Anda di halaman 1dari 20

BAB III

PEMIKIRAN IMAM AL GHOZALI TENTANG HUKUM SENI MUSIK

DALAM KITAB IHYA ULUMUDDIN

A. Biografi Imam al Ghozali dan Karya-karyanya

Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Ahmad al

Ghozali, gelar hujjatul Islam. Ia dilahirkan di Thusia, suatu kota di Khurasan,

termasuk wilayah Persi tahun 450 H/1058 M dari keluarga sederhana.1

Orang tua al Ghozali adalah orang yang miskin melarat, Ayahnya

Muhammad adalah seorang penenun dan mempunyai toko tenun di

kampungnya. Tetapi penghasilannya yang kecil tidak dapat mencukupi

kebutuhan hidupnya sekeluarga.2

Ayah al Ghozali meninggal ketika ia kecil. Sebelum meninggal, ayah

al Ghozali menitipkan kepada sahabatnya, seorang sufi agar diurus dan dididik

bersama adiknya. Diserahkan juga sejumlah uang simpanan, pesannya, jika

bekal itu habis ia berharap kedua anaknya hidup mandiri dengan jalan

mengajar. Semua pesan itu dipenuhi dengan baik oleh sahabatnya.

Imam al Ghozali masuk sekolah Ahmad al Razkani di Thus. Di sini ia

belajar ilmu fiqih secara luas, semangatnya menuntut ilmu sangat tinggi.3

1
M. Muhaimin, Ilmu Kalam, Penerbit Pustaka Pelajar: Yogyakarta, Cet ke-1, 1999,
Hlm. 119
2
Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Imam Al-Ghozali, Bulan Bintang: Jakarta, Cet
Ke-1, 1975, Hlm. 29
3
Victor Said Basil, Al-Ghozali Mencari Makrifah, Alih Bahasa Ahmadie Thaha,
Pustaka Panji Mas: Jakarta, 1990, Hlm. 7

36
Kemudian al Ghozali pindah ke Jurjan untuk belajar kepada Imam al Alamah

abu Nashr al Isma’ili.

Di Jurjan al Ghozali mulai menuliskan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh

gurunya. Namun nampak bahwa Imam al Ghozali tidak mendapat keuntungan

rasional dari apa yang dia tulis dan dia dengar. Dari Jurjan al Ghozali kembali

ke Thus, di sini ia benar-benar melakukan konsentrasi untuk belajar selama 3

tahun seperti yang ia janjikan sebelumnya.

Pengetahuan-pengetahuan yang ada di Thus tidak siap untuk

membekali al Ghozali sebagaimana al Ghozali sendiri tidak puas terhadapnya.

Untuk itu al Ghozali pergi ke Naisabur satu dari sekian kota ilmu pengetahuan

dan cahaya di jamannya. Di sini al Ghozali belajar ilmu yang popular di

jamannya, tentang tauhid, penguasaan terhadap aliran al Asyari’ah dan metode

jadal (dialektika), ushul dan logika kepada Imam al Haromain Abi al Ma’ali al

Juwaini.4

Di Naisabur, keyakinan al Ghozali terhadap ilmu fiqh mulai

melemah, di samping kekagumammya terhadap para ilmuwanpun mulai

menipis, al Ghozali mempelajari dan menyimak pandangan berbagai aliran. Di

Naisabur al Ghozali menyaksikan dan mendapati moralitas para ulama dan

para ahli fiqih. Moralitas ini, ternyata hanyalah merupakan bentuk-bentuk

kesombongan dan saling berebut untuk meraih kemewahan dunia. Oleh sebab

itu, al Ghozali meragukan moralitas mereka persis seperti ketika ia meragukan

ilmu pengetahuan mereka. Dengan demikian, berakhirlah keyakinan al

4
Mohammad Rifa’i, Alam Pemikiran Al-Ghozali, Pustaka Mantiq: Jakarta, 1995, Hlm.
17

37
Ghozali terhadap ilmu pengetahuan tradisional. Akhirmya Imam al Ghozali

berharap banyak pada filsafat untuk menguatkan iman.

Ternyata, filsafat lebih melecehkan al Ghozali dibandingkan ilmu

tradisional, karena al Ghozali mendambakan keimanan ruh, keimanan kalbu,

sedangkan filsafat, walaupun memberikan kepuasan kepada akal bebas, tetapi

tidak mampu memberikan kepuasan kepada kalbu. Sebagai konsekuensinya al

Ghozali pun meragukan filsafat.

