Anda di halaman 1dari 59

Oleh: Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

N.I.I adalah ahlul bid’ah dari firqah yang sesat dan


menyesatkan. Mereka ini telah pecah menjadi berfirqah-firqah, salah satunya adalah Pesantren
Al-Zaytun yang ada di Indramayu yang di ketuai oleh Abu Toto.

Di antara bid’ah-bid’ah N.I.I ialah:

1. Aqidah mereka yang sagat rusak sekali, sebagaimana di jelaskan oleh saudara kami Ustadz
Suroso Abdussalam seorang mantan tokoh N.I.I di kitabnya ” N.I.I Dalam Timbangan
Aqidah “. (1)

2. Kejahilan mereka dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah.

3. Tidak adanya ilmu diantara mereka, kecuali kebodohan yang telah ada di antara mereka yang
diawali oleh pendirinya dan seterusnya hari ini terhadap ilmu agama. Oleh karena itu -dengan
izin Allah- tidak sedikit di antara  mereka yang keluar dari firqah sesat ini dan kembali kedalam
ajaran Islam  yang shahih yang di bawa oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam menurut
pemahaman para Shahabat.

4. Mereka mendirikan khilafah palsu dan mewajibkan kaum muslimin membai’at khalifah dan
imamnya.

Bid’ahnya Ajaran-ajaran Bai’at (2)

Yakni, yang mewajibkan kaum muslimin berbai’at kepada khalifah-khalifah palsu dari mereka.
Ajaran bai’at ini tidak syak lagi tentang bid’ahnya dan kejahilannya meskipun mereka
menurunkan sejumlah hadits shahih di Bukhari dan Muslim. Akan tetapi mereka telah tersesat di
dalam memahami hadits tanpa perantara ahli ilmu.

Karena yang dimaksud dengan bai’at dan membai’at seseorang ialah hanya kepada khalifah yang
sah dari Quraisy untuk seluruh kaum muslimin dan apabila telah tegak daulah Islamiyyah.

Kalau hadits-hadits bai’at kita fahami sebagaimana pemahaman yang sesat  dari kaum bai’at
bersama khalifah atau imam palsu dan bayangan dari mereka, niscaya kapan saja dan siapa saja
dapat dibai’at yang kemudian di angkat menjadi imam atau khalifah. Kalau demikian, alangkah
banyaknya jumlah khalifah di dunia ini.
Oleh karena itu berdasarkan nash Al-Qur’an dan Sunnah bersama perjalanan para Shahabat,
mengikuti ajaran bai’at adalah bid’ah dan kesesatan. Sebaliknya, meninggalkan ajaran bai’at
berarti kita telah mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah.

5. Mereka membuat kelompok (firqah) dan memisahkan diri dari kaum muslimin, kecuali yang
masuk ke dalam firqah mereka.

6. Bahkan sebagian dari firqah mereka telah meninggalkan shalat dan lain-lain ibadah atau
kewajiban di dalam Islam dengan alasan masih berada di periode Makkah.

Disalin dari buku ” Risalah Bid’ah “ hal. 312-313 Oleh guru kami Al-Ustadz Abdul Hakim
bin Amir Abdat ~semoga Allah menjaganya~ Penerbit: Pustaka Abdullah, Jakarta. (dengan
sedikit edit kata dari admin)

Artikel: Moslemsunnah.Wordpress.com

Footnote:

(1). Bacalah kalau engkau mau kitab ” N.I.I Dalam Timbangan Aqidah ” oleh saudara kami
Ustadz Suroso Abdussalam, mantan pengajar N.I.I
(2). Disalin dari kitab yang sama pada hal. 316 poin 522. Bid’ahnya ajaran-ajaran bai’at (admin)

Oleh: Al-Ustadz Hartono Ahmad Jaiz

Bangunan Megah di Pesantren Al-Zaytun, Indramayu

NII – Pesantren Al-Zaytun (1)

Bukti-bukti Kesesatan NII KW IX Abu Toto

Sepak terjang NII KW IX (Negara Islam Indonesia Komandan Wilayah IX), dalam kurun waktu
di bawah kepemimpinan Haji Abdul Karim dan kemudian Haji Muhammad Ra’is dari tahun
1984 s/d 1992 maupun di bawah kepemimpinan Abu Toto Asy-Syaikh AS Panji Gumilang (gelar
kebesarannya saat ini) sejak dari tahun 1992 hingga tahun 2001 telah menimbulkan banyak
korban. Secara nyata yang lebih banyak dirugikan baik moril maupun material oleh KW IX sejak
masa Haji Karim sampai Abu Toto adalah umat islam pada umumnya, dan secara khusus
kalangan NII atau DI (Darul Islam).

Kerugian yang diderita ummat Islam secara moril adalah telah tercemarinya pemikiran dan
pemahaman mereka tentang Islam, sehingga mereka sama sekali tidak menyadari dan tanpa
terasa telah terjerumus pada suatu keyakinan yang menjungkir-balikkan prinsip-prinsip
keimanan (aqidah) yang untuk selanjutnya berdampak pada pelecehan terhadap syari’at serta
bermuara pada kemerosotan akhlak.

Suatu tindakan pemurtadan sekaligus penindasan dan pemiskinan telah berlangsung terhadap
umat Islam Indonesia yang dilakukan oleh KW IX di Indramayu Jawa Barat, Gerakan sesat yang
mengatasnamakan NII di balik pesantren mewah Al-Zaytun. Suatu tindak kejahatan politik,
sosial dan pelanggaran HAM yang sangat serius yang mungkin belum pernah dilakukan oleh
kelompok sempalan maupun yang ada dalam masyarakat dan bangsa Indonesia.

Penyimpangan ‘Aqidah

Kezhaliman yang paling dahsyat yang dilancarkan oleh KW IX baik pada masa kepemimpinan
Haji Abdul Karim, Haji Ra’is maupun kepemimpinan Abu Toto adalah menciptakan syirik.
Berdasarkan data-data yang telah tertuang di atas dan beberapa kesaksian dan laporan para
mantan peagikut Abu Toto, maka syirik yang diciptakan NII KW IX dalam kurun 1984-5 s/d
2001 sekarang adalah menyusun sistematika tauhid secara serampangan, dengan membaginya ke
dalam 3 substansi tauhid, yaitu: Tauhid Rububiyah, Tauhid Mulkiyyah dan Tauhid Uluhiyyah
tanpa dasar disiplin ilmu sedikit pun.

Pertama, mereka mengumpamakan Tauhid Rububiyah dengan akar kayu, Mulkiyyah adalah
batang kayu, Uluhiyyah adalah buahnya. Selain itu mereka juga menafsirkan Rububiyah dengan
undang-undang, Mulkiyyah adalah negara, dan Uluhiyah adalah ummatnya. (2)

Tafsiran semacam itu sungguh sangat menyesatkan, karena telah merendahkan, menghina Allah,
dan telah menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.

Kedua, mereka juga meyakini kerasulan dan kenabian itu tidak akan berakhir selama masih
ada orang yang menyampaikan da’wah Islam kepada manusia. Kesimpulan mereka, bahwa
setiap orang yang menyampaikan da’wah Islam pada hakikatnya adalah Rasul Allah.

Ketiga, menciptakan ajaran dan keyakinan tentang adanya otoritas nubuwwah pada diri dan
kelompok mereka dalam menerima, memahami dan menjelaskan serta melaksanakan maupun
dalam memperjuangkan AI-Qur’an dan Sunnah Rasulullah  hingga tegaknya syari’ah dan
kekhalifahan di muka bumi. Dengan menetapkan doktrin tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah
secara serampangan serta sangat menyesatkan antara lain:

 Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu’alaihi wa 


Sallam untuk menata dunia secara baik dan benar menurut yang dikehendaki dan
ditetapkan Allah. Dengan demikian Al-Qur’an juga sebagai Undang-undang, Hukum dan
Tuntunan yang harus diterima dan dilaksanakan manusia. Namun dalam prakteknya
bagaimana mereka mensikapi, memperlakukan ataupun dalam memahami AI-Qur’an
maka itu terserah manusia, yakni bebas melakukan ta’wil maupun tafsir baik terhadap
ayat yang muhkamat maupun yang mutasyabihat. (3)
 As-Sunnah adalah perilaku Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa  Sallam dalam
melaksanakan Al-Qur’an yang ternyata mengikuti milah (ajaran) dan tata cara
pengabdian Nabi lbrahim Alaihissalam. Selain itu Nabi Muhammad juga diyakini sebagai
kader Nabi Isa bin Maryam yang dididik dan dibina oleh kaum Hawariy yang nota bene
pengikut setia Nabi Isa Alaihissalam atau hasil transformasi ajaran Nabi Isa Alaihissalam.
(4)

Keempat, Menggunakan nama-nama Nabi untuk hirarki kepangkatan (jabatan struktural dan
fungsional), sehingga menimbulkan kesan bahwa Nabi yang satu bisa diperintah oleh Nabi
lainnya yang berada pada struktur lebih tinggi.

Kelima, Melakukan tipu daya kepada pengikutnya dengan memberikan iming-iming pangkat
maupun jabatan serta futuh (kemenangan) terhadap penguasa Rl, dan meyakinkan melalui
doktrin bahwa secara diam-diam sekitar 50% dan kekuatan TNI-PoIri (ABRI) telah berpihak
kepada NII sehingga pasti menang, yang dalam istilah mereka menunjuk kepada sebuah ayat
yang berbunyi: Nashrun minallahi wa fathum qariib.

Penyimpangan Syari’ah

Merubah Syari’at Zakat Fithri dan Syari’at Qurban

Dalam majalah bulanan Al-Zaytun terbitan Ma’had Al-Zaytun dinyatakan,

” Pada kesempatan ‘led Al Fithri kali yang pertama di awal Januari tahun 2000, Ma’had AI
Zaytun, telah mengawali langkah yang tepat sekaligus berani, untuk mengelola sumber dana
dalam Islam, yakni dengan mengaktualkan nilai zakat fithrah, ini dilakukan bukan untuk mencari
sensasi, tapi semata-mata untuk meningkatkan kualitas ummat. Zakat fithrah tidak lagi dihargai
dengan 3,5 liter beras. Karena dosa setahun sudah tidak wajar lagi dibersihkan dengan 3,5 liter
beras, dan sangat ironis jika hanya dengan 3,5 liter beras kita bercita-cita untuk mensejahterakan
ummat. (5)

“Alhamdulillah, seluruh civitas Ma’had Al Zaytun menyambut langkah ini dengan antusias,
termasuk para santri, dan wali santri pun menyambut dengan baik dan penuh kefahaman.
Sehingga pada kesempatan ‘led itu, dari santri saja terkumpul dana zakat fithrah hampir
mencapai 100 juta rupiah (hanya dari 1235 muzakki, kalau dibuat rata-rata masing-masing santri
membayar zakat fithrah, kurang lebih sebesar 75 ribu rupiah) untuk itu kita layak berdo’a:
“Taqabbalallahu minna waminkum”

“Pada pertengahan Maret tahun 2000 ini kita bertemu dengan ‘led al Adha, dimana ummat Islam
diperintahkan untuk berqurban. Kalau pada ‘led Al Fithri kita bisa melakukan suatu harakah
yang bermutu, maka pada ‘led Al adlha inipun kita harus melakukan hal yang sama, bahkan
harus lebih hebat lagi.

“Pada ‘led Al Fithri (hari kembali fithrahnya manusia) itu telah mengajak Ummat untuk berzakat
fithrah dengan harakat ramadhan-nya. Maka pada ‘led Al Adha (hari berqurbannya manusia) tata
mengajak ummat untuk berqurban, mengurbankan sesuatu yang dicintainya dan mendekatkan
diri kepada Allah. “

Pengertian Berqurban (menurut Al-Zaytun)

“Menurut bahasa (lughawi) kata qurban berasal dari kata qarraba yang berarti “dekat”,
sedangkan dalam kamus AI-Munjid hal 617 kata qurban diartikan sebagai berikut : “apa-apa
yang bisa mendekatkan diri kepada Allah dengan cara menyembelih atau dengan yang lainnya.”

Jadi, namanya berqurban itu tidak selamanya dengan menyembelih hewan, menyembelih hewan
hanyalah sekedar lambang dari pengorbanan.

Manfaat zakat dan qurban ditinjau dari aspek sosial adalah untuk memberi makan fakir dan
miskin. Memberi makan dalam arti luas adalah bukan hanya memberi makan pada jasmani
(perut) tetapi termasuk juga di dalamnya memberi makan kepada rohani (akal dan bashirah).
Makaman otak manusia, bukanlah daging kambing, tapi makanan otak manusia adalah ilmu.

Ilmu secara formal bisa didapat lewat pendidikan, maka jika qurban dikeluarkan dalam bentuk
uang (misalnya) dan uang yang terkumpul digunakan untuk membangun sarana pendidikan,
gedung pembelajaran, asrama, masjid perpustakaan, laboratorium dan kelengkapan lain yang
menunjang pendidikan, itu berarti qurban yang kita keluarkan akan lebih abadi
(pahala/manfaatnya) bagi Islam dan ummatnya.

Dengan pendidikan kita bisa mendapatkan generasi Islam yang berotak jernih (brilian) dan
sekaligus memiliki bashiroh yang tajam. Dengan cara ini qurban jadi lebih, aktual, efektif dan
efisien…dst

Yang kemudian pada akhir tulisan tersebut antara lain:

“…Inilah arti berqurban secara luas (arti yang sebenarnya) bukan arti secara sempit, yang hanya
mengandalakan berkorban dengan menyembelih hewan saja, hanya berorientasi kepada
kebutuhan jasmani (perut) saja. Inilah paradigma berqurban yang optimis dan berwawasan
masa depan, bukan pandangan berkorban secara sempit yang hanya memikirkan gegembiraan
fakir miskin di hari raya saja, tetapi pandangan jauh ke depan memikirkan nasib ummat seratus
bahkan seribu tahun yang akan datang.“ (6)

Sikap dan pandangan serta praktek zakat fithrah yang menyimpang sebagaimana diatas yang
diterapkan pada para santri Al-Zaytun, toh tetap berjalan dan bahkan malah semakin parah pada
Ramadhan tahun 2000 ini. Sebagaimana yang dilansir media antara lain,
“Sumber dana lain yang bakal dipergunakan untuk pengembangan pesantren antara lain zakat
fithrah. Zakat yang lazim ditunaikan ummat Islam menjelang ‘ledul Fithri. Selain itu, pimpinan
Ma’had Al-Zaytun sempat mengumumkan kepada 3200 santri tentang jumlah pembayar zakat
fithrah terbesar yang dilakukan seorang santri dari Nusa Tenggara Timur sebesar Rp. 1 juta,
pembayar zakat fithrah terbesar kedua diraih oleh santri asal Gorontalo senilai Rp 500 ribu,
demikianj juga diumumkan pembayar zakat fithrah terkecill sebesar Rp 10 ribu “. (7)

Sedangkan menurut pemberitaan majalah Al Zaytun sendiri malah menggambarkan keberhasilan


yang fantastis dari gerakan Ramadhan yang mampu menghasilkan pemasukan uang sebanyak 5
miliar rupiah lebih. (8)

Eksploitasi (pemerasan) maupun eksplorasi (penggalian dana) dan program pemiskiinan ummat
Islam (korban jeratan rekruitmen) dengan mengatas-namakan Zakat Tazkiyah Baitiyah,
Shadaqah Tathawwu’, Infaq Sabilillah, Khijanah tajwidiyah, Qiradl, Shadaqah (Ja-uka dan
isti’dzan, Nikah, tahkim, Musyahadah dan Tartib) maupun Kaffarat dan lain sebagainya telah
mencerminkan adanya motif manipulasi/penipuan yang sangat merugikan dan meresahkan umat
serta merusak ajaran Islam.

Diantara para korban, ada yang terkena jerat program Qiradh dan lddikhar (tabungan), sampai
sebanyak 250 gram emas, bahkan salah seorang pejabat Bank Indonesia (sekarang mantan)
sampai rela menyerahkan 2,5 kg emas. Dan dua orang putranya pun, sempat pula menjadi
perampok, yang untuk itu mereka harus merelakan tulang iganya putus lantaran demi untuk
menyelamatkan diri dari kejaran masa, hanya kareana mengejar target setoran yang harus di
bayarkan kepada jama’ah – Negara!

Pemerasan

Kalkulasi di bawah berdasarkan perkiraan jumlah minimal yang konstan dan aktif sebagai
anggota NII KW IX dari tahun 1993 s/d tahun 2000 sebanyak 60.000 orang, sekalipun banyak
keterangan dari mantan NII KW IX yang menyatakan bahwa jumlah anggotanya sekarang lebih
dari 100.000 orang, namun diperkirakan terjadi banyak pula yang keluar ataupun yang masuk.

Dana umat yang disedot oleh NII struktural adalah (Satu Triliyun Empat Ratus Satu Milyar Dua
Ratus Juta Rupiah) yang kemudian diwujudkan dalam bentuk bangunan mewah Ma’had Al
Zaytun, yang konon biayanya menelan angka sampai hitungan sekitar 4 trilyun rupiah. Maka
kekurangan dari jumlah keseluruhan yang dibutuhkan oleh Al-Zaytun masih banyak.

Menurut penuturan salah seorang mantan pengikut Abu Toto yang sempat dipercayakan
memegang posisi Majelis Hai’ah (semacam departemen keuangan), Pak Andreas (Ismail
Subardja), dana abadi yang berhasil dikumpulkan oleh KW IX hingga akhir tahun 1996 saja
sudah mencapai 40 miliar rupiah. Dan seluruh dana yang ada dalam KW IX dimasukkan dalam
rekening Bank ClC atas nama Abu Ma’ariq alias Abu Toto Abdus Salam (AS Panji Gumilang)
dan keluarganya. (9)

~ Disalin secara utuh dari buku ” Aliran dan Paham Sesat di Indonesia “ dari hal. 45-50. Oleh:
Al-Ustadz Hartono Ahmad Jaiz. Penerbit: Pustaka Al-Kautsar ~
Artikel: Moslemsunnah.Wordpress.com

Footnote:

(1). Diambil dari LPPI, tulisan Umar Abduh dengan sedikit perubahan
(2). Majalah Al-Zaytun no.11 Th.2000 hlm. 31
(3). Mabadiuts Tsalatsah, karya Abdul Karim Hasan (Buku Pedoman NII)
(4). Wawancara dengan Imam Shalahuddin (Mantan NII KW IX), tgl 22 Desember 2000. Baca
juga MBM Al-Zaytun 6-7 Th. 2000 hlm. 99
(5). Ditulis oleh Guru MAZ dalam MB Al-Zaytun, edisi III Maret Th.2000 hal. 10-11
(6). Ibid
(7). Pos Kota, edisi 23 Desember 2000 hal.8 dan sebagaimana yang dimuat dalam MB Al-
Zaytun, edisi 12-2000
(8). MB Al-Zaytun, edisi 12-2000 hal.13
(9). Wawancara UA dengan Bpk. Andreas, 10 Desember 2000.

Mengenal Ciri-Ciri Gerakan NII

Sekarang media massa hingar bingar dengan


peristiwa dialami anak-anak muda yang “hilang”, dan kemudian diketemukan dalam keadaan
seperti “linglung”, serta menurut pengakuan mereka, mereka mengalami pencucian otak.
Benarkah mereka yang “hilang” itu menjadi korban dari proses cuci otak yang dilakukan oleh
NII?

Berbagai kajian yang pernah diterbitkan media massa Islam, menilai ada NII yang menyimpang
jauh dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah, dan disebut-sebut memiliki kaitan erat dengan Pondok
Pesantren Al-Zaytun, Indramayu, Jawa Barat.

Pondok pesantren modern ini berdiri pada akhir tahun 1990-an, dan diresmikan oleh Presiden RI
B.J. Habibie. Pondok Pesantren yang dipimpin oleh Abu Toto alias Syeikh Panji Gumilang itu,
bukan hanya diresmikan oleh Presiden BJ Habibie semata, tetapi sejumlah tokoh penting pernah
berkunjung dan memberikan bantuan kepada Pesantren Az-Zaytun, konon termasuk diantaranya
sejumlah tokoh penting militer dan intelijen, dan bahkan diisukan mendapat suntikan dana dari
Pemerintah Kerajaan Inggris.

Sampai sekarang media massa meributkan tentang NII dan dikaitkan dengan Az-Zaytun, tetapi
tidak pernah ada tindakan apapun terhadap pesantren dan pengasuhnya. Seakan Pesantren itu
kebal dari aparat dan hukum. Sementara itu, orang-orang yang mempunyai kaitan dengan NII,
banyak yang kemudian menjadi tersangka atau dipenjara dalam waktu tertentu. Entah dituduh
sebagai teroris atau melakukan gerakan yang dianggap menjadi ancaman keamanan negara.

Berbagai media massa Islam menampilkan hasil-hasil penelitian, analisis para pakar, hingga
kesaksian para mantan santri pesantren tersebut sebagai bukti “kesesatan” Al-Zaytun dengan NII
“jadi-jadiannya”.

Banyak yang mengatakan bahwa yang muncul ke permukaan yang menjadi fenomena sekarang
ini, dan berlanjut menjadi sebuah permasalahan pelik, merupakan suatu usaha yang dilakukan
oleh pihak tertentu untuk menghancurkan umat Islam di Indonesia. Seandainya, argumentasi ini
benar, wajar bagi umat Islam untuk menjadikan pihak-pihak yang terkait dengan gerakan
tersebut sebagai ancaman serius yang selalu harus diwaspadai.

Sebuah media menyebutkan ciri-ciri kelompok bawah tanah yang mengatasnamakan NII
tersebut.

Berikut ini adalah sebagian ciri-cirinya:

1. Dalam mendakwahi calonnya, mata sang calon ditutup rapat, dan baru akan dibuka ketika
mereka sampai ke tempat tujuan.

2. Para calon yang akan mereka dakwahi rata-rata memiliki ilmu keagamaan yang relatif
rendah, bahkan dapat dibilang tidak memiliki ilmu agama. Sehingga, para calon dengan
mudah dijejali omongan-omongan yang menurut mereka adalah omongan tentang Dinul Islam.
Padahal, kebanyakan akal merekalah yang berbicara, dan bukan Dinul Islam yang mereka
ungkapkan.

3. Calon utama mereka adalah orang-orang yang memiliki harta yang berlebihan, atau yang
orang tuanya berharta lebih, anak-anak orang kaya yang jauh dari keagamaan, sehingga yang
terjadi adalah penyedotan uang para calon dengan dalih demi dakwah Islam. Tetapi semua itu,
hanya sebagai alat (sarana) untuk menyedot uang.

4. Pola dakwah yang relatif singkat, hanya kurang lebih tiga kali pertemuan, setelah itu, sang
calon dimasukkan ke dalam keanggotaan mereka. Sehingga, yang terkesan adalah pemaksaan
ideologi, bukan lagi keikhlasan. Dan, rata-rata, para calon memiliki kadar keagamaan yang
sangat rendah. Selama hari terakhir pendakwahan, sang calon dipaksa dengan dijejali ayat-ayat
yang mereka terjemahkan seenaknya, hingga sang calon mengatakan siap dibai’at.

5. Ketika sang calon akan dibai’at, dia harus menyerahkan uang yang mereka namakan dengan
uang penyucian jiwa. Besar uang yang harus diberikan adalah Rp 250.000 ke atas. Jika sang
calon tidak mampu saat itu, maka infaq itu menjadi hutang sang calon yang wajib dibayar.

6. Tidak mewajibkan menutup aurat bagi anggota wanitanya dengan alasan kahfi.

7. Tidak mewajibkan shalat lima waktu bagi para anggotanya dengan alasan belum futuh
(masih fatrah Makkah). Padahal, mereka mengaku telah berada dalam Madinah. Seandainya
mereka tahu bahwa selama di Madinah-lah justru Rasulullah benar-benar menerapkan syari’at
Islam.

8. Sholat lima waktu mereka ibaratkan dengan doa dan dakwah. Sehingga, jika mereka sedang
berdakwah, maka saat itulah mereka anggap sedang mendirikan shalat.

