Anda di halaman 1dari 14

1

A. Tauhid: Akar Tradisi Intelektual Masyarakat Muslim


Setiap masyarakat dalam kehidupannya senantiasa dipenuhi oleh nilai-
nilai, aturan-aturan, dan sistem kepercayaan yang mampu membentuk pola
berfikir dan berperilaku para anggotanya. Dalam kehidupan sosial, biasanya
seperangkat nilai, aturan, dan kepercayaan itu akan teralirkan dari satu generasi
ke generasi melalui suatu proses sosialisasi yang pada akhirnya membentuk
suatu tradisi di tengah masyarakat. Itu sebabnya, sebagai suatu konsep sosio-
logis, tradisi biasa diartikan meliputi pandangan dunia (worldview) yang
terkait dengan nilai-nilai, aturan-aturan, sistem kepercayaan, dan pola berfikir
masyarakat dalam keseluruhan tata cara hidupnya.
Masyarakat muslim adalah suatu kelompok masyarakat yang dikenal
memiliki akar-akar tradisi yang kokoh, karena Islam yang mereka peluk menjadi
bagian dari mata rantai sistem kepercayaan universal yang telah ada--mungkin--
ratusan abad sebelumnya, sejak masa Nabi Adam. Pandangan ini didasarkan
pada penegasan berbagai surat di dalam al-Qur’an, bahwa para nabi dan rasul
terdahulu mewariskan paham Ketuhanan Yang Maha Esa (tawhid) kepada
umatnya masing-masing sebagaimana Nabi Muhammad mengajarkannya pada
umat Islam.1 Kokohnya akar tradisi ini juga dikarenakan al-Qur’an secara tegas
memerintahkan orang-orang Islam agar menjadikan tawhid sebagai titik temu
(kalimah sawa’) dan pandangan hidup bersama di antara sesama agama
1
Misalnya, (QS. al-Anbiya’/21:25) menyebutkan bahwa “Kami tidak mengutus seorang
Rasul pun sebelum kamu, kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Tuhan
selain Aku, maka sembahlah Aku.” Kemudian (QS. al-A’raf /7:59, 65, 73 dan 85) yang
menjelaskan ucapan Nabi Nuh, Shaleh dan Syu’aib: “Wahai kaumku, sembahlah Allah,
sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” Demikian juga ajaran yang diterima oleh
Nabi Musa langsung dari Allah yang tergambar pada (QS. Thaha/20:13-14): “Aku yang
memilihmu, maka dengarkan dengan tekun apa yang akan diwahyukan (padamu):
Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku. Sembahlah Aku dan
dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” Begitu juga Nabi Isa yang mengajarkan prinsip
ini kepada umatnya yang tersebut dalam (QS. al-Maidah/5:72) “Isa berkata (kepada Bani
Israil): Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Sesungguhnya siapa
saja yang mempersekutukan-Nya maka Allah mengharamkan baginya surga, dan
tempatnya adalah di neraka. Tiada penolong bagi orang-orang yang aniaya.” Bandingkan
pula firman Tuhan kepada Nabi Ibrahim dalam (QS. al-Ankabut/29:16) “Sembahlah
Allah dan bertakwalah kepada-Nya, hal itu lebih baik untukmu kalau kamu mengetahui.”
Juga (QS. al-Anbiya’/21:56) “Dia (Ibrahim) berkata (kepada kaumnya), Sebenarnya
Tuhan kamu adalah Tuhan seluruh langit dan bumi yang telah menciptakannya, dan aku
termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu.”
2

