Anda di halaman 1dari 11

Judul : Perbandingan Teori Penciptaan Alam Imam Ghazali dan Ibnu Sina

Nama : M Zein Mubarok

NIM : 1703016035

A. PENDAHULUAN
Salah satu pembendaharaan ilmu dalam Islam adalah Filsafat Islam, ilmu ini
merupakan produk sumbangan pemikiran para filosof muslim, yang berusaha
merekonsilidasikan pemikiran filsafat dengan ajaran Islam yang sarat dengan
muatan-muatan intitusi ilmiah. Para filosof muslim yang corak berfikir
filsafatnya, memang di satu segi terpengaruh oleh cara berfikir para filosof
Yunani (khususnya), namun demikian, mereka tidak begitu saja menerima
pemikiran filsafat para filosof Yunani tersebut. Untuk itu, mereka secara intens
berupaya menyelaraskan antara agama dengan logika wahyu dan filsafat dengan
logika rasio. Perpaduan antara “bahasa langit” dengan “bahasa bumi” ini telah
dikenal dengan sedemikian rupa, sehingga membentuk seperangkat ilmu dengan
metode logisnya yang khas pada masa perkembangan pemikiran rasional dalam
Islam.
Makalah ini aka membahas tentang perbandingan pemikiran Imam Ghazali
dan Ibnu Sina tentang teori penciptaan Alam.

B. Biografi imam Al-Ghazali

1. Biografi al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-
Ghazali, dilahirkan di Thus sebuah kota di khurasan persia, pada tahun 450 H
atau 1058 M. Ayahnya seorang pemintal wool, yang selalu memintal dan
menjualnya sendiri di kota itu. Imam al-Ghazali sejak kecil dikenal sebagai
seorang anak pecinta ilmu dan selalu ingin mencari kebenaran yang hakiki. Di
masa kanak - kanak Imam al-Ghazali belajar kepada Ahmad bin Muhammad bin
Ar-radzikani di Thus kemudian belajar kepada Abi Nasr al-Ismaili di Jurjani dan
kembali lagi ke Thus. Setelah itu Imam al-Ghazali pindah ke Nisabur untuk
belajar kepada seorang ahli agama kenamaan di masanya, yaitu al-Juwaini, Imam
al-Haramain, dari beliau ia belajar ilmu kalam, ilmu ushul dan ilmu pengetahuan
agama lainnya. Keikutsertaan Ghazali dalam suatu diskusi bersama sekelompok
ulama dan para intelektual dihadapan nidzam al-mulk dan dimenangkan olehnya,
sehingga Nidzam al-mulk kagum dan mengangkatnya sebagah guru besar di
universitas di baghdad pada tahun 484 H atau 1091 M.
Di tengah-tengah kesibukannya di Baghdad beliau masih sempat mengarang
sejumlah kitab seperti: al-Basith, al-Wajiz, al-Wasith, dan masih banyak lagi.
Beliau juga belajar ilmu pengetahuan dan filsafat klasik serta mempelajari
berbagai aliran agama yang beraneka ragam yang dikenal pada waktu itu. Empat
tahun beliau memutuskan untuk berhenti mengajar di Baghdad dan meninggalkan
kota tersebut untuk melaksanakan ibadah haji. Setelah itu beliau menuju Syam,
hidup dalam Jami' umawy dengan kehidupan penuh ibadah. Demikianlah Imam
Ghazali mempersiapkan dirinya dengan persiapan agama yang benar dan
mensucikan jiwanya dari noda-noda keduniaan, sehingga beliau menjadi seorang
filosof ahli tasawuf pertama kali dan seorang pembela agama Islam yang besar
serta salah seorang pemimpin yang menonjol di zamannya. 1

Dari uraian di atas, dapat diketahui dengan jelas bahwa Al Ghazali tergolong
ulama yang taat berpegang pada Alquran, al-sunnah, taat menjalankan agama dan
menghias dirinya dengan tasawuf. Ia banyak mempelajari berbagai pengetahuan
umum seperti arti ilmu kalam, filsafat, fiqih, tasawuf dan sebagainya, namun
pada akhirnya ia lebih tertarik pada fiqih dan tasawuf.

