Anda di halaman 1dari 13

Metode Hermeneutika Imam Al-Ghazzali

Oleh:

Muhammad Ginanjar Firdaus (53020180065)

Ayu Diah Noor Fitriana (53020180082)

Violta Bulan Phagita (53020180083)

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga

Abstrak

Artikel ini menguraikan gagasan Abu Hamid al-Ghazali tentang konsep hermeneutika al-
Qur’an. Al-Ghazali membagi dasar corak tafsir menjadi lima aliran, yakni: Aliran obyektivis
murni, aliran subyektivis murni, aliran semi subyektivis, aliran semi obyektivis, dan aliran
moderat. Al-Ghazali memposisikan dirinya sebagai bagian dari golongan mederat, sebab akal
dan syara’ saling memperkuat dan membenarkan satu sama lain. Hermeneutika al-Qur'an yang
disusun al-Ghazali merupakan salah satu upayanya dalam memproyeksikan peran dan nilai
al-Qur’an ditengah-tengah masyarakat dalam rangka menempatkan al-Qur’an sebagai sumber
pengetahuan dan kebenaran tertinggi. Oleh sebab itu, upayanya melibatkan berbagai disiplin
yang dimilikinya, baik sebagai filsuf, teolog, faqih maupun sufi. Karena al-Qur’an memiliki
dimensi penafsiran yang sangat luas, maka al-Ghazali berupaya meramu berbagai metode
yang berkembang ke dalam metodologi penafsirannya. Penafsiran itu dapat dilakukan dari
dimensi eksoterik (makan lahir) melalui pendekatan bi al-riwayah (ma’tsur) dan bi al-ra’y
(ijtihad rasional) maupun dari dimensi esoterik (makna batin) melalui pendekatan irfani,
yaitu dengan menggunakan pendekatan psiko-gnosis melalui intuisi (kasyf).

Kata Kunci: Abu Hamid al-Ghazali, Hermeneutika, Al-Qur’an

A. Pendahuluan

Pengembangan dan penerapan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an masih


menjadi perdebatan di kalangan ulama dan para sarjana Islam hingga saat ini. Ada sebagian

1
kelompok yang menolak dengan tegas adanya hermeneutika, namun ada juga yang
menerimanya dengan keseluruhan. Sedangkan sebagian yang lain lagi berusaha menengahi
antara kelompok pro dan kontra tersebut dengan mengatakan bahwa sebagian teori
hermeneutika dipandang dapat diterima dalam kajian Islam.

Dibandingkan dengan metodologi hermeneutika, ulum al-Qur'an dan ilmu ushul al-
Fiqh, sebagai metodologi andalan para sarjana muslim, sesungguhnya dari menyuguhkan
banyak metode pembelajaran al-Qur'an yang "serupa" dengan metode yang berasal dari
barat tersebut. Jika metode hermeneutika kesadaran pada teks, konteks dan
kontekstualisasi, maka semua itu juga telah menjadi bagian dari kesadaran para mufassir
klasik.

Meski secara terminologis metode hermeneutika al-Qur'an tergolong baru dalam tafsir
khazanah, namun sampai saat ini ilmu yang dalam perkembangannya menjadi bagian dari
kajian filsafat ini telah mengalami perkembangan signifikan para hermeneut muslim
kontemporer. Oleh karena itu, dalam artikel ini kami akan membahas tentang metode
hermeneutika Abu Hamid al-Ghazali.

B. Biografi Imam Al-Ghazali

Imam al-Ghazali bernama asli Zainuddin Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad Ibn
Muhammad al-Ghazali al-Tusi al-Syafi'i. Al-Ghazali lahir pada tahun 450 H/1058M di Tusi
Provinsi Khurasan, Persia, Iran. Gelar al-Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan ayahnya yang
bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar
Thus, Khurasan, Persia (Iran). Sedangkan gelar asy-Syafi’i menunjukkan bahwa dia
bermazhab Syafi’i.

