Anda di halaman 1dari 29

Dimensi-Dimensi Agama

Studi agama pada intinya adalah belajar atau mempelajari, memahami, dan mendalami
gejala-gejala agama, baik gejala keragaan maupun kejiwaan. Sebab, dalam realitasnya bagi
kehidupan manusia, kehadiran agama adalah sebatas pada gejala-gejala agama dan
keagamaannya itu, yang dari gejala agama serta fenomena keagamaan itulah manusia
mengekspresikan religiusitasnya sehingga ia kemudian disebut “beragama”.
Dalam bidang kajian agama (religious studies) ada banyak cara yang digunakan orang
untuk mengurai dimensi-dimensi agama. Sebab, agama sebagai refleksi tidak hanya terbatas
pada kepercayaan saja, tetapi juga terwujud dalam tindakan kolektivitas dan bangunan
peribadahan. Perwujudan tersebut sebagai bentu dari keberagamaan, sehingga agama
diuraikan menjadi beberapa dimensi religiositas, yaitu
1. Emosi Keagamaan, ialah aspek agama yang paling mendasar, yang ada dalam lubuk
hati manusia, yang menyebabkan manusia beragama menjadi religious atau tidak
religious.
2. System Kepercayaan, yang mengandung satu set keyakinan tentang adanya wujud
dan sifat Tuhan, tentang keberadaan alam gaib, makhluk halus, dan kehidupan abadi
setelah kematian.
3. System Upacara Keagamaan yang dilakukan oleh para penganut system kepercayaan
dengan bertujuan mencari hubungan yang baik antara manusia dan Tuhan, dewa
atau makhluk halus yang mendiami alam gaib.
4. Umat atau Kelompok Keagamaan, ialah kesatuan-kesatuan sosial yang menganut
system kepercayaan dan yang melakukan upacara-upacara keagamaan.
Ninian Smart dalam karyanya The Religious Experience Of Mankind (1967) menyebutkan,
bahwa dimensi agama terdapat tujuh bagian, yaitu
1) dimensi praktis atau ritual,
2) naratif atau mistis (Narrative and Mythic),
3) pengalaman dan emosional (Experiential and emotional),
4) dimensi sosial atau organisasional/institusional (Social and Institutional),
5) etis atau legal (Ethical and legal),
6) doktrinal atau filosofis (Doctrinal and philosophical),
7) dan material/bahan.
Dimensi pertama adalah dimensi praktis-ritual yang sebagaimana tampak dalam
upacara suci, perayaan hari besar, pantang dan puasa untuk pertobatan, doa, kebaktian, dan
sebagainya yang berkenaan dengan ritualiatas agama. Dimensi kedua, emosional-eksperiensial
menunjuk pada perasaan dan pengalaman para penganut agama, dan tentunya bervariasi.
Peristiwa-peristiwa khusus, gaib, luar biasa yang dialami para penganut menimbulkan berbagai
macam perasaan dari kesedihan dan kegembiraan, kekaguman dan sujud, ataupun ketakutan
yang membawa pada pertobatan. Topik yang penting dalam dimensi pengalaman keagamaan
antara lain yang disebut mistik, di mana si pemeluk merasakan kesatuan erat dengan ilahi.
Dimensi naratif atau mistik menyajikan kisah atau cerita-cerita suci, untuk direnungkan,
dicontoh, karena di situ ditampilkan tokoh-tokoh suci, pahlawan ataupun kejadian-kejadian
yang penting dalam pembentukan agama yang bersangkutan.
Dimensi filosofis-doktrinal adalah dimensi agama yang menyajikan pemikiran rasional,
argumentasi, dan penalaran terutama menyangkut ajaran-ajaran agama, pendasaran hidup,
dan pengertian dari konsep-konsep yang dianut oleh agama itu. Dimensi legal-etis menyangkut
tata tertib hidup dalam agama itu, pengaturan bersama, dengan norma-norma dan pengaturan,
tidak jarang disertai pula dengan system penghukuman kalau terjadi pelanggaran. Dimensi
sosial-institusional mengatur kehidupan bersama menyangkut kepemerintahan keorganisasian,
pemilihan dan penahbisan pemimpin, kejemaatan, dan penggembalaan. Akhirnya dimensi
material menyangkut barang-barang, alat-alat yang digunakan untuk pemujaan atau untuk
pelaksanaan kehidupan agama itu. Termasuk di sini bangunan-bangunan, tempat-tempat
ibadah.
Kartodirjo menyebutkan, bahwa dimensi religiositas sebagai berikut:
1. Dimensi pengalaman keagamaan mencakup semua perasaan, persepsi, dan sensasi
yang dialami ketika berkomunikasi dengan realitas supernatural.
2. Dimensi ideology mencakup satu set kepercayaan terhadap makhluk gaib dan
kehidupan setelah kematian.
3. Dimensi ritual mencakup semua aktivitas, seperti upacara keagamaan, berdoa, dan
berpartisipasi dalam berbagai kewajiban agama.
4. Dimensi intelektual ialah berhubungan dengan pengetahuan tentang agama.
Pengetahuan agama didapatkan melalui proses belajar dari pemimpin agama atau
berupa ilham langsung dari Tuhan yang dipercayai sebagai wahyu.
5. Dimensi consequensial ialah mencakup semua efek dari kepercayaan, praktek, dan
pengetahuan dari orang yang menjalankan agama. Dengan perkataan lain, semua
perbuatan dan sikap sebagai konsekuensi beragama.
Dalam bidang kajian agama (religious studies) ada banyak cara yang digunakan orang
untuk mengurai dimensi-dimensi agama. Sebab, agama sebagai refleksi tidak hanya
terbatas pada kepercayaan saja, tetapi juga terwujud dalam tindakan kolektivitas dan
bangunan peribadahan. Perwujudan tersebut sebagai bentuk dari keberagamaan, sehingga
agama diuraikan menjadi beberapa dimensi religiositas, yaitu
1. Emosi Keagamaan, ialah aspek agama yang paling mendasar, yang ada dalam lubuk
hati manusia, yang menyebabkan manusia beragama menjadi religious atau tidak
religious.
2. System Kepercayaan, yang mengandung satu set keyakinan tentang adanya wujud
dan sifat Tuhan, tentang keberadaan alam gaib, makhluk halus, dan kehidupan
abadi setelah kematian.
3. System Upacara Keagamaan yang dilakukan oleh para penganut system
kepercayaan dengan bertujuan mencari hubungan yang baik antara manusia dan
Tuhan, dewa atau makhluk halus yang mendiami alam gaib.
4. Umat atau Kelompok Keagamaan, ialah kesatuan-kesatuan sosial yang menganut
system kepercayaan dan yang melakukan upacara-upacara keagamaan.

Charles Glock dan Rodney Stark yang mengidentifikasi lima dimensi saling berbeda,
namun hanya dengan kelimanya seseorang disebut “religious”: eksperimental, ideologis,
ritualistic, intelektual, dan konsekuensional (Holm, 1977: 18). Berikut penjelasannya,
1. Dimensi kepercayaan (belief), yaitu keyakinan akan kebenaran dari pokok-pokok
ajaran imannya. Tak pelak lagi, ini merupakan unsur yang amat penting dalam
kekristenan, bahkan juga di agama-agama lain. Tanpa keyakinan akan kebenaran
dari pokok-pokok ajaran iman, tentu seseorang tidak akan menjadi bagian dari
komunitas orang beriman tersebut, misalnya bila seseorang tidak percaya bahwa
Yesus adalah Juruselamat manusia, maka tidak mungkin ia menjadi seorang
anggota gereja.
2. Dimensi praktis, terdiri dari dua aspek yaitu ritual dan devosional. Ritual diuraikan
sebagai suatu ibadah yang formal, seperti menghadiri kebaktian Minggu, menerima
sakramen, melangsungkan pernikahan di gereja. Secara asasi ritual adalah bentuk
pengulangan sebuah pengalaman agama yang pernah terjadi pada masa awal
pembentukan agama itu sendiri. Sedangkan yang dimaksudkan dengan devotional
adalah ibadah yang dilakukan secara pribadi dan informal, seperti misalnya berdoa,
berpuasa, membaca Alkitab.
3. Dimensi pengalaman (experience), yaitu pengalaman berjumpa secara langsung dan
subyektif dengan Allah. Atau dengan kata lain, mengalami kehadiran dan karya
Allah dalam kehidupannya. Pengalaman keagamaan ini (religious experience) bisa
menjadi awal dari keimanan seseorang, tetapi juga bisa terjadi setelah seseorang
mengimani suatu agama tertentu. Entahkah pengalaman itu berada di awal
ataupun di tengah-tengah, pengalaman ini berfungsi untuk semakin meneguhkan
iman percaya seseorang.
4. Dimensi pengetahuan (knowledge), yaitu pengetahuan tentang elemen-elemen
pokok dalam iman keyakinannya, atau yang sering kita kenal dengan dogma,
doktrin atau ajaran gereja. Hal ini tentu saja sangat berkaitan dengan dimensi
pertama (kepercayaan). Seseorang akan terbantu untuk menjadi semakin yakin dan
percaya apabila ia mengetahui apa yang dipercayainya.
5. Dimensi etis, di mana umat mewujudkan tindakan imannya (act of faith) dalam
kehidupan sehari-harinya. Dimensi etis ini mencakup perilaku, tutur kata, sikap dan
orientasi hidupnya. Dan hal ini tentu saja dilandasi pada pengenalan atau
pengetahuan tentang ajaran agamanya dan percaya bahwa apa yang diajarkan oleh
agamanya adalah benar adanya.
Ancok (1994) menilai, meskipun tidak sepenuhnya sama, lima dimensi keberagamaan
rumusan Glock & Stark itu bisa disejajarkan dengan konsep Islam. Dimensi ideologis bisa
disejajarkan dengan akidah, dimensi ritual bisa disejajarkan dengan syari’ah, khususnya
ibadah, dan dimensi konsekuensial bisa disejajarkan dengan akhlak. Akidah, syari’ah dan
akhlak adalah inti dari ajaran Islam. Dimensi intelektual mempunyai peran yang cukup
penting pula karena pelaksanaan dimensi-dimensi lain sangat membutuhkan pengetahuan
terlebih dahulu. Sedangkan dimensi eksperiensial dapat disejajarkan dengan dimensi
tasawuf atau dimensi mistik.

