus.

Karakteristik zaman terus berubah. Zaman sekarang materialisme lebih mendominasi daripada spiritualisme. Individualisme lebih dominan ketimbang kebersamaan. Pragmatisme lebih dominan daripada akhlaq. Betapa banyak rauan dan promosi untuk berbuat kejahatan dan rintangan untuk berbuat kebaikan. Sehingga orang yang berpegang teguh kepada agamanya bagaikan memegang bara api.

Nabi menggambarkan dalam sabdanya, akan datang suatu masa di mana nanti orang yang sabar dalam

memegang ajaran agama bagaikan orang yang memegang bara api HR Tirmidzi.

Pengertian dan Pembatasan Etika Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata Etika diartikan sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk atau ilmu tentang hak dan kewajiban moral. Dalam batasan pengertian itu maka etika bisa duniawi dan bisa ukhrawi. Sebab baik buruknya sesuatu masih perlu bahasan tertentu. Misalnya di mata Si A baik belum tentu di mata Si B.

Sementara pada makna yang kedua, yakni tentang hak dan kewajiban moral meski perlu diurai lebih luas. Namun konotasi umum lebih cenderung kepada keagamaan. Secara khusus bila dikaitkan dengan konteks dakwah.

Dari pengertian tadi semakin jelas bahwa kajian atau tinjauan kita berkenaan dengan etika dakwah adalah moral umum dalam batasan agama, apa dan bagaimana seharusnya suatu etika dakwah tersosialisasi dalam pribadi dainya secara khusus dan pada lembaganya secara umum.

Membahas masalah etika dakwah bukan masalah sepele atau singkat, sesingkat kita memahami suatu masalah atau membahasnya. Dalam soal dakwah semua acuan kembali kepada teladan tunggal yang ditetapkan Allah untuk dirujuki dalam menghadapi berbagai masalah hidup dan kehidupan, baik menyangkut duniawi maupun ukhrawi. Semua contoh yang terbaik itu ada pada diri Rasulullah SAW. Allah SWT berfirman dalam Alquran surah Al Ahzab ayat 21; Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah

itu tauladan yang baik bagi siapa saja yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah .

Ketika umat sepakat dalam bentuk keyakinan bahwa keteladanan dalam hidup dan kehidupan khususnya menyangkut soal keyakinan (agama), semestinya acuan dalam segala hal itu dikembalikan kepada kesepakatan tersebut. Realitas yang ada menunjukan bahwa permasalahannya bukan sekedar mau atau tidak mau mengikuti, tapi jauh lebih komprehensif.

Hemat saya, masalahnya justru terletak pada bagaimana memahami siapa contoh tunggal tersebut dan bagaimana menempatkannya pada tempat yang semestinya. Mengapa?karena ternyata contoh tunggal tersebut tunggal adanya dan ketunggalannya itu multi fungsi. Sebagai rasul, sebagai kepala negara, panglima perang, hakim yang memutuskan, dan mufti pemberi solusi berbagai permasalahan. Baik sebagai suami juga sebagai manusia biasa yang memiliki kelebihan. Lebih dari itu Allah menciptakan contoh itu hanya satu dan tak ada duanya. Logikanya, kalau di jamannya tidak ada manusia yang seratus persen sama seperti dia, maka sangat mustahil bila di jaman sesudahnya ada sosok manusia yang seratus persen seperti dia.

Kalau boleh digambarkan -untuk memudahkan pemahaman- contoh tersebut sosok manusia yang normal, lengkap dengan apa yang diciptakan Allah termasuk memiliki keinginan dan kecenderungan., maka boleh jadi ada manusia di jaman dahulu hingga sekarang yang banyak samanya seperti dia. Boleh jadi Si A mirip dengan teldan dalam berjalan, saat tersenyum, saat berjalan, sementara si B pada keteladanan yang lain, demikian seterusnya.

Dakwah Islam harus mengacu pada ketetapan Alquran secara mutlak. Sementara Alquran telah menetapkan keteladanan tunggalnya. Yakni mengikuti Rasulullah. Mengapa demikian? Karena ternyata akhlaq Rasulullah adalah Alquran seperti yang mashur diriwayatkan secara akurat dalam Alhadits. Pada waktu yang sama, Alquran telah menetapkan keberadaan umat Muhamad adalah umat yang tengahtengah (moderat) karena seluruh ajarannya dari A hingga Z sesuai dengan fitrah yang telah ditetapkan Allah. Firmannya dalam Surah Albaqarah ayat 143, dan demikian pula kami telah menjadikan kamu umat

yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul menjadi sakasi atas perbuatan kamu.

Beberapa Prinsip Etika Dakwah Berdasarkan itulah, ada beberapa prinsip yang harus dijadikan acuan etika dalam berdakwah. Pertama, memahami hakikat dakwah dan apa yang diajarkan dengan landasan ilmu yang benar. Hal ini sesuai petunjuk Alquran dalam surah Yunus ayat 108. Bahkan Ibnul Qayyim Aljauziyah ketika menjelaskan ayat 125 dari surat Annahl serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik ..dst dalam tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hikmah dan mauizhatil hasanah adalah ilmu sebelum berdakwah, berbelas kasih saat berdakwah, dan bersikap arif setelah berdakwah.

Kedua, etika dakwah yang juga sebagai prinsipnya adalah tidak memaksakan kehendak. Hal ini mengingat ketetapan Allah dalam banyak ayat Alquran surat Yunus ayat 99, dan jikalau Tuhanmu

menghendaki tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya.

Ketiga, jangan mempersulit masalah dan mengedepankan kemudahan. Hal ini ditetapkan Allah dalam firmannya di surah Albaqarah ayat 185, Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (AB)
Opini/Artikel | 01/05/07

http://arrahmah.org/index.j?m=Artikel.Lengkap&id=1

KEBANGKITAN PEMUDA ISLAM SUATU KEMAJUAN HARUS DIBIMBING BUKAN DILAWAN (4/6)
Oleh: Dr. Yusuf Qardhawi Indeks Islam | Indeks Artikel

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Etika Dakwah dan Dialog

Pada pembahasan ini, penulis akan memfokuskan pembicaraan pada beberapa inti etika berdakwah dan berdialog. Pertama, harus memelihara hak orang tua dan sanak kerabat. Tidak diperbolehkan menghadapi ayah, ibu, dan saudara dengan cara yang kasar. Seseorang tidak boleh memarahi mereka dengan tuduhan durhaka, bid'ah, atau menyeleweng dari agama. Mereka, khususnya kedua orang tua, mempunyai hak untuk diperlakukan secara lemah lembut. Allah SWT berfirman, "Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergauilah keduanya di dunia dengan baik." (Luqman: 15) Tidak ada dosa yang lebih besar daripada syirik, kecuali berupaya keras mengubah seorang mukmin menjadi musyrik. Meskipun hal tersebut diupayakan oleh kedua orang tua (terhadap anaknya), Allah SWT melarang sang anak menaati mereka dalam hal ini, namun Dia memerintahkan agar si anak tetap mempergauli orang tua dengan baik. Bila kita menyimak dialog Nabi Ibrahim a.s. dengan ayahnya yang dilukiskan dalam Al-Qur'an, kita akan mengetahui bagaimana etika seorang anak dalam berdakwah kepada orang tua, meskipun mereka musyrik. Maka apalagi jika orang tuanya seorang muslim yang banyak melanggar ketentuan syar'i, karena selain mempunyai hak sebagai orang tua, juga memiliki hak sebagai seorang muslim. Kedua, memperhatikan tingkat umur. Tidak seyogianya seorang da'i mengabaikan faktor perbedaan umur mad'u (penerima dakwah) dengan alasan bahwa Islam mengajarkan persamaan. Ia tidak boleh menyamakan gaya pembicaraan terhadap dua kelompok penerima dakwah yang berbeda. Misalnya, antara orang tua dan pemuda. Menyamakan penerima dakwah merupakan tindakan keliru, karena persamaan (egaliterianisme) yang diajarkan Islam adalah dalam masalah kehormatan manusia dan hak-hak asasi universal. Egaliterianisme ini tidak sampai menghalangi hak-hak tertentu yang harus dijaga seperti hak-hak sanak kerabat, rumah tangga, dan kepemimpinan. Salah satu ajaran etika Islam adalah yang kecil menghormati yang besar dan yang besar mengasihi yang kecil. Rasulullah saw. bersabda, "Tidak termasuk golonganku orang yang tidak menyayangi anak-anak, tidak menghormati orang tua, dan tidak mengenali orang yang berilmu." (HR Ahmad)

