Anda di halaman 1dari 10

EPISTEMOLOGI (ILMU PENGETAHUAN) IMAM AL-GHAZALI

Untuk memenuhi tugas:


FILSAFAT ILMU EKONOMI ISLAM
Dosen Pengampu:
Al-Ustadz Dr. Setiawan bin Lahuri, Lc, M.A,

Disusun oleh:
Fahruddin Majid
402019222027

FAKULTAS USHULUDDIN
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
UNIVERSITAS DARUSSALAM
GONTOR PONOROGO
1444/2022
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Ilmu pengetahuan merupakan kebutuhan krusial bagi manusia dalam menjalani


hidupnya. Karena dengan pengetahuan manusia dapat membedakan antara yang baik
dengan yang buruk. Ilmu pengetahuan sendiri bertujuan untuk mencari kebenaran suatu
hal. Bagi filosof Barat kebenaran suatu ilmu pengetahuan dapat di buktikan dari dua hal,
rasio (akal) dan empiris (indra). Pendapat tersebut yang hanya berlandaskan pada akal
seperti hal ini menimbulkan reaksi besar dari para pemikir Islam yang bertujuan untuk
mengembalikan esensi pengetahuan yaitu untuk kebahagiaan manusia pada khususnya
dan seluruh makhluk hidup pada umumnya.

Serangan filsafat Barat terhadap keyakinan Islam mengakibatkan terjadinya


pembaharuan terhadap prinsip pokok ajaran agama dan pengetahuan itu sendiri.
Beberapa para ulama yang mengkhawatirkan hal ini berusaha memverifikasi
permasalahan ini. Salah satu ulama yang menaruh perhatian besar dalam hal ini ialah
Imam Al-Ghazali melalui Konsep Epistemologi (Ilmu Pengetahuan).

Rumusan Masalah

Dalam makalah ini, peneliti merumuskan masalah yang akan menjadi topik
utama pembahasan, yaitu:

1. Bagaimana Konsep Epistemologi (Ilmu Pengetahuan) menurut Imam Al-Ghazali?

Tujuan Penelitian

Adapun penelitian ini dilakukan dengan tujuan:

1. Mengetahui Konsep Epistemologi (Ilmu Pengetahuan) menurut Imam Al-Ghazali

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. BIOGRAFI IMAM GHAZALI

Imam Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn
Ahmad Al-Ghazali. Ia lahir di kota kecil yang terletak di dekat Thus, Provinsi
Khurasan, Republik Islam Irak pada tahun 450 H (1058 M).1 Nama Al -Ghazali
sendiri berasal dari kata ghazzal, yang berarti tukang menenun benang, karena
pekerjaan ayahnya adalah menenun benang wol. Nama ayahnya kurang begitu di
kenal namun kakeknya adalah orang yang terpandang pada masanya. Ayahnya
meninggal pada usia muda sehingga meninggalkan dia dalam asuhan ibu dan
kakeknya. Ayahnya meninggal pada usia muda sehingga meninggalkan dia
dalam asuhan ibu dan kakeknya. Al- Ghazali disebut-sebut sebagai nama sebuah
desa di distrik Thus, provinsi Khurasan, Persia. Beberapa orang beranggapan
bahwa kata Ghazali juga diambil dari kata ghazalah, yaitu nama kampung
kelahiran Al Ghazali dan inilah yang banyak dipakai, sehingga namanya pun
dinisbatkan oleh orang-orang kepada pekerjaan ayahnya atau kepada tempat
lahirnya.2

Pendidikan Imam Al-Ghazali

Sejak kecil Al-Ghazali sudah akrab dengan pengajaran ilmu-ilmu agama.