2. Pemikiran al-Ghazali
Menurut Al-Ghazali, “Akal bagaikan penglihatan sehat, sedangkan Al-
Qur’an bagaikan matahari yang menerbitkan sinarnya. Satu sama lain saling
membutuhkan, kecuali orang-orang bodoh, yakni orang yang mengabaikan akal
dan mencukupkan diri dengan Al-Qur’an. Mereka bagaikan orang yang melihat
cahaya matahari dengan menutup kelopak mata. Tidak ada bedanya antara orang
seperti ini dengan orang buta.” Dengan demikian, menurut Al-Ghazali, akal tidak
mungkin menetapkan suatu kebenaran yang dinafikan syara’ dan syara’ tidak
akan membawa suatu keyakinan yang tidak dapat diterima oleh akal. 2 Al-Ghazali
memandang bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu baik yang besar maupun
yang kecil. Al-Ghazali mengilustrasikan dengan “seumpama ada seorang yang
berdiri disebelah kanan anda kemudian ia berpindah kesebelah kiri anda, lalu
kedepan atau kebelakang, maka yang berpindah adalah orang gtersebut bukan
anda”. Mestinya seperti ini kita memahami perihal pengetahuan Tuhan. Tuhan
mengetahui segala sesuatu dengan pengetahuan tunggal sejak azali hingga abadi
dan tidak berubah keadan-Nya.3

Al- Ghazali mengatakan bhawa alam adalah hadist, dan Tuhanlah yang
Qadim. Menurut Al-Ghazali menganggap pandangan bahwa alam dan Tuhan itu
qadim seperti itu jelas sekali mustahil, karena seuatu yang temporal adalah
akibat. Sebagaimana sesuatu yang temporal mustahil ada tanpa sebab atau
pencipta, maka mustahil pula ada sebab yang tidak bisa menghasilkan akibat
pada saat semua persyaratan dan faktor yang diperlukan telah terpenuhi untuk
mewujudkan suatu hubungan sebab akibat. Bahkan keberadaan akibat merupakan
keniscayaan, dan penangguhannya merupakan kemustahilan ketika semua syarat
dan kondisi sebab terpenuhi. Ketiadaan akibat seperti ini sama mustahilnya
dengan keberadaan akibat yang temporal tanpa keberadaan sebab. 4

Selanjutnya, Al-Ghazali menjelaskan bahwa akal dan syara’ memiliki


keistimewaan dan memiliki bidang kompetensi yang tidak pernaah dilanggarnya.
Adanya filsafat di mata Al-Ghazali ketika membuat spesifikasi akal dalam
menetapkan dua masalah besar agama yaitu: wujudullah dan ketetapan
1
Abuddin nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta : PT
RajaGrafindo,2003) hlm.81
2
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2009), hlm.
157.
3
Imam al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah, (Bandung:Marja, 2016) hlm. 204-206.
4
Imam al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah…, hlm. 65-67.
nubuwwat. Uraian hal itu di jelaskan oleh Al-Ghazali dalam kitabnya, Al-
Mustashfa, bahwa Wujudullah, Qudrat, Iradat, dan Ilmu-Nya dapat ditetapkan
oleh akal. Apa yang tidak ditetapkan oleh akal tidak dapat di tetapkan oleh syara’.
Demikian juga masalah penciptaan alam dan pengutusan para rasul termasuk sifat
Jaiz bagi Allah SWT. Allah berkuasa untuk berbuat demikian dan membuktikan
kebenaran para Rasul dengan mukjizat karena Allah tidak akan menyesatkan
hamba-hamba-Nya.5

