Anda di halaman 1dari 8

Nama : Rusman

Nim : 2186 2082 030


Tugas : Menerjemahkan

Keanekaragaman Budaya dalam Perspektif Al-Qur'an


Muhammad Tang* 1 , Hasbullah 2 , Sudirman 3
*1 Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Alfurqan Makassar, Indonesia
surel: muhammadtang.mt78@gmail.com
SekolahTinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Sorong, Papua, Indonesia
email: 2hasbullah@stain-sorong.ac.id ; 3sudirman@stain-sorong.ac.id

Abstrak — Keberagaman budaya merupakan keniscayaan atau


merupakan sunnatullah yang terjadi di kehidupan manusia. Keberadaan Allah
SWT. Menciptakan manusia yang bersuku bangsa dan
kebangsaan pada hakikatnya menciptakan budaya yang beragam. Hal ini dapat kita lihat di
Indonesia, yaitu dalam masyarakat majemuk, setiap suku atau daerah memiliki ciri
budayanya masing-masing. Mengungkap keragaman budaya perspektif Al-Qur'an dalam
tulisan ini digunakan oleh Al-Metode Tafsir Al-Maudhui Farmawy dengan pendekatan multi
tafsir (beberapa interpretasi yang Anda gunakan). Hal ini dimaksudkan untuk mengungkap
keragaman budayadalam Al-Qur'an secara sistematis dan mendalam. Dengan studi teologis
(berdasarkanal-Qur'an) tentang keragaman budaya yang dimiliki manusia dapat memperkuat
keimanan dengan memilikipemahaman bahwa kita memiliki keragaman dan perbedaan
budaya di antara orang-orang. Jadi menumbuhkan kesadaran dan sikap saling menerima,
menghargai, dan toleransi antar sesama anak-anak. Pada akhirnya, menumbuhkan rasa
persatuan dan kesatuan, terciptanya suasana damai danmasyarakat yang damai. Atau orang-
orang BaldatunThoyyibahWaRabbunGhofur .

Kata Kunci — Budaya; perbedaan; masyarakat

I. PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk yang unik dan beragam (suku, ras, agama dan budaya) atau
manusia adalah makhluk yang pluralistik. Manusia sebagai makhluk Tuhan tidak bisa
dipisahkan dari keragaman dan pluralitas. Keanekaragaman itu sendiri juga tidak dapat
dipisahkan dari manusia dan ini sudah menjadi ketentuan Tuhan. Keanekaragaman ini dan
pluralitas adalah keindahan kemanusiaan itu sendiri. Pelangi itu indah karena memiliki
banyak warna. Perbedaan warna tersebut membentuk suatu struktur yang memiliki nilai
artistik yang tinggi nilai. Hal ini juga terjadi pada manusia, jika keragaman dan perbedaan
dalam masyarakat dapat dikelola dengan baik; maka itu merupakan modal untuk membangun
persatuan nasional. Namun, sebaliknya, jika keragaman dan perbedaan tidak dikelola
dengan baik, hal itu bisa memicu retaknya persatuan dan kesatuan.
Dalam melihat keragaman dan perbedaan manusia, Al-Qur'an hadir untuk
menjelaskan kepada umat manusia untuk menyadari sifat diri mereka yang dibawa dalam
keragaman dan keragaman. Al-Qur'an dalam dimensinya tidak terikat oleh waktu, letak
geografis, budaya, ras, suku, dan agama; atau di lain kata, Al-Qur'an bersifat universal (sesuai
dengan citra manusia). Oleh karena itu, al-Qur'an bersifat universal sehingga segala hal yang
berkaitan dengan kehidupan dunia-akhirat telah disampaikan dalam Al-Qur'an baik secara 
mujmal  maupun in rinci ( Mutasyaabih dan muhkam ). Manusia adalah objek utama yang
menjadi bahasan dan pokok bahasan sekaligus (diberi amanat untuk mempelajari dan
mempraktikkannya).