Dalam perspektif Islam, keberagamaan harus bersifat menyeluruh sebagaimana


diungkap dalam Al-Qur’an (2: 208) bahwa orang-orang yang beriman harus masuk ke
dalam Islam secara menyeluruh (kaffah). Oleh karena itu seorang muslim harus
mempunyai keyakinan terhadap akidah Islam, mempunyai komitmen dan kepatuhan
terhadap syari’ah, mempunyai akhlak yang baik, ilmu yang cukup dan jiwa yang sufistik..
1. Dimensi Ideologis merupakan bagian dari keberagamaan yang berkaitan dengan
apa yang harus dipercayai dan menjadi sistem keyakinan (creed). Doktrin
mengenai kepercayaan atau keyakinan adalah yang paling dasar yang bisa
membedakan agama satu dengan lainnya. Dalam Islam, keyakinan-keyakinan ini
tertuang dalam dimensi akidah. Akidah Islam dalam istilah Al-Qur’an adalah iman.
Iman tidak hanya berarti percaya melainkan keyakinan yang mendorong
munculnya ucapan dan perbuatan-perbuatan sesuai dengan keyakinan tadi. Iman
dalam Islam terdapat dalam rukun iman yang berjumlah enam.
2. Dimensi Ritual merupakan bagian dari keberagamaan yang berkaitan dengan
perilaku yang disebut ritual keagamaan seperti pemujaan, ketaatan dan hal-hal
lain yang dilakukan untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang
dianutnya. Perilaku di sini bukan perilaku dalam makna umum, melainkan
menunjuk kepada perilaku-perilaku khusus yang ditetapkan oleh agama seperti
tata cara beribadah dan ritus-ritus khusus pada hari-hari suci atau hari-hari besar
agama. Dimensi ini sejajar dengan ibadah. Ibadah merupakan penghambaan
manusia kepada Allah sebagai pelaksanaan tugas hidup selaku makhluk Allah.
Ibadah yang berkaitan dengan ritual adalah ibadah khusus atau ibadah mahdhah,
yaitu ibadah yang bersifat khusus dan langsung kepada Allah dengan tatacara,
syarat serta rukun yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an serta penjelasan dalam
hadits nabi. Ibadah yang termasuk dalam jenis ini adalah shalat, zakat, puasa dan
haji.
3. Dimensi Konsekuensial menunjuk pada konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan
oleh ajaran agama dalam perilaku umum yang tidak secara langsung dan khusus
ditetapkan oleh agama seperti dalam dimensi ritualis. Walaupun begitu,
sebenarnya banyak sekali ditemukan ajaran Islam yang mendorong kepada
umatnya untuk berperilaku yang baik seperti ajaran untuk menghormati tetangga,
menghormat tamu, toleran, inklusif, berbuat adil, membela kebenaran, berbuat
baik kepada fakir miskin dan anak yatim, jujur dalam bekerja, dan sebagainya.
Perilaku umum ini masuk dalam wilayah hubungan manusia (hablum minannas)
yang mestinya harus tidak bisa dipisahkan dari hubungan kepada Allah (hablum
minallah). Dalam bahasa Hassan Hanafi (2003) iman dan praksis tindakan tidak
boleh dipisahkan. Iman, menurutnya bisa bertambah dan berkurang oleh
tindakan-tindakan yang dilakukan seseorang. Konsekuensi tindakan ini, dalam hal-
hal tertentu, terkadang lebih berat daripada keyakinan dan ritual, sehingga,
menurut pendapat Asghar Ali (1997) penolakan pemuka Makkah terhadap ajaran
Muhammad bukan karena semata-mata penolakan ajaran tauhidnya, tetapi lebih
karena konsekuensi-konsekuensi ekonomis dan politis yang harus ditanggung dari
ajaran revolusioner teologi Muhammad. Menurut Nasution (1985) tujuan ibadah
atau ritual dalam Islam bukan hanya untuk menyembah Allah semata, melainkan
untuk mendekatkan diri kepada Allah agar manusia selalu teringat kepada hal-hal
yang baik dan suci sehingga mendorongnya untuk berperilaku yang luhur, baik
kepada sesama manusia maupun kepada lingkungan alam sekitar.
4. Dimensi Eksperiensial adalah bagian dari keberagamaan yang berkaitan dengan
perasaan keagamaan seseorang. Psikologi agama menyebutnya sebagai
pengalaman keagamaan (religious experience) yaitu unsur perasaan dalam
kesadaran agama yang membawa pada suatu keyakinan (Zakiah Darajat, 1996).
Pengalaman keagamaan ini bisa terjadi dari yang paling sederhana seperti
merasakan kekhusukan pada waktu shalat dan ketenangan setelah
menjalankannya, atau merasakan nikmat dan bahagia ketika memasuki bulan
Ramadlan. Pengalaman yang lebih kompleks adalah seperti pengalaman ma’rifah
(gnosis) yang dialami oleh para sufi yang sudah dalam taraf merasakan bahwa
hanya Tuhanlah yang sungguh berarti, sehingga, jangankan dibanding dengan
dunia seisinya, dibanding sorga seisinya pun, Rabi’ah al-Adawiyah justru lebih
memilih shalat, karena dengan shalat ia akan ‘bertemu’ dan berkomunikasi
dengan Tuhan. Bagi sufi setingkat Rabi’ah, komitmen menjalankan berbagai
perintah agama bukan lagi karena melihatnya sebagai kewajiban, tetapi lebih
didasarkan pada cinta (mahabbah) yang membara kepada Allah. Karena
didasarkan dorongan cinta, maka apapun yang dilakukan terasa nikmat.
Pengalaman keagamaan ini muncul dalam diri seseorang dengan tingkat
keagamaan yang tinggi. Dalam Islam pola keberagamaan bisa dibedakan dari yang
paling rendah yaitu syari’ah, kemudian thariqah dan derajat tertinggi adalah
haqiqah. Pola keberagamaan thariqah dan haqiqah adalah pola keberagamaan
tasawuf. Tasawuf bertujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan
Tuhan.
5. Dimensi Intelektual Setiap agama memiliki sejumlah informasi khusus yang harus
diketahui oleh para pemeluknya. Dalam Islam, misalnya ada informasi tentang
berbagai aspek seperti pengetahuan tentang Al-qur’an dengan segala bacaan, isi
dan kandungan maknanya, al-Hadits, berbagai praktek ritual atau ibadah dan
muamalah, konsep keimanan, berbagai konsep dan bentuk akhlak, tasawuf,
sejarah dan peradaban masyarakat Islam.
Judul : Integrasi Ilmu dan Agama, Interpretasi dan aksi
Penulis : Zainal Abidin Bagir, et.al (Editor)
Penerbit : Mizan Bandung
Tahun terbit : Cetakan I, September 2005
Tebal : 270 halaman