3. Karya Imam Al-Ghazali

Karya Al-Ghazali diperkirakan 300 buah, namun disini hanya beberapa saja
yag dapat di sebutkan :

a. Maqasid al-falasifah (tujuan para fisuf ) sebagai karangan pertamanya yang


berisi masalah-masalah filsafat.
b. Tahafut al-falasifah (kekacauan pikiran para filsuf) buku ini dikarang ketika
beliau masih berad di baghdad tatkala jiwanya dilanda keragu-raguan.
Dalam buku ini Imam Ghazali mengecam keras filsafat para filsuf,
c. Mi’yar al-‘Ilm (kriteria ilmu)
d. Ihya’ ‘ulumuddin (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama), buku ini
merupakan karyanya yang terbesar yang dikarangnya selama beberapa tahun
dalam keadaan berpindah-pindah antara Damaskus, Yerusalem, Hijaz, Thus
yang berisi paduan antara fiqh, tasawuf, dan filsafat.
e. Al- Munqids min al-Dhalal (penyelamat dari kesesatan), buku ini merupakan
sejarah perkembngan alam pikiran al-Ghazali sediri dan merefleksikan
sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai tuhan.
f. Al- Ma’arif al-Aqliah (pengetahuan yang rasional)
g. Misykat al-Anwar (lampu yang bersina banyak) buku ini berisi tentang
pembahasan akhlak dan tasawuf.
h. Minhaj al-‘abidin (jalan mengabdikan diri kepada tuhan).
i. Al Iqtisah Al-I’tiqad (moderasi dalam akhlak).
j. Ayyuhal walad
k. Al-mustasyfa
l. Iljam Al-Awwam ‘al-Ilm al-Kalam
m. Mizan Al-‘amal

5
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam…, hlm 157-158.
n. Mahak Al-Nazar.6

C. Biografi Ibnu Sina


1. Biografi Ibnu Sina
Daulat Bani Abbasiyah di mana daerah-daerah yang pada awalnya berada di
bawah kekuasaan Khalifah Abbasiyah, mulai melepaskandiri satu persatu untuk
berdiri sendiri, sementara kota Bagdad sendiri sebagai pusat pemerintahan
Khalifah Abbasiyah telah dikuasai oleh Golongan Bani Buwaihi pada tahun 334
H. yang kekuasaannya berlangsung sampai tahun 447 H. Demikian pula daerah
Daulat Samani di Bukhara telah berdiri sendiri dan salah satu khalifahnya adalah
Nuh b. Mansur, yang pada masanya inilah, di suatu tempat di daerah Bukhara
yang bernama Afsyana, lahir dan tumbuh seorang bayi yang bernama Ibnu Sina
(370 H/980 M) (Hanafi, 1976:168).
Nama lengkap Ibnu Sina ialah Al-Shaykh al-Ra’îs Abû Alî al- H􀀀usayn b.
‘Abd Allâh b. Sinâ (Avicenna). Ia dilahirkan dari keluarga yang bermazhab
Syi’ah. Di Bukhara, pada usianya yang sangat muda, 10 tahun ia telah menghafal
Alquran dan belajar filsafat,vilmu-ilmu agama Islam, astronomi, matematika,
fisika, metafisika, dan logika. Ia belajar ilmu kedokteran pada seorang Masehi
yang bernama Isâ b. Yah􀀀yâ (Daudy, 1992:66). Pada usia 16 tahun, ia telah
menjadi seorang dokter dan mampu memecahkan masalah pengobatan dengan
melalui metode eksperimen yang dilakukannya, termasuk mengobati Sultan
Bukhara Nûh b. Mans􀀀ûr dan berhasil sembuh sehingga ia diberi kesempatan
membaca buku-buku yang ribuan banyaknya dalam perpustakaan sultan. Dengan
daya ingat yang dimilikinya ia dapat menguasai sebagian besar isi buku-buku
tersebut walaupun usianya ketika itu baru 18 tahun (Ali, 1991:58).
Pada usianya yang 22 tahun, ayahnya wafat. Ibnu Sina meninggalkan
Bukhara menuju Jurjan, kemudian ke Khawarizm, akibat kekacauan politik ia
berpindah dari suatu daerah ke daerah lainnya akhirnya sampai ke Hamazan.
Oleh Syamsuddaulah, penguasa daerah ini, ia diangkat menjadi menteri beberapa
kali, dan akhirnya ia pindah ke Isfahan dan mendapatkan sambutan yang
istimewa dari penguasa daerah ini (Hanafi, 1976:169). Hidup Ibnu Sina penuh
dengan kesibukan bekerja dan mengarang, penuh pula dengan kesenangan dan
kepahitan, dan mungkin saja keadaan inilah yang mempengaruhi kesehatannya
sehingga ia terserang penyakit dingin (cooling) yang tidak bisa disembuhkan lagi,
dan akhirnya beliau wafat di Hamazan pada tahun 428 H./1037 M. dalam usia
lima puluh delapan tahun (Al-Irâqî,1969:37).7

