Anda di halaman 1dari 22

Etos Kerja / Filosofi

kerja
Filosofi Kerja
Makhluk hidup tak terbilang banyaknya
Aku berikrar akan menyelamatkan mereka
Hawa Nafsu Tiada habis habisnya
Aku berikrar memadamkannya
Pintu Dharma yang tiada batasnya
Aku berikrar utk memasukinya
Jalan Buddha tiada bandingnya
Aku berikrak utuk merealisasikanya
Ikrar Bodhisattva
Keempat ikrar tersebut menunjukkan komitmen untuk menghargai semua bentuk
kehidupan , memadamkan hawa nafsu, terus - menerus mempelajari dhamma dan melatih
diri dengan segala cara menghadirkan hakekat Buddha dalam kehidupan
Franz Metcalf dan BJ Gallgher Hateley mengemukan itu agaknya dilakukan oleh Buddha
dalam mengembangkan suatu visi dan misi . Setelah visi dan misi kita merealisasikan
dengan bekerja .
Etos kerja adalah semangat kerja yang menjadikan ciri khas terkait dengan keyakinan
seseorang atau sekelompok orang . Semangat ini dibentuk oleh pandangan hidup . Karena
hidup ini adalah kesempatan mencapai kesempurnaan , Etos kerja dalam agama Buddha
adalah menyempurnakan diri dan memperbaiki karma secara produktif dan mebuang
egoism. Setiap makhluk bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri .
Bekerja adalah sebuah kebutuhan , bukan persoalan mengabdi kepada orang lain .
Kalaupun terkandung maksud mengabdi bukan karena ada yang mengharuskan melainkan
sepantasnya karena dorongan hati
Kebanyakan orang memandang bekerja itu sebagai jalan untuk mendapatkan makan .
Tao Hsin Patriak IV ( 579-651) Terkenal dengan “ Sehari tidak bekerje berarti sehari tidak
makan “
Po Chang ( 720-814) Mengorganisasikan komunitas biksu memenuhi kebutuhan sendiri
dengan bekerja bercocok tanam di halaman vihara .
Menurut Suzuki Shosan ( 1579-1655 ) Para Biksu yang bertugas mendalami dan
mengamalkan agama dapat mengunakan seluruh waktunya utk menjadi Buddha , tetapi
bagimana nasib pedagng dan petani ? Maka ia merumuskan etos kerja sbb : kalau seseorang
sibuk bekerja dan menyerahkan jiwa dan raganya kepada karya fisik , maka batinnya akan
menemukan kedamaian
Setiap orang yang telah bekerja diibaratkan telah membuat pulau untuk dirinya sendiri seperti
apa yang telah dikatakan Sang Buddha, yakni “Dengan usaha yang tekun, semangat, disiplin, dan
pengendalian diri, hendaklah orang bijaksana, membuat pulau bagi dirinya sendiri, yang tidak
dapat ditenggelamkan oleh banjir”.2 (Dhammapada: 25)
Kata-kata ini yang selalu dijadikan motivasi bagi umat Buddha sehingga banyak umat Buddha
yang bekerja dengan tekun dan penuh semangat.
Itulah sebabnya para calon Buddha bersusah payah untuk selalu menimbun kebajikan dan
melatih diri dari hawa nafsu yang tiada habis-habisnya, dengan melihat apa yang telah diperbuat
oleh para Bodhisattwa tersebut maka kesempurnaan kebajikan (paramita) dicapai antara lain
dengan melepaskan keakuan dan berkorban demi kepentingan makhluk lain seperti menolong,
memberi kepada yang lebih membutuhkan juga salah satu pengorbanan yang dapat dilakukan
untuk orang lain sama halnya dengan apa yang telah diajarkan oleh etika Jawa
Fungsi Kerja
E,F Schumacher memcatat 3 Fungsi kerja dalam pandangan agama Buddha
1. Memberikan kesempatan kepada orang lain utn mengembangkan
bakatnya
2. Agar orang bisa mengatasi egoism dengan jalan bergabung
melaksanakan tugas bersama-sama orang lain
3. Menghasilkan barang dan jasa yang perlu untuk kehidupan yang layak

Lima kekuatan dalam bekerja


Keyakinan , Adanya usaha yang penuh semangat , Kesadaran yang penuh
perhatian , Konsentrasi , kebijaksanaan .