9. Shalat Jum’at diibaratkan dengan rapat/syuro. Sehingga, pada saat mereka rapat, maka saat itu
pula mereka anggap sedang mendirikan shalat Jum’at.

10. Untuk pemula, mereka diperbolehkan shalat yang dilaksanakan dalam satu waktu untuk lima
waktu shalat.

11. Infaq yang dipaksakan per periode (per-bulan), sehingga menjadi hutang yang wajib dibayar
bagi yang tidak mampu berinfaq.

12. Adanya qiradh (uang yang dikeluarkan untuk dijadikan modal usaha) yang diwajibkan
walaupun anggota tak memiliki uang, bila perlu berhutang kepada kelompoknya. Pembagian
bagi hasil dari qiradh yang mereka janjikan tak kunjung datang. Jika diminta tentang pembagian
hasil bagi itu, mereka menjawabnya dengan ayat Al Qur’an sedemikian rupa sehingga upaya
meminta bagi hasil itu menjadi hilang.

13. Zakat yang tidak sesuai dengan syari’at Islam. Takaran yang terlalu melebihi dari yang
semestinya. Mereka menyejajarkan sang calon dengan sahabat Abu Bakar dengan menafikan
syari’at yang sesungguhnya.

14. Tidak adanya mustahik di kalangan mereka, sehingga bagi mereka yang tak mampu makan
sekalipun, wajib membayar zakat/infaq yang besarnya sebanding dengan dana untuk makan
sebulan. Bahkan, mereka masih saja memaksa pengikutnya untuk mengeluarkan ‘infaq’.
Padahal, pengikutnya itu dalam keadaan kelaparan.

15. Belum berlakunya syari’at Islam di kalangan mereka, sehingga perbuatan apapun tidak
mendapatkan hukuman.

16. Mengkafirkan orang yang berada di luar kelompoknya, bahkan menganggap halal
berzina dengan orang di luar kelompoknya.

17. Manghalalkan mencuri/mengambil barang milik orang lain.

18. Menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan, seperti menipu/berbohong, meskipun
kepada orang tua sendiri.

Sebuah fenoma seperti puncak gunung es, yang sekarang ini terus berkembang di tengah-tengah
masyarakat, dan mempunyai dampak luas dalam kehidupan umat Islam. Dengan stigma yang
sangat menganggu, setiap peristiwa yang dikaitkan dengn NII akan selalu berdampak negatif.
Cobalah dipahami dan dipikirkan 18 ciri yang merupakan “methode” gerakan NII, yang akhir-
akhir mendapatkan perhatian luas masyarakat. (mh)

Sumber: Eramuslim.com, Selasa, 26/04/2011 15:05 WIB

Cara NII mencari mangsa

Biasanya, calon korban yang diincar NII gadungan itu orang cerdas dan memiliki harta. Kalau
NII sempalan hanya memburu korban yang diketahui banyak duit.

Selanjutnya, inilah pengakuan mantan pelakunya yang diberitakan detikbandung:

Ini Dia Ciri Pelaku Cuci Otak NII Sempalan dan Gadungan

Bandung – Mantan aktivis kelompok Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah 9 (NII KW
9), Adnan Fahrullah (40), mengatakan gerak-gerik dan ciri NII gadungan dan sempalan mudah
dikenali. Pola kerja pelaku mengicar korban nyaris serupa.

“NII gadungan itu lebih mengutamakan pria yang bertugas pencuci otak. Sementara NII
sempalan mengandalkan kaum wanita,” ujar Adnan saat ditemui di salah satu kawasan di Kota
Bandung, Kamis (21/4/2011).

Pelaku cuci otak, kata Adnan, relatif berusia produktif. Bahkan, NII gadungan mempunyai
pencuci otak yang masih remaja. “Baik NII gadungan dan sempalan, setiap mencari calon korban
biasanya bergerak dua orang. Jarang yang melakukan sendirian,” ujar bekas pelaku pencuci otak
yang merekrut ribuan orang hijrah ke NII KW 9 di Jawa Barat ini.

Lebih lanjut Adnan menambahkan, tidak ada style atau busana khusus yang diapakai oleh pelaku
cuci otak. Pelaku mendekati calon korban serta meminta alamat dan nomor telepon yang bisa
dihubungi. Pelaku pun tidak pernah memberikan identitas lengkap dan jelas.

“Pencuci otak itu bertukar alamat dengan calon korban. Padahal alamat yang diberikan kepada
korbannya itu fiktif. Selain itu, pelaku punya nama samaran dari satu tempat ke tempat lain,”
ungkap Adnan yang bergabung kelompok NII KW 9 pimpinan Panji Gumilang pada 1989
hingga 2004.

NII gadungan dan sempalan secara bertahap merayu calon korbannya agar terhasut. Menurut
Adnan, pelaku cuci terus berusahan ‘mengikat’ mangsanya bila sudah ada tanda-tanda terdoktrin.

“Pencuci otak itu punya target seminggu, paling cepat dua hari mereka dan korban rutin
melakukan pertemuan dua hingga tiga kali dalam seminggu dengan membahas keislaman. NII
gadungan langsung mengajak hijrah dan membaiat korban, setelah itu dibina. Kerjanya
sistematis dan rapi. Kalau NII sempalan hanya membawa korban ke suatu tempat, setelah itu
dikuras harta bendanya. Kalau ini hanya sesaat karena untuk memenuhi urusan perut,” paparnya.
Setiap sekali pertemuan, ujar dia, pelaku dan calon korban hanya berjumpa dua jam. Biasanya,
calon korban yang diincar NII gadungan itu orang cerdas dan memiliki harta. Kalau NII
sempalan hanya memburu korban yang diketahui banyak duit.

Ciri-ciri mudah seperti apa yang perlu diwaspadai terhadap gerakan mereka?

“Nah, ciri-cirinya, pencuci otak ini mengajak mempelajari Islam secara sembunyi-sembunyi.
Lalu konten pembicaraannya mengkafirkan orang, memvonis bahwa pemerintah saat ini thogut
(setan). Dan diarahkan untuk melakukan penggalangan dana,” tutur Adnan.

(bbn/ern)

Sumber: Baban Gandapurnama – detikBandung, Kamis, 21/04/2011 13:07 WIB

Artikel: http://www.nahimunkar.com/ciri-ciri-aliran-sesat-nii-dan-cara-mereka-cari-mangsa/

Artikel terkait:

~ N.I.I = Negara Islam Indonesia (Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat)
~ Bukti Kesesatan N.I.I (Ustadz Hartono Ahmad Jaiz)
~ Download Bedah Buku: N.I.I Dalam Timbangan Aqidah
~ Mengenal Ciri-Ciri Gerakan NII

Berbagi dengan yang lain via:

 Google +1
 Facebook394
 Twitter12
 Surat elektronik
 Cetak
 Simpan Format PDF

Like this:

12 Komentar (+add yours?)

1. abu faiz
Apr 28, 2011 @ 19:40:37

Assalaamu’alaykum, tahun 1998 dulu ana pernah berkenalan dengan seorang akhwat bsi
mulanya kenal di bazaar buku blok mall, nah sejak itu dia begitu aktif mengejar bahkan
sempat mengajak ke tempat cuci otak kelompoknya, sebelum itu dia masih mau sholat
mungkin juga awal dia masuk NII, belakangan tidak mau sholat jika diingatkan alasannya
banyak mulai tidak adanya kaos kaki lah baju kotorlah anehkan.
Saat masuk ke rumah yang lokasinya di daerah Kemang memang ada sajadah dan
mukena mungkin sebagai kedok aja, mereka setel radio dengan suara keras, agar warga
sekitar tidak curiga dengan aktifitasnya, ada banyak wanita dan laki-laki tidur di rumah
itu, katanya sih sudah menikah tapi mana tahu, di rumah itulah saya di kenalkan kepada
kawannya yang laki-laki katanya mau diskusi agama. Nah, dalam diskusi itu saya
didoktrin tentang ” Negara Islam Indonesia ” dan harus di Bai’at, tapi semua
argumentnya saya mentahkan mereka bahkan mengeroyok dalam diskusi itu, satu lawan
dua bahkan membawa ayat-ayat alquran yang dapat membenarkan keyakinannya.

Alhamdulillah saya dapat keluar dengan keyakinan mereka adalah salah, semestinya
orang-orang yang katanya di culik itu dapat membuka cakrawala keislamannya, apakah
benar islam demikian, pokoknya banyak sekali kejanggalan di rumah itu tapi anehnya
warga tidak terganggu dengan suara radio yang bising, dan satu lagi si akhwat juga sekali
menipu saya dengan alasan temannya sakit lalu meminjam uang….dan tidak pernah di
kembalikan.

2. inu-smart

NII Dalam Timbangan Aqidah 


Oleh: Ustadz Abu Hudzaifah Suroso Abdussalam

Bab III
NEGARA ISLAM INDONESIA (NII)* DALAM TIMBANGAN

Pasal l: Sekilas tentang NII dan Pemikiran Proklamatornya

Negara Islam Indonesia diproklamasikan Sekarmadji Marijan Kartosoewirjo pada tanggal 12


Syawal 1368 H/ 7 Agustus 1949 merupakan kelanjutan perjuangan yang telah dirintis Sarikat
Dagang Islam (SDI) oleh KH Samanhudi (1905) yang dikembangkan menjadi Sarikat Islam (SI)
oleh Haji Umar Said Cokroaminoto (1912). Selanjutnya pada tahun 1930 SI diubah namanya
menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Semenjak SI dipimpin HOS Cokroaminoto,
maksud dan tujuan SI semakinjelas sebagai sebuah organisasi Islam yang merupakan satu-
satunya organisasi perjuangan yang menentang penjajah di Indonesia yang berskala nasional.
Dan Kartosoewirjo merupakan kader militan Cokroaminoto. Demikian ajaran yang ditanamkan
kepada jajaran NII (pimpinan maupun warganya). Ditambahkan pula bahwa satu-satunya kader
Cokroaminoto yang tetap konsisiten mengikuti garis perjuangan yang ditetapkan sang guru
adalah Kartosoewirjo.[1] Lain halnya Semaun, ia berubah haluan ke kiri, membentuk PKI (Partai
Komunis Indonesia) pada tahun 1920. Dan Soekarno pun tak sanggup konsisten, dan akhirnya
pada tahun 1927 membentuk PNI (Partai Nasionalis Indonesia).[2]

Di dalam manuskrip A. Firdaus disebutkan pula bahwa Cokroaminoto mengemukakan gagasan


untuk membentuk Daulah Islam di dunia (Kholifatullah fil Ardhi).[3] Untuk merealisasikan
gagasan itu, beliau membagi tahapan perjuangan sebagai berikut:

a. Kemerdekaan Indonesia (mengusir penjajah dari bumi Indonesia).

b. Kemerdekaan Islam di Indonesia, artinya Islam sebagai satu-satunya sistem yang haq bisa
berlaku di Indonesia dengan sempurna dan dilindungi oleh kekuasaan/Negara Islam Indonesia.

c. Kemerdekaan Islam di seluruh dunia, artinya membentuk Khalifah fil Ardhi, yaitu struktur
pemerintahan yang memberlakukan hukum Islam sebagai penjabaran dari mulkiyah Allah di
bumi.[4]

Sebagai Vice President PSII, Kartosoewirjo diberi kehormatan menyusun “brosur hijrah” (2
jilid) yang merupakan sikap politik PSII. Di dalam brosur tersebut ditegaskan:

Hatta, maka pergerakan PSII, sejak mulai timbulnya hingga pada saat ini, yakinlah dengan
sepenuh-penuh keyakinan, bahwa:

1. Hukum yang tertinggi dalam anggapan PSII adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah yang
nyata.

2. Tidak ada hukum yang boleh dan dapat berlaku, melainkan setelah ada hakim dan tidak ada
hakim yang tidak menjadi bagian daripada sesuatu perikatan kerajaan yang merdeka, dan tidak
pula akan boleh pemerintahan itu berdiri, melainkan mesti ada kemerdekaan negeri dan bangsa.

3. Untuk “Akan menjalankan Islam dengan seluas-luasnya dan sepenuh-penuhnya, supaya kita
bisa mendapat sesuatu Dunia Islam yang sejati dan bisa menuntut kehidupan yang
sesungguhnya.” (Tafsir Asas PSII, cetakan ke-2 hal.4), maka kaum PSII percaya dengan
sungguh-sungguh kepercayaan, bahwasanya apabila kaum Muslimin menjalankan perintah-
perintah Allah dan Rasulullah dengan sungguh-sungguh tidak boleh tidak mesti akan mendapat
kebahagiaan dan keluhuran derajat, sebagaimana yang telah dikaruniakan kepada orang Islam
pada zaman dahulu dan bahwasanya tidak boleh tidak mesti mendapat apa-apa yang dijanjikan
oleh Allah di dalam AlQur’an,

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan
amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi,
sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka,
dan Dia benar-benar akan merobah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan
menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu
apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah
orang yang fasik.” (An-Nuur:55) [5]

Di dalam “Daftar Oesaha Hijrah”, Bab I, Kartosoewirjo membahas struktur masyarakat terbagi
menjadi tiga macam berdasarkan hukum dan haluannya dalam susunan dan aturannya dan dalam
sikap dan pendiriannya, tetapi hidup bersama-sama dalam satu negeri. Ketiga macam masyarakat
tersebut adalah masyarakat Hindia Belanda (sebagai penjajah) yang sedang berkuasa, berikutnya
masyarakat Indonesia yang belum memiliki hukum maupun hak dan tidak mempuyai
pemerintahan sendiri dan yang ketiga adalah masyarakat Islam atau darul Islam.

Perbedaan masyarakat Indonesia dengan Masyarakat Islam menurut Kartosoewirjo sebagai


berikut, “…Masyarakat kebangsaan Indonesia mengarahkan langkah dan sepak terjangnya ke
jurusan Indonesia Raya supaya dapat berbakti kepada negeri tumpah darahnya, berbakti kepada
ibu Indonesia. Sebaliknya kaum Muslimin yang hidup dalam masyarakat Islam atau Darul Islam,
tidaklah mereka ingin berbakti kepada Indonesia atau siapa pun juga melainkan mereka hanya
ingin berbakti kepada Allah yang Maha Esa belaka. Maksud tujuannya bukan Indonesia Raya
melainkan Darul Islam yang sesempurna-sesempurnanya, tempat tiap-tiap Muslim dan Muslimah
dapat menjalankan hukum-hukum agama Allah (Islam) dengan seluas-luasnya, baik yang
berhubungan dengan syakhsiyah (pribadi) atau ijtimaiyah (sosial)…”

Di dalam pembahasan selanjutnya, diuraikan bahwa alasan-alasan turunnya harkat dan martabat
manusia atau bangsa yaitu “karena membelakangkan dan mendustakan agama Allah. Kemudian
program aksi hijrah dibagi dalam bidang politik, sosial, ekonomi, ibadah dan ajaran Islam
lainnya. Selanjutnya ditulis, bahwa kalau kita hijrah dari ‘Mekkah Indonesia’ ke ‘Madinah
Indonesia’, bukanlah sekali-kali kita harus pindah kampung dan negeri beralih daerah dan
wilayah, melainkan hanyalah di dalam sifat, tabi’at, amal, i’tikad dan lain-lain. untuk mencapai
Darul Islam yang sempurna, manusia harus melepaskan sifat tabi’ at dan tingkah laku ke-
Mekkah-an dan beralih kepada sifat, tabi’at dan tingkah laku ke-Madinah-an” [6]

Untuk mewujudkan gagasan di atas, maka didirikanlah sebuah lembaga pendidikan yang diberi
nama Institut suffah.[7] Lembaga ini menjadi modal terwujudnya Darul Islam -Negara Islam
Indonesia di kemudian hari. Kartosoewirjo terjun langsung mendidik para siswa dengan metoda
pengajaran dan pendidikan yang pernah diterapkan HOS Cokroaminoto yang berarti bahwa para
siswa di samping memperoleh pengajaran pengetahuan umum dan pendidikan agama Islam, juga
dididik dalam bidang politik.

Ada dua target yang hendak dicapai melalui lembaga pendidikan ini yakni; Pertama, membentuk
kader-kader militan (Mujahid) yang kuat aqidahnya dan menguasai ilmu Islam, sehingga
akhirnya mampu menggerakkan jihad fi sabilillah untuk menumbangkan dominasi penguasa
zalim di dalam rangka menegakkan daulah Islamiyah. Kedua, mengondisikan masyarakat yang
Islami, mulai dari pengenalan dan penerapan nilai serta sistem hidup Islami bagi setiap
Mujahid/pribadi. Masyarakat Malangbong dan sekitarnya dijadikan basis persemaian kader-
kader ini yang nantinya menjadi pusat komando jihad. Sebab jihad merupakan tindakl anjut
hijrah. Karenanya hijrah tidak dianggap absah bila tidak diiringi dengan jihad. [8]
Institut Suffah ini disusun menurut sistem pesantren dan madrasah, yang menghasilkan
hubungan sangat erat dan akrab antara guru dengan murid. Guru di samping sebagai pendidik
dan pengajar, juga berfungsi sebagai suri tauladan bagi para siswanya di dalam menerapkan
nilai-nilai Islam di dalam kehidupan sehari-hari; sekaligus sebagai pemirnpin dan pembimbing
untuk membawa siswanya ke arah mardhotillah di dunia dan akhirat.

Siswa Institut Suffah ini adalah para pemuda yang berasal dari daerah Priangan, Banten,
Wonorejo, Cirebon, Sumatra, Sulawesi dan Kalimantan. S.M Kartosoewirjo, di samping
berperan sebagai pimpinan lembaga pendidikan ini; beliau juga mengajarkan ilmu
tauhid/keimanan yang merupakan dasar dan sumber segala aktivitas seorang Muslim. [9]

Berdasarkan gambaran di atas, kita dapat mengetahui bahwa SM Kartosoewirjo dan jajarannya
menghendaki agar Umat Islam dapat hidup sesuai dengan hukum Islam di dalam kehidupannya
sehari-hari. Untuk kepentingan hal itu, maka memerlukan adanya Darul Islam/Negara Islam,
baik di Indonesia maupun di dunia ini. Dengan terbentuknya Negara Islam Indonesia, maka
masyarakat Islam Indonesia akan memperoleh kebahagian di dunia dan akhirat serta mendapat
keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kesimpulan di atas pun telah tercantum di dalam Qanun Asasi (UUD) NII yang dibentuk
sebelum Proklamasi NII, tepatnya 27 Agustus 1948, yakni:

“Sejak mula pertama Umat Islam berjuang, baik sejak masa kolonial Belanda yang dulu, maupun
pada zaman pendudukan Jepang, hingga pada zaman Republik Indonesia, sampai saat ini, selama
itu mengandung maksud yang suci, menuju satu arah yang mulia, ialah, “Mencari dan
mendapatkan Mardhatillah, yang merupakan hidup di dalam satu ikatan dunia baru, yakni
Negara Islam Indonesia yang merdeka.” Dalam masa revolusi yang kedua ini, yang karena sifat
dan coraknya merupakan revolusi Islam, ke luar dan ke dalam, maka umat Islam tidak lupa
kepada kewajibannya membangun dan menggalang suatu Negara Islam yang merdeka, suatu
Kerajaan Allah yang diridhai-Nya di atas dunia, ialah syarat dan tempat untuk mencapai
keselamatan tiap-tiap manusia dan seluruh umat, dhahir maupun batin di dunia hingga di
akhirat.” [10]

Dengan demikian, jelaslah sudah bagi kita, bahwa Kartosoewirjo memiliki pemikiran dan obsesi
yakni keselamatan dunia dan akhirat bagi kaum Muslimin adalah apabila mereka dapat
mewujudkan tegaknya Negara Islam Indonesia (kekhalifahan di dunia ini) bagi masyarakat
Muslim sedunia. Dengan NII, maka hukum Islam dapat ditegakkan. NII bagi Kartosoewirjo dan
jajarannya dipandang sebagai tujuan perjuangan umat Islam. Hampir di setiap tulisan
Kartosoewirjo, lihat kembali catatan kaki halaman 44 dan 49, di atas pemikiran dan obsesinya
untuk tegaknya Negara Islam di Indonesia sebagai suatu tujuan perjuangan umat Islam, selalu
mendapatkan penekanan. Hal itu dapat dilihat pula di dalam butir 10 Maklumat Imam yakni:

Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyertai perjuangan kita menuju Darul Islam dan
Darus Salam itu dengan Taufik dan Hidayah-Nya, dengan kekuatan dan pertolongan-Nya,
hingga terlaksana berdirinya Kerajaan Allah di permukaan bumi Indonesia.[11]
Di dalam ruang lingkup Dienul Islam, kita memahami bahwa persoalan siyasah (perpolitikan)
yang di dalamnya berbicara tentang pemerintahan Islam ataupun tentang Daulah Islamiyah
merupakan persoalan penting. Oleh karena itu umat Islam tidak boleh mengabaikannya. Walau
demikian, kita pun menyadari bahwa hal itu (siyasah) bukanlah persoalan aqaid (akidah),
sehingga penulis tidak akan membahasnya di dalam buku (tulisan ini). Akan tetapi, akan penulis
kupas tentang pemikiran dan obsesi Kartosoewirjo dan NII-nya di dalam bahasan NII dalam
tinjauan siyasah syar’iyah, insya Allah. Namun demikian, sekedar untuk perenungan pembaca,
maka penulis sodorkan beberapa kalimat berikut ini:

Sesungguhnya misi para anbiya wal mursalin dari awal risalah hingga akhirnya adalah di dalam
rangka bertauhid kepada AllahAzza wa Jalla dan meninggalkan syirik. Itulah tujuan yang sangat
mulia nan agung. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya:
“Bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan
Aku.” (Al-Anbiya:25)

Juga firman-Nya, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu’… ” (QS. An-Nahl:36)

Demikian juga firman-Nya,

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu: “Jika kamu
mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang
yang merugi). Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu
termasuk orang-orang yang bersyukur”. (Az-Zumar: 65-66).

Berdasarkan ayat di atas, kita mengetahui bahwa tujuan dien kita yang hakiki, tujuan
diciptakannya jin dan manusia, tujuan diutusnya para rasul dan tujuan diturunkannya Kitabullah
tidak ada lain melainkan untuk beribadah kepada Allah dan mengikhlaskan dien ini hanya
untuknya. sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla berikut ini:

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-KU.” (Adz-
Dzariyat:56)

Sekali lagi di sini bukanlah tempatnya kita membicarakan tentang siyasah yang menjadi
tujuan da’wah HOS Cokroaminoto dan SM Kartosoewirjo seperti uraian di atas, yang
dimaksudkan keduanya untuk memerangi kekufuran; kesyirikan dan kezindikan (atheis) dari
orang-orang Belanda si penjajah laknatullah; dari orang-orang penyembah batu, pohon, kuburan,
keris dan penyembah-penyembah syetan yang bertebaran di dalam masyarakat sejak zaman
penjajahan Belanda, Jepang maupun di zaman republik; ataupun dari orang-orang atheis seperti
orang-orang komunis yang telah berani unjuk gigi di Madiun tahun 1948 dan 1965 secara
nasional serta berhasil menyusup lewat SI, seperti yang dilakukan Semaun. Oleh karena itu,
harap maklum.
~ Disalin dari buku ” NII Dalam Timbangan ‘Aqidah “. Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah
Suroso Abdussalam. Penerbit: Pustaka Al-Kautsar Cet. Pertama Juli 2000 ~

Sumber: umarabduh.blog.com
Artikel: Moslemsunnah.Wordpress.com

Footnote:

[*Pembicaraan tentang NII di dalam buku kecil ini, tidak dimaksudkan untuk meninjau tentang
sejarahnya. Akan tetapi, penulis meninjau NII dari sisi aqidah, sehingga untuk kepentingan hal
ini dicukupkan pembahasan singkat di dalam satu pasal tentang sekilas mengenal NII dan
pemikiran proklamatornya. Adapun pembahasan sejarah NII dan pendirian proklamatornya
menurut versi NIl yang penulis terima/kaji dari materi SPUI (Sejarah Perjuangan Umat
Islam/sejarah NII) dan telah penulis susun sewaktu masih aktif menjadi aktivis NII, insya Allah
akan diupayakan untuk diterbitkan, dalam buku tersendiri.]