2. Pemikiran Ibnu Sina


Ibnu Sina memiliki beberapa pemikiran tentang filsafat. Filsafat-filsafatnya
yang paling menonjol meliputi:
1. Metafisika
IbnuSina memandang fisika atau metafisika sebagai suatu badan ilmu yang
tidak terbagi.Baginya,fisika merupakan suatu ilmu yang mengamat “yang ada”

6
Ali Mahdi Khan, Dasar-Dasar Filsaat Islam (pengantar ke gerbang pemikiran),
Nuansa:Bandung,2004, hal 135
7
Abdullah Nur ,IBNU SINA, Vol. 6, No.1, April 2009. Hal 4.
sejauh bergera kata nyata. Sedangkan metafisika memandang “yang ada” sejauh
itu ada.
Mengarah untuk mengetahui seluruh kenyataan sejauh dapat dicapai oleh
manusia. Terhadap “yang ada” ini, IbnuSinamengikutijalan Mutakallimin yang
mengadakan pembagian atas segala yang ada ini kepada dua bagian, yaitu “yang
wajib ada” dan “yang mungkin ada”. “yang wajib ada”, adalah zat yang tidak
dapat digambarkan tidak adanya. Sedangkan, yang mungkin ada adalah sesuatu
yang dapat digambarkan adanya. Wajib ada menurut Ibnu Sina terbagi menjadi
dua pula, yaitu ada karena zat-Nya dan yang wajib ada karena yang lainnya.
Wajib ada karena zat-Nya adalah sesuatu yang adanya tidak tergantung dengan
adanya sebab yang lain. Wajib ada karena zat-Nya ini biasanya disebut juga wajib
wujud(Al-Haq); dan Ibnu Sina menamakan Al-Mabdaul awwal atau Al-Awwal.
Dan wajib ada karena yang lainnya adalah sesuatu yang adanya berasal dari
sesuatu yang lain. Hal ini meliputi semua makhluk.

Yang mungkin ada juga dibagi menjadi dua, yaitu “yang mungkin ada
karena zat-Nya” dan “yang mungkin ada karena lainnya”. “Yang mungkin ada
karena zat-Nya” adalah kemungkinan yang bias digambarkan adanya dan tidak
adanya karena tabi’atnya sendiri. Sedangkan “yang mungkin ada karena yang
lainnya” adalah sesuatu yang biasa digambarkan karena yang lainnya bukan
karena zat-Nyasendiri

Jadi kesimpulannya, menurut Ibnu Sina. “yang ada” ini(maujudat) adatiga:

a. Wajib ada karena zat-Nya, Al-Awwal(Allah)


b. Wajib ada karena yang lainnya, ini disebut mungkin ada karena zat-Nya
(meliputi semua makhluk) Mungkin ada karena yang lainnya (anak lahir
karena adanya perkawinan).8
2. Ketuhanan
“Wajib wujud” merupakan sebab awal dari wujud-wujud lain yang
dilimpahkan secara wajib. Jadi, alam adalah hasil abadi dari sebab awal yang
berdampingan dengan sebab awalnya (abadinya). Dunia tidak berpermulaan
dalam waktu, meskipun menurut zatnya menerima permulaan. Karena itu hal-hal
duniawi adalah mungkin, sejauh di pandang dari dirinya sendiri, tetapi juga wajib
wujud sejauh dipandang dari sudut sebab awalnya.9
3. Emanasi
Filsafat emanasi atau al-faidh adalah teori pancaran tentang penciptan alam,
yang mana alam ini maujud karena limpahan dari Yang Maha Esa (The
One).Ibnu Sina sepertinya mengalami kesulitan dalam menjelaskan masalahini,
yaitu bagaimana terjadinya yang banyak (alam) yang bersifat materi berasal dari