samawi.2 Dengan kata lain, Tuhan menegaskan kepada umat Islam agar terus
menghidupkan tauhid itu sebagai akar-akar tradisinya, yang menjadi sumber
nilai, aturan, norma, dan landasan kepercayaan hidup di berbagai fase sejarah
dan dalam sistuasi sosio-kultural apapun.
Bagi umat Islam, tauhid memang merupakan kesadaran beragama yang
paling fundamental, sehingga aktivitas apapun dalam kehidupan mereka
harus senantiasa dinafasi oleh prinsip dan semangat tersebut. Dalam banyak
literatur sejarah disebutkan bahwa keberhasilan umat Islam mengembangkan
dakwah dan kekuatan peradabannya pada abad ke 7–14 M. tidak terlepas dari
kuatnya semangat mereka untuk mempertahankan citra tauhid tersebut.3
Sebaliknya, ketika pamor peradaban Islam pada akhir abad pertengahan telah
meredup, bahkan sebagian orang mungkin menganggapnya telah mati, maka
tidak sedikit para ahli dunia Islam yang melihat salah satu faktornya ialah karena
melemahnya kekuatan tauhid itu dalam kesadaran hidup masyarakat muslim.
Sebagai pandangan dunia yang ditawarkan oleh Tuhan sendiri, tentu
di dalam tauhid itu terdapat kekuatan yang maha dahsyat, apabila sejumlah
nilai, ajaran, dan semangat yang ada di dalamnya dilaksanakan sepenuhnya
dan sungguh-sungguh. Selain itu, Islam sebagai suatu agama yang secara
tegas mendeklarasikan tauhid sebagai fondasi keimanan juga menjamin
kebahagiaan dan kesejahteraan hidup seluruh umat manusia, ketika seluruh
ajaran-ajarannya dilaksanakan secara konsisten. Perkembangan masyarakat
muslim, sebagaimana ditengarai oleh para pemerhati dunia Islam, setidaknya
bisa dijadikan saksi sejarah mengenai relevansi pandangan dunia tauhid sebagai
kekuatan dalam peradaban umat manusia.
2
Firman Allah: “Katakan (olehmu Muhammad), Wahai para penganut kitab suci, marilah
kita semuanya menuju ajaran bersama antara kami dan kamu sekalian, yaitu bahwa kita
tidak menyembah kecuali Tuhan dan tidak menyekutukan-Nya kepada sesuatu apapun
juga, dan kita tidak mengangkat sesama kita sebagai tuhan-tuhan selain Tuhan Yang
Maha Esa (Allah). Tetapi jika mereka (para penganut kitab suci itu) menolak, katakanlah
olehmu sekalian (engkau dan para pengikutmu), Jadilah kamu sekalian (wahai para
penganut kitab suci) sebagai saksi bahwa kami adalah orang-orang yang pasrah kepada-
Nya (muslimun).” (QS. Ali Imran/3:64)
3
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1996), 43-
44. Juga, Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains
Islam, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1994)
3

Bagi umat Islam, semangat tauhid yang terkemas dalam ungkapan


persaksian berbentuk negasi-konfirmasi (la ilaha illallah, yang artinya tidak
ada Tuhan selain Allah) seharusnya memang dapat menjadi kekuatan mereka
dalam menjawab berbagai tantangan sejarah dan problematika sosial, sebab ia
memiliki makna esensial, yaitu membebaskan manusia dari berbagai bentuk
otoritas dan petunjuk yang datang dari selain Allah. Dengan mengatakan la
ilaha illallah, maka yang semestinya ada dalam kesadaran seseorang adalah,
bahwa hanya Allah yang memiliki kemutlakan dan segala bentuk nilai atau
kualitas yang bukan milik-Nya adalah nisbi. Dengan kata lain, tauhid
menghendaki kepada setiap muslim agar menjadikan Allah semata sebagai
pusat kesadaran spiritual, individual, sosial, moral, maupun intelektualnya.
Kesetiaannya kepada Allah seyogyanya melampaui segala-galanya. Ketaatan,
kepasrahan, cinta, pengabdian, dan kemauan yang keras semuanya dialirkan
sejalan dengan kehendak dan tuntunan-Nya.
Al-Faruqi setidaknya menemukan dalam pandangan dunia tauhid itu
adanya tiga prinsip dalam memahami realitas, kebenaran, dan sejarah umat
manusia.4 Pertama, bahwa yang ada (being) atau realitas itu secara umum
hanya terdiri dari dari dua jenis, yaitu Tuhan dan selain Tuhan. Di dalam
Islam, realitas yang pertama sudah jelas, Dia adalah Allah yang Mahamutlak,
Mahakuasa, Mahaesa, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Sedangkan realitas selain
Tuhan yang dimaksudkan adalah segala ciptaan-Nya yang bersifat materi maupun
immateri seperti manusia, tumbuhan, hewan, tata surya, jin dan malaikat,
surga dan neraka, serta segala sesuatu yang bersifat menjadi, karena apa pun
esensinya mereka itu adalah ciptaan. Dalam perspektif tauhid, kedua jenis
realitas tadi sejauh menyangkut wujud, ontologi, atau eksistensinya adalah
mutlak berbeda, sebab Pencipta secara ontologis tidak dapat dirubah menjadi
makhluk, dan sebaliknya makhluk juga tidak dapat melampaui dan merubah
dirinya menjadi atau merasa sebagai Pencipta. Inilah yang dimaksudkan oleh al-
Faruqi dengan prinsip dualitas.

