Anda di halaman 1dari 13

Teks Terstruktur Dosen Pengampu

Islam dan Budaya Banjar Riza Saputra, S.Th.I, MA

ISLAM DAN RITUAL SEPUTAR REZEKI, PEKERJAAN,


MENCARI NAFKAH, DAN BERTANI

OLEH:

KELOMPOK 7

MUHAMMAD RIZKI MUBARAK (220103020125)


NUR RAHMAD TEGUH SEPTIYADI (220103020246)
AHMAD DIDI RIYADI (220103020225)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

BANJARBARU

2023
PENDAHULUAN

Latar belakang

Manusia merupakan mahluk konsumtif yang mana untuk memenuhi


kebutuhannya sehari-hari manusia membutuhkan mata pencaharian. Mata
pencaharian manusia berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya faktor geografis, keahlian induvidu, dan kebutuhan manusia itu
sendiri. Dikalangan Masyarakat Banjar terdapat sejarah panjang dalam kehidupan
beragama, pekerjaan dan kepercayaan terhadap tradisi dan ritual. Masyarakat
Banjar juga dikenal sebagai masyarakat yang sangat menghargai nilai-nilai
kebersamaan dan kekeluargaan. Islam yang dianut oleh penduduk daerah Banjar
diantaranya juga masuk melalui perantara para mubaligh yang diantara mereka
pada kala itu bekerja sebagai pedagang yang gemar berinteraksi dengan
masyarakat dengan membawa ciri khas ajaran islam yang yang mulia lagi luhur.1
Seiring dengan perkembangan zaman, kehidupan ekonomi dan sosial
masyarakat Banjar juga mengalami perubahan yang signifikan. Meskipun begitu,
nilai-nilai dan ajaran Islam tetap dipegang teguh oleh masyarakat Banjar,
termasuk dalam urusan rezeki, pekerjaan, mencari nafkah, dan bertani. Meskipun
sudah dilakukan sejak zaman dahulu, masih banyak yang perlu dipelajari tentang
Islam dan ritual seputar rezeki, pekerjaan, mencari nafkah, dan bertani dalam
masyarakat Banjar. Pada makalah ini, pemateri ingin memaparkan pekerjaan-
pekerjaan, bagaimana ritual-ritual suatu pekerjaan dijalankan, apa maknanya, dan
apa dampaknya bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Banjar.

1
Kusmartono, Sjarifuddin, Hadijah, Kawi, and Anis. Sejarah Banjar. 2007, Banjarmasin:
Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi Kalimantan Selatan, h. 88
Pembahasan

A. Mata Pencaharian Masyarakat Banjar

Mata pencaharian masyarakat Banjar tidak lepas dari kondisi geografis


pulau Kalimantan itu sendiri, yang mana pulau Kalimantan memilki banyak
sungai sehingga hal ini berpengaruh terhadap mata pencaharian masyarakat banjar
itu sendiri. Dan hal ini menyebabkan pesebaran pemukiman masyarakat banjar
cendrung mendekati pinggiran sungai.