Terlepas dari takwil orang terhadap hadits tersebut, bahaya apa yang lebih besar daripada terlempar dari golongan Rasulullah saw.? Hadits ini diriwayatkan oleh Ahama dari Ubadah bin Shamit, isnadnya hasan dengan lafaz 'Laisa min ummatii', juga diriwayatkan oleh Thabrani dan Hakim. Hadist lain menjelaskan, "Di antara penghormatan kepada Allah adalah memuliakan seorang muslim yang telah lanjut usia." Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Musa dengan isnad hasan sebagaimana diterangkan dalam Taisiirul Manawi I:347. Ketiga, memelihara hak orang-orang terdahulu. Kita tidak boleh mengingkari orang-orang terdahulu yang banyak berjasa dalam berdakwah dan menebar ilmu ke seluruh lapisan umat Islam. Tak sepantasnya kita melupakan jasa-jasa mereka dan mencelanya setelah karya-karya mereka mulai kehilangan relevansinya dengan era kontemporer, atau karena sang tokoh tampak mulai lemah meskipun sangat kuat semasa jaya. Apa yang penulis utarakan ini bukanlah berasal dari penulis sendiri, melainkan telah dinyatakan oleh Rasulullah saw., yakni ketika Hatib bin Abi Balta'ah tergelincir ke arah pengkhianatan. Dia telanjur menginformasikan kepada musyrikin Quraisy mengenai persiapan dan kekuatan personil pasukan Islam di bawah komando Nabi saw. yang akan memasuki Mekah kembali, padahal Rasulullah saw. berusaha keras untuk bergerak secara rahasia. Reaksi Umar ibnul Khattab r.a. amat keras terhadap pembocoran informasi tersebut. Ia berkata, "Ya Rasulullah, biarkan aku memenggal lehernya, sebab dia benar-benar munafik." Akan tetapi, apa jawaban Rasulullah saw.? Pribadi agung ini bersabda, "Apakah kalian tidak menyadari, semoga Allah memperlihatkan kelebihan peserta perang Badar" dan Dia berfirman, "Lakukan apa saja yang kamu kehendaki, dan aku telah memaafkanmu." Rasulullah saw. memaklumi dan memaafkan kesalahan-kesalahan para pendahulu yang telah berjasa pada Islam, seperti yang dijelaskan dalam pembahasan ini. 5. Mengetahui Nilai Amal Hukum dan Susunannya Penulis berpesan kepada para generasi muda aktivis agar mulai berkonsentrasi pada satu bidang kbusus yang penting dari berbagai aspek pemahaman dalam Islam (tafaqquh fid-diin) yang mungkin mereka tidak memperhatikannya betapapun dalamnya gairah belajar mereka. Dengan demikian, kebaikan yang dijanjikan Allah dalam hadits berikut akan dicurahkan kepada mereka, "Barangsiapa yang Allah menghendaki baginya kebaikan, maka Dia akan menganugerahkan kepadanya pemahaman mengenai agama." (HR Bukhari) Bidang penting ini adalah bidang yang mempunyai kaitan dengan pengetahuan tentang nilai-nilai amal, hukum-hukum syar'i, dan pemeliharaan terhadap hukum-hukum itu pada proporsinya sesuai dengan tingkatan perintah dan larangan tanpa memilah-milah berbagai masalah yang hukumnya serupa dan menyamakan masalah-masalah yang hukumnya memang berbeda. Islam memberikan penilaian secara khusus terhadap setiap amal sesuai dengan dampak yang dilahirkan oleh amal tersebut terhadap jiwa manusia dan kehidupan, baik amal yang kita ketahui

maupun yang tidak. Sebaliknya, Islam juga memberikan tingkatan (ranking) terhadap hal-hal yang membahayakan sesuai dengan kadar bahaya dan pengaruhnya secara material maupun imaterial.
Tingkatan Hal-hal yang Diperintahkan

Tingkatan hal-hal yang diperintahkan dalam Islam adalah sebagai berikut. Pertama, hal-hal yang dianjurkan (mustahab) yaitu amal yang bila dilakukan akan disenangi Allah, namun tidak berdosa bila ditinggalkan. Kedua, hal-hal yang benar-benar disunnahkan (mu'akkad) yaitu amal yang biasa dilakukan oleh Rasulullah saw. dan hampir tidak pernah ditinggalkannya, namun beliau tidak menuntut sahabat mengamalkannya secara ketat. Di antara para sahabat ada yang meninggalkannya pada suatu waktu sehingga orang tidak mengklasifikasikannya sebagai amal wajib. Misalnya, Abu Bakar dan Umar bin Khattab pernah tidak menyembelih hewan kurban. Ketiga, hal-hal yang diwajibkan menurut sebagian mazhab, yaitu amal yang diperintahkan Allah SWT, tetapi perintah tersebut tidak sampai pada tingkat qath'i (pasti; yang hanya menerima satu interpretasi, --peny.). Keempat, hal-hal yang difardhukan (fardhu) yaitu amal yang kewajiban pelaksanaannya ditetapkan dengan qath'i dan tidak ada kesamaran di dalamnya. Bila amal itu dilakukan, Allah SWT menetapkan pahala bagi pelakunya, dan bila ditinggalkan, Allah akan menyiksanya. Orang yang meninggalkannya menjadi fasiq dan yang mengingkarinya menjadi kajur. Sebagaimana diketahui fardhu ada dua macam, yakni fardhu kifayah dan fardhu 'ain. Fardhu kifayah adalah fardhu yang bila telah dilakukan sebagian umat Islam, maka terbebaslah umat Islam seluruhnya dari dosa. Sedangkan fardhu 'ain adalah amal yang difardhukan kepada setiap orang Islam. Fardhu 'ain mempunyai tingkatan yaitu fardhu yang merupakan lima rukun dasar yang dikenal sebagai Rukun Islam (syahadat, shalat, zakat, puasa Ramadhan, dan haji bagi yang mampu) dan fardhu selain dari rukun tersebut yang telah dipastikan dari awalnya. Jenis fardhu yang disebut terakhir ini tetap difardhukan secara tegas dalam Islam. Islam mendahulukan fardhu 'ain dari fardhu kifayah. Oleh karenanya, dalam Islam, menghormati orang tua lebih didahulukan daripada jihad selama yang disebut terakhir ini dipandang sebagai fardhu kifayah (telah ada sebagian umat Islam yang melakukannya, --pent.). Dengan demikian, seorang anak tidak diperkenankan berjihad pada saat itu tanpa izin kedua orang tua sebagaimana telah dijelaskan oleh hadits-hadits Nabi saw. Fardhu 'ain yang berkaitan dengan masyarakat lebih didahulukan daripada yang berkaitan dengan hak individu. Misalnya dalam masalah jihad dan berbuat baik kepada kedua orang tua. Jika keadaan telah berkembang sedemikian rupa sehingga hukum jihad menjadi fardhu 'ain bagi

