Anda di halaman 1dari 11

Nama : Wiwin Tajwini

Nim : 201320076

Kelas : IAT VI B

Resume : Pluralitas Agama Dalam Al-Qur’an (Sholajuddin Al Ayubi)

A. Pendahuluan

Pluralitas (kemajmukan), adalah sebuah fenomena yang tidak mungkin kita hindari.
Kita hidup di dalam kemajemkan dan merupakan bagian dari proses ke- majmeukan, aktif
maupun pasif. La menyusup dan menyangkut dalam setiap dan seluruh kehidupan kita, tak
terkecuali juga dalam hal kepercayaan. Namun menurut Abdul Mun’im Muhammad Khallaf
dalam bukunya Agama dalam Presfektif Rasional sebagaimanan yang dikutip oleh Tobroni
dan Syamsul Arifin, bahwa dalam kehidupan manusia yang menimbulkan suatu masalah
besar di antaranya adalah masalah yang berkaitan dengan agama. Sementara masalah
keagamaan akan mempengaruhi proses per- kembangan kehidupan manusia terutama dalam
masalah humanistik, moral, etika, estetika dan pluralitas.

Jadi pluralitas merupakan sunnatullah yang mesti terjadi dan dijalani dalam dinamika
kehiduapan ini, namun kita harus menghadapi kendala-kendala yang tidak mudah, satu sisi
komunitas lain begitu inklusif dan di sisi lain harus mengedepankan afiliasi dan asimilasi
terhadap masyarakat pluralitas. Namun dengan de- mikian Islam dengan kitab al-qur’an
memegang nilai- nilai keterbukaan, egaliter dan kreatif dinamis. Sehingga pluralitas
diharapkan suatu acuan kehidupan sehari- hari.

Pluralitas dalam Islam juga menempatkan humanisme (sosial) pada tataran dan
martabat manusia yang menekankan prinsip penghargaan dan kesetaraan dalam hubungan
antar manusia. Menghargai dan kesataraan merupakan dasar bagi pembangunan
keharmonisan dalam hubungan antar manusia, yang kemudian tercipta suatu sikap toleransi
dalam kemasyarakatan yang majemuk.

B. Konsep pengetahuan pluralitas dan agama


1. Definisi dan konsep pengetahuan pluralitas
Akar pluralitas sendiri adalah plural, yang berasal dari bahasa Inggris yang
mengandung makna jamak atau lebih dari satu. Dengan demikian pluralitas berarti hal
yang mengatakan sesuatu yang jamak atau lebih dari satu. Dalam kajian sosiologi
pluralitas adalah sebuah sistim nasional (bangsa) dalam suatu negara yang hidup
berbagai kelompok etnik, agama, kultural, status sosial, dan agama.
Sementara dilihat dari sudut filsafat, bahwa pluralitas adalah ajaran bahwa kenyataan
beradasarkan pelbagai asas yang masing-masing tidak berhubungan yang satu dengan
satu dengan yang lainn, bahwa kenyataan (realitas) terdiri dari pelbagai unsur dasar.
Yang masing-masing berlainan hakikatnya pada satu dengan yang lain. Menuut Ilmu
Negara, pluralitas, adalah ajaran yang mengatakan bahwa kekuasaan pemerintah di satu
negara harus dibagi-bagikan antara pelbagai golongan dan tidak dibenarkan adanya
monopoli suatu golongan. Senada juga apa yang dikatakan Soerjono Soekanto, bahwa
pluralitas ialah suatu kecenderungan dan dalam sosiologi yang berpatokan pada proporsi-
proporsi yaitu sebagai berikut:
a) Kemajemukan bentuk pergaulan dalam setiap kelompok.
b) Kemajemukan kelompok-kelompok dalam setiap Masyarakat yang tidak
mungkin diseragamkan.
c) Kemajemukan tepe-tipe masyarakat yang tidak diseragamkan. (Soerjono
Soekanto. Halaman 15)
2. Pluralitas agama dalam Al-Qur’an
Adapun ayat-ayat al-quran yang mendukung adanya pluralitas agama-agama, baik
secara eksplisit menyebut berbagai agama selain agama Islam, adalah sebagai berikut:
QS. Al-baqarah: 62
‫ان الذين امنوا والذين هادوا و النصري والصابنين من امن باهللا واليوم اآلخر وعمل‬
‫صالحا فلهم أجرهم عندربهم وال خوف عليهم والهم يحزنون‬

