Anda di halaman 1dari 10

Konsep Pendidikan Islam

Al-Ghozali

Disusun oleh :
1. Ahmad Saeful Huda
2. Lailatul Fauzah

1. Biografi Al-Ghozali
Menurut Sudarsono (1997:20) nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid
Muhammad Al-Ghazali yang lahir pada tahun 450 H (1058 M) di Ghazaleh suatu
kota kecil yang terletak di dekat Thus di Khurasan (Iran). Sebutan Al-Ghazali
diambil dari kata Ghazalah yakni nama kampung kelahiran Al-Ghazali. Sebutan
tesebut kadang-kadang di ucapkan dengan Al-Ghazzali (dua z), istilah ini berakar
kata pada Ghazal artinya tukang pemintal benang sebab pekerjaan ayah
Al-Ghazali adalah memintal benang wool dan menjualnya di pasar.
Menurut Mustofa (1999:215) pada masa kecilnya Al-Ghazali mempelajari
ilmu di negerinya sendiri pada Syeh Ahmad bin Muhammad Ar-Rasikani,
kemudian belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili di Negeri Jurjan. Setelah
mempelajari beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke Nishabur dan
belajar pada Imam Al-Haromain. Disinilah ia mulai kelihatan tanda-tanda
ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu
pengetahuan pokok ada masa itu seperti ilmu manthiq (logika), falsafah dan fiqih
mazhab syafi’i. Karena kecerdasannya itulah imam Al-Haromain mengatakan
bahwa Al-Ghazali adalah lautan tak bertepi.
Setelah Imam Al-Haromain wafat, Al-Ghazali pergi ke Al-Ashar untuk
berkunjung kepada menteri Nizam Al-Muluk dari pemerintahan dinasti Saljuk. Ia
disambut dengan penuh kehormatan sebagai seorang ulama besar, kemudian
dipertemukan dengan para alim ulama dan para ilmuan. Semuanya mengakui
akan ketinggian ilmu yang dimiliki AlGhazali. Menteri Nizam Al-Muluk
akhirnya melantik Al-Ghazali pada tahun 484 H/1091 M, sebagai guru besar
(profesor) pada perguruan tinggi Nizamiyah yang berada di kota Baghdad.
Al-Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi selama empat tahun. Ia
mendapat perhatian yang serius dari para mahasiswa, baik yang datang dari dekat
atau dari tempat yang jauh, sampai ia menjauhkan diri dari keramaian.
Pada tahun 488 H Al-Ghazali pergi ke Mekkah unuk menunaikan kewajiban
rukun Islam yang kelima. Setelah selesai mengerjakan haji, ia lalu pergi ke Syiria
(Syam) untuk mengunjungi Baitul Maqdis, kemudian melanjutkan perjalanannya
ke Damaskus dan menetap untuk beberapa lama. Disini ia beribadat di mesjid
Al-Umawi pada suatu sudut sehingga terkenal sampai sekarang dengan nama
Al-Ghazaliyah. Pada saat itulah ia sempat mengarang sebuah kitab yang sampai
kini kitab tersebut sangat terkenal yaitu Ihya Ulumuddin. Al-Ghazali tinggal di
Damaskus itu kurang lebih selama 10 tahun, dimana ia hidup dengan amat
sederhana, berpakaian seadanya, menyedikitkan makan minum, mengunjungi
mesjid-mesjid, memperbanyak ibadah atau berbuat yang dapat mendekatkan diri
kepada Allah Swt dan berkhalwat.
Menurut Yunasril Ali (1991:68) dari kesunyian khalwat di Damaskus
mulailah tampak jalan terang yakni jalan sufi. Ia tidak lagi mengandalkan akal
semata-mata, tetapi di samping kekuatan akal ada lagi nur yang dilimpahkan
Tuhan kepada para hambaNya yang bersungguh-sungguh menuntut kebenaran.