1.) Berdagang

Sungai menjadi salah satu sektor utama dalam proses mencari nafkah bagi
masyarakat. Mata pencaharian yang sering dilakukan masyarakat di sektor ini
ialah perdagangan. Barang yang diperjual-belikan sangat beragam, mulai dari
barang yang menjadi kebutuhan pokok, buah-buahan, hasil alam, dan sebagainya.
Proses transaksi jual beli ini dilakukan dengan memanfaatkan aliran sungai
sehingga perahu menjadi alat transportasi penunjang yang sangat penting dalam
perdagangan bagi masyarakat Banjar. Beberapa wilayah di Banjarmasin yang
masih memanfaatkan sungai dalam melakukan transaksi jual beli, yaitu di wilayah
Lok Baintan dan Kuin. Pasar ini biasanya hanya ada di waktu pagi hari. Selain
waktu tersebut, aktivitas transaksi jual beli sangat jarang dilakukan disekitar
sungai.
Menurut salah satu budayawan Banjar Anang Ardiansyah
mengilustrasikan sekilas mengenai aktivitas masyarakat Banjar dalam mencari
nafkah dengan memanfaatkan sungai. Hal ini dapat kita temui pada salah satu lagu
ciptaan beliau yang berjudul Puhun Rambai yang berarti pohon Rambai. Pohon
rambai merupakan jenis pohon yang menghasilkan buah-buahan yang tumbuh liar
atau setengah liar di kebun-kebun di Indonesia yang memiliki tinggi sekitar 9-12
meter, pohon ini biasanya tumbuh di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Kutipan
lagu ini yang menggambarkan mata pencaharian masyarakat Banjar adalah
sebagai berikut.
Matan rantauan ka rantauan (Sejak dari perantauan keperantauan)
Bajukung bajual pancarakinan (Pakai perahu
berjualanpancarakinan)
Kada kada tarasa hari ka lawan bulan (Tidak terasa hari dan bulan)
(Anang Ardiansyah, Puhun Rambai)

Lagu ini secara keseluruhan menjelaskan tentang berbagai aktivitas


sehari-hari yang dilakukan oleh masyarakat Banjar. Anang Ardiansyah
menggambarkan pohon di lagunya tumbuh di pinggir sungai. Dia
mempersonifikasikan pohon sebagai saksi yang mengamati aktivitas mayarakat
Banjar. aktivitas yang dimaksud ialah makan bersama, salat subuh dan magrib
berjamaah, serta transaksi jual beli dengan memanfaatkan arus sungai sebagai
faktor penunjaang.
Sebagai salah satu mata pencaharian masyarakat Banjar perdagangan
dalam lagu ini digambarkan dalam lirik yang berbunyi “Matan rantauan ka
rantauan, bajukung bajual pancarakinan.” Lirik ini berarti sejak dari perantauan
yang satu ke perantauan yang lain, dengan perahu menjual pancarakinan. Kata
pancarakinan bermakna rampah-rempah yang bisanya digunakan masyarakat
banjar untuk memasak. Lirik ini menjelaskan bagaimana masyarakat Banjar
melakukan aktivitas perdagangan. Mereka melalui arus sungai dengan
menggunakan perahu yang disebut jukung untuk membawa barang dagangannya.
Barang dagangannya dalam lirik ini ialah rempah-rempah dapur. Sebenarnya,
masih banyak barang dagangan yang lain, seperti buah-buahan, sayuran, kue,
makanan, perlengkapan rumah tangga, dan sebagainya.
Selain itu, Anang Ardiansyah juga menggambarkan bagaimana kegigihan
masyarakat Banjar dalam berdagang. Dalam liriknya, diilustrasikan bahwa mereka
tidak hanya berjualan di satu tempat, tetapi juga di banyak tempat. Selain itu,
waktu yang digunakan untuk menjual barang dagangannya bisa mencapai waktu
yang lama. Di lagu ini, Anang Ardiansyah menyebutkan hingga hitungan bulan.
Kegigihan dalam berdagang menjadi ciri khas masyarakat Banjar yang
dimunculkan oleh Anang Ardianysah.2 Hal ini diperkuat Daud bahwa memang
ditemukan pada masyarakat Banjar ada keluarga yang hidup beranak-pinak dalam
perahu dan berkeliling sampai jauh di pedalaman sungai Martapura sambil
menjajakan barang dagangannya berupa hasil produksi industri dari daerah
asalnya atau barang dagangan lainnya yang menjadi kebutuhan pokok bagi
masyarakat banjar.3
2. Nelayan
Kalimantan Selatan sebagian besar wilayahnya memiliki kondisi geografis
alami berupa aliran sungai-sungai besar, rawa-rawa serta dataran rendah pasang
surut yang telah memberikan pengaruh terhadap mata pencaharian masyarakat
Banjar. Dengan kondisi geografis tersebut membuat sebagian masyarakat Banjar
bermata pencaharian sebagai nelayan. Masyarakat banjar memiliki beberapa cara
dalam mencari ikan yang lazim digunakan yaitu dengan cara malunta, malukah,
marengge, ataupun maunjun. Malunta merupakan cara menangkap ikan dengan
menggunakan jaring yang dilemparkan kesungai. Merengge merupakan cara
menangkap ikan dengan menggunakan jaring yang dibentangkan dengan
menggunakan bambu. Sedangkan maunjun merupakan cara mencari ikan dengan
menggunakan alat pancing atau masyarakat Banjar biasa menyebutnya dengan
unjunan.4
Sebelum memulai aktivitas pencarian rezeki masyarakat banjar biasanya
melakukan ritual upacara adat, upacara ini dipercaya oleh masyrakat Banjar untuk
mengusir keberadaan makhluk halus, memudahkan berbagai aktivitas pekerjaan
dan melancarkan hal tersebut. Walaupun disisi Islam mengajarkan keberadaan
makhluk gaib seperti malaikat, iblis, syaitan, dan Jin, masyarakat Banjar memiliki
keyakinan yang berbeda.5 Masyarakat Banjar mempercayai bahwa ada makhluk-