Setelah berproses demikian, al Ghozali menjadi kritikus terbesar

dalam generasinya. Dikalangan pecinta ilmu pengetahuan, al Ghazali dikenal

sebagai guru besar yang kreatif ahli dalam setiap kajian, sangat menyukai

perdebatan dan diskusi. Untuk itu tidak satu aliranpun yang terlepas dari

ketajaman pena kritiknya.5

Pada tahun 475 H, dalam usianya mencapai 25 tahun, al Ghazali

mulai menjadi dosen, dibawah pimpinan gurunya Imanuel Haraman, Dosen di

universitas Nizhaniyah Niesabur, telah mengangkat namanya begitu tinggi.

Apabila setelah dipercayai gurunya untuk menggantikan kedudukanya, baik

sebagai maha guru ataupun sebagai Presiden Universitas.

Naesabur adalah merupakan batu loncatan bagi al Ghazali untuk

meningkatkan belajar, dia diangkat pula menjadi Asisten professor dari Imam

ul Haramain dan setelah gurunya meninggal pada tahun 478 H, maka ia

dilantik menjadi rektor menggantikan gurunya tersebut. 6

5
Ibid, hal. 22
6
Zainal Abidin, Op. Cit., Hlm. 34

38
Dr. Muhammad Abu Bahiy menyebutkan bahwa nama al Ghozali

sebagai pemimpin aliran Asy’ariah muncul menggantikan nama besar

gurunya, al Ghozalilah yang menentukan bentuk terakhir dari al Asy’ariah dan

menanamkan dasar-dasar kepercayaan Islam secara menyeluruh.

Sebagai seorang imam yang agung dan terpelajar, al Ghozali

diundang pada tahun 1085 datang ke kantor pemerintahan Malik Shah dari

Selkuyiah oleh perdana menterinya yang agung. Nizham al Mulk. Negarawan

ini mengakui akan keahlian al Ghozali, maka kemudian diangkatnya (pada

tahun 1090) menjadi professor dalam ilmu hukum di Universitas Nizhamiyyah

di Baghdad, dimana ia mengajar selama 4 tahun sambil meneruskan pekerjaan

mengarang.7

Namun pada tahun 488 H/1995 M dia menderita penyakit jiwa yang

membuat dirinya secara fisik tidak dapat lagi memberi kuliah. Beberapa bulan

kemudian dia maninggalkan Baghdad dengan dalih untuk melaksanakan haji,

tetapi sebenarnya dia ingin meninggalkan status guru besarnya dan kariernya

secara keseluruhan selaku ahli hukum dan teolog. Motif-motif pengunduran

dirinya telah banyak didiskusikan hingga hari ini. Al Ghozali sendiri berkata

bahwa ia takut masuk neraka, dan melakukan banyak kritik atas kerusakan

yang dilakukan ulama pada masanya. Dengan demikian, besar kemungkinan

bahwa dia meninggalkan seluruh jabatan resmi yang terorganisasi itu, yang di

dalamnya dia juga terlibat, karena jabatan tersebut korup. Oleh sebab itu, satu-

7
Ibid, Hlm. 51

39
satunya cara untuk mengarah kepada kehidupan yang benar, sebagaimana

dipahaminya adalah harus meninggalkan jabatan tersebut seluruhnya.8

Beliau berani meninggalkan segala kemewahan, harta kekayaan,

kehormatan dan keluarga yang ada di Baghdad untuk pergi ke Suriah pada

tahun 489 H.9

Keistimewaan yang luar biasa dari al Ghozali, bahwa dia adalah

seorang pengarang yang produktif. Jumlah karangan-karangan al Ghozali

mencapai angka yang besar sekali yakni 300 buah. Inilah yang menjadi

keistimewaan yang luar biasa baginya, yaitu tunggalnya soal yang dibicarakan

dengan dasar-dasar fikiran yang tegas dan cara-cara pembelaan yang kuat

tentang pendapat-pendapatnya. Karangan-karangannya meliputi berbagai

kalangan ilmu, antara lain Teologi Islam, Hukum Islam (Fiqh, Tasawuf,

Tafsir, Akhlak, dan adab kesopanan, kemudian autobiografi).10

Di antara buku-buku al Ghozali antara lain:

a. Yaqut ut Ta’wiel fi Tafsier et Tanziel yaitu buku tentang penafsiran Al

Qur’an menurut sebab-sebab turun ayat-ayatnya. Terdiri dari 40 jilid.\

b. Surrul Alamain, suatu buku politik yang mungkin isinya perbedaan antara

dua negara, adil dan zalim, atau antara negara duniawiyah atau negara

yang diridhai Tuhan.

c. Al Madhnun bihi ‘Ala Ghairi Ahlihi, yaitu ilmu yang harus disembunyikan

dari orang-orang yang bukan ahlinya. Pada saat yang sama selesai pula

8
M. Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam, Penerbit Mizan: Bandung, Cet ke-1, 2002,
Hlm. 29
9
Kitab AlMunqidz Adh Dhalal, Kegelisahan Al-Ghozali, Terj.Ahmad Khudori Sholeh,
Pustaka Hidayah: Bandung, Cet ke-1 1998,Hlm.2
10
A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang: Yogyakarta, 1967, Hlm. 199