suatu komunitas muslim --misalnya bila para agresor kafir telah menginvasi wilayah Islam, maka jihad didahulukan daripada hak orang tua untuk ditaati dan diperlakukan dengan baik. Fardhu didahulukan daripada wajib, wajib daripada sunnah, dan sunnah muakkad daripada mustahabbah. Islam juga memprioritaskan kekerabatan sosial daripada kekerabatan individual. Ini karena Islam mengutamakan amal yang manfaatnya turut dirasakan orang lain ketimbang yang terbatas pada sang pelaku saja. Sehingga dapat dimengerti bila Islam mengutamakan jihad daripada ibadah individual, berilmu dan berpemahaman mendalam terhadap agama daripada beribadah, dan faqih daripada 'abid (ahli ibadah), serta memperbaiki amal yang bermanfaat besar daripada ibadah sunnah seperti shalat, puasa, dan sedekah. Islam juga mengutamakan perbuatan imam yang adil terhadap rakyat daripada ibadah-ibadah sunnah yang dilakukannya. "Sehari dari imam yang adil lebih utama daripada ibadah enam puluh tahun." (al-Hadits) Islam memprioritaskan perbuatan-perbuatan hati daripada perbuatan-perbuatan anggota yang zahir. Islam mendahulukan akidah daripada amal, dan menganggap akidah sebagai asas dan motor penggerak. Pada kajian ini penulis perlu mengemukakan kekeliruan yang dilakukan umat Islam pada masa kemundurannya untuk dijadikan pelajaran bagi kita, yakni sebagai berikut. 1. Meremehkan --dalam batas maksimal-- fardhu-fardhu kifayah yang berkaitan dengan umat Islam. Misalnya: melalaikan penguasaan sains dan teknologi, perindustrian, perang, ijtihad fikih, produk hukum, penyebaran dakwah Islam, dan memerangi bid'ah serta kezaliman. 2. Meremehkan sebagian fardhu-fardhu 'ain atau melaksanakannya tanpa disertai dengan nilainilainya. Misalnya dalam hal amar ma'ruf nahi mungkar. 3. Lebih memperhatikan sebagian rukun daripada rukun yang lain. Misalnya lebih memperhatikan puasa daripada shalat. Kita melihat, hampir tidak ada seorang muslim yang makan atau minum di siang bulan Ramadhan. Akan tetapi, tak sedikit di antara para shaimin itu yang bermalas-malasan mengerjakan shalat. Ada pula yang lebih menekankan shalat daripada zakat padahal Allah SWT sering menggandengkan keduanya (sekitar 28 kali) dalam redaksi ayat-ayat Al-Qur'an. Sampai-sampai sebagian sahabat berkata, "Barangsiapa yang tidak mengeluarkan zakat, maka tak ada shalat baginya." Bahkan Abu Bakar Shiddiq menegaskan, "Demi Allah, aku akan memerangi orang yang memisahkan shalat dan zakat."

4. Lebih memperhatikan sebagian ibadah sunnah daripada yang difardhukan dan diwajibkan. Misalnya yang dilakukan kelompok-kelompok tasawuf mutaakhirin yang memperbanyak zikir, tasbih, dan wirid, tetapi tidak menekankan perhatiannya pada kewajiban-kewajiban sosial, seperti menyingkirkan kejahatan dan melawan kezaliman sosial-politik. 5. Lebih memperhatikan ibadah-ibadah individual --seperti shalat, puasa, dan zikir-- daripada memperhatikan ibadah-ibadah sosial yang bermanfaat bagi orang banyak, seperti jihad, bertafaqquhfid-diin, dan melaksanakan pembangunan. 6. Mayoritas umat Islam menitikberatkan perhatian pada cabang-cabang masalah (furu') dan melupakan pokok-pokok (ushul) yaitu akidah, iman, dan tauhid, serta keikhlasan beragama karena Allah SWT semata.
Tingkatan Larangan-larangan

Segala sesuatu yang dilarang oleh Islam juga punya tingkatan dan derajat. Diantaranya: 1. Makruh tanzihiyah, yaitu sesuatu yang makruh dan kemakruhannya mendekati halal. 2. Makruh tahriman, yaitu sesuatu yang makruh dan kemakruhannya mendekati haram. 3. Musytabihat, yaitu sesuatu yang tidak diketahui (hukumnya) oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa tergelincir ke dalam perkara-perkara musytabihat ini maka telah tergelincir ke dalam hal yang haram. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan (ternaknya) dipinggir jurang, dikhawatirkan dia terjatuh ke dalamnya. 4. Haram, yaitu yang jelas (keharamannya) dan telah diterangkan dengan jelas oleh Allah dalam kitab-Nya dan dalam sunnah Rasul-Nya. Firman Allah swt: "Dan (Dia) telah menjelaskan bagi kamu sekalian apa-apa yang diharamkan atas diri kalian." (QS Al-An'am 119) Adapun yang haram ada 2 macam: Pertama, berupa dosa-dosa kecil. Kedua, berupa dosa-dosa besar. Dosa-dosa kecil dapat dihapuskan oleh shalat, puasa dan sedekah. (Sesungguhnya amal-amal yang baik itu dapat menghapuskan keburukan). Dan dalam sebuah hadits shahih disebutkan: "Shalat lima waktu, dan dari Jum'at ke Jum'at, dari Ramadhan ke Ramadhan, dapat menghapuskan (dosa-dosa) yang ada di antaranya, apabila dosa-dosa besar dijauhi." Adapun dosa-dosa besar tidak akan hilang dan terhapus kecuali dengan taubat yang lahir dari dalam lubuk hati yang dalam, diikuti dengan penyesalan, dan dibasuh dengan deraian air mata.

Dosa-dosa besar ada tingkatannya. Diantaranya adalah yang dikatakan Rasulullah saw sebagai "sebesar-besar dosa besar" yaitu syirik pada Allah. Dosa ini tidak akan diampuni selamalamanya kecuali dengan taubat. Allah berfirman: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) orang yang mempersekutukan-Nya dan akan mengampuni (dosa) selain yang demikian itu bagi siapa saja yang dikehendakinya." (QS An-Nisa: 116) Setelah itu derajat selanjutnya dari dosa besar adalah dosa-dosa lain yang telah disebutkan dalam hadits Rasulullah saw yaitu: durhaka, kepada kedua orang tua, kesaksian palsu, sihir, membunuh, makan riba dan makan harta anak yatim. Diantaranya kesalahan dan kerancuan yang terjadi pada kebanyakan manusia adalah: 1. Kebanyakan manusia lebih sibuk memerangi hal-hal yang makruh atau hal-hal yang syubhat daripada memerangi hal-hal yang haram yang telah mewabah. Sebagaimana mereka sibuk memerangi apa yang masih diperselisihkan antara kehalalannya atau keharamannya daripada (memerangi) hal-hal yang jelas diharamkan. 2. Banyaknya orang berpaling untuk meluruskan dosa-dosa kecil sementara dosa-dosa besar lagi membahayakan hidup manusia mereka lalaikan, tidak begitu diperhatikan. Seperti paranormal, sihir, dukun atau tukang tenung, menjadikan kubur sebagai masjid, nazar dan berkorban untuk orang mati, minta pertolongan pada orang mati dan dosa-dosa lain yang sejenis yang dapat mengotori kesucian akidah tauhid. (sebelum, sesudah)
Kebangkitan Islam dalam Perbincangan Para Pakar (As-Shahwatul Islamiyah Ru'yatu Nuqadiyatu Minal Daakhili) Penerbit GEMA INSANI PRESS Jl. Kalibata Utara 11 No. 84 Jakarta 12740 Telp. (021) 7984391-7984392-7988593 Fax. (021) 7984388

http://media.isnet.org/islam/Bangkit/Qardhawi4.html

Dakwah adalah suatu kewajiban yang telah Allah pesankan pada seluruh manusia. Tidak terbagi apakah dia laki-laki ataupun perempuan. Dakwah juga tidak terbatas oleh tempat dan waktu. Dakwah juga tidak dibatasi oleh wasilah yang digunakan untuk menyampaikan seruan Allah. Dakwah adalah kewajiban mulia yang dijalankan oleh para Nabi dan Rasul, lalu dilanjutkan oleh para pewarisnya dari kalangan para ulama dan kaum muslim semuanya. Dakwah pasti melibatkan wasilah (cara). Fakta masa sekarang menunjukkan, dakwah tidak hanya terjadi lewat wasilahkonvensional dan tradisional saja, melainkan sudah ramai terjadi dalam wasilah yang lebih kontemporer dan modern seperti lewat audio-video dan yang paling ramai adalah internet dan turunannya seperti forum mailing list, forum diskusi, forum jejaring sosial, messenger, chatting, blog dan website dan cara-cara yang lainnya. Sayangnya, banyak diantara wasilah-wasilah dakwah dan niat-niat dakwah yang baik ini akhirnya berubah menjadi sesuatu yang mudharat dan tidak bermanfaat. Saya sendiri secara pribadi merasa sedih dan kecewa ketika menyaksikan sebagian ummat muslim yang seharusnya lebih faham daripada sebagian yang lainnya akhirnya terjebak (mungkin tanpa sadar) aktivitas keharaman dalam wasilah modern internet ini. Oleh karena itu saya mencoba untuk menulis sebuah penjelasan tentang panduan-pamduan dakwah khususnya lewat media internet ini agar seorang muslim dapat lebih bijaksana dan syari dalam memanfaatkannya. Berdakwah di dunia maya tidaklah sama dibandingkan dengan dakwah di dunia nyata. Di dunia nyata kita mengetahui siapa objek dakwah kita secara langsung dan melihatnya secara fisik, terjadi kontak mata dan komunikasi dapat berlangsung secara hampir sempurna. Berbeda dengan dunia maya, yang kita tidak mengetahui objek dakwah kita dan kontak yang terjadi biasanya hanya lewat tulisan dan gambar. Karena itu bisa dikatakan dakwah di dunia nyata memiliki keterbatasan dibandingkan dunia nyata. A. Debat di dunia maya Dalam dunia maya, acapkali kita melihat diskusi atau debat yang terjadi dalam membahas suatu masalah. Memang betul, debat (jidal) adalah suatu cara untuk berdakwah dan itu diperbolehkan Allah swt, sebagaimana yang disampaikan-Nya dalam al-Quran Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik (QS an-Nahl [16]: 125) Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS alMujaadilah [58]: 1) Selain memperbolehkan wasilah debat atau diskusi ini, Allah dan rasul-Nya pun telah menentukan aturan-aturan dalam melakukan debat ini. Secara garis besar anjuran debat dalam Islam ini adalah: 1. Debat dilakukan dalam tataran ide yang sedang diperdebatkan Debat dilakukan dengan menyerang dan menjatuhkan argumentasi-argumentasi yang batil, lalu memberikan argumentasi-argumentasi yang jitu dan benar, berdasarkan kajian hingga sampai pada suatu kebenaran. Karena itu, seperti telah disebut, debat mengandung dua sifat, yaitu merobohkan dan membangun; menjatuhkan dan menegakkan argumentasi-argumentasi. Di antara teladan cara debat yang diajarkan al-Quran adalah:

Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan, orang itu berkata: Saya dapat menghidupkan dan mematikan. Ibrahim berkata: Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat, lalu heran terdiamlah orang kafir itu; (QS al-Baqarah [2]: 258) 2. Debat dilakukan dengan cara yang baik (ahsan) sebagaimana yang diperintahkan Allah Maksudnya dilakukan dengan menggunakan patokan yang sama, yaitu al-Quran dan al-Hadits. Bukan berpatokan pada pokoknya, atau katanya, ataupun dengan akal pikiran. Kalaupun menggunakan akal, maka haruslah dengan menggunakan pemikiran yang rasional, bukan persangkaan ataupun filsafat. Barangsiapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah berkata baik atau lebih baik diam (HR. Bukhari Muslim) Amma badu: sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk, adalah petunjuk Muhammad shallallahu alaihi wa sallam (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah) Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran (QS az-Zumar [39]: 23) Diriwayatkan daripada Ali bin Abi Talib katanya: Jika agama itu dibangun dengan akal pikiran tentu saja bagian bawah khuf lebih patut disapu daripada bahagian atas. Sesungguhnya saya melihat Rasulullah s.a.w. menyapu di bahagain atas khufnya. (HR. Abu Dawud) 3. Menghindari berkata yang buruk, keji, mencaci atau memaki individu Ketika berdebat, kita benar-benar harus mengingat bahwa yang kita debat adalah ide yang disampaikan, bukan individu yang menyampaikan, sehingga kita tidak boleh menyerang secara individual dan menggunakan kata-kata yang tidak mencerminkan keimanan kepada Allah. . Bukanlah seorang mukmin jika suka mencela, melaknat dan berkata-kata keji (HR. Tirmidzi) 4. Tidak mencari-cari perdebatan atau senang dengan perdebatan Al-Quran telah menjadikan debat sebagai salah satu cara dalam menyampaikan kebenaran Islam, tapi bukan berarti al-Quran memerintahkan kita untuk senang dalam berdebat atau mencari-cari perdebatan. Seorang mukmin seharusnya memahami bahwa perdebatan adalah salah satu bagian dari dakwah dan jalan terakhir dalam dakwah, bukan malah mengawali dakwah dengan perdebatan. Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar (QS al-Anfaal [8]: 46) 5. Perhatikan siapa yang menjadi partner debat/diskusi Pertama-tama kali yang harus diperhatikan adalah siapa partner debat atau diskusi kita, karena partner debat/diskusi seharusnya seseorang yang memang menginginkan dan mencari kebenaran, bukan hanya menyenangi debat atau menjadikan debat untuk memperolok-olok agama Islam.

: Tidak ada satu kaum yang tersesat setelah mendapat petunjuk, melainkan karena mereka suka berdebat Kemudian Rasulullah saw membaca ayat: Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar. [QS Az-Zukhruf [43]: 58] (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad) Selain itu, tidak semua manusia yang diseru dengan ayat-ayat al-Quran akan bertambah keimanannya, Allah memperingatkan bahwa ada juga yang justru bertambah kekafirannya ketika dibacakan ayat-ayat Allah. Maka ayat Allah tidak layak dibacakan untuk orang setipe ini. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir (QS at-Taubah [9]: 125) Dan bila sudah kita pastikan bahwa partner diskusi kita adalah termasuk orang munafik ataupun kafir yang memang bukan mencari kebenaran dalam debat dan diskusi, maka segeralah meninggalkan orang yang semacam ini lalu beristighfar pada Allah karena kita telah melakukan hal yang tidak bermanfaat. Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang lalim itu sesudah teringat (akan larangan itu) (QS al-Anam [6]: 68) Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan, maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam (TQS an-Nisaa [4]: 140) Maksud duduk bersama/beserta adalah berada dalam suatu forum, sehingga seolah-olah dengan adanya kita disitu menjadi legitimasi dalam proses memperolok ayat-ayat Allah. Imam asy-Syafii sendiri berkata perihal berdebat dengan orang semacam ini: Aku tidak mendebat ahli kalam kecuali sekali. Dan setelah itupun aku beristighfar kepada Allah dari hal itu. Sedangkan Imam Malik berkata: Termasuk merendahkan dan meremehkan ilmu jika seseorang membicarakan ilmu di hadapan orang yang tidak mentaati ilmu itu. Dan al-Auzai juga menyampaikan: Jika Allah menginginkan kejelekan pada satu kaum, maka Allah akan membuka atas mereka jidal, dan menghalangi mereka dari beramal. Daripada melayani orang semacam ini lebih baik kita beramal shalih. Ingat, meghabiskan waktu 30 menit untuk mendebat orang semacam ini berarti kita membuang kesempatan untuk

berdakwah selama 30 menit kepada orang yang mau mendengarkan. Lebih baik beramal daripada mendebat orang yang tidak ingin mencari kebenaran. 6. Perhatikan apa yang akan diperdebatkan/didiskusikan Seorang mukmin tidak akan menceburkan dirinya dalam perkara-perkara yang seharusnya tidak didiskusikan, dalam perkara yang tidak bermanfaat, dan juga dalam perkara-perkara yang tidak akan meningkatkan keimanan ketika mendebat/mendiskusikannya. Dalam berdiskusi, kita hanya boleh membahas hal-hal yang telah Allah perbolehkan untuk mendiskusikannya, dan menjauhi perkara yang telah dilarang atau dimakruhkan untuk mendiskusikannya. Termasuk perkara ini adalah mendebat Allah dan ayat-ayat-Nya. dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah, dan Dia-lah Tuhan Yang Maha keras siksaNya.(QS ar-Radu [13]: 13) Berdebat tentang al-Quran adalah kufur (HR. Ahmad Syakir) Selain itu, kita juga diperintahkan untuk jangan terlalu dalam dalam memperdebatkan sesuatu yang ghaib semacam takdir, eksistensi Allah dan yang semacamnya Diriwayatkan dari Nabi saw. beliau bersabda, Jika diperbincangkan tentang sahabatku maka hentikanlah, jika diperbincangkan tentang ilmu nujum maka hentikanlah, dan jika diperbincangkan tentang takdir, maka hentikanlah, (Hasan, lihat kitab ash-Shahihah [34]). 7. Tinggalkan perdebatan di forum-forum umum yang tidak terbatas Seperti yang telah disampaikan di atas, tujuan perdebatan adalah menegakkan yang benar dan menjatuhkan yang salah, atau sederhananya merubah dari yang buruk menjadi yang baik. Apabila perdebatan ini dilakukan di forum-forum umum ataupun wasilah umum yang dapat terlihat oleh publik, maka sesungguhnhya perdebatan semacam ini akan lebih banyak mudharatnya bagi yang lain, dan pasti akan menjadi perdebatan yang tidak berujung. Saat ini banyak kita liat, di forum-forum diskusi, wall facebook, milis ataupun yang lain, perdebatan yang tidak bermanfaat muncul. Dan dalam forum semacam ini tidak ada moderator yang memoderasi pendapat-pendapat yang muncul disitu. Sehingga semua jenis pendapat mulai dari yang benar dan salah bisa bercampur disitu dan tidak jarang terdapat makian, hasutan, penghinaan, provokasi dan lainnya yang jelas tidak akan membawa kebaikan dan manfaat bagi keimanan. Disitu pula terkadang emosi yang banyak bermain, dan ini dilihat oleh banyak orang dan menimbulkan suatu preseden buruk. Dan jelas hal-hal seperti ini menimbulkan mudharat dan haram hukumnya. Sedangkan kaidah fiqh menyatakan: wasilah (sarana) yang bisa mengantarkan ke keharaman maka wasilah itu haram. Maka berdebat di internet dalam forumforum umum dan bisa diakses semua orang tanpa moderasi adalah haram. Jika kita benar-benar ingin menasehati dan berdebat dengan ahsan, undanglah partner debat/diskusi kita untuk off air, kopi darat, lalu diskusikan dan debatlah dengan empat mata atau lebih, ini lebih baik daripada kita berdebat dan berdiskusi di forum umum maya. Walhasil, saya hanya ingin menyampaikan bahwa waktu kita terlalu berharga untuk mendebat orang-orang yang memang tidak ingin mencari kebenaran. Dan bila kita menemui komentarkomentar yang menyerang Islam di internet, janganlah terburu-buru untuk mendebatnya, karena itulah yang mereka inginkan. Bila kita menemui komentar apapun di internet, maka ada dua pilihan: 1) bila kita suka kita baca dan amalkan, 2) bila kita tidak suka tutup saja.
http://at-tohir.blogspot.com/2011/06/etika-dakwah-dunia-maya-part-1.html