[1] A. Firdaus, Manuskrip Pergerakan Islam di Indonesia.

[2] Holk H. Dengel, Darul Islam dan Kartosoewirjo “Angan-angan yang gagal” (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan), 1995, hlm. l6. Akan tetapi di dalam buku ini tidak disebutkan bahwa mereka
bertiga adalah murid/kader Cokroaminoto, dan Kartosoewirjo-lah yang konsisten dan pelanjut
misi sang guru.

[3] Kalimat ini salah; khalifatullah artinya wakil/pengganti Allah. Sedangkan Allah tidak
memiliki wakil/pengganti di bumi ini. Maha Suci Allah dari yang demikian ini. Adapun yang
benar adalah khilafah `Ala Min Hajin Nubuwah sebagai naungan Allah di muka bumi.

[4] A. Firdaus, Op Cit. hlm.2.

[5] SM Kartosoewirjo, brosur Sikap Hijrah PSII, jilid I. 1936, hlm. 31-32.

[6] SM Kartosoewirjo, Daftar Oesaha Hijrah PSII (Malangbong, Pustaka Darul Islam). 1948,
hlm 2.

Perhatikan bagaimana SM. Kartosoewijo membuat istilah yang rancu dan tidak mengikuti nash.
Sepanjang ajaran Islam tidak dikenal adanya pembagian tingkah laku ke-mekahan dan ke-
madinahan. Kalimat ini menjadi pangkal/dasar bagi NII bahwa kaum Muslimin yang belum
‘berhijrah’ ke NII dianggap masih orang ‘Mekkah’, sedangkan orang NII dianggap sebagai
orang ‘Madinah’. Sehingga tingkah laku ke-mekahan disejajarkan dengan kekufuran dan
hal itu adanya di negara thagut (negara kafir seperti RI). Sedangkan tingkah laku ke-madinah-
an disejajarkan dengan keimanan dan hal itu adanya di negara Islam, tegasnya NII. Yang benar,
sepanjang ajaran Islam bahwa manusia memiliki akhlak yang baik (karimah) dan buruk
(syayi’ah). Di dalam Negara Islam pun, masyarakatnya tentu saja akan terlihat dengan kedua
akhlak tersebut, karena manusia itu tidak ma’shum. Hanya saja, akhlak yang buruk, sangat
sedikit dilakukan di dalam masyarakat yang telah bertaqwa.
[7] Kalimat ini menunjukkan adanya pengaruh sufi. Ditambah pula bahwa Rasululah mendidik
para sahabat di masjid setelah ke Madinah. Dan para sahabat tetap pulang kembali ke rumah
masing-masing. Jadi, jika dikatakan bahwa Institut Suffah merupakan bentuk mencontoh cara
Rasulullah mendidik para sahabat (sebagaimana dijelaskan SM Kartosdewirjo di dalam Brosur
Hijrah), maka hal itu merupakan prasangka belaka, tanpa ilmu.

[8] Ini kalimat rancu dan keliru, tidak sesuai dengan ajaran Islam. Jihad yang dimaksud di sini
hanya merupakan konsekuensi dari hijrah. Sedang hijrah yang dimaksud NII adalah apabila telah
berpindah/bergabung kepadanya. Sehingga bagi kaum Muslimin yang belum bergabung dengan
NII dianggap belum hijrah (belum Islam dan beriman) dan hal itu berarti belum berjihad. Sebab
untuk berjihad membutuhkan tempat/wadah yaitu NII. Inilah logika/akal-akalan NII di dalam
memahami ajaran Islam. Yang benar adalah dimanapun kaum Muslimin berada harus senantiasa
berjihad sesuai dengan kesanggupan maksimal yang dapat mereka lakukan, sesuai dengan
ketentuan syariat Islam, bukan ketentuan akal-akalan. Dan jihad yang besar untuk saat ini bagi
kaum Muslimin, seperti perkataan Syaikh Albani adalah berjihad dengan berusaha sekuat
kemampuan untuk rujuk kepada Dien kaum Muslimin. Sebab terpuruknya kaum Muslimin saat
ini, karena mereka meninggalkan dien mereka, jauh dari sunnah Rasulullah dan para sahabatnya,
lihat kembali Bab II.

Komentar :
terlepas dari salah ato benarnya Hos Cokro maupun SM Karto, ibadah/pengabdian kpd Allah memang
membutuhkan tempat. Maka Muhammad SAW berhijrah ke Yatsrib yg penduduknya sudah mau
menerima Dienul Islam,.begitu juga Nabi Nuh, Ibrahim, dan Musa serta Isa,. QS.42:13, diperintahkan
oleh Allah utk membuat washilah/sarana/tempat/wadah utk menegakkan Dien. (silahkan apabila
saudara menolak ayat tsb). Maka HOS pun membentuk sbuah Organisasi/Jamaah sbg sbuah wadah.
Agar jelas ada furqon/pembeda/pembatas yg kmudian terwujudlah DarulIslam sbg sarana menuju
Darussalam.

Pasal 2: Akidah yang Menjadi Ajaran NII, dalam Tinjauan.

Berikut ini akan kita ketahui aqidah yang menjadi ajaran NII. Kita mulai dari aqidah yang
ditanamkan SM Kartosoewirjo di dalam mengader siswanya di Institut Suffah. Diuraikannya
kalimat Laa Ilaha illallah sebagai berikut:

1. La maujuda illallah

Artinya: Tidak ada yang maujud kecuali atas ijin dan takdir Allah.

Pengertian singkatnya adalah bahwa setiap kejadian, baik yang disengaja oleh manusia ataupun
tidak, baik yang sesuai dengan keinginan manusia ataupun tidak, yang bersifat biasa ataupun luar
biasa, yang manis dan yang pahit, yang baik maupun yang buruk, itu semua adalah atas kudrat
dan iradat Allah, atas kuasa dan kehendak Allah.

Posisi makhluk termasuk manusia, tidak ada peran sama sekali yang berpengaruh di dalan
mewujudkan sesuatu, ia hanyalah saluran dan sambungan saja. Daya ikhtiar dan akal manusia,
bagaimanapun besarnya tidak akan mampu mewujudkan sesuatu, tanpa izin dan kuasa Allah.
Ikhtiar dan akal manusia hanya berfungsi sebagai sarana dan penyambung dari kuasa dan
kehendak Allah yang Maha Mutlak. Karena itu, manusia harus menyadari akan kelemahan dan
kekerdilannya di hadapan Allah Rabbul Izzati. Segala hidup dan kehidupan, bergantung mutlak
kepada kuasa dan kehendak Allah, manusia tidak memiliki daya dan kuasa sedikit pun, kecuali
atas kehendak dan kuasa Allah. Inilah yang dikatakan wahdatul maujud.

2. Laa Ma’buuda illallah

Artinya: Tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah.

Setelah meyakini wahdatul maujud, artinya segala sesuatu yang maujud selain Allah, itu semua
tergantung kudrat dan iradat Allah, selanjutnya kita harus meyakini bahwa semua yang dijadikan
atas takdir Allah itu tidak ada yang sia-sia, tetapi semuanya itu untuk menjadi sarana dan medan
pengabdian manusia kepada-Nya jua. Seorang Mukmin harus bertekad bahwa segala takdir yang
terjadi pada dirinya, di mana saja, kapan saja dan bagaimanapun keadaannya, hanya akan
dijadikan sarana beribadah dan mengabdi kepada Allah saja. Sebab kalau kosong dari nilai
ibadah kepada Allah, dia akan terjebak kepada syirik atau maksiat kepada Allah. Hal ini biasa
disebut wahdatul ma’bud atau tauhidul ibadah.

3. Laa Mathluba illallah.

Artinya: Tidak ada yang dicari untuk ditaati dan dicari untuk dihindari, kecuali perintah dan
larangan Allah saja.

Setelah meyakini bahwa segala takdir yang datang kepada kita adalah untuk sarana ibadah
kepada Allah, maka kita harus yakin bahwa segala takdir itu mengandung perintah dan larangan
dari Allah yang terperinci. Kita harus berusaha mewarnai kehidupan kita sehari-hari dengan
warna Islam saja, jangan sampai sesaat pun diri kita lepas dari nilai Islam, yang telah kita yakini
sebagai satu-satunya Dienullah, sistem hidup yang telah digariskan Allah, yang membawa
kemaslahatan kehidupan di dunia dan akhirat. Inilah wahdatul mathlub, artinya kebulatan gerak
dan langkah sepanjang aturan-aturan Allah saja.

4. Laa maqsuuda illallah.

Artinya: tidak ada yang dituju (dimaksud) kecuali keridhaan Allah.

Setelah kita berada di jalan Allah, dengan melaksanakan sistem Islam dalam seluruh aspek
kehidupan sehari-hari, jangan sampai kita menyimpang dari arah dan tujuan hakiki yaitu
keridhaan Allah. Jauhkan diri kita dari sifat riya, takabur ambisi dan tujuan-tujuan duniawi
lainnya, yang dapat menghapuskan nilai amal kita. Jadi, kita melaksanakan perintah Allah dan
menjauhi larangan-Nya, merealisasikan sistem Islam dan menjauhi sistem thaghut, itu tujuannya
semata-mata ikhlas mencari keridhaan Allah; bukan yang lainnya. Inilah wahdatul maqshud (satu
tujuan hanya untuk Al lah).[12]
Tafsir Laa ilaha illallah oleh SM Kartosoewirjo yang disadur oleh. A. Firdaus, sebagai generasi
kedua NII (yang masuk NII dari 1962-1980), disadur lagi oleh majalah An-Naba’ [13] edisi
17/Th. II 1994. Tafsir itu pula yang dijadikan materi pokok tentang tauhidullah (aqidah) di
lingkungan usrah yang telah pula berkembang cukup luas di Indonesia. Tafsir tersebut di atas
juga terdapat di dalam tulisan/manuskrip sebagai penjelasan atas komando Imam tanggal 24
April 1962. [14] Manuskrip tersebut ditulis oleh tokoh NII generasi awal (Angkatan I/menjadi
orang NII antara tahun 1949-1962).

Apabila kita amati dengan teliti, yang menjadi dasar tafsir SM Kartosoewirjo atas kandungan
Laa ilaha illallah adalah terdapat di dalam butir pertama yakni tiada maujud kecuali Allah
(wahdatul maujud). Butir pertama ini selanjutnya diikuti oleh butir tafsir kedua, ketiga dan
keempat, seperti tersebut di atas. Ketiga butir tafsir itu (butir 2,3 dan 4) merupakan konsekuensi
butir pertama. Apabila pembaca amati sekali lagi mengenai penjelasan wahdatul maujud, maka
kita akan mendapati bahwa pemahaman, keyakinan atau ajaran tersebut telah sejak lama ada
yang dikembangkan oleh Jahm bin Shafwan [15] dan terkenal dengan nama Jabriyah
(Jabariyyah). [16]

Inti ajaran Jabariyah adalah serba taqdir. Ajaran ini sangat bersebrangan dengan ajaran
Qadariyah yang menolak takdir.

Kedua ajaran ini termasuk bid’ah [17] dan hal itu tentu saja bathil. Orang-orang Jabariyyah
beranggapan bahwa pengaturan terhadap seluruh perbuatan makhluk hanyalah menjadi hak
Allah. Semua perbuatan makhluk merupakan perbuatan yang bersifat paksaan, seperti gerakan-
gerakan getar,… Kalau perbuatan disandarkan kepada makhluk, itu hanyalah kiasan belaka. [18]
Bagi Jabariyyah, manusia (seorang hamba) tidak mempunyai kemampuan dan tidak mempunyai
pilihan apapun terhadap semua yang diperbuatnya, ia bagaikan bulu ditiup angin. Di dalam
bahasa SM Kartosoewirjo, posisi manusia tidak memiliki peran sama sekali yang berpengaruh di
dalam mewujudkan sesuatu, ia hanyalah saluran dan sambungan saja. Daya ikhtiyar dan akal
manusia, bagaimanpun besarnya tidak akan mampu mewujudkan sesuatu, tanpa ijin dan kuasa
Allah.

Madzhab Salaf (Ahli Sunnah wat Jama’ah) sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh
Fauzan dan Team Tauhid tentang Qadha dan Qadar sebagai berikut:

“Sesungguhnya Allah adalah pencipta segala sesuatu, Pengatur dan Pemiliknya. Tiada sesuatu
pun yang keluar dari hal itu. Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang Dia tidak
kehendaki pasti tidak terjadi. Tidak ada di alam semesta ini sesuatu yang terjadi melainkan
dengan masyi’ah (kehendak) dan qudrat (kekuasaan) Nya. Tidak sesuatupun yang menghalangi
Nya apabila Ia menghendaki sesuatu. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Mengetahui
segala sesuatu yang telah lewat, yang akan terjadi dan yang tidak ada bagaimana seandainya ia
ada. Dia telah menulis segala yang ada sebelum terciptanya; perbuatan para hamba, rezki, ajal
dan bahagia atau celaka dan sebagainya. Seperti dalam firman Allah:

“Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang
menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu,
maka Dia Mahakuasa atas tiap-tiap sesuatu.” (Al-An’am:17).
“Katakanlah, sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh
Allah bagi kami.” (At-Taubah; 51).

“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada
pilihan bagi mereka. Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan
(dengan Dia).” (Al-Qashash: 68).

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan
telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Al-Hadid: 22)

Adapun segala perbuatan, sifat dan kejadian yang berada di luar keinginan dan ikhtiar manusia,
maka hal itu bukan medan taklif dari Allah dan tidak dinisbatkan kepada manusia. Tetapi ada
perbuatan-perbuatan yang dapat dilakukan manusia dan berada dalam kemampuan manusia,
yang kalau ia kerjakan berdasarkan kekuatan dan ikhtiar yang sudah dianugerahkan Allah
kepadanya, maka tampaklah hikmah Allah dalam pembalasan. Seperti firman Allah:

“Supaya Dia menguji siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya.” (Al-Mulk:2 dan Hud; 7)

Setiap orang pasti merasa bahwa ia mampu melakukan perbuatan-perbuatan itu atau
meninggalkannya. Jadi perbuatan-perbuatan itu benar-benar perbuatannya sendiri sesuai dengan
kehendak dan keinginan (bukan majazi, tapi hakiki, –Pen.)

Allah berfirman, “Dan katakanlah, ‘Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu, maka barangsiapa
yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.
Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zhalim itu neraka, yang gejolaknya
mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum
dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling
buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (Al-Kahfi:29).

“Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (Ath-Thur:21).

“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.” (At-Takwir: 28) [19]

Dengan penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa madzhab Salaf (Ahli Sunnah wal Jama’ ah)
adalah pertengahan antara Qadariyah dan Jabariyah di dalam masalah yang kita bicarakan ini
(takdir). Jika Qadariyah menetapkan perbuatan manusia tergantung manusia, tanpa ada ikatan
dan kaitan dengan Allah. Sedangkan Jabariyah menetapkan segalanya tergantung kepada takdir
Allah, sehingga manusia sama sekali tidak dapat berbuat, dan perbuatan manusia bagaikan bulu
yang ditiup angin, sebagai saluran belaka, tidak ada upaya sama sekali, tidak berbuat dengan
makna hakiki. Maka, keduanya (Qadariyah dan Jabariyah) merupakan firqah bathil.

Lebih luas lagi, tafsir SM Kartosoewirjo terhadap Kalimat tauhid (Laa ilah illallah) seperti
disebutkan di atas (4 butir), ternyata juga bermuatan aliran tarekat sufi tertentu. Sebab hanya
orang-orang sufi sajalah yang menyatakan kalimat wihdatul wujud. Aliran Wihdatul Wujud
menyatakan bahwa tingkat tertinggi dari keimanan apabila seseorang telah bersatu dengan Allah
dan terlepas dari kewajiban menjalankan syariat Allah [20] sehingga tidak ada yang maujud
kecuali Allah. Namun demikian, SM Kartosoewirjo tidaklah sepenuhnya menelan aliran sufi
yang ekstrim, sebab terbukti masih mempertahankan syariat (lihat butir ke-3/Laamathluba
illallah).

Walau begitu, pengertian Laa mathluba illallah, bukanlah termasuk dari Laa ilaha illallah akan
tetapi masuk ke dalam bagian makna rububiyyah (tauhid rububiyyah). Sedangkan Laa maqshuda
ilallah, bukan pula masuk ke dalam makna Laa ilah illallah akan tetapi merupakan syarat dan
tujuan tauhid ibadah itu sendiri. Oleh karena itu, makna yang benar dari Laa ilaha illallah, adalah
Laa ma’buda bihaqqin ilallah, artinya tidak ada ilah yang diibadahi dengan hak melainkan Allah
saja. Pembahasan lebih lanjut mengenai Tauhidullah ini, akan dipaparkan saat kita meninjau
sistematika tauhid antara ajaran NII dengan madzhab Salaf.

Oleh karena tidak mengikuti manhaj yang hak di dalam mengaji bidang aqidah, yakni akidah itu
tauqifiyyah, [21] akan tetapi mengikuti manhaj para filosof, kaum sufi dan mutakallimin/ahli
kalam yang menentang Ahlus Sunnah, maka semakin kacaulah di dalam menafsirkan Laa ilaha
illallah, seperti yang dimuat dalam manuskrip catatan jihad, buah pena salah seorang generasi
jibal (gunung) yakni dalam bahasa orang NII sebagai “orang tua” atau generasi sabiqunal
awwalun.(lihat catatan kaki no.1 hal. 57). Tafsir yang kacau tersebut adalah sebagai berikut:

–Selamat pelaksanaan tugasnya terutama sekali dalam bidang:

1. Memegang teguh dan menguatkan Kalimat tauhid (Kalimat Thayyibah), dengan empat
kerangka La; dalam makna:

La Mathluba illa-Ilah, dalam makna:

a. Tiada yang dicari dan diusahakan, kecuali Rahmat ridha Allah.


b. Tiada yang dicari dan diusahakan, kecuali pemimpin pembawa amanat Allah.
c. Tiada yang dicari dan diusahakan, kecuali Agama/kerajaanAllah.

La maqshuda illa-llah, dalam makna:

a. Tiada titik tujuan, kecuali Rahmat-Ridha Allah.


b. Tiada titik tujuan, kecuali idzarnya pemimpin pembawa amanat Allah.
c. Tiada titik tujuan, kecuali idzarnya Agama/Kerajaan Allah.

La ma’buda illllah, dalam makna:

a. Tiada yang disembah, kecuali Allah.


b. Tiada yang ditaati dan disetiai, kecuali pemimpin dan pembawa amanat Allah.
c. Tiada yang dijunjung tinggi, kecuali Agama/kerajaan Allah.

La Maujuda ill-Ilah, dalam makna:


a. Tiada yang wujud muthlak, kecuali Allah.
b. Tiada yang diakui wujud/ada, kecuali pemimpin pembawa amanat Allah.
c. Tiada yang diakui wujud/ada, kecuali Agama/Kerajaan Allah. [22]

Sekali lagi, bagaimana pemahaman yang benar atas La ilaha illallah yang dipahami oleh Salafus
Shalih (Ahli Sunnah wal Jama’ah), berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam, dapat dilihat di dalam pembahasan sistematika (penggolongan) tauhidullah.
Semoga waspadalah orang-orang yang mau waspada, dan akan tergelincirlah orang-orang yang
lalai. dan semoga kita termasuk orang-orang yang meniti jalan Salafus Shalih.

Yakni jalannya para Nabi dan sahabatnya. Mereka para shahabat adalah orang-orang terbaik
yang diberi predikat oleh Allah Ridwanullah Alaihim Ajma’in atas keimanan dan ketakwaan
mereka. Merekalah yang mencukupkan diri dengan apa yang difirmankan Allah Azza wa Jalla
dan yang disabdakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, di dalam ber-dien ini (beraqidah,
beribadah; berakhlak, bersyari’ah dan bermu’amalah). Merekalah orang-orang yang mengingkari
filsafat dan hukum mutakallimin yang menggunakan standar akalnya untuk menimbang firman
Allah dan sabda Rasul-Nya. Apabila akalnya membenarkan dua wahyu Allah, maka mereka
menetapkannya sebagai keyakinan. Sebaliknya, apabila akal mereka tidak memberikan
rekomendasi terhadap dua wahyu Allah, maka mereka menolaknya dengan congkak dan
sombong.

Menarik apa yang dikatakan Ibnu Khaldun tentang bagaimana menempatkan akal di dalam dien
kita ini, “Akal adalah mizan yang benar, maka keputusannya benar tak mengandung kedustaan.
Tapi Janganlah kau gunakan ia untuk menimbang masalah tauhid, masalah akhirat, hakikat
nubuwah, hakikat sifat-sifat Ilahiyah dan apa yang ada di balik itu, karena hal itu mustahil.
Orang yang menggunakan akalnya untuk perkaraperkara seperti ini adalah seperti orang yang
melihat timbangan untuk menimbang emas, lalu dengan penuh ketamakan ia menggunakannya
untuk menimbang gunung. Ini tidak menunjukkan bahwa timbangannya tidak betul, tetapi akal
yang tidak mampu. Dia tidak dapat menjangkau Allah dan sifat-sifat-Nya karena ia (akal, Pen)
sebuah dzarrah (atom) dari atom-atom alam ciptaan Allah.” [23]

~ Disalin dari buku ” NII Dalam Timbangan ‘Aqidah “. Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah
Suroso Abdussalam. Penerbit: Pustaka Al-Kautsar Cet. Pertama Juli 2000 ~

Sumber: umarabduh.blog.com
Artikel: Moslemsunnah.Wordpress.com

Footnote:

[12] A. Firdaus, Op Cit. hlm. 29-31.

[13] Majalah ini merupakan karya Usroh Jakarta sebagai bagian dari NII. Periksalah majalah
tersebut pada edisi 17/Thn II-1994, hlm. 37-39.

[14] Catatan jihad (manuskrip), hlm.4-5. Penulisnya, menurut berita yang beredar adalah Abu
Suja’ yang kemudian dieksekusi Adah Jaelani Tirtapraja atas fatwa Ajengan Masduki. Ia
dibunuh karena tulisannya berbeda dengan yang ditafsirkan oleh penguasa yang sedang eksis
(Adah Jaelani sebagai Imam).

[15] Abdurrahman bin shalih Al-Mahmudi. Al-Qadla wa Qadar fi Dhui Al-Kitab wa AsSunnah,
(Riyadh, Dar An-Nasyr Ad-Dauli) 1414. hlm. 142.

[16] Jabariyyah adalah suatu ajaran atau keyakinan bahwa Allahlah yang menentukan perbuatan
manusia baik buruknya, manusia tidak punya upaya apa-apa. Ajaran ini diyakini oleh firqah
Jahmiyah yakni para pengikut Jahm bin Shafyan Abi Mahras As-Samarkandi At-Turmudzi yang
dihukum bunuh pada tahun 128 H. Jahm bin Shafwan belajar kepada Ja’d bin Dirham. Ja’d
belajar kepada Thalut. Thalut belajar kepada Labib bin Al- ‘Asham, seorangYahudi, maka
jadilah mereka semua murid-murid Yahudi. Karena itu, perhatikanlah dari siapa seseorang itu
mengambil ilmu? Sedangkan Qadariyah adalah firqah yang berpandangan sebaliknya yang
muncul pada akhir masa shahabat. Mereka berkeyakinan bahwa manusia itu sendirilah yang
menciptakan perbuatannya, sedangkan Allah tidak menetapkan (qadar) apa-apa. Orang pertama
yang membawa paham ini ialah Ma’had Al-Juhani. disebut pula Ghayalan Ad-Dimasyq. Dan ada
pula yang mengatakan bahwa pembangun firqah ini adalah Susan An-Nasrani.

