samawi.2 Dengan kata lain, Tuhan menegaskan kepada umat Islam agar terus
menghidupkan tauhid itu sebagai akar-akar tradisinya, yang menjadi sumber
nilai, aturan, norma, dan landasan kepercayaan hidup di berbagai fase sejarah
dan dalam sistuasi sosio-kultural apapun.
Bagi umat Islam, tauhid memang merupakan kesadaran beragama yang
paling fundamental, sehingga aktivitas apapun dalam kehidupan mereka
harus senantiasa dinafasi oleh prinsip dan semangat tersebut. Dalam banyak
literatur sejarah disebutkan bahwa keberhasilan umat Islam mengembangkan
dakwah dan kekuatan peradabannya pada abad ke 7–14 M. tidak terlepas dari
kuatnya semangat mereka untuk mempertahankan citra tauhid tersebut.3
Sebaliknya, ketika pamor peradaban Islam pada akhir abad pertengahan telah
meredup, bahkan sebagian orang mungkin menganggapnya telah mati, maka
tidak sedikit para ahli dunia Islam yang melihat salah satu faktornya ialah karena
melemahnya kekuatan tauhid itu dalam kesadaran hidup masyarakat muslim.
Sebagai pandangan dunia yang ditawarkan oleh Tuhan sendiri, tentu
di dalam tauhid itu terdapat kekuatan yang maha dahsyat, apabila sejumlah
nilai, ajaran, dan semangat yang ada di dalamnya dilaksanakan sepenuhnya
dan sungguh-sungguh. Selain itu, Islam sebagai suatu agama yang secara
tegas mendeklarasikan tauhid sebagai fondasi keimanan juga menjamin
kebahagiaan dan kesejahteraan hidup seluruh umat manusia, ketika seluruh
ajaran-ajarannya dilaksanakan secara konsisten. Perkembangan masyarakat
muslim, sebagaimana ditengarai oleh para pemerhati dunia Islam, setidaknya
bisa dijadikan saksi sejarah mengenai relevansi pandangan dunia tauhid sebagai
kekuatan dalam peradaban umat manusia.
2
Firman Allah: “Katakan (olehmu Muhammad), Wahai para penganut kitab suci, marilah
kita semuanya menuju ajaran bersama antara kami dan kamu sekalian, yaitu bahwa kita
tidak menyembah kecuali Tuhan dan tidak menyekutukan-Nya kepada sesuatu apapun
juga, dan kita tidak mengangkat sesama kita sebagai tuhan-tuhan selain Tuhan Yang
Maha Esa (Allah). Tetapi jika mereka (para penganut kitab suci itu) menolak, katakanlah
olehmu sekalian (engkau dan para pengikutmu), Jadilah kamu sekalian (wahai para
penganut kitab suci) sebagai saksi bahwa kami adalah orang-orang yang pasrah kepada-
Nya (muslimun).” (QS. Ali Imran/3:64)
3
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1996), 43-
44. Juga, Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains
Islam, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1994)
3
Isma’il Radji al-Faruqi dan Lois al-Faruqi, Atlas Budaya Islam:Menjelajah Khazanah
4
Peradaban Islam, dalam (terj.) Ilyas Hasan. (Bandung: Mizan, 1998), 110.
4
Muhammad ‘Athif al-Iraqiy, al-Naz’ah al-‘Aqliyah fi Falsafah ibn Rusyd, (Kairo: Dar al-
5
6
Agus Mulyono & M. Abtokhi, Fisika dan al-Qur’an, (Malang: UIN Malang Press, 2006)
7
Ibnu Rusyd, al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah fi ‘Aqaid al-Millah, (Beirut: Dar al-Afak
al-Jadidah, 1978), 60.
8
Al-Iraqiy, al-Naz’ah al-‘Aqliyah, 276.
9
“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu
Telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang
mereka sifatkan.” (QS. al-Anbiya’/21:22)
6
Istilah tawhid merupakan kata benda kerja (verbal noun) aktif, yakni
memerlukan pelengkap penderita atau obyek, sebagai derivasi atau tashrif dari
kata wahhada-yuwahhidu yang artinya menyatukan atau mengesakan. Dalam
makna generiknya, kata tawhid juga bisa digunakan untuk arti mempersatukan
hal-hal yang terserak-serak atau terpecah-pecah. Misalnya, penggunaan dalam
Bahasa Arab, tawhid al-kalimah kurang lebih berarti mempersatukan paham,
atau dalam ungkapan lain tawhid al-quwwah berarti mempersatukan kekuatan.14
Namun, di dalam al-Qur’an tidak dijumpai secara langsung kata tawhid
yang dipakai untuk mengungkapkan keesaan Allah. Sebab, kata tawhid ini
digunakan sebagai istilah teknis oleh para teolog muslim (mutakallimin)
untuk paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau monoteisme. Al-Quran hanya
menggunakan kata ahad15 yang diterjemahkan dengan kata esa, terambil dari
akar kata wahdat yang berarti kesatuan, seperti juga kata wahid16 yang berarti
satu. Kata ini sekali berkedudukan sebagai nama dan sekali sebagai sifat bagi
sesuatu. Apabila ia berkedudukan sebagai sifat, maka ia hanya digunakan untuk
Allah Swt. semata.