Kesederhanaan telah melekat dalam kepribadian Al-Ghazali sejak kecil. Meski orang
tuanya yang berprofesi sebagai pengrajin kulit domba bukanlah seorang yang kaya, tetapi
sangat mencintai ilmu pengetahuan dan mengedepankan akhlak mulia. Hingga menjadikan
tidak menyukai sifat riya, sombong, takabur, dan sifat-sifat tercela lainnya. Menjelang
wafatnya, sang ayah berpesan kepada temannya agar membekali Imam Al-Ghazali dan
adiknya dengan ilmu pengetahuan seraya menitipkan uang untuk biaya menuntut ilmu bagi

2
kedua anaknya tersebut. Al-Ghazali muda menghabiskan masa-masa pendidikannya di
bawah bimbingan teolog besar, Al-Juwaini.1

Bakat intelektualnya yang mencolok terlihat oleh Nizam Al-Mulk yang diberi
kepercayaan penuh oleh Sultan Seljuk sebagai penguasa kekhalifahan Abbasiyah di
Bagdad. Al-Ghazali memang orang yang cerdas dan sanggup mendebat segala sesuatu yang
tidak sesuai dengan penalaran yang jernih hingga Imam Al-Juwaini sempat memberi
predikat beliau “laut dalam nan menenggelamkan (Bahrun Muughriq).”

Ketika gurunya ini meninggal dunia, Al-Ghazali meninggalkan Nisabur menuju ke


Istana Nidzam Al-Mulk yang menjadi seorang perdana menteri Sultan Bani Saljuk.
Keikutsertaan Al-Ghazali dalam suatu diskusi bersama sekelompok ulama dan para
intlektual dihadapan Nidzam Al-Mulk membawa kemenangan baginya. Hal ini tidak lain
berkat ketinggian ilmu filsafatnya, kekayaan ilmu penegetahuannya, kefasihan lidahnya
dan kejituan argumentasinya. Nidzam al-Mulk benar-benar kagum melihat kehebatan
beliau ini dan berjanji akan mengangkatnya sebagai guru besar di Universitas yang
didirikannya di Baghdad. Peristiwa ini terjadi pada tahun 484/1091 M.

Al-Ghazali mempunyai daya ingat yang kuat dan bijak berhujjah. Ia diberi gelar
Hujjatul Islam karena kemampuannya tersebut. Ia sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu
Saljuk dan Abbasiyah yang merupakan pusat kebesaran Islam. Ia berjaya menguasai
pelbagai bidang ilmu pengetahuan. Al-Ghazali sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ia juga
sanggup meninggalkan segala kemewahan hidup untuk bermusafir dan mengembara serta
meninggalkan kesenangan hidup demi mencari ilmu pengetahuan. Sebelum dia memulai
pengembaraan, dia telah mempelajari karya ahli sufi ternama seperti al-Junaid Sabili dan
Bayazid Busthami.

Al-Ghazali telah mengembara selama 10 tahun. Ia telah mengunjungi tempat-tempat


suci di daerah Islam yang luas seperti Mekkah, Madinah, Jerusalem, dan Mesir. Ia terkenal
sebagai ahlifilsafat Islam yang telah mengharumkan nama ulama di Eropa melalui hasil
karyanya yang sangat bermutu tinggi. Sejak kecil lagi dia telah dididik dengan akhlak yang
mulia. Hal ini menyebabkan dia benci kepada sifat riya, megah, sombong, takabur, dan
sifat-sifat tercela yang lain. Ia sangat kuat beribadat, wara’, zuhud, dan tidak gemar kepada
kemewahan.

1
Umma Farida, Menelisik Gagasan Tafsir Abu Hamid Al Ghazali Dalam Kitab Jawahir Al-Qur’an, Jurnal
Hermeneutik, Vol. 9, No.2 (Kudus: STAIN Kudus, 2015), hlm. 245.

3
Al-Ghazali cukup banyak menulis buku-buku dalam bidang logika, yaitu Maqâshid al-
Falâsifah, Mi’yar al-‘Ilm, Mihak al-Nazâr fî al-Mantiq, al-Qistas al-Mustaqîm, dan
alMustasyfâ fî al-‘Ilm Ushûl. Di antara semua buku-buku tersebut di atas yang paling
sistematis pembahasannya adalah yang berjudul Maqâshid al-Falâsifah. Buku-buku yang
penulis sebutkan di atas adalah buku yang ditulis dalam bidang logika. Sementara itu, buku-
buku karya Al- Ghazali yang lain sebenarnya sangatlah banyak. Terdiri dari berbagai
bidang kajian ilmu, mulai dari bidang hukum, teologi, filsafat, dan terutama ilmu tasawwuf.
Buku karangan Al-Ghazali yang paling monumental adalah Ihyâ’ Ulûmuddîn
(menghidupkan ilmu-ilmu agama), sebuah buku tebal yang terdiri dari beberapa jilid besar
yang berisi tentang akhlak dan tasawwuf yang merupakan hasil refleksi sepanjang
hidupnya. Buku tersebut dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-
pindah antara Syam, Yerussalem, Hijaz dan Tus. 2