[17] Ibnul Qayyim, Syifa Al-’Alil, Dar el Fikr. 1409, Bab 13, h1m.49.

[18] Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki dan Syu’aib Al-Arnauth, Syarah Aqidah
AtThahawiyyah, hlm. 639.

[19] Tim Tauhid At-Tauhid Lish-Shaffits Al-’Ali,. terjemahan Agus Hasan Bashari. (Jakarta,
Darul Haq), 1419, hlm. 169-171.

[20] Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki. Op Cit, Butir Pembagian Tauhid.

[21] Tauqifiyyah maknanya hanya ditetapkan berdasarkan nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah),
lihat Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki (Dasar-dasar aqidah Imam Salaf; Shalih bin Fauzan
(At-Tauhid I); Abdullah Azzam (Aqidah landasan Pokok Membina Umat) dan seluruh kitab-
kitab tauhdid buah pena para ulama pewaris Nabi (Ulama ahlus sunnah wal Jama’ah) lainnya.

[22] Catatan Jihad, Op Cit. hlm. 4-5.

[23] Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki. Op Cit. Bagian Kaidah Pengajian Masalah Aqidah,
butir Membatasi Akal Memikirkan Perkara yang Bukan Bidangnya.

Penjelasan Tauhidullah, Antara NII Dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah

Sesungguhnya sebagian penafsiran tauhid rububiyah oleh NII seperti disebutkan di atas dengan
penafsiran Ahli Sunnah wal Jama’ah tidaklah berbeda dalam hal meyakini bahwa hanya Allah-
lah yang menciptakan segenap makhluk (Az-Zumar: 62), Allah-lah yang memberi rezki bagi
segenap makhluk-Nya. (Hud: 6). Allah pula sebagai penguasa alam dan pengatur semesta,
Dialah yang memuliakan dan menghinakan, yang menghidupkan dan mematikan, yang mengatur
rotasi siang dan malam, Dialah yang maha Kuasa atas segala sesuatu (Ali Imran: 26-27). Allah
menafikan sekutu atau pembantu dalam kekuasaan-Nya. Sebagaimana menafikan adanya sekutu
dalam penciptaan dan pemberian rezki. (Luqman: 11, Al-Mulk: 21, AI-Fatihah: 2 atau 1 dan
Al-a’raf: 54).

Pengakuan rububiyah Allah adalah sesuatu keyakinan yang fitriyah. Bahkan orang-orang
musyrik yang menyekutukan Allah dalam ubudiyah juga mengakui tauhid rububiyah (lihat Al-
Mukminun: 86-89). Jadi tauhid jenis ini telah diakui oleh semua manusia kecuali orang-orang
zindiq (lihat tafsir QS. 2: 21-22 Ibnu Katsir), hingga semodel Fir’aun (Al-Isra: 102 dan
AnNaml: 14).

Akan tetapi, manakala kita perhatikan dengan seksama, titik berat atau yang menjadi perhatian
utama tentang pemahaman dan keyakinan akan rububiyah Allah, terutama oleh generesi ke-2
dan ke-3 NII adalah bahwa Allah sebagai pengatur alam semesta termasuk manusia, maka tentu
saja ada aturannya yaitu Al-Qur’ an.

Oleh karena itu Al-Qur’an adalah aturan/syariat Allah, hukum Allah (hukum Islam). Mereka
menetapkan bahwa inti tauhid rububiyah adalah pengakuan dan keyakinan akan hukum Islam
sebagai satu-satunya hukum untuk mengatur manusia.

Barangsiapa tidak meyakini yang seperti ini, maka ia termasuk syirik rububiyah (lihat kembali
bahasan di atas). Sedangkan generasi pertama NII, termasuk proklamatornya, memasukkan
tentang hukum/syariat Islam ke dalam makna Laailaha illallah yakni Laa mathluba ilallah (tidak
ada yang dicari untuk ditaati dan dicari untuk dihindari kecuali perintah dan larangan Allah).

Titik temu atau persamaan antara generasi pertama NII (berikut proklamatornya yakni SM
Kartosoewirjo) dengan generasi ke-2 dan ke-3 NII adalah mereka meyakini bahwa hanya satu-
satunya hukum yang boleh dan sah untuk mengatur hidup dan kehidupan manusia di dunia ini,
agar mendapatkan kebahagiaan yang hakiki dan keridhaan Allah adalah kukum Islam/syariat
Islam. Mereka mendasarkan keyakinan tersebut berdasarkan ayat-ayat Allah yang banyak sekali
seperti surat An-Nuur:5l, An-Nisa: 60 dan 65: Al-Jaatsiyah: 18 Al-Maidah: 49, Al-Maidah 44
dan 47 dan lain-lain ayat.

Keyakinan mereka seperti tersebut tentu saja benar dan memang seharusnya demikian. Akan
tetapi keyakinan mereka yang demikian ditumpangi oleh pemikiran-pemikiran sendiri (akal atau
logika mereka), sehingga lahirlah keyakinan baru, yakni hukum Islam ini bisa ditegaskan
manakala telah ada hakim dan hakim hanya dapat menjalankan fungsi dan tugasnya manakala
telah ada negara atau daulah Islam. Oleh karena itu seluruh Muslim hacus bangkit menegakkan
dan menyongsong lahirnya Negara Kurnia Allah (NKA) yakni Negara Islam Indonesia (periksa
kembali pemikiran S.M. Kartosoewirjo dan HOS Cokroaminoto di atas). Doktrin mereka
selanjutnya bahwa NII itulah sebagai wujud dari tauhid mulkiyah. Mereka meyakini pula bahwa
berdasarkan ayat di dalam surat Al-Fatihah dan An-Nas serta AI-Isra ayat 111 (lihat bahasan di
atas), yakni AI-Malik di situ bermakna raja atau penguasa dan wujudnya adalah kerajaan Allah
atau Negara Islam di dunia ini (khususnya di Indonesia dengan nama Negara Islam Indonesia).
Demikianlah mereka berlogika dengan mencari pembenaran dari Al-Qur’an.
Tauhid rububiyah dan mulkiyah telah dijadikan inti da’wah NII, sehingga apabila tegak
keduanya (rububiyah dan mulkiyah), sehingga bila keduanya telah tegak, maka persoalan
ubudiyah yang benar sesuai dengan Al-Qur’ an dan sunnah adalah persoalan mudah, tinggal
dikomandokan dalam waktu singkat dapat dilaksanakan oleh kaum Muslimin. Sehingga wajar,
apabila ubudiyah bi makna khusussiyah seperti shalat, zakat, shaum dan haji pun tidak
mendapatkan perhatian yang cukup, bahkan tidak diajarkan secara khusus. Bahkan untuk
wilayah tertentu (seperti wilayah 9 JABOTABEK, Banten dan yang terkena virus/syubhat
olehnya) masalah ibadah khususiyah diabaikan, terkecuali yang berhubungan dengan uang
(infaq) justru digalakkan demi membiayai tegaknya hukum dan mulkiyah Allah.

Generasi pertama, kedua, ketiga NII dan proklamatornya hingga perintisnya yakni
Cokroaminoto, terlalu menggenaralisir persoalan, sehingga pikirkan:

Pertama, rububiyah Allah tidaklah hanya berisi tentang hukum belaka. Kedua, hukum Islam
yang dinyatakan hanya dapat dilaksanakan manakala ada hakim dan hakim dapat berfungsi dan
bertugas manakala adanya Negara Islam (mereka suka menggunakan kaidah ushul:
Malayatimmul waajibu i1a bihi fahuwa wajibun (artinya, Apa yang tidak sempurna bagi
(sesuatu) yang wajib kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu menjadi wajib
hukumnya), perlu diperinci. Jika yang dimaksud hukum Jinayat seperti qishash, dera, potong
tangan dan sejenisnya, maka jawabnya ya. Dan hukum seperti ini (kurang lebih 20 % dari
kandungan syariat Islam), hingga hari ini di pemerintahan RI tidaklah berjalan. Namun
bagaimana dengan hukum selainnya? Yang mana hukum tersebut dapat dilaksanakan oleh
pribadi Muslim, keluarga Muslim dan masyarakat Muslim yang menempati kira-kira 70% dari
syariat Islam? Seperti hukum da’wah, ibadah khususiyah, hukum mu’amalah lainnya dan syiar-
syair Islam dan sebagainya, mengapa dilalaikan atau dipandang sebelah mata? Mengapa energi
kita dihabiskan untuk mencapai sesuatu yang belum disanggupi dan saat bersamaan melalaikan
yang sudah disanggupi? Bukankah orang tidak akan sanggup mengangkat becas seberat 50 kg,
manakala mengangkat 45 kg pun telah menyerah? Bukankah kita tidak akan sanggup
menegakkan hukum Islam di dalam lingkup yang Iebih luas dan besar ruangnya (negara);
manakala di dalam lingkup yang lebih sempit (misal pribadi dan keluarganya) pun kita belum
sanggupi?

Sesungguhnya semangat saja di dalam menegakkan Islam belumlah mencukupi. Niat yang ikhlas
dan tujuan yang.mulia (menegakkan hukum Islam) harus didasari dengan ilmu yang cukup,
sehingga cara yang ditempuh akan benar dan selamat menurut pandangan Allah Subhanahu wa
Ta’ala di dalam merealisasikan niat dan tujuan tersebut (di dalam beramal). Ketiadaan ilmu dan
ulama serta manhaj yang haq, akan melahirkan generasi-generasi yang salah di dalam memahami
Al-Qur’an. Al-Qur’an dipahami menurut pola pikir dan semangatnya sendiri; kelompok sendiri.
Bahkan ayat-ayat Allah hanyalah dijadikan stempel/pembenar atas tindakannya/pernikirannya
yang keliru. Hal ini urnumnya dilakukan oleh mereka (kaum Muslimin) yang terperangkap di
dalam kehidupan kelompok/firqah, seperti NII dan semisalnya: Kita dapat buktikan, khususnya
di dalam hal ini (Rububiyah Allah) yang dipahami oleh NII, dengan inti pembicaraan pada
hukum Islam. Mereka memahami dan meyakini surat Al-Maaidah ayat 44, 45 dan 47 bahwa
barangsiapa yang memutuskan hukum tidak berdasarkan hukum Islam (apa yang diturunkan
Allah), maka mereka adalah orang-orang kafir, zhalim dan fasiq.
Sesungguhnya kalimat tersebut haq, sebab itu firman Allah Azza wa Jalla. Namun mereka
mengklaim, bahwa diri (mereka justru mengaku jama’ah yang haq) mereka telah menjadi orang-
orang Islam dan beriman (telah ikrar syahadatain dan berbai’ at kepada pimpinan atau atas nama
pimpinan NII) yang berhukum kepada hukum Islam, sedangkan orang-orang di luar (yang belum
menjadi warga NII) karena belum ikrar syahadatain/ musyahadatul hijrah dan berarti pula belum
berbai’at kepada pimpinan NII, maka belumlah Islam dengan benar, belum menjadi orang
beriman, aqidahnya masih bathil, dan belum berhukum Islam, sehingga berdasarkan ayat 44, 45,
dan 47 surat Al-Maaidah, mereka termasuk kafir, zhalim dan fasik, inilah klaim NII.

Klaim mereka sama persis dengan klaim firqah Khawarij [40] dahulu kala. Sesungguhnya firqah
Khawarij berisi orang-orang gunung yang di dalamnya tiada ulama yang mapan di dalam
memahami syariat Islam dan akhirnya tidak bermanhaj dengan benar di dalam memahami Al-
Qur’an. Lagi pula tidak seorang pun ulama/para shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam yang bergabung kepada Khawarij. Mereka memahami Islam tidak kepada ahlinya,
melainkan kepada pikiran dan kepada hawa nafsunya sendiri. Melihat ciri-ciri ini pun keduanya
memiliki beberapa kesamaan (Khawarij yang dahulu di masa shahabat masih hidup dengan NII
hari ini).

Konsekuensi atas klaim ayat 44 dan 47 Surat Al-Maaidah membuat Khawarij dahulu dengan NII
sekarang bersikap dan berperilaku sama pula. Maha benar Allah dengan fuman-Nya dan
benarlah sabda Rasulullah mengenai perpecahan umat.

Mari kita perhatikan makna sesungguhnya dari ayat 44, 45 dan 47 Surat Al-Maaidah yang
dipahami dan diyakini oleh Ahlu haq. Mari kita tanyakan kepada mereka, sebagaimana firman
AIIah Azza wa Jalla:

“Maka bertanyalah kepada ahlu dzikri jika kamu tidak mengetahui.” (An-Nahl:43).

Telah berkata Thawus dan ‘Atha, “Ini adalah perbuatan kafir yang belum sampai kepada derajat
kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam dan kezaliman yang tidak sampai
kepada batas kezaliman yang dapat mengeluarkam pelakunya dari Islam, dan kefasikan yang
belum sampai kepada kefasikan yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam (Tafsirul
Aliyyil Qodir Likh Tishar Ibnu Katsir 2/55). Yang benar adalah siapa saja yang berhukum
dengan selain dari apa yang diturunkan oleh Allah kadang-kadang dapat mengeluarkan
pelakunya dari Islam dan kadang-kadang pula masih berstatus sebagai seorang Muslim, hanya
saja dia telah berbuat kemaksiatan karena melakukan dosa besar.”

Telah berkata Samatus Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz tentang kedudukan hukum
orang yang berhukum dengan selain dari apa yang diturunkan oleh Allah, “Barangsiapa yang
berhukum dengan selain yang diturunkan Allah, maka tidak keluar dari empat hukum:

1. Barangsiapa menyatakan, “Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia adalah hukum yang
lebih utama dari syariat Islam”. Maka orang yang demikian adalah kafir dan keluar dari Islam.

2. Barangsiapa menyatakan, “Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia adalah sama baiknya
dengan hukum syariat Islam, sehingga boleh berhukum dengan hukum ini dan boleh pula
berhukum dengan hukum syariat Islam.” Maka orang yang demikian adalah kafir dan keluar dari
Islam.

3. Barangsiapa berkata, “Aku berhukum dengan hukum ini dengan keyakinan bahwa hukum
syariat Islam lebih utama dari hukum ini. Akan tetapi, berhukum dengan selain yang diturunkan
Allah adalah boleh.” Maka orang yang demikian adalah kafir dan keluar dari Islam.

4. Barangsiapa berkata, “Aku berhukum dengan hukum ini dengan keyakinan bahwa berhukum
dengan selain yang diturunkan Allah tidak boleh dan hukum syariat Islam itu lebih utama. Akan
tetapi dia berhukum dengan selain Syariat Allah karena menganggap enteng dosanya atau dia
melakukan hal itu karena perintah yang datang dari atasannya, maka yang demikian ini telah
melakukan perbuatan kekafiran tetapi tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam.

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alus Syaikh menerangkan tentang orang-orang yang
berhukum dengan selain hukum Allah dan Rasul-Nya. Dari keterangan beliau dapat disimpulkan
sebagai berikut:

1. Sultan (penguasa) dan lembaga yang dibentuk olehnya untuk membuat dan berhukum dengan
selain hukum Allah dan berkeyakinan bahwa perbuatannya itu benar, dan hukum yang dibuatnya
itu pun benar, maka yang demikian jelas kekafirannya dan keluar dari Islam walaupun dia
mengaku sebagai Muslim, shalat dan shaum.

2. Yang membela hukum tersebut dan melaksanakannya dengan giat serta berkeyakinan bahwa
tindakan pembelaannya itu benar, maka dia juga kafir/keluar dari Islam.

3. Hakim yang memutuskan segala perkara yang diajukan kepadanya dengan hukum yang dibuat
tersebut, maka bila dia memutuskan dengan berkeyakinan bahwa dia harus menaati hukum
tersebut, kedudukannya sama dengan para pembuat hukum itu. (Al-Imamah Al ‘Udlma, Hal.
108-109). [41]

Selanjutnya, Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak mudah mengkafirkan seseorang ahlu kiblat,
kecuali ada keterangan yang jelas dari Allah dan Rasul-Nya. Dan hal itu dilakukan melalui
beberapa tahap, diantaranya: Kepada pelaku kekufuran diberi hujjah terlebih dahulu; kemudian
diperhatikan apakah hujjah telah dipahami atau belum, selanjutnya diminta untuk meninggalkan
perilaku yang kufur tersebut dan bertaubat. Jika menolak dan tetap bersikukuh dengan
pendiriannya yang kufur itu, maka barulah dikufurkan dan hal ini pun tidak dilakukan oleh setiap
orang di dalam menjatuhkan tuduhan. Harap dicamkan!

Sebagai tambahan, mereka orang-orang NII juga meyakini bahwa orang-orang yang belum
bergabung dengan mereka sebagai orang-orang jahiliyah sebagaimana digambarkan di dalam
firman Allah:

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yaqin ?” (Al-Maaidah:50).
Klaim mereka yang demikian tentu saja tertolak. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an yang diwahyukan
Allah kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah diperuntukkan bagi
rahmatan lil ‘alamin, bukan hanya bagi NII saja dan yang menyambut hukum Allah bukanlah
hanya NII saja, terlebih lagi NII itu baru lahir kemarin sore (7 Agustus 1949).

Dan lebih lagi, orang-orang yang menguasai syariat Islam dan mengamalkannya dari kalangan
para ulama dan kibarul ulama, tidaklah berada di dalam NII, padahal mereka itu (ulama dan
kibarul ulama) adalah pewaris Nabi. Lalu, dalam kondisi NII seperti sekarang ini apakah masih
akan tetap mengklaim bahwa mereka itu sebagai ulama su’ karena tidak bergabung dengan NII?

Lantas mana ulama NII yang menguasai syariat Islam, sedang salah satu bidang kajian di dalam
syariat Islam pun tidak ada yang dikuasai oleh mereka? Bagaimana mungkin dan bisa
menegakkan syariat Islam, sedangkan menguasainya pun belum? Karena itu yang lebih tepat
bagi orang-orang NII adalah belajar dahulu (ini fardhu a’in hukumnya) kepada para ahli yang
membidangi syariat Islam dan ilinu-ilmu dien kita.

Orang yang belum memiliki sesuatu bukanlah wajib baginya untuk menegakkan sesuatu
(mengamalkan dan menda’wahkannya). Akan tetapi yang wajib baginya adalah mencari tahu
sesuatu itu (belajar). Sebagai misal anda ingin tahu sumber hukum Islam kedua, sebagai wahyu
Allah yakni As-Sunnah (al-hadits), maka belajarlah kepada ahli hadits, bukan belajarnya kepada
ahli roti dan yang sejenisnya, kecuali apabila anda ingin belajar membuat roti dan yang
sejenisnya. Jadi introspeksi adalah suatu hal yang harus anda lakukan, sebelum terlambat,
semoga Allah memberi petunjuk kepada anda dan diri penulis yang miskin ilmu ini, aamin.

Dan sebagai bahan introspeksi bagi anda dan diri penulis, inilah makna dari ayat di atas yang
sedang kita bicarakan (Ail-Maaidah: 50) yakni:

–Dari ayat ini terdapat dua hukum, yaitu hukum Allah dan hukum jahiliyah.

–Hasan Basri berkata, “Barangsiapa berhukum dengan selain hukum Allah, maka itu hukum
jahiliyah.” Jadi hukum jahiliyah adalah selain hukum Allah yang merupakan produk manusia.

–Allah mengingkari orang yang keluar dari hukum Allah. Sebab hukum Allah mengajarkan
segala kebaikan dan melarang dari segala kemungkaran.

–Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Sebagaimana hukum kaum Tartar sebagai siyasah mereka yang
diambil dari Jenghis Khan (dalam kitab kaum Tartar yang diambil dari syariat Yahudi, Nashara
dan Islam dan lain-lain dan diambil dari akal atau ra’yu Jenghis Khan).

–Dari ayat ini, kaum Muslimin harus bersih dari hukum jahiliyah; terkecuali terpaksa/terancam
jiwanya.

–Hukum Allah adil, selain hukum Allah tidak adil.

–Hukum Allah bersifat rahim bagi makhluk-Nya, seperti hukum qishash.


“Hai orang-arang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang
yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan
wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) mambayar
(diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu
maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan)
hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.” (Al-Baqarah: 178-179).

Sedangkan orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah seperti Allah firmankan di dalam
surat Al-Maaidah ayat 44, 45 dan 47 adalah sebagai berikut: Ibnu Abbas menafsirkan bahwa
barangsiapa yang menentang apa yang Allah turunkan maka dia kafir (keluar agama).
Barangsiapa yang mengakui hukum Allah tetapi tidak berhukum dengan hukum Allah maka ia
zhalim, fasiq (keluar dari jalan taat). Dan ia termasuk pula di dalam kufrun duna kufrin
(kekafiran di bawah derajat kekafiran yang sesungguhnya). [42]

Selanjutnya, tauhid mulkiyah yang mereka wujudkan dalam bentuk kerajaan Allah di
bumi/daulah Islam, tegasnya NKA-NII yang mereka yakini sebagai wadah, tujuan berjihad
menegakkan hukum yang di dalamnya para hakim dan penguasa dapat berfungsi dan berlugas
serta sebagai wadah untuk beribadah (mereka pun berhujjah bahwa sabilillah itu butuh
tempat/wadah; fi itu keterangan tempat, sehingga fi sabilillah maknanya untuk berjihad di jalan
Allah membutuhkan wadah yakni NII, selainnya adalah jalan thagut, Negara Thagut, Negara
kafir seperti RI). Oleh karena itu, perjuangan mereka sesungguhnya lebih menitik-beratkan
kepada siyasah, yakni bidang perpolitikan.

Sepanjang syariat Islam, urusan siyasah merupakan kajian fiqih, dalam hal ini siyasah syari’yah
dan hal itu merupakan persoalan furu’ (cabang) di dalam dien kita. Namun NII memasukkannya
ke dalam ushuluddin (tauhid mulkiyah). Kekeliruan ini, terjadi mengingat kebiasaan mereka
yang terjerumus ke dalam kehidupan tafarruq (perpecahan) bahwa apabila memiliki pemikiran
dan dianggapnya benar dan harus diperjuangkan, maka mereka berusaha mencari
pembenarannya dari ayat-ayat Allah. NII menjastifikasi ayat Maliki yaumiddin di dalam surat
Al-Fatihah dan Malikinnas di dalam surat An-Nas serta ayat 111 surat Al-Isra’ untuk mendukung
pemikiran politik-nya. Sampai-sampai tauhid ubudiyah hanya bisa dilaksanakan dan bernilai
apabila terbentuknya wadah lebih dahulu. Karena itulah, ibadah hanyalah ada di dalam NII, di
luar itu tidak ada (lihat kembali pemikiran SM Kartosoewirjo dan tokoh-tokoh generasi Ke-1, ke-
2, ke-3 tersebut di atas).

Untuk membahas lebih lanjut tentang kekuasaan dan pemerintahan (siyasah yang merupakan
furu’ di dalam dienul Islam dan dipandang ushuluddin oleh NII) insya Allah akan hadir
tulisannya.

~ Disalin dari buku ” NII Dalam Timbangan ‘Aqidah “. Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah
Suroso Abdussalam. Penerbit: Pustaka Al-Kautsar Cet. Pertama Juli 2000 ~

Sumber: umarabduh.blog.com
Artikel: Moslemsunnah.Wordpress.com
Footnote:

[40] Khawarij adalah firqah yang mengkafirkan orang-orang yang berdosa besar atau ahli
ma’siyat. Ia muncul pertama kalinya di masa khalifah Ali Radhiyallahu Anhu tahun 37 H.
mereka keluar dari barisan Ali Radhiyallahu Anhu dan mengangkat senjata kepada penguasa
yang sah. Berawal dengan memberontak dan membunuh khalifah Utsman bin Affan dan
kemudian membunuh khalifah Ali bin Abi Thalib Ridwanullahi Alaihim Ajma’in.