2
Akhmad Humaidi, “Nilai Budaya Dalam Lagu Banjar: Pernikahan, Mata Pencaharian,
dan Permainan Tradisional,” Stalistika: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarammya, Vol. 1, No.
1, April 2016, 109-110.
3
Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan
Banjar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997, tt
4
Erwan Nurindarto, Sosikultural Urang Banjar Gambaran Kecil Tentang Masyarakat
Banjar. Banjarbaru: Warga Kalimantan Selatan, Agustus 2019, 15.
5
Rahmadi, Islam Kawasan Kalimantan. Banjarmasin: Antasari Press, November 2020,
297.
makhluk halus lain yang dikenal seperti (1) orang gaib, yaitu makhluk halus yang
dianggap sebagai asal-usul dari para raja Banjar, (2) bubuhan datu yang
merupakan makhluk halus yang berasal dari arwah nenek moyang yang
menghilang atau tidak wafat, dan mereka dikatakan menempati lokasi tertentu
seperti hutan, danau, atau rawa, (3) makhluk bawah air yang terdiri dari jelmaan
nenek moyang seperti naga, tambun, dan buaya, (4) manusia jadi-jadian yang
dipercayai sebagai makhluk halus yang mampu berubah menjadi manusia dari
binatang seperti macan, tabuan atau buaya, dan hidup bersama manusia, dan (5)
hantu penggangsu atau pembawa penyakit, seperti kuyang, hantu beranak, hantu
sawan, hantu karungkup, dan hantu pulasit.6
Oleh karena itu pada kebiasaannya masyarakat Banjar yang melakukan
ritual ini pada aktivitas nelayan dan petani. Beberapa nelayan memiliki beberapa
ritual upacara tradisional tahap memulai dan menyelesaikan pekerjaannya, seperti
upacara selamatan laut, selamatan menangkap ikan dan upacara turun kapal.
Upacara-upacara tersebut telah mengalami proses islamisasi, namun unsur
kepercayaan lokal masih sangat kental.
1. Selamatan laut
Ritual upacara “Selamatan laut” sebagaimana penelitian Arbainah
(2000:v-vi) ritual ini dilaksanakan di bulan Zulhijjah setelah hari raya Idhul Adha
pada sebuah kapal yang berada di tengah laut. Ritual ini mempunyai dua unsur,
yaitu islam dan unsur adat lokal. Unsur islam di ritual ini yaitu pembacaan doa
selamat dan doa tolak bala, sedang unsur lokalnya persembahan kepada makhluk
gaib dan roh halus.
2. Selamatan menangkap ikan
Ritual upacara “selamatan menangkap ikan” berdasar apa yang
dipaparkan oleh Muhran (2002:iv-v) juga mengungkap bahwa ritual ini
merupakan kegiatan bersaji kepada makhluk halus disamping pembacaan doa
selamat. Dalam ritual ini seorang ibu yang sedang hamil menyediakan sesajen
yang diperciki air tepung tawar.
6
Alfani Daud, “Beberapa Ciri Etos Budaya Masyarakat Banjar “ Pidato pengukuhan
sebagai guru besar madya Ilmu Sosiologi Agama pada Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari, 2000,
7-8
3. Upacara Turun kapal
Ritual upacara turun kapal menurut penelitian Maria Ulfah (2002: 28-49)
adalah ritual yang dilakukan untuk menyelamati sebuah kapal yang baru ingin
dilayarkan kelautan oleh para nelayan setempat. Pemimpin ritual ini adalah tokoh
adat yang memiliki kemampuan berhubungan dengan makhluk-makhluk halus.
Unsur adat istiadat setempat dari kepercayaan leluhur masih dapat dilihat dalam
upacara ini. Memberikan sesajen kepada penguasa dewa laut adalah bukti nyata.
Produk-produk tersebut sendiri memiliki arti tertentu dalam sistem kepercayaan
masyarakat. Misalnya, darah ayam yang disembelih dimaknai sebagai lauk
penguasa laut. Tiga butir telur yang pecah di sisi kapal yang berbeda adalah untuk
makhluk halus agar tidak mengganggu kapal dan isinya. Sirih, pinang, gambir dan
kapur yang disertakan dalam sesaji bersifat simbolis, sebagai tanda kesatuan
manusia dengan dewa, serta untuk menghindari konflik atau permusuhan antara
keduanya.7