Dari damaskus ia kembali ke Baghdad dan seterusnya kembali ke kampungnya
yaitu Thus. Disini ia menghabiskan hari-harinya dalam mengajar dan beribadat
sampai ia dipanggil Tuhan kehadiratNya pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun
505 H (1111 M) dalam usia 55 tahun dengan meninggalkan beberapa anak
perempuan.
Umurnya yang pendek ini cukup besar manfaatnya bagi dunia ilmu
pengetahuan. Meskipun ia telah meninggal dunia namun hasil karyanya tetap
hidup di tengah-tengah dunia ilmiah. Keluasan ilmunya, kelancaran gaya
bahasanya dengan argumentasiargumentasi yang sukar dipatahkan membuat hasil
karyanya menjadi acuan para ilmuan. Sesuai dengan keluasan ilmunya, ia telah
menulis berbagai buku. Dalam bidang fiqih dan usulnya ia menulis Al-Wajiz,
Al-Wasith, Al-Basith dan Al-Mustashfa. Dalam ilmu kalam ia menulis
Al-Iqtishad fil- I’tiqad yaitu suatu buku ringkas tentang ilmu kalam menurut
faham Al-Asy’ari. Kitabnya dalam ilmu manthiq yaitu Mi’yarul-Ilmi. Dan
tentang filsafat ia menulis Maqashidul-Falasifah yang mengandung masalah
manthiq, pengetahuan alam dan masalahmasalah ketuhanan. Sebelum meletakkan
jabatan guru besar pada Universitas Nizamiyah ia menulis buku
Tahafutul-Falasifah yang mengandung diskusi-diskusi tentang beberapa problem
filsafat yang dianggapnya tidak relevan dengan ajaran Islam. Setelah mengisolir
diri ia menulis Ihya Ulumuddin yang amat populer di dunia Islam dan juga di
barat, buku ini mencerminkan pemikiran baru dari Al-Ghazali setelah sekian lama
mengisolir diri. Karangan-karangannya yang lain setelah mengisolir diri antara
lain: Kimya’us Sa’adah dan Misykatul-Anwar yang mengandung
pemikiran-pemikiran filsafat sufi. Dan buku Al-Munqizu minadh-dhalal
merupakan buku terakhir yang ditulisnya, didalamnya ia menjelaskan perjalanan
hidupnya dalam mencari kebenaran. Dan dalam hal ini tidak sedikit sekte-sekte
lain yang ditentangnya, karena dianggapnya telah menyimpang dari ajaran Islam
yang murni.
Demikianlah perjalanan hidup Al-Ghazali yang penuh dengan keunikan.
Hasil karyanya merupakan cermin nyata dari jalan pemikirannya. Pemikiran dan
hasil karyanya yang cemerlang dalam mempertahankan aqidah sunni dari
pemikiran filsafat yang bersendikan akal semata-mata dan pengaruh kebatinan
yang telah keluar dari garis agama, atas sumbangan itu ia diberikan gelar Hujjatul
Islam (Argumen Islam).