Isma’il Radji al-Faruqi dan Lois al-Faruqi, Atlas Budaya Islam:Menjelajah Khazanah
4

Peradaban Islam, dalam (terj.) Ilyas Hasan. (Bandung: Mizan, 1998), 110.
4

Kedua, Di antara kedua jenis realitas tersebut terdapat hubungan yang


bersifat maknawi yang mensyaratkan adanya kekuatan pemahaman pada diri
manusia untuk memahami kehendak mutlak Tuhan yang tertulis di dalam
wahyu (al-Qur’an) maupun yang hanya dapat diketahui melalui pengamatan
terhadap alam semesta. Manusia untuk keperluan ini sudah dibekali oleh Tuhan
dengan suatu faklutas pengetahuan yang memiliki fungsi-fungsi gnosiologis
seperti mengingat, membayangkan, membuat alasan, melakukan pengamatan
merasakan, memahami, dan seterusnya. Inilah yang dimaksudkan dengan prinsip
ideasional.
Ketiga, melalui pemahaman terhadap kehendak mutlak Tuhan yang
tertulis dalam firman-Nya maupun yang terbentang nyata di alam raya seorang
muslim diharapkan dapat menangkap hakekat makro-kosmos yang tidak lain
adalah adanya tujuan (teleologis) yang mendasari keberadaannya. Bahwa segala
yang ada dan gerak-gerak di alam semesta ini terlaksana demi melayani tujuan
Penciptanya dan melakukannya sesuai rencana-Nya. Tanpa adanya prinsip
teleologis tersebut maka tidak mungkin adanya segala sesuatu di alam ini
berada pada kondisinya yang teratur, memiliki jarak dan ukuran yang tepat,
serta sesuai dengan atau memenuhi kebutuhan manusia sepanjang sejarahnya.
Atas dasar prinsip ini pula dunia disebut dengan “kosmos”, yakni ciptaan yang
teratur, bukan “kekacauan”. Tertib di alam semesta ini, dalam logika kalam
kaum Mu’tazilah, memberikan gambaran yang nyata tentang adanya ‘inayah
al-Ilahiy yang dipandang sebagai manifestasi dari keadilan Tuhan kepada
manusia.5 Jika demikian, maka harus pula disadari oleh setiap insan tauhid
bahwa pemahaman terhadap hukum kosmos pada prinsipnya merupakan
suatu keniscayaan guna menangkap pola-pola tujuan, kehendak, dan keadilan
Tuhan yang menyatu dalam hakikat segala sesuatu di alam raya.
Al-Qur’an sejak 15 abad yang lalu menegaskan, bahwa penciptaan alam
semesta dan pada segala sesuatu yang ada di dalamnya terdapat tanda-tanda
kekuasaan-Nya. Satu di antara sekian banyak tanda-tanda itu adalah, bahwa

Muhammad ‘Athif al-Iraqiy, al-Naz’ah al-‘Aqliyah fi Falsafah ibn Rusyd, (Kairo: Dar al-
5

Ma’arif, 1979), 275.


5

alam semesta dalam realitasnya menampakkan adanya keterkaitan di antara


unsur-unsurnya yang membentuk jaringan kesatuan dan kesimbangan melalui
hukum-hukum kosmos. Jaringan kesatuan dan keseimbangan antar-anasir
alam itu misalnya dapat kita saksikan dalam rotasi benda-benda angkasa yang
beredar sesuai dengan orbit atau lintasannya. Bumi yang menjadi tempat tinggal
makhluk hidup dan tata surya lainnya masing-masing bergerak saling
mengitari pusatnya sejak milyaran tahun yang lalu. Sampai saat ini mereka
masih saja beredar sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku bagi dirinya
tanpa ada penyimpangan sedikitpun.6
Menurut Ibnu Rusyd, saling keterkaitan dan kesesuaian hukum-hukum
kosmos yang berlaku di alam itu meniscayakan adanya pencipta (fa’il) yang
menghendaki tujuan tersebut, sebab tidak mungkin adanya kesesuaian itu terjadi
secara kebetulan.7 Selain itu, seperti penuturan al-Faruqi di atas, al-Kindi jauh
sebelumnya pernah menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di alam
semesta ini tidak ada yang tercipta secara sia-sia dan bergerak tanpa adanya
tujuan. Semuanya, menurut filosof muslim pertama di dunia Arab itu, tercipta
dan bergerak sesuai dengan Hikmah al-Ilahiy dan ‘Illah Gha’iyah (sebab tujuan)
tersebut, yakni Tuhan itu sendiri.8 Dari sini, dapat dipahami bahwa saling
keterkaitan antar-anasir alam yang membentuk jaringan kesatuan melalui hukum-
hukum kosmos itu tidak lain merupakan manifestasi dari ketunggalan sumber
dan asal-usul metafisiknya, yaitu Allah Swt.9
Oleh karena itu, bagi umat Islam semangat untuk menemukan kebenaran
melalui ilmu pengetahuan dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
kesadaran tawhid. Di sini, Ilmu pengetahuan diposisikan sebagai salah satu
pendekatan yang dapat mengantarkan seseorang sampai pada Keesaan Realitas