Pluralisme adalah sikap yang menerima keragaman. Pluralisme juga bisa berarti


kesediaan untuk menerima keragaman, yaitu hidup toleran dalam masyarakat yang berbeda,
suku, agama, adat istiadat, dan cara hidup apapun. Pluralisme menyiratkan tindakan yang
mengarah pada pengakuan kebebasan beragama, kebebasan berpikir, atau kebebasan untuk
mencari informasi. Dengan demikian, pluralisme membutuhkan kedewasaan dari kepribadian
seseorang dan atau sekelompok orang.
Pluralitas (sikap menerima keragaman) merupakan keniscayaan dalam kehidupan ini.
Allah menciptakan dunia ini di atas sunnah pluralitas dalam satu kerangka kesatuan. Masalah
pluralitas setua usia manusia dan selamanya akan ada seperti hidup belum berakhir, hanya
saja bisa terus berubah, menurut waktu.
Pluralitas pada hakikatnya adalah realitas kehidupan itu sendiri, yang tidak dapat
dihindari dan ditolak. Karena pluralitas adalah Sunatullah , maka keberadaan atau eksistensi
itu harus diakui oleh setiap manusia. Namun, pengakuan ini pada level realitas belum
sepenuhnya sejalan dengan pengakuan teoritis dan kendala masih sering dijumpai di
lapangan.
Sedangkan budaya adalah pikiran dan akal yang menciptakan hasil. Budaya
jugameliputi adat untuk menyelidiki bahasa. Budaya adalah sesuatu yang memiliki
berkembang (beradab, maju) atau sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan itusulit untuk
diubah. Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Buddhayah [1], yang merupakan
bentuk jamak dari Buddhi (pikiran atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan
akal, dan akal manusia. Budaya diturunkan dari kata latin cutura , yaitu mengolah atau
mengerjakan. Bisa juga diartikan sebagai mengolah tanah atau bercocok tanam
[2]. Kebudayaan juga berasal dari past participle cultus dari kata kerja
Latin colere [3] . Budaya adalah norma, kepercayaan, aturan dan adat di suatu daerah yang
mengikat orang dalam kelompok dan dilakukan secara sadar[4]. GeertHofstede[5]
mendefinisikan budaya sebagai program yang dibuat oleh a kelompok untuk membedakan
kelompok satu dengan yang lain. Budaya memiliki nilai-nilai yang harus dimiliki dijunjung
tinggi karena merupakan inti dari suatu budaya.
Dalam paradigma Islam, Effat Al Syarqawi mendefinisikan budaya melalui
pandangan Islam. Budaya adalah harta karun kelompok masyarakat yang dapat dilihat
melalui kehidupan orang-orang yang memiliki tujuan spiritual[6]. Dengan demikian, budaya
adalah segalanyahasil cipta, rasa, dan karya manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia
ini; baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial (komunitas).

II. METODE 
Penulis menggunakan metodologi interpretasi Maudhui (thematic tafsir) dengan teori
AbdHayyi Al-Farmawi yang termuat dalam bukunya; Bidayatul fi Tafsiri al-
Maudhui[7]. Menurut Al-farmawi, dalam menafsirkan sebuah ayat dengan metode
interpretasi, ada tujuh langkah yang harus dilakukan oleh seorang penafsir, yaitu sebagai
berikut:
• Memilih atau menentukan masalah Al-Qur'an yang akan dipelajari menggunakan
Maudhu'i (tematik).
• Melacak dan mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah
ditetapkan, ayat Makiyyah dan Madaniyyah .
• Susunlah ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologisnya tentang masa turunnya,
disertai dengan pengetahuan tentang latar belakang turunnya ayat atau asbab al-nuzul.
• Mengetahui korelasi ( munasabah ) dari ayat-ayat tersebut dalam setiap suratnya.
• Mengembangkan tema diskusi dalam kerangka yang sesuai, sistematis, sempurna dan
lengkap (garis besar).
•Lengkapi pembahasan dan uraian dengan hadits, jika dianggap diperlukan, agar pembahasan
menjadi lebih lengkap dan jelas.
• Mempelajari ayat-ayat ini secara tematis dan komprehensif dengan mengumpulkan
ayat-ayat yang mengandung arti yang sama, kompromi antara makna ' am dan khash ,
antara muthlaq dan muqayyad, menyelaraskan ayat-ayat yang tampak kontradiktif,
menjelaskan ayat-ayat nasikh dan mansukh . Jadi, semua ayat bertemu di muara tanpa
perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan beberapa ayat ke arti yang salah.