Sesungguhnya orang-rang mu’min, orang- orang Yahudi, orang-orang Nashrani dan


orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar berimana kepada
Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan
mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati
(QS.Al-Baqarah : 62)

3. Agama dan pluralitas


Menurut Harun Nasution, sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Amin Summa
bahwa pengertian agama adalah :
a) Kekuatan gaib manusia: manusia merasa dirinya lemha dan berhajat pada
kekuatan gaib itu sebagai tempat minta tolong. Oleh karena itu manusia merasa
harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Hubungan baik
ini dapat diwujudkan dengan mematuhi perintah dan larangan kekuatan gaib itu.
b) Keyakinan manusia, bahwa kesejahteraan di dunia ini dan hidupnya di akhirat
tergantung pada adanya hubungan baik itu, kesejahteraan dan kebahagiaan yang
dicari akan hilang pula.
c) Respon yang bersifat emosional dari manusia. Respon itu bisa mengambil bentuk
perasaan takut, seperti yang terdapat dalam agama-agama primitif, atau penasaran
cinta, seperti dalam agama-agama monoteisme. Selanjutnya respon mengabil
bentuk penyembahan yang terdapat dalam agama-agama monoteisme. Lebih
lanjut lagi respon itu mengambil bentuk cara hidup tertentu bagi masyarakat yang
bersangkutan.
d) Paham adanya yang kudus (sacred) dan suci, dalam bentuk kekuatan gaib, dalam
bentuk kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama bersangkutan dan dalam
bentuk tempat-tempat tertentu.

Sikap agama terhadap pluralitas sangat jelas. Agama tidak menolak adanya pluralitas,
bahkan agama memberikan kerangka sikap etis. Dari sudut pandangan ajaran al-quran
(Islam), sikap etis yang harus dikembangkan tercermin dari beberapa ayat al-quran yang
secara explisit mengakui kenyataan tersebut. Misalnya surat al-Hujurat:13

‫يا ايها الناس انا خلقنكم من ذكر وأنثى وجعلنكم شعوبا وقبائل لتعارفوا اناكرمكم عند هللا‬
‫اتقكم ان هللا عليم خبير‬

Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal mengenal Sesungguhnya orang-orang yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha mengenal” (QS. Al- Hujurat 13)

Dalam al-quran surat ar-Ruum : 22 disebutkan: juga

‫ومن اينه خلق السموت واالرض واختالف السنتكم والوانكم ان في ذلك اليت للعلمين‬
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya lalah menciptakan langit dan bumi dan
berlain- lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu bener
bener terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui

Begitupun bila kita melihat seperti apa yang pernah dikembangkan oleh Nabi
Muhammad SAW., di Madinah dalam menghadapi masyarakat yang plu- ralistik, Nabi
berusaha mencari titik temu berbagai golongan dengan terlebih dahulu mengakui hak
eksistensi masing-masing kelompok lain yang lebih dikenal dengan "konstitusi Madinah",
dan sunnah Nabi tersebut diteruskan oleh khalifah kedua dalam menghdapi penduduk
Yerussalam yang dikenal dengan "Piagam Aelia".

Sikap yang diajarkan oleh Nabi di atas merupakan sikap yang demokratis dan
cerminan sebagai kearifan penafsiran ajaran agama, dan pengembangan sikap eksternal
ketika berhadapan dengan agama-agama Jain. Sikap semacam inilah yang oleh Nurcholish
Masjid disebut dengan cara beragama al-hanafiyyah al-samhah, yaitu sikap beragama yang
lapang dan terbuka.20 Saling memahami, dan menghormati kapasitas agama masing-
masing.

C. Agama dan keragaman Masyarakat pluralitas


1. Agama dan pluralitas agama-agama
Pluralitas keagamaan merupakan tantangan khusus yang dihadapi agama-agama dunia
dewasa ini, meskipun dalam arti tertentu pluralitas keagamaan selalu ada bersama kita.
Setiap agama muncul dalam lingkungan yang plural ditinjau dari sudut agama dan
membentuk dirinya sebagai tanggapan terhadap pluralitas tersebut. Ketegangan kreatif
yang ditimbulkan pluralitas sering menjadi katalisator bagi wawasan baru dan
perkembangan agama. Dalam pluralisme agama, Allah telah menciptakan agama-
agama seperti agama Islam, Yahudi, Nasrani, Shabi'in, dan Majusi, sesuai dengan
firman-Nya dalam surah al-Hajj : 17.
‫ان الذين امنوا والذين هادوا والصابئين والنصارى والمجوس والذين اشركوا ان هللا‬
‫يفصل بينهم يوم القيامة ان هللا على كل شيئ شهيد‬