8
Harun Nasution, Falsafat dan Misticisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1973),114 .

9
Sunardji Dahri Tiam, Historiografi Filsafat Islam, (Jawa Timur: Intrans Publishing,
2015), 114
Allah yang imateri dan Maha Sempurna. Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah
penciptaan alam, melainkan Ia adalah penggerak pertama (Prime Cause). 10

TeoriemanasiinibukanlahberasalmurnidarihasilrenunganIbnuSina.Tetapibera
saldariNeoplatonisme yang menyatakanbahwaalaminiterjadikarenapancarandari
Yang Esa.KemudianIbnuSinamengambilkaidahfilsafat Plotinus yang
menyatakanbahwa: “ Dari yang satuhanyasatu yang melimpah” (De Boer: 198),
yang kemudiandiislamkanolehIbnuSinabahwa Allah
menciptakanalamsecaraemanasi. Hal inimemungkinkankalamdalam Al-Qur’an
tidakditemukaninformasi yang rincitentangpenciptaanalamdarimateri yang
sudahadaataudaritiada.Dengandemikian, dapatdipahamibahwaTuhanbergerak
(Prime Cause)
daridokrinspekulatiffilsafatYunaniyaknisebagaipenyebabpasifmenjadiTuhanPenci
pta (Shani, Agent) yang aktif. Iamenciptakanalammateri yang
sudahadasecarapancaran.

Adapun proses terjadinyapancarantersebutialahketika Allah memikirkan


(ber-ta’aqqul) terhadapzat-Nya yang menjadiobjekpemikiran-Nya,
makamemancarlah Akal pertama. Dari Akal pertamamemancarlah Akal kedua,
jiwapertama, danlangitpertama.Demikianlahseterusnyasampaikepada Akal
kesepuluh yang sudahlemahdayaciptaan Allah padanya (bukan Allah)
dantidakdapatmenghasilkan Akal sejenisnya,
danhanyamenghasilkanjiwakesepuluh, bumi, roh, materipertama yang
menjadidasarbagikeempatunsurpokok: air, udara, api, dantanah.

Bagi Ibnu Sina akal pertama mempunyai dua sifat: sifat wajib wujudnya
sebagai ciptaan secara pancaran dari Allah dan sifat mungkin wujudnya jika
ditinjau dari hakikat dirinya. Dengan demikian, Ibnu Sina membagi objek
pemikiran akal-akalmenjadi 3: Allah (wajib al-wujud li dzatihi), dirinyaakal-akal
(wajib al-wujud li ghairihi) sebagaipancarandari Allah, dandirinyaakal-akal
(mumkin al-wujud) ditinjaudarihakikatdirinya.
UntuklebihjelasnyadapatdilihattabelemanasiIbnuSinaberikutini.

(subj Allah Dirinyasendiri


ek) sebagaiwajib sebagaiwajibw Dirinyasendirimu
Akal Sifat al- ujud li mkinwujud li Keterangan
yang wujudmengh ghairihi, dzatihi
ke asilkan menghasilkan
wajib al- Jiwa I yang Masing-
I Akal II LangitPertama
wujud menggerakkan masingjiwaberf
Mumkin ungsisebagaipe
Jiwa II yang
II al- Akal III Bintang-bintang nggeraksatu
menggerakkan
wujud planet karena
Jiwa III yang (immateri)
III Sda Akal IV Saturnus
menggerakkan tidakbiaslangsu
IV Sda Akal V Jiwa IV yang Yupiter ngmenggerakka
10
Herwansyah, “PemikiranFilsafatIbnuSina (FilsafatEmanasi, Jiwadan Al-Wujud)”,
Jurnal el-Fikr, Vol.1 No.1, 2017, hlm. 57
menggerakkan
Jiwa V yang
V Sda Akal VI Mars
menggerakkan
JiwaVI yang
VI Sda Akal VII Matahari
menggerakkan
JiwaVII yang
VII Sda Akal VIII Venus njisim (materi)
menggerakkan
JiwaVIII yang
VIII Sda Akal IX Merkurius
menggerakkan
Jiwa IX yang
IX Sda Akal X Bulan
menggerakkan
X Sda - Jiwa X yang Akal X
Bumi, roh,
menggerakkan tidaklagimeman
materipertamayan
carkanakal-
gmenjadidasarkee
akalberikutnyak
mpatunsur (udara,
arenakekuatann
api, air, dantanah)
yasudahlemah
Sejalandenganfilsafatemanasi, alaminikadimkarenadiciptakanoleh Allah
sejakzamanazali.Akan tetapi, tentusajaIbnuSinamembedakanantarakadimnya
Allah danalam.Perbedaan yang
mendasarterletakpadasebabmembuatalamterwujud.Keberadaanalamtidakdiketahu
iolehzaman, makaalamkadimdarisegizaman
(taqaddumzamany).Adapundarisegiesensi, sebagaihasilciptaan Allah
secarapancaran, alaminibaru (hudutsdzaty).Sementaraitu, Allah
adalahtaqaddumdzaty, Iasebabsemua yang adadanIapenciptaalam. Jadi,
alaminibarudankadim, barudarisegiesensidankadimdarisegizaman. 11