III. HASIL

A. Keanekaragaman Budaya dalam Al-Qur'an


1) Ayat Utama. Ayat utama dalam pembahasan ini adalah QS Al-Hujurat (49):
13. Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kalian bangsa – bangsa dan suku agar kalian saling
mengenal. Pastinyaorang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang
paling saleh di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengetahui. ( Surat al-Hujurat (49): 13 ).
2) Ayat Pendukung: Ayat -ayat lain yang terkait dengan diskusi adalah sebagai
berikut:
• Dua ayat sebelumnya, QS. Al-Hujurat (49): 11 dan 12:

Terjemahannya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok


orang lain, karena mereka mungkin lebih baik diolok-olok daripada mereka yang mengolok-
olok dan bukan wanita mengolok-olok wanita lain, karena bisa jadi mereka jadi wanita yang
diejek adalah lebih baik daripada wanita yang mengolok-olok. Jangan saling menyalahkan,
dan jangan saling memanggil lainnya dengan judul yang buruk. Seburuk-buruk panggilan
adalah buruk (jahat) setelah iman. Dan siapa pun yang melakukannya tidak bertobat, mereka
itulah orang-orang yang zalim. “(Surat al-Hujurat (49): 11).

Terjemahannya: “Hai manusia jauhilah prasangka buruk, sebenarnya sebagian dari


prasangka adalah dosa, dan jangan mencari kesalahan orang lain, dan jangan termasuk di
antara mereka yang bergosip tentang beberapa yang lain. Apakah ada di antara kalian yang
suka memakan dagingnya? saudara mati? Tentu Anda merasa jijik. Dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah adalah penerima taubat, Yang Maha Penyayang.” (Surat al-
Hujurat (49): 12).

• QS. Hud (11):118: (Makkiyah).

Terjemahannya: “Jika Tuhanmu menghendaki, pasti Dia menjadikan manusia satu umat,
tetapi mereka selalu berselisih”, (QS. Hud (11): 118)

• QS. Al-Nahl (16): 93; (Makkiyah).

Terjemahannya: “Dan jika Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat
(saja), tetapi Allah menipu siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa
yang Dia kehendaki dan Sesungguhnya Anda akan bertanya apa yang telah Anda
lakukan. (Qs. Al-Nahl (16)
• QS. Al Maidah (5): 48; (Madaniyah)

Artinya: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran,


membenarkan apa yang sebelumnya, Itulah Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan
batu ujian dari Kitab Suci lainnya; Jadi putuskan kasus mereka sesuai dengan apa yang
Tuhan diturunkan dan tidak mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran
yang telah datang untuk Anda. Untuk setiap orang di antara kamu, kami memberikan aturan
dan jalan yang jelas. Jika Allah berkehendak, Dia akan menjadikan kamu umat (saja), tetapi
Allah ingin menguji kamu atas pemberian-Nya kepada Anda, jadi berlombalah untuk
melakukannya dengan baik. Hanya kepada Allah-lah kamu kembali, kemudian Dia
memberitahukan kepadamu apa yang kamu telah berselisih. (Surat al-Maidah (5): 48).

• Asbabunnuzul QS. Al Hujurat (49): 13.

Imam Suyuthi dalam tafsirnya Al-Durr Al-Mantsur fi TafsirBil- Ma'tsur menyebutkan dua
kisah turunnya al-Hujurat ayat 13:

Kisah pertama: ketika Nabi memasuki kota Mekkah pada masa Fathu Kejadian Makkah,
Bilal bin Rabah naik Ka'bah dan menyerukan seruan kepada doa. Jadi sebagian besar
penduduk Mekkah (siapa yang tidak tahu bahwa di Madinah Bilal bin Rabah biasa
mengemban tugas mengumandangkan adzan) adalah terkejut. Ada yang mengatakan:
"Apakah budak hitam ini orang yang mengumandangkan shalat di atas? Ka'bah?" Yang lain
berkata, "Jika Allah membencinya, dia pasti akan menggantinya." Kemudian ayat 13 surat
al-Hujurat turun.