Kesuksesan karir atau pekerjaan tidak diperoleh dengan hanya mempercayai kekuatan-kekuatan upacara
keagamaan tertentu. Seperti, pemujaan terhadap sang Buddha dan Bodhisattwa, ziarah ke makam dan
penghormatan kepada leluhur yang dimaknai sebagai tanda bakti sekaligus mengenang segala jasa dan
kebajikan yang telah dijadikan suri tauladan, bukan dimaksudkan untuk menyogokkan sesaji, atau mengemis
berkah.
Konsultasi dengan rohaniawan atau orang yang bijaksana adalah untuk mendapatkan rasa aman, mengatasi
karma buruk dan bukan untuk memenuhi hawa nafsu yang serakah.
Dari pengertian etos kerja diatas dapat disimpulkan bahwa salah satu tujuan hidup seorang umat Buddha
adalah mendapatkan kebahagiaan dunia dan dapat mencapai kepada kedamaian abadi (Nibbana) karena tidak
akan pernah ada kebahagiaan yang lebih tinggi daripada mencapai nibbana.
Seperti yang telah disebutkan pula dalam kitab bahwa terdapat empat keinginan yang dapat kita capai di dunia,
yakni:
1) Semoga saya menjadi kaya dengan cara yang benar dan pantas,
2) Semoga saya, sanak keluarga dan kawan-kawan dapat mencapai kedudukan sosial yang tinggi.
3) Semoga saya dapat berusia panjang.
4) Semoga saya dapat terlahir di surga setelah kehidupan ini berakhir.”
(Anguttara Nikaya II : 65) Dengan memperhatikan poin pertama pada petikan ayat diatas, sudah jelas bahwa
umat Buddha sudah pasti dan diperbolehkan untuk mengumpulkan seberapapun yang diinginkan dan
disukainya, asalkan semua kekayaannya diperoleh dengan cara yang benar dan pantas
Sikap pokok yang harus dimiliki dan ditumbuhkan adalah dengan bekerja giat dan penuh
semangat serta bersikap jujur setia pada pekerjaan maupun atasan. Adapun syarat-syarat agar
dapat bekerja giat, ulet dan bersemangat dibutuhkan empat syarat yaitu:
1. CHANDA : Kepuasan dan Kegembiraan Di Dalam Mengerjakan Hal-Hal Yang Sedang
Dikerjakan. Langkah pertama yang terpenting dalam meningkatkan produktivitas adalah dengan
menentukan jenis pekerjaan yang diinginkan. Memilih pekerjaan selain dibutuhkan kecerdasan
tertentu untuk melaksanakan pekerjaan ituhendaknya dipikirkan pula bakat atau hobi yang
dimiliki apakah sesuai atau tidak antara pekerjaan dengan hobi atau kesenangan dan
menyesuaikan keduanya adalah hal terpenting pula. Apabila senang dengan pekerjaan itu, maka
seseorang akan selalu gembira dan bersemangat pula untuk mengerjakannya
2. VIRIYA : Usaha Yang Bersemangat Di Dalam Mengerjakan Sesuatu Hobi dan kesenangan akan
menimbulkan kegembiraan dalam melaksanakan pekerjaan, kegembiraan akan menimbulkan
semangat, kemudian semangatlah yang akan memunculkan keuletan dalam bekerja, keuletan akan
mewujudkan hasil yang memuaskan dan hasil yang memuaskan akan membahagiakan diri sendiri
baik secara lahir maupun batin. Kebahagiaan atas keberhasilan tersebut dapat juga dirasakan oleh
lingkungan, seperti keluarga, atasan dan masyarakat luas, sejalan dengan jenis pekerjaan yang
dilakukan. Itulah proses wajar yang akan muncul dalam diri masing-masing apabila pelaksanaan
pekerjaan tersebut telah diawali dengan cara yang tepat dan benar.
