Anda di halaman 1dari 10

Tugas Terstruktur Dosen Pengampu

(Pemikiran Modern Kontemporer Islam) (Muhammad Ihsanul Arif)

ISU-ISU PLURALISME AGAMA SEBAGAI BASIS MODERNI-


KONTEMPORER PEMIKIRAN ISLAM

Oleh :
Nanda Nurlina (220103020140)
Muhammad Hafi Zaki (220103020192)
Jimi Irawan (220103020078)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
BANJARBARU
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejalan dengan perkembangan pemikiran khususnya masalah teologi agama


(theology of religions) menjadi pokok perhatian dikalangan intelektual muslim ataupun
nonmuslim, claim kebenaran yang menjadi pangkal tumbuhnya sikap ekslusif agama yang
selama ini membingkai umat dalam sekat-sekat keyakinan dan keimanan kembali terusik,
semua pemeluk agama dituntut melakukan sebuah refleksi dan konstruksi pemahaman diri
dalam kondisi pluralisme agama yang semakin kuat dan sekaligus menjadi gerakan
keagamaan yang dinamis dan progresif yang sudah menimbulkan sebuah kesadaran ingin
mempertahankan pemahaman lama meskipun begitu banyak biaya, tenaga dan pikiran yang
harus dikorbankan. Keberagaman merupakan sunnatullah yang sudah semestinya harus
direnungi dan diyakini setiap umat, kesadaran umat beragama menjadi kunci
keberlangsungan dalam menjalankan agamanya masing-masing. Setiap agama mempunyai
substansi kebenaran, dalam filsafat perenial suatu konsep dalam wacana filsafat yang
banyak membicarakan hakikat Tuhan sebagai wujud absolut yang merupakan sumber dari
segala sumber wujud. Sehingga semua agama samawi berasal dari wujud yang satu, atau
adanya visi bersama menghubungkan kembali the man of good dalam realitas eksoterik
agama-agama. Disamping itu pluralisme juga harus dipahami sebagai pertalian sejati
kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban, bahkan pluralisme adalah suatu keharusan bagi
keselamatan manusia, melalui mekanisme dan pengimbangan masing-masing pemeluk
agama dan mengkisahkan secara obyektif dan transparan tentang historis agama yang
dianutnya. (QS. Al-Baqarah 2 : 251).

B. Rumusan Masalah

Mengacu kepada latar belakang yang sudah dipaparkan sebelumnya, maka kami
membuat rumusan masalah dalam makalah ini menurut beberapa sumber adalah
sebagai berikut:

1. Apa pengertian Pluralisme Agama?


2. Bagaimana proses pemahaman Pluralisme keagamaan dalam pandangan Islam?
3. Apa tanggapan oleh para tokoh gerakan islam fundamentalis, revivalis,
modernis, dan tradisionalis tentang pluralisme agama?

C. Tujuan dan Manfaat


Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pengertian dari Pluralisme agama.
2. Mengetahui pandangan Islam terhadap proses pemahaman Pluralisme
keagamaan. Mengetahui pandangan Islam terhadap proses pemahaman Pluralisme
keagamaan.
3. Mengetahui tanggapan dari para tokoh gerakan Islam fundamentalis, revivalis,
modernis, dan tradisionalis tentang pluralisme agama.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pluralisme Agama

Pluralisme berasal dari kata pluralis yang berarti jamak, atau pluralizzing sama
dengan jumlah yang menunjukkan lebih dari satu, atau lebih dari dua, sedangkan
pluralisme sama dengan keadaan atau paham dalam masyarakat yang majemuk
bersangkutan dengan system social politiknya sebagai budaya yang different dalam satu
masyarakat.1 Dalam kamus filsafat, pluralisme memiliki beberapa ciri, Pertama, realitas
fundamental bersifat jamak, berbeda dengan dualisme yang mengatakan bahwa realitas
fundamental ada dua dan monisme menyatakan bahwa realitas fundamental hanya satu.
Kedua, Banyak tingkatan peristiwa/ kejadian dalam alam semesta yang terpisah tidak
bisa diredusir dan pada dirinya independen. Ketiga, alam semesta pada dasarnya tidak
ditentukan dalam bentuk dan tidak mempunyai unity atau kontinuitas harmonis yang
mendasar, tidak ada tatanan kohern dan rasional fundamental. Pluralisme agama
merupakan sebuah konsep yang memiliki arti yang luas, berhubungan dengan
penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda dan dimanfaatkan dalam cara yang
berlainan pula.2