Cerita kedua: Abu Hind adalah mantan budak yang kemudian bekerja sebagai bekam
pekerja. Nabi meminta Bani Bayadhah untuk menikahi salah satu putri mereka dengan Abu
Hindun. Tetapi mereka menolak dengan alasan: “Rasul, bagaimana kami ingin menikah?
putri kami kepada mantan budak kami?” Kemudian turunlah ayat 13 surat al-Hujurat

Berdasarkan dua cerita tentang penyebab kemunduran QS. Al-Hujurat (49): 13; memberikan


ilustrasi bahwa seseorang tidak boleh mengecualikan orang lain orang karena derajat dan
keturunannya (suku, ras, budaya, agama dan bangsa). Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah
saw.

Terjemahannya: “Rasulullah bersabda, Wahai manusia, ingatlah itu sesungguhnya


orang tuamu adalah satu (Adam) tidak lebih mulia dari orang Arab melawan A'jam (non-
Arab), dan tidak ada lagi A'am yang mulia melawan orang-orang Arab, dan tidak ada lagi
bangsawan kulit putih orang terhadap orang kulit hitam dan sebaliknya orang kulit hitam
tidak lebih mulia dari orang kulit putih kecuali ketakwaannya. (HR. Ahmad).

B. Isi Ayat (Makna Mufradat, Munasabah, dan Tafsirnya)


Beberapa isi QS. Al-Hujurat (49): 13 yang dikutip dari beberapa
tafsir mu'tabarah. Pertama, dalam ayat yang terkait dengan yang sebelumnya ayat (QS. Al-
Hujurat (49): 11 dan 12), pada ayat 11 Allah memberikan peringatan atau larangan
mengolok-olok antara satu sama lain, atau antara wanita dengan wanita lain. Panggilan
terburuk adalah "jahat" setelah iman.
Selanjutnya, dalam ayat 12 Allah memperingatkan atau melarang orang-orang yang beriman
untuk berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan orang lain, dan bergosip karena itu adalah
bagian dari dosa. Allah menganjurkan untuk bertakwa dan bertaubat kepada-Nya. Jadi, dalam
ayat 13 adalah penegasan bahwa manusia diciptakan dari jenis yang sama; tidak ada
perbedaan antara hanya bertakwa kepada Allah SWT. Perbedaan. Ini juga di sesuai dengan
apa yang dijelaskan Quraisy Shihab dalam Al-Misbah Tafsir bahwa pada ayat sebelumnya
(ayat 12) mengatur tentang hubungan sesama muslim, maka pada ayat 13 mengatur tentang
asas-asas hubungan sesama manusia dengan menggunakan kata ( ‫ا‬ ) dalam ayat
.
Kemudian kata ( ‫ا‬ ) "manusia" ada beberapa kata yang biasa digunakan dalam Al-
Qur'an, yang secara garis besar dibagi menjadi tiga, yaitu pertama, menggunakan kata terdiri
dari huruf : alif, nun, dan sin seperti orang, ins, nas, anasy, insy dan unas, kedua,
menggunakan kata basyar dan ketiga, menggunakan kata baniadam atau
zurriyatuadam . Kata manusia memiliki tiga kata asal, pertama, anasa yang berarti melihat,
mengetahui dan meminta izin, kedua, nasiya yang artinya lupa dan ketiga, al-uns yang berarti
jinak, serasi dan terlihat. Itu Makna pertama menunjukkan kemampuan manusia sebagai
makhluk yang berbudaya alasan. Makna kedua mengacu pada manusia sebagai makhluk yang
memiliki kesadaran, karena makna ketiga itu menunjukkan kepada manusia bahwa manusia
adalah makhluk yang bisa diatur. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk yang memiliki
kemampuan beradaptasi yang tinggi terhadap perubahan, baik perubahan sosial maupun
alam. Dia juga seorang makhluk beradab: tidak liar, memiliki etika, sopan santun dan lain-
lain[8].
Lebih lanjut Waryono Abdul Ghafur menjelaskan bahwa kata “manusia” dalam Al-
Qur'an adalah 65 kali. Dari penyebutan sebanyak itu, manusia memiliki tiga makna, pertama,
dikaitkan dengan keistimewaannya sebagai khalifah dan pembawa dari kepercayaan dan
tanggung jawab. Sebagai khalifah, ia dibekali dengan ilmu, kedua terkait dengan
kecenderungan negatif terhadap manusia seperti bersikap lalim, tidak percaya, tergesa-gesa
dan lain-lain dan ketiga, tentang asal usul penciptaan dan klasifikasi manusia yang diciptakan
dari tanah dan terdiri dari pria dan wanita seperti yang ditemukan dalam ayat berikutnya.
Kedua, kata berikutnya yang akan dilihat sebagai penafsiran adalah "bahwa kita"
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan.” Secara umum, penafsir
menafsirkan bagian dari ayat ini bahwa berapa banyak manusia yang diciptakan dari satu
jiwa, kemudian diciptakan dari mereka, yaitu Adam dan Hawa (Ibnu Katsir, digital). Begitu
juga dalam tafsir al-Qurtubi, yaitu “Adam dan Hawa” as sebelumnya dinyatakan dalam
Interpretasi Digital. Imam Suyuti juga menjelaskan hal ini dalam tafsir Jalalain bahwa arti
ayat tersebut adalah "Adam dan Hawa".
QurayshShihab[9]menjelaskan dalam Tafsir Al-Misbah dari penggalan ayat "yang
kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan" merupakan pengantar untuk
menegaskan bahwa semua manusia memiliki derajat kemanusiaan yang sama dengan Allah,
di sanatidak ada perbedaan antara suku dengan suku lainnya. Tidak ada perbedaan dalam
nilai kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan. Karena itu, berasal dari yang sama
keturunan Nabi Adam AS.
Ketiga, penggalan kalimat terakhir dalam ayat ini yang dibahas adalah sebagai
berikut:
Terjemahannya"Dan jadikan kamu berbangsa - berbangsa dan bersuku-suku agar kamu
saling mengenal
lainnya. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang
yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengetahui. (Qs. Al- Hujurat (49): 13)