2. Karya-karya Al-Ghozali
Di dalam Mukkaddimah kitab Ihya ‘Ulum ad-Din, Dr. Baedhowi Tabhana yang
dikutip oleh Zainuddin, dkk (1991:19-21), menulis hasil karya-karya al-Ghazali yang
disusun menurut kelompok ilmu pengetahuan sebagai berikut:
1. Kelompok Filsafat dan Ilmu Kalam, yang meliputi:
a. Maqasid al-Falasifah (Tujuan para filosof)
b. Tahaful al-Falasifah (Kerancuan para filosof)
c. Al-Iqtishad fi al-I’tiqad (Moderasi dalam aqidah)
d. Al-Maqashidul Asna fi Ma’ani Asmillah al-Husna (Arti nama-nama Allah yang
husna)
e. Faishatul Tafriqoh bainal Islam wa az-Zindiqi (Perbedaan antara Islam dan Zindiq)
f. Al-Qishahul al-Muataqim (Jalan untuk mengatasi perselisihan pendapat)
g. Al-Mustadiri (Penjelasan-penjelasan)
h. Hujjatul Haq (Argumen yang benar)
i. Mufsirul Khilaf Ushuluddin (Memisahkan perselisihan dalam Ushuluddin)
j. Al-Muntahal fil ‘Ilmi Jidal (Tata cata berdebat)
k. Al-Madnun bin ala Ghairi Ahlihi (Persangkaan pada bukan ahlinya)
l. Makhkum Nadhar (Metodologi)
m. Asrar ‘Ilmi ad-Din (Rahasia ilmu agama)
n. Al-Arbain fil Ushuluddin (40 masalah Ushuluddin)
o. Mi’yarul ‘Ilmi (Timbangan ilmu)
p. Al-Intishar ‘Ilmi (Rahasia-rahasia ilmu)
q. Isbatun Nadhar (Pemantapan logika)
2. Kelompok Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, yang meliputi:
a. Al-Bastih (Pembebasan yang mendalam)
b. Al-Wasith (Perantara)
c. Al-Wajiz (Surat-surat wasiat)
d. Khulashatul Mukhtashar (Intisar ringkasan karangan)
e. Al-Musthaf (Pilihan)
f. Al-Manqhul Adat (Adat kebisaaan)
g. Syifakhul alil fi Qiyas wa Ta’lim (Penyembuhan yang baik dalam qiyas dan ta’lil)
h. Adz-Dzariah ila Makarimis Syariah (Jalan kepada kemuliaan syariah)
3. Kelompok Ilmu Tasawuf, yang meliputi:
a. Ihya ‘Ulum ad-Din (Menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama)
b. Mizanul Amal (Timbangan amal)
c. Kimiyaus Sa’adah (Kimia kabahagiaan)
d. Misykatul Anwar (Relung-relung cahaya)
e. Minhajul Abidin (Pedoman beribadah)
f. Al-’Ain is fi Wahdah (Lembut-lembut dalam kesatuan)
g. Al-Qurbah Ilallahi ‘Azza Wazzala (Mendekatkan diri kepada Allah)
h. Akhlak al-Abrar wan Najat minal Asrar (Akhlak yang luhur menyelamatkan dari
keburukan)
i. Bidayatul Hidayat (Permulaan mencapai petunjuk)
j. Al-Mabadi wal Ghayah (Permulaan dan tujuan)
k. Talbis al-Iblis (Tipu daya Iblis)
l. Nasihat al-Mulk (Nasihat untuk raja-raja)
m. Al-’Ulum al-Laduniyah (ilmu-ilmu laduni)
n. Al-Risalah al-Qudsiyah (Risalah suci)
o. Al-Ma’khad (Tempat pengambilan)
p. Al-Amali (Kemuliaan)
4. Kelompok Ilmu Tafsir, yang meliputi:
a. Yaaquutut Ta’wil fi Tafsirit Tanzil (Metodologi ta’wil di dalam tafsir yang
diturunkan)
b. Jawahir al-Quran (Rahasia yang terkandung dalam al-Quran)
3. Corak pemikiran Al-Ghozali
a) Al-Ghozali sebagai teolog (Ahli ilmu kalam)
Al-Ghazali sebagai seorang Teolog atau ahli ilmu Kalam dapat disimak
dalam ungkapannya sebagai berikut:
“Aku mulai dengan Ilmu Kalam, kupelajari sedalam-dalamnya, aku telaah
kitab-kitab yang ditulis oleh tokoh-tokoh lama Ilmu Kalam dengan mendalami.
