Anda di halaman 1dari 26

MU¶TAZILAH

Oleh: Ismail Nasution


Alhamdulillahi robbil µalamin kali ini penulis diberi kesempatan dan amanah buat menggali
sekilas tentang sebuah firqoh yang tumbuh di tubuh islam yaitu ³Mu¶tazilah´. Sholawat dan
salam semoga selalu terucap ke pangkuan semulia-mulia makhluk diseantero alam Nabi besar
Muhammad SAW.
Islam itu sesungguhnya hanya satu, sebagai agama yang Allah Swt turunkan kepada Rasul-Nya
dengan kesempurnaan yang mutlak.
3:ΓΪ΋ΎϤϟ΍) ΎϨϳΩ ϡϼγϻ΍ ϢϜϟ Ζϴοέϭ ϲΘϤόϧ ϢϜϴϠϋ ΖϤϤΗ΃ϭ ϢϜϨϳΩ ϢϜϟ ΖϠϤϛ΃ ϡϮϴϟ΍)
"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu."(Al-Maidah: 3)

Islam telah menjawab segala problematika hidup dari segenap seginya. Tetapi masa berputar
islam berkebang pemikiran maju pesat sehingga kesatuan yang sudah terpatri dalam tubuh islam
terasa ada yang mengusik dengan munculnya metode berfikir dan sikap yang seringkali
berseberangan dengan ideology islam yang suci, disanalah yang menghina para sahabat yang
merupakan kader militannya rasulullah SAW, disitu pula orang-orang yang mengagungkan µahli
bait¶ melebihi yang di gariskan dalam agama, ada pula yang membuat hadits-hadtis palsu demi
kepentingan sepihak, ada juga yang mencampurkan agama dengan ideology filosofis yang
diwarnai dengan khayal, angan-angan dan pikiran kemanusiaan yang jauh dari nilai ketuhanan.
Apalagi mata musuh umat ini tidak pernah berkedip menunggu darimana celah terbuka untuk
masuk ke islam dan memporak-porandakan isinya. Dari sinilah tercipta apa yang disebut
³firqoh´,ada Syi¶ah, Khowarij, Murji¶ah, Rowafidoh, Mu¶tazilah, Qodariyah, Jabariyah,
Ahlussunnah dll. Yang pada dasarnya masing-masing sekte ini merasa merekalah yang paling
benar, tapi tak jarang firqoh-firqoh ini ditunggangi orang-orang yang jahil agama dan musuh-
musuh islam seperti Orientalis jahat dan Yahudi terlaknat. Namun beberapa hal yang perlu
diperhatikan setiap muslim dan mu¶min yaitu:
Allah Ta'ala berfirman : "Barangsiapa yang menyimpang dari Rasul setelah terang padanya
petunjuk itu, dan mengikuti jalan selain mukminin, Kami akan gabungkan dia dengan orang-
orang sesat dan Kami masukkan dia ke neraka Jahannam."(An-Nissa:115).
Dan firman Allah SWT lainnya:
Allah berfiman : "Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan agama Islam ini dan jangan
kalian berpecah belah dari agama ini«"(Ali Imran:103)
a. Depenisi dan Sejarah Kemunculan Mu¶tazilah
Berbicara tentang perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya,karena terus menerus terjadi
perpecahan dan perbedaan mulai dengan munculnya Khowarij dan Syi¶ah kemudian muncullah
satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syi'ar akal dan kebebasan berfikir.
satu syi'ar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam
telah menempatkan akal pada porsi yang benar. Sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk
dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini. Akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum
muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya. Akibat
dari hal itu bermunculanlah kebid¶ahan-kebid¶ahan yang semakin banyak dikalangan kaum
muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran
yang tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat
berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal dan pemikiran-pemikiran para
filosof dari pada ajaran dan wahyu dari Allah Swt sehingga banyak ajaran Islam yang tidak
mereka akui karena menyelisihi akal menurut prasangka mereka.
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati saudaranya
agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok Mu'tazilah yang
pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh
para kolonialis kristen dan yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan
persatuannya.
Bermunculanlah pada era dewasa ini pemikiran Mu'tazilah dengan nama-nama yang yang cukup
menggelitik dan mengelabuhi orang yang membacanya,mereka menamainya dengan Aqlaniyah.
Modernisasi pemikiran. Westernasi dan Sekularisme serta nama-nama lainnya yang mereka buat
untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap benar dari pemkiran itu dalam rangka
usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran ini¶
Definisi Mu'tazilah:
a. Secara Etimologi
Mu'tazilah atau I'tizaal adalah kata yang dalam bahasa Arab menunjukkan kesendirian,
kelemahan dan keterputusan,
b.Secara Terminologi
Para Ulama banyak mendepenisikan kalimat ini, sebagian ulama mendefinisikannya sebagai
³satu kelompok dari qadariyah yang menyelisihi pendapat umat Islam dalam permasalahan
hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho' dan Amru bin Ubaid pada zaman
Al Hasan Al Bashry´. Suatu persi menyebutkan munculnya Mu¶tazilah adalah dari kisah Hasan
Al-Bashri (21¬¬ ± 110 H). yang berbeda pendapat dengan muridnya yang bernama washil bin
µatha¶ (80 ± 131) pada masalah pelaku dosa besar. Maka dengan I¶tizalnya¶ dari majlis Hasan Al-
bashri dinamakanlah Wasil dan orang-orang yang sepaham dengannya dengan Mu¶tazilah.
Mereka begitu hebat melobi dan memutar kata sehingga bisa memegang pemerintahan islam
selama kurang lebih dua ratus tahun. Sebagaimana berselisih faham Hasan bashri dengan
muridnya berselisih pula Abu Hasan Al-asy'ari (260 ± 330) dengan gurunya yang bernama Abu
Ali Al-juba¶I ( 235 ± 303) pada masalah sifat Allah swt yaitu wajibnya Allah swt berbuat baik´ .
Kemudian di kitab lain kita menemukan juga potongan-potongan kalimat yang bersentuhan
dengan awal mula munculnya Mu¶tazilah. ³Asal mula mu¶tazilah adalah ketika washil bin
µAtho¶ al-ghazzalah(80 ± 130 H) memisahkan diri dari majlis Hasan Al-bashri. Sejak itu
dinamakanlah wasil dan yang sepaham dengan dia dengan sebutan Mu¶tazilah, dan mereka
dinamakan juga dengan µAshabul µadl dan Tauhid¶, dan diberi gelar dengan Al-qadariyah dan
Al- µadaliyah´ . Suatu persi lagi mengatakan bahwa sebab munculnya Mu¶tazilah adalah karena
berpisahnya Washil bin Atho' dan Amr bin Ubaid dari majlis dan halaqohnya Al Hasan Al
Bashry. Hal ini didasarkan oleh riwayat yang mengisahkan bahwa ada seseorang yang menemui
Al Hasan Al Bashry, lalu berkata:"wahai imam, telah muncul pada zaman kita ini satu jamaah
yang mengkafirkan pelaku dosa besar dan dosa besar menurut mereka adalah kekafiran yang
mengeluarkan pelakunya dari agama, dan mereka adalah Al Wa'idiyah khowarij dan jamaah
yang menangguhkan pelaku dosa besar, dan dosa besar menurut mereka tidak mengganggu
(merusak) iman, bahkan amalan menurut mazhab mereka bukan termasuk rukun iman, dan iman
tidak rusak oleh kemaksiatan, sebagaiman tidak bermanfaat ketaatan bersama kekufuran, dan
mereka adalah murjiah umat ini, maka bagaimana engkau memberikan hukum bagi kami dalam
hal itu secara i'tikad? Lalu Al Hasan merenung sebentar tentang hal itu, dan sebelum beliau
menjawab, berkata Washil bin Atho': "saya tidak akan mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu
mu'min dan tidak juga kafir, akan tetapi dia di dalam satu kedudukan diantara dua kedudukan
tersebut (manzilah baina manzilatain), tidak mu'min dan tidak kafir". Kemudian dia berdiri dan
memisahkan diri ke satu tiang dari tiang-tiang masjid, lalu menjelaskan jawabannya kepada para
murid Al Hasan, lalu berkata Al Hasan : "telah berpisah (i'tizal) dari kita Washil", dan Amr bin
Ubaid mengikuti langkah Waashil, maka kedua orang ini beserta pengikutnya dinamakan
Mu'tazilah.´ .
dari sumber yang disebutkan diatas dapat kita simpulkan bahwa Mu¶tazilah merupakan suatu
jama'ah yang lain dari Ahlussunnah wal jamaah yang lebih mengedepankan pikiran dari nash.
Dan pelopor munculnya fikiran seperti ini adalah Washil bin Atha¶ yang kemudia mendirikan
jama¶ah yang disebut dengan Mu¶tazilah.
b. Pandangan Mu¶tazilah terhadap Al-quran dan Hadits
Pandangan Mu¶tazilah tentang Alqur¶an secara umum memang berbeda dengan Jumhur
muslimin, mulai dari cara mereka beradab dengan Alquan dan mengingkari beberapa nash yang
begitu nyata dalam Alqur¶an. Seperti apa yang di fahami Mu¶tazilah nazomiyah bahwa makhluk
yang terdiri dari Manusia, binatang, tumbuhan langit dan bumi diciptakan tuhan dengan serentak,
padahal sudah ada diceritakan dalam Alqur¶an bahwa semua itu bertahap. Kemudia jumhur
Mu¶tazilah yang mengatakan bahwa Alquran itu adalah makhluk. Setelah berhasil menyulap
khalifah Al-ma¶mun mu¶tazilah semakin aktif menjalankan aksinya, µapalagi setelah sang
khalifah mengumumkan faham Mu¶tazilah sebagai ideology Negara dan memaksa masyarakat
supaya membenarkan apa yang sebetulnya berlawanan dengan keyakinan mereka. Disanalah kita
baca seorang ulama universal Ahmad bin Hambal rh mengalami siksaan dan mendekam
dipenjara selama 13 tahun karma tidak mau mengakui bahwa Al-qur¶an adalah makhluk. Ini
semua menjadi bukti betapa ulama-ulama ahlussunnah mengalami penekanan, boikot bahkan
penyiksaan. Sampai kurun waktu 200 tahun. Sampai akhirnya kholifah Al-mutawakkil
(218.H)naik sebagai pemegang estapet kepeminpinan tertinggi dalam islam dan dia
mengumumkan kecondonagannya kepada ahlussunnah wal jama¶ah; setelah itu Mu¶tazilahpun
terkesan lemah, loyo danpa daya laksana ayam kehilangan induk, bahkan setelah itu sampai
sekarang mereka tidak lagi bisa bangkit tegak seperti dulu¶ . Banyak lagi disana pengingkaran
terhadap nash Alqur¶an seperti pendapat mereka bahwa orang-orang kafir, musrik, yahudi,
nasrani akan jadi tanah nanti di akhirat dan tidak mendapat siksaan, padahal nashnya sudah jelas
bahwa mereka akan menglai siksaan yang kekal dalam neraka, yang paling tragis sekali adalah
ketika mereka mengatakan bahwa manusia pasti sanggup membuat ayat yang serupa dengan
Alqur¶an baik dari segi fasohah, balagoh dan I¶jaznya. Padahal sudah jelas-jelas di ugkapkan
dalam Alquran bahwa sekalipun manusia dan jin bekerja sama untuk meniru alquran mereka
tidak akan sanggup.
Kemudian Mu¶tazilah memandang Sunnah/Hadis tak jauh beda dengan pandangan mereka
terhadap Alqur¶an, bahwa bagaimanapun juga fikiran yang di dahulukan.seperti halnya masalah
periwayat dalam ilmu Hadits µmereka tidak menerima hadis yang bersumber dari Muhaddis-
muhaddis yang berseberangan pemikirannya dengan mereka demikian pula para muhaddis tidak
menerima hadits yang diriwayatkan oleh Mu¶taziliyin¶ . Akantetapi ³Para ulama berbeda
pendapat tentang mauqif mutazilah dalam pembagian hadits kepada mutawatir dan ahad,
sebagaimana ahlussunnah membagi hadits kepada dua bahagian itu dan menerima keduanya
menjadi hujjah. Suatu riwayat yang bersumber dari Hasan Al-bashri berkata: Abu Ali Al-jubba¶I
dan satu jama¶a dari ulama Mu¶tazilah tidak membolehkan beramal dengan hadits ahad. Iman
ibnu Hazmin menjelaskan´ mayoritas ulama islam menerima khobar ahad yang tsiqah dari nabi
SAW, sama ada ia dari Ahlussunnah, Syi¶ah, Khowarij, dan Qadriyah, namun setelah abat
pertama hijriyah Mu¶tazilah menyalahi ijma¶ ulama Islam tadi´ .
c. Pandangan jumhur ulama terhadap faham Mu¶tazilah
Pandangan mayoritas ulama kepada Mu¶tazilah tergantung kadar ke ekstriman kelompok
Mu¶tazilah itu sendiri namun secara umum memang mayoritas ulama tidak setuju dengan firqah
ini. Ada beberapa pernyataan ulama yang bisa kita baca seperti; ³Suatu saat Muhammad bin
hasan mengatakan´ siapa yang sholat di belakang Mu¶tazilah maka hendaklah ia mengulangi
sholatnya´ dan ketika abu yusuf ditanya tentang pandangannya kepada mu¶tazilah beliau
menjawab´ mereka adalah zanadiqoh/kafir zindiq´ dan di lain pernyataan kita baca ada
ungkapan yang lebih keras dari ini seperti; µAhlussunnah berkomentar tentang ³Al-futi ³ dan
pengikutnya bahwa darah dan harta mereka halal bagi kaum muslimin, siapa yang membunuh
mereka tidak akan dikenakan diat dan kiparat bahkan membunuh mereka adalah salah satu jalan
taqorrub kepada Allah SWT¶ .
Dari uraian dan kutipan diatas dapat kita pahami bahwa pemikiran Mu¶tazilah ini tidak berterima
di manyoritas ulama.
d. Ulama-ulama Mu¶tazilah
Ada banyak tokoh dan ulama mu¶tazilah yang bertebaran di daulah arabiyah khususnya seperti
yang di kutip dari sebuah artikel;´ mu¶tazilah terbagi menjadi dua kelompok besar saat menjalani
misinya dengan sponsor daulah Abbasiyah, yaitu:
1. Cabang Bashroh, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Waashil bin Atho', Amr bin Ubaiid,
Utsman Ath Thowil, Abu Al Hudzail Al 'Alaaf, Abu Bakr Al Ashom, Ma¶mar bin Ubaad, An
Nadzom, Asy Syahaam, Al Jaahidz, Abu Ali Aljubaa'i, Abu Hasyim Al Jubaa'i dan yang lain-
lainnya.
2. Cabang Baghdad, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Bisyr bin Mu'tamir, Abu Musa Al
Mardaar, Ahmad bin Abii Duaad, Tsumamah bin Al Asyras, Ja'far bin Harb, Ja'far bin Mubasyir,
Al Iskaafy, Isa bin Al Haitsam Al Khayaath, Abul Qasim Al-Balkhy Al- Ka'by dan yang lain-
lainnya.´