Kata syu'ub merupakan bentuk jamak dari kata sya'aba yang berarti kelompok atau


cabang. Sedangkan Kementerian Agama RI dalam Al-Qur'an dan Tafsir artinya syu'ub :
bangsa (nation). Pada awalnya, kata ini digunakan untuk mengacu pada danau atau oasis di
mana beberapa kanal bertemu dan kanal menyalurkan air. Kemudian kata ini juga digunakan
untuk sekelompok orang dengan identitas yang beragam tetapi bertemu karena kemanusiaan
mereka. Sedangkan kata Qaba'il berarti sekelompok orang yang saling bertemu bisa saling
menerima. Kata ini dibentuk dari asal tiga huruf: qaf , ba' dan dal, yang membentuk beberapa
kalimat dengan berbagai arti seperti qablu , belum dan lawannya adalah ba'du : sudah.
Qablu juga bisa berarti di masa depan, seperti qubul (seks depan) dan lawannya adalah
rektum: punggung (saluran punggung manusia). Bentuk lainnya, seperti; qabala artinya
menerima, qubla artinya mencium, taqabalah, yang berarti menghadap. Dengan kata lain,
kata qaba'il selalu mengacu pada dua atau lebih banyak pihak yang berpasangan atau bertatap
muka. Oleh karena itu, sejak awal dibuat dengan istilah “kanal”, yang menurut Waryono
berbeda Abdul Ghafur[8]. Namun, meskipun dia berbeda pada dasarnya, dia adalah makhluk
interdependen (sosial) yang saling bergantung. Ini adalah salah satu makna pluralisme atau
keragaman.