23 Juni 2011

Senin, 25 April 2011


Etika Dakwah

BAB I PENDAHULUAN
Dakwah adalah upaya merubah dan mentranformasi manusia dari dzulumat (non Islam) kepada nur (Islam) agar mereka menjadi hamba Allah dalam ranah kehidupan individual dan komunalnya (keluarga, masyarakat dan negara). Tentu hal ini merupakan pekerjaan yang cukup berat sehingga wajar jika pahala orang yang berdakwah di jalan Allah sangat istimewa1 dibanding dengan amal- amal lain karena memang dakwah merupakan amal yang memerlukan ilmu dan amal sekaligus ijtihad dalam menentukan arah dakwah agar tetap berada di atas jalan kebenaran. Terlebih tantangan dakwah dari masa ke masa semakin akseleratif, baik dari sisi kualitas ataupun kuantitasnya, masih kurang sepadan dengan para daiyah yang terjun ke medan dakwah dengan segala kapasitas ilmu yang dimilikinya dimana jika saja dihadapkan dengan problematika dakwah maka sikap yang muncul seringkali mengedepankantasahul dantathorruf, kurang mempertimbangkan fiqh wahyi (alQuran dan al-Sunnah) dan atau fiqh waqi (realitas dakwah madu)2. Sikaptasahul dalam dakwah artinya menganggap gampang segala permasalahan dakwah tanpa mengindahkan niali-nilai kemaslahatan sebagai tujuan dari syariat agama Islam, dilakukan sambil lalu tanpa managemen sama sekali. Sementaratathorruf artinya sikap berlebihan dalam melihat permasalahan dakwah sehingga kemaslahatan syariatpun menjadi sempit maknanya. Hal ini terjadi karena para daiyah tidak memahami fiqh wahyi atau fiqh waqi dengan baik. Upaya memadukan fiqh wahyidan fiqh waqi inilah sebenarnya yang dalam lapangan dakwah disebut fiqh dakwah3 dimana kaidah-kaidahnya dapat ditarik dari ushul fiqh sebagai kaidah yang menjadi rambu-rambu dalam fiqih sebagai amaliah praktis. Bertolak dari hal inilah, penulis melihat bahwa para dai perlu untuk mengembangkan kaidahkaidah fiqh yang menjadi acuan para ahli fiqh (fuqaha) dalam berijtihad dapat diselaraskan dengan lapangan amal dakwah karena keduanya merupakan dua sisi yang ekleptis satu dengan yang lainnya memiliki keterkaitan yang erat.

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah Dakwah Kaidah dakwah terdiri dari dua kata yaituk a ida h danda k wa h. Menurut bahasa kaidah adalah serapan dari bahasa Arab yang artinya al-asas (dasar dan asal, baik bersifat materil ataupun immateril)4. Ia adalah ism mufrad (kata benda tunggal) dan bentuk jamaknya adalahqawaid. Pengertian ini dapat kita lihat dalam firman Allah Swt : Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar- dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan Kami terimalah daripada Kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui"5. Sedangkan menurut istilah al-Jurjani menjelaskan bahwa kaidah adalah hukum-hukum umum yang berlaku pada bagian- bagiannya6. Hukum umum tersebut diletakan untuk membatasi hukumhukum pada bagian-bagian khususnya agar tidak terlepas dan keluar darinya. Batasan ini hampir sama seperti yang disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mendefinisikan kaidah sebagai rumusan asas yg menjadi hukum atau aturan, patokan dan dalil yg sudah pasti7. Sementara dakwah, menurut bahasa adalah masdar marroh dari kata daa yadu dawatan yang artinya berkutat seputar permohonan, ajakan, seruan serta anjuran terhadap suatu perkara8. Dalam alQuran kata dakwah disebutkan untuk ajakan kepada kebaikan (haq) dan keburukan(batil). Dakwah yang digunakan untuk ajakan kepada kebaikan kita dapatkan dalam ayat al-Quran yang artinya: Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya dan doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka9. Sedangkan kata dakwah yang digunakan untuk ajakan kepada keburukan adalah : Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku Termasuk orang-orang yang bodoh10." Penggunaan kata dakwah dalam dua pengertian ini juga kita dapatkan dalam sabda Rasulullah Saw yang artinya: Barang siapa menyeru kepada petunjuk (Allah), maka baginya pahala seperti pahala-pahala orang yang mengikutinya, pahala tersebut sedikitpun tidak mengurangi pahala mereka, dan barang siapa menyeru kepada kesesatan maka baginya dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya, dosanya tersebut sedikitpun tidak mengurangi dosa-dosa mereka 11. Sedangkan menurut istilah, dakwah adalah upaya seorang daiyah atau beberapa daiyah dalam mengajak manusia kepada Islam dengan cara-cara tertentu sehingga mereka mengingkari thagut dan beriman kepada Allah12.