Berikut ini adalah karya-karya al-Ghazali sesuai urutan periode dan masanya:

1. Periode Pertama (465-478 H), sebelum wafatnya Imam al-Haramain


a. Al-Ta’liqah fi Furu’ al-Madhhab
b. Al-Manhul fi Usul al-Fiqh
2. Periode Kedua (478-488 H)
a. Al-Basi
b. Al-Wasit
c. Al-Wajiz
d. Ma’akhidh al-Khilaf
e. Lubab al-Nadar
f. Al-Mabadi’ wa al-Ghayat
g. Shifa al-Ghalil
h. Tahafut al-Falasifah
i. Mi’yar al-‘Ilm (ditulis sebelum pergi ke Damaskus)
j. Mahk al-Nadar fi al-Mantiq (menurut al-Dhahabi, ditulis ketika sudah di
Damaskus)
k. Mizan al-‘Amal (menurut Sulaiman Dunyakitab ini ditulis di akhir hayat al-
Ghazali)
l. Al-Iqtisad fi al-‘I’tiqad

2
Muhammad Nur, Islam dan Logika Menurut Pemikiran Abu Hamid al-Ghazali, Jurnal Al-Ulum, Vol. 11, No.
1, (Lampung: IAIN Raden Intan, 2011), hlm. 47–78.

4
m. Al-Risalah al-Qudsiyyah fi al-‘Aqa’id
n. Al-Ma’arif al-‘Aqliyyah wa al-Asrar al-Ilahiyyah
3. Periode Ketiga (periode uzlah 488-499 H)
a. Ihya’ ‘Ulum al-Din
b. Mafsal al-Khilaf
c. Mishkat al-Anwar
d. Al-Maqsad al-Asna fi Sharh Asma’ Allah al-Husna
e. Bidayah al-Hidayah
f. Jawahir Al-Qur’an
g. Al-Arba’in fi Usul al-Din
h. Al-Qistas al-Mustaqim
i. Kaimiya’ al-Sa’adah
j. Ayyuha al-Walad
k. Nasihat al-Muluk
l. Al-Risalah al-Laduniyyah
m. Mishkat al-Anwar
n. Tafsir Yaqut al-Ta’wil
o. Al-Kashf wa al-Tabyin fi Ghurur al-Khalq Ajma’in
p. Talbis Iblis (terjadi perbedan pendapat apakah benar kitab ini karya al- Ghazali)
4. Periode Keempat (499-503 H)
a. Al-Munqidh min al-Dalal
b. Fi ‘Aja’ib al-Khawas
c. Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul
d. Sirr al-‘Alamin wa Kashf Ma fi al-Darain
e. Al-Imla’ ‘ala al-Ihya’
5. Periode ke lima (masa akhir hayat al-Ghazali)
a. Al-Durrat al-Fakhirah fi Kashf ‘Ulum al-Akhirah
b. Iljam al-‘Awam ‘an ‘Ilm al-Kalam
c. Minhaj al-‘Abidin.

Dalam buku-buku sejarah yang mengkisahkan al-Ghazali, tercatat bahwa al-Ghazali


menikah cukup dini ketika belum menginjak umur dua puluh tahun. Dianugerahi tiga anak
perempuan yang salah satunya bernama Sitt al-Muna dan satu anak lelaki yang bernama
‘Ubaidillah. Adapun saudaranya, yakni Ahmad, meninggal setelah lima belas tahun

5
wafatnya al-Ghazali pada tahun 520 H dan dimakamkan di kota Qazwin. Adapun tentang
ibu al-Ghazali, tidak ada buku-buku sejarah yang mencatatnya secara jelas. Akan tetapi,
diketahui bahwa ibu al-Ghazali masih hidup setelah kematian suaminya dan merasakan
kebahagiaan yang sempurna sebagai ibu, karena melihat kedua anaknya tumbuh menjadi
anak yang mempunyai derajat tinggi dengan kapasitas keilmuan yang mumpuni.