1
Fuad Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke II (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), 777.
2
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2006), 853.
B. Pluralisme Agama menurut para Tokoh

1. Menurut Karen Amstrong Destriana, pluralisme Agama merupakan sikap yang


terbuka untuk melihat inti dari ajaran-ajaran agama yang tampak berbeda satu sama
lain. Melalui pemahaman atas konsep compassion (kasih sayang), para pemeluk
agama dapat menemukan hakikat agamanya dan agama-agama yang lain.

2. Menurut KH. Abdurrahman Wahid atau beliau bisa disebut Gus Dur dengan
konsep pluralismenya dimaknai dengan pengakuan terhadap adanya pluralitas dan
kemajemukan beragama, bernegara dan bermasyarakat menjadi representasi dari
perpaduan keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan dari seorang pemimpin yang
berkarisma dengan kedalaman keilmuan dan pemahaman terhadap hakikat
kehidupan. Pluralisme Gus Dur memberikan makna baru yang mengarah kepada
pluralitas, yaitu sebagai paham yang mengajarkan untuk menyadari bahwa di luar
keimanan terhadap agama, ada keimanan individu lainnya terhadap agamanaya.
Bagi Gus Dur, Pluralisme mengajarakan kesadaran kepada setiap manusia yang
beragama terutama muslim, bahwa ada kemajemukan beragama dalam hidup
bermasyarakat dan bernegara.

3. Menurut Alwi Shihab, pluralisme agama berarti tiap pemeluk agama dituntut
bukan saja mengakui hak agama lain dan keberadaan agama lain, tetapi juga terlibat
dalam usaha memahami persamaan dan perbedaan guna tercapainya kerukunan
dalam kebhinekaan3.

C. Perkembangan Pluralisme Agama dalam pandangan Islam

Konsep pluralisme dikemukakan pada awalnya oleh filsuf pencerahan Christian


Wollf dan Immanuel Kant dia menekankan doktrin tentang kemungkinan pandangan
dunia di kombinasikan dengan kebutuhan untuk merangkul sudut pandang universal
penduduk dunia4. Ketika pluralisme disandingkan dengan agama maka makna
pluralisme berubah menjadi istilah yang disebut pluralisme agama (religious
3
Umi Sumbulah dan Nurjannah, Pluralisme Agama Makna dan Lokalitas Pola Kerukunan Antar Umat
Beragama, (Malang: UIN Maliki Press, 2013), hal. 57. Cet ke III
4
Rahmat Raharjo, Pluralisme agama: Prolem antara harapan dan Kecemasan, dalam Dialogia Jurnal
Stdi Islam dan Sosial, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press), hal. 312
pluralism) atau dalam bahasa arab diterjemahkan yang berarti “al ta’addudiyyah al
diniyyah”. Terminologi khusus yang tidak dapat di maknai sembarangan yang menjadi
kajian khusus dalam agama-agama.

Istilah pluralisme agama pada dasarnya sangat debatable artinya sampai sekarang
istilah ini masih didiskusikan atau diperdebatkan dan menjadi pembahasan panjang
dikalangan para ilmuan dalam studi agama-agama (religius studies). Akibatnya,
pemahaman setiap orang tentang pluralisme tidak seragam. Sehingga tak jarang juga
bisa menimbulkan mis-persepsi dan salah pengertian.