40
karangannya tentang ilmu kalam, khusus mengenai aliran bathiniyah yaitu

al Mustazhiriy, dan Hujjatul Haqq.

d. Di Dasmaskus pada 489 H, buku-buku tentang ilmu kalam (aqidah-tauhid)

yaitu al Iqtishad fil I’tiqad, Qawa’id ul ’Aqaid, dan ar Risalah al

Qudsiyah.

e. Pada tahun 490 sampai 495, sewaktu dia berada di Syam, palestina, Hijaz,

Thus bukunya yang terkenal Ihya Ullumuddin tentang ilmu tasawuf.

f. Pada tahun 495 H, buku tentang ilmu akhlak yaitu Bidayatul Hidayah dan

al Maqshad ul Asna.

g. Pada tahun 495H dan 498 H dalam berbagai ilmu yaitu Jawahir ul Qur’an

tentang tafsir, kitab ul Arba’ini tentang akhlak, kitab us Sa’adah dan ad

Durrah al Fakhirah tentang tasawuf.

h. Pada tahun 500 H, Ayyuhal Wakid tentang tasawuf, dan al Munqid adh

Dhalal tentang biografinya.

i. Pada tahun 503 sampai 505 di Naisabur buku al Mustasfa min Ilmil Ushul

Fiqh tentang fiqih.11

Akhirnya setelah lebih dari setengah abad dia mengorbankan

hidupnya untuk pengetahuan dan memperoleh kebenaran yang sejati, al

Ghozali meninggal dunia di Thus pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H (19

Desember 1111 M) pada usianya yang ke-55. dan jenazahnya di makamkan

berdampingan dengan makam penyair besar yang terkenal, Firdaus.12

11
Zainal Abidin, Op.Cit., Hlm. 60
12
Ibid., Hlm. 53

41
B. Pemikiran Al Ghozali tentang Hukum Seni Musik

Nyanyian dan musik sebagaimana yang disebutkan oleh sebagian

ulama termasuk kemungkaran dan bid’ah. Tidak pernah ada seorangpun yang

membawa ajaran seperti itu, juga tidak pernah ada satu nabipun yang

menyampaikan ajaran seperti itu. Nyanyian adalah perbuatan orang-orang

bodoh, bahkan perbuatan setan. Para ulama berpendapat bahwa acara yang

disertai rebana dan seruling hukumnya haram. Acara-acara di mana kaum pria

dan wanita berikhtilaf juga termasuk mungkar yang wajib ditolak. Kaum pria

dan wanita tidak diperbolehkan untuk berkumpul bercampur baur kecuali di

majelis-majelis yang khusus di mana acara hiburan yang diiringi musik

bukanlah termasuk salah satu majelis khusus tersebut. Bahwa perbuatan itu

termasuk salah satu cara taqqarub, adalah sebuah kebohongan terhadap Allah

SWT.13

Bahkan yang masyhur dari perkataan para ulama salaf itu adalah

“Hanya orang-orang fasiklah yang menggemari nyanyian”. Imam Syafi’i

berkata nyanyian dan musik termasuk hal yang diharamkan dan juga nyanyian

adalah perbuatan sia-sia yang dibenci dan menyerupai kebatilan.14

Sementara itu menurut Imam al Ghozali, mendengarkan suara yang

baik maka dalam hal ini nyanyian dan musik dari segi bahwasannya dia itu

baik maka tak sepatutnya diharamkan, bahwa suara tersebut halal berdasarkan

nash dan qiyas. Adapun qiyas yaitu kembali kepada bersenang-senangnya

13
Ibnu Qayyim al Jauziyah, Bila Nyanyian Dianggap Halal, Cendekia Sentra
Muslim:Jakarta, Cet ke-1, 2002, Hlm. 29
14
Imam Al Ghazali, Ihya Ulumuddin Juz II, Darul Ihya al Kutub al Arabiyah : hlm 267

42
indera pendengaran dan nash menunjukkan bolehnya mendengarkan suara

yang baik sebagai anugerah Allah SWT pada hambanya.15 dan sesungguhnya

maksud dari firman Allah SWT :

‫ان اﻧﻜﺮ اﻹﺻﻮت ﺗﺎﻟﺤﻤﻴﺮ‬


Artinya: ”sesungguhnya sejelek-jelek suara adalah suara keledai”. (Al-
Luqman: 19)16

Ini menunjukkan kepada pemahaman pujian bagi suara yang bagus.17

Menurut Imam al Ghozali setiap manusia merasakan apa yang ditemukannya

seperti dari mulut dapat merasakan apa yang disentuhnya, begitu pula mata,

hidung dan juga akal.