Setelah melakukan perjalanan ilmiahnya ke berbagai negeri, al-Ghazali akhirnya


menetap di kota kelahirannya, Tus. Kehidupan di akhir hayat al-Ghazali dihabiskan untuk
beribadah dan aktifitas ilmiah. Al-Ghazali wafat di waktu subuh hari Senin bulan Jumadil
Akhir tahun 505 H dan di makamkan di daerah Tabiran. Ibn al-Jauzi menceritakan
kematian al-Ghazali seperti yang telah diungkapkan oleh saudaranya, Ahmad, bahwa al-
Ghazali meninggal di waktu Subuh setelah mengambil wudhu dan melakukan shalat,
kemudian al-Ghazali mengambil kain kafan dan menciuminya lalu diletakkan di kedua
matanya. Dalam posisi menghadap kiblat itu kemudian al-Ghazali wafat.3

C. Aliran Hermeneutika Imam Al-Ghazali

Imam Abu Hamid al-Ghazali merupakan sosok pemikir progresif dan produktif. Karya-
karyanya ditulis sebagai proses ghumun (gejolak) dan reaksi kritis terhadap tradisi
pemikiran ulama yang hidup pada masanya serta periode sebelumnya. Corak pemahaman
yang terlalu tekstualis-mekanik-eksoteris (zahiriyah) serta model paham yang melulu pada
aspek esoterik-sufistik (batiniyah) banyak mewarnai para ulama saat itu. Selain itu, corak
pemahaman melalui nalar murni (bi al-ra’yi) dan pola tafsir bi al-ma’tsur yang juga
berkembang saat itu juga tidak lepas dari sasaran kritik al-Ghazali. Karena itu, al-Ghazali
membagi dasar corak tafsir menjadi lima aliran sebagai berikut:4

1. Aliran obyektivis murni

Aliran ini adalah aliran yang tidak percaya bahwa kebenaran hanya dapat diketahui dari
pesan lahiriah teks. Manqul (wahyu dan sunnah) diyakini sebagai satu-satunya penyampai
pesan kebenaran. Bagi mereka, apa yang telah dijelaskan dalam teks al-Qur’an harus
diterima sebagai kebenaran mutlak dan tidak boleh keluar dari pesan yang tercantum secara
tekstual.

3
Sudarmadi Putra, Hermeneutika Abu Hamid Al Ghazali dalam Memahami Makna Gerhana, Ta’allam al-
Lughoh: Jurnal Pendidikan dan Kajian Bahasa Arab, Vol. 1, No. 1, (Surakarta: Sekolah Tinggi Islam Al-
Mukmin (STIM), 2019), hlm. 17-19.
4
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), hlm. 10-13.

6
2. Aliran subyektivis murni

Aliran ini merupakan kebalikan dari aliran obyektivis murni, dimana akal dijadikan
sebagai pegangan satu-satunya untuk menilai sebuah kebenaran tanpa membutuhkan
keterlibatan naql (keterangan al-Qur’an dan hadis Nabi) sama sekali.

3. Aliran semi subyektivis

Aliran ini menjadikan akal sebagai pegangan dasar, sementara perhatian terhadap naql
(al-Qur’an dan hadis Nabi) sangat lemah. Bagi al-Ghazali, pandangan ini sangat berbahaya
karena akan menjatuhkan sikap terhadap hadis-hadis shahih.

4. Aliran semi obyektif

Aliran ini adalah golongan yang memposisikan teks suci (al-Qur’an dan hadis) sebagai
dasar utama, sementara mereka lemah dalam penggunaan rasio.

5. Aliran moderat

Aliran ini merupakan golongan yang mengomparasikan antara akal budi dan naql.
Kelompok ini memposisikan akal dan teks agama pada posisi yang sejajar. Keduanya
dijadikan sebagai dasar utama dimana satu dengan yang lain saling mendukung.

Al-Ghazali memposisikan diri sebagai bagian dari golongan ini. Menurutnya, cara
inilah yang benar dan harus menjadi pilihan, sebab melalui akal budi manusia, apa yang
benar dan apapun yang salah dapat teridentifikasi. Begitupun sebaliknya, akal tidak bisa
dinafikan dengan syara’ karena keterangan-keterangan syara’ hanya bisa difahami dengan
akal.

Menurut al-Ghazali, secara teoritis dan wahyu tidak mungkin bertentangan secara
hakiki karena keduanya sama-sama nur (cahaya) Allah, karena itu salah satunya tidak bisa
menafikan terhadap yang lain. Bahkan, keduanya saling memperkuat dan membenarkan
satu sama lain.