Sengaja, judul resensi ini saya buat agak mempertanyakan soal integrasi antara agama
dan ilmu (khusunya ilmu alam). Pasalnya, pada saat kuliah Islam dan Sains, saya memposisikan
diri sebagai anak kecil yang mendapatkan ilmu di dunia yang berbeda (sekolah dan TPA). Saat
itu saya bertanya: “Bu bagaimana menjelaskan tentang hujan. Apakah hujan itu turun
disebabkan karena angin yang terpengaruhi oleh kondisi udara di suatu tempat atau karena
Malaikat Mikail yang katanya sebagai pengatur hujan?”.
Pertanyaan itu bukan ditujukan untuk “ngeles” dosen atau sekedar gaya-gayaan untuk
mendapat nilai tambah pada mata kuliah, melainkan benar-benar ketakutan. Ya, ketakutan jika
suatu saat harus mengajar TPA, yang umumnya anak-anak usia SD dengan yang keluguan dan
kepolosannya dengan pengalaman. Apa jawaban yang seharusnya saya berikan sehingga bisa
diterima mereka? Lagi-lagi, kenyataannya, bukan saya saja yang bingung dengan pertanyaan,
dosen dan teman-teman yang lain juga ikut bingung. Entah apakah kebingunan mereka
sebetulnya hanya kebingungan pada tataran metodologi ataukah memang bingung yang benar-
benar tidak tahu jawabannya.
Perkiraan saya, kebingungan yang dialami oleh dosen dan teman-teman adalah
kebingungan metodologi yang tepat untuk menjawabnya. Baik itu bahasanya maupun poin-
poin apa saja yang tepat digunakan untuk menjawabnya. Sebab, jangan-jangan integrasi yang
diberikan hanya integrasi naif, integrasi yang dipaksakan, dicocok-cocokkan atau dalam bahasa
lainnya hanya “Bucaillisme”. Di sisi lain, jawaban permasalahan itu hanya akan kembali pada
masing-masing “kotak”: dijawab sesuai dari sudut pandangnya. Yang soal malaikat akan dijawab
dari perspektif agama, sedangkan permasalahan fisika akan dijawab dengan ilmu kealaman
(sains). Beginikah akhir cerita integrasi? Apakah memang sulit dan haruskah kedua “raksasa” itu
berjalan sendiri-sendiri demi amannya saja? meski dalam kenyataannya “raksasa” ini akan
saling berebut pengikut?
Suatu dilema: agama mesti diintegrasikan atau dipadukan dengan wilayah-wilayah
kehidupan manusia. hanya dengan jalan inilah agama benar-benar menjadi rahmat bagi
pemeluknya, bagi umat manusia, atau bahkan keseluruhan alam semesta.
Persoalannya kemudian adalah pemaduan seperti apa yang bisa dilakukan? Ini adalah
pertanyaan pertama. Bisa diduga, “integrasi” tak bermakna tunggal. Dalam wacana tentang
ilmu dan agama, integrasi, memang dapat dan telah dimaknai berbeda-beda. Integrasi bukan
saja bermakna majemuk, melainkan, lebih jauh, bisa bersifat positif juga negatif.
Dalam sejarahnya, memang antara agama dan ilmu pernah menyatu, bahkan wewujud
tunggal, tetapi suatu waktu keduanya berpisah karena ada pertentangan antara otoritas
keagamaan dengan para ilmuwan. Sejak saat itulah agama berjalan sendiri-sendiri, dan
terkesan saling berkonflik antar keduanya. Jika, sebagaimana Frijtof Capra tuliskan, memang
“agama tidak butuh sains, sains tidak butuh agama tetapi manusia membutuhkan keduanya”
supaya dalam kehidupannya “buta dan mati” seperi ungkapannya Einstein.
Oleh karena itu dalam perjalanan sejarah manusia yang bersinggungan dengan
keduanya, setidaknya agama dan ilmu mempunyai empat tipologi hubungan, yaitu: konflik,
independensi, dialog, dan integrasi. Sedangkan John F. Haught, hampir sama dengan
tipologinya Barbour, memetakan hubungan agama dan ilmu menjadi empat pula: konflik,
kontras, kontak dan konfirmasi,
Tak sulit diketahui, bahwa Barbour lebih bersimpati pada dua pandangan terakhir,
khususnya integrasi, lebih khusus lagi, integrasi Barbour adalah integrasi teologis. Teori-teori
ilmiah mutakhir dicari implikasi teologisnya, lalu suatu teologi baru dibangun dengan
memerhatikan teologi tradisional sebagai sabagai salah satu sumbernya. “integrasi” ala Barbour
memiliki makna yang sangat spesifik, yang bertujuan menghasilkan suatu reformasi teologi
dalam bentuk theology of nature. Ini dibedakannya dari natural theology, yang tujuan
utamanya terutama untuk membuktikan kebenaran-kebenaran agama berdasar temuan-
temuan ilmiah.
Satu kritik yang kerap diajukan pada pendekatan ini, misalnya oleh Huston Smith dan
Sayyed Hossein Nasr, adalah bahwa di sini teologi tampak seperti dilakukan oleh sains, teologi
diubah demi mepertimbangkan hasil-hasil pengkajian sains. Bagi Smith dan Nasr, yang
keduanya adalah pendukung filsafat perenial, yang sebaliknya yang harus terjadi: teologi,
tepatnya tradisi, menjadi tolok ukur teori-teori ilmiah. Seperti Barbour, Smith dan Nasr melihat
sains terutama dari relevansi filosofis/teologisnya. Sementara Barbour mengizinkan perubahan
konseptual pada teologi atas nama “belajar dari sains”, Smith dan Nasr melihat implikasi-
teologis sains mesti dinilai dari kacamata Tradisi yang kebenaran ajaran-ajarannya sudah
bertahan selama beberapa milenia.
Hal yang bijak, untuk mengakhiri konflik yang berkepanjangan dan menuju dialog atau
menemukan jalan terbaik antar keduanya, adalah membedah apa itu agama, apa itu sains?
Pertama agama.agama mencangkup banyak hal. Jika kita mau sistematis, dalam bidang kajian
agama ada banyak cara mengurai dimensi-dimensi agama. Ninian Smart (2000) menguaraikan
agama dengan menggunakan pandangan-dunia untuk menggali dimensi-dimensi agama. Ada
enam pandangan dunia:
(1) dimensi doktrinal atau filosofis,
(2) naratif atau mistis,
(3) etis atau legal,
(4) praktis atau ritual,
(5) eksperensial atau emosional, dan
(6) dimensi sosial atau organisasional.
Di sinilah nanti akan ketemu: dimana kita berbicara integrasi?
Kedua, ilmu. Dalam teori ilmu (theory of knowladge), satu pembagian amat populer
untuk memahami ilmu adalah pembagian menjadi tiga bidang bahasan: ontologi, epistemologi,
dan aksiologi. Cara lain menganalisis sains, dengan fokus lebih pada ilmu alam, dilakukan secara
formal oleh filosof sains dari Princeton, Bas van Fraassen (1996). Dia melihat secara sederhana
bahwa aspek ilmu alam hanya teridiri dari dua, Yaitu “isi” dan “metode”. “isi” atau kandungan
adalah teori-teori ilmiah yang berbicara mengenai alam semesta, sedangkan metode adalah
cara yang dipakai ilmu untuk menyusun teori-teori itu. Van Fraassen, menyebut pandangannya
sebagai empirisme konstruktif, menganggap bahwa sains hanya berbicara tentang fenomena,
bukan noumena (struktur ontologis di balik fenomena). Sains hanya alat prediksi. Sehingga
sains jangan dituntut untuk berbicara ontologi sebab hanya akan terjebak dan menjadi
“saintisme”.
Lantas bagaimana aksi atas interpretasi integrasi ilmu dan agama tersebut? Ya, integrasi
yang tidak terjebak pada integrasi naif melainkan integrasi valid sehingga kekuatiran Bambang
Sugiharto (2005) bahwa agama hanya akan menjadi sekedar pembenaran diri agama, atau
berjalan satu arah. Dialog ilmu dan agama hanya akan bermakna jika ada “perubahan sikap
dasar seperti yang dilakukan Kuhn dalam bidang sains dan Kung di bidang teologi, yang
menempatkan baik sains dan teologi dalam naungan ruang dan waktu”, tulis E. Gerrit Singgih.
Menjawab hal tersebut, Armahedi mahzar menawarkan “model Pentadik integralisme
Islam”. Dalam pembahasannya ini, dia secara khusus memberi catatan terhadap keberatan
sebagian orang atas upaya pengaitan ayat-ayat suci dengan teori-teori ilmiah. Baginya, asalkan
tidak berlenihan dan dilakukan secara bertanggung jawab, upaya ini dapat memacu kreativitas
untuk melihat kitab suci sebagai sumber ilham keilmuan.
Sedangkan Liek Wilardjo menyajikan empat analisis yang amat bermanfaat tentang
ilmu, ilmu terapan, dan teknologi. Lewat analisis itu, dia menunjukkan titik ketidakpastian sains,
yang disebut transaintivitas atau hipotetikalitas, yang berada di luar jangkuan ilmu. Di sini ada
keterbatasan ilmu dan teknologi, ketidakpastian, dan resiko yang tak dapat sepenuhnya
diramalkan sejak awal. Pada titi-titik inila, norma-norma etika dan iman keagamaan mesti
difungsikan. Agama bisa berperan lebih jauh dengan kata kunci “sinergi”: sinergi lintas ilmu dan
sinergi lintas lembaga sehingga mampu melawa kotak-kotak yang mengkungkung agama dan
ilmu, tulis Robert.
Usulan berbagai cara aksi integrasi dalam buku ini cukup unik dan menarik, sesuai
dengan kapasitasnya penulis. Ada yang menawarkan integrasi dalam tataran paradigma,
khususnya paradigma fisika: simetri, optimasi, dan unifikasi. Adalagi yang menawarkan kitab
suci (Al-Qur’an) bukan sebagai pondasi/ilham keilmuan namun sebagai basis etis kehidupan
manusia. tulisan-tulisan terakhir merupakan tulisan dari rektor-rektor tiga UIN (UIN JAKARTA,
UIN YOGYAKARTA, UIN MALANG) ketiganya ini berbagai pengalaman soal realitas integrasi yang
ada di kampusnya masing-masing.
Amin Abdullah menawarkan dalam aksi integrasi ada bebarapa aspek yang harus
diperhatikan: Hadharah Al-Nash (penyangga budaya teks-bayani) memang tidak lagi bisa berdiri
sendiri, terlepas sema sekali dari Hadharah Al-‘ilm dan juga tidak bisa terlepas dari Hadharah Al-
Falsafah. Ketiga aspek ini yang menjadikan peradaban manusia maju. Namun, oleh masyarakat
dunia sekarang ini, konfigurasi hubungan yang ternyata bercorak isolated yang akhirnya
menyebabkan krisis dalam segala bidang. Untuk itu, Amin Abdulah menawarkan integrasi
model jaring laba-laba, integrated and interconected entities yang mecankup ketiga aspek yang
saling berjalin, tidak terpisahkan.
Dengan demikian, buku ini layak dibaca bagi siapa saja yang merindukan agama benar-
benar tidak terjebak dogmatis yang rigid, terkesan menolak segala hasil, cara pandang dunia
sains. Begitu pula, agar sains yang melaju pesat ini bisa menjadi rahmat bukan laknat.
AGAMA DALAM DIMENSI SOSIAL DAN BUDAYA LOKAL DI PROPINSI JAWA TENGAH