3. Bertani
Bertani merupakan salah satu mata pencaharian yang lazim dilakukan
oleh masyarakat Banjar selain berdagang. Dan biasanya bertani dominan
dilakukan oleh masyarakat Banjar yang mendiami daerah dataran rendah dan
dekat dengan aliran sungai. Masyarakat Banjar memiliki beberapa istilah untuk
menyebut pola bertani pada daerah masing-masing. Penyebutan tersebut
disesuaikan dengan kriteria daerah dataran tinggi dan dataran rendah. Untuk
daerah dataran tinggi ada istilah Bahuma Gunung sedangkan untuk daerah dataran
rendah ada istilah Sawah Tahun, Bahuma Rintak, Bahuma Penyambung dan
Bahuma Surung.8
Beberapa Petani juga memiliki beberapa ritual upacara tradisional tahap
memulai dan menyelesaikan pekerjaannya,. Upacara adat yang termasuk dalam
kategori ini adalah upacara Bapalas Padang, upacara Bapalas Handil, upacara

7
Rahmadi, Agama Dan Budaya Masyarakat Banjar. Zahir Publishing, Yogyakarta, Juli
2022, 60-61
8
Lismawati, “Representasi Kearifan Lokal Dan Filosofi Dalam Lagu Banjar,” Jurnal
Bahasa, Sastra Dan Pembelajarannya, Vol. 12, No. 2, Oktober 2022, 352.
Mamaradak, upacara Kur Sumangat, upacara Manyanggar Banua. Seperti halnya
upacara adat lainnya, upacara memulai dan menyelesaikan pekerjaan dan mencari
nafkah tertentu banyak berkaitan dengan keyakinan dan semangat ritualistik.
Para petani pada kalangan masyarakat banjar terdapat berbagai upacara
atau ritual yang berhubungan dengan kepercayaan pada masyarakat setempat.
Diantara ritual yang dilaksanakan masyarakat banjar untuk bertani yaitu Bapalas
Padang, Bapalas Handil, Upacara Mamaradak, Upacara Kur Sumangat, dan
Upacara Manyanggar Banua
1. Bapalas padang
Ritual upacara “Bapalas padang” sebagaimana apa yang diteliti oleh
Mariatussa’adah (1999: v) dilaksankan untuk menghindari gangguan makhluk
halus yang dipercaya tinggal di padang, persawahan, kebun-kebun dan sungai-
sungai rawa milik masyarakat serta untuk membersihkan, menjaga kebersihan
lingkungan, dan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur.
Ritual Bapalas Padang dilakukan dengan membersihkan area terbuka
seperti padang atau lapangan, yang kemudian diberi sesajen atau persembahan.
Selama ritual, para peserta juga membacakan doa-doa dan mantra-mantra yang
diyakini dapat mengusir atau mencegah gangguan makhluk halus. Setelah itu,
persembahan atau sesajen tersebut dikonsumsi bersama-sama oleh peserta. Seiring
dengan masuknya islam yang lambat laun mempengaruhi ritual tadi, ritual inipun
akhirnya diisi pengaruh Islam, upacara ini pun kemudian diisi dengan pelaksanaan
salat hajat, pembacaan surah Yasin, salawat dan pembacaan doa selamat. Dengan
adanya unsur Islam di dalamnya, upacara ini tidak lagi murni bersifat tradisi lokal
yang berasal dari leluhur tetapi sudah mengakomodasi unsur Islam.
2. Bapalas handil
Ritual upacara “Bapalas handil” sebagaimana yang diteliti oleh
Muhammad Jamidi (2002: 47- 64) adalah ritual yang bertujuan agar pertanian
para petani berhasil dan terhindar dari yang namanya gagal panen. Masyarakat
memiliki kepercayaan bahwa gagal panen bisa saja disebabkan oleh gangguan