Dan ada banyak kelompok-kelompok kecil dalam tubuh Mu¶tazilah yag semua berdasar dari
perbedaan pemikiran dalam setiap tokohnya. Yaitu:
³1. Al -washiliyah.
Mereka adalah pengikut abu hudzaifah washil bin µatho¶ al- ghazzalah. Dia adalah murid imam
Hasan al-bashri dan keduanya hidup dizaman khalifah Abdullah bin marwan dan Hisyam bin
Abdul Malik. Golongan ini berseberangan dengan Ahlussunnah wal jama¶ah pada empat
perkara:
1. Mereka menafikan empat macam dari sifat Allah SWT yaitu: Al-ilmu, Al-qudroh, Al- irodah,
Al- hayah. Pemikiran seperti ini mereka dapatkan setelah banyak mutola¶ah dan mendalami ilmu
filsafah Yunaniyah. Ulama salaf tentu tidak setuju dengan pendapat mereka ini karna memang
sifat-sifat diatas ada dalam Al-quran.
2. Pendapat mereka tentang ³Qodar´ Allah SWT. Dalam hal ini mereka mengikut perkataan
µMa¶bad al-jahni µ dan Ghailan ad- dimisqi . Washil bin µatha¶ sendiri pernah mengungkapkan
bahwa Allah SWT adalah zat yang bijaksana dan maha tau dan tidak boleh disandarkan
kepadaNya perbuatan yang tidak baik dan tidak mungkin Ia menghendaki hambaNya
memperbuat sesuatu yang berlawana dengan Perintahnya, dengan kata lain pada hakikatnya
perbuatan yang baik yang dikerjakan manusia itulah sebenarnya yang di kehendaki Allah sedang
perbuatan buruk yang manusia kerjakan adalah kehendaknya sendiri dan tidak ada kaitannya
dengan Tuhan. Mereka lebih halus dari faham qodariyah yang mengatakan semua perbuatan
manusia dan binatang adalah kehendak dan kekuatan sendiri sama ada yang baik atau yang
buruk. Imam Syaharostani mengatakan´ saya pernah melihat sebuah risalah yang di sandarkan
kepada Hasan Al-bashri bahwa beliau mengirim surat kepada Abdul Malik bin marwan tentang
sifat ³Al-qodar´ dan pernyataannya disitu sama dengan pendapat para mu¶tazilah. Tetapi itu
mungkin kepada washil bin µAtho¶ karna Hasan Al-Bashri kenyataanya berbeda pendapat
dengan Mu¶tazilah. yang mengherankan disitu mereka mengucapkan disitu bahwa bala¶, sakit,
sehat, mati, hidup, dll merupakan kehendak Allah. Tetapi kebaikan, keburukan,dan kejelekan
merupakan kehendak manusia, bukankah ini kontradiksi?
3. Perkataan mereka tentang adanya setatus diantara mu¶min dan kafir. Ini bermula dari kisah
seorang penanya yang menemui Hasan Al-bashri . penanya itu bertanya tentang orang-orang
yang mengkafirkan para pelaku dosa besar, sebelum Hasan Al-Bashri menjawab washil bin
µatha¶ sudah mendahului menjawab dan berkata´ menurut saya pelaku dosa besar itu tidak kafir
secara mutlak dan tidak juga mu¶min tetapi ia berada diantara keduanya´. Kemudian ia berdiri
dan meninggalkan majlis Hasan Al- Bashri dan duduk disalah satu tiang masjid dan mendirikan
majlis sendiri. lalu Hasan Al-Bashri berkata´ semenjak itulah dia dan jama¶ahnya disebut
sebagai Mu¶tazilah´.
4. Pendapat mereka tentang ashabul jamal (peselisihan pihak Ali ra dengan Aisyah ra) dan as-
habussiffin (perselisihan pihak Ali ra dengan Mu¶awiyah ra), mereka menilai salah satu pihak
dari ashabul jamal adalah adalah fasiq dan tidak diterima persaksiannya. Jadi secara tidak
langsung mereka telah mengatakan fasiq salah satu dari para sahabat yang bergabung bersama
Ali ra atau Aisyah ra dalam peristiwa Jamal. Demikian juga sahabat yang bersama Mu¶awiayh
dalam perang Siffin.

