Anda di halaman 1dari 18

TRIPITAKA

6
(Masalah Otentisitas, Integralitas, dan Validitas)

Sebagaimana pada umumnya diketahui bahwa kitab


suci yang menjadi pegangan umat agama Buddha ialah
Tripitaka, dan kita, umat agama lain, ketika mendengar
nama tersebut biasanya kita membayangkan bahwa
Tripitaka adalah suatu buku himpunan yang berisi tentang
ajaran yang telah disampaikan oleh Sang Buddha di India
sekian puluh abad yang lalu. Tidak salah memang, karena
lingkungan turut membentuk dunia seseorang, termasuk
pengetahuan. Tetapi akan lebih baik apabila kita juga
mengenal dunia orang lain sehingga dapat memperkaya
khazanah pengetahuan yang kita miliki. Pembahasan
tentang Tripitaka sebagai kitab suci agama Buddha ini
berupaya untuk memperkenalkan perbendaharaan literatur
yang terdapat dalam agama Buddha, yaitu apa yang
sesungguhnya dimaksud dengan Tripitaka dan bagaimana
isi yang terdapat di dalamnya.
Secara harfiyah kata ‘Tripitaka’ terdiri dari dua
sukukata, yaitu ‘Tri’ dan ‘Pitaka’. ‘Tri’ berarti tiga sedang-
kan ‘Pitaka’ berarti keranjang atau bakul. Dengan demikian,
kata ‘Tripitaka’ berarti ‘tiga keranjang’ atau ‘tiga bakul’.
Secara terminologis kata ‘Tripitaka’ sama dengan ‘tiga
koleksi kitab suci’ agama Buddha. Ketiga koleksi itu adalah
Sutrapitaka, Vinayapitaka, dan Abhidharmapitaka.

115
Bunga Rampai Studi Agama Buddha
116
Sutrapitaka berisi ajaran-ajaran yang telah disampaikan
Sang Buddha. Ajaran-ajaran tersebut dikenal dengan istilah
Dharma. Oleh karena itu, Sutrapitaka disebut juga dengan
Dharmapitaka. Vinayapitaka berisi peraturan yang harus
dilaksanakan oleh para bhiksu/bhiksuni dalam menempuh
jalan kebhiksuan, sedangkan Abhidharmapitaka berisi
pembahasan ajaran yang bersifat filosofis.
Sebenarnya, kata atau istilah ‘pitaka’ atau apalagi
‘Tripitaka’ tidak dikenal pada masa Sang Buddha sendiri.
Kedua istilah tersebut sekedar merupakan persoalan kese-
pakatan yang terdapat di kalangan umat Buddha setelah
Sang Buddha wafat. Sang Buddha hanya menyampaikan
apa berkenaan dengan ajaran dan peraturan yang harus
dilaksanakan atau ditinggalkan oleh mereka yang menerima
dan mengikuti jalannya. Setelah sang Buddha wafat
(parinirvana) maka umat Buddha merasa perlu melestarikan
ajaran Sang Buddha dengan cara mengumpulkan kembali
apa yang telah disampaikan Sang Buddha tersebut. Namun
perlu dicatat bahwa yang dimaksud dengan mengumpulkan
kembali tidak berarti mengumpulkan catatan-catatan tertulis
seperti seorang dokumenter mengumpulkan dokumen-
dokumen, melainkan para bhiksu berkumpul dan
menyamakan persepsi tentang apa yang telah disampaikan
Sang Buddha. Dalam sejarah agama Buddha proses
pengumpulan demikian terjadi dalam beberapa kali
pesamuan atau konsili, di antaranya konsili di Rajagriha,
Vaisali, dan Pataliputra.
Pada tahun pertama setelah Sang Buddha mangkat
(parinirvana), para bhiksu melakukan pesamuan di
Rajagriha sehingga pesamuan tersebut dikenal sebagai
Konsili Rajagriha. Lamotte (1988, h. 150) mengemukakan
Tripitaka
117
bahwa pada masa itu telah dikenal beberapa orang yang
hafal dan ahli tentang Dharma atau Sutra yang disebut
dengan sutradhara, orang yang hafal dan ahli tentang
Vinaya yang disebut vinayadhara, dan orang-orang yang
ahli tentang pokok-pokok ajaran Sang Buddha yang bersifat
filosofis yang disebut dengan matrkadhara. Pesamuan di
Rajagriha dilaksanakan atas permintaan Kasyapa. Dalam
pesamuan tersebut Kasyapa meminta Ananda untuk
membacakan, lebih tepat mengulang-kembali ingatan,
tentang Dharma (Sutra) yang telah disampaikan oleh Sang
Buddha dan Upali membacakan Vinaya. Tidak diketahui
siapa yang diminta membacakan jenis ajaran yang terakhir.
Yang penting dicatat di sini adalah bahwa sampai saat itu
ketiga disiplin tersebut masih berdiri sendiri sehingga
ketiganya belum dapat dikualifikasikan sebagai keranjang
atau ‘pitaka’ apalagi ‘Tripitaka’. Istilah-istilah tersebut
muncul untuk pertama kalinya dalam prasasti-prasati
Brahmi yang apabila dijujut di antara prasasti-prasasti
tersebut prasasti yang paling kuno hanya sampai kepada
masa abad kedua S.M. Ini berarti bahwa istilah ‘Tripitaka’
atau ‘tiga keranjang’ tidak dikenal selama tiga atau empat
abad sampai ke abad kedua S.M. atau bahkan sampai
kepada masa kompilasi kitab suci itu sendiri, yaitu abad 1
S.M., ketika sebuah nama diperlukan sebagai pertanda yang
membedakan satu dengan yang lain.
Lebih lanjut, sekalipun setelah abad 2 atau 1 S.M.
telah dikenal nama ‘Tripitaka’ kenyataan memperlihatkan
bahwa ‘Tripitaka’ yang dimaksud tidaklah homogen.
Artinya, himpunan koleksi dan teks-teks yang terkandung di
dalamnya tidaklah utuh dan berlaku untuk semua golo-ngan
Bunga Rampai Studi Agama Buddha
118
atau sekte agama Buddha. Nama ‘pitaka’ benar-benar
menyiratkan makna ‘keranjang’ atau ‘bakul’ yang ke
dalamnya bisa dimasukkan berbagai macam koleksi teks
oleh bermacam-macam sekte. Dalam uraian di bawah saya
mencoba menyajikan variasi isi kitab suci Tripitaka yang
didasarkan pada hasil penelitian Lamotte dalam bukunya
History of Indian Buddhism (1988).