6
Agus Mulyono & M. Abtokhi, Fisika dan al-Qur’an, (Malang: UIN Malang Press, 2006)
7
Ibnu Rusyd, al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah fi ‘Aqaid al-Millah, (Beirut: Dar al-Afak
al-Jadidah, 1978), 60.
8
Al-Iraqiy, al-Naz’ah al-‘Aqliyah, 276.
9
“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu
Telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang
mereka sifatkan.” (QS. al-Anbiya’/21:22)
6

Transenden,10 sedangkan kesadaran tawhid merupakan paradigma dari metode


ilmiah dalam seluruh wilayah ilmu pengetahuan umat Islam. Dengan demikian,
relasi agama dan ilmu pengetahuan di dalam Islam bisa diibaratkan dua sisi
mata uang yang berbeda tetapi tidak dapat saling dipisahkan. Penggunaan rasio
atau ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari keimanan kepada Allah
Yang Transenden, dari ajaran-ajaran, aturan-aturan, nilai-nilai dan prinsip-prinsip
umum yang diberitakan kepada manusia melalui wahyu Ilahi. Kecuali itu,
ilmu pengetahuan juga dikembangkan dengan mewarisi keseluruhan budaya
kemanusiaan setelah dipisahkan benar dari salahnya, baik dari buruknya, atau
yang haq dari bathil-nya. Dengan lain ungkapan, sains di dalam Islam sangat
memperhatikan agama demikian juga sebaliknya, karena sains merupakan jalan
untuk memahami kesatuan realitas kosmos yang telah diberitakan agama.
Dengan kesadaran tawhid dan pendekatan ilmiah itu menjadikan Islam
tumbuh sebagai kekuatan peradaban dunia yang secara gemilang mampu
menjembatani wilayah-wilayah peradaban lokal menjadi peradaban mondial.
Hal ini sebagaimana dinyatakan Nurcholish, bahwa masyarakat Islam adalah
kelompok manusia pertama yang merubah ilmu pengetahuan dari sebelumnya
bersifat parokialistik, bercirikan kenasionalan dan terbatas hanya pada daerah
atau bangsa tertentu menjadi pandangan dunia yang kosmopolit dan universal. 11
Ini terbukti betapa banyak para ilmuwan kelas dunia saat itu lahir dari dunia
Islam yang karya-karyanya menjadi “bidan” bagi kelahiran ilmu pengetahuan
dan peradaban Barat modern. Dalam hal ini Komaruddin12 mengingatkan bahwa
filsafat Yunani dan kemajuan kajian ilmiah di Barat merupakan kontribusi
penting intelektual muslim yang diakui dalam dunia kesarjanaan.13

B. Relevansi Tauhid dalam Struktur Pengetahuan Masyarakat Muslim


1. Makna-makna Tauhid
10
Lebih lanjut mengenai hubungan antara logika ilmiah dengan yang Transenden itu lihat
Fritjof Schuon, Logic and Transcendence, (London: Perenial Books Ltd., 1975).
11
Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997), 13.
12
Komaruddin Hidayat, Ketika Agama, 26.
13
Tema ini antara lain bisa dibaca dalam Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia
Inetelektual Barat-Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996)
7

