Anda di halaman 1dari 3

Annisa Noor Fadilah

1171020009 (SAA/6/A)
Agama dan Resolusi Konflik
Prof. Dr. Dadang Kahmad, M. Si / Drs. M Yusuf Wibisono, M. Ag

Analisis Narasi Konflik Sosial dan Kekerasan Bernuansa Agama di Ambon 1999

Mempercayai bahwa kebhinekaan adalah suatu hal yang niscaya, meskipun kini semua orang
Indonesia bebas bicara. Tetapi kebutuhan terhadap kerukunan umat beragama, tidak segera
dirasakan kegentingannya saat Indonesia memasuki era reformasi.

Sampai akhirnya meletus konflik Ambon. Lantas beriringan dengan menguatnya narasi
fundamentalisme dan radikalisme agama. Kita pun tersentak karena pemaknaan kita soal
toleransi ternyata gagu menjawab sejumlah kenyataan ini.

Konflik berasal dari bahasa latin conflictus yang berarti pertentangan.1 Menurut Maswadi
Rauf, konflik adalah setiap pertentangan atau perbedaan pendapat antara paling tidak dua orang
atau kelompok. Konflik ini disebut konflik non fisik atau lisan. 2 Konflik atau chaos merupakan
suatu proses sosial yang berlangsung dengan melibatkan orang–orang atau kelompok–kelompok
yang saling menantang dengan ancaman kekerasan. Dalam bentuknya yang ekstrem, konflik itu
dilangsungkan tidak hanya sekedar untuk mempertahankan hidup atau eksistensi (jadi bersifat
defensif), akan tetapi bertujuan sampai ke taraf pembinasaan eksistensi orang atau kelompok lain
yang dipandang sebagai lawan atau saingannya.3

Konflik yang terjadi sejak tanggal 19 Januari 1999 di Ambon, Maluku merupakan peristiwa
berdarah yang bertepatan dengan umat Muslim merayakan Hari Raya Idul Fitri. Konflik bermula
dari pertikaian antara sopir angkot, Jacob Lauhery yang beragama Kristen dengan Nursalim,
seorang Islam dari Batu Merah keturunan Bugis. Samapi pada akhirnya konflik tersebut
kemudian berkembang menjadi konflik agama (Islam dan Kristen). 4 Kekerasan bernuansa agama

1
W.J. S. Poerwdarminto, 1961. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Bali Pustaka: Jakarta, hal 461.
2
Rauf, Maswadi. 2001. Konsensus dan Konflik Politik. Direktorat Jenderal Pendidikan tinggi Depdiknas, Jakarta,
hal 2
3
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto (ed), Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2007).
4
Safi, Jamin. Konflik Komunal: Maluku 1999-2000. Volume 12 No 2 Maret 2017
tidak dapat disederhanakan hanya sebatas konflik kuasa dan kepentingan, karena agama
seringkali turut memberi makna terhadap signifikansi kuasa dan kepentingan itu sendiri.

Mengutip dari dari tokoh familiar Karl Marx “religion is the sight of the sight of the
oppressed creature the heart of a heartless world and the soul of soulless condition, It is the
opium of the people”. Menelaah dari kutipan tesebut bahwa Marx menyebutkan bahwa agama
adalah obat dari segala keluh kesah dan ketakutan manusia. Agama menjadi tiang yang membuat
manusia mampu bersandar ketika sedang ada di titik terendah, sedang berkesusahan atau dilanda
perasaan tidak nyaman. Semakin manusia meyakini bahwa gerak geriknya berada di bawah
control hal hal yang agamis maka semakin tinggi intensitas dirinya untuk menjadi individu yang
pasif. Seperti halnya orang yang terlalu banyak meminum obat yang mengakibatkan beberapa
organ menjadi rusak. Pada titik ini fase fanatisme mulai muncul. Akal sehat menjadi hilang, hati
menjadi mati. Maka dari itu, upaya menumbuhkan toleransi dengan cara memperbanyak
interaksi, dan edukasi yang menjadi tiang dalam menjaga stabilitas bangsa. Supaya tidak mudah
di provokasi dan disamarkan oleh politik identitas.

Dialog interreligius menjadi sesuatu yang penting karena disadari bahwa agama-agama
dalam sejarah turut terlibat dalam berbagai konflik dan tragedi kemanusiaan. Agama menjadi
sebab maupun dijadikan alat legetimasi bagi berbagai kepentingan dan kekerasan. Itu menjadi
memori yang buruk bagi masa depan kemanusiaan. Meskipun memori tentang sisi gelap
keterlibatan agama-agama dalam berbagai persitiwa kekerasan tidak dapat dilupakan, namun
memori tersebut dapat disembuhkan dan dimurnikan melalui upaya bersama untuk memulai
suatu relasi yang konstruktif dalam dialog dan kolaborasi interreligius.5

Dalam ranah dialog interreligius selama ini telah umum diketahui beberapa model dialog,
antara lain:6 Dialog teologis, yaitu dialog yang biasanya dilakukan para cendikia teologi dengan
tema-tema teologis tertentu. Ini kadang kala juga disebut sebagai dialog diskursif. Dialog
kehidupan, yaitu dialog yang melibatkan banyak orang melalui interaksi keseharian. Biasanya
disebut juga sebagai dialog kemanusiaan. Dialog aksi, yaitu dialog interreligius yang memberi
perhatian khusus pada penanganan isu-isu sosial yang sedang dihadapi bersama. Biasanya
disebut juga sebagai dialog sekuler. Dialog pengalaman keagamaan, yaitu dialog yang

5
Jaques Dupuis, S.J, Christianity and the Religions: From Confrontation to Dialogue, Maryknoll: Orbis, 2001, h. 5
6
Catatan Pribadi dari Perkuliahan, Hubungan Antar Agama. 7 April 2020.
mengedepankan pengalaman-pengalaman keagaman, seperti pengalaman spiritualitas,
mistisisme, maupun pengalaman batin tertentu. Biasanya ini juga disebut sebagai dialog interior.
Meskipun beragam, tetapi model-model dialog tersebut saling terkait. Orang yang berdialog
teologis dapat juga di saat yang sama berdialog kehidupan sebagai seorang teman, sekaligus
berdialog tentang pengalaman keagamaannya, serta menyinggung persoalan-persoalan sosial
yang dihadapi bersama.

Hingga terjadinya rekonsiliasi antara umat Islam dan Kristen di kota Ambon merupakan
proses yang tidak mudah. Dikatakan sebagai proses yang tidak mudah, sebab mereka yang
melaksanakan proses-proses rekonsiliasi itu adalah juga mereka yang menjadi korban dari
konflik sosial tersebut. Ada banyak fakta yang dikemukakan oleh para pemuda terkait proses-
proses rekonsiliasi yang terjadi. Hingga menghasilkan hubugan antara Islam dengan Kristen
yang aman, rukun, dan damai. Terlihat dari interaksi diantara kedua belah pihak, saling
menghormati dan menghargai.

Anda mungkin juga menyukai