makhlusk halus dan penyakit padi yang bersifat nonfisik, , seperti sulang kambing
(makhluk gaib yang dipercaya menghisap padi sehingga isinya hampa), sangkala
(hantu yang dapat mengisap padi hingga hampa) dan banih hilang barakat karena
adanya makhluk halus yang ikut memakannya.
Ritual ini dilakukan dengan perantara persembahan sesaji berupa kambing
bakar yang ditujukan keapda makhluk halus. Ritual ini dilaksanakan dua kali
dalam setahun, pada awal pembukaan lahan atau setelah panen dilakukan. Hari-
hari yang dipilih untuk ritual ini adalah hari yang baik, seperti Senin, Rabu, Kamis
dan Jumat menurut perhitungan masyarakat. Upacara ini dipimpin oleh kepala
suku Padang yang dipercaya mengetahui tentang kehidupan makhluk gaib.
3. Mamaradak
Ritual upacara berikutnya adalah “Mamaradak” , sebagaimana hasil teliti
yang disampaikan Muslimah (2000: 34-52) adalah ritual yang tujuannya hampir
sama dengan ritual-ritual sebelumnya, yaitu agar padi yang ditanam mendapatkan
hasil yang baik dan para petani mendapatkan keselamatan.
Ritual ini dimulai ketika akan menanam benih-benih padi dan dilakukan
pada hari Ahad di bulan Oktober. Masyarakat memiliki kepercayaan bahwa pada
hari ahad tersebut tidak mempunyai nahas ganal (sial besar). Pada upacara ini
akan disajikan makanan yang jumlahnya mencapai 40 jenis kue, dan seluruh
makanan tadi disajikan kepada roh-roh halus. Makanan ini memiliki arti khusus
dan secara simbolis mencerminkan harapan bagi masyrakat bahwa padi yang
ditanam memberikan hasil yang baik, tidak busuk, dan orang yang
mengerjakannya tidak mengalami kekacauan atau kecelakaan. Menurut penelitian
Muslimah, Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengislamkan ritual tersebut,
meskipun masih terdapat beberapa kegiatan non-Islam dalam ritual tersebut,
seperti sabung ayam. Hal ini terlihat dari rangkaian kegiatan upacara mamaradak
yang diisi dengan ibadah, sholat maghrib, sholat hajat dan sholat berjamaah agar
padi yang mereka tanam tumbuh dengan baik dan selamat bagi yang
menanamnya.
4. Kur sumangat (padi)
Ritual berikutnya yang ada dalam kalangan petani pada masyarakat Banjar
ialah “Kur sumangat (padi)”. Berdasarkan apa yang diteliti oleh Rimayanti
(2001:iv-v), ritual ini memiliki lima tahapan yang juga berkaitan dengan makhluk
halus,
Pertama, mengadakan selamatan yang disebut mahalarat pada saat bibit padi
mulai disemai. Acara ini dimaksudkan untuk memanggil roh atau semangat padi.
Kedua, penghormatan kepada roh semangat padi dengan cara memberikan
peralatan berhias dengan maksud agar roh padi merasa senang.
Ketiga, pembakaran kemenyan, upung dan mayang pada saat padi mulai berbuah.
Acara ini dimaksudkan untuk menghindari gangguan makhluk jahat.
Keempat, selamatan pada saat padi mau panen. Dimaksudkan sebagai rasa syukur
karena hasil dari padi sudah mulai nampak
Kelima, penghormatan kepada roh padi pada saat padi berupa gabah kering yang
disimpan di tempat penyimpanan padi dengan cara memberikan kembali
perangkat alat berhias. Peralatan hias ini disuguhkan agar para roh/semangat padi
bisa berhias karena merasa tersanjung.9

