Anda di halaman 1dari 10

Teologi Dakwah Multikultural: Perspektif AgamaAgama

Dunia
Melisa Putri 2141913005
Machmud Hidayat Tullah 2141913029

PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAKWAH


FAKULTAS USHULUDDIN , ADAB, DAN DAKWAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS
SAMARINDA
2023/2024

Pengertian Dakwah Multikultural

Dakwah multikultural adalah bentuk dakwah yang mengakui dan menghormati


keragaman budaya, agama, dan latar belakang etnis dalam upaya menyampaikan
pesan-pesan agama atau nilai-nilai spritual kepada masyarakat yang memiliki beragam
latar belakang tersebut. Dakwah multikultural mengedepan kan toleransi , pemahaman
,dan dialog antar budaya sebagai sarana untuk mencapai pemahaman bersama dan
memperluas cakupan pesan dakwah ke berbagai kalangan masyarakat .Pendekatan ini
bertujuan untuk perdamaian ,harmoni, dan kerja sama antar budaya dalam masyarakat
yang multikultural.

Jika ditilik dari segi bahasa (etimologi), maka dakwah dapat berarti memanggil,
mengundang, mengajak, menyeru, mendorong ataupun memohon. Dalam ilmu tata
bahasa Arab, kata dakwah merupakan bentuk mashdar dari kata kerja da’a, yad’u,
da’watan, yang berarti memanggil, menyeru, atau mengajak. Istilah dakwah dalam
Al-Qur’an diungkapkan dalam bentuk fi’il maupun mashdar sebanyak lebih dari
seratus kata. Al-Qur’an menggunakan kata dakwah untuk mengajak kepada kebaikan
yang disertai dengan risiko masing-masing pilihan. Dalam Al-Qur’an, dakwah dalam
arti mengajak ditemukan sebanyak 46 kali, 39 kali dalam arti mengajak kepada Islam

1
dan kebaikan, dan 7 kali mengajak ke neraka atau kejahatan. Di samping itu, banyak
sekali ayat-ayat yang menjelaskan istilah dakwah dalam konteks yang berbeda.
Sedangkan secara istilah, para ahli memiliki tafsiran yang berbeda-beda sesuai dengan
sudut pandang mereka di dalam memberikan pengertian dakwah. Berikut ini dikutip
beberapa pendapat, di antaranya:

1. Ibnu Taimiyah; Dakwah merupakan suatu proses usaha untuk mengajak agar orang
beriman kepada Allah, percaya dan menaati apa yang telah diberitakan oleh Rasul
serta mengajak agar dalam menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya.

2. Syekh Ali Mahfudz; Dakwah adalah mengajak manusia kepada kebaikan dan
petunjuk, dan menyeru berbuat baik dan mencegah berbuat munkar untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat.

3. Muhammad Natsir; Dakwah adalah usaha-usaha menyerukan dan menyampaikan


kepada perorangan manusia dan seluruh umat manusia konsepsi Islam tentang
pandangan dan tujuan hidup manusia di dunia ini, dan yang meliputi al-amar bi
ma’ruf an-nahyu an al-munkar dengan berbagai macam cara dan media yang
diperbolehkan akhlak dan membimbing pengalamannya dalam perikehidupan
bermasyarakat dan perikehidupan bernegara.

Dari beberapa definisi di atas, terdapat tiga gagasan pokok berkenaan dengan
hakikat dakwah Islam yaitu: Pertama, dakwah merupakan bentuk proses kegiatan
mengajak kepada jalan Allah. Aktivitas mengajak tersebut bisa berbentuk tabligh
(menyampaikan), taghyir (perubahan, internalisasi dan pengembangan), dan uswah
(keteladanan). Kedua, dakwah merupakan proses persuasi (memengaruhi). Berbeda
dengan hakikat yang pertama, memengaruhi tidak hanya sekedar mengajak,
melainkan membujuk agar objek yang dipengaruhi itu mau ikut dengan orang yang
memengaruhi. Dalam hal ini, dakwah tidak diartikan sebagai proses memaksa,
karena bertentangan dengan ajaran Al-Qu’an “Tidak ada paksaan dalam beragama”
(QS. Al-Baqarah 2: 256).