Merujuk kepada dua pengertian di atas, dapat didefinisikan bahwa kaidah dakwah adalah hukum atau aturan yang menjadi pedoman bagi dai dalam mengajak manusia melakukan kebaikan dan menjauhkan dari keburukan. B. Urgensi kaidah Dakwah Karena objek dakwah itu manusia, tentu selaiknya ia dipahami secara utuh dikarenakan dakwah adalah aktifitas mengajak manusia baik umat istijabah (umat seagama) ataupun umat dakwah (umat beda agama)13. Dengan dakwah diharapkan umat istijabah dapat berubah dari kondisi buruk kepada baik atau dari baik kepada yang lebih baik. Sedangkan dakwah kepada umat dakwah diharapkan mereka dapat mengimani Allah Swt dengan sebanar-benar iman dan meninggalkan unsur-unsur syirik yang akan dapat membatalkan keimananannya . Memahami dakwah dengan utuh ini tidak akan tercapai jika para dai tidak mengetahui ramburambu yang harus dipatuhi selama berlangsungnya aktifitas dakwah tersebut. Dakwah yang dilakukan setiap dai sejatinya dibatasi dengan kaidah-kaidah agar tercipta keselarasanwasilah (perantara) danghoyah (tujuannya), jangan sampai dakwah yang dilakukan termasuk kategori al- Ghoyah tubarrir al-Wasilah sebagai derivasi kaidah ushul fiqh lil wasail hukm al-maqashid14, yang dalam bahasa dakwah artinya demi tujuan dakwah segala perantara menjadi sah dilakukan meski secara hukum dilarang. Hal ini menuntut upaya penyelarasan antara kaidah-kaidah ushul fiqh dengan lapangan dakwah. Seluruh upaya dakwah harus dikoridori kaidah-kaidah dakwah yang secara substansial dapat ditarik derivasinya dari kaidah-kaidah ushul fiqh sebagai kumpulan kaidah-kaidah umum yang digunakan untuk melakukanistinbath (mengambil kesimpulan) hukum-hukum syariat dari dalil-dalil al-Quran dan al-Sunnah yang terperinci. Sebagaimana seorang Ulama Fiqih tidak dapat berijtihad dalam beberapa amaliah praktis yang dihadapinya jika ia tidak memiliki kecakapan khusus terkait dengan kaidah-kaidah ushul fiqh, begitupun dengan seorang daiyah tidak dapat melakukan dakwah dengan baik jika seandainya ia tidak memiliki ilmu tentang kaidah- kaidah dakwah yang dapat menyelamatkan perahu dakwahnya kepada tujuan yang dikehendakinya. Syaikh Jumah Amin berkata : Kita harus mengembangkan kaidah-kaidah ushul fiqh dari lingkup hukum-hukum syariat yang bersifat amaliah ke lingkup dakwah secara umum, agar setiap dai mampu membekali diri dengan kaidah-kaidah dan tolok ukur yang menentukan dakwahnya, sehingga tidak menyimpang dari manhaj yang benar15. Singkatnya, urgensi kaidah-kaidah dakwah adalah sebagai batasan atau rambu-rambu baku yang dapat menjadi pedoman dakwah bagi setiap dai agar dakwahnya tetap berada dalam manhaj yang benar tidak tasahul dan atau tathoruf apalagi masuk pada kategori dakwah ala bab jahanam yang disebut dalam hadis Khudzaifah ibn Yaman16 yang terkadang tidak disadari bahwa dakwahnya justru akan merugikan Islam yang berujung pada dakwah yang gagal dan tidak menuai hasil gemilang17.

C. Kaidah-Kaidah Dakwah

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa kaidah-kaidah dakwah dibangun di atas kaidah-kaidah ushul fiqh agar dapat bersesuaian dengan tuntutan-tuntutan amal ibadah praktis, karena dakwah dilakukan agar madlu dapat melakukan tuntutan-tuntutan agama di atas dasar pemahaman aqidah yang benar.Tuntutan-tuntutan agama (takalif syariyah) tersebut tujuan akhirnya adalah terwujudnya kemaslahatan (hayatan thoyyibah), yaitu kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan pokoknya (dharuriyah) dan memenuhi kebutuhan sekunder (hajiyah) serta kebutuhan pelengkap ( tahsiniyah)18. Kemaslahatan ta hs iniy a h tidak dipelihara jika dalam pemeliharaannya terdapat kerusakan bagihajiyah.Hajiyah dan tahsiniyah tidak berarti dipelihara jika dalam pemeliharaan salah satunya terdapat kerusakan bagi dha ruriy a h. Kemaslahatan inilah yang menjadi tujuan syariat-syariat Islam secara keseluruhan, dan fatwa-fatwa hukum yang mucul dari para mufti pun harus selalu mengacu kepada konsep masalahat ketiganya, dengan tetap memperhatikan ketepatan dalam menghukumi suatu perkara amaliah praktis tersebut19. Ada beberapa kaidah Ushul fiqih20 yang dapat di- implementasikan dalam lapangan dakwah yaitu sebagai berikut: 1. Al-Dhararu Yuzalu Syaran (bahaya itu menurut syara harus dilenyapkan). 2. Al-Dhararu La Yuzalu Bi Al-Dharari ( Suatu bahaya tidak boleh dilenyapkan dengan bahaya yang sama). 3. Yuhtamalu al-Dhararu Al-Khash li Dafi al-Dharar al-Am (bahaya yang bersifat khusus boleh dilakukan untuk mencegah bahaya yang bersifat umum) . 4. Yurtakabu Akhoff al-Dhararain li Ittiqai Asyaddihima ( Yang lebih ringan diantara dua bahaya boleh dilakukan untuk menjaga dari yang lebih membahayakan). 5. Dafu al-Madharri Muqaddamun ala Jalb al-Manafi (menolak bahaya itu harus didahulukan dari pada menarik manfaat). 6. Al-Dharuratu Tubihu al-Mahdhurat (keterpaksaan membolehkan dilakukannya hal-hal yang dilarang). 7. Al-Dharuratu Tuqaddaru Biqadariha ( keterpaksaan diukur dengan tingkat keadaannya). direspon madlu tidak berarti gagal. Berbeda jika dakwah yang dilakukan kurang maksimal dalam mempertimbangkan wasail dan maqashidnya maka kegagalan dakwah dapat terjadi karenanya. 8. Al-Masyaqqatu Tajlib al-Taisir ( Kesulitan membawa kemudahan). 9. Al-Haraju Syaran Marfu ( menurut syara kesulitan itu harus dihilangkan). 10. Al-Hajatu Tanzilu Manzilat al-Dharurati Fi Ibahat Mahdhurat ( Kebutuhan-kebutuhan dapat menempati posisi keterpaksaan dalam kebolehan melakukan yang haram). Dan kaidah-kaidah lain yang dapat kita baca dalam buku-buku ushul fiqih dimana semuanya dapat kita kembangkan untuk kemudian menjadi pedoman atau standar dalam berdakwah. Syaikh Jumah Amin mencoba mengembangkan kaidah-kaidah ushul fiqih tersebut dalam kerangka dakwah setelah sebelumnya mengaplikasikan kaidah-kaidah tersebut dalam lapangan dakwah, beliau merumuskan sepuluh (10) kaidah yang dapat kita pedomani saat berdakwah sebagai berikut :

1. Al-Qudwah Qabl al-Dakwah (Menjadi Teladan Sebelum Berdakwah) Pepatah Arab mengatakan Lisan al-Hal Afshah Min Lisan Al-Maqal (bahasa kenyataan lebih fasih daripada bahasa lisan)21. Dalam lingkup dakwah kenyataan ini benar adanya, hal itu dikarenakan dakwah adalah upaya mengajak manusia untuk melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan sesuai petunjuk agama. Tentu hal ini akan cepat mendapatkan respon atau pengaruh besar ketika kepribadian positif seorang dai dan keluarganya lebih dulu mewujud sebelum orang lain. Untuk itulah al-Quran menyindir setiap dai yang sering mengajak orang lain untuk berbuat baik, namun dirinya tidak melakukan kebaikan tersebut sebagai sesuatu yang aneh, bahkan Allah menyebut orang tersebut sebagai tidak berakal. Allah berfirman yang artinya: (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?22. Oleh karena itu, Allah Swt sangat benci terhadap orang- orang seperti ini, Allah berfirman yang artinya: Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan23. Berkaca kepada dai pertama, Nabi Saw, sebelum berdakwah ia telah menunjukkan kepribadian baik kepada orang-orang kafir quraisy sehingga dikenal sebagaial-Amin (jujur dan terpercaya), termasuk kepribadian baik istri dan anak-anaknya, sehingga wajarlah jika dakwahnya mendapatkan sambutan bagus dari banyak pihak dalam jangka waktu yang relatif singkat, Beliau mampu merubah kiblat peradaban manusia yang sebelumnya kepada Romawi dan Persia menjadi berkiblat ke Arab. Untuk itulah Al-Quran menyuruh kita untuk mengambil qudwah (teladan) kepada Nabi Saw : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah24. 2. Al-Talif Qabla al-Tarif (Mengikat Hati Sebelum Mengenalkan) Objek dakwah adalah manusia dimana sikap dan perbuatannya ditentukan oleh kondisi hatinya. Hati adalah penentu fisik untuk dapat bergerak merespon pihak luar. Nabi Saw bersabda: Ketahuilah, sesungguhnya pada setiap jasad terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka baiklah seluruh jasad itu. Tapi jika segumpal daging itu buruk, maka buruk pulalah seluruh jasad itu. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati25. Ustadz Hidayat Nurwahid berkata : Dawatuna Hubb, Wa bihi naftah al-Qulub. Idza Fatah alQulub fatah al-Uqul wa al-Juyub ( landasan dakwah kita cinta, dengan cinta itulah kita membuka hati manusia, jika hati manusia itu telah terbuka maka terbukalah akal pikiran dan kantong-kantong)26. Artinya seorang dai harus berusaha menumbuhkan simpati, empati dan selalu menjalin hubungan saling mencintai dengan madunya, bahkan hal ini merupakan keniscayaan dakwah.