C. Hubungan Masyarakat dan Budaya


“Ladang lainnya adalah ladang lainnya, ikan lainnya adalah ikan, dan lainnya adalah
lumbung lainnya." Ini adalah filosofi lama yang memberikan gambaran tentang keragaman
budaya. Bahwa setiap daerah/daerah (negara) dan suku-bangsa memiliki budaya mereka
sendiri (pluralisme budaya). Bangsa didefinisikan sebagai sekelompok orang-orang yang
dianggap Nasional memiliki identitas bersama dan memiliki sama bahasa, agama, ideologi,
budaya, dan sejarah. Mereka umumnya dianggap memiliki asal yang sama. Jadi, dari dua
pengertian tersebut dapat dipahami bahwa bangsa adalah suatu masyarakat yang mendiami
suatu wilayah (negara) yang memiliki bahasa, ideologi, agama, budaya dan sejarah, seperti
bangsa Indonesia. Sedangkan kebangsaan adalah ciri khas yang menandai kelas suatu
bangsa. Adapun budaya telah dijelaskan pada sub pembahasan sebelumnya.
Ada hubungan timbal balik antara budaya dan masyarakat (bangsa), sebagai ada
hubungan antara budaya, peradaban dan sejarah. Masyarakat menghasilkan kebudayaan,
sedangkan kebudayaan menentukan pola masyarakat. jadi antara manusia dan budaya
merupakan satu kesatuan yang memiliki hubungan yang sangat erat. Dia mustahil bagi
mereka berdua untuk dipisahkan [10]. Ada manusia (dalam arti luas, masyarakat), maka ada
budaya, tidak akan ada budaya jika adatidak ada pendukungnya, yaitu manusia. Tapi hidup
manusia tidak berapa lama, karena semua pasti akan mati. Maka untuk menjalankan atau
melestarikan budaya, pendukungnya harus kontinuitas dari satu keturunan ke keturunan
lainnya. Misalnya, Bugis-Makassar bahasa masyarakat Sulawesi Selatan dan ' Ngapak ' yang
merupakan hasil dari budaya masyarakat di Kebumen, Banyumas, Tegal, Purbalingga dan
sekitarnya, tentu akan menjadi ciri khas bagi orang yang menguasai Bugis-Makassar dan
bahasa “ Ngapak. ”
Hubungan antara masyarakat atau suatu bangsa dengan kebudayaan yang masyarakat
adalah komunitas budaya yang berbeda, suatu bangsa. masyarakat yang berbeda mewakili
bentuk-bentuk pemikiran dan kehidupan yang berbeda dan seringkali tidak sesuai. orang-
orang nilai dan pemikiran tidak dapat digabungkan dengan nilai dan pemikiran orang lain,
dan jenis kebaikan, sastra, seni, dan kepahlawanan yang tumbuh subur di masyarakat
seringkali tidak dapat tumbuh di masyarakat lain[11]. Keragaman Budaya adalah sifat
kehidupan manusia yang berkembang dan bersifat mutlak. Tidak ada dua komunitas yang
sama. Setiap masyarakat memiliki adat, kebiasaan, metode, sistem hukum, struktur keluarga
dan bentuk pemerintahan, dan masing-masing mendorong berbagai keinginan, moral,
kebaikan dan sikap, bentuk keunggulan, dan konsepsi hidup yang baik. Sementara Herder
menjelaskan bahwa budaya adalah hasil dari begitu banyak produk yang berbeda dari sifat
manusia yang dimiliki secara universal, dan berpendapat bahwa sifat manusia adalah "lumpur
tanah liat" yang berbeda dicetak oleh budaya yang berbeda.
Kemudian Sosiolog Muslim terkenal yang menjadi pijakan sosiolog yaitu Ibnu
Khaldun menjelaskan tentang masyarakat yang masyarakat terdiri dari
komunitas badawah/ badui dan hadharah [12]–[14]. Badawah/badui adalah orang-orang
yang tinggal di pedalaman, masyarakat primitif atau tinggal di daerah gurun. Komunitas
" hadharah " adalah kota, beradab masyarakat atau peradaban. Masyarakat primitif atau
masyarakat pedesaan memiliki budaya solidaritas yang tinggi sedangkan masyarakat
perkotaan atau urban memiliki sifat individualistis characteristics.Furthermore, keragaman
budaya (pluralisme budaya) dalam masyarakat atau suatu bangsa adalah realitas yang tidak
terbantahkan atau dalam bahasa syar'inya adalah sunnatullah . Ini dengan firman Allah
pencipta manusia (selain dalam Surah Al-Hujurat (49): 13), yaitu dalam Al-Maidah (5): 48,
QS. Hud (11): 118, QS. Al Nahl (16):