2
Perspektif Agama-Agama Dunia Tentang Pendidikan Multikultural

1. Pandangan Islam tentang Pendidikan Multikulturalisme


Meskipun multikulturalisme tidak bertentangan dengan agama, namun asumsi
teoritisnya masih dipertanyakan. Nilai-nilai multikulturalisme dianggap
sebagai sesuatu yang tidak berhubungan dengan agama oleh para teolog
Muslim, sehingga membuatnya sulit untuk dipelajari. Beberapa pemikir Arab,
termasuk Mohammed Abed al-Jabiri, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu-Zaid,
dan lain-lain, telah berusaha untuk menyatukan tradisi dan agama. Namun,
ulama konservatif menolak keras ide-ide mereka. (Amir, 1992).

Untuk menciptakan sinergi antara agama dan multikulturalisme, pertamatama


diperlukan penafsiran ulang terhadap ajaran agama ortodoks yang selama ini
dijadikan alasan untuk melakukan eksklusi dan penindasan. Penafsiran ini
harus dilakukan sedemikian rupa sehingga agama tidak hanya menerima
kearifan tradisi lokal tetapi juga berperan sebagai garda depan dalam
membawa demokrasi ke dalam masyarakat. Kedua, bicara tentang agama dan
konsep modern. Umat beragama kini memasuki babak sejarah baru, dan harus
mampu beradaptasi dengan peradaban besar yang tidak berbasis agama, seperti
budaya Barat kontemporer. Kita tidak bisa menghindari ide-ide dan teori-teori
duniawi. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu tugas tersulit yang dihadapi
umat Islam saat ini adalah memadukan terminologi dengan konsep non-religius
ketika memahami agama.(Muzaki & Tafsir, 2018). Pada dasarnya keyakinan
bahwa Islam adalah agama yang mengungkapkan kasih sayang terhadap
seluruh alam (rahmatan lil 'alamin) menunjukkan betapa kuatnya dimensi
multikulturalisme dalam Islam. Pernyataan ini juga dibuat dalam konteks
budaya dan teologis. Islam menjunjung tinggi keberadaan pluralisme agama
dan budaya, hal ini ditunjukkan dengan sikap Rasulullah. Secara teori,
multikulturalisme memerlukan kesadaran diri yang inklusif dan perilaku sosial
yang terbuka. Ritual puasa misalnya, berpotensi menumbuhkan rasa hati nurani
universal agar bisa saling memandang secara adil. Kesadaran yang
memadukan kecerdasan emosional seorang hamba dengan Tuhannya dan
menciptakan kecerdasan relasional rasional antar manusia. (Soroush, 2000)
Dalam Islam konsep multikulturalisme termuat dalam satu ayat al-Qur’an
Surah AlHujurat ayat 13.

3
2. Pandangan Kristen tentang Multikulturalisme Kemampuan Iman Kristen
berinteraksi, adaptasi bahkan mengadopsi unsur-unsur dari kebudayaan berasal
dari inti Ajaran Kristen itu sendiri tentang Pribadi Yesus Kristus. Ajaran yang
menjadi dasar interaksi ini adalah Inkarnasi. Maka koneksitas iman Kristiani
dan kultur setempat (sekarang dan di sini) atau multikultural bersifat kekal-
abadi bukan strategi politik atau rekayasa sosial yang bersifat kasuistis dan
temporal. Inkarnasi merupakan istilah fundamental dalam agama Kristen (baik
Kristen Katolik, Kristen Protestan, maupun Kristen lainnya ). Secara
etimologis, inkarnasi berasal dari kata: “in” (masuk Ke dalam) dan carnes
(daging), bahasa Latin. Secara harafiah etimologis, inkarnasi masuk ke dalam
daging atau tubuh.(Situmorang, 1998) Inkarnasi ini adalah Yesus Kristus.
Yesus kristus adalah Roh Allah (Dimensi Ilahi) yang menerima kemanusiaan
(dimensi humanis) demi keselamatan umat manusia. Dan ini merupakan
rencana-insiatis Allah sendiri.(Lukas 1:35, 1989) Dengan kata lain, Sabda
Allah (Logos) menjadi manusia di dalam segala hal kecuali dalam hal
dosa.(Filipi 2:10-11, 1989) Tentang inkarnasi diungkapkan secara jelas dalam
bab I Injil Yohanes : sabda menjadi daging. Tetapi sabda Allah tetap sabda
Allah sejak kekal sehingga orang beriman mengakui bahwa Sabda atau Putera
Allah sejak kelahiran-Nya di Betlehem untuk selamanya adalah manusia
juga.(Yohanes 1:12,13, 1:1-3, 1989) Karena inkarnasi inilah, Kristen mengenal
Allah Tritunggal Mahakudus.
Peristiwa inkarnasi adalah peristiwa yang mengungkapkan keluhuran
martabat manusia. Tuhan memilih sosok manusia untuk menyelamatkan
manusia lainnya dan mendatangkan rahmat bagi semesta alam. Dalam
inkarnasi, kemanusiaan kita memulai membuka diri kepada ilahi, dan akhirnya
dimensi ilahi itu sendiri yakni Roh Allah mendiami manusia, dan itulah yang
terjadi dengan Pentakosta. Kalau dalam inkarnasi Allah menjadi manusia
dalam Yesus Kristus, maka dalam Pentakosta adalah pernyataan bahwa barang
siapa beriman kepada Yesus Putera Allah, mereka (komunio) diangkat ke
dalam kodrat ilahi dengan pencurahan Roh. Dalam agama Kristen, khususnya
Gereja Katolik, Kitab Wahyu (melalui Inkarnasi) melambangkan penerimaan
akan Tuhan dan hubungan bersama dengan umat manusia. Agar wahyu ini
masuk akal/bermakna bagi manusia, Tuhan menggunakan bahasa manusia dan
manusia menyikapinya dengan bahasa dan budayanya sendiri. Pribumi