Tradisi ziarah ke makam orang-orang terkemuka di Tanah air telah berlangsung cukup
lama, yakni tradisi yang juga pernah semarak di dunia Islam. Namun, banyak peziarah yang
melakukan penyimpangan dari segi akidah Islam. Situasi tersebut mendorong gerakan
pemurnian yang dilakukan Muhammad Abdul Wahab untuk menghancurkan tradisi yang
menyimpang. Di lain pihak tradisi ziarah masih terus dilestarikan, yang juga didasarkan kepada
teks suci Al-quran. Karena apa yang mereka lakukan bukan meminta kepada arwah, melainkan
kepada Allah. Bahkan dalam perkembangannya kegiatan berziarah ini cenderung dimanfaatkan
untuk meningkatkan arus wisata alam dan wisata budaya.
Apalagi pada saat bangsa Indonesia mulai merasakan peningkatan kesejahteraan hidup
tradisi ini menunjukkan gejala peningkatan, para pelaku pun cukup beragam dengan berbagai
strata sosial. Kajian ini difokuskan pada usaha menangkap dan memahami perwujudan
keagamaan masyarakat di berbagai lokalitas dan perspektif kebudayaan atau tradisi lokal yang
dihubungkan dengan pemenuhan kebutuhan hidup dan usaha integrasi sosial.
Empat wilayah pedesaan dipilih sebagai sasaran penelitian masing-masing adalah Desa
Piji, Kandang Mas, Ternadi dan Colo yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Kudus Propinsi
Jawa Tengah. Studi ini menggunakan pendekatan holistik kualitatif, dengan menerapkan
metode penelitian partisipan yang didukung teknik wawancara mendalam dan observasi secara
langsung. Melalui analisis diskriptif diperoleh beberapa temuan.
Pada lokasi Desa Piji ditemukan: pertama, makam seorang wali bernama Syekh Amir
Ibrahim Al Iraqy oleh peziarah dijadikan sebagai wasilah (perantara) dalam menyampaikan doa
kepada Allah. Kedua, berziarah kepada wali hukumnya sunnah, karena wali memiliki sejumlah
karomah yang dapat menolong orang yang masih hidup. Ketiga, ziarah ke makam sebaiknya
dilakukan sebelum menyelenggarakan hajat. Bila tidak dilaksanakan biasanya akan ada di
antara keluarganya yang mengalami kesurupan. Keempat, para peziarah biasanya membaca
surat Yasin, tahlil, doa, dan adakalanya melakukan selamatan di makam. Kelima, berziarah ke
makam salah seorang walisongo ini merupakan salah satu cara antuk mendekatkan umat
kepada agamanya dengan menanamkan kecintaan kepada wali Allah.
Pada lokasi Desa Kandangmas ditemukan: pertama, masyarakat masih mempercayai
adanya kekuatan gaib, makhluk halus yang terdapat di pohon-pohon besar, batu-batu besar
dan tempat-tempat keramat. Kedua, makhluk halus ini suka mengganggu bahkan ada yang
menimbulkan penyakit, untuk pengobatannya harus melalui paranormal atau dukun. Ketiga,
menurut pengikut tariqah, ziarah kubur itu sunah Nabi yang dianjurkan kepada umat Islam
untuk mengingat mati. Keempat, sebagian masyarakat memandang ziarah kubur sebagai sarana
silaturahmi antara peziarah dengan yang diziarahi. Dalam kesempatan itu peziarah dapat pula
meminta bantuan kepada orang yang diziarahi untuk memecahkan persoalan. Kelima, dua
kuburan yang dianggap keramat oleh masyarakat adalah Raden Ayu Dewi Nawangsih dan
Raden Bagus Rinangku. Tata cara berziarah dilakukan selama 7 kali berturut-turut setiap hari
Kamis malam Jumat dan diakhiri dengan acara selamatan kurmat Rasul disertai penyediaan
tumpengan, makanan kecil serta perlengkapan kecantikan. Keenam, berziarah ke makam ini
harus melalui juru kunci.
Dalam upacara haul dan upacara ziarah makam Mbah Kaliyatno di Desa Ternadi
ditemukan : pertama, upacara haul diselenggarakan setahun sekali setiap tanggal 10 Syura
bertempat di lokasi makam. Tempat upacara harus bersih dari perzinaan, minuman keras, dan
perjudian, jika di langgar akan mengalami kegagalan dan bencana. Kedua, selain itu dilakukan
pula tradisi dukar bersama atau makan bersama, dengan makanan dan lauk pauk yang
disiapkan dalam jumlah besar. Persiapan luwur makam, yang meliputi penggantian kain
penutup dan tiang penyanggah dilakukan pada tanggal 9 Syura. Ketiga, bagi warga desa
setempat Mbah Kaliyitno dianggap sebagai pepeunden yaitu leluhur yang dihormati dan
dimuliakan. Para peziarah selalu membawa sedekah disertai dengan pisang mas sebagai syarat
sesaji. Keempat, aktivitas berziarah ke makam sang tokoh disebut dengan istilah minggah
artinya naik. Fungsi makam adalah sebagai pengikat emosional pengunjung sekitarnya sehingga
mereka hidup rukun. Selain itu terdapat rasa kebanggaan bagi masyarakat sekitarnya karena
memperoleh kehormatan tersendiri dan di lain pihak memiliki keberuntugan ekonomi.
Temuan yang terdapat di Desa Colo yaitu : pertama, doa yang diartikan sebagai
permohonan kepada Tuhan. Secara empirik pada masyarakat Colo dikaitkan dengan berziarah
ke makam Sunan Muria. Kedua, mereka berziarah melakukan doa meminta keselamatan di
cungkup makam Sunan Muria atau mendatangi masjid Sunan. Ketiga, perilaku tersebut erat
kaitannya dengan kepercayaan masyarakat Colo bahwa roh Sunan Muria masih hidup, roh
inilah yang akan memperlancar doa umatnya kepada Tuhan. Mereka menganggap roh Sunan
Muria adalah suci yang akan mendengarkan setiap doa umatnya. Keempat, ulama Colo
mewajibkan bagi laki-laki berziarah ke makam. Dan berdasarkan tradisi yang telah di warnai
budaya masyarakat setempat, mereka yang mempunyai nazar akan melakukan prosesi ziarah
dengan bertahlil dan berdoa untuk meminta keselamatan dan ketentraman. Setelah itu mereka
memotong ayam untuk dimakan bersama keluarga. Kelima, Selain itu, ada pula yang
memandang meminum airnya sebagai keramat dari Sunan Muria yang dapat menyembuhkan
sakit. Keenam, terdapat pula kepercayaan masyarakat terhadap buah parit jotoh yaitu sejenis
buah buni yang rasanya pahit dan sepet, dapat memiliki khasiat bagi perempuan hamil akan
memperoleh anak yang cantik atau tampan. Untuk itu dia harus membaca Alquran yang terdiri
dari surat Yusuf dan Maryam bila akan memakannya. Ketujuh, air yang tersimpan dalam
gentong diyakini sebagai air keramat yang membawa keberkahan. Bagi mereka yang berminat
untuk minum di awali dengan berdoa kepada Allah melalui Sunan Muria.***
Agama Dan Pencarian Makna Hidup
AGAMA DAN PENCARIAN MAKNA HIDUP

Agama merupakan petunjuk Allah bagi manusia untuk menemukan makna hidup yang
hakiki. Tanpa agama sulit bagi seorang hamba untuk mendapatkan makna hidup. Seandainya
ada orang yang menemukan makna hidup tanpa agama, itu sangat relatif dan hanya terbatas
pada kehidupan dunia tidak sampai kepada kehidupan akhirat.
Banyak definisi atau pengertian agama yang telah diberikan oleh para ahli, kurang lebih
ada 60 definisi agama. Ada yang mengatakan agama berasal dari akar kata a dan gama. A
artinya tidak dan gama artinya kocar-kacir (tidak teratur). Jadi agama berarti ketentuan untuk
membuat sesuatu menjadi teratur (tidak kocar kacir). Namun pada kesempatan ini saya tidak
akan mengulas lagi makna agama ini. Anda bisa menemukannya dari berbagai referensi.
Persepsi Manusia tentang Tuhan
Tuhan memiliki nama yang beragam sebagaimana tertulis dalam asma’ul husna (nama-
nama yang indah) yang berjumlah sembilan puluh sembilan. Angka 99 menunjukkan Tuhan itu
absolut dan manusia itu relatif. Maka sebagai manusia perlu berusaha menuju yang absolut
dengan bimbingan kita suci. Kebenaran petunjuk Tuhan bersifat absolut, tetapi kebenaran yang
diperoleh melalui nalar manusia bersifat relatif. Maka muncul dua pandangan, yaitu relatively
absolute (absolut yang relatif) dan absolutely relative (relatif yang absolut).
Persepsi manusia tentang Tuhan dan kebermaknaan hidup dipengaruhi oleh banyak
faktor. Salah satunya adalah kondisi psikologis manusia. Maka mempelajari psikologi menjadi
sangat penting dan menjadi suatu keharusan untuk mengenal Tuhan dan menggapai makna
kehidupan. Psikologi, sebagaimana namanya, adalah ilmu yang mempelajari kejiwaan manusia.
Kondisi psikologi manusia dipengaruhi oleh tiga entitas yang salit terkait antara satu
denan lainnya yaitu jasmani, nafs, dan ruhani. Jiwa (nafs) menghubungkan antara dimensi
jasmani (fisik) dan dimensi ruhani untuk mewujudkan keseimbangan antara keduanya. Ruh
yang tidak mengenal kematian, berbeda dengan jasmani yang mengenal kematian. Jika ruh
terlepas dari jasmani maka terjadilah kematian, tetapi ruh itu sendiri tetap kekal abadi.

Persepsi manusia tentang Tuhan, seperti yang pernah saya sebutkan tadi, sangat
beragam dan dipengaruhi banyak faktor. Usia dapat mempengaruhi persepsi manusia tentang
Tuhan. Apa bayangan anda tentang Tuhan pada usia lima tahun, sepuluh tahun, dua puluh
tahun dan seterusnya? Tentu berbeda. Ketika pemahaman tentang Tuhan itu berubah, maka
sebenarnya yang berubah itu Tuhan atau pikiran kita? Tentu yang berubah adalah pikiran kita
dan Tuhan tidak pernah akan berubah.
Pada saat sakit, manusia memandang Tuhan sebagai dokter spesialis dan dapat
mengobati segala macam penyakit. Maka manusia berdo’a Allahumma Rabbannas adzhibil
ba’sa wasyfini bisyifaika syifaan la yughadiru saqaman (Ya Allah Tuhan sekalian manusia,
hilangkanlah sakit saya dan sembuhkanlah saya dengan kesembuhanMu yang tidak
meninggalkan penyakit apapun sesudahnya).
Dalam kondisi lain, pada saat miskin misalnya, Tuhan dipersepsikan sebagai Maha
Pemurah dan Maha Kaya. Maka manusia akan berdoa untuk diberi rezeki yang banyak dengan
berdoa “Ya Razaq… Allahummarzuqna rizqan wasi’an, halalan, thayyiban mubarakan wa anta
khairuraziqin” (Ya Allah Yang Maha Pemberi Rezeki, berilah kami rezeki yang luas, halal, baik,
dan berkah. Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki).
Bagi mereka yang mendalami tasawuf, Tuhan dipersepsikan sebagai Dzat Yang Maha
Pengasih dan Penyayang. Maka orang sufi cenderung lebih toleran. Mereka dalam doanya
meminta “Ya Allah masukkan semua hambaMu ke dalam surga. Engkaulah Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang. Kasih sayangMu ibarat sinat matahari yang menyinari bumi dan
seisinya”.

Dorongan beragama: Misteri, takut, dan cinta


Apa yang mendorong manusia untuk beragama? Manusia beragama didorong oleh
tiga hal, yaitu mistiri, rasa takut, dan cinta. Orang yang beragama meyakini ada yang misterius
dalam kehidupan ini. Artinya ada sesuatu yang tidak bisa dimengerti oloeh akal sehat manusia.
Hal yang misterius adalah hal-hal yang ghaib, tidak kasat mata. Keberadaan jin dan syetan
termasuk misterius, tetapi wajib diyakini oleh manusia.
Dorongan kedua untuk beragama adalah adanya rasa takut kepada kemarahan, laknat
dan adzab Allah. Dorongan ketiga adalah cinta. Cinta merupakan dorongan yang kuat bagi
seseorang untuk beragama. Karena kecintaan kepada Tuhan seseorang rela mengorbankan
tenaga, pikiran, bahkan harta bendanya untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam di muka bumi.
Manusia cenderung mencintai yang indah. Maka dunia ini begitu indah bagi manusia. Dengan
menghayati keindahan dunia dapat menambah kecintaan manusia kepada sang pencipta.