"Sesungguhnya orang-orang beriman, orang- orang Yahudi, orang Shabi'in, orang-


orang Nashrani, orang-orang Majusi dan orang-orang Musyrik, Allah akan memberi
keputusan di antara mereka pada hari kiamat Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan
segala sesuatu.”
Yang disebut orang-rang yang beriman (iinallladzina amanu ili ) dalam keterangan di
atas, ialah orang-orang muslim yang mengikuti Nabi Muhammad SAW., hingga hari
kiamat sebagai utusan Allah dan menerima kebenaran ajaran yang beliau sampaikan
kepada mereka yang benar-benar dari Allah SWT. Ada juga yang berpendapat bahwa
yang dimaksud orang-orang yang beriman, adalah meyakini Nabi Isa kemudian tidak
menjadi Yahudi, tidak menjadi Nashrani dan tidak pula menjadi Shabi’in, dan mereka
yang mempercayai Isa itu setia menanti kedatang Nabi berikutnya, yaitu Nabi
Muhammad SAW.19 Dan di sinilah letak pluralistik orang-orang yang beriman
(Muslim) mengakui dan mempercayai adanya Nabi Musa dan Nabi Isa AS. Pengakuan
dan percaya adanya Nabi-nabi yang membawa agama seperti Yahudi dan Nashrani,
tidak semert-merta mengikuti agama-agama terdahulu.

Adapun yang dimaksud dengan walladzina hadu dalam al-quran, adalah orang-orang
Yahudi. Ada empat macam pendapat mengenai silsilah kata Yahudi. Pertama, Yahudi
dinisbahkan kepada Yahudza, putera tertua Nabi Ya’kub AS, kedua, kata Yahudi
diambil dari kata hada al-qawm yahuduna hawdatan wa-hiyadatan, manakala mereka
bertobat dari kesalahannya menuhankan al-‘ijl, yaitu sekor anak lembu yang dibuat dari
emas saat Nabi Musa menerima wahyu dibukit Thur Sina. Ketiga, karena meraka
menyatakan innahudna ilayk (sesungguhnya kami bertobat kepada Engkau, pernyataan
ini termaktub dalam QS. Al-A'raf: 156. keempat, bahwa kata Yahudi, dikaitkan dengan
kembalinya orang-orang Yahudi setelah menjadi imigran ke beberapa negara
internasional selama 70 tahun, yang akhirnya mendirikan negara Yahudi yang
beidiologi agama Yahudi, yaitu negara Israel. Filosof Yahudi pertama dari abad
petengahan ialah Saadiah Gaon (8882-942), yang memimpin kelompok para rabi dekat
Baghdad. Dalam ide-ide pemikirannya dipengaruhi oleh kalam Mu'tazilit Islam dan
Plato. Gaon merumuskan sebuah Kalam Yahudi yang menegaskan bahwa Allah adalah
satu namun memiliki banyak sifat. Penegasan ini memajukan suatu pengejewantahan-
pemgejewantahan yang berada dari satu Allah. Pemikir Yadaisme abad pertengahan,
yaitu Maimonides-seorang dokter, dalam kehidupan sehari- harinya ia selalu
perpindah-pindah tempat karena dikejar-kejar orang-orang Yahudi di Spanyol, ketika
sampai di Mesir ia menjadi dokter pribadi Saladin penguasa Islam di Mesir pada waktu
itu. Jelas sikap plural orang Yahudi yang benar-benar memegang ajarannya. Dia
menandaskan bahwa agama-agama lain sebagai upaya manusia untuk meyamai atau
melebihi agama Yahudi dengan membangun struktur-struktur keyakinan yang seperti
patung pahatan adalah palsu dan musyrik.

Sementara kelompok orang-orang dalam al-quran, yaitu: wa-al-nashara, kata ini


dinisbahkan dengan nama kampung yang bernama nashirah, yaitu suatu tempat tinggal
Isa bin Maryam di Siria (Palestina), nashara, yang diartikan dengan suka menolong
antar mereka. Nashara

Terlepas dari asal-usul tentang kelompok agama Yahudi, Nashrani, kita sebagai
muslim mengakui dan percaya agama Yahudi dan Nasrhani termaktub dalam al-quran.
Semua itu Islam telah mengakomodir baik dari ajaran-ajaran Nabi-Nabi terdahulu
dalam al-quran, dan hal ini menjadi ritual ibadah kita sebagai pengikut Nabi
Muhammad SAW.