4
(Dalam, artinya masuk, kebudayaan, artinya kebudayaan) adalah seseorang
atau sekelompok orang dari lingkungan budaya mana pun yang turut menerima
salam Firman Tuhan (Wahyu Ilahl) sesuai dengan budaya lokal tempat ia
tinggal.
Proses ini hanya dapat dibenarkan jika iman sudah matang, memberi liturgi
cita rasa lokal dan membawa orang lebih dekat kepada Yesus. Sehingga perlu
dipilah unsur budayanya. Gunakan di mana pun itu konsisten dengan
keyakinan dan ajaran Kristen. Seperti halnya pakaian liturgi, rumah adat juga
digunakan sebagai dekorasi di gereja Katolik setempat. Keyakinan ada di
beberapa budaya dan terus-menerus muncul dalam bentukbentuk
baru.(Halidin, 2018) Kebudayaan dengan segala unsurnya telah menjadi alat
atau sarana untuk menghayati iman, dan mengamalkan Injil, merayakan
liturginya. Pada tempat yang sama Konsili VatikanII berkata: "Gereja di
sepanjang zaman dan dalam berbagai situasi, telah memanfaatkan
sumbersumber aneka kebudayaan, untuk menyebarluaskan dan menguraikan
pewartaan Kristus kepada semua bangsa, untuk menggali dan makin
menyelaminya, serta untuk mengungkapkan secara lebih baik dalam perayaan
liturgy dan dalam kehidupan jemaat beriman yang beraneka ragam"(Bertens,
2008). Teologi Inkarnasi dan konsekuensi-konsekuensi mendasarnya
menjadikan Gereja bersifat dialogis dan aman terhadap budaya. Dan agama apa
pun. Gereja Katolik, menurut kami semua umat Kristiani, tidak
mempermasalahkan budaya lokal, berbagai budaya, bahkan tren modern. Di
sini prinsip-prinsip yang sangat populer dalam Gereja Katolik diterapkan:
dalam Principiis Unitas (dalam hal prinsip kesatuan kita), misalnya dalam
dubiis Libertas (dalam hal kebebasan) keterbukaan terhadap ajaran Yesus,
Inkarnasi, dogma-dogma iman, Kita bebas untuk membuat pilihan). Dalam
Caritas Sintetis (Semuanya pasti ada cinta).(Elkana, 2021)

3. Pandangan Hindu tentang Multikulturalisme Pendidikan tidak boleh


ditinggalkan dari perbincangan realitas multikultural, karena jika tidak
disadari, pendidikan mungkin ikut berkontribusi dalam menciptakan
ketegangan sosial. Oleh karena itu, kita harus menyadari bahwa pendidikan
bukan hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga mendidik anakanak kita menjadi
manusia berkebudayaan dan berperadaban. Tidak ada lagi waktu untuk
mengabaikan realitas kebudayaan yang beragam. Lembaga pendidikan harus