Semasa ayahnya masih hidup, pendidikan Al-Ghazali dan saudaranya
dipercayakan pada kerabat kepercayaan ayahnya, yaitu Ahmad Al-Radzkani dan
Abu Nashr Al-Isma’ili.3 Keduanya memberikan pendidikan dasar lalu
mengirimnya ke Maktab swasta. Dalam pendidikannya di Maktab Al-Ghazali
dan saudaranya mampu menghapal Al-Qur’an dalam waktu singkat, dan setelah
itu keduanya mulai mempelajari bahasa Arab. Setelah itu Al-Ghazali
melanjutkan pendidikannya di sebuah pendidikan tinggi di Jurjan dan belajar

1
Sirajuddin, Filsafat Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007) , hlm. 155
2
Hasyimiyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm. 77.
3
Umdatul Hasanah, Epistemologi Al-Ghazali, (Jurnal Al-Fath, 2007), Vol. 01, No. 01
(Januari-Juni), hlm. 64

2
dibawah bimbingan Imam Abu Nashr Ismail, seorang ulama besar dalam bidang
Bahasa Arab dan Nahwu.

Pendidikan Ak-Ghazali berlanjut di Madrasah An-Nizhamiyah di Nisyabur,


dalam bimbingan Imam Al-Haramain Al-Juwaini. Nisyabur saat itu merupakan
salah satu pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam. Di Madrasah
An-Nizhamiyah inilah Al-Ghazali belajar teologi, ilmu kalam, filsafat, hukum
Islam, logika, tasawuf, dan ilmu-ilmu alam. Ia tinggal di Nisyabur sampai Imam
Al-Haramain wafat di tahun 1085 M. Sepeninggalnya Imam Al-Haramain, Al-
Ghazali tinggal di Baghdad, enam tahun kemudian ia diangkat menjadi guru
besar di Madrasah An-Nizhamiyah Baghdad pada tahun 1091 M.4

Karya-karya Imam Al-Ghazali

Al-Ghazali mendapati argumen-argumen filsafatis yang tidak sesuai


dengan ajaran Islam bahkan bertentangan dengan ajaran Islam dari
pembelajarannya dalam bidang filsafat, baik Yunani maupun filosof-filosof
Islam. Karena itu, Al-Ghazali memberikan argumen-argumen bantahan yang
menyerang argumen-argumen filosof Yunani maupun Islam yang bertentangan
dengan ajaran Islam. Al-Ghazali mendapat gelar kehormatan Hujjatul Islam
karena bantahan dan pembelaannya terhadap agama Islam. Keistimewaan Al-
Ghazali tidak hanya terletak pada argumen-argumen verbal saja, melainkan juga
tertuang pada karya-karya tulis yang banyak. Berikut karya-karya Imam Al-
Ghazali yang memiliki pengaruh yang besar terhadap pemikiran umat Islam:5

1. Maqashid Al Falasifah (tujuan-tujuan para filosof), sebagai karangannya


yang pertama dan berisi masalah-masalah filsafat;
2. Tahafut Al Falasifah (kekacauan pikiran para filosof) buku ini dikarang
sewaktu Beliau berada di Baghdad tatkala jiwanya dilanda keragu-raguan.
Dalam buku ini, Al-Ghazali mengecam filsafat dan para filsuf dengan keras;
3. Mi’yar al-‘Ilm (Kriteria Ilmu-ilmu);
4. Ihya’ ‘Ulum al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama), buku ini
merupakan karyanya yang terbesar yang dikarangnya selama beberapa tahun
4
Ibid.
5
A. Heris Hermawan dan Yaya Sunarya, Filsafat, (Bandung : CV Insan Mandiri, 2011), hlm.
91-92.

3
dalam keadaan berpindah-pindah antara Damaskus, Yerussalem, Hijaz, dan
Thus yang berisi paduan antara fikih, tasawuf, dan filsafat;
5. Al-Munqids min al-Dhalal (Penyelamat Dari Kesesatan), buku ini
merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Al-Ghazali sendiri dan
merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai
Tuhan;
6. Al-Ma’arif al-‘Aqliah (Pengetahuan Yang Rasional);
7. Misykat al-Anwar (Lampu Yang Bersinar Banyak), buku ini berisi
pembahasan tentang akhlak dan tasawuf;
8. Minhaj al-‘Abidin (Jalan Mengabdikan Diri Kepada Tuhan);
9. Al-Iqtishad fi al-‘Itiqad (Moderasi Dalam Akidah);
10. Ayyuha al-Walad (Wahai Anak), buku ini berisi pelajaran tentang akhlak
seorang anak dalam aqidah Islam;
11. Al-Mustashfa;
12. Iljam al-‘Awwam ‘an ‘Ilm al-Kalam;
13. Mizan al-‘Amal;
14. Mahakk al-Nazhar.6