Pluralitas keagamaan dapat dipahami dengan paling baik dalam kaitan dengan
sebuah logika yang melihat satu yang berwujud banyak-realitas transenden yang
menggejala dalam bermacam-macam agama. Dan perlu ada suatu pengakuan bersama
mengenai kualitas pengalaman agama partikular sebagai alat. Dan juga sebagai
spiritualitas yang dikenal dan diabsahkan melalui pengenaan kriteria sendiri pada
agama-agama lain. Juga diakui bersama beberapa kesulitan yang ditimbulkan oleh
pluralitas modern. Apalagi sikap spiritual diaktulisasikan melalui sikap apresiasif.

2. Humanisme Islam suatu kajian pluralitas


Humanisme merupakan salah satu pandangan filosofis, yang menekankan
pentingnya nilai-nilai manusiawi. Seperti istilah filsafat Yunani, menyatakan man is the
measure of all thing (manusia menjadi ukuran segala-segalanya), dan ini merupakan
sloganmotto bagi humanisme terutama untuk menghadapi dogma-dogma keagamaan
dan pemikiran yang abstrak yang mehilangkan fungsi manusiawi dalam menata
kehidupan sosio kultural, di lingkungan yang memberikan ruang kebebasan berfikir,
beragama dan kebebasan menganut agama tanpa ada yang mengusik. Dilihat dari akar
sejarahnya humanisme dalam pandangan Barat, digagas oleh penyair ternama dari Italia
Petracrh, yaitu pada abad pertengahan (sekitar abad ke 13), yang dilandasi dengan
kepatuhan pada aspek kebudayaan klasik yang tidak bertentangan dengan doktrin-
doktrin Kristen. Dan kontribusinya yang paling penting dalam humanisme ini adalah
tentang nilai-nilai kemanusiaan, sehingga pada abad ke 20 para pemikir-pemikir
keagamaan mengindentifikasikan diri sebagai humanis, dan bahkan faham dan sistim
filsafat, seperti Marxisme, eksistensialisme, pragmatisme juga menamakan diri sebagai
pendukung humanisme.
Sementara humanisme Islam, yang telah diajarkankan oleh Nabi Muhammad SAW.,
adalah menekankan prinsip penghargaan dan kesetaraan dalam hubungan antar
manusia. Sikap saling menghargai dan kesetaraan, merupakan dasar bagi pembangunan
keharmoinisan dalam hubungan antar manusia termasuk di dalamnya adalah agama.
Dengan demikian, diharapkan akan tercipta suatu stabilitas kehidupan, yang ditandai
oleh sikap toleransi dalam kebersamaan di masyarakat yang majemuk.
3. Pluralitas budaya presfektif agama
Menurut Mamadiou Dia, pluralitas budaya 58 yang dikembangkan Islam, harus
membuat budaya Islam lebih dari sekedar sebuah ornamen budaya, tapi lebih berupa
sebuah budaya operatif yang memadukan produksi keyakinan, lebih dari sekedar
sebuah peneguhan budaya, lebih baik dari sekedar sebuah warisan-budaya, tapi lebih
pada budaya yang terbuka terhadap seluruh realitas, budaya yang berpihak pada
rekonsiliasi, yang menjadi suatu tempat memberikan kemungkinan bagi setiap
pertemuan manusia dalam perbedaan, sebuah budaya yang mempunyai keseusaian
dunia dalam hal evolusinya, yang membuat tahu bagaiman hidup untuk sesuatu yang
lain dari yang diinginkan saat ini. Sebuah budaya yang mempunyai keinginan untuk
memusatkan masyarakat majemuk.
Pluralitas budaya memusatkan pada aspek ide moral Islam, yaitu rahmatan lil
Dengan demikian orang yang berakhlak mulia ekivalen dengan orang yang berbudaya,
yaitu orang yang menggunakan potensinya untuk nilai-nilai kemanusiaan, sehingga
mampu melahirkan masyarakat yang plural menjadi berbudaya.