5
menyelenggarakan program pendidikan multikultural agar generasi muda
Indonesia memiliki identitas nasional. Nilai-nilai pendidikan multikultural
seperti sikap toleransi, menghargai perbedaan pendapat dan budaya orang lain,
menghormati hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi harus
diimplementasikan dalam hubungan di dunia sekolah dan masyarakat umum.
Dengan demikian, generasi muda menjadi titik tolak strategis untuk
menemukan toleransi pendidikan dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan
masyarakat.(Mudana, 2019) Menurut ajaran Hindu yang diuraikan dalam kitab
suci Veda, membangun kehidupan dalam keluarga umat beragama dapat
dijelaskan secara gamblang dengan melaksanakan ajaran Tattwam Asi, Karma
Phala dan Ahimsa. Tattwam Asi adalah merupakan ajaran sosial tanpa batas,
yang menyatakan bahwa saya adalah kamu dan kamu adalah saya, serta segala
makhluk adalah sama sehingga menolong orang lain berarti menolong diri
sendiri dan menyakiti orang lain berarti juga menyakiti diri sendiri. Hakikat
atman yang menjadikan hidup diantara saya dan kamu berasal dari satu sumber
yaitu Tuhan. Atman yang menghidupkan tubuh makhluk hidup merupakan
percikan terkecil dari Tuhan, sehingga antara saya dan kamu sesungguhnya
bersaudara.(Sari, 2021) Dalam Upanisad dikatakan 'Brahman atma aikhyam’
yang artinya Brahman (Tuhan) dan atman adalah sama/tunggal sesungguhnya
filsafat tatwam asi ini mengandung makna yang sangat dalam. Tatwam asi
mengajarkan agar kita senntiasa mengasihi orang lain atau menyayangi
makhluk lain bila diri kita sendiri tidak merasa senang disakiti apa bedanya
dengan orang lain, maka dari itu janganlah sekali kali menyakiti hati orang lain,
bila dihayati dan diamalkan dengan baik, maka akan terwujud suatu
keharmonisan hidup (kerukunan hidup). (Depag RI, 1995) Karma Phala
merupakan hukum sebab akibat (causalitas) yang diyakini oleh Umat Hindu.
Apa pun yang dilakukan, baik disengaja maupun tidak, akan menimbulkan
dampak yang harus dipertanggungjawabkan. Setiap tindakan akan membawa
akibat, dan hasil dari perbuatan tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan
keyakinan tersebut, untuk membangun kerukunan hidup beragama, selalu
berbuat baik berdasarkan Dharma yang dipuji. Kebaikan yang sebenarnya yang
membuat seseorang menjadi baik adalah perbuatan yang baik, dan sebaliknya,
yang membuat seseorang menjadi buruk adalah perbuatan yang buruk.
Seseorang hanya akan menjadi baik dengan berbuat kebaikan. Seseorang
menjadi terhina karena perbuatannya yang jahat. Subha asubha prawirtii, yaitu

6
baik buruknya ataupun amal dosa dari suatu perbuatan, berasal dari Karma
Phala. Dharma yang baik akan menghasilkan kebahagiaan lahir batin,
sedangkan karma yang jahat akan menghasilkan hina dan adharma serta
kesengsaraan lahir batin (Depag RI, 1995) Ahimsa juga menjadi landasan
dalam mencapai kerukunan hidup beragama, ahimsa artinya pantang
kekerasan, secara etimologis ahimsa artinya tidak membunuh atau merugikan
makhluk hidup lain, setiap perjuangan kebenaran tidak boleh melibatkan
kehancuran karena pemangsaan, pemaksaan, ancaman, sifat intimidasi yang
merusak. , pembakaran, dan sebagainya sangat bertentangan dengan ajaran
ahimsyah: Ahimsyah Paramo dharma; yang artinya ahimsyah adalah
keutamaan tertinggi, kebenaran (dharma) tertinggi, pengendalian diri ahimsyah
adalah keutamaan tertinggi (dharma) tertinggi.(Depag RI, 1995) Berdasarkan
ajaran dan konsep agama Hindu klasik, pendidikan multikultural agama yang
hidup mempunyai visi dan misi yang sangat luhur. Visi tersebut sebenarnya
tidak jauh dari tujuan pendidikan karakter, yaitu mengantarkan anak pada
kedewasaan. Kata “dewasa” berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti
mempunyai cahaya (devasya) dan hak untuk mengetahui kebenaran.

Kesimpulan

Berdasarkan beragam argumentasi mengenai dakwah multikultural yang telah


dipaparkan di atas, kita dapat menarik beberapa kesimpulan. Pertama, dakwah
multikultural berarti sebuah upaya dalam menciptakan keharmonisan di tengahtengah
masyarakat yang beragam dan tetap mampu mengendalikan diri dan bertoleransi
terhadap segala bentuk perbedaan yang tidak mungkin disamakan dalam berbagai
aspeknya. Sedangkan dakwah dengan pendekatan multikulturalisme adalah sebuah
pemikiran dakwah yang concern pada penyampaian pesan-pesan Islam dalam konteks
masyarakat plural dengan cara berdialog untuk mencari titik temu atau kesepakatan
terhadap hal-hal yang mungkin disepakati, dan berbagai tempat untuk hal-hal yang
tidak dapat disepakati.