Kemudian akupun menulis beberapa kitab tentang buku ini. Aku berpendapat
bahwa Ilmu Kalam adalah suatu ilmu yang telah sampai kepada tujuannya”
Tujuan pengkajian di sini adalah memelihara aqidah umat dari pengaruh
bid’ah yang saat itu telah merajalela. Contohnya aliran Mu’tazilah dengan
tokohnya Wasil bin Atha’ Abul Hudjail, yang berpandangan dan menganggap
bahwa manusia dengan aqal’ dan pemikaranya semata dapat mengetahui adanya
Tuhan. Dia berusaha mengembalikan aqidah umat Islam kepada aqidah yang
dianut dan diajarkan oleh Nabi Saw. Usaha inilah yang disebut sebagai usah
pembaharuan dalam Islam.
b) Al-Ghozali sebagai filosof
Perlu diketahui bahwa kurun waktu itu telah bermunculan para filosof yang
mendapat inspirasi dari filsafat Yunani, khususnya di bawah pengarus
Aristoteliansime. Doktrin-doktrin yang dianut oleh mereka banyak yang
bertentangan dengan jiwa Islam. Ketidaksadaran mereka yang telah larut dan
metode mereka yang telah tumbang dari dasarnya sehingga tidak sesuai lagi
dengan kaidah berpikir Islam, menjadi motivasi pertama bagi al-Ghazali untuk
berusaha meluruskan dan mengembalikannya kepada kaidah-kaidah yang benar
yang sesuai dengan Islam, yang kebenarannya bersifat mutlak.
c) Al-Ghozali sebagai ahli aliran kebathinan
Mula-mula al-Ghazali meneliti literatur-literatur yang dijadikan dasar kaum
kebathinan, kemudian makalah-makalah yang dikaji secara mendalam yang hasil
penelitiannya dijadikan bahan untuk menyanggah keyakinan yang salah, sebagai
usaha untuk mengembalikan keyakinan umat kepada ajaran yang hak dalam
rangka memperoleh ilmu yang hak juga.
d) Al-Ghozali sebagai seorang sufi
Mula-mula al-Ghazali meneliti literatur-literatur yang dijadikan dasar kaum
kebathinan, kemudian makalah-makalah yang dikaji secara mendalam yang hasil
penelitiannya dijadikan bahan untuk menyanggah keyakinan yang salah, sebagai
usaha untuk mengembalikan keyakinan umat kepada ajaran yang hak dalam
rangka memperoleh ilmu yang hak juga.
4. Pemikiran Al-Ghozali tentang pendidikan
Di antara pemikirannya tentang pendidikan Islam dapat dilihat dari tiga buku
karangannya, yaitu Fatihat al-Kitab, Ayyuha al-Walad dan Ihya ‘Ulum ad-Din.
Dari karangankarangan itu terlihat jelas bahwa al-Ghazali merupakan sosok
ulama yang menaruh perhatian terhadap proses internalisasi ilmu pengetahuan
dan pelaksanan pendidikan. Menurut alGhazali, proses internalisasi ilmu
pengehuan dan pendidikan merupakan sarana utama untuk menyiarkan ajaran
Islam, memelihara jiwa, dan taqarub ila al-Allah. Oleh karena itu, pendidikan
merupakan ibadah dan upaya peningkatan kualitas diri. Pendidikan yang baik
merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan
kebahagiaan dunia-akhirat.
a) Tujuan Pendidikan
Dalam pendidikan Islam bahwa tujuan pendidikan dipandang sebagai sesuatu
yang signifikan, sebab itu berurusan dengan kebutuhan hidup dan kehidupan
manusia. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh al-Ghazali. Beliau telah
menggariskan tujuan pendidikan berdasarkan pandangannya tentang hidup dan
nilai-nilai hidup atau sesuai dengan falsafah hidupnya. Karena pendidikan Islam
merupakan proses peralihan nilai (transfer of value) dan pengetahuan (transfer of
knowladge) oleh manusia yang diselaraskan dengan fungsi dan kebutuhan
manusia.