Demikian halnya suara-suara yang ditemukan melalui pendengaran

bisa dirasakan kenikmatannya, seperti mendengarkan suara gendang, gitar,

piano dan sebagainya. Dan demikian pula suara yang tidak enak didengar,

akan dapat dirasakan melalui pendengaran seperti mendengar suara keledai.

Inilah makna yang dipahami dari qiyas (analogi).18

Dalam kitab Ihya Ullumuddin diterangkan bahwa tidak ada satupun

dalil syar’i yang menerangkan pengharaman lagu dan musik secara mutlak,

baik itu nash ataupun qiyas, kalaupun ada qiyas namun dibantah dengan ayat

Al Qur’an yang mengatakan bahwa Allah SWT tidak mengharamkan hal-hal

yang baik. Kemudian Imam al Ghozali menjelaskan bahwa nyanyian atau

musik mempunyai beberapa makna yang sepantasnya kita bahas satu persatu

15
Ibid, Hlm 268
16
Departemen Agama RI, Hlm. 329
17
Imam Al Ghazali, Op.Cit., Hlm. 269
18
Ibid, Hlm. 268

43
kemudian kita kompilasikan agar jelas bahwa mendengarkan suara-suara yang

baik dan estestis itu dapat menenangkan hati.19

Apabila menyenangi musik dan lagu merupakan insting dan fitrah,

maka agama itu datang untuk menentang insting dan fitrah itu? Tentu saja

tidak, karena sesungguhnya agama itu diturunkan untuk mendidik dan

meluruskan jalan manusia kepada arah yang lurus.

Imam al Ghozali membantah anggapan orang yang berkata bahwa

lagu merupakan sesuatu yang lahwi (permainan) dan merupakan sebuah

permainan yang sia-sia. Beliau mengatakan lagu adalah permainan, tetapi

bukankah kehidupan dunia juga semuanya bersifat senda gurau dan

permainan? demikian juga bermuda’abah adalah (prolog ijma) dengan istri

termasuk senda gurau. Selain hubungan suami istri yang mengakibatkan

lahirnya anak, juga bercanda yang tidak mengandung perbuatan keji

(melampaui batas) adalah halal sesuai dengan tuntutan Rasulullah SAW.

Lahwi merupakan obat bagi hati yang sedang penat dan bosan, sudah

selayaknya lahwi dibolehkan. Namun tidaklah pantas memperbanyak lahwi,

sebagimana tidak pantasnya meminum obat terus menerus. Dengan demikian

maka lahwi dengan niat seperti itu akan lebih mendekatkan kepada

konsentrasi dalam beribadah. Sebagai bukti bahwa orang-orang yang

menggunakan pendengarannya tidak hanya karena kesenangan semata. Karena

19
Ibid., Hlm. 268

44
itu sepantasnya masalah musik dan lagu dapat mencapai maksud tadi, yaitu

meningkatkan konsentrasi beribadah.20

Memang betul juga lagu dan musik ini akan mengurangi

kesempurnaan, karena kesempurnaan tidak membutuhkan yang lain selain

yang hak. Tetapi kebaikan yang diperbuat untuk menghapus kejelekan, seperti

seorang menuntut ilmu dan menjadikan lagu sebagai pengobat hati dan

mengarahkan kelembutannya serta menyelaraskan ke dalam hak, akan tahu

manfaatnya.21

Allah SWT tidak membolehkan seorang manusiapun mengharamkan

atas dirinya sendiri atau atas orang lain, barang baik yang telah dikaruniakan

Allah SWT, betapapun baik niatnya atau tujuannya yang mencari keridhoan

Allah SWT. Sebab, urusan menghalalkan dan mengharamkan hanyalah hak

Allah SWT semata, bukan urusan hamba-hambanya. Allah SWT berfirman:

,‫وﻡﻦ اﻟﻨﺎس ﻡﻦ ﻱﺸﺘﺮى ﻟﻬﻮ اﻟﺤﺪﻱﺚ ﻟﻴﻀﻞ ﻋﻦ ﺳﺒﻴﻞ اﷲ ﺑﻐﻴﺮ ﻋﻠﻢ‬


‫وﻱﻨﺨﺬهﺎ هﺮوا اوﻟﺌﻞ ﻟﻬﻢ ﻋﺬاب ﻡﻬﻴﻦ‬
Artinya: ”Terangkanlah padaku tentang rezeki yang diturunkan Allah SWT
kepadamu, lalu kalian menjadikan senagiannya haram dan
(sebagainya) halal. Katakanlah,”apakah Allah SWT telah
memberikan izin kepada kalian (tentang ini) ataukah kalian hanya
sekedar mendustakan Allah SWT semata?”. (Qs. Yunus:59)22

Mengharamkan yang baik-baik atas apa yang dihalalkan oleh Allah

SWT diserupakan dengan menghalalkan perbuatan yang munkar yang

diharamkan. Kedua-duanya membawa pada kemurkaan dan siksaan Allah

20
Ibid, Hlm. 284
21
Imam Al Ghazali, Op.Cit, Hlm. 266
22
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Toha Putra: Semarang, 1996,
Hlm. 171.