3. CITTA : Memperhatikan Dengan Sepenuh Hati Hal-Hal Yang Sedang Dikerjakan Tanpa
Membiarkan Begitu Saja. Karena senang dengan pekerjaan yang sedang dilakukannya maka
menimbulkan semangat, ketahanan dan ketekunan. Tekun dan rajin mengerjakan sesuatu akan
menimbulkan konsentrasi. Konsentrasi dalam bekerja adalah kemampuan untuk menghilangkan
bentuk-bentuk pikiran yang mungkin dapat menyimpangkan diri sendiri dari tujuan pekerjaan
semula.
Perhatian dan kewaspadaan terhadap pekerjaan merupakan sikap yang akan menjauhkan diri dari
kelalaian, kecerobohan dan melewatkan peluang mencapai keberhasilan. Perhatian serta
kewaspadaan juga menjaga kita agar tidak mudah berpaling pada hal-hal lain yang berada di luar
lingkup pekerjaan. Dengan demikian, maka produktivitas akan dapat ditingkatkan.
4. VIMAMSA : Merenungkan Dan Menyelidiki Alasan-Alasan Dalam Hal-Hal Yang Sedang
Dikerjakan.Perenungan dan penyelidikan tentang pekerjaan yang sedang dilakukan berguna
untuk menambah potensi kerja yang sudah ada dan sekaligus untuk meningkatkan diri di masa
depan. Keberhasilan dan kekurangan yang didapati saat ini berusaha dievaluasi dari segala sudut
pandang. Evaluasi ini dapat menimbulkan ide baru yang berhubungan dengan pekerjaan yang
sedang dikerjakan. Pekerjaan sebenarnya dapat mengundang banyak pendapat, gagasan,
Itulah keempat poin yang menjelaskan tentang syarat-syarat bekerja dalam
Agama Buddha agar membuat semangat, giat dan tekun dalam bekerja. Jadi, apa
pun pekerjaan yang kita lakukan, bila dapat memenuhi empat hal tersebut, maka
akan memberikan hasil yang sesuai dengan apa yang telah dilakukan. Sebagai
karyawan akan mendapatkan penghasilan dan perhatian yang baik dari atasan,
bagi pedagang akan mendapatkan kelancaran dalam usahanya, bagi olahragawan
akan memperoleh prestasi yang tinggi dan berbagai macam kegiatan yang sesuai
dengan norma maupun aturan yang telah ditetapkan.
Oleh karena itu, marilah kita berusaha terus-menerus dan bersungguhsungguh,
agar Chanda, Viriya, Citta dan Vimaṁsa yang merupakan empat kekuatan dasar
dapat kita terapkan dalam segala macam aktivitas, yang nantinya akan
memberikan buah kesuksesan dan kebahagiaan berkat kesungguhan dalam
bekerja.
Jenis-Jenis Etos Kerja Yang Dianjurkan Dalam Agama Buddha Seiring dengan berkembangnya
kemajuan peradaban, semakin kompleks pula kebutuhan manusia. Begitupula dengan jenis-jenis
kegiatan yang dilakukan banyak orang dan salah satu kegiatan manusia yang paling mendasar
adalah masalah penghidupan atau dalam hal ini bekerja.
Dalam Delapan Jalan Mulia khususnya bagian Mata Pencaharian Benar (Sammā-ājīvā), 15
bahwa mata pencaharian dianggap benar apabila :
1. Pencaharian yang tidak mengakibatkan pembunuhan.
2. Pencaharian yang wajar. Pencaharian yang wajar adalah berkaitan dengan penghidupan yang
benar dan penghidupan yang benar adalah meninggalkan penghidupan yang salah. Pencaharian
yang wajar maksudnya adalah harus dilakukan dengan cara-cara yang legal bukan ilegal,
diperoleh dengan damai, dan tanpa paksaan ataupun kekerasan. Seperti misalnya menjadi
seorang agamawan agar selalu dapat menebarkan kebaikan.