Pluralisme agama masih merupakan hal baru dan tidak mempunyai akar idiologis
atau bahkan teologis yang kuat dan ada juga yang mengatakan bahwa Pluralisme ini
sudah lama, tetapi dijadikan hal baru di zaman sekarang. Gagasan pluralisme agama
menembus dan menyusup pada wacana pemikiran Islam melalui karya-karya pemkir
Barat Muslim seperti Rene Guenon (Abdul Wahid Yahya) dan Isa Nuruddin Ahmad.
Karya-karya mereka ini sangat sarat dengan pemikiran-pemikiran dan gagasan yang
menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh kembangnya wacana pluralisme agama di
kalangan Islam. Barangkali Seyyed Hussein Nasr, seorang tokoh Muslim Syi’ah
moderat merupakan tokoh yang bisa dianggap paling bertanggung jawab dalam
mempopulerkan gagasan pluralisme agama di kalangan Islam tradisional-suatu prestasi
yang kemudian mengantarkannya pada sebuah posisi ilmiah kaliber dunia. Dalam
dunia Islam sendiri paham pluralisme ini menimbulkan polemik, ada kelompok yang
menolak dan yang menerima paham pluralisme agama ini, bahkan membelanya.
Kelompok yang menolak paham ini memiliki argumen tersendiri yang disandarkan
kepada Alqur’an. Begitu juga dengan yang menerima memiliki argumentasi yang
jelas-jelas didasarkan pada Al-qur’an yaitu: “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia
menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat”
(QS Hud:118), terdapat juga dalam surah Al-Maidah yang artinya: ”Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam
kebaikan”. (QS Al-Maidah: 48).

Umi Sumbulah menyatakan bahwa keyakinan agama adalah bagian paling


personal, eksklusif dan tersembunyi di hati manusia. Karena itu pula tidak ada
kekuatan apapun selain kekuasaan Tuhan yang bisa memaksa siapapun untuk
mengikuti ajarannya. Sementara yang menolak pluralisme berpendapat bahwa, meski
Islam mengakui adanya pluralitas agama, ras dan kultur sebagai kehendak Allah tapi
Islam tidak mengakui pluralisme yang memandang semua agama sama. Hal itu karena
adanya perbedaan fundamental secara teologis antara agama-agama. Islam adalah
agama tauhid yang mengakui Allah sebagai Tuhan. Sedangkan yahudi mengakui
Tuhan Yahweh sebagai Tuhan Khusus bagi mereka, kristen mengimani satu Tuhan
namun memiliki tiga unsur: Tuhan Bapak, Tuhan Anak dan Roh Kudus. Sedangkan
agama-agama non-semitik seperti Hindu, Majusi dan Taoisme beriman kepada banyak
Tuhan atau golongan yang sering disebut politeistik. Perbedaan fundamental tersebut
menjadikan Islam tidak mentolerir secara teologis bahwa agama-agama lain sama
dengan Islam.

Menurut Anis Malik Thoha, pluralisme agama di dunia Islam merupakan wacana
baru yang tidak memiliki akar ideologis dan teologis yang kuat. Ide pluralisme agama
di dunia Islam adalah akibat dari pengaruh penetrasi Barat modren yang muncul pada
perang dunia kedua, yaitu ketika para generasi Islam mengenyam pendidikanya.

D. Isu Pluralisme Dalam Konteks Studi Islam

Isu Pluralisme keagamaan yang berkembang dapat kita ambil dua poin. Poin
yang pertama: pentingnya dalam kehidupan kita harus mengembangkan sikap saling
menghormati dan menghargai terhadap perbedaan dalam beragama, poin yang pertama
ini bisa kita pelajari dalam Surah Al-Kafirun dan Surah Al-Baqarah: 256 yang mana
didalam surah tersebut terdapat ajaran untuk bersikap toleransi dan menghargai
pemeluk agama non islam untuk menjalankan agama yang dianutnya dan kedua,
perlunya pengakuan seseorang kebenaran terhadap agama lain, diluar agama yang
dianutnya. Poin kedua: menurut sebagian orang tidak ada agama yang benar secara
absolut melainkan agama yang relatif5. Agama relatif itu maksudnya menurut penilaian
orang kepada agama itu baik atau buruk sesuai dengan keyakinannya sendiri. Tetapi
sedikit atau banyak, orang-orang barat masih menilai bahwa agama islam itu sesat dan
membahayakan karena dapat memunculkan orang-orang jahat seperti teroris.
Padahalkan tidak semua umat muslim itu melakukan, jadi kita sebagai umat islam yang
baik hendaknya mengubah pola pikir orang barat untuk tidak menilai bahwa islam itu
jahat dan sebagainya.