1. Beberapa Versi Tripitaka

Tripitaka sebagai suatu kesatuan yang membentuk


kanon atau kitab suci dalam agama Buddha ternyata tidak
utuh, melainkan terdiri dari beberapa versi. Di samping ada
Tripitaka yang berbahasa Pali, yang menjadi pegangan dan
dilestarikan oleh aliran Theravada, ada juga Tripitaka yang
berbahasa Sanskerta. Selain perbedaan bahasa terdapat pula
perbedaan susunan dan isi antara Pali Tripitaka dan
Tripitaka yang berbahasa Sanskerta, sesuai dengan versinya
sendiri.
Sebagai contoh, sistematika Tripitaka (Pali,
Tipitaka) yang berbahasa Pali terdiri dari:

I. Vinayapitaka.
II. Suttapitaka, yang terbagi lagi kepada:
1. Dighanikaya
2. Majjhimanikaya
3. Samyuttanikaya
4. Anguttaranikaya
5. Khuddakanikaya
III. Abhidhammapitaka.
Tripitaka
119
Sedangkan Tripitaka yang dilestarikan oleh sekte
Mahasamghika, Haimavata, Mahisasaka, dan
Dharmaguptaka terdiri dari :

I. Sutrapitaka, yang terdiri dari :


1. Dirghagama
2. Madhyamagama
3. Samyuktagama
4. Ekottaragama
5. Ksudrakapitaka
II. Vinayapitaka.
III. Abhidharmapitaka.

Di pihak lain, aliran Mahayana memisahkan


Ksudrakapitaka dari Sutrapitaka dalam Tripitaka versi
kedua di atas, sehingga susunan Tripitaka Mahayana terdiri
dari:

I. Vinayapitaka.
II. Sutrapitaka, yang terdiri dari empat agama :
1. Dirghagama
2. Madhyamagama
3. Samyuktagama
4. Ekottaragama
III. Abhidharmapitaka.
IV. Ksudrakapitaka.