B. EPISTEMOOGI (ILMU PENGETAHUAN) AL-GHAZALI


Epistemologi secara bahasa berasal dari bahasa Yunani, yakni episteme
dan logos. Episteme berarti pengetahuan, atau dalam kamus filsafat diartikan
sebagai pengetahuan sejati, pengetahuan ilmiah dan pengetahuan sistematis,7
sedangkan logos berarti teori, uraian atau alasan.8 Jadi, epistemologi dapat
diartikan sebagai teori tentang pengetahuan (theory of knowledge).
Epistemologi adalah cabang dari filsafat yang berkaitan dengan hakikat
atau teori pengetahuan. Dalam filsafat epistemologi meliputi pembahasan
tentang asal mula, sumber, ruang lingkup, nilai validitas, dan kebenaran dari
pengetahuan. Epistemologi mempelajari tentang hakikat dari pengetahuan,

6
Ali Mahdi Khan, Dasar-Dasar Filsafat Islam: Pengantar Ke Gerbang Pemikiran,
(Bandung: Nuansa, 2004), hlm 135.
7
Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1995), hlm. 96
8
Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam, (Jakarta: UI Press, 1983)

4
justifikasi, dan rasionalitas keyakinan.9 Terdapat dua aliran besar dalam
epistemologi, Pertama adalah Idealisme atau lebih populer dengan sebutan
Rasionalisme yang menekankan pentingnya peran akal, idea, sebagai sumber
pengetahuan. Sedangkan aliran kedua yaitu Realisme atau Empirisme yang lebih
menekankan peran indera sebagai sumber ilmu pengetahuan.10

Hakikat Kebenaran Menurut Imam Al-Ghazali

Aliran-aliran epistemologi memiliki pandangan yang berbeda beda akan


hakikat kebenaran. Rasionalisme cenderung pada peranan akal (rasio), paham ini
mengakui bahwa hakikat kebenaran berasal dari akal. Sedangkan Empirisme
mengunggulkan daya tangkap indrawi, dan mengakui bahwa hakikat kebenaran
berasal dari kebenaran indrawi. Tidak hanya itu, Immanuel Kant hadir dengan
mengusung faham Kritisisme Empirik yang mengunggulkan hati. Al-Ghazali
mengakui ketiga alat-alat tersebut memiliki daya yang berbeda-beda dalam
memperoleh ilmu sehingga hasilnya pun berbeda tingkat ilmiahnya.11
Al-Ghazali merasa bahwa hasil kebenaran tersebut belum sempurna
maka ia melanjutkan usaha dalam meneliti jenis pengetahuan yang dimilikinya
yang dapat memenuhi kebutuhan bagi hal-hal di atas. Al-Ghazali meneliti
seluruh bagian dari pengetahuan yang diketahuinya dan saat itu ia menemukan
batas-batas akal pikiran sebagai satu instrumen pengetahuan.
Dengan begitu, Al-Ghazali berusaha memadukan antara keberadaan
(eksistensi) indra dan akal dengan kebenaran hakiki. Karena menurutnya,
hakikat pengetahuan adalah monokhotomik, yaitu ilmu itu semata-mata berasl
dari satu sumber yakni merupakan milik Allah, sedangkan manusia hanya diberi
hak untuk mencari dan mengembangkannya, dan itu semua tergantung pada
kemampuan manusia.