D. Metode Penelitian Al Qur’an Imam Al-Ghazali

Metode hermeneutik al-Ghazali dan aplikasinya tentang penelitian aliran al- Ghazali di
dalam disiplin ilmu akidah, fiqih dan tashawwuf dipandang dari penafsirannya bisa
disimpulkan sebagai berikut:

7
Dalam hermeneutik, al-Ghazali menggunakan metode-metode penafsiran yang sudah
dirumuskan dan disepakati oleh ulama ahli tafsir. Setelah meneliti dengan komprehensif
tafsirnya di dalam kitab Tafsir al-Imam al-Ghazali, al-Ghazali menggunakan metode tafsir
bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi. Metode tafsir bi al-ma’tsur mencakup metode penafsiran
yang paling baik, yaitu metode tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an. Tidak hanya menafsiri ayat
al-Qur’an dengan metode tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an, dalam menafsiri ayat al-Qur’an
secara komprehensif, al-Ghazali juga tidak lupa memberikan petunjuk adanya ayat-ayat
lain yang sama dalam susunan kalimat dan maknanya. Al-Ghazali juga menggunakan
metode tafsir al-Qur’an bi al-Hadis.

Metode al-Takhaliyah dan al-Tahaliyah yang dibangun oleh al-Ghazali terlihat ketika
ُ ‫ ) اِيَّاك ن ْعبُدُ واِيَّاك نسْت ِع ْي‬Maksud dari dasar pertama adalah membersihkan
menafsiri ayat: ( ‫ن‬
jiwa dengan bermujahadah dari sifat-sifat tercela. Setelah bersih, jiwa akan mempunyai
potensi besar untuk melakukan sifat-sifat yang luhur. Hal ini arti dari dasar yang kedua.
Dari dua dasar tersebut, kemudian bisa diketahui bahwa tasawuf, menurut al-Ghazali,
adalah kolaborasi yang seimbang di antara ilmu jiwa dan akhlaq mulia. Dua terma tersebut,
tentu sesuai dengan ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis nabi. Al-Ghazali
berhasil mengembalikan tasawuf sesuai ajaran Islam yang murni. Sesuai pengakuan al-
Ghazali sendiri bahwa penguasaannya tentang disiplin ilmu hadis lemah, oleh karenanya,
dalam penggunaan metode ini, al-Ghazali terkadang menggunakan hadis yang derajatnya
sahih, hasan, da’if bahkan disinyalir juga menggunakan hadis munkar dan maudu’. Selain
itu, al-Ghazali juga menggunakan metode tafsir bi al-ra’yi. Dengan kemampuan keilmuan
yang dimiliki al-Ghazali, dengan metode tersebut, kemudian melahirkan penafsiran dalam
berbagai permasalahan dan di antaranya permasalahan akidah, fiqih dan tasawuf.5

Al-Ghazali juga menghendaki adanya metode penggunaan metode pendekatan melalui


nilai-nilai dan sasaran syara’ yang tersirat dalam bagian terbesar dari hukum-hukum syara’.
Adapun metode ijtihad al-Ghazali dalam menetapkan hukum syara’ adalah al-Qur’an,
Sunnah Nabi, Ijma’ dan dalil nalar (istishab). Hal ini sesuai dengan yang disebutkan al-
Ghazali dalam kitabnya al-mustashfa, sebagai berikut:

1. Al-Qur’an dan Sunnah Nabi

5
Sudarmadi Putra, Hermeneutika Abu Hamid Al Ghazali dalam Memahami Makna Gerhana,…, hlm. 25–26.

8
Menurut al-Ghazali, sumber hukum syara’ hanya satu, yaitu firman-firman Allah yang
termuat dalam al-Qur’an, karena sabda (perkataan Nabi) pada hakikatnya juga berasal dari
al-Qur’an, yang bersifat bayan (penjelasan) Nabi terhadap al-Qur’an. Sedangkan sunnah
Nabi berasal dari firman-firman Allah (al-Qur’an) juga. Adapun nalar (aql) adalah sesuatu
yang tidak tersebut dalam nash-nash hukum syara’ (al-Qur’an dan sunnah), yang lahir
sebagai asal penalaran sesuai kaidah-kaidah berfikir, namun tidak bertentangan dengan al-
Qur’an dan sunnah.