Menurut Kuntowijoyo sebagaimana yang dikutip M. Syafi’i Anwar, memandang
pluralitas budaya, justru disetting dengan sosial-budaya. Peradaban Islam itu sendiri
merupakan suatu sistim yang terbuka. Artinya, peradaban Islam mengakui sumbangan
peradaban lain. Akibatnya sebagai sistim yang terbuka, peradaban Islam menjadi subur.
D. Pluralitas perspektif Al-Qur’an
1. Pluralitas dalam Al-Qur’an
M. Quraish Shihab," mengatakan bahwa, masyarakat adalah kumpulan sekian
banyak individu kecil atau besar yang terikat oleh satuan, adat, ritus atau hukum khas,
dan hidup bersama. Sementara al-qur'an menunjukan masyarakat atau kumpulan
manusia dengan, qaum, ummah, syu'ub, dan qaba'il.
Menurut M. Dawam Rahardjo, menyebutkan bahwa dalam al-qur'an istilah ummah
disebutkan sebanyak 64 kali dalam 24 surat. Dan sebanyak itu, ummah mengandung
beberapa pengertian, misalnya bangsa (nation), masyarakat atau kelompok (commu-
nity), agama (religion) atau kelompok keagamaan (religius community), waktu (time)
atau jangka waktu (term), dan juga mengandung pemimpin dengan sinonim imam
Sementara untuk manusia sendiri adalah makhluk sosial, yang selalu bermasyarakat,
berbangsa dan lain-lain, dalam hal ini al-qur’an surat. Al-Alaq : 2. Manusia diciptakan
dari ‫ )خلق االنس•ان من عل•ق‬mengatakan segumpal darah atau sesuatu yang berdempetan
dengan dinding rahim, tetapi juga dapat dipahami sebagai diciptakan dinding dalam
keadaan selalu bergantung kepada pihak lain atau tidak dapat hidup diri sendiri. Selalu
menata hidup dengan bermasyarakat dengan orang lain. Ayat lain dalam hal ini dan
juga merupakan ayat mengenai dalil pluralitas manusia adalah surat al- Hujurat ayat 13:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami mencip- takan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha mengenal.”
Dalam ayat ini dengan tegas mengatakan bahwa sia diciptakan terdiri dari laki-laki
dan Ku-suku, dan berbangsa-bangsa, agar satu sama perempuan, a saling mengenal.
Dari ayat ini kita bisa mukan istilah kata-kata, seperti syu’ub, qobaail, dan ta'aaruf yang
pada dasarnya untuk memberikan legitimasi terhadap paham kebangsaan dan hubungan
internasioanl dalam Islam, dan legitimasi pluralitas.
Responsi ayat di sini adalah memberikan gambaran nyata yang real di satu pihak,
dan lain pihak juga muncul responsi ideal, bahwa pluralitas adalah fakta yang tak
tergugat (kodrati). Namun, agar konflik kemanusiaan tidak mengalami destruksi yang
mengahapus hak-hak hidupnya, Allah memberikan kualifikasi yang bersifat moral, agar
pluralitas tersebut tidak berbalik menjadi sekterianisme dan primor- dialisme, masing-
masing membawa ego diri pada kebangsaan (sya 'b), kesukuan (qoba'il), dan lain-lain.
Menurut Ernest Renan yang telah dikutip M. 14 Natsir, bahwa arti kebangsaan,
adalah : une idee claire en apparence, mais qui prete aux plus dangereux malentendus
(satu pengertian yang selintas lalu, serasa terang dan jelas, tapi bisa menyebabkan salah
pengertian amat berbahaya). Artinya bahwa pernyataan yang dilontarkan Ernest Renan
itu memang ada benarnya sepanjang hidup manusia itu ada. Dan memang
kecenderungan manusia pada umumnya dan termasuk umat Islam sendiri sudah barang
tentu bersikap “truth claim” (mengklaim kebenaran) sendiri-sendiri dan bersifat
sepihak.

