A. AQIDAH ISLAMIYAH
1. PENDAHULUAN
Sesungguhnya pandangan manusia terhadap kehidupan dan alam semesta,
pengetahuan-pengetahuan yang dimilikinya berkenaan dengan berbagai bidang
dan bahkan naluri dan perasaan-perasaannya, semua itu bersumber dari aqidah
yang diyakininya. Di samping itu, aqidah tersebut juga memiliki peranan penting
dalam membina dan membangun pemikiran, etika dan tata cara hidup sosialnya,
serta dalam mengarahkan kemampuan-kemampuannya ke arah membangun dan
perubahan.
Meskipun lembaga-lembaga pemikiran hasil rekayasa manusia ( al-madaris
al-wadh’iyyah) telah berhasil mencapai kesuksesan dalam berbagai bidang
peradaban materialis, tapi lembaga-lembaga pemikiran tersebut mengalami
kegagalan fatal dalam membina dan membangun sebuah kehidupan idaman yang
bebas dari belenggu kebejatan dan kejahatan. Dekadensi moral, retaknya kehidupan
rumah tangga dan kevakuman ideologi adalah contoh riil dari kegagalan fatal itu
sebagai persembahan peradaban materialis tersebut (kepada dunia) akibat rekayasa
manusia sendiri.
Dengan berlandaskan kepada fitrah suci - sebagai anugerah Allah Yang Maha
Pencipta - yang senantiasa menuntun manusia menuju cahaya aqidah Islam yang
dapat menerangi segala yang berada di sekitarnya, hikmah dan kebijaksanaan-Nya
menuntut-Nya untuk memberikan petunjuk kepada manusia demi memahami akar
dan dasar-dasar aqidah sebagai landasan utama bagi pengetahuan manusia akan
hakekat wujud ini. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat mencapai keyakinan dan
kepercayaan yang benar, selamat dari cacat dan jauh dari segala penyelewengan.
Ketika manusia mau menggunakan akalnya, ia akan memahami bahwa
aqidah Islam meliputi undang-undang yang sempurna bagi setiap sisi dan dimensi
kehidupannya, menunjukkan jalan baginya demi berkreasi dalam kehidupan
tersebut, sejalan dengan fitrah setiap insan dan dapat menjamin terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan ruhani dan materi setiap individu secara seimbang dan
cermat. Di samping itu, aqidah tersebut juga dapat menjamin terjaganya
kehormatan dan kepribadiannya.
Hanya dengan formulasi-formulasi aqidah inilah akan terealisasikan
pembinaan kepribadian manusia, baik kepribadian setiap individu, masyarakat
maupun negara Islam. Dan hanya dengan formulasi-formulasi tersebut juga akan
terjalin hubungan dan ikatan (antar sesama manusia), diketahui hak-hak dan
kewajiban, terealisasikan keadilan dan persamaan, terstabilkan keamanan dan
keselamatan, terwujudkan rasa solidaritas, memasyarakat keutamaan dan
kemuliaan, dan akan terwujudkan pembinaan kepribadian manusia dalam setiap sisi
dan dimensi kehidupannya.
Dalam sisi pemikiran, aqidah Islam telah berhasil mengeluarkan manusia dari
alam takhayul dan kebodohan dengan menganjurkannya untuk mengerahkan
segala kemampuan yang dimilikinya demi merenungkan tanda-tanda keagungan
Allah sehingga ia mampu mencapai kehidupan yang terhiasi dengan cahaya ilmu.
Atas dasar ini, Islam melarang pengikutnya bertaklid dalam ruang lingkup aqidah,
dan sebaliknya, ia mendasari iman dengan ilmu dan pengetahuan.
Dalam sisi kehidupan sosial, aqidah Islam telah berhasil merubah corak
kehidupan masyarakat yang sebelumnya dilandasi oleh fanatisme suku, warna kulit
dan harta benda dengan corak baru yang dilandasi oleh tolok ukur-tolok ukur
spiritual (ma’nawiyah) yang teraktualkan dalam konsep takwa, fadhilah dan
persaudaraan insani. Dengan ini, terbentuklah sebuah umat muslim ideal yang hidup
di tengan-tengah masyarakat manusia, yang sebelumnya mereka berpecah belah
dan menjalani kehidupan ini atas dasar balas dendam.