Istilah tawhid merupakan kata benda kerja (verbal noun) aktif, yakni
memerlukan pelengkap penderita atau obyek, sebagai derivasi atau tashrif dari
kata wahhada-yuwahhidu yang artinya menyatukan atau mengesakan. Dalam
makna generiknya, kata tawhid juga bisa digunakan untuk arti mempersatukan
hal-hal yang terserak-serak atau terpecah-pecah. Misalnya, penggunaan dalam
Bahasa Arab, tawhid al-kalimah kurang lebih berarti mempersatukan paham,
atau dalam ungkapan lain tawhid al-quwwah berarti mempersatukan kekuatan.14
Namun, di dalam al-Qur’an tidak dijumpai secara langsung kata tawhid
yang dipakai untuk mengungkapkan keesaan Allah. Sebab, kata tawhid ini
digunakan sebagai istilah teknis oleh para teolog muslim (mutakallimin)
untuk paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau monoteisme. Al-Quran hanya
menggunakan kata ahad15 yang diterjemahkan dengan kata esa, terambil dari
akar kata wahdat yang berarti kesatuan, seperti juga kata wahid16 yang berarti
satu. Kata ini sekali berkedudukan sebagai nama dan sekali sebagai sifat bagi
sesuatu. Apabila ia berkedudukan sebagai sifat, maka ia hanya digunakan untuk
Allah Swt. semata.
Menurut Quraish Shihab, kata ahad walaupun dari segi bahasa memiliki
kesamaan akar dengan kata wahid, tetapi masing-masing memiliki makna dan
penggunaan tersendiri. Kata ahad hanya digunakan untuk sesuatu yang tidak
dapat menerima penambahan baik dalam benak apalagi dalam kenyataan,
sehingga ketika berfungsi sebagai sifat, kata ini tidak termasuk dalam
rentetan bilangan. Berbeda halnya dengan kata wahid (satu) yang dapat
ditambah sehingga menjadi dua, tiga dan seterusnya, meskipun penambahan
itu hanya dalam benak pengucap atau pendengarnya.17
Itulah sebabnya, ketika al-Kindi hendak menyatakan keesaan Allah
dengan menggunakan kata wahid, tetapi yang tidak menerima penjumlahan
14
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, (Jakarta: Paramadina, 1992), 72.
15
Kata ini di dalam al-Qur’an terulang sebanyak 85 kali, di antaranya lihat (QS. al-
Ikhlash/ 112:1): “Katakanlah! Dialah Allah Yang Maha Esa.”.
16
Lihat (QS. al-Baqarah/2:163): “Tuhanmu adalah Tuhan yang Wahid (Esa), tiada Tuhan
selain Dia, Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
17
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudlu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung: Mizan, 1998), 32.
8

ataupun pengurangan, maka ia menyebut-Nya dengan al-Haqq al-Wahid.


Bagi filosof muslim pertama di dunia Arab ini, keesaan Allah memang tidak
berkonotasi bilangan, artinya jika dijumlah atau dikurang dengan bilangan
lain maka tidak akan menyebabkan terjadinya perubahan pada diri-Nya.
Interpretasi lain mengenai makna tauhid tersebut juga tampak dari wacana
kaum fuqaha’ (ahli jurisprudensi Islam) teolog muslim, para sufi (ahli tasawuf)
maupun filosof muslim. Pada semua kawasan tersebut pemahaman tauhid
sangat berkaitan dengan upaya memahasucikan Allah Swt. dari segala sesuatu
yang dapat mengotori makna keesaan-Nya. Namun, karena disiplin keilmuan
Islam tradisional ini memiliki kerangka berfikirnya masing-masing maka
formula konvensional tauhid yang terdapat dalam kalimat la ilaha illallah
dipahami dan diberikan arti secara beragam.
Para fuqaha’ cenderung memberikan makna harfiah dengan mengartikan
formula tauhid tersebut sebagai “tidak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali
Allah”. Dengan pengertian seperti ini para ahli jurisprudensi Islam menegaskan
kepada kita tentang status kehambaan manusia di hadapan Sang Pencipta. Oleh
karena itu, bagi mereka keyakinan terhadap ke-Esaan Allah harus diwujudkan
dalam kesungguhan manusia untuk hanya “menghamba” (beribadah) kepada-
Nya. Dengan menegaskan status kehambaannya itu di hadapan Allah, maka
seseorang akan mencapai posisi yang lebih tinggi dalam derajat kemanusiannya,
karena sesungguhnya setinggi apapun status sosial manusia di dunia ini di
mata Allah ia adalah seorang hamba.18 Namun, jika seseorang menghambakan
dirinya kepada selain Allah, maka status kemanusiaannya akan jatuh di
bawah apa saja yang disembahnya, karena manusia merupakan ciptaan yang
paling mulia di antara ciptaan-ciptaan-Nya yang lain, bahkan bisa melebihi
malaikat sekalipun.
Adapun para teolog mencoba memasukkan pengertian-pengertian aqliah
(rasional) untuk menetapkan keesaan Allah pada dzat dan perbuatan-Nya
dalam menciptakan alam semesta. Dalil-dalil rasional ini mereka susun untuk

Itu sebabnya Tuhan menciptakan jin dan manusia tidak lain agar mereka beribadah.
18