2. Al-Hudzailiyah
Mereka adalah kelompok yang di gagas oleh Abu Hadzil Hamdan bin Hadzil Al-µAllaf, dia
termasuk syekhnya mu¶tazilah dan orang terkemuka di antara mereka, dia mendapat faham
mu¶tazilah dari Utsman bin Kholid At-towil dari Washil bin µAtha¶. Persi lain mengatakan
bahwa Abu hadzil belajar Mu'tadzilah itu dari Abu Hasyim Abdullah bin Muhammad bin
Hanafiyah, dan persi lain mengatkan dia mengambil faham itu dari Hasan bin Abi hasan Al
basyri.
3. An-Nazzomiyah
Mereka adalah aliran yang dipelopori oleh Ibrohim bin Sayyar bin Hani¶ An-nazzom. Ia telah
banyak membaca kitab-kitab Filosof sehingga kemudia bercampur dengan faham Mu¶tazilahnya.
Ia berbeda pendapat dengan Mu¶tazilah lain pada beberapa masalah, antara lain ia mengatakan
bahwa Allah SWT menciptakan makhluk ini serentak yaitu manusia, tumbuhan, hewan
diciptakan serentak sebagaiman yang kita lihat sekarang. Pendapat ini di adopsi dari Filosof dan
bertentanga dengan apa yang di sepakati ulama salaf dan kholaf. Kemudian ia mangatakan
bahwa ijma¶ dan qias itu tidak bisa di jadikan hujjah, yang bisa dijadikan hujjah hanyalah
perkataan orang yang ma¶sum dari dosa. Yang lebih tragisnya lagi ia mengatakan I¶jasnya
Alquran, tingginya sastra Alqur'an itu adalah cuma karna ia menceritakan perkara yang lewat dan
yang akan datang dan karna lemahnya perhatian orang arab dalam membuat ayat yang serupa
dengan Al-quran. Kalau sekiranya itu semua tidak ada maka pasti ayat yang serupa susunan,
fasohah dan balagohnya dengan al-quran dapat dibuat manusia, padahal firman Allah SWT
sudah jelas-jelas berbunyi: dalam surat Al isra¶ ayat: 88 dan surat lainnya
4. Al-Khobitiyyah dan Al-Hadatsiyyah
Al-Khobitiyah adalah pengikut Ahmad bin Khobit, demikian juga Al-Hadatsiyah adalah
pengikut Fadhl Al-Hadtsi. Sebetulnya kedua orang ini adalah Mu¶tazilah Nazomiyah namun
setelah membaca dan mempelajari banyak buku-buku Filsafat mereka juga punya pikiran yang
melenceng dari Mu¶tazilah itu sendiri seperti; mereka menyakini bahwa dalam diri Nabi µIsa as
itu ada unsur ketuhanan seperti apa yang di percayai Nasrani bahwa nanti di akhirat µIsa akan
ikut menghitung amal manusia.
5. Al-Bisyriyah
Mereka adalah pengikut Bisyri bin Mu¶tamir, dia termasuk pembesar Mu¶tazilah namun ada juga
pendapatnya yang berseberangan dengan Mu¶tazilah lain seperti; ia berpendapat apabila seorang
mengerjakan dosa besar kemudian ia taubat maka otomatis dosanya di hapus, kemudia pekerjaan
itu diulang lagi maka dosa yang ditaubati pertama kembali padanya karna syarat taubat adalah
tidak mengulang dosa itu lagi.
6. Al-Mu¶ammariyah
Ini adalah pengikut Mu¶ammar bin µAbbad As-salmi, dia termasuk pembesar Qodariyah dan ia
banyak menyimpang dari Ahlusunnah bahkan Mu¶tazilah sendiri seperti pendapatnya yang
menapikan Qadar baik dan buruk dari Allah SWT dan mengingkari bahwa Allah SWT itu
Qadim, bahkan menyesatkan dan mengkafirkan orang yang berseberangan dengannya.
7. Al-Mardariyah
Mereka adalah pengikut µIsa bin Sobih Al-Makni yang diberi gelar dengan ³Mardar´, ia penah
jadi murid Bisyri bin Mu¶tamir dan ia di gelar juga dengan Rohibul Mu¶tazilah=guru besarnya
Mu'tazilah. ia berbeda dengan Mu¶tazilah lain pada beberapa masalah seperti; dia berpendapat
pada sipat Qudratnya Allah SWT itu termasuk bahwa Allah SWT sanggup berbohong dan
berbuat zalim, dan kalau Allah SWT misalnya berdusta atau berlaku zalim maka jadialah Ia
Tuhan yang zalim dan Tuhan pendusta. Kemudian sang Mardar inilah yang paling menonjol
menggembar-gemborkan bahwa Al-qur¶an itu adalah makhluk dan manusia mampu membuat
bacaan yang sama dengan Al-quran baik dari segi balagoh, fasohah dan I¶jaznya.
8. Ats-Tsumamiyah
Ini adalah kelompok Tsumamah bin Asyros An-Namiry, ia termasuk Mu¶tazilah yang ekstrim
dan banyak berbeda dengan Mu¶tazilah lain, seperti pendapatnya yang mengatakan bahwa orang
fasiq itu kekal di neraka dan mengatakan bahwa orang kafir dari Yahudi, Nasrani, Majusi, Dahri,
Musyrik dan Zanadiqoh nanti di akhirat akan jadi tanah, sama dengan binatang dan anak-anak
orang beriman. Suatu riwayat menyebutkan ketika Tsumamah melihat kaum muslimin berlari
kemesjid untuk sholat jum¶at karna takut terlambat maka dia berkata´ lihatlah para kerbau itu,
lihatlah himar-himar itu´.
9. Al-Hisyamiyah
Mereka adalah pengikut Hisyam bin Amru Al-futi, ia adalah orang yang sangat ekstrim pada
masalah Qudratnya Allah SWT. Ia mengingkari banyak perbuatan Allah yang sudah nyata
sekalipun dalam Al-quran seperti; ia mengingkari bahwa Allah SWT yang menyatukan hati
orang-orang beriman bahkan mengatakan bahwa yang menyatukan hati orang-orang beriman itu
adalah mereka sendiri dengan ikhtiyar mereka. pedahal sudah jelas di ungkapkan dalam al-quran:
63 ϝΎϔϧϷ΍) ϢϬϨϴΑ ϒϟ΍ Ϳ΍ ϦϜϟϭ ϢϬΑϮϠϗ ϦϴΑ Ζϔϟ΃ Ύϣ)
Ahlussunnah berkomentar tentang ³al-futi ³ dan pengikutnya bahwa darah dan harta mereka
halal bagi kaum muslimin, siapa yang membunuh mereka tidak akan dikenakan diat dan kiparat
bahkan membunuh mereka adalah salah satu jalan taqorrub kepada Allah SWT.
10. A-Jahiziyyah
Mereka adalah pengikut Amru bin Bahr abu Utsman Al-Jahiz, ia merupakan orang yang
dimuliakan di Mu¶tazilah dan termasuk penyusun kitab-kitab mereka. salah satu pendapatnya
yang menyimpang dari Mu¶tazilah lain adalah ia berpendapat bahwa orang yang masuk neraka
itu tidak selamanya akan mendapat siksa tapi mereka akan menjelma jadi unsur dari api itu
sendiri.
11. Al-Khoyyatiyah dan Ka¶biyah
Mereka adalah kelompok Abu Husein bin Abu Amru al-Khoyyat dan Ustadz Abu Qasim bin
Muhammad Al-Ka¶bi. Mereka berdua ini adalah Mu¶tazilah dari Bagdad, mereka bisa dibilang
satu aliran.
12. Al-Juba'iyyah dan dan Bahsyamiyah
Mereka adalah pengikut Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab Al-Jubbai dan anaknya Abu
Hasyim Abdussalam. Mereka berdua ini adalah orang Mu¶tazilah dari Bashrah dan beberapa
masalah berbeda dengan Mu'tazilah lainnya seperti; keduanya mengingkari bahwa Allah SWT
akan dilihat di akhirat, mengatakan bahwa kalam Allah SWT adalah berhuruf, tersusun dan
bersuara´ .

e. Penutup
Setelah kita membaca dan menelaah tulisan sederhana di atas secara otomatis dapatlah kita
menyimpulakan bahwa sebenarnya faham Mu¶tazilah itu adalah salah satu Firqoh/kelompok
dalam islam yang mengedepankan pemikiran dan mengenyampingkan Al-Quran, Hadits, Ijma¶
apabila berbenturan dengan akal pikiran, secara pemikiran mereka banyak terpengaruh dengan
metode berpikir para filosofis yunani yang jauh dari disiplin ketuhanan. mereka berseberangan
dengan Ahlissunnah wal jama¶ah dalam banyak masalah sehingga bayak ulama yang mengecam
mereka. Mu¶tazilah berdiri sekitar abad pertama Hijriyah dengan di pelopori Washil bin µAtho¶
dan jama¶ahnya. Mereka pernah jaya dimasa dinasti Abbasiyah di pinpin oleh Khalifah Al-
ma¶mun, dan Faham mu¶tazilah ini sempat menjadi idiologi Khilafah Islamiyah walau
sebenarnya tidak menerima di hati masyarakat muslimin. Tetapi setelah masa keemasan itu
mereka tidak pernah lagi bangkit seperti dulu sampai sekarang. Tetapi walaupun demikian kita
jangan lupa bahwa, fikroh dan metode berpikir mereka dalam menyerap ajaran Islam masih
hidup di era globalisasi ini, namun barangkali berbeda nama dan rupa tapi sama ma¶na dan
tujuan.

Terakhir sekali semoga tulisan ini memberi manfa¶at bagi pembaca utamanya penulis baik di
dunia apalagi di akhirat. Penulis sadar bahwa masih banyak referensi yang belum terungkap dan
terbaca ketika membuat makalah ini, jadi semoga pembaca lebih memperdalam masalah
Mu¶tazilah ini di kitab-kitab yang belum di sebutkan disini. Karna faham dan aliran pemikiran
ini sangat berpotensi memadamkan ruh islamiyah kita, maka harapan supaya sama berhati-hati
menyerap setiap pemikiran yang janggal dan tidak bertumpuan kepada dasar-dasar agama islam
itu sendiri. Akhirnya kesempurnaan itu hanyalah milik Allah SWT. Billahi taufiq wal hidayah
wAllau a¶lam bissowab.,
V

Mutazilah
Persoalan dokrin atau Ô Ô (tentang keyakinan hati) menjadi bahasan penting ketika ada
diantara sekelompok orang yang mempersoalkan, apakah orang-orang fasik itu masih dianggap
muslim (beriman) atau sudah jadi kafir karena kekufurannya?
mu`tazilah

Dan mengenai manusia, apakah manusia sesungguhnya mempunyai kehendak bebas atau apakah
semua perbuatan manusia itu sudah ³disetir´ oleh Tuhan. Manusia itu bisa memilih nasibnya
sendiri atau semuanya sudah µdiatur¶ oleh Tuhan? Kenapa di al-quran ada ayat yang bilang
bahwa manusia itu bebas untuk memilih dan berkehendak dan diayat lain-nya lagi mengatakan
tidak bebas?

Apakah isi al-quran itu memang bertentangan satu sama lain?

Aneka pendapat dan persoalan mulai muncul kepermukaan untuk menjawab pertanyaan dan
persolan tersebut. Berbagai pendapat dan perselisihan-pun mulai terjadi sejak jaman
pemerintahan Amirulmukminin Ali bin Abi Thalib.

Mu¶tazilah

Salah satu kelompok yang paling menonjol dalam jawab-menjawab persoalan kehendak bebas
tersebut adalah kelompok Mu¶tazilah. Kelompok ini pernah sangat disegani pendapat-
pendapatnya, terutama ketika masa pemerintahan ada ditangan Al-Ma¶mun (813-833M), Al-
Mu¶tasim (833-842) dan Al-Watsiq (842-847M).

Dokrin Mu¶tazilah

Sebenarnya banyak sekali pendapat dan pandangan Mu¶tazilah yang berkembang diluar
pertanyaan-pertanyaan yang pernah diajukan dimasa itu, mereka bahkan mulai merambah ke
banyak persoalan penting lainnya seperti : persoalan sosial, antropologi, fisika dan bahkan
filsafat.

Menurut mereka, semua persoalan ajaran agama yang diajukan tersebut tidak akan mudah bisa
dipahami jika tidak meneliti atau mengkaji persoalan-persoalan lainnya yang masih terkait satu
sama lain.

Dan dari sekian banyak persoalan yang menjadi perhatian mereka itu, nampaknya ada lima
dokrin utama ( sebagaimana yang mereka akui sendiri ) yang menjadi ajaran atau prinsip utama
mereka, yaitu :

1.V Tauhid
ëV Tidak adanya pluralitas dan sifat.
2.V Keadilan Ilahi
ëV Allah itu maha adil, maka dia tidak akan menindas makhluk-makhluknya.
3.V Allah memberi balasan x ÔÔÔ
ëV Allah memberikan pahala bagi yang taat dan memberikan hukuman bagi yang
durhaka, dan tak ada yang samar dalam persoalan ini. Karena itu Allah akan
memberikan ampunan-Nya jika sipendosa bertobat, tak mungkin ada ampunan
tanpa bertobat.
4.V Sebuah posisi diantara dua posisi xÔÔÔÔÔÔ
ëV Orang fasik itu bukanlah orang beriman (mukmin), juga bukan orang kafir. Fasik
merukan posisi antara orang beriman dan kafir.
5.V Menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran x Ô
Ô
Ô  Ô


Pandangan Mu¶tazilah mengenai kewajiban islam ini, 


ÔÔ adalah bahwa syariat bukanlah
satu-satunya jalan untuk mengidentifikasi apakah sesuatu itu baik atau buruk, yang mana yang
amar dan yang mana yang munkar. Akal manusia, setidak-tidaknya sebagian dapat
mengidentifikasi sendiri yang manakah yang baik dan mana yang buruk, serta yang sebelah
mana yang ma¶ruf dan sebelah mananya yang munkar.

 Ôkewajiban ini dapat dikerjakan atau ditunaikan oleh siapa saja tanpa memerlukan Ô
Tugas Ô atau Ô hanya diperlukan dalam mengelola persoalan-persoalan yang
berhubungan dengan kenegaraan dan pemerintahan, seperti mengimplementasikan hukum yang
sudah ditentukan, mengatur batas-batasan suatu negara dan lain-lain yang terkait dengan
pemerintahan islam.

Perdebatan antropomorfisme antara Mu'tazilah dan Asy'ariah bermuara pada tiga tema
utama. 3 ,pada persoalan sifat Tuhan, yakni apakah Tuhan memiliki sifat atau tidak;
dan bagaimana sifat tersebut terhadap eksistensi Tuhan.  , tentang penafsiran atas
ayat-ayat yang mengisyaratkan makna kebertubuhan Tuhan. Dan  
 tentang melihat
Tuhan.