3. Pencaharian yang tidak berdasarkan penipuan. Penipuan juga merupakan salah satu cara
penghidupan yang salah, karena menghasilkan kerugian bagi orang lain, misalnya menjadi
seorang pedagang yang
4. Pencaharian yang tidak berdasarkan ilmu rendah (black-magic).
Pekerjaan yang berkaitan dengan peramalan ataupun penujuman juga merupakan pekerjaan yang
baik karena berkaitan dengan ketidakpastian sehingga sama saja dengan kasus penipuan.

Jenis pekerja yang dilarang dalam agama Buddha adalah 5 Perdagangan yang dilarang

“Apabila di dalam dunia ini seseorang menghancurkan kehidupan makhluk


hidup, suka berbicara tidak benar, mengambil apa yang tidak diberikan,
melakukan perbuatan asusila dengan istri orang lain. Atau menyerah pada
minuman yang memabukkan, maka itu berarti mencabut akar kehidupannya
sendiri, di dalam kehidupan yang sekarang di dunia ini.” (Dhammapada:246-
Pandangan secara Umum
‘Kerja 4 As’. Kerja 4 As ini adalah singkatan dari kerja ikhlAs, tangkAs, cerdAs
dan kerAs. Itulah filosofi bekerja saya.
1.Kerja Ikhlas

Urutan pertama yang melandasi saya bekerja adalah: ‘Kerja Ikhlas’. Ini yang
penting. Ini seakan menjadi motor penggerak untuk bekerja. Orang mungkin
bekerja karena uang, jabatan atau kekuasaan. Dan mereka dapat meraihnya.
Tapi saat meraihnya banyak mengalami kendala, motivasi seperti ini tidak
membuat semangat yang terus menyala-nyala. Ini bisa kerap membuat frustasi,
putus asa dan kosong. Dan saat sudah mendapatkannya, juga kerap mengalami
rasa kosong. Padahal sudah mengorbankan segalanya.
2. Kerja Tangkas
Saat sudah memilih pekerjaan, harusnya terus meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, ketangkasan
atau ‘skill’ terkait pekerjaannya. Seorang teman mengeluh bagaimana pembantu rumah tangganya meski
sudah bertahun-tahun memasak tetap tidak enak.
Ini karena prinsip pembantu rumah tangga teman saya ini, memasak hanya bagian dari pekerjaan.
Menyelesaikan pekerjaan. Harusnya dia banyak membaca resep di buku dan majalah, melihat tayangan
memasak di TV, melakukan ekeperimen atau aktif di forum atau bertanya jawab dengan lainnya
bagaimana meningkatkan kualitas masakannya.
3. Kerja Cerdas
Saat pekerjaan menumpuk namun ‘resources’ (sumber daya) terbatas, maka saatnya bekerja dengan
cerdas. Yakni bagaimana memanfaatkan sumber daya yang ada seoptimal mungkin. Mau melakukan
terobosan-terobosan, memanfaatkan piranti canggih dan mengajak tim yang solid. Dengan kerja cerdas,
untuk mencapai sebuah hasil hanya sedikit mengeluarkan sumber daya yang dimiliki.
4. Kerja Keras
‘Last But Not At Least’ adalah kerja keras. Kerja keras tetap butuh. Tentu berbeda hasilnya bagi orang
yang bekerja lebih keras, lebih lama dan lebih gigih. Hasil yang didapat pasti lebih banyak. Namun
bekerja keras sekalipun tetap harus mengukur kemampuan tubuh. Tubuh tetap punya hak atas tubuhnya.
Kerja keras terus menerus, kerja lembur terus menerus, dalam jangka panjang tidaklah baik. Yang baik
adalah membagi waktu kita menjadi 3 sama porsinya. Satu untuk bekerja, satu untuk kepentingan diri
dan orang lain serta satu untuk istirahat.