Secara garis besar tujuan pendidikan menurut al-Ghazali dapat dibagi kepada
dua, yaitu:
a. Tujuan Pendidikan Jangka Pendek Tujuan pendidikan jangka pendek yang
dimaksud adalah mempersiapkan peserta didik agar kelak di masa depannya
mereka mampu melaksanakan tugas-tugas mulia di dunia dan dengan itu mereka
mampu mengeyam kebahagiaan dalam kehidupannya di dunia
b. Tujuan Pendidikan Jangka Panjang Tujuan dalam pendidikan Islam
adalah idealitas (cita-cita) yang mengandung nilai-nilai Islami yang hendak
dicapai dalam proses kependidikan yang berdasarkan ajaran Islam secara
bertahap (H.M. Arifin, 2000:224). Maka tujuan jangka panjang pendidikan Islam
sebagai idealitas yang harus diwujudkan, menurut al-Ghazali adalah membentuk
setiap individu peserta didik untuk menjadi insan kamil dan berakhlak mulia agar
setiap individu tersebut mampu mengenal kapasitas dirinya sebagai makhluk,
sehingga ia dapat mendekatkan diri kepada Allah.
b) Pendidik (Guru)
Pendidikan adalah proses interaksi yang menuntut adanya komunikasi aktif
(subjeksubjek) antara guru dan muridnya. Mengenai hal guru ini, al-Ghazali
mempergunakan istilah pendidikan dengan berbagai kata seperti: al-Mu›alimin
(guru), al-Mudarris (pengajar) dan al-Walid (orang tua) (Zainuddin, 1991: 50).
Maka yang dimaksud disini adalah orang yang memiliki tugas dan tanggung
jawab untuk mengarahkan dan membimbing seseorang (individu).
Al-Ghazali menjelaskan tugas dan tanggung jawab guru profesional, adalah
sebagai berikut:
a. Guru ialah orang tua di hadapan murid
b. Guru sebagai pewaris ilmu Nabi
c. Guru sebagai petunjuk jalan dan pembimbing keagamaan murid
d. Guru sebagai figur bagi murid
e. Guru sebagai motivator bagi murid
f. Guru sebagai orang yang memahami tingkat perkembangan intelektual
murid
g. Guru harus memahami bakat dan kejiawaan muridnya sesuai dengan
tingkat perbedaan usianya
c) Peserta didik (Murid)
Al-Ghazali terhadap peserta didik (murid) mempergunakan istilah, seperti
alShoby (kanak-kanak), al-Mu›alimin (pelajar), dan Thalabul al-›Ilmu (penuntut
ilmu pengetahuan) (Zainuddin, 1991: 64). Dengan demikian, yang dimaksud
dengan peserta didik (murid) adalah manusia yang sedang mengalami
pertumbuhan dan perkembangan jasmani maupun rohani.
Sebagaimana halnya konsep guru al-Ghazali berpendapat bahwa dalam
rangka mencapai tujuan yang dicanangkan dalam proses belajar mengajar murid
pun harus memenuhi tugas dan tanggung jawabnya, antara lain sebagai berikut:
1. Mendahulukan kesucian jiwa.
2. Bersedia merantau untuk mencari ilmu pengetahuan.
3. Jangan menyombongkan ilmunya dan menentang guru.
4. Mengetahui kududukan ilmu pengetahuan.
d) Kurikulum
Kurikulum yang disusun oleh al-Ghazali sesuai dengan pendapatnya
mengenai tujuan pendidikan, yakni: mendekatkan diri kepada Allah, dari segi
kekhususannya al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi ilmu syar›iyah
dan ilmu ghair syar›iyah.
Lebih lanjut beliau menjelaskan sebagai berikut: Ilmu syari›iyah dibagi
menjadi empat macam:
a. Ilmu Ushul (ilmu pokok) diantarannya kitabullah, sunnah rasul, ijma› dan
atsar sahabat.
b. Ilmu Furu› (ilmu cabang) diantaranya ilmu fiqh, ilmu hal ihwal hati, dan
akhlak.
c. Ilmu Muqaddimah (ilmu pengantar) yaitu ilmu yang dibutuhkan untuk
mempelajari ilmu-ilmu ushul, seperti ilmu lughah (bahasa) dan ilmu nahwu
(gramatikal).
d. Ilmu-ilmu Pelengkap, seperti yang berkaitan dengan al-Quran, misalnya
ilmu makharijul huruf wa alfazh dan qira›at al-Quran.