3    
 

Dalam pandangan Mu'tazilah, Tuhan adalah zat yang tidak mungkin menempel pada-Nya
apalagi ada di dalam zat (esensi)-Nya sesuatu yang lain, termasuk sifat-sifat. Dengan
mengatakan bahwa ada sifat pada esensi dan eksistensi Tuhan, sama dengan
menambahkan esensi lain pada esensi Tuhan dan itu berarti akan "menodai" keesaan-Nya.
Bagi Mu'tazilah, sifat-sifat Tuhan bukanlah eksistensi hypostatik yang berdiri sendiri dan
berbeda dengan esensi Tuhan, melainkan sifat-sifat itu adalah esensi Tuhan itu sendiri. Sifat
juga bukan aksiden (sesuatu) yang terdapat di luar esensi Tuhan, sebab jika sifat adalah
aksiden di luar esensi Tuhan akan bermuara pada pemahaman bahwa Tuhan adalah a 
(substansi) yang di dalamnya terdapat aksiden-aksiden. Dan jika begitu, Tuhan tidak lagi
esa, dan itu adalah sesuatu yang sangat bertentangan dengan prinsip monoteisme dan
ketauhidan dalam Islam. Karena itu, dalam pandangan Mu'tazilah, sifat-sifat itu adalah
Tuhan itu sendiri. Sifat dan Tuhan tidak bisa dipahami sebagai dua substansi yang berbeda.
Berbeda dengan Mu'tazilah, kaum
Asy'ariyah mengatakan bahwa Tuhan
mempunyai sifat, dan hal tersebut
adalah sesuatu yang tidak dapat
diingkari. Adanya sifat-sifat Tuhan itu
ditunjukkan oleh perbuatan-perbuatan-
Nya, seperti Tuhan Mengetahui
menunjukkan bahwa Ia memiliki sifat
Mengetahui ( ), Tuhan menciptakan
menunjukkan bahwa Ia memiliki sifat
 (kemampuan), dan seterusnya.
Sifat-sifat tersebut adalah   (ada
begitu saja) di dalam esensi Tuhan,
tetapi sifat itu bukanlah esensi Tuhan.
Dengan kata lain, sifat-sifat itu tidaklah
sama dengan esensi Tuhan, tetapi
berwujud dalam esensi Tuhan itu sendiri.

Kaum Asy'ariyah ingin mengatakan bahwa sifat, meskipun ada dalam esensi Tuhan, tetapi
tidak menyebabkan adanya "yang banyak" dalam esensi-Nya, sebab sifat adalah berbeda
dengan esensi Tuhan itu. Dikatakan "banyak" jika sifat itu menjadi bagian dari esensi
Tuhan. Bagi Asy'ariyah, sifat adalah sesuatu yang "dimiliki" oleh Tuhan, dan itu tidak
memberikan pengaruh, baik menambah atau pun mengurangi, pada esensi-Nya.

3    

Selain berbeda dalam masalah sifat-sifat Tuhan, hal lain yang juga memicu perdebatan
adalah, penafsiran atas ayat-ayat al-Qur'an yang bernuansa antropomorfis, yang
mengisyaratkan makna bahwa Allah memiliki bentuk "kebertubuhan" seperti pada makhluk,
khususnya manusia. Dalam al-Qur'an, Allah beberapa kali menunjuk pada diri-Nya dengan
kalimat-kalimat yang menunjukkan adanya kebertubuhan pada esensi-Nya. Ayat-ayat
antropomorfis tersebut seperti adanya kata "   " (bersemayam),    (telinga),  
a  (wajah), dan   (tangan). Ayat-ayat yang memuat kata tersebut dan
disandingkan dengan Allah, mengisyaratkan bahwa Allah adalah esensi yang menempati
ruang dan waktu (   ) dan memiliki tubuh (   a  ).

Dalam pandangan Mu'tazilah, adalah mustahil jika Allah menempati ruang dan waktu dan
memiliki (bagian-bagian) tubuh, sebab hal tersebut menunjukkan bahwa Tuhan tidak lagi
bersifat kekal. Sebab, sifat materi yang membentuk kebertubuhan itu, pastilah mengalami
perubahan sebagaimana hukum materi. Selain itu, dengan mengatakan bahwa Allah
menempati ruang dan berada di dalam waktu, akan membatasi Tuhan dengan segala sifat
kemahaan-Nya, dan menjadikan Tuhan sebagai zat yang terbatas.

Karena itu, menurut kalangan Mu'tazilah, ayat-ayat semacam itu harus diberi interpretasi
yang lain. Kata     (bersemayam/bertahta) diinterpretasikan dengan "kekuasaan",  
  (mata) diinterpretasikan dengan "ilmu atau pengawasan", dan  a (wajah) diartikan
dengan "zat/esensi", dan   (tangan) diartikan dengan "nikmat atau kekuasaan".

Asy'ariyah menyikapi ayat-ayat antropomorfis ini sebagaimana adanya seperti yang


terdapat dalam teks al-Qur'an. Meskipun mereka tidak menerima bahwa Tuhan mempunyai
sifat kebertubuhan yang sama dengan sifat kebertubuhan pada manusia, tetapi tetap
mengatakan bahwa Tuhan, sebagaimana dalam al-Qur'an, mempunyai mata, wajah,
telinga, dan sebagainya, tetapi tidak sama dengan yang ada pada manusia. Asy'ariyah
mengatakan bahwa Allah memiliki sifat-sifat kebertubuhan tersebut dalam bentuknya
sendiri yang "tidak diketahui bagaimana" (i  ).

     

Penolakan Mu'tazilah terhadap kebertubuhan Tuhan sekaligus menegaskan bahwa Tuhan


adalah immateri. Karena itu, Tuhan tidak dapat dilihat, baik di dunia maupun di akhirat.
Pandangan ini diperkuat dengan dalil al-Qur'an bahwa:

"Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia mencakup seluruh
penglihatan, dan ialah yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui". (Q.S.  Ž : 103)

Dari ayat di atas, kalangan Mu'tazilah berargumentasi bahwa sesuatu yang bisa dilihat
adalah yang bisa dicapai oleh penglihatan, sementara dalam ayat ini secara tegas Allah
menafikan kemampuan indera penglihatan pada Diri-Nya (     i ).
Kelompok Mu'tazilah selanjutnya menolak penafsiran kata   yang terdapat dalam
QS. Al-Qiyamah (75): 22-3 dengan arti   (melihat), melainkan mengartikannya
dengan      (menanti), yaitu menanti datangnya pahala dari Tuhan.

Sebaliknya, seiring dengan pandangan Asy'ariyah bahwa Tuhan memiliki sifat


kebertubuhan, maka itu berarti Tuhan adalah zat yang dapat dilihat oleh manusia, tetapi
Tuhan baru bisa dilihat pada kehidupan akhirat nanti. Hal ini diperkuat oleh dalil al-Qur'an:

"Pada hari kiamat itu, (ada) wajah-wajah (yang) berseri-seri. (Yaitu wajah-wajah yang)
melihat kepada Tuhannya". (Q.S.    /75: 22-23)

Tentang ayat Q.S. al-An'amŽ : 103 yang menisyaratkan bahwa Tuhan tidak terjangkau
oleh penglihatan, bukan berarti "Tuhan tidak dapat dilihat" tetapi menunjukkan bahwa
manusia memiliki keterbatasan pada penglihatannya untuk dapat melihat Tuhan. Karena
itu, Tuhan baru bisa dilihat di akhirat nanti ketika batasan-batasan keduniawian manusia itu
telah hilang. ¢   .

Apr 2, '07 10:51 AM


Apa bedanya Mu'tazilah & Islam liberal?
for everyone
?ategory: Other
Diskusi sabtuan kali ini dipenuhi peserta dari kalangan mahasiswa, dosen, dan profesional
sehingga kapasitas tempat duduk dan makalah yang hanya tersedia untuk 40 orang penuh dan
habis. Akhirnya peserta yang datang belakangan terpaksa harus memfotokopi makalah sendiri
dan mencari tempat duduk tambahan. Diskusi sempat terganggu sebentar dengan padamnya
infokus dan laptop pembicara, akibat terbakarnya kabel gulung yang tidak kuat menyalurkan
daya listrik peralatan syuting dan lampunya. Penyutingan ini adalah inisiatif dari peserta yang
berhalangan hadir sehingga mengutus krunya untuk mendokumentasikannya.

Diskusi dimulai kurang lebih jam 10.15, terlambat sekitar 15 menit, dan berakhir pada jam
12.30, terlambat 30 menit. Dalam diskusi tersebut, pembicara menyimpulkan beberapa poin
sebagai berikut:
1. Konsep makhluknya al-Qur'an yang dikemukakan Mu'tazilah berbeda dengan pandangan
Islam liberal terhadap al-Qur'an. Dan oleh karena itu tidak seharusnya Islam liberal mengklaim
bahwa pendapat mereka bersandar pada Mu'tazilah.

2. Semua tokoh Mu'tazilah menyakini bahwa al-Qur'an kalamullah dan termasuk bagian dari
sifat-Nya. Yang menjadi pembahasan Mu'tazilah adalah kedudukan al-Qur'an sebagai firman
Allah itu bersifat muhdats.

3. Mu'tazilah juga tidak menafikan adanya sifat-sifat Allah, tapi mereka nyatakan bahwa Sifat
dan Dzat Allah adalah sama/satu (al-sifat 'ayn al-dzat).

4. Konsep makhluknya al-Qur'an, tidak mengurangi sikap Mu'tazilah dalam mengagungkan al-
Qur'an, apalagi mengingkarinya. Mereka juga tidak pernah mempermasalahkan kehendak Allah
yang telah memilih bahasa Arab sebagai media wahyu. Dan tidak pernah menyatakan bahwa al-
Qur'an adalah sebatas teks linguistik yang terpengaruh dengan budaya Arab pra Islam; seperti yg
dilakukan islib.

5. Mu'tazilah juga tidak pernah mempersalahkan khalifah Utsman yang telah berjasa
mengumpulkan al-Qur'an dalam satu mushaf, apalagi menuduh bahwa usaha beliau ini atas dasar
kepentingan politik, yaitu menegakkan hegemoni Arab-Quraisy; seperti yg sering dituduhkan
islib pd beliau.

6. Makhluknya al-Qur'an dalam pandangan Mu'tazilah tidak membuat mereka mengatakan


bahwa al-Qur'an adalah produk budaya, teks manusiawi dan bagian dari fenomena sejarah,
seperti tuduhan islib. Sebaliknya, dalam menghormati al-Qur'an Mu'tazilah mewariskan sebuah
tafsir al-Qur'an (al-Kasysyaf) dengan pendekatan bahasa yang mumpuni.
Sehingga banyak kalangan mufassir yang merujuk pada kitab tafsir ini, seperti al-Nasafi, Abu
Su'ud, al-alusi, dsb.

7. Dalam tafsir al-Kasysyaf yang dikarang al-Zamakhsyari tsb, pembicara hanya berkesempatan
membahas dua isu; homoseksual dan hukum waris yang terdapat dalam kitab tsb, khususnya al-
A'raf: 80-81; QS. Al-Naml: 54; dan QS. Al-'Ankabut: 29. Ayat-ayat tsb ditafsirkan al-
Zamakhsyari dg sangat mendalam, dan sedikitpun tidak ada pernyataan yang mengarah pd
halalnya homoseksual. Sebaliknya, beliau mensifati bahwa perbuatan itu sebagai tindak
kejahatan yang melampaui batas akhir keburukan (al-sayyi'ah al-mutamadiyah fi l-qubhi) dan
melanggar hikmah dan hukum Allah. Sedangkan dalam hukum waris, khususnya tafsir QS. Al-
Nisa': 11, tidak terdapat sama sekali statemen Zamakhsyari yang mengarah pada penyamaan hak
waris perempuan dan laki-laki, bahkan beliau menyatakan itu adalah ketentuan yang adil dan
membawa
maslahat.