Kesimpulan

Mata pencaharian masyarakat Banjar sangat dipengaruhi oleh kondisi


geografis pulau Kalimantan, yang memiliki banyak sungai. Sebagian besar
masyarakat Banjar mencari nafkah dengan berdagang, terutama di sektor
perdagangan. Proses transaksi jual beli ini dilakukan dengan memanfaatkan aliran
sungai sehingga perahu menjadi alat transportasi penunjang yang sangat penting
dalam perdagangan bagi masyarakat Banjar.
Selain itu, Masyarakat Banjar juga memiliki nilai-nilai kebersamaan dan
kekeluargaan yang kuat dengan tetap memegang teguh nilai dan ajaran Islam
dalam urusan rezeki, pekerjaan, mencari nafkah, bertani, nelayan dan lain
sebagainya. Masyarakat Banjar dalam kebiasaannya mempunyai berbagai ritual-
ritual yang dipercaya mengusir keberadaan makhluk halus, memudahkan berbagai
aktivitas pekerjaan dan melancarkan hal tersebut. Ritual-ritual yang sebelumnya
berisi hal-hal yang mistis seperti pemberian sesajen, pembacaan mantra-mantra

9
Rahmadi, 57-60
dan lain-lain lambat laun terpengaruh dengan ajaran agama islam yang
mempengaruhi ritual tadi, ritual inipun akhirnya diisi pengaruh Islam.
DAFTAR PUSAKA

Daud, A “Beberapa Ciri Etos Budaya Masyarakat Banjar “ Pidato pengukuhan


sebagai guru besar madya Ilmu Sosiologi Agama pada Fakultas
Ushuluddin IAIN Antasari, 2000.

Daud, A, Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan


Banjar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.

Erwan Nurindarto, Sosikultural Urang Banjar Gambaran Kecil Tentang


Masyarakat Banjar. Banjarbaru: Warga Kalimantan Selatan, Agustus
2019.

Humaidi, Akhmad “Nilai Budaya Dalam Lagu Banjar: Pernikahan, Mata


Pencaharian, dan Permainan Tradisional,” Stalistika: Jurnal Bahasa,
Sastra, dan Pengajarammya, Vol. 1, No. 1, April 2016.

Kusmartono, Sjarifuddin, Hadijah, Kawi, and Anis. Sejarah Banjar. 2007


Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi
Kalimantan Selata.
Lismawati, “Representasi Kearifan Lokal Dan Filosofi Dalam Lagu Banjar,”
Jurnal Bahasa, Sastra Dan Pembelajarannya, Vol. 12, No. 2, Oktober
2022.

Rahmadi, Agama Dan Budaya Masyarakat Banjar. Zahir Publishing, Yogyakarta,


Juli 2022.

Rahmadi, Islam Kawasan Kalimantan. Banjarmasin: Antasari Press, November


2020.

Anda mungkin juga menyukai