Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Fikih inklusif
Oleh:
Nama
Dosen Pengampu:
(IAIN) PONOROGO
2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Insklusivisme adalah sikap keagamaan yang berpandangan bahwa
di luar agama yang dipeluknya, juga terdapat kebenaran, meskipun tidak
seutuh dan sesempurna agama yang dianutnya. Kelompok inklusif
biasanya, cenderung mendorong pemeluknya bersikap terbuka terhadap
kelompok dari agama lain (non Muslim). Sikap terbuka akan berdampak
pada relasi sosial yang sehat dan harmonis antarsesama warga masyarakat.
inklulsivisme yang dilandasi toleransi itu tidak berarti bahwa semua
agama dipandang sama. Sikap toleran hanyalah suatu penghormatan akan
kebebasan dan hak setiap orang untuk beragama. Perbedaan agama tidak
boleh menjadi penghalang untuk saling menghargai, menghormati, dan
kerjasama.1
Kata inklusif berasal dari bahasa Inggris, inclusive yang berarti
sampai dengan atau termasuk.2 Istilah ini digunakan untuk menunjukkan
pada suatu keadaan atau sikap yang memandang kelompok lain sebagai
bagian atau termasuk dari keadaan tersebut. Selain itu istilah ini juga
digunakan untuk menyatakan bahwa sesuatu yang dimiliki seseorang
boleh jadi juga terdapat pada orang lain, atau kebenaran yang dimiliki oleh
suatu agama, boleh jadi terdapat juga dalam agama yang lain.
Jadi inti dari inklusif ialah keinginan untuk saling mengerti, saling
memahami, dan saling memberi antara satu kelompok dengan kelompok
lainnya. Seorang inklusifis tidak membiarkan dirinya untuk didominasi
atau diperbudak oleh satu paham, ajaran, kepercayaan maupun agama.
Baginya, klaim kebenaran (claim of truth) dan klaim keselamatan (claim
of salvation) bukan monopoli kelompok atau agama tertentu, tetapi juga
ada pada kelompok atau agama lain. Sangat tepat yang diungkapkan oleh
1
Abu Bakar, “ARGUMEN AL-QUR’AN TENTANG INKLUSIVISME DAN PLURALISME,”
TOLERANSI: Media Komunikasi Umat Beragama 8, no. 1 (2016): 43–60
2
Echols, J. M. dan Shadily, H. Kamus Inggris Indonesia. Gramedia: 1996 cet.1 hal 136.
1
2
3
Smith, H, Agama-agama Manusia, (terj.) dari The Religion of Man. Safroedin Bahar (penterj.). Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2005 hal 10.
4
Ibid.
3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas, pembahasan akan
dilakukan dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksut Inklusifisme?
2. Bagaimana penerapan inklusifisme pada nabi Muhammad saw?
3. Bagaimana inklusifisme yang diterapkan pada masa khalifah 4?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Inklusivisme
Inklusivisme merupakan sebuah paham yang menganggap bahwa
kebenaran tidak hanya terdapat pada suatu kelompok. Hal ini berangkat dari
suatu keyakinan bahwa setiap agama membawa ajaran keselamatan. Semua
agama pada substansinya adalah sama, namun memiliki syarat dan ajaran yang
berbeda-beda. Raimundo Pannikar menyampaikan bahwa paham inklusivisme
bukanlah suatu paham yang instan, karena paham ini memerlukan rasionalitas
dan kelanjutan terhadap doktrin-doktrin keagamaan.5
Dijelaskan lebih lanjut bahwa penafsiran dibutuhkan oleh paham
inklusivisme ini, tafsir terhadap teks keagamaan tidak hanya dimaksudkan
mempunyai relevansi dengan pihak-pihak lain yang berbeda, tetapi juga
berfungsi agar pandangannya dapat diterima oleh pihak lainnya. Perbedaan dan
keragaman dalam penafsiran pada dasrnya bukan merupakan kontradiksi antara
satu dengan lainnya, melainkan sebuah bentuk kesatuan substansial yang tidak
terpisahkan. Perbedaan merupakan suatu bentuk keniscayaan, sekalipun
demikian perlu ada suatu titik temu yang bisa dipertemukan pada perbedaan