5
Sukirnan, “Arah Pengembangan Pendidikan Agama Islam Pada Era Pluralisme Agama”, Jurnal
Agama Islam, vol. 1, No. 2.
Sudah dikatakan bahwa islam itu adalah agama universal dan sangat menghargai
nilai kemanusiaan, karena buktinya islam mengajarkan untuk menjunjung tinggi hak-
hak asasi manusia yang telah diberikan sejak lahir oleh sang pencipta dan tidak
memandang rendah latar belakang dari seseorang yang beragama non islam6. Jadi sikap
toleransi dan saling menghargai antara satu dengan yang lainnya harus dijaga dan
tercermin dalam kehidupan sehari-hari, karena jika kita bisa menjaga sikap tersebut
maka kita akan dapat bergaul dengan sesama muslim atau non muslim. Dengan
demikian seharusnya keberadaan agama-agama, semestinya diakui dan dihargai
eksistensinya. Jika tidak diakui eksistensi agama-agama tersebut dapat membuat
sesuatu yang tidak terduga-duga seperti gerakan-gerakan radikal yang menentang
kenyataan.

Masalah yang nyata dari pluralisme agama adalah menghapuskan pokok-pokok


ajaran islam yang telah dijelaskan didalam Al-Qur’an7. Mungkin terlalu banyaknya
kegiatan keagamaan yang ada didalam agama islam menjadikan sebagian besar
umatnya ada yang meninggalkan ajaran-ajaran yang penting dapat mendatangkan
kebaikan dalam berkehidupan yang tentram. Mereka menganggap bahwa semua itu
hanya suatu yang dapat menyesatkan mereka, padahal itulah ajaran yang baik bisa
membawa mereka ke jalan kebenaran dan keselamatan dunia dan akhirat.

Sekarang ini radikalisme islam terutama di Timur Tengah masih aktif


menunjukkan ketangguhannya di depan Barat. Gejala radikalisme agama (islam) yang
anti barat memunculkan kelompok jihadis seperti Al-Qaidah dan ISIS (Islamic State
Of Irak And Syria). Radikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh
sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik
secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan, namun bila dilihat dari sudut
pandang keagamaan dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada
fondasi agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi,
sehingga tidak jarang penganut dari paham atau aliran tersebut menggunakan
kekerasan pada orang yang berbeda aliran umtuk mengaktualisasikan paham
keagamaan yang dianut dan dipercayainya untuk diterima secara paksa.

6
Edi Susanto, “Pemahaman Pluralisme Agama Pada Mahasiswa STAIN Pamekasan”, Nuansa, vol.10 ,
No. 1.
7
Ahmad Khaerurrozikin, “Problem Sosiologis Pluralisme Agama di Indonesia”, Kalimah, vol. 13, No.
1.
E. Pandangan dari gerakan Islam Fundamentalis, revivalis, modernis, dan tradisionalis
tentang Pluralisme Agama

1. Fundamentalis

Kaum fundamentalis berpendapat bahwa Islam “resmi” sekarang sudah tidak


bersentuhan dengan kebutuhan orang-orang beriman dan dalam suatu ungkapan
mereka mengambarkan da’i-da’i tertentu sebagai “beo mimbar” (Babaghawat al-
manabir). Oleh karena itu, jenis kaum fundamentalis Islam ini lebih menuntut
penelitian dan interpretasi ulang terhadap sumber-sumber ajaran agama dari pada
menuntut penegasan nilai-nilai dan ajaran “tradisional”.

