Anda di halaman 1dari 11

Inklusifisme nabi dan khalifah 4

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Fikih inklusif

Oleh:

Nama

Trio yulianto (302230006)

Dosen Pengampu:

Dr. Iswahyudi, M.Ag

JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

(IAIN) PONOROGO

2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Insklusivisme adalah sikap keagamaan yang berpandangan bahwa
di luar agama yang dipeluknya, juga terdapat kebenaran, meskipun tidak
seutuh dan sesempurna agama yang dianutnya. Kelompok inklusif
biasanya, cenderung mendorong pemeluknya bersikap terbuka terhadap
kelompok dari agama lain (non Muslim). Sikap terbuka akan berdampak
pada relasi sosial yang sehat dan harmonis antarsesama warga masyarakat.
inklulsivisme yang dilandasi toleransi itu tidak berarti bahwa semua
agama dipandang sama. Sikap toleran hanyalah suatu penghormatan akan
kebebasan dan hak setiap orang untuk beragama. Perbedaan agama tidak
boleh menjadi penghalang untuk saling menghargai, menghormati, dan
kerjasama.1
Kata inklusif berasal dari bahasa Inggris, inclusive yang berarti
sampai dengan atau termasuk.2 Istilah ini digunakan untuk menunjukkan
pada suatu keadaan atau sikap yang memandang kelompok lain sebagai
bagian atau termasuk dari keadaan tersebut. Selain itu istilah ini juga
digunakan untuk menyatakan bahwa sesuatu yang dimiliki seseorang
boleh jadi juga terdapat pada orang lain, atau kebenaran yang dimiliki oleh
suatu agama, boleh jadi terdapat juga dalam agama yang lain.
Jadi inti dari inklusif ialah keinginan untuk saling mengerti, saling
memahami, dan saling memberi antara satu kelompok dengan kelompok
lainnya. Seorang inklusifis tidak membiarkan dirinya untuk didominasi
atau diperbudak oleh satu paham, ajaran, kepercayaan maupun agama.
Baginya, klaim kebenaran (claim of truth) dan klaim keselamatan (claim
of salvation) bukan monopoli kelompok atau agama tertentu, tetapi juga
ada pada kelompok atau agama lain. Sangat tepat yang diungkapkan oleh

1
Abu Bakar, “ARGUMEN AL-QUR’AN TENTANG INKLUSIVISME DAN PLURALISME,”
TOLERANSI: Media Komunikasi Umat Beragama 8, no. 1 (2016): 43–60
2
Echols, J. M. dan Shadily, H. Kamus Inggris Indonesia. Gramedia: 1996 cet.1 hal 136.

1
2

Smith, bahwa kedua klaim tersebut sebenarnya sama saja dengan


mengatakan bahwa Tuhan hanya ditemukan dalam ruangan ini saja dan
tidak ada dalam ruangan sebelah atau hanya dalam busana ini saja, dan
tidak ada dalam busana lain.3
Tidak berbeda dengan tokoh-tokoh tersebut, Madjid
mendefinisikan inklusivisme sebagai paham keagamaan yang mempelajari
dan memahami paham, ajaran, kepercayaan ataupun agama yang lain,
sehingga tidak ada monopoli surga atau neraka. Masing-masing
mengklaim kebenaran sendiri, menurutnya itu namanya thugyan al-fikr
(menipu pemikiran): thaghut dalam soal pikiran, tirani pikiran. Intinya
adalah toleransi, tidak ada paksaan dalam agama, dikaitkan dengan
perlawanan kepada tirani pikiran.
Sementara Alwi Shihab mendefinisikan inklusivisme sebagai
paham keagamaan yang mengakui eksistensi orang-orang yang berbuat
kebaikan dalam setiap komunitas beragama, dan dengan begitu, layak
memperoleh pahala dari Tuhan. Senada dengan Shihab, Nata
mengartikannya sebagai suatu paham keberagamaan yang didasarkan pada
pandangan bahwa agama-agama lain yang ada di dunia ini mengandung
kebenaran dan dapat memberikan manfaat dan keselamatan bagi para
pemeluknya. Inklusivisme yang dimaksudkan adalah teologi. Teologi
inklusif menurut Azyumardi Azra dapat pula disebut teologi kerukunan
keagamaan.4
Kerukunan ini baik dalam satu agama tertentu maupun antara satu
agama dengan yang lainnya. Tema sentral dari teologi inklusif adalah
pengembangan paham dan kehidupan keagamaan yang memperlihatkan
keluwesan, toleran, dan respek terhadap pluralisme keagamaan, sehingga
para penganut berbagai aliran keagamaan atau agama-agama dapat hidup
berdampingan secara damai (paeceful co-exixtence).