Jadi jelas bahwa Tripitaka sebagai kitab suci agama


Buddha merujuk kepada suatu koleksi kitab suci yang
berbeda baik bahasa, susunan, maupun isinya. Selain itu,
Bunga Rampai Studi Agama Buddha
120
masih terdapat beberapa versi lainnya yang tidak mema-
sukan teks-teks yang dianggap kurang penting ke dalam
Tripitaka mereka.
Sekarang mari kita coba membahasnya satu persatu
setiap bagian dari Tripitaka tersebut. Di sini saya perguna-
kan pola susunan Tripitaka yang berbahasa Pali sebagai
acu-an. Penggunaan Tripitaka Pali sebagai acuan bukan
berarti bahwa Tripitaka Pali sebagai satu-satunya koleksi
yang otentik melainkan karena Tripitaka Pali relatif lebih
siste-matis dibandingkan dengan koleksi-koleksi yang
lainnya.

2. Sutrapitaka (Pali, Suttapitaka)

Sutrapitaka merupakan himpunan atau koleksi kitab


suci yang berisi tentang ajaran yang telah disampaikan oleh
Sang Buddha. Ajaran yang dimaksudkan di sini ialah ajaran
yang bersifat umum dan berbeda dengan ajaran-ajaran Sang
Buddha yang secara khusus ditujukan kepada para nggota
Sangha (para bhiksu) atau ajaran-ajaran lainnya yang
mendalam dan bersifat filosofis.
Sutrapitaka ini merupakan bagian yang sangat
penting dari ajaran yang ditemukan dan disampaikan oleh
Sang Buddha. Semua umat Buddha mengenal dan
mengakui otoritas Sutrapitaka kecuali sebagian kecil sutra
saja yang masih diperselisihkan di antara aliran Mahayana
dan aliran Hinayana (Theravada).
Sebagai suatu koleksi, Sutrapitaka terdiri dari bebe-
rapa bagian. Dalam Sutrapitaka yang berbahasa Pali
terdapat lima koleksi lainnya yang disebut nikaya sebagai
berikut:
Tripitaka
121

a. Dighanikaya, yaitu ‘koleksi sutra yang


panjang’, terdiri dari 34 sutra dan terbagi lagi
menjadi 3 bagian (vagga).
b. Majjhimanikaya, yaitu ‘koleksi sutra yang pan-
jangnya kira-kira pertengahan’, terdiri dari 152
sutra.
c. Samyuktanikaya, ialah ‘koleksi sutra yang
dike-lompokkan’, terdiri dari 7.762 sutra, terbagi
menjadi 6 bagian (vagga) yang pada gilirannya
terbagi lagi menjadi 56 kelompok (samyukta).
d. Angutaranikaya, ialah ‘koleksi sutra-sutra yang
disusun secara bertahap’, terdiri dari 9.557 sutra
terbagi kepada 11 kelompok (nipata) di mana
masing-masing kelompok tersebut terbagi lagi
kepada beberapa bagian (vagga).
e. Khuddakanikaya, terdiri dari 15 buku.

Istilah nikaya yang membentuk Sutrapitaka dalam


bahasa Pali tersebut ternyata mempunyai padanan istilah
dalam bahasa Sanskerta atau bahasa India Tengah yang
disebut agama, seperti yang dapat dilihat dalam Tripitaka
versi kedua dan ketiga di atas. Namun sayang, teks agama
yang asli tersebut tidak diketahui lagi. Sekalipun demikian
kita masih tetap beruntung karena terdapat Tripitaka yang
berbahasa China yang memuat terjemahan, kira-kira antara
paruh kedua abad keempat dan permulaan abad kelima
Masehi, secara terpisah dari agama-agama tersebut.
Agama memuat koleksi sutra lebih banyak lagi jika
dibandingkan dengan nikaya. Hal ini karena pengoleksian
Bunga Rampai Studi Agama Buddha
122
agama-agama terjadi lebih kemudian sehingga memung-
kinkan masuknya teks-teks yang lain yang lebih akhir.
Adanya kesamaan antara agama-agama dalam
bahasa China dengan nikaya yang berbahasa Pali tidak
berarti bahwa teks-teks tersebut merupakan terjemahan
persis dari nikaya Pali, tetapi kelihatannya lebih merupakan
terjemahan dari teks-teks yang bahasa Sanskerta, atau
bahkan bahasa Prakrit. Begitu juga kuat diduga bahwa teks
agama-agama yang berbahasa Sanskerta atau Prakrit itu
pun bukan meru-pakan terjemahan dari nikaya Pali atau
sebaliknya, tetapi keduanya (nikaya dalam bahasa Pali dan
agama dalam baha-sa Sanskerta atau Prakrit) lebih
merupakan terjemahan dari teks-teks yang sama dari bahasa
yang tidak diketahui, kare-na sampai sekarang belum
diketahui bahasa apa yang diper-gunakan Sang Buddha
dalam menyampaikan ajarannya.