Dimensi lain dari Agama: Kebebasan, keberagaman, dan keabadian jiwa


Dari perspektif psikologi, agama memiliki dimensi lain yang berbeda dengan dimensi
agama dalam konteks filsafat, tasawuf, atau fikih, seperti akidah, syariah dan akhlak. Dimensi
yang saya maksud disini adalah dimensi kebebasan, keberagaman, dan keabadian jiwa.
Tindakan dan perilaku manusia dikatakan baik jika dilaksanakan dengan sukarela, tanpa ada
paksaan dari siapapun. Good is freedom (kebaikan itu adalah kebebasan). Salah satu anugerah
Tuhan yang paling besar adalah kebebasan. Jadi kebebasan merupakan dimensi yang penting
dalam beragama.
Orang yang beragama meyakini adanya kebebasan. Artinya, tidak ada paksaan dalam
beragama. Manusia bebas memilih kebaikan dan keburukan dalam hidupnya. Namun
kebebasan yang diberikan kepada manusia memiliki konsekuensi dan akibat tersendiri. Seperti
kata pepatah, berani berbuat berani bertanggungjawab. Artinya, siapa menabur benih akan
menuai buahnya. Siapa menabur kejahatan (pencurian,perampokan, korupsi, dan teririsme)
wajib mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Mereka yang melakukan kejahatan di dunia,
harus mau menanggung siksa Tuhan pada hari akhir nanti. Sebaliknya mereka yang melakukan
kebaikan di dunia, akan menuai hasilnya pada hari akhir nanti. Inilah dalam psikologi yang
disebut dengan prinsip reward and punishment.
Selain dimensi kebebasan, agama juga memiliki dimensi keberagaman. Keberagaman itu
merupakan desain Tuhan dan sunnatullah. Hidup ini menjadi tidak indah jika semuanya sama.
Bayangkan ketika anda pergi ke kebun binatang, mengapa menjadi begitu menarik? Karena
binatang yang ada di kebun binatang itu beragam atau bermacam-macam. Keberagaman ini
hendaknya dijadikan alasan untuk saling hormat menghormati, toleran, dan kasih sayang
sesama manusia. Bukan sebaliknya dengan dalih keberagaman manusia melakukan kejahatan
dan kerusakan di muka bumi.
Dimensi ketiga adalah keabadian jiwa. Artinya, jiwa itu tidak pernah mati meskipun
sudah terlepas dari jasadnya. Jiwa yang telah meninggalkan dunia akan mengalami kehidupan
dan pengadilan setelah kehidupan. Karena itu keimanan kepada Allah mesti mengantarkan
kepada keimanan kepada hari akhir. Antara keimanan kepada Allah dan keimanan kepada hari
akhir ada amal shaleh. Fungsi amal shaleh selain mengantarkan pelakunya kepada keyakinan
hari akhir, juga mengantarkan pelakunya untuk membangun peradaban. Karena itu posisi
amal shaleh adalah di tengah-tengah, yaitu antara iman kepada Allah dan iman kepada hari
akhir.

Makna Hidup: dulu, sekarang dan yang akan datang


Di dunia ini bisa jadi anda menemukan orang yang tidak percaya pada Tuhan (Atheis),
namun jika dikaji secara mendalam, mereka pun pada dasarnya juga dalam proses pencarian
makna kehidupan. Dalam diri manusia ada kemauan yang kuat untuk mencari makna
kehidupan untuk dijadikan suatu keyakinan. Meminjam istilah William James, dalam diri
manusia ada the will to believe.
Pertanyaan yang mendasar dari makna hidup adalah, how meaningful is our life?
Menurut Rasulullah, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain (khairunnasi
anfauhum linnas). Orang yang terdekat dengan diri kita adalah keluarga kita. Biasanya kita
punya impian untuk tidak menyusahkan keluarga dengan cara mandiri, termasuk membiayai
kuliah sendiri. Kemudian, pada saat sudah bekerja, kita ingin memberikan sesuatu kepada
orang tua sebagai tanda kasih sayang dan pernghargaan atas jasa mereka selama ini. Pada
tataran yang lebih tinggi, kita ingin memberikan kontribusi kepada bangsa dan negara. Dengan
demikian, kehidupan kita bermanfaat bagi banyak orang atau istilah agamanya rahmatan
lilalamin. Tidak hanya untuk diri sendiri karena kita tidak bisa hidup sendirian.
Kita mau melakukan kebaikan atau kejahatan juga tidak bisa sendiri. Sebagai contoh,
kita membayar zakat, tentu ada pihak yang menerima. Jangan mengklaim diri anda sebagai
dermawan jika anda hidup sendiri, tidak ada orang lain. Sebaliknya, orang yang melakukan
kejahatan juga tidak sendirian. Mesti ada ketergantungan kepada orang lain, yaitu obyek yang
akan dijahati.
Menurut pendapaf sebagian filosof life is terrible joke (hidup adalah guyonan yang
mengerikan). Pengalaman kehidupan manusia sangat menyakitkan jika ditarik ke dalam
kehidupan sekarang. Pada saat putus cinta misalnya, jika diingat-ingat kembali, akan sangat
menyakitkan dan mengganggu perasaan kita. Jangankan pengalaman yang pahit, pengalaman
yang indah pun jika diingat kembali jadi menyakitkan. Misalnya, sekarang dalam keadaan
kesulitan, tetapi kita malah mencoba untuk mengingat pengalaman pada masa kejayaan dan
kesuksesan dulu. Ingatan ini bisa menyakitkan. Dalam konteks inilah diperlukan psikologi untuk
mengatasi masalah-masalah yang mengerikan dalam kehidupan ini. Sehingga pengalaman masa
lalu bisa dijadikan pelajaran untuk menggapai masa depan yang lebih baik.
Jika pengalaman yang lalu mengerikan, maka kondisi sekarang adalah serba kurang
(now is insufficient). Ketika manusia merasa kekurangan dengan materi yang dimiliki maka yang
terjadi adalah korupsi. Sesuatu yang akan datang sifatnya tidak pasti (uncertainty). Kita tidak
tahu apa yang akan terjadi pada riri kita besuk, lusa dan masa yang akan datang. Hanya Allah
yang tahu. Yang pasti adalah kekalahan, ketuaan, dan kematian. Orang yang bunuh diri
menganggap bunuh diri sebagai penyelesaian yang paling rasional, murah, dan mudah
dilakukan karena yang bersangkutan tidak percaya kepada Tuhan dan kejadian yang akan
datang.
Jika makna hidup dikaitkan dengan mahasiswa, maka pada saat menjadi mahasiswa ini
merupakan masa mencari makna kehidupan. Mahasiswa yang aktif dalam organisasi, entah itu
HMI, IMM, PMII atau sejenisnya, cenderung memiliki pola pikir yang lebih rasional, toleran,
terbuka, demokratis, dan tidak mudah terpengaruh oleh ideologi-ideologi yang menyimpang
seperti NII (Negara Islam Indonesia).
Fenomena yang menarik perhatian banyak orang beberapa hari terakhir ini adalah
keterlibatan alumni UIN Jakarta dalam aksi terorisme. Fakta bahwa Pepi Fernando adalah
alumni Fakultas Tarbiyah, itu benar. Tapi yang bersangkutan sudah lulus sepuluh tahun yang
lalu. Selama kuliah, juga tidak terbuka dengan kawan-kawannya. Tidak banyak yang tahu apa
yang ia lakukan selama kuliah di UIN. Setelah kuliah, tentu bisa terpengaruh ideologi yang
menyimpang. Maka Pepi Fernando tidak mewakili gambaran mahasiswa UIN secara
keseluruhan. Singkatnya, Pepi Fernando bukan UIN dan UIN bukan Fepi Fernando.
Transendentalisme: Kritik Prof Syed Muhammad Naquib al-Attas