Pada tulisan ini dengan mengacu pada pemikiran Peter Drucker, saya ingin mengajak anda memikirkan
tentang makna kerja di dalam kehidupan manusia. Sebagai acuan saya terinspirasi dari
buku Management, Tasks, Responsibilities, and Practices. Peter Drucker adalah seorang ahli
manajemen yang pemikirannya, menurut saya, memiliki dimensi filosofis yang sangat dalam.[1]
Kerja adalah bagian sentral di dalam kehidupan manusia. Dengan pikiran dan tubuhnya, manusia
mengorganisir pekerjaan, membuat benda-benda yang dapat membantu pekerjaannya tersebut, dan
menentukan tujuan akhir dari kerjanya.
Filsafat dan Kerja
Di dalam salah satu tulisannya, Franz Magnis-Suseno pernah berpendapat, bahwa refleksi filsafat
tentang kerja dapat ditemukan sejak 2400 tahun yang lalu. Walaupun pada masa itu, kerja dipandang
sebagai sesuatu yang rendah. Warga bangsawan tidak perlu bekerja. Mereka mendapatkan harta dari
status mereka. Bahkan dapat dikatakan bahwa pada masa itu, manusia yang sesungguhnya tidak perlu
bekerja.
Pada abad ke 17 dan 18, refleksi filsafat tentang kerja mulai berubah arah. Salah seorang filsuf Inggris
yang bernama John Locke pernah berpendapat, bahwa pekerjaan merupakan sumber untuk memperoleh
hak miliki pribadi. Hegel, filsuf Jerman, juga berpendapat bahwa pekerjaan membawa manusia
menemukan dan mengaktualisasikan dirinya. Karl Marx, murid Hegel, berpendapat bahwa pekerjaan
merupakan sarana manusia untuk menciptakan diri. Dengan bekerja orang mendapatkan pengakuan.[
Secara singkat Magnis-Suseno menegaskan, bahwa ada tiga fungsi
kerja, yakni fungsi reproduksi material, integrasi sosial, dan
pengembangan diri.
Yang pertama dengan bekerja, manusia bisa memenuhi
kebutuhannya. 
Yang kedua dengan bekerja, manusia mendapatkan status di
masyarakat. Ia dipandang sebagai warga yang bermanfaat.
Dan yang ketiga dengan bekerja, manusia mampu secara kreatif
menciptakan dan mengembangkan dirinya.
Dimensi Fisiologis Kerja
Drucker lebih jauh menajamkan, bahwa ada lima dimensi dari bekerja (working). Bekerja adalah
aktivitas yang dilakukan oleh pekerja. Manusia adalah mahluk yang bekerja. Kerja adalah tanda
dari kemanusiaannya. Kerja memiliki dinamika dan dimensi yang inheren di dalam
dirinya. Dimensi pertama adalah dimensi fisiologis. Yang perlu ditekankan disini adalah, bahwa
manusia bukanlah mesin. Cara ia bekerja pun berbeda dengan cara kerja mesin.
Manusia bekerja dengan cara yang berbeda. Jika hanya mengerjakan satu pekerjaan secara
berulang, ia dengan mudah menjadi lelah, bosan, dan meninggalkan pekerjaannya itu. Menurut
Drucker manusia justru bisa bekerja secara maksimal, jika berada dalam koordinasi dengan
manusia lainnya. Manusia bisa bekerja secara maksimal, jika ia menumpahkan seluruh dirinya di
dalam pekerjaannya itu, dan bukan hanya fisiknya semata. Jika ia dipaksa bekerja seperti mesin,
maka baik secara psikologis ataupun fisik, ia akan cepat merasa lelah.
Manusia bekerja terbaik di dalam koordinasi dengan manusia lainnya, dan bukan secara
individual. Ia bekerja buruk di dalam ritme yang tetap. Ia harus bekerja di dalam suasana yang
dinamis bersama dengan manusia-manusia lainnya.