Terjemahannya: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran,


membenarkan apa yang sebelumnya, Itulah Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan
batu ujian dari Kitab Suci lainnya; Jadi putuskan kasus mereka sesuai dengan apa yang
Tuhan diturunkan dan tidak mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran
yang telah datang untuk Anda. untuk setiap orang di antara kamu, kami memberikan aturan
dan jalan yang jelas. Jika Allah berkehendak, Dia akan menjadikan kamu umat (saja), tetapi
Allah ingin menguji kamu atas pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba untuk
melakukannya dengan baik. Hanya kepada Allah-lah kamu kembali, kemudian Dia memberi
tahu kamu apa yang kamu miliki diperdebatkan. (Surat al-Maidah (5): 48).

Terjemahannya: “Jika Tuhanmu menghendaki, pasti Dia menjadikan manusia satu umat,
tetapi mereka selalu berselisih” (QS. Hud (11): 118)

Terjemahannya: “Dan jika Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat
(saja), tetapi Allah menipu siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa
yang Dia kehendaki. Dan Sesungguhnya Anda akan bertanya apa yang telah Anda
lakukan. (Qs. Al-Nahl (16)

Ketiga ayat di atas memberikan gambaran kepada kita sebagai manusia bahwa Allah
adalah yang menginginkan penciptaan manusia dari berbagai jenis (laki-laki dan perempuan),
suku, ras, budaya, agama, dan bangsa. Dalam ketiga ayat tersebut,
ulama menamakan harfimtina 'limtina' yang berarti "kemustahilan". Inti nya adalah tidak
mungkin manusia terikat dalam satu suku, ras, agama, dan
budaya. Keberagaman ini merupakan sunnatullah yang harus dipahami dan diwujudkan.
Pemahaman dan kesadaran akan keberagaman akan membuat kita menerima,
menghormati dan mencontoh toleransi antar sesama manusia sebagai makhluk Tuhan.

D. Kesimpulan

Budaya pluralis adalah keragaman budaya dalam suatu masyarakat yang memiliki perbedaan
dan masing-masing karakter. Hubungan masyarakat (bangsa) dengan budaya adalah adanya
hubungan timbal balik antara budaya dan masyarakat (bangsa), karena adanya hubungan
antara budaya, peradaban dan sejarah. Masyarakat menghasilkan kebudayaan, sedangkan
kebudayaan menentukan pola masyarakat. Jadi antara manusia dan budaya merupakan satu
kesatuan yang memiliki hubungan yang sangat erat. Tidak mungkin untuk keduanya untuk
dipisahkan. Dalam pandangan Al-Qur'an tentang pluralisme/budaya keragaman bahwa
Tuhanlah yang menginginkan adanya keragaman tersebut. Atau di lain kata, sudah
menjadi sunnatullah suatu masyarakat (bangsa) memiliki keragaman dan perbedaan
budaya. Ini, kita bisa melihat secara praktis, misalnya, orang-orang (bangsa) Indonesia setiap
suku, daerah atau daerah memiliki kebudayaannya masing-masing. Di Al-Qur'an bisa kita
lihat di QS. Al-Hujurat (49): 11, 12, 13, Al-Maidah (5): 48, dan QS. Hud (11): 118, Qs. Al-
Nahl (16): 93. Jika telah dipahami bahwa kita memiliki keragaman dan perbedaan budaya di
antara orang-orang, itu akan menumbuhkan kesadaran dan saling menerima, saling
menghormati dan toleransi antar sesama anak-anak. Pada akhirnya, menumbuhkan rasa
persatuan dan kesatuan. Penciptaan masyarakat yang damai dan tentram. Atau orang-orang dari
Baldatunthoyyibahwarabbunghofur.

Anda mungkin juga menyukai