Klasifikasi Ilmu Menurut Imam Al-Ghazali

9
Tedi Priatna, Filsafat Ilmu Untuk Pendidikan, (Bandung, Jawa Barat: Trussmedia Grafika,
2020), hlm. 16.
10
M. Amin Abdullah, Filsafat Islam, seri Filsafat Islam, No.2, (Yogyakarta: Lembaga Studi
Filsafat Islam, 1992), hlm. 28
11
M. Bahri Ghazali, Konsep Ilmu menurut Al-Ghazali, suatu tinjauan Psikologik-Pedagogik,
(tanpa daerah: Penerbit CV. Pedoman Ilmu Jaya, tanpa tahun), hlm. 83

5
Al-Ghazali juga mendefinisikan ilmu pengetahuan, definisi tersebut
tertulis dalam ar-Risalah al Ladunniyyah, ia mengatakan:
Knowledge (al-‘ilm) is the presentation, by rational,
tranquilized soul (al-nafs al-nathiqah al-muthma’innah), of the
real meaning of things, their outward forms-when divested of
matter inthemselves-their modes, their quantities, their substance,
and their essences, if they are sImāmple. So, the knower
(al-‘alim) is the one who comprehends and perceipes and
apprehends, and that which is known (al-ma’lum) is the essence
of the thing, the knowledge of which is engraved upon the soul.12
Dari kutipan di atas al-Ghazali mengindikasikan bahwasannya objek
daripada ilmu pengetahuan akan menjadi sebuah ilmu pengetahuan setelah
memahami arti, tujuan, kuantitas, substansi, dan esensi yang dapat di nalar
setelah dipersepsi oleh akal dan jiwa yang tenang. Untuk mencapai hal
demikian, kiranya ada beberapa langkah yang harus diambil oleh para penuntut
ilmu pengetahuan umumnya, khususnya para muslimin dan muslimat.
Kemudian Al-Ghazali mengklasifikasi ilmu pengetahuan berdasarkan
kewajiban mempelajarinya, yaitu ‘ilmu fardhu ‘ain dan ‘ilmu fardhu kifayah.
1. ‘Ilmu Fardhu ‘Ain
Kata fardhu ‘ain merujuk pada hukum Islam, yang berarti wajib
dilakukan secara individual. Dengan begitu ‘ilmu fardhu ‘ain berarti ilmu
yang wajib hukumnya dipelajari secara individual seorang muslim. Ilmu-
ilmu tersebut ialah ilmu yang berkaitan dengan agama Islam, yang tentunya
bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW.
Banyak ayat al-Qur’an yang berbicara perihal keutamaan ilmu dan
ketinggian derajat. Pada periode awal Islam, ilmu mengacu pada dua
hal, yaitu ‘ilm dan fiqh. ‘Ilm digunakan oleh al-Qur’an dan hadith untuk
mengacu kepada pengetahuan wahyu (revealed knowledges), yang pasti dan
absolut, sedangkan fiqh lebih bersifat keilmuan dan rasional.

12
Hamid Fahmy Zarkasyi, Al-Ghazālī’s Concept of Causality, With Reference to His
interpretations of reality and knowledge, (Malaysia: IIUM Press, 2010), hlm. 149.

6
‘Ilmu fardhu ‘ain berkenaan dengan tiga hal, yaitu i’tiqad (hal-hal
yang wajib diimani), ‘amal, larangan.13 Kewajiban untuk mencari
pengetahuan tentang ketiga aspek kehidupan ini diisyaratkan oleh
munculnya perkembangan baru dan lingkungan yang berubah dalam
kehidupan individu.14
2. ‘Ilmu Fardhu Kifayah
Kata fardhu kifayah sama seperti kata fardhu ‘ain, yang merujuk
pada hukum Islam, yang berarti ilmu yang kewajiban mempelajarinya akan
terpenuhi jika sudah ada yang mewakilinya. ‘Ilmu fardhu kifayah mencakup
ilmu-ilmu yang penguasaannya wajib bagi suatu masyarakat Muslim tapi
tidak mengikat bagi tiap individu.
‘Ilmu fardhu kifayah terbagi menjadi dua, yaitu ilmu-ilmu agama
(syar’iyyah), yang mempelajari tentang wahyu Allah dan Sunnah
Rasulullah, seperti ilmu tafsir, hadith, fiqh, ushul al-fiqh, dan lain-lain, serta
ilmu non agama (ghayru syar’iyyah) yang berasal dari hasil penalaran akal
manusia, pengalaman, dan percobaan, seperti kedokteran, matematika,
ekonomi, astronomi, dan lain.15 Ilmu ini berkaitan dengan fisik dan objek-
objek yang berhubungan dengannya, yang dapat dicapai melalui
penggunaan daya intelektual dan jasmaniah. Ilmu pengetahuan ini bersifat
tanpa pola dan pencapaiannya menempuh jalan yang bertingkat-tingkat.