Menurut Quraish Shihab, kata ahad walaupun dari segi bahasa memiliki
kesamaan akar dengan kata wahid, tetapi masing-masing memiliki makna dan
penggunaan tersendiri. Kata ahad hanya digunakan untuk sesuatu yang tidak
dapat menerima penambahan baik dalam benak apalagi dalam kenyataan,
sehingga ketika berfungsi sebagai sifat, kata ini tidak termasuk dalam
rentetan bilangan. Berbeda halnya dengan kata wahid (satu) yang dapat
ditambah sehingga menjadi dua, tiga dan seterusnya, meskipun penambahan
itu hanya dalam benak pengucap atau pendengarnya.17
Itulah sebabnya, ketika al-Kindi hendak menyatakan keesaan Allah
dengan menggunakan kata wahid, tetapi yang tidak menerima penjumlahan
14
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, (Jakarta: Paramadina, 1992), 72.
15
Kata ini di dalam al-Qur’an terulang sebanyak 85 kali, di antaranya lihat (QS. al-
Ikhlash/ 112:1): “Katakanlah! Dialah Allah Yang Maha Esa.”.
16
Lihat (QS. al-Baqarah/2:163): “Tuhanmu adalah Tuhan yang Wahid (Esa), tiada Tuhan
selain Dia, Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
17
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudlu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung: Mizan, 1998), 32.
8
Itu sebabnya Tuhan menciptakan jin dan manusia tidak lain agar mereka beribadah.
18
(QS.
9
melindungi ajaran akidah Islam dari serangan penganut agama lain, khususnya
Kristen, yang telah memperkuat argumentasi ajaran agamanya dengan logika
dan filsafat Yunani. Atas dasar itu, tauhid sebagai prinsip ajaran Islam telah
membawa para teolog pada suatu pemikiran bahwa Allah harus benar-benar
berbeda dari makhluk. Bagi mereka, hal yang paling membedakannya adalah
bahwa Tuhan merupakan satu-satunya Pencipta segala yang ada. Dari itu mereka
mengartikan formulasi tauhid di atas sebagai “la qadima illallah” (artinya,
tidak ada yang qadim kecuali Allah). Kata qadim dalam teologi Islam berarti
sesuatu yang wujudnya tidak mempunyai permulaan dalam zaman, yaitu tidak
pernah tidak ada di zaman lampau, dan bisa pula mengandung arti tidak
diciptakan. Jadi sederhananya, yang qadim itu hanyalah Tuhan, sedangkan alam
(segala sesuatu selain Dia) adalah huduts (dalam arti baru atau diciptakan).
Kalau alam ini juga qadim, maka akan membawa pada paham ta’addudul
qudama’ (berbilangnya pencipta). Dalam terminologi al-Qur’an paham ini
disebut dengan syirk atau politeisme, yakni suatu dosa paling besar yang tidak
diampuni oleh Tuhan.19
Berbeda dengan fuqaha’ dan kaum teolog, para filosof muslim dan sufi
memiliki tafsir mereka sendiri mengenai tauhid. Bagi para filosof,
2. Tauhid dan Hakikat Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Tauhid sebagai prinsip yang paling utama dalam ajaran Islam memiliki
implikasi yang sangat luas bagi keseluruhan pola dan tata cara hidup masyarakat
muslim. Dia bukan saja menjadi kerangka keimanan (frame of faith) bagi umat
Islam terhadap Allah Swt., tetapi juga merupakan kerangka pemikiran (frame
of thought) dalam menemukan hakikat kebenaran mengenai segala yang ada
di alam semesta ini pada seginya yang abstrak, potensial, maupun yang
konkret. Dengan demikian, tauhid sebagai kerangka pemikiran merupakan
suatu dimensi filosofis tersendiri yang sangat relevan dalam usaha memahami
hakikat ilmu pengetahuan.
19
Harun Nasution, “Filsafat Islam”, dalam Budhy Munawar-Rachman, Kontekstualisasi Doktrin
Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), 154.
10
(QS. al-Anbiya’/21:25), (QS. al-A’raf /7:59, 65, 73 dan 85), (QS. Thaha/20:13-14), (QS.
24