8. Disamping tidak pernah melakukan perombakan hukum syari'at dalam al-Qur'an, Mu'tazilah
juga tidak merombak terminologi kunci dalam Islam, seperti makna iman, Islam dsb; dan
memaknai dengan makna yang baru sesuai kepentingan penafsir. (dalam presentasinya,
pemakalah memberi contoh praktis ttg bahayanya perombakan makna, yaitu mengganti makna
"buncit" dg "tambun". Walaupun sama arti, tapi ini sangat berbahaya bila diucapkan oleh kenek
bus, yg akhirnya akan menyesatkan para penumpang. Apalagi menyangkut agama yg hakekatnya
berkaitan dg perjalanan dunia - akherat)

9. Mu'tazilah sangat menyakini kebenaran Islam sbg wahyu yg final, sehingga mereka sering
berdakwah mengajak kalangan majusi, zoroaster, kristen, yahudi, zindik dsb untuk memeluk
agama Islam.
Terhitung tdk kurang dari 3000 orang telah masuk Islam di tangan Abu Hudzail al-`Allaf setelah
melalui perdebatan dg mereka. Ini tentunya berbeda dg islib yg mengkampanyekan pluralisme
agama, dan seringkali sinis bila mereka mendengar ada muallaf baru.

10. Walau demikian, pendapat makhluknya al-Qur'an yang hanya bermain-main dalam dataran
filosofis telah menyeret Mu'tazilah sebagai pelaku bid'ah-bid'ah keagamaan (ahlul bida') yang
sangat dicela dalam Islam, sehingga golongan ahlussunah pun akhirnya harus berjibaku untuk
meluruskan pandangan kaum muslimin tentang al-Qur'an, khususnya (yang telah mengakar
karena pernah menjadi madzhab resmi daulah abbasiyah selama 62 tahun, yaitu pada masa al-
Makmun, Mu'tasim dan Watsiq) dan pemahaman terhadap sifat Allah pada umumnya.

11. kesimpulan terakhir bahwa Islam liberal adalah kalangan anti Qur'an. Jika merujuk dg ta'rif
al-Qur'an yg tlh disepakati kaum muslimin, yaitu firman Allah SWT yang diturunkan kepada
Rasulullah SAW; yang tertulis dalam mushaf, ditransformasikan secara mutawatir dari generasi
ke generasi dan membacanya terhitung sebagai ibadah
V

KRITIS BEDA TIPIS ANTARA CERDAS DAN BODOH Apr 2, '07


KECERDASAN MU¶TAZILAH DAN KEBODOHAN ISLAM 10:37 AM
LIBERAL for everyone
?ategory: Other
KRITIS BEDA TIPIS ANTARA CERDAS DAN BODOH
KECERDASAN MU¶TAZILAH DAN KEBODOHAN ISLAM LIBERAL

Assalamu¶alaykum wr.wb

Menyimak diskusi sabtuan yg diselenggarakan di INSIST kalibata, rasanya sangat menarik


dengan pemakalah Mas Henry Shalahuddin, MA mengenai claim Islam Liberal yg mengatakan
bahwa pemahaman mereka adalah mewarisi
pemahaman Mu¶tazilah. Benarkah?????

Kalau aku menganalogikan kelompok Mu¶tazilah spt seorang anak yg cerdas, kritis, ³nakal´
namun masih punya rasa takut untuk tidak melanggar hal2 yg
mendasar dalam melakukan perubahan sesuatu yg memang tidak layak dan tidak boleh dirubah
(baku), namun karena kekritisannya tersebut yg akhirnya menimbulkan kekrtisan2 yg tidak
perlu, hingga menyebabkan kelompok
Mu¶tazilah masuk dalam kelompok ahlul bid¶ah.

Sedangkan Islam Liberal aku analogikan spt seorang anak yg brutal, bodoh, ceroboh dan
kekritisannya tersebut bukan kekritisan orang yg cerdas, namun lebih tepat sebagai kekritisan yg
didasari dgn kekonyolan dan kebrutalannya yg disebabkan karena kebodohan2nya dalam berfikir
dan tercermin sekali sebagai pribadi2 yg sakit secara psychologis, hingga timbul keinginan diri
untuk mengactulisasikan dirinya dengan cara apapun agar dikenal dan diakui dalam kelompok
masyarakat awam, dan masyarakat bingung yg mengalami
gangguan psychologis spt mereka.

Kesamaan Mu¶tazilah dan Islam Liberal hanya sebatas kesamaan dalam mengedepankan akal
dari pada wahyu. Namun kelompok Mu¶tazilah yg mengedepankan akal masih dilandasi dgn
keyakinan akan kebenaran hal2 yg
mendasar dalam islam dan cara berfikir Mu¶tazilah hanya mencerminkan kecerdasan seorang
anak, namun masih mempunyai rasa takut untuk melanggar hal2 yg pokok dalam islam.
Sedangkan Islam Liberal yg
mengedepankan akal seorang anak yg mengalami gangguan kejiwaan, hingga melakukan
kebrutalan2 dalam beragama dan cerminan kekonyolan seorang anak yg frustasi dalam
mengekspresikan dirinya agara dapat diakui dan dikenal
oleh masyarakat, hingga melakukan cara apapun dalam mengekspresikan dirinya tanpa berfikir
kalau kecerobohan dan kekonyolannya tersebut, dilihat oleh
pihak lain sebagai kebodohan2 cara berfikir sesoerang yg berbalut ³intelektual´.

CARA BERFIKIR MU¶TAZILAH

Kajian pemikiran Mu¶tazilah lebih pada pembahasan sifat2 Allah yg menjurus pada pensucian
Tuhan yaitu menolak sifat dan dzat Allah untuk diserupakan dengan mahlukNya, dari konsep
Mu¶tazilah ini muncul prinsip bahwa sifat dan dzat Allah adalah satu. Menurut pemahaman
Mu¶tazilah jika Al-qur¶an diterima sebagai sifat Allah yg terpisah dari dzatNya, maka akibatnya
adalah sesuatu yg qodim (kekal) selain dzat Allah. ini berarti menerima penyerupaan sifat Allah
dengan dzatnya. Maka untuk mengatasi problem ini, maka Mu¶tazilah memperkenalkan
prinsipnya bahwa Al-qur¶an itu bukan sifat Allah, tetapi mahluk Allah.

Pembahasan sifat2 Allah secara mendetail belum ada di zaman Nabi dan Sahabat, hingga pada
saat ada salah seorang sahabat yg menanyakan kedudukan sifat Allah, membuat merah wajah
Rasulullah dan mengatakan ³apakah aku diutus hanya untuk membahas hal seperti itu?´ yaitu
dalam arti membahal hal2 yg tidak perlu dan tidak penting. Karena membahas kedudukan sifat
Allah, hanya satu pembahasan yg sia2 dan buang2 waktu, karena
akal manusia itu terikat dan tidak akan mampu menembus kedudukan sifat Allah. tapi selaku
seorang mukmin karena keterikatan akalnya cukup mengimani dengan kami dengar dan kami
taat saja. Sedang yg perlu dibahas
adalah ciptaan2 Allah yg tampak di langit dan bumi untuk menambah ketaqwaan kita padaNya.

Sedangkan pemikiran Mu¶tazilah tersebut dilatar belakangi penolakannya terhadap pemikiran


Shi¶ah yg menyebarkan madzhab Tashbih yg mengatakan bahwa sifat dan dzat Allah
menyerupai sifat dan dzat mahlukNya, hingga timbul prinsip pensucian Tuhan yg menolak
penyerupaan sifat dan dzat Allah dengan mahlukNya dan sebagai respon menolak akidah Yahudi
dan Nasrani dengan trinitasnya.
5 prinsip Mu¶tazilah yaitu Tauhid, Keadilan, Janji dan ancaman, kedudukan diantara 2
kedudukan, dan amar makruf nahi munkar dan ulama Mu¶tazilah sepakat apabila seseorang tidak
mengakui salah satu dari 5 prinsip tsb atau mengurangi dan menambahi prinsip tsb, maka orang
tsb tidak layak dikatakan sebagai kelompok Mu¶tazilah. Pada umumnya ulama2 Mu¶tazilah
sepakat
bahwa Al-qur¶an adalah firman Allah, ia diciptakan sebagaimana mahluk lainnya diciptakan,
oleh karena itu Al-qur¶an dalam pandangan mereka adalah sesuatu yg tidak abadi, dengan
argumentasi jika dalam al-qur¶an terdapat perintah dan larangan serta janji dan ancaman,
sesungguhnya perintah itu sendiri memerlukan
objek yg diperintah. Spt perintah sholat yg tidak mungkin ada semenjak azali sebelum manusia
diciptakan, karena tidak mungkin ada perintah tanpa ada manusia yang diperintahkan terlebih
dahulu, maka dari itu perintah Allah tidak kekal.

Pada prinsipnya Mu¶tazilah tidak mempersoalkan al-qur¶an dari segi bahasa, Mu¶tazilah tidak
mempersoalkan al-qur¶an sbg firman Allah. Mu¶tazilah tetap menggunakan argumentasi dengan
ayat2 al-qur¶an yg terdapat dalam mushaf utsmani, disamping argumentasi rasional yg artinya
Mu¶tazilah tidak pernah mengkritik validasi al-qur¶an mushaf utsmani.
Substansi pemikiran Mu¶tazilah dengan semangat keislaman dan keilmuah dgn paradigma yg
jelas.

PANDANGAN AHLUSSUNAH TERHADAP PEMIKIRAN MU¶TAZILAH

Imam al-Ash¶ari menganalisa kata2 khalq dalam ayat QS 7:54 ³ingatlah, menciptakan (al-khalq)
dan memerintahkan (al-amr) adalah hak Allah´. dalam ayat tsb ³al-khalq´ mencakup makna
segala sesuatu yg diciptakanNya, kemudian kata ³al-amr´ (perintah) yg tidak masuk dalam
kategori al-khalq. Maka dengan sendirinya al-amr merupakan bagian dari kalam Allah, dan
bukanlah termasuk kategori mahluk. Disamping itu lanjut imam al-ash¶ari kata2 perintah (al-
amr) dalam surat Rum : 4 ³bagi Allah segala perintah (al-amr) sebelum dan sesudahnya´ berarti
sebelum diciptakan dan sesudahnya, oleh sebab itu al-amr bukanlah termasuk mahluk.

Argumentasi utama Mu¶tazilah tentang temporalnya Al-qur¶an, hanya kepada ketidakmungkinan


azalinya peristiwa dalam Al-qur¶an yg kemudian baru diwahyukan pada masa kerasulan
Muhammad SAW dan argumentasi ini
hanya menyentuk aspek Al-qur¶an dari sisi suara yg dilafadzkan. Hingga argumentasi Mu¶tazilah
terkait dengan sifat temporalnya perintah, larangan, janji dan ancaman Allah dalam Al-qur¶an yg
memerlukan objek.
Sedangkan ke azalian Al-qur¶an bagi ahlussunah merujuk pada kalam nafsi, yg berwujud ide dan
pengetahuan (ilmu) yg telah ada semenjak azali, sebelum
terlafadzkan dan diwahyukan kepada Muhammad SAW. Jadi argumentasi ahlussunah adalah
segala peristiwa yg termaktub dalam Al-qur¶an sudah dalam pengetahuan (ilmu) allah semenjak
azali. Sebab sifat mengetahui bagi Allah adalah qodim (kekal) yg tidak terbatasi dengan ruang
dan waktu, baik yg telah lalu atau yg akan datang. Dan pandangan ahlussunah sebenarnya tidak
harus diinterprestasikan bahwa Al-qur¶an adalah mahluk, karena Allah secara azali telah
mengetahui bahwa Dia akan menciptakan alam semesta seisinya dan
ketika alam telah tercipta maka hal tsb bersesuaian dengan pengetahuan Allah yg azali itu. Dan
pandangan ini sejalan dengan golongan al-asha¶irah bahwa semua kejadian, perintah, larangan,
dsbnya yg terdapat dalam Al-qur¶an sudah dalam pengetahuan (ilmu) Allah yg azali, kemudian
menetapkannya dalam Al-qur¶an sebelum menciptakannya.