Al-Ghazali menempatkan Sunnah sejajar dengan al-Qur’an, karena sunnah Nabi pada
hakekatnya bersifat bayan terhadap al-Qur’an, kecuali hadis ahad tidak sama nilainya
dengan al-Qur’an dan hadis mutawatir, meskipun kekuatan sunnah Nabi terpisah tidak
sekuat al-Qur’an. Al-Ghazali dalam menerima hadis ahad, mensyaratkan sebagai berikut:

a. Perawinya terpercaya. Ia tidak menerima hadis dari orang yang tidak terpercaya
b. Perawinya berakal, memahami apa yang diriwayatkannya
c. Perawinya benar-benar mendengar sendiri hadis itu dari orang yang menyampaikan
kepadanya
d. Perawi itu tidak menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadis itu.
2. Ijma’

Al-Ghazali menegaskan bahwa ijma’ adalah hujjah dan beliau menempatkannya


sesudah al-Qur’an dan sunnah Nabi sebelum al-aql dan al-istishab. Al-Ghazali, sebagaiman
ulama ushul fikih umumnya, memberi definisi ijma’ dengan kesepakatan para mujtahid
dari kalangan umat Muhammad SAW, setelah beliau wafat, pada suatu masa, atas hukum
suatu masalah. Dari definisi tersebut, al-Ghazali menyimpulkan ada dua unsur pokok ijma’,
yaitu:

a. Adanya kesepakatan segenap mujtahid dari kalangan umat Islam.


b. Terjadinya kesepakatan tersebut adalah dalam suatu masa sesudah meninggalnya Nabi
SAW, yang menyangkut segenap permasalahan dalam masyarakat.
3. Istishab

Al-Ghazali, sebagaimana ulama ushul fikih lainnya, memasukkan istishab sebagai


metode ijtihad. Ketika berbicara tentang definisi istishab, beliau mengemukakan bahwa
istishab adalah apa yang telah ditetapkan (hukumnya) pada masa lalu, yang pada dasarnya,

9
masih dapat dilestarikan pada masa yang akan datang selama belum didapati suatu dalil
yang dapat mengubah hukum tersebut.6

Hermeneutika dan metodologi al-Ghazali dalam menafsirkan al-Qur’an ini didasarkan


pada pemahamannya atas tujuan dan maksud al-Qur’an serta perjalanannya yang panjang
dalam mencari kebenaran hakiki. Metode penafsirannya merupakan salah satu upaya al-
Ghazali dalam memproyeksikan peran dan nilai al-Qur’an ditengah-tengah masyarakat
dalam rangka menempatkan al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran
tertinggi. Oleh sebab itu, upayanya melibatkan berbagai disiplin yang dimilikinya, baik
sebagai filsuf, teolog, faqih maupun sufi.

Al-Ghazali berupaya meramu berbagai metode yang berkembang ke dalam corak


penafsirannya. Meski ia memberi tempat dan menekankan metode penafsiran rasional (bi
al-ra’y), namun ia juga menekankan dan memperhatikan penafsiran secara riwayat (bi al-
ma’tsur). Demikian halnya, meski ia sangat mengedepankan penafsiran sisi batin
(esoterik), dia tidak mengabaikan makna lahirnya (eksoterik). Integralisasi berbagai
metode penafsiran tersebut disamping penekanan syarat dan prinsipnya adalah upayanya
untuk membuka dinamisasi metode penafsiran yang prospektif, disamping
mempertahankan otentitas nilai al-Qur’an.7

E. Pandangan Al-Ghazali Terhadap Gerhana

Matahari dan bulan adalah makhluk (ciptaan) Allah SWT, sampai detik ini kedua
makhluk tersebut taat (tunduk/sujud) dengan perintah Allah untuk bergerak pada porosnya
dan berkeliling pada garis edarnya. Dalam Al Quran ada 10 ayat lebih yang menerangkan
tentang matahari dan bulan. Salah satunya yaitu Q.S. Ibrahim ayat 33:

‫ار‬ ََ ‫س َّخ ََرَلَكُ َُمَٱلَّ ْي‬


ََ ‫لَ ََوٱلنَّ َه‬ َِ ‫سَ ََوٱ ْلقَ َم ََرَدَآئِبَي‬
َ ‫ْنََۖ َو‬ َّ ‫س َّخ ََرَلَكُ َُمَٱل‬
ََ ‫ش ْم‬ َ ‫َو‬