3
Smith, H, Agama-agama Manusia, (terj.) dari The Religion of Man. Safroedin Bahar (penterj.). Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2005 hal 10.
4
Ibid.
3

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas, pembahasan akan
dilakukan dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksut Inklusifisme?
2. Bagaimana penerapan inklusifisme pada nabi Muhammad saw?
3. Bagaimana inklusifisme yang diterapkan pada masa khalifah 4?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Inklusivisme
Inklusivisme merupakan sebuah paham yang menganggap bahwa
kebenaran tidak hanya terdapat pada suatu kelompok. Hal ini berangkat dari
suatu keyakinan bahwa setiap agama membawa ajaran keselamatan. Semua
agama pada substansinya adalah sama, namun memiliki syarat dan ajaran yang
berbeda-beda. Raimundo Pannikar menyampaikan bahwa paham inklusivisme
bukanlah suatu paham yang instan, karena paham ini memerlukan rasionalitas
dan kelanjutan terhadap doktrin-doktrin keagamaan.5
Dijelaskan lebih lanjut bahwa penafsiran dibutuhkan oleh paham
inklusivisme ini, tafsir terhadap teks keagamaan tidak hanya dimaksudkan
mempunyai relevansi dengan pihak-pihak lain yang berbeda, tetapi juga
berfungsi agar pandangannya dapat diterima oleh pihak lainnya. Perbedaan dan
keragaman dalam penafsiran pada dasrnya bukan merupakan kontradiksi antara
satu dengan lainnya, melainkan sebuah bentuk kesatuan substansial yang tidak
terpisahkan. Perbedaan merupakan suatu bentuk keniscayaan, sekalipun
demikian perlu ada suatu titik temu yang bisa dipertemukan pada perbedaan
tersebut, melalui suatu sikap toleransi yang sama-sama harus meyakini bahwa
segala sesuatu senantiasa mempunyai dua unsur, yaitu dimensi universal dan
partikular yang sama-sama harus dipahami bahwa terhadap ke dua dimensi
tersebut, maka semakin terbuka pula kesempatan kita untuk menjadi inklusif
terhadap kelompok (agama dan adat) lainnya.6
Artinya, inklusivisme disini merupakan keniscayaan sosiologis, yang mana
pemahaman terhadap pihak lain tidak hanya mengandalkan aspek-aspek yang
ada dalam komunitas masing-masing, melainkan mencoba memahami hal-hal
yang terdapat dalam komunitas lainnya. Inklusivisme merupakan salah satu
jalan untuk membangun peradaban toleransi. Aspek yang paling penting dalam

5
Ariwidodo, Shifting Paradigm of Modern Islam Fundamentalism as Islamized Space Autonomy in
Indonesia, Karsa: 2015, Vol. 25 No.1
6
Bruce, Fundamentalism. Pertautan Sikap Keberagaman dan Modernitas, Jakarta: Erlangga, 2000