Prof Dr Syed Muhammad Naquib al-Attas tercatat sebagai salah satu pengkritik yang
tajam terhadap gagasan transentalisme ( transcendent unity of religions). Bahwa, seolah-olah
semua agama memiliki titik temu pada level transenden.
Agama-agama hanya berbeda pada level eksoteris dan akan bertemu pada level
esoteris. Intelektual Muslim yang menjadi keynote speakerdalam Konferensi Pendidikan Islam
Pertama di Makkah pada 1977 ini tidak asing dengan gagasan titik temu metafisik agama-
agama.
Al-Attas, selain menguasai banyak literatur tentang wacana titik temu antaragama, juga
mengenal secara personal tokoh-tokoh transendentalis seperti Frithjof Schuon, Martin Lings,
dan Seyyed Hossein Nasr. Mereka sebenarnya saling kenal. Bahkan, Seyyed Hossein Nasr
pernah mengunjunginya di ISTAC, Kuala Lumpur, suatu lembaga pendidikan pascasarjana dalam
bidang pemikiran dan peradaban Islam, yang didirikan oleh al-Attas. Inti argumentasi kalangan
transendentalisme atau perenialisme sebenarnya berkutat pada pembagian dua dimensi
agama, yaitu dimensi esoteris (batin) dan eksoteris (luar). Bagi pendukung teori ini, dimensi
esoteris dianggap lebih tinggi dibanding dimensi eksoteris. Istilah esoteris dimaknai sebagai
pemahaman Tuhan pada tingkat esensi.
Maksudnya, Tuhan dipersepsikan sebagai satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak,
Yang Tidak Terbatas, dan Maha Sempurna. Pada tingkat esoteris inilah, kalangan
transendentalis menganggap agama-agama menyatu. Dalam pandangan mereka, tingkat
esoteris ini dapat diketahui melalui intelektual. Bagi kalangan transendentalis, semua agama
bersatu untuk mengakui Tuhan sebagai satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak
Terbatas, dan Maha Sempurna. Al-Attas mengkritik puncak argumentasi kalangan
transendentalis, yaitu konsepsi esoteris. Kritiknya yang tajam, padat, dan lugas dapat dibaca
dalam magnum opusnya, Prole gomena to the Metaphysics of Islam: An Expo sition of the
Fundamental Elements of the Worldview of Islam(Kuala Lumpur: ISTAC, 1995).
Menurut Syed Naquib al-Attas, konsep Tuhan pada level esoteris seperti anggapan
kalangan transendentalis adalah konsep yang keliru. Pengakuan akan adanya Tuhan saja tidak
cukup. Karenanya, iblis juga mengakui Tuhan sebagai satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak,
Yang Tidak Terbatas, dan Maha Sempurna. Jadi, memahami Tuhan hanya sebagai esensi (Tuhan
sebagai satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak Ter batas, dan Maha Sempurna)
masih bisa sesat.
Konsep Tuhan dalam Islam bukan hanya mengakui-Nya sebagai satu-satunya Realitas
Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak Terbatas, dan Maha Sempurna. Namun, menurut Islam,
pengakuan terhadap-Nya harus juga diikuti sekaligus dengan pengakuan untuk tidak tidak
menyekutukan-Nya dan tunduk kepadanya dengan cara, metode, jalan, dan bentuk yang
dipersetujui oleh-Nya, seperti yang ditunjukkan oleh para rasul yang telah di utus-Nya.
Jika hanya mengakui Tuhan tetapi mengingkari cara, metode, jalan, dan bentuk yang
diajarkan oleh Tuhan melalui nabi-Nya, seseorang itu akan disebut kafir . Orang seperti ini tidak
benar-benar berserah diri kepada-Nya. Iblis juga mempercayai Tuhan yang satu dan mengakui-
Nya sebagai pencipta alam semesta, dalam Alquran ia masih disebut kafir . Itu disebabkan
pengingkaran kepada perintah-Nya. Jadi, memahami dan mengakui Tuhan harus dengan
mengikuti perintah, bentuk cara, dan jalan-Nya. Bahkan hanya de ngan melalui perintah,
bentuk cara, dan jalan-Nya, kebenaran akan diketahui. Jadi, kalangan transendentalis keliru
ketika menganggap dimensi eksoteris lebih rendah dari esoteris. Sebabnya, dimensi eksoteris
justru me rupakan penentu terhadap kebenaran esoteris.
Menurut al-Attas, gagasan titik temu metafisik agama-agama merupakan produk dari
pengalaman keagamaan para tokoh transendentalis. Sebagaimana diketahui, Frithjof Schuon
adalah maha guru bagi kalangan transendentalis. Ia merupakan pendiri sekaligus pemimpin
tarekat al-Maryamiyah, sebuah tarekat rahasia untuk kalangan transendentalis. Konsep titik
temu esoteris agama-agama adalah produk dari pengalaman sang guru ketika terlibat dalam
kehidupan agama-agama, termasuk ketika aktif dalam Freemason.
Al-Attas juga mengingatkan bahwa jika “tansenden” dimaksudkan sebagai pengalaman
keagamaan ( religious experience) yang hanya dicapai oleh beberapa manusia saja, pengalaman
keagamaan itu bukanlah agama itu sendiri. Pengalaman keagamaan semacam itu menurut
mereka tidak dapat terjadi pada masyarakat dan seluruh manusia, namun hanya diraih oleh
elite tertentu dalam setiap agama. Jadi, yang dimaksudkan adalah titik temu pada pengalaman
keagamaan ( transcendent unity of religious experiences).
Pengalaman keagamaan ini sangat tidak tepat jika dianggap sebagai akidah kaum
Muslim. Lebih jauh, al-Attas mengingatkan: “ If ‘transcendent’ is meant to refer to a
psychological conditions at the level of experience and consciousness which ‘excels’ or
‘surpasses’ that of the masses among mankind, then the ‘unity’ that is experienced and made
conscious of at the level of transcendence is not of religions, but of religious experience and
consciousness, which is arrived at by the relatively few individuals only among mankind.”
Jadi, menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, gagasan para tokoh transendentalis
tentang titik temu agama-agama pada level esoteris adalah melampaui tingkatan pengalaman
keagamaan masyarakat umum. Ini jelas bukan maksud agama yang diturunkan untuk semua
manusia. Agama Islam adalah tidak hanya untuk elite tertentu, namun untuk keseluruhan umat.
Ringkasnya, gagasan titik temu metafisika agama-agama adalah teori yang meskipun
terkesan ilmiah tetapi keliru. Gagasan ini muncul dari hasil imajinasi dan spekulasi intelektual,
dan bukan berdasarkan pada fakta. “ Their claim to belief in the transcendent unity of religions
is something suggested to them inductively by the imagination and is derived from intellectual
speculation and not from actual experience.” (Sumber: Republika Online/Koran Republika,
Kamis 21/4/2011 kolom Jurnal Islamia, Kupas Tuntas Bahya & kekeliruan Paham Pluralisme)
Mengapa Kita Beragama?
“Dasar pertama agama (dîn) adalah mengenal-Nya”.
Perkataan di atas sangat tepat dan pada tempatnya, mengingat banyak orang yang
beragama, tetapi tidak mengenal agamanya dengan baik. Padahal, mengenal agama seharusnya
berada pada tahapan awal sebelum mengamalkan ajarannya. Tetapi secara realita,
keberagamaan sebagian besar dari mereka tidak sebagaimana mestinya. Nah dalam
kesempatan ini kami akan memberikan penjelasan tentang mengapa kita beragama dan
bagaimana seharusnya kita beragama dan bagaimana seharusnya kita beragama? Sehingga kita
beragama atas dasar bashirah (pengetahuan, pengertian dan bukti).
Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah (wahai Muhammad), inilah jalan-Ku. Aku mengajak
kepada Allah dengan bashirah (hujjah yang nyata).” (Q.S. Yusuf, 108).
Namun, sebelum menjawab dua pertanyaan di atas, ada baiknya kami terlebih dahulu
membicarakan tentang dîn itu sendiri.
Apa itu Dîn?
Dîn berasal dari bahasa Arab dan dalam Al Quran disebutkan sebanyak 92 kali. Menurut
arti bahasa(etimologi), dîn diartikan sebagai balasan dan ketaatan. Dalam arti balasan, Al Quran
menyebutkan kata dîn dalam surat Al-Fatihah ayat 4, maliki yawmiddîn – “(Dialah) Pemilik (raja)
hari pembalasan.“ Demikian pula dalam sebuah hadis, dîn diartikan sebagai ketaatan.
Rasulullah saaw bersabda, “ad-dînu nashihah (Agama adalah ketaatan).” Sedangkan menurut
terminologi Teologi, dîn diartikan sebagai sekumpulan keyakinan, hukum dan norma yang akan
mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Berdasarkan hal di atas, dîn mencakup tiga dimensi, (1) keyakinan (akidah), (2) hukum
(syariat) dan (3) norma (akhlak). Ketiga dimensi tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga
satu sama lain saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Dengan
menjalankan dîn, kebahagiaan, kedamaian dan ketenangan akan teraih di dunia dan di akhirat.
Seseorang dikatakan mutadayyin (ber-dîn dengan baik), jika dia dapat melengkapi dirinya
dengan tiga dimensi agama tersebut secara proporsional, sehingga dia pasti berbahagia.
Dalam dimensi keyakinan atau akidah, seseorang harus meyakini dan mengimani
beberapa perkara dengan kokoh dan kuat, sehingga keyakinannya tersebut tidak dapat
digoyahkan lagi. Keyakinan seperti itu akan diperoleh seseorang dengan argumentasi (dalil aqli)
yang dapat dipertahankan. Keyakinan ini pada intinya berkisar pada keimanan kepada Allah dan
hari akhirat.
Adapun syariat adalah konsekuensi logis dan praktis dari keyakinan. Mengamalkan
syariat merupakan refresentasi dari keyakinan. Sehingga sulit dipercaya jika seseorang mengaku
beriman kepada Allah dan hari akhirat tetapi tidak mengindahkan syariat-Nya, karena syariat
merupakan kewajiban dan larangan yang datang dari-Nya.
Sedangkan akhlak adalah tuntutan akal budi (‘aql ‘amali) yang mendorong seseorang
untuk mengindahkan norma-norma dan meninggalkan keburukan-keburukan. Seseorang belum
bisa dikatakan mutadayyin selagi tidak berakhlak - “la dîna liman la akhlaqa lahu.” Demikian
pula, keliru sekali jika seseorang terlalu mementingkan akhlak dari pada syariat.
Dari ketiga dimensi dîn tersebut, keyakinan (akidah) menduduki posisi yang paling
prinsip dan menentukan. Dalam pengertian, bahwa yang menentukan seseorang itu
mutadayyin atau tidak adalah keyakinannya. Dengan kata lain, yang memisahkan seseorang
yang beragama dari yang tidak beragama (atheis) adalah keyakinannya. Lebih khusus lagi,
bahwa keyakinanlah yang menjadikan seseorang itu disebut muslim, kristiani, yahudi atau
lainnya.

Mengapa kita beragama?


Marilah kita kembali pada pertanyaan semula, “mengapa kita beragama ?”
Manusia adalah satu spesies makhluk yang unik dan istimewa dibandîng makhluk-
makhluk lainnya, termasuk malaikat, karena manusia dicipta dari unsur yang berbeda, yaitu
unsur hewani / materi dan unsur ruhani / immateri. Memang, dari unsur hewani manusia tidak
lebih dari binatang, bahkan lebih lemah darinya. Bukankah banyak diantara binatang yang lebih
kuat secara fisik dari manusia ? Bukankah ada binatang yang memiliki ketajaman mata yang
melebihi mata manusia ? Bukankah ada pula binatang yang penciumannya lebih peka dan lebih
tajam dari penciuman manusia ? Dan sejumlah kelebihan-kelebihan lainnya yang dimiliki selain
manusia.
Sehubungan ini Allah swt berfirman, “Dan manusia diciptakan dalam keadaan
lemah.”(QS. An-Nisa, 28). “Allah telah menciptakan kalian lemah, kemudian menjadi kuat, lalu
setelah kuat kalian menjadi lemah dan tua.” (QS. Rum, 54). Masih banyak ayat lainnya yang
menjelaskan hal serupa.
Karena itu, sangatlah tidak pantas bagi manusia berbangga dengan penampilan fisiknya,
disamping itu penampilan fisik adalah wahbi sifatnya (semata-mata pemberian dari Allah,
bukan hasil usahanya).
Kelebihan manusia terletak pada unsur ruhani (mencakup hati dan akal, keduanya
bukan materi). Dengan akalnya, manusia yang lemah secara fisik dapat menguasai dunia dan
mengatur segala yang ada di atasnya. Karena unsur inilah Allah menciptakan segala yang ada di
langit dan di bumi untuk manusia (Lihat surat Luqman ayat 20). Dalam salah satu ayat Al Quran
ditegaskan, “Sungguh telah kami muliakan anak-anak Adam, kami berikan kekuasaan kepada
mereka di darat dan di laut, serta kami anugerahi mereka rizki. Dan sungguh kami utamakan
mereka di atas kebanyakan makhluk Kami lainnya.” (QS. Al-Isra 70).
Unsur akal pada manusia, awalnya masih berupa potensi (bil-quwwah) yang perlu
difaktualkan (bil-fi’li) dan ditampakkan. Oleh karena itu, jika sebagian manusia lebih utama dari
sebagian lainnya, maka hal itu semata-mata karena hasil usahanya sendiri, karena itu dia
berhak berbangga atas lainnya. Sebagian mereka ada pula yang tidak berusaha memfaktualkan
dan menampakkan potensinya itu, atau memfaktualkannya hanya untuk memuaskan tuntutan
hewaninya, maka orang itu sama dengan binatang, bahkan lebih hina dari binatang (QS. Al-A’raf
170 dan Al-Furqan 42).
Termasuk ke dalam unsur ruhani adalah fitrah. Manusia memiliki fitrah yang merupakan
modal terbesar manusia untuk maju dan sempurna. Dîn adalah bagian dari fitrah manusia.
Dalam kitab Fitrat (edisi bahasa Parsi), Syahid Muthahhari menyebutkan adanya lima
macam fitrah (kecenderungan) dalam diri manusia, yaitu mencari kebenaran (haqiqat),
condong kepada kebaikan, condong kepada keindahan, berkarya (kreasi) dan cinta (isyq) atau
menyembah (beragama). Sedangkan menurut Syeikh Ja’far Subhani,terdapat empat macam
kecenderungan pada manusia,dengan tanpa memasukan kecenderungan berkarya seperti
pendapat Syahid Muthahhari (kitab al-Ilahiyyat, juz 1).
Kecenderungan beragama merupakan bagian dari fitrah manusia. Manusia diciptakan
oleh allah dalam bentuk cenderung beragama,dalam arti manusia mencintai kesempurnaan
yang mutlak dan hakiki serta ingin menyembah pemilik kesempurnaan tersebut. Syeikh Taqi
Mishbah Yazdi, dalam kitab Ma’arif Al Quran juz 1 hal. 37, menyebutkan adanya dua ciri fitrah,
baik fitrah beragama maupun lainnya, yang terdapat pada manusia, yaitu pertama
kecenderungan-kecenderungan (fitrah) tersebut diperoleh tanpa usaha atau ada dengan
sendirinya, dan kedua fitrah tersebut ada pada semua manusia walaupun keberadaannya pada
setiap orang berbeda, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Dengan demikian, manusia tidak
harus dipaksa beragama, namun cukup kembali pada dirinya untuk menyambut suara dan
panggilan hatinya, bahwa ada sesuatu yang menciptakan dirinya dan alam sekitarnya.
Meskipun kecenderungan beragama adalah suatu yang fitri, namun untuk menentukan
siapa atau apa yang pantas dicintai dan disembah bukan merupakan bagian dari fitrah,
melainkan tugas akal yang dapat menentukannya. Jadi jawaban dari pertanyaan mengapa
manusia harus beragama, adalah bahwa beragama merupakan fitrah manusia. Allah Ta’ala
berfirman, “Maka hadapkanlah wajahmu kepada dîn dengan lurus, sebagai fitrah Allah yang
atasnya manusia diciptakan.” (QS. Rum 30).