13
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995) hlm. 27
14
Ibid, hlm. 28
15
Al-Ghazālī, al-Risālah al-Lāduniyah dalam Majmu’atu Rasāil, (Kairo: Maktabah
Taufiqiyah, tanpa tahun), hlm. 244.

7
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Epistemologi merupakan cabang filsafat yang berkaitan dengan hakikat dan teori
pengetahuan. Dalam pembahasannya, Epistemologi memiliki dua aliran yang terkenal
yaitu Rasionalisme dan Empirisme. Al-Ghazali memiliki pandangan bahwa kebenaran
keduanya belum smepurna, karena keduanya memiliki batas-batas akal pikiran sebagai
satu instrumen pengetahuan. Dengan begitu, Al-Ghazali berusaha memadukan antara
keberadaan (eksistensi) indra dan akal dengan kebenaran hakiki. Karena menurutnya,
hakikat pengetahuan adalah monokhotomik, yaitu ilmu itu semata-mata berasl dari satu
sumber yakni merupakan milik Allah.

Al-Ghazali juga mengklasifikasi ilmu pengetahuan. Menurutnya ilmu


pengetahuan terbagi menjadi dua berdasarkan tingkat kewajibannya, yaitu ‘ilmu fardhu
‘ain dan ‘ilmu fardhu kifayah. Penamaan klasifikasi tersebut merujuk pada hukum
Islam. ‘Ilmu fardhu ‘ain berarti ilmu yang wajib hukumnya dipelajari secara individual
seorang muslim. Ilmu-ilmu tersebut ialah ilmu yang berkaitan dengan agama Islam,
yang tentunya bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW. Sedangkan
‘ilmu fardhu kifayah berarti ilmu yang kewajiban mempelajarinya akan terpenuhi jika
sudah ada yang mewakilinya. ‘Ilmu fardhu kifayah mencakup ilmu-ilmu yang
penguasaannya wajib bagi suatu masyarakat Muslim tapi tidak mengikat bagi tiap
individu.

8
Daftar Pustaka

A. Heris Hermawan dan Yaya Sunarya, Filsafat, (Bandung : CV Insan Mandiri, 2011)
Ali Mahdi Khan, Dasar-Dasar Filsafat Islam: Pengantar Ke Gerbang Pemikiran,
(Bandung: Nuansa, 2004)
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995)
_________, al-Risālah al-Lāduniyah dalam Majmu’atu Rasāil, (Kairo: Maktabah
Taufiqiyah, tanpa tahun)
Hamid Fahmy Zarkasyi, Al-Ghazālī’s Concept of Causality, With Reference to His
interpretations of reality and knowledge, (Malaysia: IIUM Press, 2010)
Hasyimiyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999)
Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam, (Jakarta: UI Press, 1983)
M. Amin Abdullah, Filsafat Islam, seri Filsafat Islam, No.2, (Yogyakarta: Lembaga
Studi Filsafat Islam, 1992)
M. Bahri Ghazali, Konsep Ilmu menurut Al-Ghazali, suatu tinjauan Psikologik-
Pedagogik, (tanpa daerah: Penerbit CV. Pedoman Ilmu Jaya, tanpa tahun)
Sirajuddin, Filsafat Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007)
Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1995)
Tedi Priatna, Filsafat Ilmu Untuk Pendidikan, (Bandung, Jawa Barat: Trussmedia
Grafika, 2020)
Umdatul Hasanah, Epistemologi Al-Ghazali, (Jurnal Al-Fath, 2007), Vol. 01, No. 01
(Januari-Juni)

Anda mungkin juga menyukai