Gejala hedonisme yang sedang dominan di masyarakat, menurut Drucker, juga sebenarnya bukan
menggambarkan dorongan murni manusia untuk mencapai kenikmatan itu sendiri. Gejala
tersebut muncul sebagai reaksi terhadap berbagai penindasan yang dialami oleh kelas pekerja
selama berabad-abad. Kelas pekerja pun kini meluas. Profesi guru dan artis, yang
mengembangkan musik, lukisan, ataupun tulisan, pun kini dianggap sebagai profesi terhormat.
Di negara-negara maju profesi sebagai guru dan artis mampu memberikan penghidupan yang
layak. Namun di beberapa negara berkembang, profesi semacam itu masih dianggap kelas dua.
Banyak orang benci untuk bekerja. Mereka bermimpi untuk memiliki uang banyak, sehingga
tidak lagi perlu bekerja. Namun pandangan itu tidak sepenuhnya tepat. Orang yang tidak bekerja,
walaupun memiliki uang banyak, juga sulit untuk merasa puas dengan hidupnya. Mereka akan
mengalami krisis identitas, karena pekerjaan membantu orang merumuskan identitasnya,
walaupun tidak secara keseluruhan. Dalam ari ini dapatlah dikatakan, bahwa kerja memiliki
dimensi psikologis yang mendalam, yang membantu orang untuk menentukan siapa dirinya.
Dimensi Psikologis Kerja
Dimensi kerja kedua adalah dimensi psikologis. Dalam arti ini kerja bisa berarti berkat sekaligus
kutuk. Orang perlu untuk bekerja. Namun seringkali kerja juga menjadi beban yang sangat berat.
Setiap orang sudah dikondisikan untuk bekerja sejak mereka menginjak usia 3-4 tahun. Memang
mereka belum boleh bekerja secara resmi di pabrik atau dimanapun.
Namun mereka perlu untuk belajar berjalan, berbicara, dan yang terpenting, belajar untuk
menjadi manusia. Ini semua menurut Drucker menciptakan kebiasaan untuk bekerja, untuk
melakukan sesuatu guna mengembangkan diri.
Sejak dulu manusia sudah memiliki pandangan, bahwa kerja adalah sesuatu yang suci. Kerja
adalah suatu bentuk panggilan dari Tuhan. Kerja adalah suatu pengabdian, apapun bentuknya,
dan semua itu layak mendapatkan penghormatan. Di Eropa pada abad ke-14, para rahib
Benediktin bekerja di ladang dan sawah bergantian dengan mereka berdoa. Kerja tangan
dianggap sebagai sesuatu yang sama sucinya seperti orang berdoa.
Dimensi Sosial Kerja
Drucker juga berpendapat bahwa kerja memiliki dimensi sosial. Kerja menyatukan orang dari
berbagai latar belakang untuk bertemu dan menjalin relasi. Profesi seseorang menentukan
tempatnya di masyarakat. Dengan mengatakan bahwa saya adalah guru, anda sudah
menegaskan posisi anda di masyarakat, dan peran apa yang anda jalankan dalam relasi dengan
orang-orang lain yang hidup bersama di masyarakat.
Lebih jauh juga dapat dikatakan, bahwa setiap orang butuh untuk bekerja, karena ia memiliki
kebutuhan untuk menjadi bagian dari suatu kelompok, dan menjalin relasi yang bermakna
dengan orang-orang yang ada di sana. Aristoteles pernah mengatakan bahwa manusia adalah
mahluk yang berpolis. Artinya manusia adalah mahluk yang membutuhkan kelompok untuk
menegaskan jati dirinya. Bekerja adalah cara terbaik untuk menjadi bagian dari suatu kelompok.
Seringkali orang memiliki beberapa komunitas dalam hidupnya. Bisa saja ia adalah pegawai
rendahan di kantor, namun dianggap bijaksana dan layak pemimpin oleh teman-temannya di
lingkungan rumah. Namun hal yang sama sebenarnya berlaku. Menurut Drucker orang-orang
semacam itu membutuhkan pekerjaan untuk mengisi kebutuhannya akan pertemanan dan
persahabatan dan juga tentu saja memenuhi kebutuhan ekonomi.
