Nim : 201320076
Kelas : IAT VI B
A. Pendahuluan
Pluralitas (kemajmukan), adalah sebuah fenomena yang tidak mungkin kita hindari.
Kita hidup di dalam kemajemkan dan merupakan bagian dari proses ke- majmeukan, aktif
maupun pasif. La menyusup dan menyangkut dalam setiap dan seluruh kehidupan kita, tak
terkecuali juga dalam hal kepercayaan. Namun menurut Abdul Mun’im Muhammad Khallaf
dalam bukunya Agama dalam Presfektif Rasional sebagaimanan yang dikutip oleh Tobroni
dan Syamsul Arifin, bahwa dalam kehidupan manusia yang menimbulkan suatu masalah
besar di antaranya adalah masalah yang berkaitan dengan agama. Sementara masalah
keagamaan akan mempengaruhi proses per- kembangan kehidupan manusia terutama dalam
masalah humanistik, moral, etika, estetika dan pluralitas.
Jadi pluralitas merupakan sunnatullah yang mesti terjadi dan dijalani dalam dinamika
kehiduapan ini, namun kita harus menghadapi kendala-kendala yang tidak mudah, satu sisi
komunitas lain begitu inklusif dan di sisi lain harus mengedepankan afiliasi dan asimilasi
terhadap masyarakat pluralitas. Namun dengan de- mikian Islam dengan kitab al-qur’an
memegang nilai- nilai keterbukaan, egaliter dan kreatif dinamis. Sehingga pluralitas
diharapkan suatu acuan kehidupan sehari- hari.
Pluralitas dalam Islam juga menempatkan humanisme (sosial) pada tataran dan
martabat manusia yang menekankan prinsip penghargaan dan kesetaraan dalam hubungan
antar manusia. Menghargai dan kesataraan merupakan dasar bagi pembangunan
keharmonisan dalam hubungan antar manusia, yang kemudian tercipta suatu sikap toleransi
dalam kemasyarakatan yang majemuk.
Sikap agama terhadap pluralitas sangat jelas. Agama tidak menolak adanya pluralitas,
bahkan agama memberikan kerangka sikap etis. Dari sudut pandangan ajaran al-quran
(Islam), sikap etis yang harus dikembangkan tercermin dari beberapa ayat al-quran yang
secara explisit mengakui kenyataan tersebut. Misalnya surat al-Hujurat:13
يا ايها الناس انا خلقنكم من ذكر وأنثى وجعلنكم شعوبا وقبائل لتعارفوا اناكرمكم عند هللا
اتقكم ان هللا عليم خبير
Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal mengenal Sesungguhnya orang-orang yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha mengenal” (QS. Al- Hujurat 13)
ومن اينه خلق السموت واالرض واختالف السنتكم والوانكم ان في ذلك اليت للعلمين
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya lalah menciptakan langit dan bumi dan
berlain- lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu bener
bener terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui
Begitupun bila kita melihat seperti apa yang pernah dikembangkan oleh Nabi
Muhammad SAW., di Madinah dalam menghadapi masyarakat yang plu- ralistik, Nabi
berusaha mencari titik temu berbagai golongan dengan terlebih dahulu mengakui hak
eksistensi masing-masing kelompok lain yang lebih dikenal dengan "konstitusi Madinah",
dan sunnah Nabi tersebut diteruskan oleh khalifah kedua dalam menghdapi penduduk
Yerussalam yang dikenal dengan "Piagam Aelia".
Sikap yang diajarkan oleh Nabi di atas merupakan sikap yang demokratis dan
cerminan sebagai kearifan penafsiran ajaran agama, dan pengembangan sikap eksternal
ketika berhadapan dengan agama-agama Jain. Sikap semacam inilah yang oleh Nurcholish
Masjid disebut dengan cara beragama al-hanafiyyah al-samhah, yaitu sikap beragama yang
lapang dan terbuka.20 Saling memahami, dan menghormati kapasitas agama masing-
masing.