3. Vinayapitaka

Dari teks-teks Vinayapitaka yang sampai kepada


kita sekarang ini keadaannya kurang begitu seragam jika
dibandingkan dengan Sutrapitaka, dalam pengertian bahwa
meskipun teks-teks vinaya tersebut memiliki tema yang
sama yaitu peraturan berkenaan dengan bhiksu dan bhiksuni
dalam kehidupan komunitas Sangha, sekte-sekte agama
Buddha membicarakannya secara lebih bebas dan sangat
berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini menyebabkan
teks-teks vinaya tersebut menjadi dokumen skolastik. Di
samping vinaya yang berbahasa Pali yang dimiliki oleh
aliran Theravada di Srilangka, kita juga mempunyai teks-
teks vinaya dari sekte-sekte lain seperti Sarvastivada,
Tripitaka
123
Dharmaguptaka, Mahasamghika, Mahisasaka, dan
Mulasarvastivada.
Penyusunan teks-teks vinaya tersebut dilakukan
pada waktu yang sangat kemudian, karena ternyata teks-teks
vinaya merujuk kepada peristiwa-peristiwa yang terjadi
tidak hanya pada masa Sang Buddha, tetapi juga peristiwa-
peristiwa yang terjadi pada Konsili di Vaisali tahun 100 atau
110 setelah parinirvana (wafat Sang Buddha), seperti
pergantian para ketua (Sangha) sejak permulaan sampai
kepada masa kekuasaan Asoka dan sesudahnya, dan juga
ramalan-ramalan berkenaan dengan Stupa Kaniska yang
tidak mungkin dapat dijelaskan pada masa sebelum abad
kedua Masehi. Dengan kata lain, meskipun dinyatakan bah-
wa Dharma dan Vinaya telah dibacakan pada waktu Konsili
yang pertama di Rajagriha, namun kenyataan bahwa teks-
teks tersebut membicarakan peristiwa-peristiwa yang sangat
kemudian menunjukkan bahwa teks-teks itu ditulis bebe-
rapa abad kemudian sehingga otentisitas kedua teks yang
dibacakan pada Konsili Rajagriha tersebut tidak lagi
terjamin.
Landasan yang menjadi dasar vinaya adalah adanya
peraturan tentang kehidupan monastik yang terdiri dari
serangkaian pelanggaran tertentu dan amal perbuatan serta
ucapan yang harus dilaksanakan dan yang harus dihindari
oleh para anggota Sangha serta aturan-aturan yang berkena-
an dengan kehidupan Sangha secara komunal. Peraturan-
pertaruan yang berkenaan dengan kehidupan monastik
tersebut terdiri dari dua macam, yaitu: Pratimoksa dan
Karmavacana.
Pratimoksa adalah serangkaian perbuatan yang
Bunga Rampai Studi Agama Buddha
124
dianggap pelanggaran terhadap petunjuk-petunjuk yang
telah digariskan beserta ketentuan hukuman yang harus
dikenakan kepada mereka yang melakukannya. Pratimoksa
itu sendiri terdiri dari dua macam peraturan: (1) peraturan
yang khusus berkaitan dengan para bhiksu, yang terdiri dari
8 kategori pelanggaran, dan (2) peraturan yang khusus
berkaitan dengan pada bhiksuni, yang hanya terdiri dari 7
kategori. Masing-masing aliran dan sekte dalam agama
Buddha mengklaim keaslian atas susunan Pratimoksa yang
dimilikinya, tetapi terdapat sedikit perbedaan yang dapat
dilihat antara berbagai versi. Di samping vinaya yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Tibet dan China, kita juga
mendapati teks vinaya yang asli (yang berbahasa Pali atau
Sanskerta) sebagai berikut :

1. Bhikku dan bhikkunipatimokkha aliran


Theravada.
2. Bhiksupratimoksa sekte Sarvastivada.
3. Bhiksunipratimoksa sekte Sarvastivada.
4. Bhiksunipratimoksa sekte Mulasarvastivada.
5. Pratimoksa sekte Mahasamghika.