Dalam sisi etika dan akhlak, aqidah Islam telah berhasil menumbuhkan
kesadaran diri (al-wa’iz adz-dzati) yang mempercayai bahwa Sang Pencipta Yang
Maha Tinggi nan Agung selalu memperhatikan segala tingkah laku manusia, dan
setiap sepak terjangnya pasti memiliki pahala dan dosa. Hal ini akan menyebabkan
keseimbangan naluri (gharizah) dan tumbuhnya akhlak yang mulia (dalam dirinya);
satu unsur yang dapat kita temukan dalam seluruh hukum Islam.
Begitu juga aqidah Islam memiliki peranan penting dalam membangun
masyarakat di bidang ekonomi, politik dan pendidikan. Dengan demikian, aqidah
Islam adalah simbol kekuatan dalam sejarah peradaban Islam.
Oleh karena itu, untuk menyelamatkan manusia muslim dari kondisi rohani yang
lemah dan terjerumus ke dalam glamour materi, kita harus mengingatkannya
dengan bahasa dan metode yang sesuai dengan tuntutan zaman modern dan
perkembangan pemikiran atas segala persembahan yang telah diberikan oleh aqidah
tersebut (kepadanya) dan meyakinkannya bahwa aqidah yang dimiliki itu memiliki
validitas untuk diterapkan di setiap era dan periode.
Pada masa Rasulullah SAW, aqidah bukan merupakan disiplin ilmu tersendiri
karena masalahnya sangat jelas dan tidak terjadi perbedaan-perbedaan faham,
kalaupun terjadi langsung diterangkan oleh beliau. Makanya kita dapatkan
keterangan para sahabat yang artinya berbunyi : "Kita diberikan keimanan sebelum
Al-Qur'an"
Pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib timbul pemahaman -
pemahaman baru seperti kelompok Khawarij yang mengkafirkan Ali dan Muawiyah
karena melakukan tahkim lewat utusan masing-masing yaitu Abu Musa Al-Asy'ari
dan Amru bin Ash. Timbul pula kelompok Syiah yang menuhankan Ali bin Abi Thalib
dan timbul pula kelompok dari Irak yang menolak takdir dipelopori oleh Ma'bad Al-
Juhani (Riwayat ini dibawakan oleh Imam Muslim, lihat Syarh Shohih Muslim oleh
Imam Nawawi, jilid 1 hal. 126) dan dibantah oleh Ibnu Umar karena terjadinya
penyimpangan-penyimpangan. Para ulama menulis bantahan-bantahan dalam
karya mereka.
Terkadang aqidah juga digunakan dengan istilah Tauhid, ushuluddin (pokok-
pokok agama), As-Sunnah (jalan yang dicontohkan Nabi Muhammad), Al-Fiqhul
Akbar (fiqih terbesar), Ahlus Sunnah wal Jamaah (mereka yang menetapi sunnah
Nabi dan berjamaah) atau terkadang menggunakan istilah ahlul hadits atau salaf
yaitu mereka yang berpegang atas jalan Rasulullah SAW dari generasi abad pertama
sampai generasi abad ketiga yang mendapat pujian dari Nabi SAW. Ringkasnya :
Aqidah Islamiyah yang shahih bisa disebut Tauhid, fiqih akbar, dan ushuluddin.
Sedangkan manhaj (metode) dan contohnya adalah ahlul hadits, ahlul sunnah dan
salaf.
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah
mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”
Dalam QS. Al-Qashash/28 : 38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk
dirinya sendiri
“Dan Fir’aun berkata: Wahai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan
bagimu selain aku...”
Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa
mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi
maupun benda nyata (Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan
ilah dalam Al-Quran juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda
(mutsanna:ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme
tidak mungkin. Untuk dapat mengerti dengan definisi Tuhan atau Ilah yang tepat,
berdasarkan logika Al-Quran sebagai berikut:
Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia
sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya. Perkataan
dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja,
dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau
kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya
atau kerugian.
a. Mu’tazilah
Golongan yang merupakan kaum rasionalis di kalangan muslim, serta menekankan
pemakaian akal pikiran dalam memahami semua ajaran dan keimanan dalam
Islam. Orang islam yang berbuat dosa besar, tidak kafir dan tidak mukmin. Ia berada
di antara posisi mukmin dan kafir (manzilah bainal manzilatain).
Dalam menganalisis ketuhanan, mereka memakai bantuan ilmu logika
Yunani, satu sistem teologi untuk mempertahankan kedudukan keimanan. Hasil dari
paham Mu’tazilah yang bercorak rasional ialah muncul abad kemajuan ilmu
pengetahuan dalam Islam. Namun kemajuan ilmu pengetahuan akhirnya menurun
dengan kalahnya mereka dalam perselisihan dengan kaum Islam ortodoks.