(QS.
9

melindungi ajaran akidah Islam dari serangan penganut agama lain, khususnya
Kristen, yang telah memperkuat argumentasi ajaran agamanya dengan logika
dan filsafat Yunani. Atas dasar itu, tauhid sebagai prinsip ajaran Islam telah
membawa para teolog pada suatu pemikiran bahwa Allah harus benar-benar
berbeda dari makhluk. Bagi mereka, hal yang paling membedakannya adalah
bahwa Tuhan merupakan satu-satunya Pencipta segala yang ada. Dari itu mereka
mengartikan formulasi tauhid di atas sebagai “la qadima illallah” (artinya,
tidak ada yang qadim kecuali Allah). Kata qadim dalam teologi Islam berarti
sesuatu yang wujudnya tidak mempunyai permulaan dalam zaman, yaitu tidak
pernah tidak ada di zaman lampau, dan bisa pula mengandung arti tidak
diciptakan. Jadi sederhananya, yang qadim itu hanyalah Tuhan, sedangkan alam
(segala sesuatu selain Dia) adalah huduts (dalam arti baru atau diciptakan).
Kalau alam ini juga qadim, maka akan membawa pada paham ta’addudul
qudama’ (berbilangnya pencipta). Dalam terminologi al-Qur’an paham ini
disebut dengan syirk atau politeisme, yakni suatu dosa paling besar yang tidak
diampuni oleh Tuhan.19
Berbeda dengan fuqaha’ dan kaum teolog, para filosof muslim dan sufi
memiliki tafsir mereka sendiri mengenai tauhid. Bagi para filosof,
2. Tauhid dan Hakikat Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Tauhid sebagai prinsip yang paling utama dalam ajaran Islam memiliki
implikasi yang sangat luas bagi keseluruhan pola dan tata cara hidup masyarakat
muslim. Dia bukan saja menjadi kerangka keimanan (frame of faith) bagi umat
Islam terhadap Allah Swt., tetapi juga merupakan kerangka pemikiran (frame
of thought) dalam menemukan hakikat kebenaran mengenai segala yang ada
di alam semesta ini pada seginya yang abstrak, potensial, maupun yang
konkret. Dengan demikian, tauhid sebagai kerangka pemikiran merupakan
suatu dimensi filosofis tersendiri yang sangat relevan dalam usaha memahami
hakikat ilmu pengetahuan.

19
Harun Nasution, “Filsafat Islam”, dalam Budhy Munawar-Rachman, Kontekstualisasi Doktrin
Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), 154.
10

Pemahaman kembali terhadap hakikat ilmu pengetahuan sangat penting


mengingat kehidupan umat manusia dewasa ini sedang berada dalam suatu
ironi (keterbalikan) di mana kemiskinan, kelaparan dan kebodohan belum juga
segera teratasi; jarak antara si kaya dan si miskin semakin tajam; keadilan dan
kejujuran semakin menjadi barang langka; serta kebenaran semakin mudah
direkayasa di tengah-tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Fakta-fakta kemanusiaan ini tidak sejalan dengan cita-cita (das sollen) ilmu
pengetahuan, karena semula ilmu pengetahuan dan teknologi itu dikembangkan
justru demi upaya pembebasan dan memudahkan manusia dalam menghadapi
dan menyelesaikan masalah hidup mereka.
Ironi tersebut terjadi karena ilmu pengetahuan semakin menjauh dari
seluruh pemahaman yang diperoleh secara refleksif, terlebih yang digali dari
penghayatan iman, serta memisahkan keterkaitan antara dunia materi dengan
non-materi, dunia fisik dengan non-fisik, dan dunia dengan akhirat.20 Dengan
trend semacam ini, maka secara filsafati sebenarnya ilmu pengetahuan dan
teknologi telah membawa manusia ke arah pemahaman kebenaran yang semu,
bukan kebenaran hakiki. Lebih jauh dari itu, perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi juga membawa bentuk keterasingan dan kehilangan kepekaan
atas matra ruhani manusia. Manusia menjadi kehilangan kontak ruhaniahnya
dengan dirinya sendiri, manusia lain, alam lingkungan, dan dengan sesuatu
yang bersifat transenden.
Oleh karena itu, demi mengurangi kecenderungan negatif tersebut
diperlukan usaha dan pemikiran yang sungguh-sungguh untuk menegaskan
kembali kedudukan tauhid sebagai frame of thought dalam perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Reposisi tauhid ini diperlukan sebagai sarana
masyarakat muslim untuk mengutuhkan pemahaman tentang kebenaran yang
hendak dicapai melalui ilmu pengetahuan. Kehadiran tauhid di tengah-tengah
pluralitas ilmu pengetahuan dan teknologi ini mengandung arti bahwa
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilakukan dengan
20
Achmad Charris Zubair, “Landasan Aksiologi Ilmu Pengetahuan,” makalah seminar di
Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, Oktober 1997, 7.
.
11