Ilmu ghair syari›yah dibagi menjadi:
a. Ilmu-ilmu terpuji (mahmudah),
yaitu ilmu yang dibutuhkan dalam hidup dan kehidupan serta pergaulan umat
manusia yang meliputi: pertanian, peternakan, pembangunan, tata pemerintahan,
pertukangan besi, dan lain sebagainya.
b. Ilmu yang diperbolehkan (mubahat),
yaitu ilmu kebudayaan seperti: sejarah, puisipuisi yang tidak mengandung
unsur yang berarti dan tidak merugikan.
c. Ilmu-ilmu tercela (mazmumah),
yaitu ilmu pengetahuan yang merugikan pemilik ataupun orang lain, seperti:
ilmu hitam/sihir (Sulaiman, 1991:3134-).
e) Metode
Busyairi Madjidi (1997: 96) mengatakan bahwa al-Ghazali sebagai seorang
ulama besar yang banyak pengalaman dalam pendidikan dan pengajaran telah
meletakan pula petunjuk-petunjuk bagi pelajar untuk mencapai keberhasilan
dalam menuntut ilmu. Berkaitan dengan itu, ada beberapa metode yang
dikemukakan oleh al-Ghazali, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Metode keteladanan.
Dengan alasan bahwa pada prinsipnya pendidikan adalah sebagai kerja
yang memerlukan hubungan yang erat antara dua individu, yaitu guru dan
murid. Dengan demikian faktor keteladanan yang utama menjadi bagian dari
metode yang amat penting (Abuddin Nata, 2003: 95).
2. Metode hafalan,
seperti yang diungkapkan Sulaiman (1993: 66) “Pendidikan agama itu
dimulai dengan menghafal, serta memahami kemudian mengakui dan
membenarkan”.
3. Metode pendidikan fitrah dan membenahi insting,
yaitu mengarahkan, membimbing dengan serius dan sungguh-sungguh
kecenderungan fitrah manusia dan merubah sifat-sifat dasar manusia melalui
latihan dan pengajaran menurut fitrah dan insting yang baik (Sulaiman, 1993:
66-67).
4. Metode ganjaran dan hukuman.
Al-Ghazali berpendapat bahwa jika anak melakukan perbuatan yang baik
dan berakhlak terpuji, hendaknya ia dimuliakan dan dipuji. Jika mungkin, ia
diberi hadiah yang baik, dipuji di hadapan orang-orang penting dan
berkedudukan, sebagai motivasi baginya. Akan tetapi sekira ia melakukan
sesuatu perbuatan tercela, maka dalam pengungkapan perbuatan tersebut
tidak boleh secara terang-terangan.
5. Sebagaimana apa yang diungkapkan oleh beliau, bahwa: “Meremehkan
celaan itu, akan mudah melakukan kejelekan dan membuang pengaruh perkataan
dari hatinya. Oleh karena itu ayah harus menjaga wibawanya ketika berbicara dan
jangan sering-sering mencela. Demikian ibu, hendaknya menakut-nakuti anaknya
kepada ayahnya sewaktu-waktu boleh mencelana” (Sulaiman, 1969: 80).

5. Kesimpulan
Al- Ghazali adalah tokoh yang berpengaruh dalam dunia intelektual muslim.
Al- Ghazali telah memberikan berbagai konsep bagi pendidikan. Al-Ghazali
dalam perkembangan hidupnya telah mengalami dinamika pemikiran yang
beragam. Pengetahuannya mencakup ilmu fiqh, kalam, filsafat dan tasawuf.
Pemikiran pendidikan al- Ghazali melingkupi pemikiran tentang tujuan, metode,
kurikulum, pendidik. Menurut al- Ghazali tujuan pendidikan adalah mencapai
ridla Allah SWT. Pendidik tidak boleh menerima upah jika mengajarkan al-
Qur’an.

Anda mungkin juga menyukai