PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Intoleransi antarumat beragama di Indonesia dapat dikatakan
selalu memburuk tiap tahunnya. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil laporan
pelanggaran kebebasan beragama oleh lembaga Setara Institute dari tahun
2011 – 2013. Pada tahun 2011, jumlah tindakan intoleransi di Indonesia
berjumlah 244, tahun 2012 berjumlah 264, dan pertengahan tahun 2013
1
Tule. SVD, Philipus., Mengenal dan Mencintai Muslim dan Muslimat , Penerbit Ledalero,
Maumere, 2008, hlm. 250.
2
Bakker. SJ, J., Dialog dengan Islam, Sekolah Tinggi Kateketik Pradnjawidya, Yogyakarta,
1972, hlm. 11.
dapat berbagi pengalaman dan menghayati hidupnya berdasarkan keyakinan
imannya sendiri tanpa melihat perbedaan yang ada.
Kedua adalah dialog karya. Umat beragama tidak dapat menghindari
bahwa dirinya adalah bagian dari masyarakat. Maka dari itu diharapkan bahwa
umat beragama dapat bekerjasama untuk membangun atau memajukan
masyarakat. Kegiatan kerja sama tersebut dinamakan dialog karya. Dalam
dialog karya, mereka yang berbeda agama dapat saling bahu-membahu untuk
beraksi atau berkarya, baik untuk tujuan kemanusiaan, sosial, ekonomi, atau
politik.
Ketiga adalah dialog pakar. Dialog ini terjadi pada tataran keahlian, di
mana pihak yang berdialog adalah para pakar atau ahli dari berbagai agama.
Ada dua tujuan dari dialog pakar ini, yaitu, pertama untuk memperkaya dan
memperdalam kereligiusan masing-masing dan kedua adalah menerapkan
keahlian masing-masing pada masalah-masalah yang harus dihadapi manusia.
Pada umumnya dialog pakar ini terjadi di mana masing-masing pihak sudah
mempunyai visinya sendiri mengenai dunia dan menganut agama yang
mengilhaminya untuk bertindak.3
Keempat adalah dialog pengalaman religius. Mereka yang melakukan dialog
semacam ini akan berbagi pengalaman iman dan kekayaan spiritual masing-
masing. Pengalaman iman dapat dicontohkan seperti pengalaman
doa, kontemplasi pengalaman menemukan dan mengikuti Allah. Sehingga
dari momen tersebut, umat beragama dapat menimba kekayaan tradisi agama
lain.
3
Banawiratma, J.B, dkk., Dialog Antarumat Beragama, Mizan, Jakarta, 2010, hlm. 10.
C. Dialog antarumat beragama dalam perspektif Islam
Dalam Al-Quran tertulis firman Allah SWT yang berbunyi: Wa ma
arsalnaka illa rahmatan li-l’alamin, yang berarti “Kami mengutus kau semata-
mata sebagai rahmat bagi seru sekalian alam.” (Surat Al-Anbiya:107). Ayat ini
dijadikan oleh Muslim, terlebih pemuka agama Islam, sebagai tujuan umat Islam
di dunia. Seorang Muslim diajak untuk menjadi rahmat bagi sesama dan semesta
alam.
Menurut Mohammad Fajrul, seorang NU (Nadhlatul Ulama), semangat
rahmatan lil’alamin dapat terwujud jika umat Islam dapat berdialog. Umat
Islam dan umat beragama lain diharapkan dapat berdialog untuk bersama-
sama memikirkan dan memberikan solusi terhadap fenomena yang ada dalam
masyarakat. Beberapa fenomenanya adalah kekerasan, dominasi negara,
4
Beding, Marcel, dkk., Gereja Indonesia Pasca Vatikan II, Kanisius, Yogyakarta,1997, hlm.
382.
menyatakan bahwa sangat sulit membina dialog antar Islam dengan
Katolik jika bertolak dari aspek teologisnya. Hal itu disebabkan terdapat
perbedaan-perbedaan yang mendasar. Beberapa perbedaannya adalah
pandangan tentang Kitab Suci, Ajaran tentang Allah Esa, pandangan tentang
Yesus Kristus, dan juga pandangan terhadap teologi Salib
Faktor ketiga adalah dangkalnya pengertian dan pengetahuan tentang
agama lain. Bagi para sosiolog agama, Glock dan Stark, seseorang yang lebih
kuat dan kritis tentang iman sendiri dan iman sesama akan lebih mudah untuk
berdialog. Namun, kaum yang beriman kuat tapi cenderung fanatis akan
lebih eksklusif dan tertutup untuk berdialog. Misalnya dalam Katolik adalah
umat yang tetap berpegang pada adagium extra ecclesiam nulla salus (di luar
Gereja tidak ada keselamatan).
Faktor keempat adalah tidak adanya keberanian untuk berdialog.
Banyak umat beragama tidak berani untuk mencari partner yang
beragama lain untuk saling terbuka, apalagi di kalangan masyarakat yang
sedang dilanda konflik bernuansa agama. Banyak kecemasan yang muncul di
kalangan umat beragama. Contoh kecemasan yang muncul adalah kecemasan
kehilangan identitas sendiri, kecemasan akan terpaksa menganut agama baru,
kecemasan akan partner dialog bersikap ‘singa berbulu domba’, dan lainnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dialog antarumat beragama adalah sebuah komunikasi antarumat
beragama, baik individu maupun kelompok, yang bersifat dinamis penuh
dengan semangat persahabatan dan pelayanan. Dialog antarumat beragama
mempunyai empat macam, yakni dialog kehidupan, dialog karya, dialog
pakar, dan dialog pengalaman religius. Tujuan dari dialog antarumat
beragama adalah untuk saling memahami dan memperkaya pengalaman iman
dari masing-masing agama. Selain itu umat beragama diharapkan dapat saling
berpikir untuk membangun masyarakat dan memikirkan fenomena-fenomena
yang ada.
Islam sendiri mendukung usaha untuk berdialog karena mewujudkan
Islam yang menjadi rahmat bagi alam semesta. Gereja Katolik dalam
Konsili Vatikan II juga mendukung usaha untuk berdialog dengan agama-
agama lain termasuk Islam. Kedua agama tersebut memang tidak mudah
untuk menjalani dialog, karena ada beberapa faktor penghalang.
Faktor-faktor penghalang tersebut adalah pengalaman yang pahit
antara Islam- Kristen, faktor teologis, dangkalnya pengetahuan tentang agama
lain, dan tidak ada keberanian untuk berdialog. Sehingga sikap yang harus
dibangun untuk menjalani dialog adalah menghayati sikap dialog,
membebaskan diri dari prasangka negatif, dan sikap taqwa kepada Allah.
Dialog antarumat beragama adalah hal baik dan berguna bagi
Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi Pancasila dan bersemboyan
“Bhinneka Tunggal Ika”. Bangsa Indonesia dapat maju jika warganya tidak
berkonflik dan bersama-sama membangun bangsa. Sikap persaudaraan yang
terbuka dibutuhkan di sana. Untuk membangun dialog, setiap manusia harus
beragama dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Dian Interfidei. Dialog: Kritik dan Identitas Agama, seri Dian I Th. I,. 1995.
Fay, Brian Contemporary Philosophy of Social Science. Oxford: Blackwell
Publisher. 1996.
Geerz, Cliffort. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Jakarta, Surya
Grafindo, 1985.