Mu’tazilah lahir sebagai pecahan dari kelompok Qadariah, sedang Qadariah adalah
pecahan dari Khawarij.
b. Qodariah
Golongan yang berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam
berkehendak dan berbuat. Manusia sendiri yang menghendaki apakah ia akan kafir
atau mukmin dan hal itu yang menyebabkan manusia harus bertanggung jawab
atas perbuatannya.
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan
langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?
Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (QS. Al-Ghasyiyah/88 : l7-20).
1. PEMBAGIAN TAUHID
Tauhid dibagi menjadi 3 macam yakni tauhid rububiyah, uluhiyah dan Asma wa Sifat
a. Mengesakan Allah dalam Rububiyah-Nya
Maksudnya adalah kita meyakini keesaan Allah SWT dalam perbuatan-
perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh Allah SWT, seperti mencipta dan
mengatur seluruh alam semesta beserta isinya, memberi rezeki, memberikan
manfaat, menolak mudharat dan lainnya yang merupakan kekhususan bagi Allah
SWT. Hal yang seperti ini diakui oleh seluruh manusia, tidak ada seorang pun yang
mengingkarinya. Orang-orang yang mengingkari hal ini, seperti kaum atheis, pada
kenyataannya mereka menampakkan keingkarannya hanya karena kesombongan
mereka. Padahal, jauh di dalam lubuk hati mereka, mereka mengakui bahwa
tidaklah alam semesta ini terjadi kecuali ada yang membuat dan mengaturnya.
Mereka hanyalah membohongi kata hati mereka sendiri. Hal ini sebagaimana firman
Allah SWT “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang
menciptakan? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? sebenarnya
mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan).“ (QS. Ath-Thur/52 : 35-36)
Namun pengakuan seseorang terhadap Tauhid Rububiyah ini tidaklah
menjadikan seseorang beragama Islam karena sesungguhnya orang-orang musyrikin
Quraisy yang diperangi Rasululloh mengakui dan meyakini jenis tauhid ini.
Sebagaimana firman Allah SWT, “Katakanlah: ‘Siapakah Yang memiliki langit yang
tujuh dan Yang memiliki ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan
Allah SWT.’ Katakanlah: ‘Maka apakah kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah:
‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia
melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari -Nya, jika kamu
mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah SWT.’ Katakanlah: ‘Maka
dari jalan manakah kamu ditipu?’” (QS. Al-Mu’minun/23 : 86-89).
“Dialah Allah SWT Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa,
hanya bagi Dialah Asmaaul Husna.” (Al-Hasyr/59 : 24)
Seseorang baru dapat dikatakan seorang muslim yang tulen jika telah
mengesakan Allah SWT dan tidak berbuat syirik dalam ketiga hal tersebut di atas.
Barangsiapa yang menyekutukan Allah SWT (berbuat syirik) dalam salah satu saja
dari ketiga hal tersebut, maka dia bukan muslim tulen tetapi dia adalah seorang
musyrik.
2. KEDUDUKAN TAUHID
Tauhid memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam agama ini. Pada
kesempatan kali ini kami akan membawakan tentang kedudukan Tauhid Uluhiyah
(ibadah), karena hal inilah yang banyak sekali dilanggar oleh mereka-mereka yang
mengaku diri mereka sebagai seorang muslim namun pada kenyataannya mereka
menujukan sebagian bentuk ibadah mereka kepada selain Allah SWT, baik itu
kepada wali, orang shaleh, nabi, malaikat, jin dan sebagainya.
1. Etimologi
"Muhammad" dalam bahasa Arab berarti "dia yang terpuji". Muslim
mempercayai bahwa ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad adalah
penyempurnaan dari agama-agama yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya.
Mereka memanggilnya dengan gelar Rasul Allah, dan menambahkan kalimat
Sallallaahu Alayhi Wasallam , yang berarti "semoga Allah memberi kebahagiaan dan
keselamatan kepadanya"; sering disingkat "S.A.W" atau "SAW") setelah namanya.
Selain itu Al-Qur'an dalam Surah As-Saff/61 : 6 menyebut Muhammad dengan nama
"Ahmad" ()أحمد, yang dalam bahasa Arab juga berarti "terpuji".