Sekilas Teori-teori Kemunculan Agama


Kaum materialis memiliki sejumlah teori tentang kemunculan agama, antara lain:
1. Agama muncul karena kebodohan manusia.
Sebagian mereka berpendapat, bahwa agama muncul karena kebodohan manusia.
August Comte peletak dasar aliran positivisme menyebutkan, bahwa perkembangan
pemikiran manusia dimulai dari kebodohan manusia tentang rahasia alam atau
ekosistem jagat raya. Pada mulanya periode primitif karena manusia tidak
mengetahui rahasia alam, maka mereka menyandarkan segala fenomena alam
kepada Dzat yang ghaib.
Namun, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan (sains) sampai pada batas segala
sesuatu terkuak dengan ilmu yang empiris, maka keyakinan terhadap yang ghaib
tidak lagi mempunyai tempat di tengah-tengah mereka.
Konsekuensi logis teori di atas, adalah makin pandai seseorang akan makin jauh ia
dari agama bahkan akhirnya tidak beragama, dan makin bodoh seseorang maka
makin kuat agamanya. Padahal, betapa banyak orang pandai yang beragama, seperti
Albert Einstein, Charles Darwin, Hegel dan lainnya. Demikian sebaliknya, alangkah
banyak orang bodoh yang tidak beragama.
2. Agama muncul karena kelemahan jiwa (takut)
Teori ini mengatakan, bahwa munculnya agama karena perasaan takut terhadap
Tuhan dan akhir kehidupan. Namun, bagi orang-orang yang berani keyakinan seperti
itu tidak akan muncul. Teori ini dipelopori oleh Bertnart Russel. Jadi, menurut teori ini
agama adalah indikasi dari rasa takut. Memang takut kepada Tuhan dan hari akhirat,
merupakan ciri orang yang beragama. Tetapi agama muncul bukan karena faktor ini,
sebab seseorang merasa takut kepada Tuhan setelah ia meyakini adanya Tuhan. Jadi,
takut merupakan akibat dari meyakini adanya Tuhan (baca beragama).
3. Agama adalah produk penguasa
Karl Marx mengatakan bahwa agama merupakan produk para penguasa yang
diberlakukan atas rakyat yang tertindas, sebagai upaya agar mereka tidak berontak
dan menerima keberadaan sosial ekonomi. Mereka (rakyat tertindas) diharapkan
terhibur dengan doktrin-doktrin agama, seperti harus sabar, menerima takdir, jangan
marah dan lainnya.
Namun, ketika tatanan masyarakat berubah menjadi masyarakat sosial yang tidak
mengenal perbedaan kelas sosial dan ekonomi, sehingga tidak ada lagi perbedaan
antara penguasa dan rakyat yang tertindas dan tidak ada lagi perbedaan antara si
kaya dan si miskin, maka agama dengan sendirinya akan hilang. Kenyataannya, teori
di atas gagal. Terbukti bahwa negara komunis sosialis sebesar Uni Soviet pun tidak
berhasil menghapus agama dari para pemeluknya, sekalipun dengan cara kekerasan.
4. Agama adalah produk orang-orang lemah
Teori ini berseberangan dengan teori-teori sebelumnya. Teori ini mengatakan, bahwa
agama hanyalah suatu perisai yang diciptakan oleh orang-orang lemah untuk
membatasi kekuasaan orang-orang kuat. Norma-norma kemanusiaan seperti
kedermawanan, belas kasih, kesatriaan, keadilan dan lainnya sengaja disebarkan oleh
orang-orang lemah untuk menipu orang-orang kuat, sehingga mereka terpaksa
mengurangi pengaruh kekuatan dan kekuasaannya. Teori ini dipelopori Nietzche,
seorang filusuf Jerman.
Teori di atas terbantahkan jika kita lihat kenyataan sejarah, bahwa tidak sedikit dari
pembawa agama adalah para penguasa dan orang kuat misalnya Nabi Sulaiman dan
Nabi Daud keduanya adalah raja yang kuat.
Sebenarnya, mereka ingin menghapus agama dan menggantikannya dengan sesuatu
yang mereka anggap lebih sempurna (seperti, ilmu pengetahuan menurut August
Comte, kekuasaan dan kekuatan menurut Nietszche, komunis sosialisme menurut
Karl Marx dan lainnya). Padahal mencintai dan menyembah kesempurnaan adalah
fitrah.
Perbedaan kaum agamawan dengan mereka, adalah bahwa kaum agamawan
mendapatkan kesempurnaan yang mutlak hanya pada Tuhan. Jadi, sebenarnya
mereka (kaum Atheis) beragama dengan pikiran mereka sendiri. Atau dengan kata
lain, mereka mempertuhankan diri mereka sendiri.

Bagaimana Seharusnya Kita Beragama?


Pertanyaan di atas layak diketengahkan dalam rangka introspeksi diri atas keagamaan
kita, sehingga kita benar-benar beragama sebagaimana mestinya. Karena betapa banyak orang
beragama, namun keberagamaan mereka sekedar warisan dari orang tua atau lingkungan
sekitar mereka. Bahkan ada sebagian orang beranggapan, bahwa agama hanya sebagai
pelengkap kehidupan yang sifatnya eksidental.
Mereka tidak ambil peduli yang lazim terhadap agama. Karenanya mereka beragama
asal-asalan, sekedar tidak dikatakan tidak beragama. Gejala perpindahan dari satu agama
kepada agama yang lain bukanlah semata karena faktor ekonomi. Bahkan, anggapan bahwa
semua agama itu sama merupakan akibat dari ketidak pedulian yang lazim terhadap agama.
Gejala pluralisme semacam ini menjadi trend abad kedua puluh.
Dalam persepsi mereka, membicarakan agama adalah suatu hal yang sangat sensitif dan
akan merenggangkan hubungan antara manusia. Agama merupakan sesuatu yang sangat
personal dan tidak perlu diungkap dalam forum-forum umum dan terbuka. Jika harus berbicara
agama pun, maka ruang lingkupnya harus dibatasi pada sisi peribadatan saja.
Agama telah dirampingkan, sedemikian rupa sehingga, hanya mengurus masalah-
masalah ritual belaka. Agama jangan dibawa-bawa ke dalam kancah politik, sosial dan ekonomi.
Karena jika agama dibawa ke dalam arena politik dan sosial, maka akan terjadi perang antar
agama dan penindasan atas agama tertentu oleh agama yang berkuasa. Demikian pula, jika
agama diperan aktifkan dalam urusan ekonomi, maka akan membatasi kebebasan perilaku
menimbun kekayaan, karena banyak lampu-lampu merah dan peringatan-peringatan yang
sudah tentu akan menghambat kelancaran bisnis.
Apakah benar demikian ?
Tentu, bagi mereka yang masih memiliki keterikatan dengan agama akan mengatakan,
bahwa pernyataan di atas relatif kebenarannya. Sebab, boleh jadi pernyataan di atas adalah
suatu kesimpulan dari beberapa kasus sejarah yang parsial dan situasional, bahkan tidak bisa
digeneralisasikan.
Namun bagi kaum muslimin, pernyataan di atas sama sekali tidak benar, karena secara
teoritis agama Islam adalah pegangan hidup (way of life) yang lengkap dan tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia, baik secara individu maupun kemasyarakatan. Islam agama
yang sangat luas dan fleksibel. Secara praktek hal ini telah dibuktikan, bahwa dalam sebuah
pemerintahan yang menjalankan syariat Islam dengan baik, kehidupan masyarakatnya baik
muslim atau non muslim aman, damai dan sejahtera, bahkan perkembangan ilmu pengetahuan
di dalamnya maju pesat.
Yang menjadi acuan kita, adalah bagaimana seharusnya kita beragama, agar ajarannya
benar-benar terasa dan mewarnai seluruh aspek kehidupan kita.
Sebagaimana telah kita bahas pada edisi sebelumnya, bahwa ajaran-ajaran Dîn terdiri atas tiga
macam, yaitu akidah (keyakinan), syariah (hukum atau fiqih) dan akhlaq. Semuanya harus kita
perhatikan secara proporsional. Di sini kami akan menjelaskan, walaupun ringkas, ketiga jenis
ajaran tersebut.