Jika kita amati dakwah Nabi Saw akan kita dapati bahwa beliau selalu mengedepankan empati, simpati, persuasi, lemah lembut dan tidak kasar dalam berinteraksi dengan orang-orang beriman. Allah berfirman yang artinya: Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin27. Al-Quran menjelaskan bahwa keberhasilan dakwah Nabi Saw adalah karena sikap empati yang cukup besar dari Nabi kepada orang-orang kafir, sehingga mereka sangat familiar dengannya. Al-Quran menggambarkannya dalam firman-Nya yang artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.28 3. Al- Tarif Qabla Al-Taklif (Mengenalkan Sebelum Membebani) Kesalahan dakwah terbesar adalah membebankan suatu amalan kepada madhu sebelum diajarkan dengan baik. Baik beban suatu amal yang hukumnya wajib ataupun sunat. Karena dakwah itu tegak di atas landasan ilmu dan dalil yang jelas, dan bukan doktrin-doktrin yang membabi buta. Allah berfirman yang artinya: Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik"29. Ketika seorang dai membebankan suatu amalan sebelum dipahamkan, maka akan muncul konsekuensi penolakan terhadap dakwahnya dan atau menjadikan madhu selalu ta qlid, menerima apa adanya meski mereka belum mengetahui dasar amalan tersebut hingga akhirnya mereka menjadi orang yang taqlid buta (muqallid ama). Di samping itu, mengenalkan Islam secara utuh akan menangkal setiap kesalahan ajaran yang dikembangkan oleh orang-orang yang fobi terhadap Islam dan akan menjadikan madhlu selalu beramal atas dasar ilmu, sbegaimana disebut imam Al-Bukhari al-ilmu qabla al-qauli wa al-amal30. 4. Al-Tadarruj fi Al-Taklif(Bertahap Dalam Membebankan Suatu Amal) Manusia memiliki tingkatan yang berbeda-beda, baik dari sudut latar belakang pendidikan ataupun kondisi sosial yang melahirkannya. Oleh karena itu, dakwah kepada manusia dengan ragam tipologinya itu tentu mengonsekuensikan perbedaan dakwah yang dilakukan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Saw :

Kami diperintah untuk berbicara kepada manusia sesuai dengan tingkat berfirkir mereka31. Karena manusia itu bertingkat dan berkelas-kelas, maka dakwah yang dilakukan kepada masingmasing kelas itu juga harus sesuai, dengan cara itu maka tidak ada dakwah yang disajikan kepada semua orang dengan cara dan model yang hantam kromo (disamaratakan) karena hal itu akan membuat madhu menjadi malas dan bahkan kemudian ia tidak lagi tertarik dengan Islam. Dasar yang menjadi dalil kaidah ini adalah bahwa al- Quran turun kepada Nabi Saw dengan bertahap (tadarruj)32, disesuaikan dengan kondisi madhu yang belum memiliki kesiapan penuh untuk menerima ajaran Islam. Di samping itu, tadarruj dalam suatu gerak kehidupan adalah sunnatullah pada semua mahluk33. 5. Al-Taisir La al-Tasir (Memudahkan Bukan Menyulitkan) Salah satu karakteristik agama Islam adalah mudah, tidak menyulitkan. Demikian firman Allah Swt yang artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur34. Di samping itu Nabi Saw bersabda : Permudahlah dan jangan kamu persulit, gembirakanlah dan jangan membuat mereka berlari 35. Setiap dai harus mengetahui bahwa setiap hukum dalam syariat Islam baik perintah ataupun larangan- bertingkat-tingkat. Ada perintah ibadah yang hukumnya wajib ain yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap individu dan ada juga perintah yang hukumnya wajib kifayah dimana cukuplah sebagian orang untuk melakukan kewajiban tersebut36. Di samping itu ada perintah lain tapi tidak sampai kepada batasan wajib yaitu sunnat saja. Sunnat pun ada yangmuakadah yang ditekankan untuk dapat dilakukan, menyerupai hukum wajib, dan ada pula yang ghoir muakkadah yang tidak terlalu ditekankan. Demikian juga terkait dengan larangan, ada yang hukumnya haram sebagai larangan keras, ada pula larangan yang tidak terlalu keras yang disebut dengan ma k ruh37. Perintah dan larangan ibadah dalam Islam dapat dipastikan mudah untuk dilakukan, dan jika berada dalam kondisi yang sulit maka perintah tersebut menetapkan pilihan-pilihan yang dapat dilakukan sebagai penggantinya. Namun, bukan berarti perintah ibadah tersebut dapat se- enaknya diganti dan dirubah atas dasar kaidah ini, karena yang dimaksud adalah bahwa agama ini meski ia sebagai perintah ibadah namun tetap didasarkan kepada kemampuan manusia sebagai mukallafnya. Allah berfirman yang artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya38.

Dai yang tidak mengetahui tingkatan hukum syariah dapat dipastikan dakwahnya akan membuat madu lari dan merasa sulit untuk dapat melakukan suatu amalan, karena semuanya dianggap sama dalam tingkatan hukum. 6. Al-Ushul Qabla Al-Furu ( Perkara Pokok Sebelum Perkara Cabang) Yang dimaksud dengan a l-Us hul dalam Islam adalah masalah-masalah pokok yang terkait dengan keimanan dan komitmen dengan syahadatain (Laa Ilaaha Illa Allah, Muhammad Rasulullah) yang akan merubah cara pandang dan sikap hidup seorang muslim secara total. Masalah ushul inilah yang menjadi sentral bahasan Nabi pada peroide dakwah di Mekah selama + 13 tahun39. Dan tugas pokok setiap Nabi dan Rasul yang diutus Allah kepada manusia adalah untuk memahamkan ushul ini, demikian Allah berfirman: Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", Maka di antara umat itu ada orang- orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)40. Sedangkan yang dimaksud dengan a l-furu adalah masalah-masalah cabang yang bersifat amaliah praktis dimana ikhtilaf seringkali terjadi karena terdapat pandangan fiqih yang berbeda terhadap nash, baik dari sisi kualitas ataupun kuantitas orang yang memahaminya. Berbeda dengan ushul, ia adalah masalah-masalah pokok agama yang sebagian besar temanya tidak diperselisihkan41. Rasulullah Saw ketika mengutus Muadz bin Jabal untuk berdakwah kepada penduduk Yaman, Nabi Saw bersabda : Hendaklah materi pertama yang disampaikan kepada mereka adalah syahadatain42 Dakwah yang dilakukan mesti memegang kaidah ini, jangan sampai isu-isu agama yang sifatnya furu menjadi ushul, atau yang sifatnya furu merusak ushul hanya karena perbedaan pandangan. Inilah yang dimaksud dengan fiqh aulawiyat dalam dakwah dimana seorang dai harus selalu memahami masalah-masalah ushul dan furu dalam agama agar ia mampu mengarahkan umat secara proporsional. Dai yang tidak memahami masalah-masalah ushul dan furu ini akan menjadikan dakwah tidak lagi menuai maslahat, bahkan ia akan melahirkan kontra produktif bagi dakwah itu sendiri. Karena ushul harus lebih didahulukan dari pada furu karena furu akan dapat dilaksanakan dengan baik dan benar ketika ia berpijak pada ushul yang baik dan benar pula. 7. Al-Targhib Qabla Al-Tarhib (Memberi Harapan Sebelum Ancaman) Islam memuatta rghib (harapan) danta rhib (ancaman), hanya saja ada beberapa madhu yang bisa lari dari dakwah ketika selalu dihadapkan oleh dai kepada t a rhib, sehingga dakwahnya terlihat menakutkan. Padahal dakwah itu selaiknya menjadikan madu akrab dengan Islam, dan salah satu pedoman untuk dapat mengakrabkan dai kepada Islam adalah mengarahkan madu untuk dapat