45
SWT serta menyeret pelakunya ke dalam jurang penyesalan yang dalam

(kesesatan yang jauh).

Jika kita perhatikan dengan seksama, hampir dapat dipastikan bahwa

menyukai nyanyian dan lagu dengan suara yang bagus itu merupakan naluri

dan pembawaan manusia, sehingga bayi dalam ayunanpun kita lihat berhenti

menangis karena mendengar suara yang indah. Bahkan burung-burung dan

binatang juga terpengaruh oleh suara-suara yang indah dan irama-irama yang

sarat dengan melodi 23 Sehingga al Ghozali di dalam Ihya berkata:

“maka pendengaran bagi hati adalah batu asahan yang benar dan
ukuran yang berbicara, maka jiwa dan pendengarannya tidak sampai
melainkan sesuatu yang menguasainya (dari kebaikan atau kejelekan)
telah bergerak didalamnya dan apabila hati itu taat kepada
pendengaran sehingga membuka segala keburukannya dan
menampakkan segala kebaikannya 24

Adapun mendengarkan suara-suara yang nadanya indah dan tersusun

rapi berdasarkan pada makharajnya (tempat keluar suara) dibagi menjadi tiga

macam:

Pertama, ada yang keluar dari benda-benda padat seperti suara-suara

seruling, gitar, gendang, dan lain-lain.

Kedua, ada yang keluar dari jenis hewan, adapun asal suara-suara

adalah dari kerongkongan hewan-hewan, dibuatnya gendang atas dasar-dasar

suara-suara tersebut. Yaitu menyerupakan ciptaan dengan ciptaan (Allah

23
Yusuf Al-Qardhawy, Islam dan Seni., Pustaka Hidayah:Bandung, Cet. Ke-1, 2001,
Hlm. 71-72
24
Imam al Ghozali, op. cit., Juz 2, Hlm. 273

46
SWT), tidak suatu apapun yang diciptakan oleh seseorang kecuali ia

menirunya pada yang telah diciptakan Allah SWT.25

Ketiga, bahwa suara yang baik dan indah serta iramanya yang teratur

adalah derajat pemahaman artinya suara yang baik, ungkapan yang teratur dan

dapat dipahami yaitu syair/nyanyian yang dapat dipahami dan tidak haram,

lalu Imam al Ghozali mengemukakan hadits yang menunjukkan bahwa

Rasulullah SAW pernah mendengar sebuah syair, beliau mensuportnya,

mengakui dan memuji akan keindahan iramannya. Ini adalah suatu keterangan

yang kuat dan tidak diragukan lagi, bahkan ada keterangan yang menguatkan

lagi bahwa Rasulullah pernah mendengar nyanyian dari sebuah syair seperti:26

‫ﻃﻠﻊ اﻟﺒﺪر ﻋﻠﻴﻨﺎ ﻡﻦ ﺛﻨﻴﺎت اﻟﻮداع‬


Keempat, dalam hal ini meliputi beberapa sudut pandang, dilihat dari

sisi untaian skatanya yang merdu, yaitu lagu dan musik itu bisa menggugah

hati, sehingga akan memberikan pengaruh yang menakjubkan pada jiwa di

antaranya, ada yang menyenangkan, ada yang menyedihkan dan ada lagu atau

musik yang dapat menggerakkan anggota badan seseorang.

Imam al Ghozali berkata: ”Pada masa sekarang ini kita

mendengarkan ada sapi-sapi yang diiringi musik ketika diperah susunya, ia

menjadi jinak sehingga mudah dan banyak mengalirkan air susunya”.27

Inilah fitrah Allah SWT yang terdapat pada setiap makhluk dan

benda-benda yang hidup seperti fitrah dalam diri manusia. Ia akan terpengaruh

suara-suara yang indah dan merdu, sedangkan Islami tidak datang untuk
25
Ibid, Hlm. 269
26
Ibid, Hlm. 270
27
Ibid, Hlm. 273

47
merubah fitrah Allah SWT, tetapi Islam datang untuk menetapkannya dan

mengangkat derajatnya baik secara ma’nawi dan material.