pendekatan interdisipliner atau multidisipliner, diamalkan secara etis, dan


tidak bebas nilai (not value free). Sebab, jika objek material ilmu
pengetahuan tidak lain adalah alam semesta, maka dalam perspektif tauhid
semua unsur-unsur alam semesta tersebut dipahami saling memiliki
keterkaitan satu dengan yang lainnya, sehingga membentuk jaringan kesatuan
melalui hukum-hukum kosmos yang semuanya itu merupakan manifestasi dari
ketunggalan sumber dan asal-usul metafisiknya, yaitu Allah Swt.
Dengan kesadaran yang bersumber dari penghayatan tauhid tersebut
membawa kita pada fenomena tumbuhnya kesadaran spiritual baru. Bahwa,
manusia mulai menyadari apa yang dipelajari dengan teliti melalui ilmu
pengetahuan dan teknologi hanya merupakan satu aspek dari realitas hidup
sesungguhnya yang jauh lebih kaya. Masih banyak sisi dari kehidupan yang
tidak dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan maupun teknologi. Indikasinya
terlihat dari polemik epistemologis yang terus menggugat legitimasi, validitas,
supremasi, akurasi, dan kepastian ilmu. Dengan ilmu pengetahuan yang ada
sekarang, manusia ternyata masih bergumul dengan masalah-masalah mendasar
seperti metron (tolok ukur), problematika Heraklitos-Parmenides (tunggal-
jamak, permanensi-perubahan), serta problema Kant mengenai das ding an
sich dan ratio pura.21 Kenyataan ini dikarenakan manusia dengan ilmu
pengetahuan yang dimilikinya merasakan adanya sesuatu yang hilang dari
eksistensi dirinya, yakni spiritualitasnya. Hossein Nasr dalam Islam and the
Plight of Modern Man menegaskan bahwa akibat masyarakat modern yang
mendewakan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikannya berada dalam
wilayah pinggiran eksistensi dirinya sendiri dan bergerak menjauh dari pusat,
karena pemahaman agama yang berdasarkan wahyu mereka tinggalkan dan
hidup dalam keadaan sekuler.22
Ketika modernisme meletakkan ilmu pengetahuan dan teknologi lebih
dominan dari yang lain, serta agama justru diletakkan pada jenjang terendah
21
A.M.W. Pranarka, Pendekatan Multi Interdisiplin Sebuah Refleksi Kefilsafatan,
makalah seminar Fakultas filsafat UGM, Yogyakarta, Oktober 1997, 5.
22
M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 112.
12

dalam struktur pengetahuannya, maka sebagai konskuensi logisnya terjadilah


pergeseran nilai-nilai yang terkandung di dalam pandangan hidup, sikap dan
perilaku hidup masyarakat, dari derajat yang bersifat kualitatif-spiritual menjadi
kuantitatif-material. Pada saat kebenaran pengetahuan agama ditempatkan
sedemikian rupa, sehingga kedudukan dan fungsinya dianggap kurang
signifikan, maka itulah yang menjadi sebab awal timbulnya kesulitan-
kesulitan dalam ilmu pengetahuan untuk menjelaskan realitas dalam hidup
dan kehidupan manusia dewasa ini. Misalnya, terhadap pertanyaan apa yang
sebenarnya dicari oleh ilmu pengetahuan? Jika jawabannya berupa kebenaran
positif (yakni yang konkrit, riil, nyata, dan terukur) yang bermanfaat bagi
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari manusia adalah tidak salah. Tetapi,
karena sifatnya yang positivistik tersebut, realitasnya ilmu pengetahuan dan
teknologi menjadikan manusia sekadar menikmati sebagian dari hidupnya yang
lebih bersifat material hedonistik, sehingga kehidupannya menjadi tidak penuh
(kurang makna). Bukankah kenikmatan hidup materialistik itu hanya sebagian
kecil saja dari kehidupan yang sesungguhnya?
Oleh karena itu, dalam konteks dunia Islam upaya reposisi tauhid
dalam struktur pengetahuan masyarakat muslim sangat diperlukan. Agama
harus diletakkan kembali sebagai paradigma ilmu pengetahuan, karena justru
agama lah yang menjamin pemenuhan kebutuhan hidup manusia seutuhnya,
apabila ajaran-ajarannya dilaksanakan sepenuhnya dan secara sungguh-sungguh.
Agama dijadikan sebagai suatu kaidah yang membuka pemecahan alternatif
yang mengatasi semua konsep rasional semata. Alasannya sederhana saja,
masih banyak yang berada di luar batas kemampuan akal rasional manusia, dan
berada di luar batas pengalaman keseharian manusia, dan itu juga realitas atau
kebenaran itu sendiri.
Sebagaimana penuturan Aristoteles, bahwa segala sesuatu dalam realitas
kehidupan ini selalu memiliki substansi (sifat hakiki) dan aksidensi. Jika segala
yang ada (baik yang konkret maupun abstrak) bisa dijadikan sebagai sasaran
pokok atau tujuan penyelidikan keilmuan, maka sudah semestinya ilmu
pengetahuan itu tidak membatasi diri hanya menghasilkan pengetahuan yang
13