CARA BERFIKIR ISLAM LIBERAL YG TIDAK ILMIAH DAN


IRASIONAL

Pendapat kalangan Islam Liberal yg ada di Indonesia ttg Al-qur¶an adalah produk budaya, teks
manusiawi dan menganggap sebatas fenomena sejarah dan islam liberal mengclaim bahwa Al-
qur¶an terhegemoni oleh bangsa Arab Quraish adalah jelas tidak ilmiah. Karena justru sebaliknya
yaitu Al-qur¶an mempengaruhi budaya bangsa Arab yg jahiliyah menjadi bangsa yg beradab.
Dalam penggunaan istilah yg sama sebelum datangnya Al-qur¶an dengan setelah datangnya Al-
qur¶an, teks yg sama namun mempunyai makna yg berbeda. Contoh : istilah nikah menruut Arab
jahiliyah adalah pemenuhan kebutuhan seks tanpa batas pertalian darah, hingga istripun dapat
diwariskan. Namun istilah nikah menurut Al-qur¶an mempunyai makna yg berbeda yaitu
perjanjian yg kuat. Istilah karim (mulia) menurut Arab Jahiliyah adalah kemuliaan yg diartikan
dengan banyaknya istri, anak, dan harta sedangkan istilah Karim (mulia) dalam Al-qur¶an, istilah
kemualiaan dalah ketinggian derajat orang yg paling bertaqwa di sisi Allah.

Ungkapan tokoh Islam Liberal yg menganggap semua agama sama, justru mencerminkan
pemahaman orang awam dalam beragama, karena tidak memahami konsep ketuhanan dalam tiap
agama dan merupakan pemahaman terbalik dari kelompok Mu¶tazilah yg lahir karena untuk
menolak akidah yahudi dan konsep trinitasnya nasrani, serta kelompok shi¶ah yg mengatakan
sifat dan dzat Allah sama spt mahlukNya.
Dalam menafsirkan ayat2 mengenai homoseksual, tokoh Mu¶tazilah (al-zamakhsyari)
mengatakan bahwa tidak ada perbuatan yg lebih tercela dari perilaku homoseksual, sehingga
pelakunya layak disifati sbg binatang dan
merupakan perbuatan menjijikkan yg merusak jalan keturunan. Sedangkan perilaku homoseksual
saat ini mendapat dukungan dari tokoh Islam liberal yg
mengatakan ³hanya orang primitif saja yg melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yg
abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tidak ada alasan kuat bagi
siapapun dengan dalih apapun untuk melarang perkawinan sejenis, sebab Tuhan sudah maklum
bahwa proyeksnya menciptakan manusia sudah kebablasan´.

Walaupun Mu¶tazilah menganggap Qur¶an itu mahluk, tapi mereka tidak pernah mengatakan
bahwa al-qur¶an tehegemoni oleh budaya Arab dan mengakui al-qur¶an sbg firman Allah.
sedangkan Islam liberal menyebarkan doktrin bahwa Al-qur¶an adalah produk manusia dan
budaya Arab, hingga untuk mengkuatkan doktrin tsb salah seorang ³intelektual´ liberal yg brutal
telah meningjak2 lafadz Allah dihadapan mahasiswanya.

KESIMPULAN

Paham islam liberal sangat berbeda dengan pemahaman Mu¶tazilah, baik dari sudut pemikiran
rasional, permasalahan dan latar belakang. Latar belakang
kemunculan paham Mu¶tazilah karena maraknya keekstriman madzhab tashbih yg
membahayakan kemurnian Tauhid, walaupun akhirnya Mu¶tazilah terjebak dalam bentuk
keekstriman yg lain, sehingga mereka banyak menciptakan bid¶ah keagamaan yg dilarang dan
menyebabkan ulama2 Ahlussunah mengkoreksi kekeliruan yg disebarkan tsb dan
menggolongkan aliran Mu¶tazilah sebagai Ahlul Bida (pembuat bid¶ah).

Namun kemunculan islam liberal tidak didasarai oleh latar belakang yg jelas, kecuali
memuaskan nafsu protes terhadap ajaran islam dan ingin merombak ajaran islam secara brutal
dengan melakukan tindakan arogan secara pemiiran yg di dasari oleh pemikiran brutalnya hingga
mampu menghina Al-qur¶an dan menafikan firman Allah serta kerasulan Muhammad SAW
sebagai pembawa
firman Allah dan menghina kedudukan para ulama klasik yg bermartabat. Serta argumen
pemikiran islam liberal, jauh dari kesan ilmiah kecuali kebodohan2 yg
ditampakkan sebagai kelompok yg beragama secara awam dengan mengatakan semua agama
sama. Pemikiran irasional yg menganggap homoseksual adalah cara tepat untuk menghentikan
proyek Allahd alam membuat manusia, serta pemikiran yg tidak ilmiah dengan mengatakan Al-
qur¶an adalah produk orang Arab yg terhegemoni oleh budaya Arab.

Hmmm..aku jadi ingat candaanku dahulu, bahwa kritis itu beda tipis antara kecerdasan dan
kebodohan. Kekritisan kelompok Mu¶tazilah karena di dasari oleh kecerdasannya, namun
kekritisan islam liberal didasari oleh kebodohannya. Orang bodoh mengaku pintar itu spt
gambaran orang liberal yg menclaim bahwa pemikirannya adalah mewarisi kelompok
Mu¶tazilah. Hehehehe
V

æelajar dari Kaum Mu'tazilah


° 

   

ð
V

Telah umum diketahui bahwa dalam sejarah pemikiran Islam, kaum Mu`tazilah adalah pelopor
pembahasan masalah akal dan wahyu. Dalam pandangan mereka, kedua hal itu tidak mungkin
bertentangan. Sebab wahyu adalah kebenaran, dan akal adalah anugerah Tuhan untuk mampu
menangkap kebenaran itu. Pandangan ini seluruhnya sejalan dengan berbagai dorongan dalam
Alquran agar kita menggunakan akal, berpikir, merenung (ya`qilu, yatafakkaru, dan yatadabbaru,
dengan tashrif derivatif masing-masing). Ayat-ayat Alquran banyak sekali diakhiri dengan
perkataan-perkataan ini, baik yang bernada pujian kepada yang melakukannya ataupun yang
bernada gugatan kepada yang tidak melakukannya.

Secara populer diketahui bahwa pelopor gerakan Mu`tazilah ialah Washil ibn `Atha (w. 131
H/749 M.) dari Bashrah, (bekas) murid Hasan Bashri (Al-Hasan Al-Bashri w. 110 H./728M.).
Meskipun riwayat menyebutkan bahwa pikiran i`tizAl-nya tumbuh karena kekecewaan kepada
gurunya dalam menjawab tentang status seseorang yang mengaku beriman namun berdosa besar,
Washil dapat dipahami lebih baik hanya jika diperhitungkan pengaruh gurunya itu. Sebab Hasan
Bashri adalah seorang tokoh ulama yang sangat cenderung kepada paham Qadariyah, yang
menyebabkan ia banyak berhadapan dengan rezim Umayah di Damaskus (yang terkenal sangat
kuat berpegang kepada paham Jabariyah).

Paham Qadariyah sendiri merupakan salah satu tema pokok pandangan keagamaan kaum
Khawarij. Lagi-lagi, sekalipun kaum ³pemberontak ³ ini ³memberontak´ kepada Ali ibn Abi
Thalib, namun banyak wawasan kaum Khawarij yang rasional dan demokratis berakar dalam
wawasan khalifah keempat itu. Bahkan meskipun paham kaum Khawarij akhirnya berkembang
menjadi ekstrem sehingga kelak mereka dinyatakan oleh kaum Sunni sebagai pembuat bid`ah
(ahlu `l-bid`ah atau al-mubtadi`ah) dan golongan penurut keinginan sendiri (ahl-u `l-ahwa`).
Namun secara keagamaan, pribadi mereka itu, seperti dikatakan Ibn Taimiyah, adalah orang-
orang yang saleh dan sangat dapat dipercaya.

Dalam penilaian kalangan ahli sejarah politik dan pemikiran Islam, kaum Mu`tazilah adalah
³titisan´ kaum Khawarij, kecuali bahwa mereka itu tidak terlalu berat terobsesi kepada
kekuasaan politik. Tapi, ketika paham Mu`tazilah itu diambil oleh Khalifah Al-Ma`mun dan
diputuskannya sebagai paham ³resmi´ negara (dengan ekses negatif yang ironis berupa mihnah
atau pemeriksaan paham pribadi), kelompok Muslim ³rasionalis´ itu mampu menggerakkan
wawasan keilmuan dan etos intelektual dalam peradaban Islam yang hasil-hasilnya masih
menjadi topik kebanggaan kaum Muslim sampai sekarang. Ekses paham i`tizal memang ada, tapi
merupakan hal sekunder.

Kaum Muslim zaman modern mungkin tidak perlu mengulang kembali secara keseluruhan
paham Mu`tazilah. Tetapi jelas sekali bahwa mereka perlu membangkitkan kembali wawasan
keilmuan dan etos intelektual pada ³zaman keemasan´ Islam itu.

V)*+V,)-V
V
  V  V
V VV !V
)-.-)V V
""V##V $%& '(
V

'V/#V
V

Oleh Ikke
Pendahuluan
Sebagai kitab suci yang autentik dan sempurna, wajar jika al-Qur¶an dianggap sakral dan harus
diterima sebagai doktrin yang didekati secara dogmatis-ideologis. Namun, tentulah akan lebih
memuaskan akal dan melegakan hati, jika al-Qur¶an didekati melalui metodologi ilmiah-rasional.
Untuk itu, ayat-ayat al-Qur¶an-terutama yang menimbulkan pemahaman ambigu (mutasyabihat)
harus mendapat ³sentuhan´ makna esoteris (takwil). Perangkat takwil ini melahirkan beragam
interpretasi tentang implementasi kajian bahasa, dan di antara fokus kajian pemikir belakangan
adalah wacana majas (Metafora) vis a vis hakiki (denotative). Di sinilah pentingnya penalaran
terhadap ayat-ayat al-Qur¶an.[1]

Jika majaz dijadikan sebagai alat tertentu untuk pengayaan bahasa, setiap pemahaman terhadap
majas dan aplikasinya tidak mungkin terpisahkan dari deskripsi apa pun tentang karakteristik
bahasa dan maknanya. Deskripsi tentang karakteristik bahasa akan menjadi sempurna dalam
kerangka pertumbuhan akal dalam perspektif pengembangan ilmu pengetahuan. Pemihakan
kaum Mu¶tazilah terhadap eksistensi akal merupakan keistimewaan tersendiri di antara mazhab
teologi lain dan memiliki implikasi yang sangat luas, terutama hal-hal yang berkaitan dengan
relasi antara majas, bahasa, dan ilmu pengetahuan.

Oleh karena itu, lebih khusus makalah ini akan menguraikan beberapa hal yang berkaitan dengan
pembahasan di antaranya bagaimana Mu¶tazilah, sebagai mazhab yang dikenal mengedepankan
rasionalitas mengungkapkan definisi tentang Majaz/Metafora yang dikaitkan dengan pemahaman
terhadap ayat-ayat al-Qur¶an.