4. Mistik
Walaupun Ibnu Sina bukan seorang sufi dan tidak berpengalaman dengannya,
namun ia membentangkan juga asas tasawufnya sesuai dengan seluruh ajarannya.
Ia mengatakan bahwa hasrat jiwa untuk bersatu dengan Tuhan itu bersifat
rasional, bukan termasuk cinta emosional atau paralogis seperti yang ada pada
Al-Hallaj. Jadi, jiwa itu terdorong oleh kekhusukan rindu untuk bersatu kembali
dengan asalnya, naik melalui segala tingkatan wujud yang beredar dalam harmoni
falak abadi sampai menghadap wajah Allah.

Jenjang pertama untuk sampai ke arah puncak itu adalah keinginan untuk
meningkatkan kepribadiannya dan melepaskan diri dari kesibukan fana ini. Ia
menjauhkan diri dari kesenangan dan pergaulan duniawi. Setelah itu, ia harus
mengolah batinnya dengan latihan tertentu yang bertumpu pada tiga tingkatan:

a. Zahid, konsentrasi batin untuk melenyapkan segala kegelisahan jiwa.


b. ‘Abid, disamping mengamalkan amalan yang telah diwajibkan, juga harus
melakukan pula amalan yang tidak diwajibkan (mengosongkan jiwa)

11
Sirajuddinzar, Filsafat Islam, (Jakarta: Rajawali press, 2004), hlm. 102
c. ‘Arif, terus menerus bermediasi tentang hakikat tertinggi, sehingga jiwanya
menjadi cermin kebenaran mutlak.12
5. Jiwa
Aristoteles, Ibnu Sina juga membagi jiwa kepada tiga bagian:

a. Jiwa tumbuh-tumbuhan, dengandaya:


1) Makan
2) Tumbuh, dan
3) Berkembangbiak
b. Jiwa bintang, dengandaya:
1) Bergerak
2) Menangkap, merekam dan menyadap:
a) Dari luar, dengan pancaindra: indra penglihatan, indra pendengaran, indra
pengecap, indra perasa, indra penciuman.
b) Dari dalam, dengan indra-indra dalam antara lain: Segala indra Bersama, yaitu
indra yang menerima segala yang diterima oleh panca indra; Representrasi,
yang meyimpan segala yang diterima oleh indra Bersama; Imajinasi, yang
menyusun apa yang disimpan dalam representasi; Estimasi, yang dapat
menangkap hal-hal yang abstrak, yang terlepas dari materinya; Rekoleksi, yang
menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
3) Jiwa manusia dengan dua daya:
a) Daya praktis, yang hubungannya dengan badan
b) Daya………, yang hubungannya dengan hal-hal abstrak.
Dayainimempunyaiempattingkatan:Akal matrial, yang semata-
matamempunyaipotensiuntukberpikirtetapibelumterlatihwalaupunsedikit; Akal
biasa, yang telahmulaiterlatihuntukberpikirhal-halabstrak,
tetapikemampuannyamasih sedikit; Akal actual, yang telahmampuberpikirhal-
hal abstrak; Akal mustafad, yaituakal yang telahsanggup dan
mampuberpikirtentanghal-hal yang abstrakdengantidakperlu pada dayaupaya
yang lain.13
6. Wahyu dan Nabi
Bagi Ibnu Sina, Nabi tidak ubahnya seperti manusia pada umumnya, hanya
saja oleh Allah dianugerahi akal material yang sangat besar dan kuat, yang oleh
Ibnu Sina diberi nama Al-Hads (intuisi). Daya yang ada pada akal semacam ini
begitu besar, yang walaupun tidak melalui latihan, akal tersebut dengan mudah
mengadakan hubungan degan akal aktif (akal ke-10), sehingga dapat dengan
mudah menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Inilah bentuk akal tertinggi
yang dapat diperoleh manusia, dan hanya terdapat pada diri nabi-nabi. 14
7. Wujud
Bagi Ibnu Sina, wujud adalah sifat paling penting di antara sifat-sifat yang
lainnya, walaupun dari esensi itu sendiri. sebab menurut Ibnu Sina, esensi itu
berada di dalam akal, sedangkan wujud itu berada di luar akal. Jadi, wujud yang
membuat tiap-tiap esensi yang ada dalam akal itu menjadi kenyataan di luar akal.