C. Metode Istimbath Hukum Al Ghozali

Metode yang dilakukan al Ghozali untuk mengetahui dan menggapai

rahasia-rahasia hukum itu ialah dengan metode yang disebut al Dahlawi

‘Ilmun Laduniyyun yang secara harfiah berarti ilmu perolehan langsung dari

Allah SWT. Ilmu ini hanya mungkin diperoleh setelah seseorang menguasai

dengan sempurna ilmu-ilmu agama.28

Di sini penulis ingin paparkan istimbath hukum yakni pokok-pokok

pegangan imam al Ghozali dalam memberi fatwa tentang hukum seni musik,

dan al Ghozali sepakat merekontruksi persoalan fundamental dalam metafisika

bukan dari sudut pandang dogmatik spekulatif, melainkan dari perspektif

filsafat praktis. Keutamaan rasio (akal) praktis sangat nampak bagi pemikiran

al Ghozali.29

Untuk menunjuk kepada pengertian sumber-sumber hukum al

Ghozali menggunakan istilah adillah al ahkam yang terdiri dari enam macam,

yakni; al Kitab, as Sunnah, al Ijma, al Istishab, al Istihsan, al Istislah

(maslahah) dan tiga sumber terakhir disebut dalil al aql (dalil yang di gunakan

melalui proses penalaran/akal).

1. Sumber Naqliyah (sumber primer)

a. Al Qur’an

28
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, LPPM UI: Bandung, 1995, Hlm. 16
29
M. Amin Abdullah, Op.Cit., Hlm. 46

48
Dalil bahwa Al-Qur'an adalah hujjah atas umat manusia dan

hukum-hukumnya merupakan undang-undang yang wajib mereka ikuti

adalah bahwa Al-Qur'an dari sisi Allah SWT dan disampaikan kepada

mereka melalui cara yang pasti qath’i). Tidak ada keraguan mengenai

kebenarannya.30

Untuk mengetahui hakekat keimanan, akal tidak dapat berdiri

sendiri. Melainkan harus dibantu oleh ilmu syari’at yang bersumber

kepada Al-Qur'an. kedudukan Al-Qur'an bagi akal sebagai cahaya

mata. Inilah metode al Ghozali di dalam mencari ma’rifah ataupun

hakekat keimanan.31

Al Ghozali sendiri lebih tepat digolongkan kepada

pembangun agama nomor satu, yang dalam semua jalan fikirannya

terutama bersumber kepada Al-Qur'an. Dan apabila memakai sumber

lain dalam Islam maka sumber-sumber ini hanya dijadikan sebagai alat

untuk maksud menghidupkan ajaran agama.32

b. As Sunnah

Metode dalam menentukan suatu hukum berdasarkan sunnah

Rasul baik ucapan, perbuatan maupun keputusan-keputusannya.

Sunnah adalah sumber azasi kedua hukum Islam dan menempati

kedudukan setingkat lebih rendah dari Al-Qur'an.33

30
Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dina Utama:Semarang, Cet ke-1, 1994, Hlm.
20
31
Victor Said basil, Op.cit., Hlm. 15
32
Ibid., Hlm. 103
33
A. Hanafi, Op. cit., Hlm. 207

49
Al Ghozali sendiri mengambil dari as Sunnah atau al Hadits

shahih, untuk mengetahui dan menetapkan kebenaran (shahih) atau

tidaknya sesuatu hadits Nabi SAW antara lain dengan mengetahui dan

meneliti riwayat hidup rawi hadits.34

c. Ijma

Digunakan al Ghozali yang didasarkan pada sejumlah ayat

Al-Qur'an. Bahwasanya ijma atas suatu hukum syar’i haruslah di

dasarkan atas kesadaran yang syar’i. Karena sesungguhnya seorang

mujtahid Islam mempunyai batasan-batasan yang tidak boleh

dilanggarnya apabila dalam ijtihadnya tidak ada nash. Maka ijtihadnya

tidak boleh melampaui pemahaman nash dan pengetahuan yang

menunjuk atasnya.35

2. Sumber Aqliyah (sumber sekunder)

Bagi al Ghozali akal merupakan hakekat manusia yang bisa

mengenal inti kemanusiaannya sendiri dan yang mengenal dirinya.

Kemudian ia mengenal yang lain. Jika akal memahami kebenaran agama.