æ Pandangan Mu¶tazilah atas yat-ayat Majaz/Metafor


Untuk mengungkapkan konsep metafora al-Qur¶an dalam perspektif Mu¶tazilah, penulis akan
menjelaskan melalui pendapat beberapa tokoh Mu¶tazilah dan karya-karyanya yang membahas
tentang kajian bahasa, seperti Muqatil ibn sulaiman, Abu µUbaidah, Al-Farra¶, Al-Jahizh, dan Al-
Qadhi µAbd Al-Jabbar.

1 Muqatil ibn Sulaiman dan Eksplorasi Keragaman Makna Teks

Pandangan Muqatil ibn Sulaiman tentang majas ditinjau dari sisi terminologi pada khususnya
dan kajian balaghah dapat dilihat melalui karyanya al-Asybah wa al-Nazha¶ir. Di dalamnya
menggambarkan adanya kesan keragaman makna teks (dalalah).

Menurut Muqatil, bahwa dalam satu kata pasti mempunyai makna atau tujuan tertentu. Artinya,
makna atau maksud lainnya berasal dari satu kata itu. Ketika mengisyaratkan kepada makna
aslinya. la mengatakan, ³inilah makna denotatifnya (ÔÔÔÔÔ)´. Maksudnya adalah,
bahwa sebuah kata mempunyai satu makna asli yang populer dan bisa dipahami secara spontan
ketika diucapkan.
Misalnya, dalam al-Qur¶an kata ³maut´ digunakan untuk lima arti; air mani, sesat dari tauhid,
tanah yang gersang, tanah yang ditumbuhi sedikit tanaman, dan hilangnya nyawa. Dari kelima
arti itu, empat makna pertama digunakan untuk makna sekunder (ÔÔ Ô
) dan makna kelima
adalah makna primer (ÔÔÔÔ). Muqatil menegaskan bahwa mati dalam pengertian
lepasnya ruh digunakan dalam firman Allah ³Sesungguhnya kamu akan mati dan mereka pun
akan mati.´ (Q.S. Al-Zumar (39): 30), dan ³Setiap jiwa akan merasakan kematian.´ (Q.S. Ali
Imran (3): 195).[2] Dengan demikian, makna terakhir itulah yang merupakan makna asli atau
makna primer dari kata ³mati´.

Muqatil juga menempuh metode seperti itu, ketika menghadapi ungkapan dan redaksi kalimat
dalam al-Qur¶an. Dia tertegun ketika sampai pada kata hasanah (kebaikan) dan sayyi¶ah
(keburukan), al-zhulumat (kegelapan) dan al-nur (cahaya), al-thayyib (bagus, bersih) dan al-
khaba¶its (kotor, jijik), aqama al-shalah (mendirikan shalat) wama baina aidiihim wa kbalfahum
(dan apa yang ada di hadapan mereka dan di belakangnya), mustaqorrun wa mustauda¶ (tempat
tetap dan tempat simpanan).´[3]

Muqatil memahami bahwa ada makna yang tersurat dan ada makna yang tersirat. Misalnya, kata
al-zhulumat wa al-nur memiliki dua arti, pertama, al-zhulumat adalah menyekutukan Allah
(syirk), sedangkan al-nur (cahaya) adalah iman kepada Allah, seperti dalam firman-Nya:

έϮϨϟ΍ ϰϟ΍ ΕΎϤϠψϟ΍ Ϧϣ ϢϬΟήΨϳ ΍ϮϨϣ΍ Ϧϳάϟ΍ ϲ


˷ ϟϭ Ϳ΍

Allah pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju
cahaya«.´(Q.S. Al-Baqarah (2): 257). Maksudnya, mengeluarkan dari perbuatan syirik menuju
keimanan. Juga dalam surah al-Ahzab (33): 43;

m  ϰ ΕΎϤϠψ Ϧϣ ϢϜΟήΨϴ ϪΘϜΌϠϣϭ ϢϜϴϠϋ ϲ˷Ϡμϳ ϱά 

Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohon ampunan untukmu)
supaya Dia menghindarkan kamu dari kegelapan menuju cahaya.´

Maksudnya, dari perbuatan syirik menuju keimanan. Kedua, al-zhulumat adalah malam,
sedangkan al-nur (cahaya) adalah siang. Ini bisa ditemukan dalam surah Al-¶An¶am (6): 1,

m  ΕΎϤϠψ ϞόΟϭ νmϭ Ε Ϥδ ϖϠΧ ϱά Ϳ ΪϤ

Segala puji bagi Allah yang menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang.´[4]

Dalam hal ini, Muqatil tidak memahaminya dengan arti syirik dan keimanan, tetapi
menakwilkannya dengan siang dan malam. Dari sini tampak bahwa dia bermaksud menjelaskan
adanya arti yang beragam dalam al-Qur¶an.

2 bu µUbaidah dan Macam-macam Majaz (Metafora)

Setelah Muqatil ibn Sulaiman menulis Al-Asybah wa al-Nazha¶ir, Abu µUbaidah Mu¶tamar ibn
al-Mutsanna (w. 207 H) menyelesaikan Majaz al-Qur¶an.[5] Bentuk-bentuk majas yang menjadi
fokus kajian Abu µUbaidah. Menurut Nashr Hamid Abu Zaid, bahwa Abu µUbaidah dalam
karyanya Majaz al-Qur¶an, telah mengikuti jalan para ahli bahasa pendahulunya, yaitu
mengaitkan nahwu dengan bentuk kata dan struktur kalimat. Ini berbeda dengan pandangan
ulama kontemporer yang menganggap bahwa ilmu nahwu hanya sebatas untuk mengetahui
kondisi akhir kalimat; baik dalam susunannya maupun redaksinya.[6]

Ilmu nahwu dalam perspektif ulama klasik juga dibahas oleh Abu µUbaidah dalam karyanya,
Majaz al-Qur¶an, menurutnya, majaz ialah cara orang Arab untuk menyatakan maksud dan
tujuan mereka, serta menjelaskan apa yang terjadi dalam kalimat berupa taqdim (mendahulukan
kata), ta¶khir (mengakhirkan kata), hadzf (membuang kata), atau lainnya.[7] Definisi majaz,
menurut Abu µUbaidah mencakup semua pembahasan yang termasuk dalam kajian gaya bahasa
(uslub).

Adapun pemahaman Abu µUbaidah tentang majaz diperkuat oleh cerita yang disampaikannya
berkaitan dengan alasan dia menulis Majaz al-Qur¶an kepada Fadhl ibn Rahi¶ melalui
sekretarisnya. Sekretaris Fadhl ibn Rabi¶ bertanya kepada Abu µUbaidah tentang firman Allah
swt., ³Tangkainya seperti kepala-kepala setan´ (QS. Al-Shaffat (37): 6.S) apakah yang dimaksud
dengan kepala setan? Mengapa ungkapan ini -yang ditujukan untuk menakut-nakuti- tidak
dikenal oleh bangsa Arab? Abu µUbaidah menjawab:

³Allah SWT berbicara dengan bangun Arab sesuai dengan bahasa yang mereka gunakan.
Tidakkah engkau mendengar perkataan Amru¶ Al-Qais, µApakah ia akan membunuhku, padahal
tempat tidurku yang mengawasiku mempunyai tatapan mata yang tajam seperti taring raksasa?¶
dalam konteks ini, syair itu tidak terlalu mementingkan sosok raksasa, tetapi ketika raksasa dapat
menakuti mereka, digunakanlah kata tersebut. Sekretaris Fadhl kemudian dapat menerima
pendapatku dan sejak itu aku (Abu µUbaidah) pun bertekad untuk mengarang sebuah kitab yang
membahas tentang Al-Qur¶an, khususnya ayat-ayat yang berhubungan dengan majaz. Dan,
ketika aku tinggal di Bashrah, aku rampungkan penulisan kitab tersebut. Kemudian, aku beri
judul Majaiz Al-Qur¶an.´[8]

Kisah Abu µUbaidah ini memberi kesimpulan tentang dua hal; pertama, bahwa setiap kaidah
bahasa (Ô ) berjalan seiring dengan realitas bahasa dan perbendaharaannya. Selama ini,
orang yang mempelajari bahasa hanya terpaku pada tata bahasa, tanpa menyelami model susunan
kata dan kalimat. Padahal, susunan kalimat tersebut dapat mengatur tata bahasa dan bukan tata
bahasa yang mengatur kalimat.

Kedua, Abu µUbaidah mengembalikan perumpamaan dalam al-Qur¶an kepada cara


pengungkapan orang Arab, karena al-Qur¶an diturunkan dengan bahasa mereka. Metode yang
dia pakai dalam kitabnya bertumpu pada dua hal tersebut. Metode Abu µUbaidah ini melanjutkan
apa yang telah dicanangkan oleh Ibn µAbbas dalam penjelasannya, ³Jika kalian bertanya tentang
kalimat yang ganjil dalam al-Qur¶an, cobalah untuk mencarinya dalam syair, sebab syair adalah
referensi bangsa Arab.[9]

Dengan demikian, istilah majaz perspektif Abu µUbaidah, meskipun mempunyai korelasi kuat
dengan makna etimologinya, sebenarnya hanya berkutat pada terminologinya saja. Penggunaan
terminologi ini sekedar eksplorasi wacana yang masih jauh untuk dikatakan sebagai penjelasan
atau pengertian, meskipun terkadang dapat mewakili maksudnya.[10]

Menurut Abu µUbaidah, hadzf (membuang) dianggap masuk ke dalam majaz (metafora). Dalam
hadzf atau mahdzuf (yang dibuang), disyaratkan adanya kesepahaman antara pembicara
(mutakallim) dan orang yang diajak bicara (mukhatab) tentang kata yang dibuang. Ketika
mengomentari firman Allah yang berbunyi,

ϢϜϧΎϤϳ ΪόΑ ϢΗήϔϛ ϢϬ Οϭ Ε˷Ω  Ϧϳά Ύ˷ϣ΃ϭ

Adapun orang-orang yang menjadi hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan). Mengapa
kamu kafir sesudah kamu beriman´ (Q.S. Ali Imran (3): 106).

Abu µUbaidah berkata, ³Jika maknanya sudah diketahui, orang Arab mempersingkat kalimat.
Semestinya ayat itu berbunyi ³adapun orang yang menjadi hitam muram mukanya, dikatakan
kepada mereka, µmengapa kamu kafir sesudah kamu beriman?. Kalimat dikatakan kepada
mereka dibuang untuk mempersingkat. Namun tidak mengurangi kejelasan maknanya.

Contoh lain, ketika abu µUbaidah menguraikan makna firman Allah,

ϢήϔϜΑ ϞΠό ϪΑ Ϡϗ ϲϓ  Αήη΃ϭ

Dan telah diresapkan dalam hati mereka itu (kecintaan menyembah) anak sapi karena
kekafirannya´ (Q.S. Al-Baqarah (2): 93),

Abu µUbaidah berkata, maksudnya ³hati mereka diberi rasa kecintaan kepada anak sapi´. Inilah
yang disebut sebagai majas ikhtishar (meringkas), sebab kata µkecintaan menyembah¶ tidak
ditampakkan dalam ayat. Dalam al-Qur¶an juga terdapat ayat yang berbunyi ³dan bertanyalah
kepada kampung¶. Maksudnya, tanyalah kepada penduduk kampung tersebut.[11]

3 l-Farra¶ dan Kebekuan Terminologi

Terdapat batasan yang lebih tegas tentang konsep dan definisi majaz. Al-Farra¶ tidak
mempergunakan istilah µmajaz¶, sebagaimana digunakan oleh Abu µUbaidah. Dia lebih memilih
kata tajawwaza, yang berarti melebihi. Dalam menguraikan maksud ayat ³fama rabihat
tijaratuhum´ (maka perdagangan mereka tidak akan beruntung) (QS. Al-Baqarah (2): 16). Al-
Farra¶ beranggapan bahwa penyandaran kata rihb (beruntung) kepada tijarah (perdagangan)
merupakan bentuk ungkapan yang melebihi ungkapan sebenarnya (haqiqi).