Dimensi Ekonomis Kerja
Untuk hidup orang perlu untuk bekerja. Sudah sejak dulu pernyataan ini berlaku universal. Hal ini
sebenarnya menurut Drucker berakar pada fakta, bahwa manusia tidak mampu hidup sendiri. Ia
tidak mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Maka ia memerlukan orang lain. Dalam kerangka
yang lebih besar, manusia yang satu melakukan perdagangan dengan manusia lainnya untuk
memenuhi kebutuhannya masing-masing, dan membentuk apa yang disebut sebagai jaringan
ekonomi (economic network). Di satu sisi jaringan ini memperkuat hubungan sosial antar manusia,
terutama mereka yang berasal dari latar belakang yang berbeda, namun saling membutuhkan satu
sama lain. Di sisi lain jaringan ini memiliki potensi untuk mendorong terjadinya konflik sosial,
sebagai akibat dari perdagangan yang tidak mencerminkan nilai keadilan.
Ekonomi sudah selalu menjadi bagian dari kehidupan manusia. Sekarang ini orang tidak mungkin
melepaskan diri dari itu. Di dalam perjalanan waktu, ekonomi mengalami perubahan tujuan, yakni
bukan lagi untuk pemenuhan kebutuhan murni, tetapi untuk mengumpulkan dan
mengembangkan modal (capital). Modal menjadi tujuan utama. Uang pun kehilangan akarnya,
yakni sebagai pemenuhan kebutuhan manusia. Uang dikejar demi uang itu sendiri, dan bukan lagi
demi kesejahteraan manusia. Kerja pun bukan lagi demi pemenuhan kebutuhan hari ini, tetapi juga
memiliki orientasi ke masa depan. Saya bekerja untuk pemenuhan kebutuhan saya 10 tahun lagi.
Dimensi Kekuasaan Kerja
Di dalam organisasi selalu ada relasi-relasi kekuasaan, baik secara implisit ataupun eksplisit. Secara
eksplisit kekuasaan paling tampak di dalam hubungan antara atasan dan bawahan, serta hubungan antara
konsumen dan produsen. Di sisi lain ada kekuasaan yang sifatnya implisit, namun efeknya sangat terasa,
seperti krisis global di pasar internasional, bencana alam, dan perubahan iklim yang mempengaruhi
proses produksi, distribusi, ataupun konsumsi.
Dahulu kala orang tidak memiliki jam kerja. Konsep jam kerja baru ditemukan pada masyarakat industrial
pertama di Eropa. Sekilas konsep ini memang tampak tidak relevan. Namun pada awalnya penerapan jam
kerja mengakibatkan terjadinya culture shock di masyarakat di seluruh dunia. Di dalam organisasi modern,
kerja haruslah direncanakan dan diatur dalam jadwal yang tepat. Mereka yang bisa bertahan di dalam
rencana dan pengaturan tersebut akan memperoleh kenaikan pangkat. Tentu saja semua ini
membutuhkan kontrol. Dan menurut Drucker kontrol adalah bentuk kekuasaan.[12]
Banyak pemikir yang berpendapat, bahwa organisasi modern adalah suatu bentuk alienasi (keterasingan).
Orang menjadi tidak mengenal dirinya sendiri, orang lain, dan hasil kerjanya, jika mereka bekerja di
perusahaan-perusahaan yang ditata secara modern. “Masyarakat modern”, demikian Drucker, “adalah
masyarakat pekerja dan akan tetap seperti itu.”[13] Oleh karena itu relasi-relasi kekuasaan di dalam
pekerjaan pun tidak akan pernah hilang. Otoritas adalah sesuatu yang sangat esensial di dalam organisasi
modern. Dengan lugas dapat dikatakan, selama ada otoritas, selama itu pula ada relasi-relasi kekuasaan.
Otoritas adalah sesuatu yang inheren di dalam sistem organisasi modern yang banyak digunakan sekarang
ini.

Anda mungkin juga menyukai