Ia disebut penglihatan batin (bashiroh batiniyah) atau cahaya iman (nur al

iman).36

Menurut Imam al Ghozali sebagian besar ilmu syar’i (religius)

dinilai sebagai aqli (intelektual) dalam persepsi orang yang mengetahuinya

34
Hadi Mufa’at, Dirasah Islamiyah, CV Sarana Aspirasi:Semarang, Cet. Ke-1, 1994,
Hlm. 59
35
Abdul Wahab Kallaf, Op. Cit., Hlm. 60
36
Victor Said, Op.Cit., Hlm. 28

50
(alim), sebaliknya sebagian besar ilmu aqli menjadi bagian ilmu syar’i

dalam persepsi orang yang mengetahuinya (arif).37

Dari sudut pandang epistemologi al Ghozali puas dengan

mengontraskan aqal sebagai sumber pengetahuan dengan tradisi atau

naqli. Akan tetapi aqli hanya sebagai pengetahuan yang menerima

argumen rasional, dan al Ghozali hanya menempatkan peran sekunder aqal

dan hanya dapat dikembangkan secara benar dengan jaminan Tuhan

melalui wahyu. Dan al Ghozalipun memerankan kaum rasionalis yang

mengakui adanya daya akal. Ia menyarankan agar pertimbangan akal

dilakukan ketika menghadapi suatu persoalan.38

Karena itulah manusia berbeda dari hewan karena akalnya yang

merupakan ghazirah (pembawaan dasar yang selalu siap menerima ilmu-

ilmu), akal ini syarat bagi makhluk Allah SWT untuk memperoleh ilmu

pengetahuan.

Menurut al Ghozali ilmu tidak jauh dari agama, ilmu berkaitan

erat dengan agama sebab ilmu mendorong kita mengetahui kebenaran

agama dan memahaminya. Bahkan agama tidak akan bisa diketahui

kecuali dengan memakai metode ilmu.

Pengertian ilmu pada masa al Ghozali berbeda dengan pengertian

ilmu pada masa sekarang. Pada waktu itu ilmu belum banyak cabangnya

seperti yang ada sekarang. Dan tidak juga berdiri sendiri lepas dari agama,

tetapi kemudian ilmu-ilmu memisahkan diri sedikit demi sedikit. Salah


37
M. Sahidin MAS, Epitemologi Ilmu Dari Sudut Pandang Imam Al-Ghozali, Pustaka
Setia:Bandung, Cet Ke 1, 2001, Hlm.
38
M.Amin Abdullah, Op.Cit., Hlm. 115

51
satu yang diganti namanya ialah fiqih. Fiqih diubah dari ilmu jalan ke

akherat menjadi ilmu fatwa, lalu kata ‘ilm membeku bagi mereka yang

menyibukan diri dalam masalah-masalah fiqhiyah.39

Dan akan sedikit penulis jelaskan tiga sumber Hukum yang

termasuk sumber Aqliyah yang digunakan al Ghozali:

a. Istishab

,‫اﺑﻘﺎء ﻡﺎآﺎن ﻋﻠﻰ ﻡﺎآﺎن ﻋﻠﻰ ﻡﺎآﺎن ﻋﻠﻴﻪ ﻻن ﻋﺪام اﻟﻤﻐﻴﺮ اﻋﺘﻘﺎ‬
‫آﻮن اﻟﺸﺮء ﻓﻰ اﻟﻤﺎض او اﻟﺤﺎض ﻱﻮﺟﺐ ﻇﻦ ﺗﺒﻮﻱﻪ ﻓﻰ اﻟﺤﺎل‬
40
‫اوﻻء ﺳﺘﻘﺒﺎل‬
Dalam suatu kasus yang telah ada hukumnya dan tidak

diketahui tidak ada dalil lain yang mengubah hukum tersebut, maka

hukum yang telah ada di masa lampau tetap berlaku sebagaimana

adanya.41

b. Istihsan

‫اﺳﻢ ﻟﺪﻟﻴﻞ ﻱﻌﺎرض اﻟﻘﻴﺎس اﻟﺤﻠﻲ واﻟﻴﻌﻠﻤﻞ ﺑﻪ اذا آﺎن اﻗﻮى ﻡﻨﻪ‬
Secara konsep apa yang dinamakan istihsan itu di terima oleh

imam al Ghozali tetapi penanaman konsep itu dengan istihsan tidak

diterimanya karena, pemakaian istilah tersebut cenderung mengacu

kepada membuat hukum syara’ sendiri. Dengan demikian istihsan

yang di tolak Imam al Ghozali adalah istihsan al urf.

c. Al Istislah (Maslahah)

39
Victor Said Basil, Op.Cit., Hlm. 64
40
TM Hasby Asy Shidhiqy, Pengantar Hukum Islam, Bulan bintang,: Jakarta, Cet. Ke7
1994, Hlm. 234
41
Abdul Wahab Kallaf, Op.Cit., Hlm. 127

52
‫اﻟﻤﺤﺎﻓﻈﺔ ﻋﻠﻰ ﻡﻘﺼﻮد اﻟﺸﺎرع ﺑﺪﻓﻊ اﻟﻤﻌﺎﺳﺪ‬
Adalah memelihara maksud syara’ dengan jalan menolak

segala yang merusakkan makhluk. al Ghozali menerimanya asalkan

memenuhi syarat:

1. Sejalan dengan tindakan syara’ dan tidak bertentangan dengan dalil

qathi’

2. Dapat di terima oleh akal sehat

3. Termasuk ke dalam dharuri, qath’i dan kulli.42

Di sini dalam menetapkan hukum seni musik Imam al Ghozali

menggunakan kaidah-kaidah nash dan dalil-dalil Al-Qur’an dan al

Hadits yang dijadikan sandaran dalam memutuskan masalah tersebut.43

Yakni dengan mencari nash-nash yang shahih dan jelas

ataupun qiyas yang menerangkan tentang dibolehkannya musik dan

lagu dan juga hadits Rasulullah SAW yang menetapkan hukum seni

musik dengan qat’i tentang halal dan haramnya lagu dan musik.44

Adapun dalil nash, maka ia menunjukkan atas diperbolehkan

mendengar suara bagus sebagai anugerah Allah SWT kepada

hambanya ketika Allah SWT berfirman :

‫ﻱﺰﻱﺪ ﻓﻰ اﻟﺨﻠﻖ ﻡﺎﻱﺸﺎء‬


Artinya: “Dia Allah menambah pada makhluknya apa yang dia
kehendaki”. (QS. Fathir: 1)45

42
Ibid,Hlm. 120
43
Yusuf Qardhawi, Islam dan Seni, Pustaka Hidayah: Bandung, Cet. I, 2001, Hlm. 49
44
Yusuf Qardhawi, Fiqih Musik dan Lagu, Mujahid Press: Bandung, Cet. I, 2001, Hlm.
117
45
Departemen Agama RI, Op. Cit., Hlm.346

53
Maka dikatakan bahwa itu (apa yang dikehendaki) adalah

suara yang merdu dan juga dalam surat al ‘Araf:

‫ﻗﻞ ﻡﻦ ﺡﺮم زﻱﻨﺔ اﷲ اﻟﺘﻰ اﺥﺮج ﻟﻌﺒﺎدﻩ واﻟﻄﻴﺒﺖ ﻡﻦ اﻟﺮزق‬


Artinya: “Katakanlah siapakah yang mengharamkan perhiasan dari
Allah SWT yang telah dikeluarkan untuk hamba-hambanya
dan (siapa pula yang mengharamkan) rizki yang baik”. (QS.
Al ‘Araf:32)46

Juga dalam hadits Rasulullah SAW:

‫ﷲ أﺵﺪ أذﻧﺎ ﻟﻠﺮﺟﻞ اﻟﺤﺴﻦ اﻟﺼﻮت ﺑﺎﻟﻘﺮأن ﻡﻦ ﺻﺎﺡﺐ اﻟﻘﻴﻨﺔ ﻟﻘﻴﻨﺘﻪ‬


Artinya: “Allah ta’ala lebih mendengarkan orang yang bagus
suaranya dalam membaca Al Qur’an daripada orang yang
mempunyai biduanita kepada biduanitanya.

Menurut Imam al Ghozali dalil-dalil tersebut menunjukkan

atas kekaguman atau pujian terhadap suara-suara yang indah dan

merdu.47

Dan di sini Imam al Ghozali menyatakan bahwa tidak ada

illat yang kuat tentang keharuman lagu dan musik, tapi disandarkan

pada kesenangan atau keindahan yang baik-baik saja, bahkan

diqiyaskan atas penjelasan semua yang baik-baik kecuali kalau

mengandung fasad.48

Demikian halnya suara-suara yang ditemukan melalui

pendengaran bisa dirasakan kenikmatannya, seperti mendengarkan

suara gendang, gitar dan sebagainya. Dan demikian pula suara yang

tidak enak didengar, akan dapat dirasakan melalui pendengaran seperti,

46
Ibid., Hlm. 122
47
Yusuf Qardhawy, Fiqih Musik dan Lagu, Op.Cit., Hlm. 113
48
Ibid., Hlm. 152

54
mendengar suara jeritan keledai, inilah makna yang dapat di pahami

dari qiyas (analogi).

Imam al Ghozali dalam berijtihad menjelaskan hukum seni

musik sangat mendetail, dia sangat berbeda dengan ahli fiqih lainnya,

kepiawaiannya dalam berijtihad dalam tafsir nash atau dalam

penjelasannya dalam qiyas al Ma’qul (analogi rasional) yang dapat

dipahami dari nash.49

Inilah uraian dari beberapa pegangan Imam Al Ghozali dalam

menetapkan Hukum atau memberikan fatwanya terhadap suatu

masalah.

49
Ibids, Hlm.151

55

Anda mungkin juga menyukai