bersifat teoritis, praktis, dan tekonologis, tetapi seharusnya juga mampu


menghasilkan pengetahuan yang bersifat filosofis-substansial. Pandangan
bapak empirisme Yunani kuno ini juga memberikan gambaran kepada kita,
bahwa dengan begitu sesunguhnya ilmu pengetahuan sebagai bagian dari yang
ada harus pula dipahami dari segi hakikinya (noumena) maupun gejalanya
(fenomena). Berkaitan dengan pembahasan mengenai hakikat ilmu dalam
Islam ini dapat dilihat pula dari tiga nilai ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu
dari nilai ontologi, epistemologi, dan aksiologinya.
a. Nilai Ontologi: Tauhid sebagai Pusat Kesadaran Ilmiah
Dalam studi filsafat, ontologi biasa diartikan sebagai metafisika umum
(generale metafisics) dan sering juga disebut dengan filsafat pertama. Namun
sebagian orang ada yang menyebutnya sebagai “pohon” filsafat, atau filsafat
itu sendiri.23 Sebagai pohon filsafat, maka ontologi mempersoalkan tentang
sesuatu di balik segala yang ada, sampai pada keadaannya yang paling hakiki.
Yaitu, sampai pada suatu titik abstrak tertinggi dari segala sesuatu (an ultimate
nature of everything). Pada titik abstrak tertinggi atau hakikat abstrak terakhir
inilah segala sesuatu yang berbeda-beda dan terpisah-pisah jenis, bentuk atau
sifatnya akan menemukan kesamaannya dan menyatu dalam substansi. Sebagai
misal, para filosof muslim seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali,
Ibnu Rusyd, dan sebagainya tersatukan dalam kesamaan sebagai manusia.
Sedangkan manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain yang berbeda-
beda dan terpisah-pisah, menyatu dalam substansi abstrak (jenisnya) sebagai
makhluk. Demikian juga semua makhluk dengan bahan dasar penciptaannya
masing-masing berasal dan akan kembali pada tujuan yang sama, yaitu Tuhan
sebagai Causa Prima, Yang Satu, Yang Absolut, Yang Abadi, dan seterusnya.
Tauhid secara tegas mengajarkan kepada umat Islam agar hanya
menjadikan Tuhan sebagai pusat kesadaran intelektual mereka.
Dengan demikian, ontologi sebagai suatu cabang filsafat selaras dengan
pandangan dunia tauhid bahwa Tuhan sebagai Pencipta merupakan sebab awal

Suparlan Suhartono, Dasar-dasar Filsafat, (Yogyakarta: ar-Ruzz, 2005), 151-152.


23
14

dan akhir sebagai kerangka pemikiran (frame of thought) sebenarnya


merupakan suatu pusat kesadaran ilmiah yang sangat mendasar, sebab jauh
sebelum manusia mampu berteori mengenai titik abstrak tertinggi dari segala
yang ada di alam ini, Allah Swt. sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an24
telah mengisyaratkan nilai ontologis tersebut lewat ajaran tentang tauhid.

b. Nilai Epistemologi: Tauhid sebagai Kepribadian Ilmu Pengetahuan


c. Nilai Aksiologi: Tauhid sebagai Prinsip Etika Ilmuwan Muslim

(QS. al-Anbiya’/21:25), (QS. al-A’raf /7:59, 65, 73 dan 85), (QS. Thaha/20:13-14), (QS.
24

al-Maidah/5:72), (QS. al-Ankabut/29:16), dan (QS. al-Anbiya’/21:56).

Anda mungkin juga menyukai