Artinya:

6
Zumrotul Wahidah, Metodologi Hukum Islam Perspektif Al-Ghazali, Media Keadilan: Jurnal Ilmu Hukum,
Vol. 11, No. 2, (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2020), hlm. 210–214.
7
Moh. Ali Wasik, Konsep Metodologis PenafsiranAl-Qur'an (Kajian Metodologi Tafsir atas Konsep al-
Ghazali), Jurnal EL-FURQONIA Vol. 03, No. 02, (Pamekasan: STIU Al-Mujtama’ Pamekasan, 2016), hlm.
145.

10
“Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus
beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.” (Q.S.
Ibrahim: 33)

Dijelaskan oleh Imam al-Ghazali bahwa jika seorang bertafakkur terhadap alam
semesta, maka akan tersingkap banyak rahasia, yang ia gambarkan bagaikan suatu
bangunan rumah yang di dalamnya tersedia perabotan yang diperlukan. Tafakkur tidak lain
dengan cara melakukan riset. Dengan demikian, terungkap bahwa seorang researcher
(peneliti/periset) sains alam haruslah orang yang memiliki adab kepada diri dan Tuhannya.
Sebagaimana ulama-ulama tafsir dahulu yang juga seorang yang mujahidu al-nafs
(memerangi hawa nafsu) melalui tashfiyatul qalb (penjernihan hati).

Karena posisi pandangan hidup (worldview) itu penting dalam soal ini. Dengan cara
seperti itu, imam al-Ghazali mengatakan orang yang telah memahami hikmah-hikmah
rahasia di balik alam ini akan menjadi menancap keimanannya kepada Allah Subhanahu
Wata’ala. Termasuklah dalam meneliti jiwa manusia. Ia mengatakan: “Jika kamu melihat
jiwa dirimu makan kamu akan menemukan keajaiban dan tanda-tanda kekuasan-Nya”.
Alam merupakan ayat (tanda kekuasaan-Nya), yang berguna bagi manusia untuk
mengenal-Nya. Jadi, perlakuan alam dalam sains Islam seperti seorang yang membaca al-
Qur’an. Dunia memiliki banyak tanda-tanda yang samar dan mungkin bagi sebagian orang
tidak menarik, khususnya bagi orang yang tidak memiliki intelektualitas dan disiplin
spiritual.

Bagi mereka, dunia ini adalah benda fisik, mati dan bukan bagian dari ‘wahyu’/ayat
Allah. Tentang penciptaan alam, al-Ghazali mempunyai konsep yang sangat berbeda dari
konsepsi yang dimiliki para filsuf Muslim. Para filsuf Muslim, termasuk Ibnu Rusyd,
berpendapat bahwa alam itu azali, atau qadim, yakni tidak bermula dan tidak pernah ada.
Sementara itu, al-Ghazali berpikir sebaliknya. Bagi al-Ghazali, bila alam itu dikatakan
qadim, mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi paham
qadim-nya alam membawa kepada simpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya, tidak
diciptakan Tuhan. Dan, ini berarti bertentangan dengan ajaran Alquran yang jelas
menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala
isinya).

Bagi al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada,
sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam, alam ada di samping

11
adanya Tuhan. Sebaliknya, bagi para filsuf Muslim, paham bahwa alam itu qadim sedikit
pun tidak dipahami mereka sebagai alam yang ada dengan sendirinya. Menurut mereka,
alam itu qadim justru karena Tuhan menciptakannya sejak azali/qadim. Bagi mereka,
mustahil Tuhan ada sendiri tanpa mencipta pada awalnya, kemudian baru menciptakan
alam.

Semuanya itu terkandung di dalam Tarbiayatul ‘alamin yang artinya “Pendidikan Alam
Semesta”. Ketahuilah, bahwa semua industri yang telah ada sekarang maupun yang akan
datang semuanya bersumber dari benda-benda yang telah ada (diciptakan Allah) di dunia
ini.