Sedangkan Karmavacana berisi peraturan yang


berkenaan dengan kehidupan komunitas itu sendiri. Peratu-
ran dalam Karmavacana merujuk kepada hal-hal seperti
tata-cara masuk anggota Sangha, upacara pentahbisan,
penga-kuan, pravarana, berteduh (tinggal) selama masa
musim penghujan, dan hal-hal yang sangat mendetail dari
kehi-dupan monastik.
Di samping Karmavacana yang berbahasa Pali kita
juga dapatkan Bhiksukarmavakya dari sekte
Tripitaka
125
Mulasarvastivada, Bhiksunikarmavacana sekte
Sarvastivada, dan Karmavacana sekte Sarvastivada (yang
berbahasa Sanskerta).
Vinaya biasanya memiliki struktur yang terdiri dari
tiga bagian: Sutravibhanga (terdiri dari bhiksu- dan
bhiksuni-vibhanga), Skandhaka (Pali, Khandaka) atau Vatu,
dan apendiks jika ada.

1) Sutravibhanga adalah penjelasan yang


mendetail tentang pasal-pasal Pratimoksa.
Bhiksuvibhanga memuat ulasan sebanyak 227
pasal dari bhiksupratimoksa yang disusun dalam
delapan kategori, sedangkan Bhiksunivibhanga
memuat 311 pasal ulasan terhadap
Bhiksunipratimoksa yang tersusun dalam tujuh
kategori sebagaimana Bhiksuvibhanga dengan
meniadakan Aniyata.
2) Skandhaka atau Vastu mengatur pokok-
pokok kehidupan monastik mengenai perbuatan
dan tata upacara yang diuraikan dalam
Karmavacana yang disebutkan di atas.
Skandhaka terdiri dari dua puluh masalah.
3) Apendiks yang ditambahkan pada teks-teks
vinaya tertentu merupakan ringkasan masalah-
masalah yang dikemukakan dalam Vibhanga
dan Skandhaka, atau merupakan informasi
tambahan tentang peristiwa-peristiwa yang
berhubungan dengan sejarah Sangha.

Namun, kadang-kadang ditemukan juga pada


Bunga Rampai Studi Agama Buddha
126
Apendiks dalam Skandhaka pembahasan yang yang berke-
sinambungan dari bagian yang membahas biografi Sakya-
muni dengan catatan tarikhi Sangha. Biografi Sakyamuni
terdiri dari tiga bagian: peristiwa-peristiwa sebelum
Siddhar-ta lahir dan silsilahnya, kelahiran dan kehidupannya
sampai kepada masa Pencerahan, dan permulaan
menyebarkan ajaran sampai masuknya Sariputra dan
Maudgalyayana menjadi pengikut Sang Buddha. Sedangkan
catatan tarikhi Sangha berkenaan dengan pembakaran mayat
Sang Buddha, Konsili di Rajagriha, para ketua yang mula-
mula, dan Konsili di Vaisali.
Berikut adalah susunan vinaya yang terdapat dalam
beberapa sekte dalam agama Buddha.

1. Pali Vinaya yang dipegang oleh aliran Theravada.


I. Suttavibhanga terdiri dari :
1. Mahavibhanga atau Bhikkuvibhanga
2. Bhikkunivibhanga
II. Khandhaka berjumlah 22 terdiri dari :
1. Mahavagga (sepuluh pertama khandhaka)
2. Cullavagga (dua belas terakhir Khandhaka)
Bagian ini terdiri dari tiga bagian terpisah :
a. Pengantar yang dikhususkan terhadap
biografi Sang Buddha, sejak Pencerahan
sampai kepada masuknya Sariputra ke
dalam agama Buddha.
b. Penjelasan mengenai dua puluh
Khandha-ka.
c. Kesimpulan, yang dimasukan secara
ter-gesa-gesa dan berisi uraian Konsili di
Rajagriha dan Vaisali.
Tripitaka
127
III. Parivara atau apendiks dalam 16 bagian dan 19
bab dalam bentuk tanya-jawab mengulangi kem-
bali isi bagian-bagian yang sebelumnya.