Khawarij (dari yang dahulu hingga hari ini) selalu mengibarkan firman Allah surat AlMaaidah:
44 “Barangsiapa memutuskan hukum tidak berdasarkan hukum Allah, maka merekalah orang-
orang kafir.” Maka Khalifah Ali mengatakan, kalimat itu haq (sebab firman Allah, pen), akan
tetapi yang dimaui adalah kebathilan (tafsir dan tujuan mempergunakan ayat Allah untuk
membenarkan pemikiran sendiri dan tindakan yang berdasar hawa nafsu, pen).

Orang pertama yang memunculkan pemikiran Khawarij adalah Dzul Khuwaishirah AtTamimi
dan telah berbuat kurang ajar melalui ucapannya kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa
Sallam. Dialah orang gunung yang enggan belajar (tafaqquh fiddien) kepada para ulama (para
ulama shahabat di masa itu), sehingga mereka beragama berdasarkan hawa nafsu dan ra’yunya
sendiri.

[41] Syaikh Said al-Qahthani.QadhiyatutTakfir Baina Ahlis Sunnah wa Firqatudhdhalal,


terjemahan Ja’far Umar Thalib, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993, hlm.82-85.

[42] Abdul Hakim Amir Abdat. Ta’lim Qairaidhusy Syar’a (Jakarta: Masjid At-Taubah).
Engine Plant TAM (Toyota Astra Motor), Qaidah 11, 26 Mei 1999.

Tafsir Ayat 1, 3 dan 4 Surat Al-fatihah, serta Ayat l, 2, dan 3 Surat An-nas Yang Haq.

Oleh sebab tauhid RMU (Rububiyah, Mulkiyah dan uluhiyah) menjadi inti aqidah pokok ajaran
NII yang didasarkan kepada ayat 1, 3, dan 4 surat AI-Fatihah dan ayat 1 , 2, dan 3 surat An-Nas,
maka kita perlu bertanya kepada para ulama, khususnya para mufasir, sebab merekalah orang
yang paling tahu tentang makna atau tafsir ayat-ayat Al-Qur’an dengan tafsir yang ma’tsur
(memiliki dasar penafsiran yang benar yakni ayat ditafsirkan dengan ayat, kemudian ditafsirkan
dengan hadits dan memperhatikan ijma’ shahabat). Selanjutnya, kita akan melihat, apakah NII
memahami dan meyakini akan tauhid RMU dengan dasar ayat-ayat seperti desebutkan di atas
telah benar atau menyimpang? Apabila diketahui bahwa pemahamannya menyimpang, maka kita
tidak dibenarkan mengikutinya, dan bagi yang telah meyakininya, maka ubahlah keyakinan itu,
segera beristighfar dan rujuk kepada dien yang hanif ini.

AI-Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa tafsir “Rabb” pada ayat Alhamdulillahirrabil
`alamin berarti pemilik yang berhakpenuh, juga berarti majikan, juga yang memelihara serta
menjamin ke-baikan kebaikan dan perbaikan semua makhluq alam semesta.

Alam adalah segala sesuatu selain Allah. Maka Allah Rabb dari semua alam itu sebagai pencipta,
yang memelihara, memperbaiki dan menjamin. Sebagaimana tersebut dalam surat Asy-Syu’ara:
23-24. Fir’aun bertanya, “Apakah Rabbul ‘Alamin itu?” Jawaban Musa, “Tuhan Pencipta,
Pemelihara, Penjamin langit dan bumi dan apa saja yang di antara keduanya, jika kalian mau
percaya dan yakin.” Alam itu juga pecahan kata dari alamat (tanda) sebab alam ini semua
menunjukkan dan membuktikan kepada orang yang memperhatikannya sebagai tanda adanya
Allah Rabb yang menjadikannya.[43]

Ar-Rabb artinya penguasa, yang mengatur segalanya. [44] Secara Khusus, semua sifat fi’il
(perbuatan) dan qudrah (kekuasaan) dan segala yang berkenaan dengan pengaturan alam
berhubungan erat dengan nama Ar-Rabb. Allah Azza wa Jalla adalah Rabb segala sesuatu.
Penciptanya dan Yang Maha Mampu untuk melaksanakan apa saja. Tidak ada sesuatu pun yang
keluar dari rububiyah-Nya. [45]

Ibnu Katsir menjelaskan tafsir Maliki yaumiddin adalah raja yang memiliki pembalasan. Dapat
dibaca: Maliki (raja) dan Maaliki (Pemilik yang memiliki). Maaliki sesuai dengan ayat:

“Sesungguhnya Kami mewarisi bumi dan semua orang-orang yang ada di atasnya, dan hanya
kepada Kamilah mereka dikembalikan.” (Maryam: 40).

“Katakanlah: ‘Aku berlindung kepada Tuhan manusia. Raja manusia’…” (An-Naas:1-2).

Perhatikan pula surat Al-Mukmin:116 dan Al-Furqan:26. Ad-Dien (pembalasan dan


perhitungan), sesuai dengan ayat, “Apakah sesungguhnya kita benar-benar (akan dibangkitkan)
untuk diberi pembalasan?” (Ash-Shafat: 53).

Rasullullah ShallallahuAlaihi wa Sallam bersabda, “Seorang yang sempurna akal adalah yang
mengadakan perhitungan pada dirinya dan beramal untuk bekal sesudah mati.”

Umar Radhiyallahu Anhu berkata, “Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab (diperhitungkan) dan
pertimbangan untuk dirimu sebelum kamu ditimbang dan siap-siaplah untuk menghadapi
perhitungan yang besar, menghadap kepada Rabb yang tidak tersembunyi bagi-Nya sedikitpun
amal perbuatanmu. Pada hari kiamat kelak kalian akan dihadapkan kepada Tuhan dan tidak
tersembunyi bagi-Nya sesuatu pun.” [46]

Al-Malik artinya raja atau penguasa. Penguasa atas segalanya. Dikhususkannya hari pembalasan
sebagai milik atau kekuasaan Allah Azza wa Jalla dalam surat ini, bukanlah berarti dunia tidak
termasuk milik Allah Azza wa Jalla. Sesungguhnya Allahlah yang menguasai hari dunia dan hari
pembalasan. Adapun pengkhususan di sini, karena pada hari pembalasan nanti, tidak ada seorang
pun yang akan mengaku-ngaku sebagai pemilik dan penguasanya. Juga, pada hari itu tidak ada
seorang pun yang berbicara, kecuali setelah mendapat ijin dari-Nya. [47]

Berdasarkan tafsir di atas tentang Rabb dan Malik (Rabbul ‘alamin, Rabbinas dan Malikinnas),
jelaslah sudah bahwa sekalipun di dunia ini manusia tidak melaksanakan aturan Allah dan
ketiadaan negara Islam, maka Allah tetaplah Rabbul ‘alamin dan Rabbunnas serta tetap pula
sebagai Maliki yaumiddin dan Malikinnaas. Allah Subhanahu wa Ta’ala dan syariat-Nya
tidaklah tergantung kepada makhluq. Hal itu bukan berarti kita tidak berusaha untuk
menegakkan syariat Islam dan daulah Islamiyah. Sekali-kali tidaklah demikian. Akan tetapi ayat-
ayat di dalam al-Fatihah dan An-Naas, tidaklah membahas tentang tauhid mulkiyah (dengan
makna kekuasaan dan pemerintahan/ hakimiyah) sebagaimana keyakinan NII. Akan tetapi Rabb,
Malik merupakan Asma Allah Azza wa Jalla diantara Asma Allah yang lainnya. Sehingga Al-
Fatihah dan An-Naas dengan ayat-ayat di atas membicarakan tentang tauhid Asma wa sifat.
Harap diperhatikan dengan seksama!

Ibnul Qayyim Aj-Jauziyah rahimahullah menyatakan bahwa surat al-Fatihah ini memuat
pokok-pokok dienul Islam secara global tapi sempurna. Ada tiga hal pokok yaitu:

1. Tauhid.

Melalui surat ini, Allah Azza wa Jalla mengenalkan diri kepada makhluq-makhluq-Nya dengan
lima nama, yaitu Allah, Ar-Rabb, Ar-Rahman, Ar Rahim dan Al-Malik. Nama Allah adalah
nama yang mewakili seluruh Al-Asma Al-Husna dan As-Sifat Al-Ulya (sifat yang tinggi). Nama
ini menunjukkan Ilahiyah-Nya. Sifat Ilahiyah adalah sifat kesempurnaan yang jauh dari tasybih
(penyerupaan), tamtsil (permisalan), kekurangan dan cacat.

2. Tentang Hari Akhir

Ayat “Maaliki yaumidin” menunjukkan bahwa setelah berakhirnya kehidupan di dunia ini, akan
ada pembalasan. Di sana hanya Allah-lah yang berkuasa dan akan menghakimi seluruh manusia
dengan keputusan yang paling adil. Keputusan berkenaan dengan pembalasan atas segala amal
yang telah diperbuat oleh manusia. Amal yang baik akan dibalas dengan kebaikan dan perbuatan
dosa akan dibalas dengan siksaan, kecuali bagi yang mendapatkan maghfirah (ampunan) dari-
Nya. (Taysir Al-Aliy Al-Qodir, 1/29).

3. Tentang Kenabian

Surat Al-Fatihah ini menetapkan kenabian dari berbagai arah (Taysir Al-Aliy Al-Qodir, 1/29-
30), di antaranya:

–Eksistensi Allah Azza wa Jalla sebagai Rabbul `Alamin. Maka, tidaklah pantas bagi Allah Azza
wa Jalla untuk membiarkan begitu saja hamba-hamba-Nya, tanpa memberi tahu hal-hal yang
bermanfaat bagi mereka di dunia dan di akhirat. Jika Allah Azza wa Jalla membiarkan mereka
tanpa mengutus nabi, tentu sifat rububiyyah tidak ada pada-Nya.

–Allah Azza wa Jalla adalah Al-Ma’buud (yang diibadahi). Hamba-hambanya tidak akan pernah
tahu bagaimana cara beribadah kepada-Nya, kecuali melalui para Rasul-Nya.

–Disebutkannya keberadaan hari pembalasan atas amal. Tentunya Allah Azza wa Jalla tidak
akan mengadzab seseorang pun jika belum menyampaikan hujjah melalui lisan para rasul-Nya.

–Terklasifikasinya hamba-hamba-Nya menjadi orang-orang yang diberi ni’mat dan orang-orang


yang sesat. Klasifikasi ini sangat berkaitan dengan tersampainya kebenaran. Sebagian hamba-
Nya bersedia mendengar dan mengamalkannya, sebagian yang lain mendengar, tetapi tidak mau
mengamalkannya, dan sebagian lagi beramal semaunya, tanpa mau mendengar kebenaran. Yang
pasti, kebenaran telah disampaikan oleh para Rasul Allah Azza wa Jalla.
Seluruh Asma’ul-Husna adalah perincian dari sifat ini. Nama Allah menunjukkan bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’a1a adalah Al-Ma’luh artinya yang diibadahi. Semua beribadah kepada-Nya
dengan penuh ketundukkan dan kecintaan dan pengagungan.[48]

Seorang yang membaca dan memahami makna surat ini, mau tidak mau dia telah meng-itsbatkan
(menetapkan) tiga jenis tauhid yakni rububiyah, uluhiyah dan asma wa sifat, ketika ia membaca
Al-hamdu lillahi rabbil `alamin. Berarti ia telah memuji Allah Azza wa Jalla, pujian yang
mencakup keagungan dan ketinggian sifat-sifat Allah Azza wa Jalla. Pujian yang berkenaan
dengan asma wa sifat tanpa ta’wil, tamtsil dan takyif (menanyakan bagaimana hal itu bisa
terjadi). Surat ini pun memuat beberapa asma yang semuanya menunjukkan sifat seperti tersebut
di atas.[49]

Adapun pembicaraan tentang kekuasaan dan pemerintahan sebuah Negara/ Daulah Islamiyah
merupakan kajian bidang fiqih yakni siyasah syar’ iyah, yang bukan di sini tempatnya untuk
membahasnya. Oleh karena itu, sekali lagi, jangan jadikan urusan ushul (pokok) menjadi furu’
(cabang) dan sebaliknya furu’ menjadi ushul. Tentu saja tidak akan normal jadinya. Sangatlah
lucu kalau rumah manusia menjadi terbalik yakni pondasinya di atas dan atapnya di bawah.
Menjadi aneh dan mengherankan bukan?

Apabila mereka (NII) menetapkan dan mengutamakan salah satu asma Allah yakni Al-Malik dan
disebutnya sebagai tauhid mulkiyah, maka seharusnya mereka konsekuen, sehingga akan muncul
tauhid Ar-rahmaniyah, Ar-rahimiyah, As-salamiyah dan seterusnya sebanyak Asma dan sifat
Allah Azza wa Jalla. Namun mereka tidak menetapkan demikian, sebab memang di dalam NII
asma wa sifat Allah tidak pernah dikaji. Sebab da’ wah dan misi mereka adalah siyasah (politik)
belaka bukan memperbaiki aqidah umat dan penyimpangan-penyimpangannya (bid’ah dan
tafarruq).

Jika di dalam berargumen secara lisan mereka sudah tak lagi memiliki hujjah dari Allah dan
Rasul-Nya, maka ra’yu mereka akan muncul sebagai berikut, “Ya, dulu kan masih ada
kekhilafahan, sehingga mulkiyah tidak lagi menjadi perhatian pokok untuk diperjuangkan
adanya, karena memang sudah ada.” Kepada mereka kitapun perlu mengingatkan, bukankah
antum tahu bahwa Rasullullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menanamkan akidah Islamiyah
secara luas, termasuk di dalamnya tauhid rububiyah, uluhiyah dan Asma wa sifat, selama kurang
lebih 12 tahun di Mekkah, sedangkan beliau belum memiliki kekuasaan dan pemerintahan
sebagaimana yang antum perjuangkan, tetapi mengapa Rasulullah dan para sahabatnya tidak
memprioritaskan siyasah? Ingatkah antum apa misi utama dan pertama adanya risalah Islamiyah
yang diemban setiap Nabi dan Rasulullah? Siyasahkah (menurut antum tauhid mulkiyah), atau
tauhid ubudiyah? Orang yang memperjuangkan siyasah sebagai prioritas utama, maka kalaupun
Allah taqdirkan ia berkuasa, maka jelas kekuasaan tersebut tidaklah berdasar dengan dasar yang
benar dan kuat yakni aqidah yang shahih, sehingga kekuasaan dan pemerintahan tersebut akan
mudah tumbang dan tak diridhai Allah, sebab jalan yang ditempuh tidaklah lurus (menyimpang
dari shirathal mustaqim/ sabilil mu’minin/sabilullah, lihat kembali Bab II di atas).

Muhammad Qutb menjawab persoalan, lewat manakah Islam akan tampil kembali memimpin
dunia, di dalam sebuah kuliah yang disampaikannya di Daarul Hadits, Makkah Al-Mukarramah.
Pertanyannya:
“Sebagian orang berpendapat bahwa Islam akan kembali tampil lewat kekuasaan, sebagian lagi
berpendapat bahwa Islam akan kembali dengan jalan meluruskan aqidah dan tarbiyah
(pendidikan) masyarakat. Manakah diantara dua pendapat ini yang benar?”

Beliau menjawab, “bagaimana Islam akan tampil berkuasa di bumi, jika para du’at belum
meluruskan aqidah umat, sehingga kaum Muslimin beriman secara benar dan diuji keteguhan
agama mereka, lalu mereka bersabar dan berjihad di jalan Allah. Bila berbagai hal itu telah dapat
diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, barulah agama Allah akan berkuasa dan hukum-
hukum-Nya diterapkan di persada bumi. Persoalan ini amat jelas sekali. Kekuasaan itu tidak
datang dari langit, tidak serta-merta turun dari langit. Memang benar, segala sesuatu datang dari
langit, tetapi melalui kesungguhan dan usaha manusia. Hal itulah yang diwajibkan Allah atas
manusia dengan firman-Nya:

“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang
leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan
sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti.
Demikianlah, apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah
hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain. Dan orang-orang yang gugur pada
jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.” (Muhammad:4).

Karena itu, kita mesti mulai dengan meluruskan aqidah, mendidik generasi berikut atas dasar
aqidah yang benar, sehingga terwujud suatu generasi yang tahan uji dan sabar oleh berbagai
cobaan, sebagaimana yang terjadi pada generasi awal Islam.[50]

Syaikh Shalih bin Said As-Suhaimi setelah menunjukkan fenomena da’wah yang bermunculkan
dan masing-masing hanya memperhatikan persoalan furu’. Masing-masing mereka memusatkan
perhatian bagi terwujudnya persatuan Islam dengan mengedepankan sisi politik, ada yang
mengedepankan sisi akhlak, ada juga pada sisi targhib dan tarhib (anjuran dan ancaman) serta
zuhud dan wara’ .

Maka kemudian setelah beliau menerangkan firman Allah Azza wa Jalla (surat Adz-Dzariyat:
56, Az-Zumar: 2 dan Al-Bayinan: 5), selanjutnya menyatakan, “kita mengatakan bahwa
Persatuan lslam harus di atas tauhid dan ketika kita menyeru wajibnya memulai darinya, maka
tidak berarti meremehkan sisi lain yang telah kami sebutkan sebagian daripadanya.” Adapun
yang dimaksud (dari pernyataan di atas) adalah wajib mendasarinya dengan memulai seluruh
amalan dari tolak ukur aqidah ini. Maka di atas sinar tauhid tersebut adanya politik. Di atas
manhaj tauhid tersebut terbangunnya adab-adab dan akhlaq-akhlaq. Pada batasan-batasan aqidah
tersebut diserukannya targhib dan tarhib serta di atas dasar tauhid inilah, dengan seizin Allah
Azza wa Jalla, terwujudnya masyarakat yang Islami, masyarakat yang baik dan kokoh. Dengan
aqidah itu pula akan terwujud kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Dan karena itu pula
manusia berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah lalu mereka diberikan nikmat yang
berwujud kebaikan, keamanan, ketentraman yang mencocoki aqidah murni yang naungannya
terbentang luas. Akhirnya mereka terlepas dari kotoran-kotoran berhalaisme dan kebodohan-
kebodohan.[51]
Berdasarkan paparan di atas, jelas bagi kita bahwa kekeliruan NII yang memprioritaskan furu’
(siyasah) di dalam da’wah dan perjuangannya. Sedangkan yang benar adalah memprioritaskan
ushul (tauhid/aqidah) dalam da’wah dan perjuangan Islam meraih izzah, berdasarkan nash yang
kita ketahui dari Al-Kitab dan As-Sunnah.

Kandungan Tauhid Uluhiyyah Menurut Manhaj yang Haq

Sekarang saatnya kita meluruskan pandangan dan keyakinan NII mengenai isi tauhid Uluhiyyah.
Di atas pun telah diuraikan tentang misi utama dan pertama hingga misi terakhir keberadaan
manusia adalah menda’wahkan tauhid uluhiyyah atau tauhid ubudiyah (Laa ilah illallah).

Ahli Sunnah wal Jama’ah berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah menetapkan bahwa Laa ilaha
illallah bermakna Laa ma’buda bihaqqin illallah (tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan
benar melainkan Allah).[52] Khabar “La” harus ditakdirkan dengan haq (yang hak), tidak boleh
ditakdirkan dengan maujud (ada). Karena itu menyalahi kenyataan yang ada, sebab tuhan yang
disembah selain Allah banyak sekali. Hal itu akan berarti bahwa menyembah tuhan-tuhan
tersebut adalah ibadah pula untuk Allah. Ini tentu kebathilan yang nyata. [53]

Sekarang tahulah kita bahwa tafsir Laa ilaha illallah yang terdiri atas empat “Laa” yang
dikembangkan NII tidaklah benar. Dan secara terperinci para ulama pun telah menjelaskan
bahwa ibadah yang hanya kepada Allah-lah kita tujukan memiliki pengertian yang lengkap yakni
sebutan yang mencakup seluruh yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik
berupa ucapan atau perbuatan, yang dzahir maupun yang bathin. Ibadah itu terbagi menjadi
ibadah hati, lisan dan anggota badan. Ibadah hati meliputi rasa takut (khauf), mengharap (raja),
cinta (mahabbah), ketergantungan (tawakkal), senang (raghbah), takut (rahbah). Ibadah ini
disebut pula ibadah qalbiyah. Dan ibadah lisan dan hati meliputi; tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan
syukur. Sedangkan ibadah badaniyah meliputi; shalat, zakat, haji, jihad (ibadah badaniyah
qalbiyah). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan hati, lisan dan
badan. Seperti; amar ma’ruf nahi munkar, berbuat baik kepada kerabat, anak yatim, orang
miskin, ibnu sabil, inabah (kembali) kepada Allah, ikhlas kepada-Nya, sabar terhadap hukum-
Nya, ridha dengan qadha-Nya.

Jadi, ibadah mencakup seluruh tingkah laku seorang Muslim jika diniatkan qurbah (mendekatkan
diri kepada Allah) atau apa-apa yang membantu qurbah, Bahkan adat kebiasaan (yang mubah)
pun bernilai ibadahjika diniatkan sebagai bekal taat kepada-Nya. Seperti; tidur, makan, minum,
jual beli, bekerja mencari nafkah, nikah dan sebagainya. Berbagai kebiasaan tersebut jika disertai
niat baik (benar) maka menjadi bernilai ibadah yang berhak mendapatkan pahala. Oleh karena
itu, ibadah itu tidaklah terbatas hanya kepada syi’ar-syi’ar yang biasa dikena1.[54]

Berdasarkan penjelasan di atas, maka kita mengetahui bahwasanya kandungan La ma’buda


bihaqqin illallah sangatlah luas. Dan berdasarkan hal itu pula semakin terlihat dengan jelas
kedangkalan dan kekeliruan tafsir La ilaha illallah oleh NII. Selain itu pula, Syaikh Fauzan telah
menunjukkan kebathilan tafsir Laa ilah illallah di bawah ini:
1 . Laa ilaha ilallah artinya tidak ada sesembahan kecuali Allah. Ini adalah bathil karena
maknanya. Sesungguhnya setiap yang disembah, baik yang haq maupun yang bathil, itu adalah
Allah.

2. La ilaha ilallah artinya tidak ada pencipta selain Allah. Ini adalah sebagian dari arti kalimat
tersebut. Akan tetapi bukan ini yang dimaksud, karena arti ini hanya mengakui tauhid
rububiyyah saja, dan itu belum cukup.

3. Laa ilaha ilallah artinya tidak ada hakim (penentu hukum) selain Allah. Ini juga sebagian dari
makna Laa ilah ilallah. Tapi bukan itu yang dimaksud, karena makna tersebut belum cukup.
Semua tafsiran tersebut adalah bathil atau kurang. Kami peringatkan di sini karena tafsir-tafsir
itu ada dalam kitab-kitab yang banyak beredar. Sedangkan tafsir yang benar menurut salaf dan
para muhaqqiq (ulama peneliti) Laa ma’buda bihaqqin ilallah (tidak ada sesembahan yang haq
selain Allah) seperti tesebut di atas. [55]

Tauhid ubudiyyah/uluhiyah yang merupakan inti da’wah Al-Anbiya wal mursalin dan juga
sebagai maksud dan tujuan serta misi keberadaan jin dan manusia harus dipahami dan diyakini
dengan sepenuh-penuh kemampuan; rukun dan syarat-syaratnya harus dipenuhi.