memahami hal-hal targhib (kabar gembira dan harapan) sebelum tarhib. Mengambil teladan dari dakwah Nabi Saw yang selalu mempedomani kaidah ini secara proporsional, memperlakukan para sahabat dengan penuh kasih sayang dan memberikan motivasi kuat agar bersemangat dalam beramal dan tidak berputus asa karena Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Seperti cerita seorang pembunuh yang telah membunuh 99 manusia yang ingin bertaubat yang cerita hidupnya diakhiri dengan kesalehan meski ia belum sempat beramal43. Seorang dai harus selalu memberikan semangat kepada madunya untuk dapat beramal, dan jika ia melakukan dosa harus diberi harapan besar bahwa Allah selalu membuka pintu tobat bagi siapa saja, dengan cara itu dakwah insya Allah- akan menuai hasil yang diharapkan. 8. Al-Tafhim La al-Talqin(Memberikan Pemahaman Bukan Mendikte) Dakwah adalah upaya merubah dan mentransformasi manusia untuk dapat melakukan tuntutan ajaran Islam. Untuk dapat merealisasikan itu, seorang dai harus selalu memahamkan ajaran Islam itu secara baik agar dapat diamalkan atas dasar kepahaman dan bukan keterpaksaan. Itulah makna dakwah ala bashirah dan hujjah44. Dakwah ini harus dapat memahamkan madu terlebih dahulu dengan ajaran Islam yang benar, memperhatikan kondisi madunya dengan baik dari sisi latarbelakang pemahamannya. Dakwah yang mendikte madu untuk melakukan suatu amalan tanpa ada proses pemahaman sebelumnya, akan menyebabkan dakwah menjadi kurang atau bahkan tidak direspon dengan baik. Hal itu dikarenakan Islam adalah ajaran yang memerintahkan umatnya untuk beramal atas dasar ilmu. Allah Swt berfirman yang artinya: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya45. 9. Al-tarbiyah La Al-Tariyah (Mendidik Bukan Menelanjangi) Menjaga kehormatan adalah termasuk dari tujuan syariat Islam, oleh karena itu dakwah harus selalu berupaya memberikan didikan yang baik kepada madunya, tidak menelanjangi setiap ada hal-hal yang tidak bersesuaian dengan agamanya. Tapi bukan berarti seorang dai diam di hadapan kemaksiatan madunya yang melakukan kemaksiatan, karena kemaksiatan harus selalu dihilangkan, hanya saja cara menghilangkan kemaskiatan itu tidak sampai menelanjangi madu, terlebih dilakukan dihadapan khalayak. Dalam hal ini Nabi Saw bersabda : Siapa yang menutupi aib seorang muslim, Allah akan menutupi aibnyua di dunia dan di akhirat 46. Al-Quran memberikan petunjuk cara meniadakan kemungkaran denganhikmah (arip dan bijaksana), mauidzah hasanah (nasihat-nasihat yang baik) dan jika seandainya harus berdebat, maka ia dilakukan dengan cara yang baik (mujadalah bi al-husna), Allah Swt berfirman yang artinya:

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk 47. 10.Tilmidzu Imam La Tilmidzu Kitab (muridnya Guru bukan Muridnya buku) Guru adalah nara sumber ilmu pengetahuan yang menjadi ayah psikologis, syaikh dalam tarbiyah, komandan dalam hal kebijakan-kebijakan dalam lapangan dakwah48. Ada banyak hal khusus yang dapat kita harapkan dari guru yang tidak didapatkan dari buku, yaitu berkah dan doa. Berkah karena keikhlasan hubungan antara murid dan guru diikat dalam kebutuhan keilmuan dan akhlak. Di samping itu guru akan membentuk kepribadian murid secara maksimal. Tentu hal ini berbeda dengan buku yang hanya bersikap diam dengan orang yang membacanya. Dalam bahasa Ulama Qiroat al-Quran dan Hadits talaqqy adalah salah satu cara belajar yang baik, karena pemahaman seseorang dibatasi oleh kondisi-kodisi tertentu sebelumnya, sementara buku yang telah dikaji sebelumnya oleh seseorang dihadapan guru, pasti lebih utuh dipahami. Cara belajar seperti ini, dapat dilihat dari cara yang dilakukan oleh para sahabat yang belajar al-Quran kepada Nabi Saw, meski mereka orang Arab asli yang bahasanya belum banyak terkontaminasi, namun tetap saja mereka berguru kepada Nabi untuk memahami ayat-ayat al-Quran dan cara yang benar dalam membacanya49.

BAB III PENUTUP


Kaidah-kaidah dakwah di atas adalah merupakan ijtihad dari Syaikh Jumah Amin yang diambil dari kaidah-kaidah ushul fiqih, kemudian pemahaman terhadap kaidah ushul fiqih itu dipadukan dengan pengalaman dakwahnya di lapangan. Sebagai ijtihad seorang dai tentu akan dihadapkan dengan ijtihad lain yang kontra terhadapnya. Terlepas dari kaidah-kaidah yang antitesif dengannya, sesungguhnya dakwah yang dilakukan setiap dai harus selalu mengacu kepada kaidah-kaidah dasar dakwah yang nilai-nilai dasarnya telah ditetapkan Al-Quran dan Al-Sunnah. Hal itu dilakukan agar dakwah yang dilakukan tidak kabur dan malah menghantarkan dakwahnya menjadi ta t h orru f danta sa hul. Kenyataan di lapangan dakwah, ada beberapa dai yang melakukan dakwah dengan tidak memperhatikan kaidah-kaidah dakwah ini, dilakukan seadanya, saklek tanpa memadukan antara materi dakwahnya sebagai fiqih wahyu dengan materi lain yang secara substantif tidak kontradiksi dengan nilainilai yang ditetapkan dalam nash-nash aL-Quran dan al-Sunnah, yaitu fiqih al-waqi. Karena dakwah yang dilakukan Nabi juga tidak terlepas dari perpaduan antara kebenaran wahyu dengan ketepatan

strategi dalam melakukan transformasi individual dan sosial menuju keadaan yang lebih baik. Wallahu Alam

DAFTAR PUSTAKA 1. Al-Quran dan Terjemahnya, DEPAG RI, 2000 2. Abu Abdullah al-Qazwiny, Sunan Ibn Majah, Beirut : Dar el-Fikr, 1424 H 3. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Mesir : Dar Thauq an-najah, 1422 H 4. Ali al-Jurjani, a l- Ta rifa t , Beirut : Dar al-Kitab al-Araby, cet. Ke-1 5. Al-Nawawi, Riyad al-Shalihin, Cairo : Dar al-Taqwa, 1428 H 6. Al-Syatibi,a l-M uwa fa qa t , tahqiq Abu Ubaidah Ali Salman, Dar Ibn Affan: Riyad, 1427/1997 7. Al-Raghib al-Asfahani, al-Mufrodat fi Gharib al-Quran, hlm 406 dalam Maktabah Syamilah, versi 3.2 8. Hasan al-Atthor, Hasyiah al-Athhor ala Jami al-Jawami, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1420/1999 9. KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA dalam http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php 10. Miswan Thahadi, Quantum Dakwah dan Tarbiyah, Jakarta: Al- ITishom, 2008 11. Misbach Malim,Lc.Msc, Shibghah Dakwah, Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indoensia,2008 12. Muhamad bin Abd al-Wahab, al-Qaul al-Sadid Syarh Kitab al-Tauhid, Saudi Arabia: Kementerian: Departemen Agama dan Dakwah Saudi, 1421H 13. Muhamad Rasyid Ridha, Majalah Al-Manar (dalam Bab al-Masalah al-Syarqiyyah), Juz 14 14. Muhamad Fuad Abd Al-Baqy, al-Lulu Wa al-Marjan, Beirut : Dar el-Fikr, 2001, 15. Muhamad Amin Jumah, Al-Dakwah Qawaid Wa Ushul, Cairo : Maktabah misriyah, 1997 16. Muhamad al-Jizani, Maalim Ushul al-Fiqh Inda Ahl al-Sunnah Wa al-Jamaah, Madinah:Dar Ibn al-Jauzi, 1427 H 17.Muhamad Al-Razi, Mukhtar al-Shihah, Maktabah Libnan : Beirut, 1415/1995 18. Shafy al-Rahman al-Mubarakfury, al-Rahiq al-Makhtum, Madinah: Dar Ibn al-Jauzi, 1427 HTaj al-Din AlSubki, Al-Asybah wa al-Nadzair, Syria : Dar al-Kutub al-ilmiyah, 1411/1991 19. Zakaria al-Bakistany, Min Ushul al-Fiqh Ala manhaj Ahl al-Hadits, Madinah : Dar al-Kharraz, 1423/2002

20. http://www.scribd.com/doc/27696424/Kaidah-Dakwah http://jakabillal.blogspot.com/2011/04/etika-dakwah.html

Anda mungkin juga menyukai