2. Vinaya Sekte Sarvastivada.


I. Bhiksuvibhanga
II. Skandhaka
III. Bhiksunivibhanga
IV. Apwndiks yang terdiri dari :
a. Ekottaradharma
b. Upalipariprccha
c. Bhiksu adhyaya
d. Kusaladhyaya

3. Vinaya Sekte Dharmaguptaka.


I. Bhiksuvibhanga
II. Bhiksunivibhanga
III. Skandhaka terdiri dari :
a. Pengantar: Riwayat Sang Buddha menca-
kup riwayat sebelum lahir dan silsilahnya;
kelahiran Sang Buddha dan kehidupannya
sampai masa Pencerahan; permulaan me-
nyampaikan ajaran sampai masuknya Sari-
putra menjadi pengikut.
b. Dua puluh Skandhaka.
c. Kesimpulan: pembakaran jenazah Sang
Buddha; Konsili di Rajagriha; Konsili di
Vaisali.
Bunga Rampai Studi Agama Buddha
128
4. Vinaya Sekte Mahasamghika.
I. Bhiksuvibhanga
II. Skandhaka
III. Bhiksunivibhanga

5. Vinaya Sekte Mahisasaka.


I. Bhiksuvibhanga
II. Bhiksunivibhanga
III. Skandhaka terdiri dari :
a. Pengantar yang dipersembahkan memba-
has riwayat Sang Buddha: sebelum kelahiran
dan silsilahnya; biografi dari semenjak kela-
hiran dan Pencerahan; permulaan menyam-
paikan ajaran sampai kepada Sariputra men-
jadi pengikutnya.
b. Skandhaka
c. Kesimpulan yang terbatas pada Konsili di
Rajagriha dan Vaisali.

6. Vinaya Sekte Mulasarvastivada.


I. Vinayavastu
II. Pratimoksasutra dan Vinayavibhanga bagi para
bhiksu.
III. Pratimoksasutra dan Vinayavibhanga bagi para
bhiksuni.
IV. Vinayaksudrakavastu
V. Vinayattoragrantha, termasuk Upalipariprccha

4. Abhidharmapitaka (Pali, Abhidhammapitaka)

Abhidharmapitaka merupakan sistematisasi ajaran-


Tripitaka
129
ajaran Sang Buddha yang terdapat dalam Sutra-sutra. Di
dalamnya terdapat uraian dan ringkasan, pertanyaan dan
jawaban. Istilah Abhidharma sebagai pitaka yang ketiga
muncul hanya dalam catatan-catatan tarikhi dan komentar-
komentar, sementara dalam teks-teks kitab suci hanya di-
sebut sebagai ringkasan (matrka), karena istilah
Abhidharma sebenarnya tidak menunjuk kepada undang-
undang kitab suci melainkan sekedar ‘Dharma yang khusus’
yaitu ajaran yang murni dan simpel tanpa intervensi
perkembangan sastra atau pun pendapat individu.
Tentang kapan Abidharmapitaka dihimpun, tulisan-
tulisan tentang Konsili pertama berbeda pendapat tentang
apakah Abhidharmapitaka tersebut telah dibacakan di
Rajagriha atau tidak. Umpamanya, Pali Vinaya (II, h. 287),
Mahaparinirvanasutra (T 5, bab 2, h. 175c; T 6, bab 2. h.
191a), Kasyapasamgiti (T 2027, h. 7a), Vinaya sekte
Mahisasaka (T 1421, bab 30, h. 191a-b), dan Vinaya sekte
Mahasamghika T 1425, bab 32, h. 491c-492a) menyatakan
bahwa Konsili tersebut tidak lebih dari sekedar memba-
cakan Dharma dan Vinaya, yaitu dua koleksi yang pertama.
Sementara itu sumber-sumber yang lain seperti Vinaya sekte
Mulasarvastivada (T 1451, bab 40, h. 408b 2-11), Legenda
Asoka (T 2042, bab 4, h. 113c 3-4; T 2043, bab 6, h. 152a
15) dan Hsuan Tsang (T 2087, bab 9, h. 922c 25)
menghubungkan kompilasi Matrka alias ringkasan sutra-
sutra tersebut kepada Kasyapa, pemimpin Konsili di
Rajagriha. Sekalipun demikian, kebanyakan sumber
menyatakan bahwa Abhidharmapitaka dihimpun pada
Konsili di Raja-griha dan termasuk yang dibacakan oleh
Ananda. Hanya saja mereka berbeda pendapat mengenai
Bunga Rampai Studi Agama Buddha
130
berapa jumlah teks yang dihimpun dan terkandung di
dalamnya. Ada yang mengatakannya terdiri dari empat
bagian, lima bagian, atau bahkan tujuh.
Kita juga dapatkan beberapa sekte atau aliran dalam
agama Buddha yang tidak memiliki koleksi Abhidharma,
seperti Sautrantika dan Mahasamghika. Akan tetapi, sekali-
pun mereka tidak memiliki Abhidharda kenyataan memper-
lihatkan bahwa mereka juga memiliki sastra-sastra yang
kedudukannya setara dengan Abhidharmapitaka.
Beberapa aliran yang memiliki Abhidharmapitaka
dengan susunannya masing-masing dapat dikemukakan
sebagai berikut:

1) Aliran Theravada di Srilangka memiliki


Abhidharmapitaka yang terdiri dari tujuh buku yang dikutip
oleh Buddhaghosa pada abad kelima dengan susunan isi
sebagai berikut :
a. Dhammasangani, klasifikasi benda atau materi.
b. Vighanga, pembagian.
c. Dhatukatha, pembahasan tentang elemen-elemen.
d. Puggalapannatti, deskripsi tentang pribadi atau
personalitas.
e. Kathavatthu, hal-hal yang kontroversi.
f. Yamaka, masalah-masalah ganda.
g. Patthana, hubungan-hubungan kausal.

2) Sekte Sarvastivada mempunyai


Abhidharmapitaka yang terdiri dari tujuh buah buku yang
disebut Sadpadabhidharma, ‘Abhidharma enam kaki’
karena ‘seperti tubuh (sarira) yang tingginya enam kaki’
(Kosavyakhya, h. 9), dengan susunan isi sebagai berikut :
Tripitaka
131
a. Jnanaprasthana.
b. Prakaranapada.
c. Vijnanakaya.
d. Dharmaskandha.
e. Prajnaptisastra.
f. Dhatukaya.
g. Samgitiparyaya.
Sementara itu sejarawan Tibet, Bu-ston, menye-
butkan tentang penyun ketujuh buku yang membentuk
Abhidharmapitaka di atas sebagai berikut:
a. Dharmaskandha oleh Sariputra.
b. Prajnaptisastra oleh Maudgalyayana.
c. Dhatukaya oleh Purna.
d. Vijnakaya oleh Devasarman.
e. Jnanaprasthana oleh Katyayana.
f. Prakaranapada oleh Vasumitra.
g. Samgitiparyaya oleh Mahakausthila.

Di samping teks-teks Abhidharmapitaka yang dimi-


liki sekte-sekte di atas kita juga dapatkan tulisan tentang
Abhidharma yang nilainya sama dengan kitab suci lainnya:

3) Petakopadesa atau ‘Ajaran mengenai Pitaka-


(pitaka)’ yang terdiri dari delapan bab dan ditulis oleh
Mahakaccayana ketika ia tinggal di Jambuvana.

4) Sariputrabhidharmasastra, diterjemahkan ke
dalam bahasa China oleh Dharmagupta dan Dharmayasas,
terdiri dari empat bagian: Saprasnaka, Aprasnaka,
Samyukta-Samgraha, dan Nidana.
Bunga Rampai Studi Agama Buddha
132

Kesimpulan sederhana yang dapat kita petik dari


pembahasan tentang kitab suci agama Buddha ini ialah
bahwa kita tidak boleh membayangkan tentang kitab suci
agama Buddha tersebut sebagaimana kita membayangkan,
misalnya, tentang kitab suci dalam agama Islam atau agama
Kristen. Kitab suci dalam agama Buddha, seperti juga da-
lam agama Hindu, terdiri dari banyak koleksi, ratusan atau
bahkan ribuan. Selain itu, setiap aliran atau sekte agama
Buddha, di samping memiliki teks-teks yang disepakati
bersama, juga memiliki teks-teks yang hanya diakui keab-
sahannya oleh lingkungan mereka masing-masing. Secara
esensial, apa pun yang terjadi, selagi teks-teks tersebut
mengajarkan tentang keselamatan dan pembebasan dari
penderitaan sebagaimana yang diajarkan oleh Sang Buddha,
mereka tidak segan-segan untuk mengklaimnya sebagai
kitab suci yang berasal dari sang Buddha. Tidak ada wahyu
suci seperti Al-Qur'an yang yang dianggap mutlak dalam
agama Islam atau Bibel dalam agama Kristen. Dalam agama
Buddha, tiada yang mutlak di dunia ini kecuali perubahan
yang menyebabkan penderitaan.

Anda mungkin juga menyukai