4
5

toleransi adalah kehendak kuat untuk memahami pihak lain tanpa harus
kehilangan jati diri sendiri. Mengenal dan memahami pribadi orang lain akan
memudahkan jalan untuk mengenali dan menjalin kerjasama. Manusia akan
semakin memperlakukan dan diperlakukan sebagai manusia, sebagaimana
slogan “tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak pula toleran.” Meniti
kehidupan dengan paham inklusivisme ini akan mampu mengatasi berbagai
perbedaan pemahaman serta tindakan intoleran, dan mampu mengambil
langkah-langkah alternatif untuk menyelesaikan konflik secara adil dan
beradab.7
Cak Nur, juga memberikan gambaran yang menarik terkait paham
inklusivisme, yaitu suatu sikap yang bertujuan untuk menumbuhkan suatu
sikap kejiwaan yang melihat adanya kemungkinan orang lain itu benar. Orang
yang sekalipun bersalah harus dibangun suatu pemahaman kejiwaan tentang
pra-duga tidak bersalah (presumption of innocence). Manusia diciptakan dalam
keadaan fitrah, maka setiap orang pada dasarnya adalah suci dan benar. Potensi
untuk benar adalah primer. Inklusivisme merupakan fitrah yang telah dititipkan
Tuhan kepada setiap manusia agar membangun kesetaraan, persamaan,
kerukunan, dan keadilan. Mengingat potensi benar adalah primer, maka hal ini
memiliki potensi untuk berbuat baik.8
Berdasarkan pemahaman terhadap keyakinan beragama yang memiliki
sikap toleransi dan perdamaian. Selain itu, esensi dari paham inklusivisme
adalah dibawanya pesan-pesan kemanusiaan yang bersifat universal dengan
menumbuhkembangkan sikap-sikap serta prasangka yang baik terhadap
sesama. Tenda toleransi yang pada hakikatnya memberikan pembelajaran dari
paham inklusivisme senantiasa harus terus digelar dan dibentangkan sebagai
upaya membangun budaya inklusif, sehingga titik lemah dari paham
inklusivisme ini, yakni basis kultural akan mampu meredam hegemoni
eksklucontentsivisme sebagai suatu paham yang memupuk dan menonjolkan
sikap intoleransi.9
7
Ibid.
8
Ibid.
9
Susanto, Dimensi Studi Islam Kontemporer, Jakarta: Prenadamedia Group, 2017.
6

B. Penerapan inklusifisme nabi


Konsep inklusifisme pada islam dapat dilihat dari praktik nabi Muhammad
dan empat khalifah.Inklusifisme yang diterapkan oleh nabi Muhammad saw
dan khalifah 4 adalah sikap dan prakteknya dalam memperlakukan semua
orang tanpa memandang perbedaan agama,suku,ras atau latar belakang
sosial.Nabi Muhammad saw mengajarkan bahwa semua manusia adalah sama
dihadapan allah swt dan bahwa tidak ada perbedaan yang melekat pada
seseorang kecuali kesholehan dan karakternya.
Salah satu cotohnya inklusifisme yang ditunjukkan oleh nabi Muhammad
saw yaitu pada saat beliau membangun persaudaraan antara muslim muhajirin
(orang-orang yang hijrah dari mekah ke madinah) dengan muslim anshar
(penduduk madinah yang telah menjadi muslim sebelum kedatangan
muhajirin). Nabi Muhammad saw mengajarkan pentingnya persaudaraan
diantara umat muslim tanpa memandang perbedaan asal usul atau latar
belakang mereka.
Selain itu,nabi Muhammad saw juga menujukkan inklusifisme dalam
hubungan dengan non muslim.beliau menjalin hubungan baik dengan
kelompok non muslim seperti yahudi dan nasrani,beliau menjalin hubungan
dan saling menghormati.
Inklusifisme nabi Muhammad saw juga terlihat dalam keterbukaannya
terhadap perbedaan pendapat dan pandangan dalam masyarakat.beliau
mendorong masyarakat untuk berdialog dan berdiskusi secara terbuka tentang
masalah-masalah yang dihadapi,menghargai kebijaksanaan dan keberagaman
pemikiran.
C. Inklusifisme pada masa khalifah 4
Selama masa kekhalifahan rasyidin dalam islam (abu bakar as siddiq,umar
bin khatab,utsman bin affan,ali bin abi thalib),ada berbagai pendekatan inklusif
terhadap berbagai elemen dalam masyarakat dan agama. mereka dikenal
karena mempraktekkan inklusifisme dalam beberapa aspek penting dalam
islam pada masa mereka.berikut adalah beberapa contoh inklusifisme yang
diterapkan selama masa khalifah rasyidin:
7