2. Perspektif Al-Qur’an tentang etika toleransi dalam pluralitas


‫وانزلنا اليك الكتاب بالحق مصدقا لما بين يديه من الكتاب ومهيمنا عليه فاحكم بينهم بما‬
‫انزل هللا وال تتبع اهواءهم عما جاءك من الحق لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا ولو شاء‬
‫هللا لجعلكم امة واحدة ولكن ليبلوكم فى ما اتكم فاستبقوا الخيرت إلى هللا مرجعكم جميعا‬
‫فينبئكم بما كنتم فيه تختلفون‬

“Dan kami telah turunkan kepadamu al- qur’an dengan membawa kebenran, mem-
benarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab- kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan
batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara menurut apa
yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara
kamu, kami telah diberikan aturan dan jalan. Seandainya Allah menghendaki, niscaya
Dia jadikan kamu ummat yang tunggal, tetapi Allah hendak menguji kebenaran dengan
yang dianugrahkan kepadamu. Hanya kepada Allah- lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan- Nya kepadamu apa yang perselisihkan”.

Sikap toleransi bukan hanya sekedar prosedur pergaulan tetapi lebih merupakan
prinsip, yaitu prinsip yang terkandung dalam ajaran agama yang memang menuntut
untuk dilaksanakan. Dalam konteks ini, kalaupun menghasilkan tata cara pergaulan
yang ramah ini adalah hikmah atau manfaat dari pelaksanakan ajaran yang benar (haq),
dan nilai sekunder. Yang primer ialah ajaran yang benar itu sendiri. Maka sebagai yang
primer, toleransi harus kita laksankan dan wujudkan dalam masyarakat, sekalipun
untuk kelompok tertentu bisa jadi untuk diri kita sendiri yang tidak menyenangkan.

Logika toleransi dan kerukunan, ialah saling pengertian dan penghargaan, yang pada
akhirnya mengandung logika titik temu, meskipun hanya terbatas hanya kepada hal-hal
yang prinsipil.

3. Membangun keharmonisan teologi pluralitas dalam Al-Qur’an


Ketika Tuhan disebut-disebut dalam konteks pemikiran Islam, kata itu bisa
dipahamai dari dua sudut pandang. Kita bisa memandang Tuhan sebagai Dia dalam diri-
Nya sendiri, dimana kita mengesampingkan kosmos, yakni segala sesuatu selain Tuhan.
Ditilik dari sudut pandang ini, hampir semua pemikir muslim berkesimpulan bahwa
Tuhan dalam diri-Nya sendiri, "Esensi" (dzat) Tuhan, tidak bisa diketahui. Dia tidak bisa
kita pahami. Ini mengantarkan kita pada presfektif ketak berbandingan Tuhan (tanzih).
Menurut WC. Smith yang dikutip Amin Abdullah, mengatakan teology is part of the
tradition, is part of this world. Namun seringkali manusia tidak menyadari dan kurang
tertariknya untuk memahami kenyataan bahwa teologi adalah bagian dari tradisi.”
Dengan demikian, orang beriman secara taqlidy- dogmatis, sering kali juga tidak
menyadari dan kurang tertarik untuk memahami kenyataan bahwa teologi adalah bagian
dari tradisi, sedang tradisi sendiri merupakan campur tangan manusia sendiri, paling
tidak dari i penyusunan dan sistimatikanya.
4. Membangun dialog agama perspektif Al-Qur’an
Seorang Hans Kung, (teolog Kristen, yang aktif mempromosikan dialog antar umat
beragama), yang 52 dikutip oleh Faisal Ismail,” mengatakan bahwa tak ada perdamaian
di anatara bangsa-bangsa tanpa adanya perdamaian di antara agama-agama. Tak akan ada
perdamain di antara agama-agama tanpa adanya dialog di antara agama-agama. Tak ada
dialog di antara agama- agama tanpa adanya investigasi terhadap sejarah pembentukan
agama-agama.
Dengan titik tolak seperti itu, kemungkinan besar arah untuk berbicara tentang agama
dari beberapa sudut tinjauan dengan akibat bahwa perkataan agama pun berubah
konotasi dan tekanan artinya dari tiap sudut penglihatan tersebut. Dan proses dialog ini
akan berkaitan dengan cara pandang seseorang atau sekelompok orang yang bersumber
pada doktrin agama yang diyakininya.
Kemudian seperti apa pengembangan dialog dilakukan? Ada sebuah rekomendasi
metode solusi, yaitu melalui metode fenomenologi dan perenialistik dalam studi-studi
agama dapat dipertimbangkan. Dari metode ini merupakan cara memahami agama yang
ada dengan sikap apresiatif tanpa ada semangat penaklukan atau pengkafiran (takfir).
Dengan metode ini kita diajak menjadi pemerhati dan pendengar yang baik sehingga bisa
memahami dan menghargai sikap keberagmaan orang lain tanpa harus membuang
keimanan kita.
Dalam pluralitas agama, pendekatan keilmuan fenomenologi dapat memberikan
sumbangan yang cukup berharga bagi para teolog dan agamwan pada umumnya. Yang
digarisbawahi fenomenologi hanyalah kerangka dasar pemahaman terhadap pengalaman
keberagamaan manusia secara umum. Fenomenologi mengantarkan manusia pada titik
puncak pemahaman keberagamaan. Pendekatan ini menyatu dalam satu kerangka utuh
cara berfikir seorang agamawan sehingga kekurangan yang melekat pada pendekatan ini.

Anda mungkin juga menyukai