tersebut, melalui suatu sikap toleransi yang sama-sama harus meyakini bahwa
segala sesuatu senantiasa mempunyai dua unsur, yaitu dimensi universal dan
partikular yang sama-sama harus dipahami bahwa terhadap ke dua dimensi
tersebut, maka semakin terbuka pula kesempatan kita untuk menjadi inklusif
terhadap kelompok (agama dan adat) lainnya.6
Artinya, inklusivisme disini merupakan keniscayaan sosiologis, yang mana
pemahaman terhadap pihak lain tidak hanya mengandalkan aspek-aspek yang
ada dalam komunitas masing-masing, melainkan mencoba memahami hal-hal
yang terdapat dalam komunitas lainnya. Inklusivisme merupakan salah satu
jalan untuk membangun peradaban toleransi. Aspek yang paling penting dalam
5
Ariwidodo, Shifting Paradigm of Modern Islam Fundamentalism as Islamized Space Autonomy in
Indonesia, Karsa: 2015, Vol. 25 No.1
6
Bruce, Fundamentalism. Pertautan Sikap Keberagaman dan Modernitas, Jakarta: Erlangga, 2000
4
5
toleransi adalah kehendak kuat untuk memahami pihak lain tanpa harus
kehilangan jati diri sendiri. Mengenal dan memahami pribadi orang lain akan
memudahkan jalan untuk mengenali dan menjalin kerjasama. Manusia akan
semakin memperlakukan dan diperlakukan sebagai manusia, sebagaimana
slogan “tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak pula toleran.” Meniti
kehidupan dengan paham inklusivisme ini akan mampu mengatasi berbagai
perbedaan pemahaman serta tindakan intoleran, dan mampu mengambil
langkah-langkah alternatif untuk menyelesaikan konflik secara adil dan
beradab.7
Cak Nur, juga memberikan gambaran yang menarik terkait paham
inklusivisme, yaitu suatu sikap yang bertujuan untuk menumbuhkan suatu
sikap kejiwaan yang melihat adanya kemungkinan orang lain itu benar. Orang
yang sekalipun bersalah harus dibangun suatu pemahaman kejiwaan tentang
pra-duga tidak bersalah (presumption of innocence). Manusia diciptakan dalam
keadaan fitrah, maka setiap orang pada dasarnya adalah suci dan benar. Potensi
untuk benar adalah primer. Inklusivisme merupakan fitrah yang telah dititipkan
Tuhan kepada setiap manusia agar membangun kesetaraan, persamaan,
kerukunan, dan keadilan. Mengingat potensi benar adalah primer, maka hal ini
memiliki potensi untuk berbuat baik.8
Berdasarkan pemahaman terhadap keyakinan beragama yang memiliki
sikap toleransi dan perdamaian. Selain itu, esensi dari paham inklusivisme
adalah dibawanya pesan-pesan kemanusiaan yang bersifat universal dengan
menumbuhkembangkan sikap-sikap serta prasangka yang baik terhadap
sesama. Tenda toleransi yang pada hakikatnya memberikan pembelajaran dari
paham inklusivisme senantiasa harus terus digelar dan dibentangkan sebagai
upaya membangun budaya inklusif, sehingga titik lemah dari paham
inklusivisme ini, yakni basis kultural akan mampu meredam hegemoni
eksklucontentsivisme sebagai suatu paham yang memupuk dan menonjolkan
sikap intoleransi.9
7
Ibid.
8
Ibid.
9
Susanto, Dimensi Studi Islam Kontemporer, Jakarta: Prenadamedia Group, 2017.
6
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan diatas inklusifisme yang diterapkan oleh nabi Muhammad saw dan
praktik-praktik khalifah 4 sikap yang membawa harmoni dan persatuan
diantara umat manusia tanpa memandang agama,ras,suku dan latar belakang
sosial. Sikap ini menjadi contoh bagi kita untuk saling bertoleransi dan
menerima perbedaan.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makaalah diatas banyak sekali kesalahan dan
jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan
berpedoman pada banyak sumber yang dapat dipertanggung jawabkan. Maka
dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah
dalam kesimpulan dan isi di atas.
9
DAFTAR PUSTAKA
10