1. Yaitu yang pertama pada masa kekhalifaan abu bakar adalah


khalifah pertama setelah wafatnya nabi Muhammad.pada praktik
inklusifisme ini abu bakar as siddiq berusaha untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat muslim maupun non muslim dengan
melaksanakan kebijakan ekonomi sebagaimana yang dilakukan
rasullah.
2. Pada masa khalifah umar bin khatab (13-23H/634-644) Umar bin
khatab adalah khalifah ke 2 setelah abu bakar.Kepemimpinan umar
memiliki dampak yang besar pada proses administrasi Negara dan
perluasan wilayah.salah satu contoh inklusifisme melindungi
masyarakat non muslim agar bisa hidup bersama dengan komunitas-
komunitas muslim.
3. Pada masa khalifah utsman bin affan (23-35H/644-656 M)utsman
bin affan adalah khlifah ke 3 setelah umar, utsman dikenal sebagai
orang yaag kaya namun ia berlaku orang yang selayaknya orang
yang tidak punya dan kekayaannya sebagai besar digunakan untuk
kepentingan islam.Inklusifisme yang diterapkan pada khalifah 4
yaitu memberi kebebasan baginon muslim untuk menjalankan
ibadahnya masing-masing dengan aman.
4. Pada masa khalifah ali bin abi thalib (35-40 H/656-661 M) ali bin
abi thalib adalh khalifah ke 4 setelah utsman,ali dikenal atas
keshalehan dan kedekatan dengan nabi Muhammad.Salah satu
inklusifisme yang diterapkan yaitu perlindungan hak-hak individu
seperti ha katas properti,kebebasan beragama,dan kebebasan
menyuarakan pendapat.
8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan diatas inklusifisme yang diterapkan oleh nabi Muhammad saw dan
praktik-praktik khalifah 4 sikap yang membawa harmoni dan persatuan
diantara umat manusia tanpa memandang agama,ras,suku dan latar belakang
sosial. Sikap ini menjadi contoh bagi kita untuk saling bertoleransi dan
menerima perbedaan.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makaalah diatas banyak sekali kesalahan dan
jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan
berpedoman pada banyak sumber yang dapat dipertanggung jawabkan. Maka
dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah
dalam kesimpulan dan isi di atas.

9
DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar, “ARGUMEN AL-QUR’AN TENTANG INKLUSIVISME DAN PLURALISME,”


TOLERANSI: Media Komunikasi Umat Beragama 8, no. 1 (2016): 43–60
Echols, J. M. dan Shadily, H. Kamus Inggris Indonesia. Gramedia: 1996 cet.1 hal 136.
Smith, H, Agama-agama Manusia, (terj.) dari The Religion of Man. Safroedin Bahar (penterj.).
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005 hal 10.
Ariwidodo, Shifting Paradigm of Modern Islam Fundamentalism as Islamized Space Autonomy in
Indonesia, Karsa: 2015, Vol. 25 No.1
Bruce, Fundamentalism. Pertautan Sikap Keberagaman dan Modernitas, Jakarta: Erlangga, 2000
Susanto, Dimensi Studi Islam Kontemporer, Jakarta: Prenadamedia Group, 2017.

10

Anda mungkin juga menyukai