Penggunaan kata kerja tajawwaza dalam konteks ini menunjukkan bahwa konsep majaz atau
tajawwuz yang dikemukan oleh al-farra¶ selangkah lebih maju dari konsep yang dikembangkan
abu µUbaidah. Hal ini disebabkan arti dari tajawwaza fi al-kalam adalah takallama bi al-majaz
(berbicara dalam bentuk majas).[12]

Untuk menggali konsep tajawwaza Al-Farra¶, lebih dahulu dilihat bagaimana usahanya yang
hendak mengembalikan ungkapan-ungkapan al-Qur¶an dengan gaya bahasa. Konsep tajawwaza
atau majaz apabila dikaitkan dengan ayat di atas memunculkan pemahaman bahwa
keberuntungan atau kerugian hanya terjadi pada barang dagangan. Dengan demikian, dapat
dimengerti maknanya. Atau dengan kata lain, majas yang disandarkan pada kata tijarah tidak
sampai menyebabkan kerancuan makna sebab ada keterkaitan erat antara pedagang -pelaku yang
sebenarnya beroleh laba- dan barang dagangan yang menghasilkan laba atau kerugian. Dengan
bentuk majas seperti ini, secara langsung dan mudah, seorang pendengar atau pembaca dapat
memahami makna yang dikehendaki oleh ungkapan tersebut, yaitu keuntungan seorang
pedagang melalui perdagangannya.

Yang perlu diperhatikan pada pembahasan tentang perhatian Al-Farra¶ terhadap makna
tajawwaza dalam suatu ungkapan adalah penemuannya terhadap hubungan antara majas (makna
metaforis) dan hakekat (makna denotatif), dalam kaitan penyandaran makna kata kerja kepada
selain pelakunya yang disebabkan adanya hubungan antara pelaku yang sebenarnya dan pelaku
permisalan dalam sebuah ungkapan.[13]

Selain pengiasan (al-tajawwuz) yang menunjukkan adanya penyandaran makna, contoh di atas,
juga terdapat pengiasan yang menunjukkan bentuk kata sharf. Kata fa¶il (pelaku) menunjukkan
arti subjek atau pelaku perbuatan tersebut. Namun, jika difungsikan sebagai majas, ia dapat
menunjukkan arti objeknya. Contoh firman Allah,Δϴο΍έ Δθϴϋ ϰϓ (dalam kehidupan yang diridhai).
Kata radhiyatin merupakan bentuk kata pelaku (fa¶il) yang berarti ³yang meridhoi´ dan
seharusnya mengarah pada arti subjek, namun kalimat tersebut mengarah sebagai objek yang
berarti ³diridhai´. Contoh serupa, misalnya, ϖϓ΍Ω ˯Ύϣ (air yang dimuntahkan). Kata dafiq meskipun
bentuknya adalah fa¶il (subjek, memuntahkan), tetapi artinya adalah yang dimuntahkan merujuk
ke bentuk maf¶ul (objek). Dengan demikian, kata dafiq mengandung makna madfuq.

Selam itu, corak lain yang menurut Al-Farra¶ termasuk dalam kategori majas, adalah kata ganti
(dhamir) untuk orang berakal dapat digunakan sebagai majas ketika yang ditunjuk kata ganti itu
adalah benda-benda atau makhluk yang tidak berakal. Corak semacam mi, dalam istilah Al-
Farra¶ adalah al-tasykhish (personifikasi). Contoh personifikasi terdapat dalam firman Allah
yang menceritakan kisah mimpi nabi Yusuf:

ϦϳΪΟΎδ ϰ ϢϬΘϳm ήϤϘϭ βϤθϭ ΎΒϛ ϛ ήθϋ ΪΣ Ζϳm ϲϧ·

Aku melihat mereka (sebelas bintang, matahari, dan bulan) bersujud kepadaku´ (QS. Yusuf (12):
4)

ΎϴϠϋ ϢΗΪϬη Ϣ ϢΩ ϠΠ  Ύϗϭ

Dan mereka berkata kepada kulit-kulit mereka mengapa kalian bersaksi atas kami.´ (Q.S. al-
Fushshilat (41): 21) dan

ϥϭήόθϳ ϻ Ϣϭ ϩΩ Οϭ ϥΎϤϴϠ ϢϜϤτϳ ϻ ϢϜϜΎϣ  ϠΧΩ ϞϤ ΎϬ˷ϳ΃Ύϳ

Wahai bangsa semut masuklah kamu dalam tempat tinggalmu, agar kamu tidak di injak
Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak merasa. (QS. Al-Naml (27): 18).[14]
Semua contoh tersebut menegaskan adanya bentuk personifikasi dalam kalimat majas. Adapun
unsur yang berperan menjadi legitimasi bagi majas semacam ini adalah adanya keserupaan dari
aktifitas keduanya. Dengan kata lain, antara makhluk berakal dan hewan maupun benda-benda
yang tidak berakal memiliki keserupaan tertentu dalam perbuatan sehingga kata ganti orang
berakal (dhamir li al-µaqil) dapat digunakan untuk mereka yang tidak berakal (ghair al-µaqil).

Fenomena di atas menunjukkan bahwa Abu µUbaidah dan Al-Farra¶ telah mampu membuka
cakrawala tentang gaya bahasa majas dan menghancurkan ambiguitas majas yang belum bisa
dipecahkan sebelumnya. Dengan demikian, mereka melancarkan jalan bagi Al-Jahizh, Ibn
Qutaibah, dan Al-Qadhi µAbd Al-Jabbar yang meneruskan proyek besar mereka dalam
menginterpretasikan teks al-Qur¶an untuk meraih paradigma tauhid (tauhid) dan keadilan (al-
¶adl). Usaha mereka merupakan mata rantai yang bersambung, baik untuk generasi sebelumnya
maupun sesudahnya.

m l-Jahizh dan Kematangan Paradigma

Dalam pandangan al-Jahizh, peran bahasa terbatas pada fungsinya sebagai alat penjelasan
(ibanah). Menurutnya, fungsi tersebut merupakan suatu keniscayaan dalam lingkungan
komunitas manusia, khususnya untuk saling tukar informasi dan pengetahuan.[15]

Ada dua hal yang harus dipenuhi saat seseorang mengungkapkan perkataan dalam bentuk majas,
pertama, ada keterkaitan antara makna yang terambil dan makna yang dituju melalui perkataan
tersebut. Kedua, transformasi makna harus melalui proses kesepakatan kolektif, bukan semata-
mata didasarkan pada kebebasan individual.[16] Maksud dari kedua syarat tersebut adalah untuk
mempertahankan serta melestarikan µkejelasan¶ yang nota bene merupakan sasaran dari fungsi
bahasa itu sendiri.

Pemikiran Al-Jahizh menyangkut tema µkejelasan makna¶ memiliki keterkaitan yang sangat erat
dengan urgensi bahasa sebagai alat komunikasi. µKejelasan¶ dalam hal ini merupakan salah satu
pilar terpenting bagi fungsi bahasa itu sendiri. Menurutnya, di antara ucapan yang disebut
sebagai perkataan adalah ungkapan yang dapat mengarahkan pendengarnya pada makna yang
dimaksud pembicara.[17] Pandangan ini menjadi motivasi tersendiri bagi Al-Jahizh sehingga
mendorongnya untuk melakukan telaah yang lebih intensif terhadap ayat-ayat al-Qur¶an yang
membicarakan gambaran setan. Ayat itu sendiri dalam pandangan kebanyakan orang menyimpan
kerancuan secara logika. Abu µUbaidah pernah mencari penjelasan mengenai maksud dari αϭ΅έ
ϦϴσΎϴθϟ΍ (kepala-kepala setan) kepada Al-Jahizh, sehingga Al-Jahizh terdorong untuk menyusun
karyanya.[18]

Berpijak pada ayat tersebut, Al-Jahizh menolak pandangan para ahli tafsir yang mengatakan
bahwa ru¶us al-syayathin adalah sejenis tumbuhan yang ada di daerah Yaman. Mereka
mengembalikan pemisalan dalam ayat tersebut kepada pemahaman yang bersifat indrawi dan
tidak menyentuh ruang internal dari ayat tersebut . Menurut Al-Jahizh, tatkala mereka
memahami firman Allah yang berbunyi;

ϦϴσΎϴθ αϭ΅m ΎϬ˷ϧ΄ϛ ΎϬόϠσ ,ϢϴΠ Ϟλ ϰϓ ΝήΨΗ ΓήΠη ΎϬ˷ϧ·


Artinya; Ia adalah tumbuhan yang keluar dari neraka, seperti kepala setan (QS. Al-Shaffat (37):
7)

Mereka menganggap bahwa ru¶us al-syayatbin (kepala setan) adalah tanaman berbau busuk yang
tumbuh di daerah Yaman. Adapun para teologi Islam tidak memahami ayat tersebut sebagaimana
kebanyakan ahli tafsir mengartikannya. Menurut para teologi, kepala-kepala setan adalah sebuah
simbol perilaku jin yang fasik dan membangkang.

Berkaitan dengan tema ini, Al-jahizh melakukan komparasi antara matsal (perumpamaan)
dengan tasybih (pe

Mu¶tazilah (Gerakan inkar Sunnah)


    


mleh. Zaenal Abidin Syamsudin, Lc

Washil bin µAtha¶ (wafat 131 H) merupakan tokoh pertama yang


menggulirkan aliran dan faham Mu¶tazilah. Pada firqoh ini tumbuh
berkembang tidak berurusan dengan politik seperti yang ditempuh firqah
Khawarij dan Syi¶ah, bahkan hanya sebuah gerakan pemikiran yang senang
berdebat yang menempuh metode mantiq Yunani dan filsafatnya untuk
menguatkan gagasannya.

Mu¶tazilah juga terpecah menjadi beberapa sekte satu sama lain saling
menkafirkan tetapi secara umum sikap mereka terhadap Sunnah berfariasi,
sebagaimana ada yang menolak secara mutlak dan sebagain lain menolak
secara parsial.

Dr. Mustafa as-Saba¶i Ž1 berkata: ³Semenjak meletusnya fitnah pertama di


kalangan para Shahabat, sebagian tokoh Mu¶tazilah seperti Washil bin µAtha¶
telah meragukan kejujuran beberapa Shahabat dan sebagian lain seperti
Amr bin Ubaid dengan tegas telah meyakini kefasikan mereka bahkan ada
yang menuduh mereka sebagai tokoh pendusta, munafik dan pandir seperti
an-Nadzdzam, sehingga penyataan tersebut secara otomatis memberikan
penilaian negatif bahkan menggugurkan semua hadits yang diriwayatkan
pada Shahabat.´

Adapun hadits ahad tidak dianggap sebagai hujjah dalam penempatan


hukum oleh Abu Hudzail kecuali bila telah diriwayatkan dua puluh orang
perawi yang salah seorang perawinya telah dijamin masuk Surga, sementara
an-Nadzdzam dengan terang-terangan mengingkari ijma¶, qias dan hadits
mutawatir sebagai hujjah.

Anda mungkin juga menyukai