12
Sunardji Dahri Tiam,...117
13
Sunardji Dahri Tiam,...118-120
14
Sunardji Dahri Tiam,...118-120
Tanpa adanya wujud, esensi tidak besar artinya. Oleh karena itu, wujud lebih
penting dari segala sifat-sifat penting lainnya, termasuk dari esensi. Karena
itulah, Ibnu Sina sering dikatakan sebagai filosof pertama yang memunculkan
filsafat wujudiyah atau eksistensialisme dari filosof-filosof barat lainnya.15

Jika dikombinasikan, esensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi sebagai


berikut:

a. Esensi yang tidak dapat mempunyai wujud, dan hal yang rupa ini disebut
oleh Ibnu Sina ‫ ممتنع‬yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (‫ود‬VV‫ ُع ال ُو ُج‬Vِ‫) ُم ْمتَن‬
imposible bein. Sebagai umpama, adanya sekarang ini juga kosmos lain
samping kosmos yang ada.
b. Esensi yang boleh mempunyai Wujud dan boleh pula tidak mempunyai
wujud. Yang serupa ini disebut () yaitu suatu yang berwujud mungkin tetapi
mungkin pula tidak berwujud (‫) ُم ْم ِكنُ الوجوج‬contingent bein. Contohnya ialah
alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan
hancur menjadi tidak ada. Esensi yang tidak boleh tidak mesti mempunyai
wujud. Esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud. Esensi dan wujud adalah
sama dan satu. Disini esensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan
kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan esensi kedua, tetapi esensi
mesti dan wajib mempunyai wujud selamanya. Yang serupa ini disebut mesti
berwujud (‫ود‬VVVV‫اجبُ الوج‬
ِ ‫ ) َو‬yaitu Tuhan. Wajib al-Wujud inilah yang
mewujudkan mumkin al-Wujud.16

D. Perbandinga pemikiran Imam Al-Ghazali dan Ibnu Sina

n Perbandingan Imam Ghazali Ibnu Sina


o
1 Biografi Lahir di Thus, Khurasan, Iran Nama lengkap Ibnu Sina
pada tahun 450 H, wafat 505 adalah Ali Husein ibn
H. yatim, berasal dari Abdillah ibn Sina. Beliau
keluarga penenun dengan lahir di Afsyana, suatu
ekonomi sederhana. Selama tempat yang terletak di
hidup fokus dengan dekat Bukhara, pada tahun
pengembangan keilmuan dan 980 M/370 H.
berprofesi sebagai pengajar
agama di Nidzam al-Mulk.
2 Gelar dan Syaikh Hujjatul Islam
perjalanan (karena pembelaan yang
intelektual mengagumkan teradap
agama Islam), Imam Ilmu
Tasawuf, peletak dasar
Psikosufistik, bermazhab