Kedua, basis dakwah multikultural sebenarnya terdapat dalam kitab-kitab suci


beragama itu sendiri yang menegaskan bahwa fakta multikultural umat manusia yang
beragam dan berbeda satu sama lain merupakan kehendak bagi kehidupan umat
manusia sepanjang sejarah. Dengan kesadaran tentang adanya keragaman dan
perbedaan itu, umat manusia dituntut untuk berlomba-lomba dalam kebajikan,

7
sehingga akan terjadi kreativitas dan peningkatan kualitas kehidupan umat manusia
dalam berbagai aspeknya demi kemaslahatan hidup bersama.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, M. (1992). Konsep Masyarakat Islam. Fikanati Anscska

Muzaki, I. A., & Tafsir, A. (2018). Pendidikan Multikultural dalam Perspektif Islamic
Worldview. Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, 6(1), 57.
Soroush, A. (2000). Reason, Freedom, and Democracy in Islam: Essential Writings of
Abdolkarim Soroush. Oxford University Press.
Situmorang, J. M. (1998). Inkarnasi-Inkulturasi; Pergulatan Kristus dan Budaya. St.
Louis Press
Halidin, A. (2018). Membangun Harmonisasi Dengan Beda Agama. Komunida :
Media Komunikasi Dan Dakwah, 8(1), 1–20.
Bertens, K. (2008). Ekumenisme dan Multikulturalisme. Suara Pembaharuan
Elkana, S. (2021). Pengabdian kepada Allah dan Mamon dalam Kekristenan menurut
Matius 6:19-24. REDOMINATE: Jurnal Teologi Dan Pendidikan
Kristiani, 2(1), Article 1
Mudana, I. W. (2019). Pengembangan Model Pendidikan Agama Hindu Berbasis
Multikultur Pada Sekolah Menengah Atas Di Provinsi Bali. 3(1).
Sari, N. K. P. (2021). Nilai–Nilai Dan Konsep Pendidikanmultikultural Dalam
Pendidikan Agama Hindu Menurut Kitab Canakya Niti Sastra. Guna Widya:
Jurnal Pendidikan Hindu, 8(2), Article 2.
Depag RI. (1995). Terjemahan Kitab Upanisad. Balai Pustaka

Munir. M., & Wahyu Ilahi, Manajemen Dakwah. Jakarta: Prenada Group, 2006 Amin,
Samsul Munir, Ilmu Dakwah. Jakarta: Amzah, 2009.
Suparta, Munzier, & Harijani Hefni (ed). Metode Dakwah. Jakarta: Kencana, 2006.
An-Nabiry, Fathul Bahri, Meniti Jalan Dakwah. Jakarta: Amzah, 2008.

8
PROFIL PENULIS

Machmud Hidayat Tullah

Lahir di Samarinda, Kalimantan timur pada tanggal 10 Oktober 2001. Alamat penulis
di Jln. Biawan Gg 2 Rt 16 Kel. Sidomulyo Kec. Samarinda ilir. Penulis memulai
pendidikanya dari TK Lukman Alhakim dan dilanjukan di SDN 023 Samarinda,
kemudian menempuh pendidikan di SMP Nuri Samarinda, dan jenjang selanjutnya di
SMA Islam Samarinda. Saat ini penulis sedang menempuh pendidikan S1 jurusan
Manajemen Dakwah di UINSI Samarinda angkatan 2021.

Email penulis :

9
PROFIL PENULIS

Melisa putri

Lahir di muara Kaman pada tanggal 11 mei 2002 ,alamat penulis Di desa muara Kaman
Ilir, RT 2 kecamatan Muara Kaman . Penulis memulai pendidikan nya Dari SD 027
muara Kaman , kemudian menempuh pendidikan di Mts Nurul iman muara Kaman,
dan jenjang selanjutnya Di SMA IT Al hidayah Tenggarong,.Saat ini penulis sedang
menempuh pendidikan S1 jurusan Manajemen dakwah di UINSI Samarinda angkatan
2021.

Email penulis :melisasr54@gmail.com

10

Anda mungkin juga menyukai