2. Genealogi
Silsilah Muhammad dari kedua orang tuanya kembali ke Kilab bin Murrah bin
Ka'b bin Lu'ay bin Ghalib bin Fihr ( Quraish) bin Malik bin an-Nadr (Qais) bin Kinanah
bin Khuzaimah bin Mudrikah (Amir) bin Ilyas bin Mudar bin Nizar bin Ma`ad bin
Adnan.[3] Dimana Adnan merupakan keturunan laki-laki ke tujuh dari Ismail bin
Ibrahim, yaitu keturunan Sam bin Nuh. Muhammad lahir di hari Senin, 12 Rabi’ul
Awal tahun 571 Masehi (lebih dikenal sebagai Tahun Gajah).
Kegelisahan itu bertambah besar pada saat wahyu yang beliau nanti-
nantikan tidak kunjung datang, hingga menurut beberapa riwayat beliau
sedemikian gelisah, sampai-sampai konon beliau hampir saja mencelakakan dirinya.
Rupanya Allah Swt. bermaksud menjadikan beliau lebih merindukan lagi "sang
kekasih dan firman-firman-Nya" agar semakin mantap cinta beliau kepada-Nya.
Surat Adh-Dhuha menyatakan sekelumit hal itu, sekaligus sekilas kedudukan beliau
di sisi Allah.
Surat ini turun berkenaan dengan kegelisahan Nabi Muhammad Saw. karena
ketidakhadiran Malaikat Jibril membawa wahyu setelah sekian kali sebelumnya
datang. "Demi adh-dhuha, dan malam ketika hening. Tuhanmu tidak meninggalkan
kamu dan tidak pula membenci-(mu dan siapa pun). Mengapa adh-dhuha -yakni
"matahari ketika naik sepenggalah"-yang dipilih berkaitan dengan wahyu-wahyu
yang diterima oleh Nabi Saw., atau apakah adh-dhuha ada kaitannya dengan
ketidakhadiran wahyu-wahyu Ilahi? Ketika matahari naik sepenggalah, cahayanya
memancar menerangi seluruh penjuru. Cahayanya tidak terlalu terik, sehingga tidak
menyebabkan gangguan sedikit pun, bahkan panasnya memberikan kesegaran,
kenyamanan, dan kesehatan.
Di sini Allah Swt. melambangkan kehadiran wahyu selama ini sebagai
kehadiran cahaya matahari yang sinarnya demikian jelas, menyegarkan, dan
menyenangkan. Sedangkan ketidakhadiran wahyu dinyatakan dengan kalimat,
"Demi malam ketika hening." Dari kedua hal yang bertolak belakang itu, Allah
menafikan dugaan atau tanggapan yang menyatakan bahwa Muhammad Saw.
telah ditinggalkan oleh Tuhannya, atau bahkan Tuhan telah membencinya.
Kehadiran malam tidak menjadikan seseorang boleh berkata bahwa
matahari tidak akan terbit lagi, karena kenyataan sehari-hari membuktikan
kekeliruan ucapan seperti itu. Nah, ketidakhadiran wahyu beberapa saat tidak
dapat dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa wahyu tidak akan hadir lagi atau
Muhammad telah ditinggalkan oleh Tuhannya. Ketidakhadiran antara lain menjadi
isyarat kepada Nabi Muhammad Saw. untuk beristirahat, karena "malam" dijadikan
Tuhan sebagai waktu "beristirahat." Dapat juga dikatakan bahwa ketidakhadiran
wahyu justru pada saat Nabi Muhammad menanti-nantikannya, membuktikan
bahwa wahyu adalah wewenang Tuhan sendiri.
Walaupun keinginan Nabi Saw. meluap-luap menantikan kehadirannya,
namun jika Tuhan tidak menghendaki, wahyu tidak akan datang. Ini membuktikan
bahwa wahyu bukan merupakan hasil renungan atau bisikan jiwa. Kenabian
Muhammad SAW. bukan merupakan hal yang baru bagi umat manusia. Nabi
Muhammad secara tegas diperintahkan untuk menyatakan hal itu, "Katakanlah,
'Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul. Aku tidak mengetahui yang
diperbuat terhadapku, tidak juga terhadapmu. Aku tidak lain hanya mengikuti yang
diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain seorang pemberi peringatan yang
menjelaskan.'" (QS. Al-Ahqaf/46 : 9)
Namun demikian' kenabian Muhammad Saw. berbeda dengan kenabian
utusan Tuhan yang lain. Sebelum beliau, para Nabi dan Rasul diutus untuk
masyarakat dan waktu tertentu, tetapi Nabi Muhammad Saw. diutus untuk seluruh
manusia di setiap waktu dan tempat, "Katakanlah (hai Muhammad), 'Wahai seluruh
manusia! Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk kamu semua'" (QS Al-A'raf /7
: 158)