Adapun yang dimaksud dengan walladzina hadu dalam al-quran, adalah orang-orang
Yahudi. Ada empat macam pendapat mengenai silsilah kata Yahudi. Pertama, Yahudi
dinisbahkan kepada Yahudza, putera tertua Nabi Ya’kub AS, kedua, kata Yahudi
diambil dari kata hada al-qawm yahuduna hawdatan wa-hiyadatan, manakala mereka
bertobat dari kesalahannya menuhankan al-‘ijl, yaitu sekor anak lembu yang dibuat dari
emas saat Nabi Musa menerima wahyu dibukit Thur Sina. Ketiga, karena meraka
menyatakan innahudna ilayk (sesungguhnya kami bertobat kepada Engkau, pernyataan
ini termaktub dalam QS. Al-A'raf: 156. keempat, bahwa kata Yahudi, dikaitkan dengan
kembalinya orang-orang Yahudi setelah menjadi imigran ke beberapa negara
internasional selama 70 tahun, yang akhirnya mendirikan negara Yahudi yang
beidiologi agama Yahudi, yaitu negara Israel. Filosof Yahudi pertama dari abad
petengahan ialah Saadiah Gaon (8882-942), yang memimpin kelompok para rabi dekat
Baghdad. Dalam ide-ide pemikirannya dipengaruhi oleh kalam Mu'tazilit Islam dan
Plato. Gaon merumuskan sebuah Kalam Yahudi yang menegaskan bahwa Allah adalah
satu namun memiliki banyak sifat. Penegasan ini memajukan suatu pengejewantahan-
pemgejewantahan yang berada dari satu Allah. Pemikir Yadaisme abad pertengahan,
yaitu Maimonides-seorang dokter, dalam kehidupan sehari- harinya ia selalu
perpindah-pindah tempat karena dikejar-kejar orang-orang Yahudi di Spanyol, ketika
sampai di Mesir ia menjadi dokter pribadi Saladin penguasa Islam di Mesir pada waktu
itu. Jelas sikap plural orang Yahudi yang benar-benar memegang ajarannya. Dia
menandaskan bahwa agama-agama lain sebagai upaya manusia untuk meyamai atau
melebihi agama Yahudi dengan membangun struktur-struktur keyakinan yang seperti
patung pahatan adalah palsu dan musyrik.
Terlepas dari asal-usul tentang kelompok agama Yahudi, Nashrani, kita sebagai
muslim mengakui dan percaya agama Yahudi dan Nasrhani termaktub dalam al-quran.
Semua itu Islam telah mengakomodir baik dari ajaran-ajaran Nabi-Nabi terdahulu
dalam al-quran, dan hal ini menjadi ritual ibadah kita sebagai pengikut Nabi
Muhammad SAW.
Pluralitas keagamaan dapat dipahami dengan paling baik dalam kaitan dengan
sebuah logika yang melihat satu yang berwujud banyak-realitas transenden yang
menggejala dalam bermacam-macam agama. Dan perlu ada suatu pengakuan bersama
mengenai kualitas pengalaman agama partikular sebagai alat. Dan juga sebagai
spiritualitas yang dikenal dan diabsahkan melalui pengenaan kriteria sendiri pada
agama-agama lain. Juga diakui bersama beberapa kesulitan yang ditimbulkan oleh
pluralitas modern. Apalagi sikap spiritual diaktulisasikan melalui sikap apresiasif.
“Dan kami telah turunkan kepadamu al- qur’an dengan membawa kebenran, mem-
benarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab- kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan
batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara menurut apa
yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara
kamu, kami telah diberikan aturan dan jalan. Seandainya Allah menghendaki, niscaya
Dia jadikan kamu ummat yang tunggal, tetapi Allah hendak menguji kebenaran dengan
yang dianugrahkan kepadamu. Hanya kepada Allah- lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan- Nya kepadamu apa yang perselisihkan”.
Sikap toleransi bukan hanya sekedar prosedur pergaulan tetapi lebih merupakan
prinsip, yaitu prinsip yang terkandung dalam ajaran agama yang memang menuntut
untuk dilaksanakan. Dalam konteks ini, kalaupun menghasilkan tata cara pergaulan
yang ramah ini adalah hikmah atau manfaat dari pelaksanakan ajaran yang benar (haq),
dan nilai sekunder. Yang primer ialah ajaran yang benar itu sendiri. Maka sebagai yang
primer, toleransi harus kita laksankan dan wujudkan dalam masyarakat, sekalipun
untuk kelompok tertentu bisa jadi untuk diri kita sendiri yang tidak menyenangkan.
Logika toleransi dan kerukunan, ialah saling pengertian dan penghargaan, yang pada
akhirnya mengandung logika titik temu, meskipun hanya terbatas hanya kepada hal-hal
yang prinsipil.