Secara ijmal dapat disebutkan bahwa berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah, para ulama Ahli
Sunnah wal Jama’ah telah meng-istimbat hukum, yakni syarat tersebut meliputi: ilmu yang
menafikan jahl (kebodohan); yakin yang menafikan syak (keraguan); qabul (menerima) yang
menafikan radd (menolak); inqiyad (patuh) yang menafikan tark (meninggalkan); Ikhlas
(mengesakan Allah) yang menafikan syirik (menyekutukan Allah); Shidq (jujur) yang menafikan
kadzib (dusta) dan mahabbah (kecintaan) yang menafikan baghda (kebencian). Adapun rukun
Laa ilaha ilallah adalah An-Nafyu atau peniadaan, Laa ilaha, membatalkan syirik dengan segala
bentuknya dan mewajibkan kekafiran terhadap segala apa yang disembah selain Allah dan al-
Itsbat (penetapan) illallah menetapkan bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan
mewajibkan pengamalan sesuai dengan konsekuensinya. [56]

Selanjutnya, NII tidak membicarakan tentang tauhid asma wa sifat, terkecuali hanya membahas
tentang Al-Malik. Hal itu pun salah di dalam menafsirkannya hingga sampai tahap
mengkhususkannya dari asma dan sifat Allah yang lainnya, sehingga ia (NII) menetapkan
adanya tauhid mulkiyah. Mengenai asma dan sifat Allah, NII tidak membahasnya dan juga tidak
menyatakan menolak (ta’thil) ataupun menyerahkan maknanya kepada Allah (tafwidh). Yang
jelas, tauhid asma wa sifat tidaklah dikenal di kalangan NII. Mereka hanya mengenal tauhid
mulkiyah dan ini yang pokok, sedangkan tauhid rububiyah dan uluhiyah sebagaimana telah
dibahas di muka. Dengan demikian, NII tidak memiliki ilmu (pemahaman) tentang Tauhid Asma
wa Sifat Allah Azza wa Jalla. Lalu bagaimana mungkin dapat mengklaim diri sebagai Mu’min
yang sejati yang senantiasa (telah) berhijrah dan berjihad di jalan Allah untuk menegakkan
syariat Islam?

Sesungguhnya masih banyak yang dapat kita telaah mengenai ajaran NII, khususnya aqidahnya,
namun dengan maksud agar mencukupi secara singkat di dalam buku kecil ini, maka telaah di
atas sudah dipandang cukup menggambarkan aqidah NII yang menyimpang itu.
~ Disalin dari buku ” NII Dalam Timbangan ‘Aqidah “. Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah
Suroso Abdussalam. Penerbit: Pustaka Al-Kautsar Cet. Pertama Juli 2000 ~

Sumber: umarabduh.blog.com
Artikel: Moslemsunnah.Wordpress.com

Footnote:

[43] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir I, Tafsir Al-Fatihah.

[44] Muhammad Nasib Ar-Rifa’i Taysiral-Aliyil Qadir. I/12.

[45] Abdul Mun’im bin shalih Al-Aliy Al-aziz. Tadzhib Madarijus Salikin, I/58.

[46] Imam Ibnu Katsir, Op. Cit..I/24-25.

[47] Muhammad Nasib ar-Rifa’i.Op.Cit. I/ l4.

[48] As-Syaukani, Fathul qadir. I/14; Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Op. Cit. I/6; Abdul Mun’im
bin Shalih Al-Aliy Aziz, Op Cit. I/75.

[49] Muhammad Nasib ar-Rifa’i. Ibid. I/47.

[50] Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Op Cit. Hal. 74-75.

[51] Shalih bin Sa’id As-Suhaimi, Manhaj As-Salaffi al-Aqidah wa Atsaruhufi Wihdatil Al-
Muslimin, terjemahan AbdumahmanT.D. (Surakarta:Yayasan Al-Madinah), 1997, h1m.17-18.

[52] Abdul Aziz bin Muhammad Alu AbduI Lathif, Muqarraut Tauhid Kitab Ta’limi Lil
Mubtadiin, terjemahan Ainul Haris UmarArifin Thayib (Jakarta: Yayasan As-Sofwa), 1999. hlm.
15-16. Lihat pula seluruh kitab tauhid dari buah karya para ulama Ahlu Sun nah wal Jama’ah.

[53] Shaleh bin Fauzan Abdullah Al-Fauzan, Op.Cit.. hlm. 52.

[54] Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan. Ibid. hlm. 69-71, lihat pula kitab-kitab para
ulama yang membahas tentang ubudiyah.

[55] Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Ibid. hlm. 52-53.

[56] Ibid. hlm. 56 dan 53. Baca pula Ad-durus Al-Muhimmah Li ‘Aammatil Ummah (Al-
Allamah Abdul aziz Abdullah bin Baz); Minhajul Firqah An-Najiyah wat Thaifah AlManshurah
(Muhammad bin Jamil Zainu), dan lain-lain kitab para ulama.

Oleh: Ustadz Abu Hudzaifah Suroso Abdussalam


Bab IV
FAKTOR PENYEBAB PENYIMPANGAN

Di dalam Bab III telah diuraikan bahwa terdapat beberapa hal penyimpangan aqidah yang
dilakukan oleh NII diantara sekian banyak penyimpangan ialah sebagai berikut:

1. Mencampur-adukkan makna tauhid rububiyyah dengan tauhid mulkiyah.

2. Keliru dalam menafsirkan tauhid uluhiyah Laa ilaha ilallah.

3. Di dalam menafsirkan Laa ilaha ilallah, terpengaruh oleh Jabariyah yang sesat itu (salah satu
firqah sesat yang telah lama ada).

4. Pemyempitan makna tauhid rububiyah, terfokus kepada hukum/hakimiyah.

5. Hukum Islam yang dipahami dan diyakini untuk diperjuangkan terfokus kepada jinayat
(terutama dari generasi ke-3 NII).

6. Mengklaim bahwa hanya NII yang telah berhukum Islam, sehingga akibat tidak memahami
firman Allah (Al-Maai-dah:44, 45 dan 47), berakibat melakukan takfir (mengkafirkan Muslim
lain yang belum/tidak masuk NII), sebagaimana firqah Khawarij.

7. Perjuangan NII lebih memprioritaskan politik (siyasah), sehingga berlakunya hukum, ibadah
dan akhlak serta mu’amalah yang benar hanyalah ada di dalam mulkiyah (NII). Inilah siyasah
yang non syar’iyah.

8. Mulkiyah menjadi kriteria pertama dan terakhir bagi iman dan kafimya seseorang. Sehingga
orang yang belum hijrah (ditandai dengan iqrar Syahadatain dan bai’at) ke NII dari negeri kafir,
seperti RI, belumlah dianggap Muslim dan Mukmin. Seterusnya apabila tidak aktif lagi di dalam
NII dianggap telah murtad, zhalim, munafik dan sebutan sejenisnya yang tentu saja menggelikan.

9. Tauhid asma wa sifat tidak dihiraukan, dan tidak pula diadakan, mereka menyerahkan saja
maknanya kepada Allah. NII tidak memiliki pemahaman yang jelas di dalam tauhid jenis ini.

10. Sistematika tauhid menurut NII adalah RMU (Rububiyah, Mulkiyah dan Uluhiyyah)
bertentangan dengan sistematika tauhid yang haq yakni rububiyah, uluhiyah dan asma wa sifat.

11. Menjadikan urusan furu’ (siyasah) menjadi ushul (tauhid mulkiyah).

Penyimpangan-penyimpangan di atas terjadi di dalam tubuh NII disebabkan banyak


faktor, diantaranya yang pokok adalah sebagai berikut:

1. Kurang mengerti tentang aqidah shahihah (yang benar). Hal ini menjadi sangat wajar terjadi,
karena ketiadaan ulama di kalangan mereka yang dapat membimbing mereka, apalagi kibarul
ulama, mereka tak memilikinya. Dan lebih dari itu, karena mendapati dirinya berada dalam
kebenaran dan selain mereka berada dalam kebathilan, maka engganlah mereka untuk bergaul
dan belajar ke pihak lain, bahkan menuduh para ulama sebagai ulama suu’. Akibat lebih lanjut,
mereka meyakini yang haq sebagai bathil dan yang bathil sebagai haq.

2. Ta’ashub (fanatik) kepada pimpinan atau atasan mereka. Benar atau salah apabila datangnya
dari atasan, maka doktrin yang ada menyatakan harus sami ‘na wa atha’na (kami dengar dan
kami taat). Sebaliknya, apabila seruan/nasehat datangnya bukan dari atasan, apalagi dari luar
kalangan mereka, maka, siapa pun yang menyampaikan, akan ditolaknya. Dari sikap demikian,
melahirkan sikap taklid buta.

3. Hilangnya manhaj di dalam ber-dienul Islam. Mereka tidak menempuh manhaj yang hak,
yakni manhaj shahabat. Dimulai dari hilangnya manhaj talaqi (manhaj dalam menuntut ilmu)
hingga manhaj ber-dien secara keseluruhan. Menarik apa yang disebutkan oleh DR. Nashir
Abdul Karim, “Lemah di dalam berpegang kepada manhaj menuntut ilmu Ad-Dien. Maksudnya,
banyak orang memiliki ilmu pengetahuan, banyak menelaah kitab (apalagi tak pernah mengaji
kitab, pen.), tetapi dia tidak tahu atau bahkan kosong dari manhaj mencari ilmu Ad-Dien.
Padahal di dalam mempelajari dienul Islam ada manhaj yang diwariskan sejak zaman Nabi
Muhammad shallallahu alaihi wa Sallam. zaman shahabat dan tabi’in dan zaman Imam-imam
salaf yang kemudian diikuti oleh Aimmatul Huda (imam-imam petunjuk) sampai hari ini.
Manhaj ini sebenarnya adalah ilmu, amal, ihtida (pengambilan petunjuk) iqtida (keteladanan),
suluk dan mu’amalah. Yakni bahwa mempelajari kaidah-kaidah syar’iyah serta prinsip-prinsip
umum itu harus lebih banyak dibanding dengan sekedar mempelajari cabang-cabang (far’iyah)
hukum atau sekedar berbanyak-banyakkan menguasai nash-nash.[57]

Sesungguhnya dengan mengetahui buku-buku karangan orang-orang NII, seperti telah


disebutkan pada Bab III di atas, dan apabila kita mengikuti pelajaran-pelajaran di dalamnya serta
bergaul dengan mereka sampai kita menjadi bagian dari mereka kemudian kita aktif sebagai
penyeru kepada kaum Muslimin untuk masuk NII, menjadi warga NII, selanjutnya kita pun
menjadi pimpinan atau pejabat di lingkungan NII hingga dapat berkomunikasi dan berjumpa
dengan tokoh-tokoh atau pimpinan tua (generasi pertama NII). Baik di dalam forum formal
maupum non formal, dan jika kita benar-benar sebagai seorang pencari Al-haq, maka tentu akan
membenarkan apa yang diutarakan para ulama berikut ini yang penulis ketahui terjadi di dalam
NII, di antaranya:

“Diantara gejala lepasnya umat dalam berpegang kepada manhaj talaqqi (penerimaan ilmu) yang
dimaksud adalah:

3.1. Pengambilan ilmu tidak kepada ahlinya. Yang penulis maksudkan, kebanyakan orang
mengambil ilmu dari setiap orang yang menghimbau mereka untuk belajar, dari setiap orang
yang mengibarkan bendera da’ wah dengan menyeru, “Akulah sang da’ i”. Mereka jadikan da’i
tersebut sebagai sang Imam Ad-Dien dan mereka pun menimba ilmu darinya, padahal ia tidak
paham Islam sama sekali. Akhimya mereka berfatwa tanpa ilmu. Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut suatu ilmu setelah diberikannya kepadamu sekaligus,
tetapi Allah akan mencabutnya dari manusia dengan cara mematikan ulama berserta ilmunya.
Maka tersisalah orang-orang jahil. Jika mereka meminta fatwa maka mereka memberi fatwa
menurut pendapat mereka, maka mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari, Muslim, dan
selain dari keduanya dari hadits Abdullah bin ‘Amr bin Ash, ini lafadz bagi Bukhari)

3.2. Umat Islam putus hubungan dengan ulama dan Imam. Maksudnya sebagian pengajar, du’at
dan pemuda terlepas hubungannya dengan ulama. Mereka merasa cukup dengan mengambil ilmu
(Islam) dari kitab, kaset, majalah dan media-media lainnya. Mereka enggan menimba ilmu dari
ulama. Kita lihat mereka (Khawarij dan Syi’ah)[58] lepas dan menyingki rdari shahabat,
meremehkan para shahabat (bahkan mengkafirkannya, pen.), enggannya mereka mengambil ilmu
dari shahabat dan justru belajar secara otodidak[59] atau belajar dari kalangan mereka sendiri.
Kemudian mereka mengatakan, “Kami telah memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah, kami tidak
butuh orang lain.”

3.3. Adanya para pengajar dan para da’ i yang merendahkan dan meremehkan para ulama,
bahkan merasa lebih unggul dari mereka. Ini merupakan gejala aneh yang disayangkan sekali.
Kita bisa melihat contohnya. Ini benar-benar perkara meresahkan yang harus segera dibenahi.

3.4. Adanya para pemuda dan remaja yang berguru kepada sesama mereka atau kepada para
pelajar yang tidak lebih pandai dari mereka. Maksudnya belajar sepenuhnya kepada mereka
dengan meninggalkan orang-orang tua yang pandai, bahkan memutuskan hubungan dengan
mereka. Penulis tidak bermaksud untuk mengatakan tidak boleh menuntut ilmu kepada pelajar
mana pun. Bahkan apabila ada seorang pelajar yang sukses dalam bidang syari’ah dan dia adalah
seorang yang shalih, belajarlah kepadanya. Tetapi tidak berarti hanya cukup belajar darinya dan
berpaling dari yang lebih tahu atau meninggalkan ulama-ulama yang mumpuni, hal itu bisa
menyebabkan timbulnya penyimpangan, yaitu bilamana hanya merasa cukup dengan mengambil
ilmu, keteladanan, da’wah, cara hidup dan petunjuknya dari sesama pencari ilmu di atas dan
berpaling dari ulama yang lebih luhur, lebih besar dan lebih alim, benar-benar jalan yang
berbahaya. Hal ini merupakan ciri-ciri ahli perpecahan dan ahli ahwa.

3.5. Menuduh ittiba’ sebagai taklid, padahal keduanya memiliki perbedaan makna yang jauh
sekali, berbeda pula dengan ihtida’ (mengambil petunjuk). Taklid adalah bathil.[60] Ittiba’ wajib
secara syar’i. Umumnya orang Islam bahkan pelajar tidak bisa melakukan ijtihad, lantas dari
siapa mereka mempelajari Ad-Dien? Bagaimana mereka bisa mengambil pokok-pokok
penerimaan ilmu, manhaj As-Sunnah, manhaj Salafus Shalih dan manhaj para imam? Juga salah
satu gejala yang berbahaya adalah menganggap ulama kepada yang bukan ulama.

3.6. Adanya keterbatasan pemahaman mengenai fiqih ikhtilaf. Maksudnya pemahaman akan apa
penyebabnya, khilaf mana yang boleh dan tidak boleh, dan apabila ada penyimpangan, kapan
bisa dimaafkan dan kapan tidak? Apa yang boleh kita katakan tentangnya? Kapan kita boleh
mengatakan kafir dan kapan kita menyebutnya fasik? Bagaimana hukumnya bagi mukhalif?

3.7. Keterlaluan dan berlebih-lebihan dalam melaksanakan Ad-Dien juga sebagai sebab paling
besar bagi timbulnya perpecahan.

3.8. Terperangkap bid’ah. [61]


Setelah diketahui penyimpangan yang terjadi di dalam tubuh NII dan faktor penyebabnya, maka
kini disampaikan jalan keluar yang dapat dilakukan bagi orang-orang NII yang benar-benar
menginginkan Al-Haq. Jalan keluar tersebut ada dua hal yakni secara umum dalam bentuk
berpegang-teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan manhaj salafush shalih. Bukan
berpegang teguh kepada keduanya dengan manhaj kelompoknya, yakni manhaj Khawarij
ataupun manhaj lainnya yang menyimpang. Mari kita ikuti dialog pakar hadits abad ke XV ini,
yakni Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dengan Ustadz Abdul Halim
Abu Syuqqah, penulis kitab Tahrirul Mar’ah fi Ashrir Risalah, sebagai berikut:

Syaikh Al-Albani berkata, “Jika engkau ditanya, apakah madzhabmu (jalanmu di dalam
beragama), maka apa yang akan engkau katakan?”

Dia (Ustadz Abdul Halim) berkata, “Muslim.”

Syaikh berkata, “Itu tidak cukup.”

Dia berkata, “Allah telah menamai kita Muslimin. Allah berfirman,” (Al-Haj: 78)

Syaikh berkata, “Jawaban itu benar seandainya kita berada di zaman yang pertama sebelum
tersebarnya firqah-firqah (golongan-golongan). Seandainya kita sekarang bertanya kepada
seorang Muslim mana saja dari firqah-firqah tersebut, maka semuanya –baik orang itu Syi’ ah
Rafidhah, Khawarij, Duruz, Nushairiyah Al-Alawiyah– [62] akan menjawab, ‘Saya Muslim.’
Kalau demikian, di zaman ini jawaban tersebut tidak cukup.”

Dia berkata, “Kalau begitu aku akan mengatakan, Saya Muslim berdasarkan Al-Kitab dan As-
Sunnah.”

Syaikh berkata, “Jawaban itu juga tidak cukup.”

Dia berkata, “Mengapa?”

Syaikh berkata, “Apakah engkau mendapati seorang pun dari mereka (firqah-firqah tadi) yang
kita buat contoh, yang mengatakan, Saya seorang Muslim tidak berdasarkan Al-Kitab dan As-
Sunnah? Kalau begitu, siapakah orang yang akan mengatakan, Saya berdasarkan Al-Kitab dan
As-Sunnah.” kemudian Syaikh Al-Bani menjelaskan tentang urgensi mengikuti Al-Kitab dan
Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih.

Dia berkata, “Saya seorang Muslim berdasarkan Al-Kitab dan Sunnah dengan pemahaman
Salafush Shalih.”

Syaikh berkata, “Apabila ada orang yang bertanya kepadamu tentang madzhabmu maka apakah
engkau mengatakan itu kepadanya?”

Dia berkata, “Ya”


Syaikh berkata, “Bagaimana pendapatmu jika kita ringkaskan bahasanya, karena sebaik-baik
perkataan adalah yang sedikit dan jelas, maka kita mengatakan: Salafi.”

Dia berkata, “Saya telah berbasa-basi terhadap Anda dan sekarang saya mengatakan kepada
Anda, ‘Ya’, akan tetapi keyakinanku adalah apa yang telah terdahulu. Karena tatkala seseorang
telah rnendengar bahwa anda adalah salafi, pertama kali fikirannya melayang kepada perkara
yang bermacam-macam, yang berupa tindakan-tindakan yang keras bahkan kasar, yang sering
terjadi dari Salafiyin.”

Syaikh berkata, “Taruhlah perkataanmu benar, tetapi apabila engkau mengatakan, Muslim,
tidakkah dia (orang yang mendengarmu, fikiranya, Pen.) akan melayang kepada orang Syi’ah
Rafidhah, Duruz, Isma’iliyah[63] dan lainnya?”

Dia berkata, “Mungkin juga, tetapi saya telah mengikuti ayat yang mulia, Al-Hajj 78.”

Syaikh berkata, “Tidak wahai saudaraku! Sesungguhnya engkau tidak mengikuti ayat tersebut,
karena yang dimaksud ayat tersebut adalah Islam yang shahih (Muslim dengan, Pen.), sepatutnya
manusia itu diajak berbicara sesuai dengan ukuran akal mereka. Apakah ada seorang pun yang
memahamimu bahwa engkau adalah seorang Muslim dalam arti yang dimaksudkan di dalam ayat
itu?”

Sedangkan kekhawatiran-kekhawatiran yang telah engkau sebutkan tadi bisa jadi benar atau
tidak benar, karena perkataanmu tadi (bahwa ada tindakan-tindakan keras), bisa jadi ada pada
sebagian individu-individu dan bukan sebagai manhaj aqidah ilmiah (jalan yang diyakini
menjadi ilmu). Maka tinggalkan orang perorang, (karena kita sedang membicarakan manhaj
[jalan/metode] yang harus ditempuh). Karena sesungguhnya apabila kita mengatakan, “Orang
Syiah, orang Duruz, orang Khawarij, orang Sufi atau mu’tazilah (tentu) akan ada juga
kekhawatiran-kekhawatiran yang telah engkau sebutkan tadi.

Kalau begitu, itu bukanlah topik pembicaraan kita, tetapi kita sedang membahas tentang nama
yang menunjukkan madzhab seseorang yang dia beragama kepada Allah dengan madzhab itu,
“Kemudian Syaikh bertanya, ‘Bukankah para shahabat semuanya Muslimin?’…”

Dia berkata, “Tentu.”

Syaikh berkata, “Akan tetapi di kalangan mereka ada yang mencuri dan berzina. Tetapi hal itu
tidak membolehkan seorang pun mengatakan, “Saya bukan seorang Muslim,” bahkan dia adalah
seorang Muslim dan Mukmin kepada Allah dan Rasul-Nya sebagai manhaj (jalan yang
ditempuh), akan tetapi dia terkadang menyelisihi manhaj-nya, karena memang dia tidak
ma’shum (terjaga dari kesalahan). Oleh karena itulah, kita sekarang –mudah-mudahan Allah
memberkati– sedang membicarakan satu kata yang menunjukkan aqidah kita, pemikiran kita,
dan tempat berpijak kita di dalam kehidupan kita yang berkaitan dengan perkara-perkara agama
kita yang dengannya kita beribadah kepada Allah. Adapun ‘si pulan berlebih-lebihan’ atau ‘dia
meremehkan’, maka itu urusan lain. Kemudian Syaikh berkata, “Saya menginginkan supaya
engkau berpikir tentang kata ringkas ini, sehingga engkau tidak terus menerus (mencukupkan)
dengan kata Muslim (saja), sedangkan engkau mengetahui bahwa tidak akan didapatkan seorang
pun yang memahami apa yang engkau kehendaki selama-lamanya. Kalau demikian, maka
ajaklah bicara orang-orang itu sesuai dengan ukuran akal mereka. Mudah-mudahan Allah
memberkatimu atas sambutanmu.” [64]

Dari dialog di atas, jelaslah bagi kita bahwa kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah (sebgaimana
pula yang dikehendaki NII) belumlah dianggap cukup. Sebab kenyataan yang ada, tiap-tiap
kelompok umat Islam menyatakan hal yang sama, dengan memahami keduanya sesuai dengan
kebijakan kelompok atau pribadi para pimpinan dan du’at-nya. Sehingga Al-Qur’ an dan As-
Sunnah tidak dapat dipahami sebagaimana seharusnya. Oleh karena itu, agar dapat memahami
dua wahyu Allah tersebut dengan benar, sehingga kita beragama juga menjadi benar, maka
bermanhaj Salafus Shalih menuntut kita untuk rujuk kepada manhaj tersebut (lihat kembali Bab
II).

Selanjutnya, secara khusus agar NII dapat keluar dari penyimpangannya maka ia harus
melakukan hal-hal berikut ini:

1. Tafaqquh fid-dien dengan mengambilnya dari ulama dengan melalui manhaj talaqqi yang
shahih. Sebagai contoh hasil dari tafaqquh fid-dien, maka kita tidak akan mudah mengkafirkan
orang, apabila melihat orang atau lembaga tertentu melakukan perbuatan kekufuran. Sebab
manhaj Ahli Sunnah wal Jama’ ah menetapkan bahwa perbuatan kekafiran tetap harus kita
katakan bahwa itu adalah kekufuran (fi’ilnya), akan tetapi kepada pelakunya (fa’il), harus dilihat
dahulu, apa penyebabnya orang tersebut/lembaga tertentu melakukan perbuatan kufur, apakah
karena kejahilan (dan hal ini memang sebenarnya yang terjadi yang dialami kaum Muslimin).
Kalau demikian, maka harus dilakukan langkah-langkah berikut ini:

Pertama, berikan hujjah (penjelasan dengan ilmiah, jelaskan syariat Islam yang sejalan dengan
dua wahyu Allah).

Kedua, apabila mereka belum juga.jelas membedakan mana yang hak dan mana yang bathil,
maka usahakan dengan pendekatan dan cara lainnya agar mereka menjadi jelas. Apabila telah
jelas, selanjutnya kita minta mereka untuk menyadari perilakunya yang salah dan
membimbingnya untuk meninggalkannya dan beristighfar serta kembali ke jalan yang benar.