15
Sunardji Dahri Tiam,...120
16
Harun Nasution, Falsafat..., 33-34
syafi’I dan mengikuti teologi
al-Asy’ari. Ahli di bidang
Teologi, hukum Islam,
Falsafat, Logika, Sufisme,
dan Ilmu-ilmu alam
3 Pemikiran
a. Penci Menurut filosof sebelumnya Filsafat emanasi atau al-
ptaan alam itu harus ada materi faidh adalah teori pancaran
Alam potensinya, tidak mungkin tentang penciptan alam,
diciptakan dari tiada menjadi yang mana alam ini
ada. Menurut beliau segala maujud karena limpahan
sesuatu itu harus bermuara dari Yang Maha Esa (The
pada Allah, tak ada yang One).Ibnu Sina sepertinya
boleh sejajar dengan Allah. mengalami kesulitan dalam
Karena Allah merupakan menjelaskan masalahini,
Dzat yang Pencipta (al- yaitu bagaimana terjadinya
Khaliq), yaitu yang yang banyak (alam) yang
menciptakan sesuatu dari bersifat materi berasal dari
tiada menjadi ada. Maka Allah yang imateri dan
Allah itu qadim, alam itu Maha Sempurna. Dalam
hadits. filsafat Yunani, Tuhan
bukanlah penciptaan alam,
melainkan Ia adalah
penggerak pertama (Prime
Cause).
b. Peget Menurut al-Ghazali para “Wajib wujud” merupakan
ahuan filosof Muslim itu sebab awal dari wujud-
Allah mempunyai pemahaman wujud lain yang
bahwa Allah hanya dilimpahkan secara wajib.
mengetahui zat-Nya sendiri Jadi, alam adalah hasil
(juz’iyat) dengan alasan alam abadi dari sebab awal yang
ini selalu terjadi perubahan- berdampingan dengan
perubahan, jika Allah sebab awalnya (abadinya).
mengetahui rincian Dunia tidak berpermulaan
perubahan tersebut, hal itu dalam waktu, meskipun
akan membawa perubahan menurut zatnya menerima
pada zat-Nya. Perubahan permulaan. Karena itu hal-
pada obyek ilmu akan hal duniawi adalah
membawa perubahan pada mungkin, sejauh di
yang punya ilmu (bertambah pandang dari dirinya
atau berkurang). Ini mustahil sendiri, tetapi juga wajib
terjadi pada Allah. wujud sejauh dipandang
dari sudut sebab awalnya.
4 Kesimpulan Tiada perbedaan yang signifikan dari kedua pendapat Al-
Ghazali dan Ibnu Sina, tentang penciptaan alam. Hanya
berbeda dalam mengistilahka saja. Kalau Al-Ghazali
berteori segala sesuatu yang ada harus ada materi
potensinya yaitu Allah SWT. Sedangkan Ibnu Sina berteori
Materi potensial itu adalah Allah yang lewat pancaranya
terciptlah alam semesta ini.
E. Daftar Pustaka

Nata, Abuddin.2003. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja


Grafindo

Supriyadi,Dedi. 2009. Pengantar Filsafat Islam. (Bandung : CV Pustaka Setia)


al-Ghazali, Imam, 2016, Tahafut Al-Falasifah, (Bandung:Marja)

Mahdi Khan, Ali. 2004. Dasar-Dasar Filsaat Islam (pengantar ke gerbang


pemikiran), Bandung: Nuansa
Nur , Abdullah. 2009. IBNU SINA. Vol. 6, No.1, April.
Nasution,Harun. 1973. Falsafat dan Misticisme dalam Islam.(Jakarta: Bulan Bintang,)

Dahri Tiam, Sunardji. 2015. Historiografi Filsafat Islam. (Jawa Timur: Intrans
Publishing)

Herwansyah. 2017.Pemikiran Filsafat Ibnu Sina. (FilsafatEmanasi, Jiwadan Al-


Wujud). Jurnal el-Fikr, Vol.1 No.1
Zar,Sirajuddin. 2004. Filsafat Islam.(Jakarta: Rajawali press, 2004)

KETERANGAN;
Tempat : Lampung Timur
Tanggal : 13 Mei 2020

Tanda Tangan:

Anda mungkin juga menyukai