Dua kejadian tersebut menjadi bagian dari ayat kauniyah yang biasanya dibedakan dari
ayat qauliyah (Al-Qur’an). Ayat berarti tanda. Maksudnya, representasi dari
kemahabesaran Allah, yang seharusnya membuat manusia kian meresapi kehadiran-Nya
dan meningkatkan intensitas penghambaan. Imam Al-Ghazali dalam menafsirkan
menyebutkan beberapa adab menyambut gerhana bulan sebagai berikut:

“Senantiasa memiliki rasa takut, menampakkan rasa haru, segera bertobat, tidak
bersikap mudah bosan, segera melaksanakan shalat, berlama-lama dalam shalatnya dan
merasakan adanya peringatan.”

Bagi al-Ghazali, pemikiran tentang gerhana bulan sama dengan pemikiran para filsuf.
Tidak semua pemikiran para filsuf ditolak. ada juga yang tidak bertentangan dengan akidah
(la yasdumu madzhabuhum fihi aslan min ushuliddin). Pemikiran para filsuf tentang
gerhana bulan (al-kusuf al-qamariy), yaitu hilangnya cahaya bulan disebabkan posisi bumi
yang berada di antara bulan dan matahari, tidak bertengangan dengan Islam. Saat gerhana,
bulan berada dalam bayang-bayang bumi, maka sinar matahari tidak dapat diserap oleh
bulan. Begitu juga dengan pemikiran mereka mengenai gerhana matahari (kusuf al-syams),
tatkala posisi bulan berada di tengah antara bumi dan matahari.8

Kesimpulan

Imam Abu Hamid al-Ghazali merupakan sosok ulama sufi yang progresif dan produktif dalam
berpikir. Karya-karyanya ditulis sebagai proses ghumun (gejolak) dan reaksi kritis terhadap
tradisi pemikiran ulama yang hidup pada masanya serta periode sebelumnya. Al-Ghazali
membagi dasar corak tafsir menjadi lima aliran sebagai berikut: Aliran obyektivis murni,

8
Sudarmadi Putra, Hermeneutika Abu Hamid Al Ghazali dalam Memahami Makna Gerhana,..., hlm. 28-29.

12
Aliran subyektivis murni, Aliran semi subyektivis, Aliran semi obyektif, dan Aliran moderat.
Hermeneutika al-Ghazali dalam menafsirkan al-Qur’an menggunakan metode kebanyakan
para ulama ahlus sunnah, yaitu menggunakan metode tafsir bil matsur dan bil ra’yi. Corak
penafsiran cenderung sufistik dengan metode al-Takhaliyah dan al-Tahaliyah maksudnya
membersihkan jiwa dengan bermujahadah dari sifat-sifat tercela. Setelah bersih, jiwa akan
mempunyai potensi besar untuk melakukan sifat-sifat yang luhur. Kolaborasi yang seimbang
di antara ilmu jiwa dan akhlaq mulia serta sebagai kompromi antara makna zahir dan makna
batin al-Qur’an (tekstual dan kontekstual). Beberapa metode ijtihad al-Ghazali dalam
menetapkan hukum syara’ adalah al-Qur’an, Sunnah Nabi, Ijma’ dan dalil nalar (istishab).

Daftar Pustaka

Farida, Umma. 2015. Menelisik Gagasan Tafsir Abu Hamid Al Ghazali Dalam Kitab Jawahir
Al-Qur’an. Jurnal Hermeneutik, Vol. 9, No.2. Kudus: STAIN Kudus

Nur, Muhammad. 2011. Islam dan Logika Menurut Pemikiran Abu Hamid al-Ghazali. Jurnal
Al-Ulum, Vol. 11, No. 1. Lampung: IAIN Raden Intan.

Putra, Sudarmadi. 2019. Hermeneutika Abu Hamid Al Ghazali dalam Memahami Makna
Gerhana. Ta’allam al-Lughoh: Jurnal Pendidikan dan Kajian Bahasa Arab, Vol. 1, No. 1.
Surakarta: Sekolah Tinggi Islam Al-Mukmin (STIM).

Syamsuddin, Sahiron. 2010. Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis. Yogyakarta: Elsaq Press.
Wahidah, Zumrotul. 2020. Metodologi Hukum Islam Perspektif Al-Ghazali. Media Keadilan:
Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 11, No. 2. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Wasik, Moh. Ali. 2016. Konsep Metodologis PenafsiranAl-Qur'an (Kajian Metodologi Tafsir
atas Konsep al-Ghazali). Jurnal EL-FURQONIA Vol. 03, No. 02. Pamekasan: STIU Al-
Mujtama’ Pamekasan.

13

Anda mungkin juga menyukai