Ketiga, apabila mereka tidak mau juga meninggalkan kebathilan, maka perlu dipelajari lebih
lanjut, mengapa? Apakah ada faktor-faktor penghambatnya, misalnya akal mereka belum
sampai, atau berkurang atau hilang, atau adanya ancaman terhadap jiwa mereka dan lain-lain
yang menyebabkan mereka terbebas dari hukum.

Keempat, apabila penghambat tidak ada dan mereka tidak bersedia meninggalkan
kebathilan, padahal telah mengetahuinya serta enggan bertaubat, maka hakim (para ulama) dapat
saja melakukan vonis bahwa mereka itu demikian dan demikian.

Keempat langkah di atas harus ditempuh, agar kita tidak mudah mengkafirkan orang, padahal,
hal itu adalah hak Allah Subahanahu wa Ta’ala. Akankah kita menyerobot hak Allah atau
bertindak sebagai Rabb tandingan, padahal pada saat bersamaan kita meneriakkan berhukum
kepada hukum Allah?
2. Bergaullah dengan ahli ilmu dan para penuntut ilmu lainnya, jangan hanya bergaul dengan
orang-orang sekelompoknya (diklaim sebagai ikhwannya), sedangkan Muslim lain tidak
dianggap sebagai ikhwannya, karena memang telah dituduh kafir. Dengan bergaul dengan ahli
ilmu dan para penuntut ilmu syar’i, maka fanatik dan taqlid buta kepada pimpinan akan
berkurang sedikit demi sedikit, insyaAllah.

3. Hati-hati dan waspada terhadap sikap meremehkan ulama atau menyimpang dari mereka
dengan segala bentuknya yang dapat mendatangkan fitnah atau perpecahan yang selama ini
berjalan.

4. Janganlah mengekspresikan semangat yang meluap-luap untuk berda’wah dengan makna


khusus (mengajar, berceramah dan sejenisnya) hingga sampai kepadanya ilmu Ad-Dien,
mengamalkannya, sabar dan baru berda’wah. Jika hanya bermodalkan sema-ngat saja, maka
akan lebih banyak membuat kerusakan di dalam Islam ini, dibanding dengan manfaatnya.
Sungguh umat yang kebanyakan awam tentang diennya, justru semakin dirusak oleh para
penyeru yang jahil dan berfatwa tanpa ilmu (lihat kembali tafsir Rasulullah atas firman Allah
surat Al-An’am:l 53 di dalam Bab II di atas).

5. Jagalah keutuhan persatuan umat atas dasar aqidah yang shahih, bukan atas aqidah yang
dipahami kelompok masing-masing. Tanpa aqidah yang shahih, maka semangat menyerukan
persatuan dan ukhuwah Islamiyah menjadi tak akan terwujud, yang justru terwujud adalah
firqah-firqah. Dan juga bukannya bersatu namanya, apabila dapat berkumpul (intima’) di dalam
satu wadah kemudian saling mengikatkan diri dan mengangkat seseorang sebagai pimpinan
(koordinatorlah, Imamlah dan sebutan lainnya) melalui bai’at, padahal aqidahnya masih belum
lurus.

6. Nashir bin Abdul Karim menjelaskan, “Barangsiapa yang ingin berpegang kepada Ahli
Sunnah wal Jama’ah dan ingin selamat dari iftiraq, insya Allah dia harus meng-iltizami (setia
mengikuti) ahli ilmu dan meng-iltizami kaum shalihin dari kalangan ahli taqwa, ahli kebaikan
dan ahli istiqamah. Mereka adalah orang-orang yang tidak mencelakakan teman duduknya dan
tidak menyesatkan kawan-kawannya. Barangsiapa yang menginginkan bau surga maka iltizam-
lah terhadap jama’ah karena jama’ah adalah apa yang ada pada Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi wa Sallam beserta sahabatnya. Dan untuk menanggulangi terjadinya firqah, kita harus
menjauhi hizbiyah (partai-partai fanatik terhadap golongan) sekalipun untuk maksud da’wah.

Demikian juga harus menjauhi fanatisme golongan apapun bentuk dan sumbernya karena hal itu
merupakan benih-benih firqah (perpecahan). Kemudian memberi nasehat kepada penguasa
urusan umat (yang de facto dan de jure, pen.), yang baik maupun yang fajir, dan tak lupa
memberi nasehat khalayak umum. Karena nasehat kepada penguasa akan mewujudkan
kemaslahatan besar bagi umat, atau akan menjadi kata maaf kelak pada hari kiamat di hadapan
Allah, atau menjadi pencegah bala’ penghapus rasa dengki dan dengannya hujjah Allah pun akan
tegak. Inilah satu diantara wasiat besar Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang memerintahkan
umatnya agar bersabar dalam menjalankan dan berpegang kepada wasiat ini. Itu pulalah satu
diantara manhaj as-salaf shalih yang membedakan antara mereka dengan ahlul ahwa dan ahli
iftiraq. Membatasi diri dalam ber-munashahah (saling memberi nasihat) kepada penguasa siapa
pun mereka –berarti melakukan pembatasan terhadap hal Islam dan kaum Muslimin. Berarti
menurutkan hawa nafsu yang akan melahirkan keburukan dan fitnah (uzlah dan iftiraq, pen.).
Kemudian menegakkan amar ma’ruf nahyi munkar berdasarkan pengetahuan dan bashirah
(tuntunan wahyu). [65]

Semoga dengan tulisan yang singkat ini dapat membuka wawasan pengetahuan kita sehingga
dapat menjadi sebab turunnya hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala, agar kita menjadi orang-
orang Muslim yang ber-manhaj salafush shalih atau menjadi salafi sekaligus terbebas dari ahli
bid’ah wal furqah, aamin. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.

~ Disalin dari buku ” NII Dalam Timbangan ‘Aqidah “. Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah
Suroso Abdussalam. Penerbit: Pustaka Al-Kautsar Cet. Pertama Juli 2000 ~

Sumber: umarabduh.blog.com
Artikel: Moslemsunnah.Wordpress.com

Footnote:

[57] Nashir bin Abdul Karim Al-’AqI, A1-Iftiraq, Pengertian, sebab dan Cara
Penanggulangannya, terjemahan Dzaty Dirayah (Solo: Pustaka Istiqamah), 1994, h1m.42.

[58] Syi’ah di dalam bentuk firqah ini adalah mereka yang mengaku-aku mengikuti dan
menolong ahlul bait, yaitu Ali bin Abi Thalib. Khalifah keempat (menurut Syi’ah, sebagai Imam
pertama). Padahal Ali Radhiyallahu Anhu berlepas diri dari mereka dan yang keterlaluan
dihukum hingga ada yang dibakar. Sebagaimana firqah lainnya, Syi’ah terpecah-pecah menjadi
berbagai kelompok. Di antaranya adalah Rawafidh. Golongan ini menolak kekhilafahan Abu
Bakar dan Dan Umar bin Khaththab, dan mengklaim yang berhak adalah Ali bin Abi Thalib.
Selanjutnya mengkafirkan para shahabat Rasulullah, kecuali beberapa orang saja yakni Ali bin
Abi Thalib; Abu Darda; Abu Dzar; Salman Al-Farisi dan Miqdad bin Aswad. Mereka (orang
Syi’ah) menganggap, imam-imam mereka ma’shum (yakni tidak salah, tidak berdosa, tidak lupa
dari sejak bayi sampai mati). Sesungguhnya munculnya benih-benih perpecahan secara umum,
khususnya firqah Syi’ah dan Khawarij berawal dari berbentuk pemikiran atau aqidah yang keji
dan samar-samar yakni aqidah Saba’iyah. Peniupnya atau provokator pertamanya adalah
Abdullah bin Saba’ si Yahudi yang pura-pura masuk Islam. Dengan kelicikan Yahudi inilah.
maka umat Islam dibuat berfirqah-firqah. Pada saat yang sama umat Islam yang lemah
pemahaman dan keyakinannya terhadap diennya sendiri, ditambah lagi dengan adanya orang-
orang munafiq besar (nifak I’tiqadi), maka jadilah mudah diadu domba. Kelicikan Yahudi ini
terus menerus dijalankan hingga hari ini, sehingga mucullah permainan istilah sekularisme,
fundamentalisme, modemisme, terbelakang, ekstrim dan seterusnya. Umat Islam menjadi
berpartai-partai. Semuanya adalah permainan yang sama dari dahulu dan dari sumber yang sama
pula. Para pencetusnya sama dan tujuannya pun sama, meskipun bentuk dan coraknya berbeda.
(Al-Iftirag; Dr. Nashir bin Abdul Karim AI-Aql).

[59] Otodidak adalah belajar sendiri tanpa memiliki dasar-dasar keilmuan yang cukup, maka
tidaklah ia sampai kepada yang dimaksud (Al-Haq). Karena ia tidak mampu melalui jalan yang
benar pula. Sedangkan belajar sendiri setelah ia memiliki dasar-dasar ilmu yang cukup, maka
Insya Allah ia akan sanggup melalui jalan yang benar di dalam mengembangkan ilmunya.
Bahkan kebanyakan ulama juga melalui jalan yang demikian, sehingga seseorang itu akan lebih
dinamis, tidak harus terikat terus kepada gurunya. Sekali lagi, seseorang dapat belajar mandiri
setelah ia memiliki dasar-dasar ilmiah yang cukup.

[60] Taklid berbeda dengan ittiba’, sebab taklid adalah mengambil perkataan orang lain tanpa
hujjah (argumentasi) dari Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan ittiba’ adalah mengambil jalan atau
hukum menurut pemahaman orang lain (Ahli ilmu) berdasarkan dalil, sejalan dengan apa yang
ditempuh oleh orang yang diikuti tersebut. Dengan demikian bagi muqallid a’ma (orang yang
taqlid buta), yang penting mengikuti orang yang telah dipercayainya, tidak peduli benar atau
salah, berdasarkan dalil ataupun pembenaran ra’yu dan hawa nafsu orang yang diikuti dengan
mencari-cari nash (Al-qur’an dan hadits untuk membela kebathilannya). Dengan penjelasan
singkat tersebut. maka sangatlah berbeda antara taqlid (yang memang dilarang di dalam
beragama ini) dengan ittiba’ (yang memang diperintahkan di dalam agama ini).

[61] Nashir bin Abdul Karim Al-’Aql, ibid. hal 43-58.

[62] Nushairiyah adalah firqah sempalan dari Syi’ah yang mengakui Ali bin Muhammad sebagai
imam dan Muhammad bin Nuhair an-Namiri sebagai nabi. dia mengaku diutus oleh Abul Hasan
Al-Askari, mengajarkan perpindahan roh (tanasukh) dan mengkultuskan Abul Hasan serta
dianggap seperti tuhan. Menghalalkan seluruh yang haram dan membolehkan homoseks, karena
itu menurut mereka merupakan fithrah. Sedangkan Al-Alawiyah (juga merupakan sempalan
Rafidhah (Syi’ah) mereka berkata, “Seharusnya kerasulan jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib dan
bukan kepada Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, berarti Jibril telah melakukan
kesalahan.” Sedangkan Druze atau Duruz termasuk bagian dari Syi’ah yang muncul belakangan.
Mereka memiliki keyakinan sebagaimana umumnya orang Syi’ah. Yakni mereka termasuk
ekstrim umat ini, sehingga para ulama telah menghukumi mereka keluar dari agama ini yakni
agama Islam dan mendapat julukan sebagai agama Syi’ah.

[63] Isma’iliyah adalah salah satu cabang firqah bathiniyah. Nama Isma’iliyah dinisbatkan
kepada pemimpinnya yakni Muhammad bin Isma’ il bin Ja’far. Mereka berpendapat bahwa
giliran imamah harus berhenti pada dirinya karena dia merupakan imam yang ketujuh. Mereka
beralasan karena langit itu ada tujuh, begitu pula bumi. Karena itu, kelanjutan imamah harus
disempurnakan pada bilangan tujuh pula. Pemikiran seperti ini pula yang berkaitan dengan
pendapat Al-Manshur, dengan urutannya secara turun-temurun; Al-Abbas, Abdullah, Ali,
Muhammad bin Ali, Ibrahim, As-Saffah. kemudian Al-Mashur. Golongan bathiniyah adalah
sekumpulan orang-orang yang bersembunyi di balik nama Islam, namun mereka condong untuk
menolaknya. (Talbis Iblis, Ibnul Jauji). Isma’iliyah juga digolongkan ke dalam Syi’ah.

[64] Majalah As-Sunnah. “Istilah Salafiyah Bid’ah?” (Surakarta: Yayasan Lajnah Istiqamah),
Edisi 06/Th.IV/11420-2000. Dan majalah ini menukil dari Kitab Limadza lkhtartu al-Manhaj as-
salafi. hal. 36-38 (Syaikh Salim bin Ied al-Hilali).

[65] Nashir bin Abdul Karim, Al-Aql.Op Cit. hal. 66-67.

Sistematika Tauhid (Menurut NII)


Di dalam program kerja periode kepemimpinan Adah Jaelani, pembinaan atau kaderisasi
meliputi pembinaan mental spritual; material; dan keterampilan. Di dalam pembinaan mental
spritual dijelaskan bahwa pembinaan ini meliputi bidang aqidah, ideologi (pandangan hidup),
akhlak dan syari’ah. Pembinaan mental spritual diarahkan pada aqidah: tauhid uluhiyah,
rububiyah dan mulkiyah.

Tauhid Uluhiyah, berdasarkan juklak PDB adalah Allah minded: Tidak ada ilah lain kecuali
Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tauhid Rububiyah, tidak ada aturan, ketentuan, keputusan dan keterangan lain kecuali Al-
Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai uswatun hasanah, itulah syariat Islam. Jadi bagi tiap pribadi
dan usrah hanya boleh berlaku aturan syariat Islam.

Tauhid Mulkiyah: Hanya satu lembaga kekuasaan tertinggi adalah mulkiyah Allah yang
didelegasikan kepada lembaga Rasul, kemudian lembaga Ulil Amri (QS, 4:59).

Sehingga ketaatan yang dituntut Allah adalah: taat Allah, berarti melaksanakan hasil syura
pimpinan tertinggi (Majlis Syura), sebagaimana yang terdapat dalam QS. 3:159 dan QS. 42: 38.
bentuk dan fungsi Majlis Syura dapat dilihat di dalam Qanun Asasi dan penjelmaan lembaga ulil
amri di Indonesia adalah NII, tidak yang lainnya. Untuk mewujudkan hal itu harus adanya jihad
fi sabilillah. Jadi, pembinaan mental spritual yang benar akan menghasilkan: Allah minded,
Islam minded; NII minded dan Jihad minded. [24]

Dengan penjelasan program kerja NII di atas, jelaslah bahwa aqidah yang dipahami dan diyakini
sebagai ajaran untuk membina warga NII dan merekrtat umat/warga baru adalah tauhid
rububiyah, tauhid mulkiyah dan tauhid uluhiyah.

Di dalam penjelasan MKT (Ma’lumat Komandemen Tertinggi) Nomor 11 disebutkan bahwa


bagi membina jiwa baru, atau menanamkan jiwa jihad, jiwa yang sanggup dan mampu
menyelaraskan diri dengan hukum-hukum jihad, jiwa yang berani bertindak menyalurkan
tingkah laku dan amal perbuatannya dengan hukum-hukumj ihad, maka landasan pembinaan
jiwa kesatria suci semacam ini antara lain adalah sebagai berikut:

A. Rasa cinta setia kepada Allah (mahabbah) dalam makna dan wujudnya:

–Sanggup dan mampu melaksanakan tiap-tiap perintahnya dan menjauhi tiap-tiap larangannya,
tanpa kecuali dan tanpa tawar menawar;
– Mendahulukan dan mengutamakan pelaksanaan perintah-perintah Allah; daripada sesuatu di
luarnya; dan
–Mendasarkan tiap-tiap laku lampah dan amalnya atas Wahdaniyah Allah, tegasnya: atas tauhid
sejati, dan tidak atas alasan, pertimbangan dan dalil apapun, melainkan hanya berdasarkan
khalishan-mukhlishan semata, atau dengan kata-kata lain, “Allah-minded 100 %.”

B. Rasa cinta setia kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. dalam makna dan
wujud:
- Sanggup dan mampu merealisasikan ajaran dan sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam dengan kepercayaan dan keyakinan sepenuhnya, bahwa tiada contoh dan tauladan lebih
utama daripada ajaran dan sunnahnya; khusus dalam rangka jihad, tegasnya rangka usaha
membina Negara Islam Indonesia; dan pantang melakukan sesuatu di luar ajaran dan hukum
Islam, sepanjang sunnah, hingga mencapai taraf “Islam minded 100 %.”

C. Rasa cinta setia kepada ulil amri Islam, atau Imam NII, atau Plm, T.A.P NII yang di
dalamnya termasuk (1) rasa cinta setia kepada pemerintah Negara Islam Indonesia, dan tidak
kepada sesuatu pemerintah di luarnya; (2) rasa cinta setia kepada Negara Islam Indonesia, dan
tidak kepada sesuatu negara di luarnya; (3) rasa cinta setia kepada Undang-Undang (Qanun
Asasi) NII, dan tidak kepada Undang-Undang negara manapun; dst. Yang semuanya itu tercakup
dalam istilah “Negara Islam Indonesia-minded 100%.”

Catatan: Kita hanya mengenal satu ulil amri Islam, satu Imam panglima Plm. Tertinggi APNII
[25], tidak lebih dan tidak kurang.

Tiap-tiap kepercayaan, keyakinan, anggapan dan perlakuan yang menyimpang atau bertentangan
dengan dia adalah sesat dan menyesatkan, salah, keliru dan durhaka. [26]

Berdasarkan PDB (Pedoman Dharma Bakti) jilid I di atas jelaslah sudah bahwa landasan
pembinaan jiwa ksatria (jiwa militan) adalah tertuju kepada Allah minded, Islam minded dan NII
minded , itulah tauhid uluhiyah, rububiyah dan mulkiyah. [27]

Demikian halnya pembinaan dan dakwah yang dikembangkan di wilayah 9 (teritorial termuda
yang ditetapkan tahun 1976 untuk Jabotabek dan Banten), hingga diklat bagi para
pemimpin/pejabat negara (Irsyad); ketiga jenis tauhid itu menjadi materi pokok aqidah yang
diyakini NII. Hanya saja untuk wilayah 9, penyampaian dakwah dan pembinaan termasuk diklat
lebih bersifat vulgar, tunjuk hidung dan dengan manajemen yang rapih, terkendali dan lebih
maju dibanding manajemen wilayah lainnya maupun managemen non teritorial.

Aqidah yang berupa tauhid rububiyah, mulkiyah dan uluhiyah juga didakwahkan oleh PSII yang
sekarang masih ada (hingga tahun 1995) di bawah kepemimpinan CH. Ibrahim. Terdapat dua
kitab yang berhasil penulis baca dan miliki yang menjelaskan kandungan tiga jenis tauhid
tersebut. [28]

Setelah kita mengetahui penjelasan sistematika tauhid menurut pemimpin dan tokoh-tokohnya
dari generasi tua (angkatan I =1949-1962 = generasi jibal atau bahkan tokoh sebelum 1949),
seperti dijelaskan di atas, maka akan lengkaplah kalau ditampilkan pula penjelasan tauhid RMU
(Rububiyah, Mulkiyah dan Uluhiyah) dari generasi NII antara tahun 1962-1980 (Angkatan II)
serta generasi tahun 1980 – sekarang (Angkatan III). Dasar pijakan (dalil yang digunakan sama
persis antara ajaran aqidah NII dari wilayah 9, 1, 7, usroh, dan PSII CH. Ibrahim. Kandungan
penjelasannya pun dan pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam berdakwah (merekrut
anggota baru) maupun di dalam cara pembinaan selanjutnya; sebagai berikut: [29]
“Berdasarkan Surat Al-Fatihah ayat 1,3, 4 dan surat An-Naas ayat 1,2,3 Allah Subhanahu wa
Ta’ala berperan sebagai Rabb, Malik dan Ilah. Maka secara sistematis akidah Islamiyah dapat
disimpulkan dengan rumusan, tauhid rububiyah, tauhid mulkiyah dan tauhid uluhiyah (hal. 8).”

Rabb mengandung pengertian Maha Pemilik Hukum, Maha Pembuat undang-undang atau
produk hukum (hal. 14). Dapat digaris bawahi bahwa yang dimaksud dengan tauhid rububiyah
ialah pengakuan dan keyakinan bahwa Allah satu-satunya Rabb (Maha Pencipta, Pengatur,
Pemelihara, Maha Penjamin rizqi, Penjamin keamanan, Maha Pendidik dan Pengajar) serta
mengimani secara yakin bahwa Allah sebagai Rabb, hanya di Tangan-Nya lah kewenangan
secara absolut membuat undang-undang hukum. Bila ada yang mencoba membuat atau
memproduksi hukum di luar wahyu berarti telah mengakui, memproklamasikan dirinya sebagai
Rabb atau Tuhan tandingan di bumi ini atau musyrik rububiyah (hal. 17) Allah dengan predikat
Rabbul `alamin berarti menata alam semesta dengan berdasarkan undang-undang-Nya yang juga
disebut dengan istilah lain ‘Sunnatullah’. Allah dengan predikat Rabbinnas berarti menata dunia
manusia dengan undang-undang-Nya yaitu wahyu, Al-Qur’an. Penolakan terhadap hukum
wahyu menurut Al-Qur’an hukumnya kufur, zhalim, fasiq dan musyrik, karena sebenarnya
adalah pengingkaran terhadap aqidah rububiyah (hal. 17-18).

Seluruh hukum produk rasio manusia di luar wahyu adalah dinyatakan gugur, bathil atau dholal
(hal.19). hukum yang diciptakan manusia hanya sebatas zhon atau hipotesa belaka dan tidak
dapat mencapai nilai kebenaran menurut Allah (hal. 20).

Adapun tauhid mulkiyah adalah keyakinan mengakui hanya Allah sebagai Malikinnas atau raja
yang wajib ditaati. Tidak ada kedaulatan dan kerajaan lain yang boleh diakui apalagi ditaati.
Mengakui adanya keabsahan suatu lembaga kerajaan di luar kerajaan Allah di bumi berarti
musyrik mulkiyah (hal. 24). Adapun bentuk pemerintahan seperti yang ada sekarang seperti
monarchi, oligarchi atau demokrasi yang diagung-agungkan Barat dan banyak dijiplak oleh
banyak bangsa, semuanya adalah bentuk pemerintahan non wahyu (hal. 26).

Mulkiyah Allah/lembaga pemerintahan wahyu di bumi ditegakkan dan dibangun bukan dengan
sistem parlementer atau pola demokrasi Barat yang berarti ada semacam tawarmenawar antara
wahyu dan non wahyu. Al-Qur’an telah menginformasikan tentang iblis dari sejak awal
menyatakan penolakannya terhadap lembaga pemerintahan Allah di bumi (Kekhalifahan Adam
Alaihis Salam) ketika diproklamasikan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun musyawarah yang
dimaksud di dalam Al-Qur’an adalah dilakukan diantara orang-orang mukmin, bukan antara
mukminin wal kafirin.

Banyak sistem dalam memperjuangkan tegaknya mulkiyah Allah /lembaga pemerintahan wahyu
di bumi ini tidak Qur’ani dan tidak pernah ada di dalam sunnah dan tidak rasional. Satu-satunya
sistem di dalam membentuk lembaga negara/ pemerintahan Allah di muka bumi adalah dengan
pola furqan atau pola hijrah (suatu struktur pemerintahan yang berdiri sendiri terpisah dari
struktur lembaga jahiliyah yang ada). Lembaga Allah adalah lembaga furqan, bukan lembaga sub
sistem struktur lembaga thagut.

Seseorang yang telah komitmen dengan tauhid rububiyah dan mulkiyah, tentu akan
merealisasikan nilai-nilai amal dengan tauhid uluhiyah (wahdatul ma’bud). Satu-satunya jalan
bagi hamba Allah hanya akan taat, setia dan patuh kepada uluhiyatullah yakni satu pernyataan
dan sikap yang tegas dari seseorang bahwa Dialah Allah satu-satunya ilahul haq.