1. Akidah
Akidah adalah perkara-perkara yang mengikat akal, pikiran dan jiwa seseorang
(Mabani-e Syenakht, Syeikh Muhammad Raysyahri). Misalnya, ketika seseorang
meyakini adanya satu Dzat yang senantiasa mengawasi gerak-gerik kita, maka
keyakinan tersebut mengikat kita sehingga kita tidak leluasa berbuat sesuatu yang
akan menyebabkan-Nya murka.
Pada dasarnya, inti dari akidah semua agama, adalah keyakinan akan eksistensi
Dzat Pencipta alam raya ini dan ini merupakan fitrah manusia. Dengan demikian,
dari sisi ini semua agama sama, khususnya agama samawi. Allah Ta’ala
berfirman,“Katakanlah wahai ahli kitab, marilah kita menuju (membicarakan)
kalimat (keyakinan) yang sama antara kami dan kalian.” (QS. Ali Imran : 64).
Namun perbedaan muncul ketika berbicara tentang siapa pencipta alam raya ini,
bagaimana wujud-Nya, apakah tunggal atau berbilang, atau pertanyaan-pertanyaan
lain yang berkaitan dengan ketuhanan.
Tentu, tidak mungkin semua agama itu benar dalam memahami Dzat Pencipta.
Oleh karenanya, hanya ada satu agama yang benar dalam memahami siapa dan
bagaimana Dzat Pencipta itu.
Lalu bagaimana cara menentukan mana agama yang benar ?
Dalam hal ini, masing-masing agama tidak bisa membicarakan hal itu menurut
kaca matanya sendiri, baik melalui kitab sucinya atau pendapat para pakarnya. Umat
Islam tidak bisa membuktikan bahwa Tuhan itu Allah dengan Al Quran maupun
Hadis, atau umat Kristiani dengan kitab Injilnya. Demikian pula umat lainnya.
Berbicara tentang siapa dan bagaimana Tuhan Pencipta, harus dengan sesuatu
yang disepakati dan dimiliki oleh setiap agama, yaitu akal. Keunggulan dan
keberhasilan suatu agama atau aliran, tergantung sejauh mana dapat dipertahankan
kebenarannya oleh akal. Maka di sinilah perlunya kita mempelajari akidah melalui
pendekatan akal, atau yang sering disebut dengan ushuluddîn, ilmu tauhid dan ilmu
kalam (theologi).

Bagaimana kita berakidah atau bagaimana cara kita mempelajari akidah ?


Ayatullah Muhammad Rey Syahri dalam kitab Mabani-e Syenakht membagi
manusia yang berakidah kepada dua kelompok, yaitu sebagian orang berakidah atas
dasar taqlid dan lainnya berakidah atas dasar tahqiq. Taqlid ialah menerima
pendapat orang tanpa dalil dan argumentasi (burhan) aqli, sebaliknya tahqiq adalah
menerima pendapat berdasarkan dalil dan argumentasi (burhan) aqli.
Berakidah atas dasar taqlid, menurut akal tidak dapat dibenarkan. Karena
masalah akidah adalah masalah keyakinan dan kemantapan, sementara taqlid tidak
memberikan keyakinan dan kemantapan. Oleh karenanya, alangkah banyak
kalangan awam, dalam masalah keagamaan, karena satu dan lain hal, pindah agama
atau keluar dari agamanya. Al Quran sendiri, dalam beberapa ayatnya, mengkritik
cara berpikir seperti ini, yang merupakan cara berpikir yang biasa dijadikan alasan
oleh orang-orang musyrik untuk tidak mengikuti ajakan para Nabi. Misalnya, Al
Quran mengatakan, “Jika dikatakan kepada mereka, Ikutilah apa yang Allah
turunkan. Mereka menjawab, Tidak. Akan tetapi kami mengikuti (melakukan) apa
yang kami dapati dari pendahulu kami.” (QS. Luqman : 21).
Selain itu, Al Quran juga melarang mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan, “Dan
janganlah kalian mengikuti apa yang tidak kalian ketahui.” (QS. Al-Isra : 36). Bahkan
Al Quran menyebut orang yang tidak menggunakan akalnya sebagai binatang yang
paling buruk, “Sesungguhnya binatang yang paling buruk di sisi Allah adalah orang
yang bisu dan tuli, yaitu orang-orang yang tidak berpikir.” (QS. Al-Anfal : 22) dan
ayat-ayat lainnya.
Disamping itu, terdapat sejumlah Hadis Rasulullah saaw yang menganjurkan
umatnya agar beragama atas dasar pengetahuan. Antara lain Hadis yang berbunyi,
“Jadilah kalian orang yang berilmu atau yang sedang menuntut ilmu, dan jangan
menjadi orang yang ikut-ikutan.” (Kitab an-Nihayah Ibnu Atsir, jilid I hal. 67)
Ala kullihal, akal diciptakan sebagai sumber kekuatan manusia untuk mengetahui
kebenaran dan kesalahan. Salah seorang Ma’shumin berkata, “Allah mempunyai dua
hujjah (bukti kebenaran), hujjah lahiriah dan hujah batiniah. Hujah lahiriah adalah
para Rasul dan hujjah batiniah adalah akal.” Sementara itu, para Mutakalimin dan
filosof muslim telah bersusah payah membangun argumentasi-argumentasi rasional
yang kuat dan kokoh tentang pembuktian keberadaan Allah Ta’ala.
Dengan demikian, kesimpulan yang dapat kita tarik dari keterangan di atas,
adalah bahwa dalam masalah akidah seseorang mesti bertahqiq dengan dalil-dalil
akal, dan tidak boleh ber-taqlid.

2. Syariat
Syariat menurut arti bahasa adalah tempat mengalirnya air. Lalu syariat diartikan
lebih luas, yaitu untuk segala jalan yang mengantarkan manusia kepada maksudnya
(lihat Tafsir Namuneh dan Tafsir Mizan dalam menafsirkan surat Al-Jatsiyah ayat 18).
Dengan demikian, Syariat Islamiyah berarti jalan yang mengantarkan umat
manusia kepada tujuan Islami.
Setelah seseorang meyakini keberadaan Allah sebagai Pencipta dan Pemberi
kehidupan sesuai dengan dalil-dalil akal, maka konsekuensi logisnya (bil mulazamah
aqliyyah) dia akan merasa berkewajiban untuk menaati dan menyembah-Nya.
Namun sebelumnya, tentu dia harus mengetahui cara bertaat dan menyembah
kepada-Nya, agar tidak seperti orang-orang Arab Jahiliyah yang menyembah Allah,
namun melalui patung-patung (QS. Az-Zumar : 3).
Mereka, sesuai dengan fitrah illahiah, meyakini keberadaan Tuhan Sang Pencipta
alam raya. Berkenaan dengan itu, Allah Ta’ala berfirman, “Jika kamu bertanya
kepada mereka, Siapakah yang menciptakan bumi dan langit ? Niscaya mereka
menjawab, Allah.” (QS. Lukman : 25). Kemudian, mereka ingin mengadakan
hubungan dan berkomunikasi dengan-Nya (menyembah-Nya), sebagaimana Allah
lukiskan dalam firman-Nya, “Sebenarnya kami menyembah patung-patung sebagai
upaya mendekatkan diri kami kepada Allah semata.” (QS. Az-Zumar : 3). Meskipun
mereka meyakini keberadaan Allah Ta’ala, namun mereka salah dalam cara
mengadakan hubungan dan berkomunikasi dengan-Nya.
Nah, agar tidak terjadi kesalahan dalam kontak dan komunikasi dengan Allah,
maka kita mesti melakukannya menurut cara yang dihendaki-Nya dan tidak
mengikuti cara yang kita inginkan. Allah dengan luthf-Nya (upaya mendekatkan
hamba pada ketaatan dan menjauhkannya dari kemaksiatan) mengutus para Nabi
dan menurunkan kitab untuk mengajarkan tata cara menyembah (beribadah). Oleh
karena itu, kita mesti mengikuti bagaimana Rasulullah saaw beribadah, ‘’Shalatlah
kalian, sebagaimana kalian melihat aku shalat.’’
Kaum muslimin yang menyaksikan Rasulullah beribadah secara langsung, tidak
mengalami kesulitan untuk mengikuti beliau. Namun, bagi kita yang telah dipisahkan
dari beliau dengan rentang waktu yang cukup panjang (lima belas abad), untuk
mengetahui cara beliau beribadah hanyalah dapat dilakukan melalui perantaraan Al
Quran dan Hadis. Dan untuk memahami maksud Al Quran dan Hadis tidaklah
mudah.
Menyangkut Al-Qur’an, Imam Ali bin Abi Thalib as. berkata, “Kitab Tuhan kalian
(berada) di tengah-tengah kalian. Ia menjelaskan tentang halal dan haram,
kewajiban dan keutamaan, nasikh (ayat yang menghapus) dan mansukh (ayat yang
dihapus), rukhshah dan azimah, khusus dan umum, ibrah dan perumpamaan, mursal
(mutlaq) dan mahdud (muqayyad), muhkam (ayat yang jelas maksudnya)…” (Tashnif
Nahjul Balaghah : 207). Sedangkan mengenai Hadis yang sampai kepada kita, ribuan
jumlahnya dari berbagai kitab Hadis dan tidak sedikit darinya terdapat pertentangan
satu dengan lainnya.
Dengan demikian, untuk dapat memahami maksud Al Quran dan Hadis, harus
terlebih dahulu menguasai sejumlah disiplin ilmu dengan baik, antara lain Bahasa
Arab, Tafsir, Ulumul Qur’an, Ushul Fiqih, Mantiq, Ilmu Rijal, Ulumul Hadis dan
sebagainya.
Orang yang telah menguasai semua disiplin ilmu tersebut dengan baik, dia dapat
ber-istinbath (meng-interpretasi-kan hukum) secara langsung dari Al Quran dan
Hadis (pelakunya disebut mujtahid). Tetapi orang yang tidak menguasai semua ilmu
di atas dengan baik, maka cukup baginya mengikuti (bertaqlid) kepada hasil istinbath
seorang mujtahid. Dalam masalah akidah taqlid tidak diperkenankan, sementara
dalam masalah syariat taqlid diperbolehkan.

3. Akhlak
Para ulama dalam mengartikan akhlak umumnya mengatakan, “Akhlak adalah
ilmu yang menjelaskan tentang mana yang baik dan yang buruk, serta apa yang
harus diamalkan.” Mereka membagi ilmu akhlak kepada dua bagian, yaitu akhlak
teoritis dan akhlak praktis. Mempelajari dan mengamalkan akhlak sangat diperlukan,
sebagai proses mencapai tujuan hidup, yaitu kesempurnaan.
Kalimat penutup, sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimana seharusnya kita
beragama, adalah berakidah atas dasar tahqiq dan menjalankan syariat dengan baik
atas dasar ijtihad atau taqlid dan berakhlak.

Anda mungkin juga menyukai