2. Revivalis
Gerakan revivalisme Islam ini mewajibkan untuk melaksanakan Islam secara
kaffah. Selain itu, mereka juga harus melakukan dakwah untuk mengajak orang lain
agar menerapkan ajaran-ajaran dan prisisp-prisip Islam. Disinilah setiap Muslim
dipandang memiliki kewajiban untuk menjalankan seluruh aspek lini kehidupan
berdasarkan ajaran Islam. Cara pandang yang holistik dalam setiap pemikiran dan
gerakan revivalis, menurut Imdadun Rahmat melahirkan konsep bahwa Islam dan
Negara tidak bisa dipisahkan. Islam adalah ad-din wa dawlah. Wilayah Islam juga
meliputi politik atau negara, maka dalam paradigma ini negara merupakan lembaga
politik dan keagamaan sekaligus. fenomena Islam revivalis ini juga tidak dalam model
yang tunggal, dengan kata lain terdapat banyak variasi dari gerakan tersebut. Dalam
kontek masyarakat Indonesia gerakan keagamaan yang dapat dikategorikan kepada
pola ini adalah seperti Muhammadiyah, Kelompok-kelompok Tarbiyah (biasa juga
disebut Holaqah) seperti KAMMI dan PKS, serta FPI yang mana pandangan ini
dijelaskan hanya didalam Islam saja.
3. Modernis
Dawam Rahardjo merupakan tokoh intelektual yang memiliki perhatian besar
terhadap wacana pluralisme dengan konsep civil society (masyarakat madani) yang
juga marak di Indonesia. Masyarakat madani menurut pemikiran Rahardjo memiliki
dua esensi penting yaitu nilai-nilai kebajikan umum dan integrasi sosial.

4. Tradisional
Menurut Nasr, istilah “tradisi” sebagaimana digunakan kaum tradisionalis
sendiri mengacu kepada wahyu Allah dan pengungkapan wahyu tersebut dalam
kehidupan historis manusia di lingkungan tertentu. Karena itu tradisi mencakup tiga
aspek penting. Pertama, al-din dalam pengertian seluas-luasnya, yang mencakup
seluruh aspek agama dan ramifikasinya; kedua, al-sunnah, yang terbentuk dan
berkembang berdasarkan model-model sakral, sehingga menjadi tradisi, dan
ketiga, silsilah, yakni mata rantai yang menghubungkan setiap periode, episode, atau
tahap kehidupan dan pemikiran dalam dunia tradisional kepada Yang Maha Awal.
Singkatnya, “tradisional” dalam menanggapi pluralisme agama mengandung makna
segala kebenaran sakral, abadi, kebijaksanaan perenial, dan penerapannya yang terus
menerus dari prinsip-prinsipnya yang abadi kepada berbagai kondisi ruang dan waktu.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Islam adalah agama rahmatan lil alamiin. Islam selalu membawa kedamaian
dan ketenangan bagi semua manusia. Karena itu, Islam sangat tidak membolehkan
adanya kekerasan dalam pelaksanaan ajaran agama, maupun dalam kehidupan sosial
dengan orang lain. Islam juga mengajarkan toleransi dan penghormatan kepada orang
yang berbeda agama. Munculnya aliran-aliran seperti fundamentalis, revivalis,
modernis, tradisionalis dan aliran lainnya harus disikapi dengan bijak bahwa mereka
bagian dari harmonisasi kehidupan beragama. Keanekaragaman aliran dalam Islam
merupakan rahmat. Akan tetapi, gerakan ini perlu untuk dikritisi dalam hal
ideologinya yang menomorsatukan jihad ketika berhadapan dengan orang yang
berbeda pandangan, atau orang yang ideologinya tidak sejalan dengan Islam.
Mungkin setiap agama dapat berbeda dalam hal kebenaran, tetapi tetap bisa bersama
dalam hal kebaikan.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Khaerurrozikin, “Problem Sosiologis Pluralisme Agama di Indonesia”, Kalimah,


vol. 13, No. 1.
Edi Susanto, “Pemahaman Pluralisme Agama Pada Mahasiswa STAIN Pamekasan”,
Nuansa, vol.10 , No. 1.
Fuad Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990).
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2006), 853.
Rahmat Raharjo, Pluralisme agama: Prolem antara harapan dan Kecemasan, dalam
Dialogia Jurnal Studi Islam dan Sosial, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press), hal.
312.
Sukirnan, “Arah Pengembangan Pendidikan Agama Islam Pada Era Pluralisme Agama”,
Jurnal Agama Islam, vol. 1, No. 2.
Umi Sumbulah dan Nurjannah, Pluralisme Agama, Makna dan Lokalitas Pola Kerukunan
Antar Umat Beragama, (Malang: UIN Maliki Press, 2013), hal. 57. Cet ke III.

Anda mungkin juga menyukai