Dengan predikat Allah sebagai Al-Ma’bud (yang berhaq disembah), yaitu satu-satunya ilah yang
wajib ditaati, digandrungi, ditakuti dan dijadikan sandaran oleh setiap makhluk di alam semesta
ini. Sebab Dialah Allah Yang Maha Pencipta segala sesuatu, Dialah yang berhak membuat
hukum dan undang-undang serta aturan, untuk berlangsungnya kehidupan yang benar menurut
kehendak-Nya.

Para Nabi dan Rasul Allah sebagai pembawa risalah Islam diperintah oleh Allah untuk
menyembah Ilah yang Esa yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Dan kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan
kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada ilah melainkan Aku, maka sembahlah oleh kalian akan
Aku’…” (Al-Anbiya: 25).

Mereka (para rasul itu) membawa misi proklamasi tauhid perintah ibadah ini kepada seluruh
manusia:

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata, ‘Wahai kaumku
ibadahilah Allah. Sekali-kali tidak ada ilah bagimu selain-Nya. Sesungguhnya (kalau kamu tidak
mengibadahi Allah) aku takut kamu akan ditimpa azab pada hari yang besar (kiamat)’…” (Al-
A’raf:59).

Begitu pun seruan yang disampaikan Nabi Hud (Al-A’raf:65), NabiShalih (Al-A’raf :73), Nabi
Syu’aib (Al-A’raf:85)dan Nabi-Nabi yang lainnya.

Dalam ajaran Islam tidak dikenal pengabdian yang ganda, sebab hal itu adalah sikap yang
munafiq dan syirik. Seorang Muslim yang sudah komitmen dengan tauhid uluhiyah dituntut
kepada pengabdian yang murni dan suci bersih semata-mata hanya akan loyal dan taat kepada
Allah dan Rasul-Nya. Sebab jika ada ilah tandingan di alam semesta ini, maka akan rusak
binasalah langit dan bumi.

“Sekiranya ada ilah-ilah di langit dan di bumi selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak
binasa. Maka Mahasuci Allah yang mempunyai ‘Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.” (Al-
Anbiya:22) Lihat pula Qur’an surat Al-Kahfi: 110 (halaman 37-38).

Berdasarkan penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa aqidah islamiyah yang diajarkan dan
diyakini NII, baik yang disampaikan oleh proklamatornya, para pemimpinnya dan tokoh jibal
seperti Abu Suja, Tahmid, Ketetapan Komandemen Tertinggi seperti yang dimuat di dalam
Pedoman Dharma Bakti jilid I maupun yang diajarkan dan diyakini generasi ke-2 NII baik yang
berada di teritorial, seperti wilayah I, 2, 7, 9 maupun yang non teritorial seperti usrah dan juga
PSII CH. Ibrahim), semuanya sama yaitu meyakini dan menanamkan atau mengkader umat
Islam dengan tauhid rububiyah, mulkiyah dan uluhiyah.

Sistematika Tauhid Menurut Manhaj yang Haq


Sistematika tauhid, termasuk di dalamnya mengenai tafsir La ilha illallah menurut NII telah kita
paparkan di atas. Kini saatnya kita jelaskan sistematika tauhid, termasuk tafsir Lailaha illallah
menurut manhaj yang haq yakni manhaj Ahli Sunnah wal Jama’ ah (Salafus Shalih) sebagai
berikut:

Manakala kita kaji Kitabullah dan sunnah Rasullullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka kita
akan mengetahui bahwa hak terbesar bagi Allah Azza wa Jalla atas hambanya adalah
tauhidullah. Syaikh Fauzan menjelaskan bahwa tauhid adalah meyakini keesaan Allah dalam
rububiyah, ikhlas beribadah kepada-Nya serta menetapkan bagi-Nya nama-nama dan sifat-sifat-
Nya.[30] Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi (239-321 H) di dalam kitabnya, pasal pertama
menyebutkan bahwa dengan petunjuk Allah, kita meyakini makna Tauhidullah adalah bahwa
Allah itu Esa dan tidak ada tandingan bagi-Nya.[31]

Tauhidullah merupakan da’wah yang pertama dan utama setiap Rasulullah. Perhatikan firman
Allah Azza wa Jalla tentang da’wah Nabi Nuh Alaihis Salam (Al-A’raf; 59); da’wah Nabi Hud
Alaihis Salam (Al-A’raf: 65) da’wah Nabi Shalih Alaihis Salam (Al-A’raf: 73) da’wah seluruh
Nabi sebelum Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam (Al-Anbiya: 25) dan da’wah seluruh
anbiyawal mursalin, termasuk da’wah Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam (An-
Nahl: 36) Rasulullah Muhammad juga telah bersabda:

“Aku dtperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersyahadat bahwa tidak ada ilah
(yang berhak) diibadahi melainkan Allah dan Muhammad Rasulullah.” (HR. Bukhari dan
Muslim).

Tauhidullah juga merupakan kewajiban yang terakhir yang dibebankan kepada setiap orang yang
telah aqil baligh. Bahkan menjelang wafat, tetap diseru dan diajari dengan kalimattauhid. Sabda
Rasulullah:

“Barangsiapa yang akhir perkataan dalam hidupnya adalah Laa ilaha illallah; maka pasti ia
masuk surga.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Al-Hakim). [32]

“Talkinkan (ajarkan) orang yang hendak mati diantara kalian dengan Laa illah illallah.” (Shahih
Muslim).” [33]

Berdasarkan penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa tauhidullah merupakan pilar Islam yang
agung dan paling penting, sehingga untuk memahaminya, kita memerlukan bimbingan ulama
perwaris Nabi yakni ulama Ahli Sunnah wal Jama’ ah. Di atas telah dinyatakan mengenai
pengertian tauhidullah, lalu Syaikh Fauzan menggolongkan/menetapkan sistematika tauhid
menjadi tiga macam; tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah serta tauhid asma wa sifat. Setiap macam
dari ketiga macam tauhid itu memiliki makna yang harus dijelaskan agar menjadi terang
perbedaan antara ketiganya.[34]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tauhid ada dua macam yaitu tauhid a1-ilmi al-i’tiqadi atau
tauhid rububiyyah (termasuk di dalamnya tauhid asma wa sifat) dan tauhid fith-thalabi wal-
Qahsd atau tauhid uluhiyah (Fathul Majid, halaman 23).[35] Abdullah Abdul Muhsin At-Turki
menggolongkan tauhid sebagai berikut, “Tauhid menurut salaf terbagi dua, yaitu tauhid
rububiyah, termasuk di dalamnya tauhid asma wa sifat secara keseluruhan. Sedang jika secara
rinci, ia masuk bagian ke tiga, terutama j ika dalam rangka menyanggah orang yang mengakui
rububiyah Allah, tetapi mengingkari sifat-sifat-Nya, seperti aliran Jahmiyah dan Mu’tazilah.[36]
Dan kedua yaitu tauhid uluhiyah.” [37]

Di dalam Tadzhib Syarah Ath-Thahawiyah, dasar-dasar akidah menurut ulama salaf disebutkan
bahwa tauhid yang dida’wahkan para Rasul dan diturunkan dalam kitab-kitab suci mereka ada
dua: tauhid dalam arti Al-Itsbat (penetapan) dan A1-Ma’rifat (pengenalan) dan tauhid Ath-
Thalab (permohonan) dan Al-Qashdu (bertujuan). Sistematika lain tentang pembagian bentuk-
bentuk tauhid adalah sesungguhnya tauhid ini meliputi tiga bentuk, yakni tauhid rububiyah dan
tauhid asma wa sifat (kedua jenis tauhid ini merupakan tauhid al-ma’rifat wal-itsbat). Adapun
tauhid Al-Qashdu wath-T’halab yaitu tauhid Ilahiyah itu sendiri. Hal ini sebagaimana dijelaskan
oleh Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim. Dalam Taisirul Azizil hamid, hal. 33. [38]

Demikianlah ta’ liq yang diberikan oleh Syaikh Abdul aziz Abdullah bin Baz atas kitab Al-
Aqidah Ath-Thahawiyah pasal satu, ketahuilah bahwa tauhid yang dengannya Allah mengutus
para rasul dan juga menurunkan Al-Qur’ an, terbagi menjadi tiga macam. Pembagian itu sesuai
dengan ketetapan Al-Kitab dan As-Sunnah dan juga didasarkan realita atas orang-orang yang
terbebani kewajiban syariat. Macam-macam tauhid tersebut adalah: Pertama, tauhid rububiyah,
Kedua, tauhid ubudiyah dan ketiga, tauhid asma wa sifat. [39]

Berdasarkan penjelasan di atas, juga di dalam kitab-kitab para ulama yang belum disebutkan di
sini, kita dapat mengetahui bahwa sistematika/penggolongan tauhid berdasarkan kitabullah (Al-
Qur’an) dan As-Sunnah terdiri atas tiga macam yakni tauhid rububiyah, tauhid
uluhiyah/ubudiyah dan tauhid asma wa sifat. Dengan demikian, tahulah kita bahwa sistematika
yang dipahami dan diyakini NII tidak sama dengan Ahli Sunnah wal Jama’ah.

Lebih lanjut, marilah kita periksa isi/pembahasan tauhidullah di atas antara keduanya yakni antar
NII dengan Ahli Sunnah wal Jama’ ah (Salafus Shalih), sebagai berikut: (Bersambung…)

~ Disalin dari buku ” NII Dalam Timbangan ‘Aqidah “. Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah
Suroso Abdussalam. Penerbit: Pustaka Al-Kautsar Cet. Pertama Juli 2000 ~

Sumber: umarabduh.blog.com
Artikel: Moslemsunnah.Wordpress.com

Footnote:

[24] Tahmid, Penjelasan Program Kerja NII dan Sistem Strukturalnya, (1997).

[25] Singkatan dari Panglima Tertinggi Angkatan Perang Negara Islam Indonesia.

[26] Pedoman Dhama Bakti, Op. Cit. hlm. 180-181.

[27] Tiga jenis tauhid ini disampaikan di semua level pembinaan umat baikdi NT (Non
Teritorial) seperti usrah maupun di teritorial, seperti KW (Komandemen Wilayah) 1, 2 dan 7.
Penulis kira di wilayah lain pun sama dengan sistematika RMU (Rububiyah, Mulkiyah dan
Uluhiyah).

[28] Ohan Sujana, Fenomena Aqidah Islamiyah (Jakarta: Penerbit: Media Da’wah), 1994.
Penulis buku ini adalah Vice President PSII. Demikian pulatulisan Tabah Hikam Abdul Karim.
(dengan cover buku berlogo PSII). Ia meninggal dunia dalam usia muda (26 tahun) sebagai kader
PSII dan CH Ibrahim sebagai presiden PSII memberikan kata pengantar di dalam buku teersebut.

[29] Lihat buku Ohan Sudjana, Op Cit; Periksa pula tulisan Tabah Hikam Abdul Karim; Teliti
pula majalah An-Nabaa’ edisi 14, 15, 16, 17. dan l8 Th.II/ 1994. Tinjau juga Kitab Irsyad
Pimpinan NII (dari wilayah 9), Kitab Aqidah Islam. W ilayah 9 inilah yang kini mendapat
kepercayaan sebagai estafet NII secara nasional, di bawah Abu Toto, sang pemimpin yang
disegani di wilayah 9 hingga terlalu berlebihan, sehingga bawahan dikondisikan menjadi sangat
amat takut kepadanya dan segala titahnya menjadi qarar/ketetapan hukum.

[30] Shalih bin Fauzan bin Abdullah A-Fauzen, At-Tauhid Lish Shaffil Awwa AI-’Ali,
terjemahan Agus Hasan Bashari (Jakarta; Akafa Perss), 1998. hlm. 16.

[31] AI-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi. al-Aqidah Ath-Thahawiyah. Pasal I, Dicetak dan
diterbitkan ulang oleh Pustaka Tibyan Solo, 1998.

[32] Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimi.Tdazhib….Op.Cit.hlm.51-52

[33] Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Ad-Duruus Al-Muhimmah Li ‘Aammatil Ummah,
terjemahan Tim Darul Haq (Jakarta: Darul Haq), 1420 H, hlm 27.

[34] Shaleh bin Fauzan bin AbduIlah Al-Fauzan Op.Cit .hlm. l6.

[35] Majalah As-Sunnah Edisi 6/Th.III/1418-I998 (Rubrik-Aqidah).

[36] Firqah Mu’tazilah dibangun oleh Washil bin Atha’ dari Bashrah-Irak. Ia lahir 80 H dan
meninggal 131 H. Ia pemah berguru kepada Imam Hasan Bashri, kemudian keluar dari majlis
Hasan Bashri dan menyebarkan aliran ‘Manzilah Baina Manzilahtaini’ yaitu orang yang berdosa
besar tidak kafir dan bukan Muslim, tetapi berada diantara dua kedudukan yakni diantara
kedudukan Muslim atau kafir. Mu’tazilah mempunyai lima dasar: manzilah bainamanzilataini;
keadilan; tauhid; amar ma’ruf dan nahyi munkar serta pelaksanaan ancaman.

[37] Abdullah Abdul Muhsin At-Turki. Op Cit. Pasal Penggolongan Tauhid.

[38] Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimi.Op.Cit.hlm 53-54.

[39] Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi. Op.Cit. hlm 5-7. Lihat pula Syaikh Muhammad bin
JamiI Zainu, Op.Cit. hlm 17-19.
Apakah NII Masih Ada dan Apakah Termasuk Kelompok Sesat?
Posted on 05/03/2013 by iscer

Standard

Assalaamu’alaikum. Wr. Wb.

Saya ucapkan terimakasih kepada Ustadz yang telah menjawab pertanyaan saya tentang ajakan
bersyahadat lagi… Saya ada beberapa pertanyaan lain:

Sebenarnya siapakah Negara Islam Indonesia itu?


Apakah saat ini gerakan itu masih ada, dan benarkah mereka sesat?
Jika sekarang masih ada, kira-kira bagaimana ciri-ciri proses perekrutan mereka? Apakah
melalui proses bersyahadat?

Terimakasih atas tanggapan Ustadz…

Wassalaamu’alaikum wr. Wb.

Jawaban :

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

NII atau Negara Islam Indonesia, sesuai dengan namanya adalah sebuah gerakan politik yang
ingin memisahkan diri dari NKRI. Berawal dari kelompok TNI yang menyempal di bawah
komando Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo. Awalnya hanya ketidak-puasan politik di
kalangan tentara, tetapi kemudian berkembang menjadi doktrin aqidah tersendiri dan eksklusif.

Kasus-kasus seperti ini memang bukan yang pertama terjadi. Konflik berdarah syiah sunni
sekarang ini, awalnya dahulu hanya berangkat dari ketidak-puasan di bidang politik, tetapi entah
bagaimana kemudian berkembang menjadi aliran aqidah tersendiri.

Saat ini secara resmi NII dan TII sudah ditumpas habis dan tidak punya kekuatan apa pun.
Namun secara spirit, banyak kelompok sempalan yang hari ini masih mengaku-ngaku sebagai
‘titisan’ dari NII. Sayangnya, jumlah kelompok ini banyak sekali dan beragam. Bahkan banyak
yang malah sudah ditunggangi oleh kekuatan politik tertentu untuk sekedar menjadi boneka,
tentu dengan maksud-maksud tertentu.

Tetapi saya yakin 100% bahwa semua kelompok dan alirannya yang begitu banyak, datanya
semua sudah ada di tangah pemerintah. Sebab kasus dimana kelompok NII digulung secara
masal sudah seringkali terjadi di masa lalu. Maka hari ini pun sangat mudah bagi penguasa untuk
melakukannya kembali.

Ibarat sebuah kapal besar pecah menabrak karang, masing-masing penumpangnya mencari
selamat masing-masing dengan menumpang sekoci-sekoci kecil. Tetapi kemudian sekoci-sekoci
itu masih berpencar dan masing-masing bertabrakan sekali lagi dengan karang, akhirnya tinggal
‘perahu-perahuan’ dari kertas dalam jumlah ribuan. Masing-masing mengklaim sebagai pewaris
resmi dari kapal besar itu.

Kelompok yang ada sekarang ini tentu tidak pernah mengalamipenumpasanpisik secara langsung
sebagaimana di zaman Karto Suwiryo, sebab mereka adalah orang-orang baru yang direkrut
kemudian. Tentu dengan doktrin yang sudah diramu sedemikian rupa. Bahkan tidak sedikit di
dalamnya justru orang-orang ‘titipan’ penguasa untuk melakukan manuver-manuver tertentu dan
dalam posisi on mission.

Ciri-ciri dan Doktrin

Sebenarnya NII itu pecah dan pecahannya menjadi sangat beragam. Kita tidak bisa
menggeneralisir semuanya menjadi satu ciri yang sama. Kadang ada satu ciri yang bisa dikenali
pada satu kelompok, tetapi ciri itu tidak terdapat pada kelompok lain.

Diantara ciri yang seringkali kita temukan antara lain :

1. Gerakan Rahasia

Ciri khas dari sebagain dari NII banyak yang mengembangkan sistem kerahasiaan dalam
gerakan, baik struktur maupun doktrin ajaran.

Barangkali asal-muasalnya karena dulu sempat ditumpas dan dikejar-kejar aparat, sehingga
sampai sekarang mereka masih saja terbawa-bawa untuk selalu berpikir seolah-olah masih jadi
incaran aparat.

Maka mereka terbiasa merasiakan segala sesuatu, sehingga umumnya bergerak di bawah tanah.

Walaupun sebagian dari mereka ada yang muncul dengan wajihah ammah, seperti berbentuk
pesantren, yayasan, jamaah pengajian dan sebagainya. Namun di balik semua itu, tetap saja ada
struktur yang mereka rahasiakan.

2. Paham Takfir

Ada juga sebagiannya yang mengembangkan paham takfir, sehingga semua orang yang tidak
ikut dalam kelompok mereka dianggap bukan orang Islam.

Atau setidaknya orang yang tidak berbai’at atau bergabung dengan mereka dianggap tidak akan
selamat, sesat atau dianggap keluar dari jamaah Islam.

3. Menghalalkan Darah Orang Luar

Bukan berhenti sampai kepada paham takfir, ternyata ada sebagain mereka yang juga sampai
menghalalkan darah orang yang tidak ikut dalam kelompok mereka.
Maka agak masuk akal kalau sampai terjadi pengeboman massal atas nyawa manusia menjadi
halal. Sebab doktrin mereka mengatakan bahwa yang bukan ikut kelompok mereka dianggap
kafir, atau setidaknya halal darahnya.

4. Harta Fai’

Selain mengkafirkan orang lain dan menghalalkan darah mereka, kadang mereka juga
menghalalkan harta milik orang lain di luar kelompok mereka.

Meski tidak semuanya, namun tidak jarang sebagian dari kelompok NI masih menghalalkan hak
milik dan harta semua orang, selama orang itu tidak ikut kelompok mereka, karena dianggap
kafir.

Sehingga perampokan, perampasan, penipuan, penjambretan dan penggelapan hukumnya halal


kepada siapa pun, baik kepada sesama muslim apalagi kepada orang kafir. Alasannya adalah
bahwa harta milik orang kafir itu halal. Dan kalau didapat tanpa lewat perang, istilahnya adalah
fai’.

5. Syahdat Ulang

Ciri yang sering kita dapati dalam kelompok NII adalah bahwa setiap orang yang bergabung
seringkali diminta untuk melakukan syahadat ulang. Ini cukup banyak kita temukan di berbagai
pecahan kelompok itu.

Dasarnya keyakinan bahwa tanpa itu, seseorang dikatakan belum beragama Islam.

6. Bai’at dan Ketaatan Mutlak

Ciri khas yang paling sering didapati dari kelompok-kelompok NII dan turunannya adalah
kewajibkan berbai’at.

Kalau belum berbai’at, maka dianggap masih belum menjadi bagian dari mereka. Bai’t itu
berbuah ketaatan kepada pimpinan sampai ke level MUTLAK TANPA KECUALI.

Dan tidak dikenal yang namanya suara kritis atau masukan dari bawah. Kalau pun ada majelis
syuro, statusnya cuma pemberi saran dan pertimbangan saja, tidak lebih. Tetapi keputusan akhir
adanya pada pimpinan.

Majelis Syura ternyata bukan majelis tertinggi, sehingga apa yang telah ditetapkan dalam majelis
syuro bisa saja digugurkan oleh sang pemimpin. Maka dalam tubuh NII dan gerakan yang
segaris, pengarus sang pemimpin bisa tanpa batasan alias mutlak.

7. Upeti

Kewajiban membayar upeti nyaris seragam selalu ada di hampir semua bentuk gerakan NII dan
berbagai gerakan turunanya.
Namun seringkali dikemas dengan beragam istilah, seperti zakat, infaq, pajak, kaffrat atau apa
pun namanya. Jadi zakat tidak disetor ke lembaga amil zakat yang resmi, tetapi disetorkan ke
pihak atasan.

Tentu saja upeti yang sudah masuk ke pihak pimpinan sudah tidak bisa lagi diganggu gugat. Dan
pihak pimpinan tidak merasa perlu untuk membuat rekap, laporan atau audit harta setoran yang
diterimanya.

Para anggotanya pun sudah dibai’at untuk tsiqah 100% tanpa tawar menawar. Maka kalau ada
anggota yang iseng minta keuangan kelompok itu diaudit, ujung-ujungnya bisa dipecat dan
dibuang jauh-jauh. Alasannya karena menyalahi rukun bai’at, yang salah satunya adalah tsiqah
(percaya) kepada pimpinan.

8. Menabrak Syariah

Sebagian NII yang beraliran sesat seringkali ngawur dan nyeleneh dalam urusan syariah. Entah
bagaimana prosesnya, yang pasti rata-rata pengikutnya memang bukan orang yang paham ilmu
syariah. Sehingga atas nama ketaatan dan dasar ikatan bai’at, apapun yang dikatakan oleh
pimpinan mereka dianggap bagian dari syariah.

Lucunya terkadang malah tidak mewajibkan shalat, dengan alasan fase perjuangan mereka masih
marhalah Makkah. Padahal kewajiban shalat justru sudah ada sejak awal mula turun wahyu.

Untuk itu gerakan NII biasanya malah menghindari diri dari kritisi dan debat dari para ulama ahli
syariah secara terbuka, karena mereka tahu bahwa apa yang mereka ajarkan memang tidak punya
argumen syariah. Mereka tahu bahwa mereka sesat dan menyesatkan.

9. Rekruitmen Anggota Diam-diam Atau Lewat Kamuflase Pengajian, Pesantren dsb

Tentu saja umat Islam yang punya akal dan punya bekal pemahaman agama yang lumayan, akan
menolak mentah-mentah doktrin-doktrin di atas. Sehingga ‘dagangan’ mereka ini tidak akan laku
kalau ‘dijual’ di tempat-tempat yang banyak ulama dan kiyai serta orang-orang yang melek
syariah.

Maka asongan itu mereka dagangkan di tempat-tempat yang sepi dari ulama dan para ahli
syariah. Sasaran objek rekruitmen mereka adalah orang-orang berada tapi awam dalam agama.

Sehingga dengan dicukilkan sepotong ayat Quran atu hadits nabawi, yang ditafsirkan semaunya,
bahkan tanpa rujukan dari kitab-kitab yang muktamad, mulailah berjatuhan para korban. Kasihan
sekali, seharusnya orang-orang itu mendapat hidayah dan ilmu yang benar, tetapi dengan aksi-
aksi seperti ini, tenggelamlah mereka di dalam kubangan kejahilan.

Sebaiknya, marilah kita ketuk hati sebagian saudara kita agar kembali ke jalan yang benar. Dan
marilah kita jaga agar jangan sampai ada lagi korban-korban berikutnya. Amien

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Ahmad Sarwat, Lc., MA

Anda mungkin juga menyukai