1. Pengucapan lisan.
Seseorang dikatakan tidak beriman terhadap sesuatu sampai dia
mengucapkan dengan lisannya apa yang dia imani tersebut. Karenanya barangsiapa
yang mengimani sesuatu dengan hatinya akan tetapi dia tidak mengucapkannya
maka dia tidaklah dihukumi beriman kepadanya, selama dia sanggup untuk
mengucapkannya dengan lisannya. Allah Ta’ala berfirman, “Maka betul-betul demi
Rabbmu, mereka tidak beriman sampai menjadikan engkau (wahai Muhammad)
sebagai pemutus perkara pada semua perselisihan yang terjadi di antara mereka,
kemudian mereka tidak mendapati di dalam diri-diri mereka adanya perasaan berat
untuk menerima keputusanmu dan mereka berserah dengan sepenuh penyerahan
diri.” (QS.An-Nisa`/4 : 65)
Maka dalam ayat ini Allah meniadakan keimanan dari seseorang sampai
mereka menerima dengan sepenuh hati keputusan Rasulullah lalu melaksanakan
keputusan tersebut dengan lisan atau perbuatan mereka. Rasulullah -shallallahu
alaihi wasallam- juga bersabda, “Iman mempunyai 73 sampai 79 cabang, yang paling
utama -dalam sebagian riwayat: Yang paling tinggi- adalah ucapan ‘laa ilaha
illallah’, yang paling rendahnya adalah menyingkirkan duri dari jalanan dan malu
adalah salah satu dari cabang-cabang keimanan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari
Abu Hurairah)
Di antara dalil akan hal ini adalah kesepakatan para ulama akan matinya
Abu Thalib -paman Rasulullah- dalam keadaan kafir. Karena walaupun dia
meyakini kebenaran Islam, akan tetapi dia tidak mau mengucapkannya karena
malu atau sombong. Sebagian sekte sesat dalam Islam seperti Al-Karramiah
(pengikut Muhammad bin Karram) meyakini bahwa Iman itu hanya pengucapan
dengan lisan semata tanpa perlu meyakini dan mengamalkannya. Keyakinan ini
terbantahkan dengan semua dalil yang mempersyaratkan harus adanya keyakinan
hati dan pengamalan anggota tubuh dalam keimanan. Keyakinan ini juga
melazimkan bahwa orang munafik itu seorang mukmin karena dia telah
mengucapkan dan mengamalkan Islam -walaupun tanpa meyakinin kebenarannya-
, dan tentu saja kelaziman ini batil. Kalau suatu kelaziman dari sesuatu adalah
kebatilan maka berarti sesuatu itu juga merupakan kebatilan.
Ali, Amir. (1998), The Spirit of Islam, Delhi, Idarah-Al Adabiyat – I Delhi
Ali, Muhammad Daud. (1997). Pendidikan Agama Islam , Jakarta, Rajawali Press
Armstrong, Karen. (2004), Sejarah Tuhan, Kisah pencarian Tuhan Yang dilakukan
oleh orang-orang Yahudi, Kristen dan Islam selama 4000 tahun, Bandung, Mizan
Depag RI, (1989), Alquran dan terjemahnya, Bandung, Gema Risalah Press
Esposito, John (1998). Islam: The Straight Path. Oxford University Press.
Hawwa, Said, (1995), Jalan Ruhani, Bimbingan Tasawuf untuk Para Aktivis Islam ,
Bandung, Mizan
http://muslim.or.id/aqidah/hakekat-tauhid.html
Lings, Martin. (2002), Muhammad: Kisah Hidup Nabi berdasarkan Sumber Klasik,
Jakarta, Serambi
MH, Amin Jaiz, (1980), Pokok-pokok Ajaran Islam , Jakarta, Korpri Unit PT. Asuransi
Jasa Indonesia
Qutb, Muhammad. (1993), Memurnikan kalimat Laa Ilaa Ha Illallah, Bandung, Gema
Insani Press
Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin, (1999), Al-Qadha wal Qadar, edisi Indonesia
Qadha & Qadhar, Terj A.Masykur Mz, ttp, Penerbit Darul Haq
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, (2004), Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, ttp,
Penerbit Pustaka At-Taqwa