NIM : 1703016035
A. PENDAHULUAN
Salah satu pembendaharaan ilmu dalam Islam adalah Filsafat Islam, ilmu ini
merupakan produk sumbangan pemikiran para filosof muslim, yang berusaha
merekonsilidasikan pemikiran filsafat dengan ajaran Islam yang sarat dengan
muatan-muatan intitusi ilmiah. Para filosof muslim yang corak berfikir
filsafatnya, memang di satu segi terpengaruh oleh cara berfikir para filosof
Yunani (khususnya), namun demikian, mereka tidak begitu saja menerima
pemikiran filsafat para filosof Yunani tersebut. Untuk itu, mereka secara intens
berupaya menyelaraskan antara agama dengan logika wahyu dan filsafat dengan
logika rasio. Perpaduan antara “bahasa langit” dengan “bahasa bumi” ini telah
dikenal dengan sedemikian rupa, sehingga membentuk seperangkat ilmu dengan
metode logisnya yang khas pada masa perkembangan pemikiran rasional dalam
Islam.
Makalah ini aka membahas tentang perbandingan pemikiran Imam Ghazali
dan Ibnu Sina tentang teori penciptaan Alam.
1. Biografi al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-
Ghazali, dilahirkan di Thus sebuah kota di khurasan persia, pada tahun 450 H
atau 1058 M. Ayahnya seorang pemintal wool, yang selalu memintal dan
menjualnya sendiri di kota itu. Imam al-Ghazali sejak kecil dikenal sebagai
seorang anak pecinta ilmu dan selalu ingin mencari kebenaran yang hakiki. Di
masa kanak - kanak Imam al-Ghazali belajar kepada Ahmad bin Muhammad bin
Ar-radzikani di Thus kemudian belajar kepada Abi Nasr al-Ismaili di Jurjani dan
kembali lagi ke Thus. Setelah itu Imam al-Ghazali pindah ke Nisabur untuk
belajar kepada seorang ahli agama kenamaan di masanya, yaitu al-Juwaini, Imam
al-Haramain, dari beliau ia belajar ilmu kalam, ilmu ushul dan ilmu pengetahuan
agama lainnya. Keikutsertaan Ghazali dalam suatu diskusi bersama sekelompok
ulama dan para intelektual dihadapan nidzam al-mulk dan dimenangkan olehnya,
sehingga Nidzam al-mulk kagum dan mengangkatnya sebagah guru besar di
universitas di baghdad pada tahun 484 H atau 1091 M.
Di tengah-tengah kesibukannya di Baghdad beliau masih sempat mengarang
sejumlah kitab seperti: al-Basith, al-Wajiz, al-Wasith, dan masih banyak lagi.
Beliau juga belajar ilmu pengetahuan dan filsafat klasik serta mempelajari
berbagai aliran agama yang beraneka ragam yang dikenal pada waktu itu. Empat
tahun beliau memutuskan untuk berhenti mengajar di Baghdad dan meninggalkan
kota tersebut untuk melaksanakan ibadah haji. Setelah itu beliau menuju Syam,
hidup dalam Jami' umawy dengan kehidupan penuh ibadah. Demikianlah Imam
Ghazali mempersiapkan dirinya dengan persiapan agama yang benar dan
mensucikan jiwanya dari noda-noda keduniaan, sehingga beliau menjadi seorang
filosof ahli tasawuf pertama kali dan seorang pembela agama Islam yang besar
serta salah seorang pemimpin yang menonjol di zamannya. 1
Dari uraian di atas, dapat diketahui dengan jelas bahwa Al Ghazali tergolong
ulama yang taat berpegang pada Alquran, al-sunnah, taat menjalankan agama dan
menghias dirinya dengan tasawuf. Ia banyak mempelajari berbagai pengetahuan
umum seperti arti ilmu kalam, filsafat, fiqih, tasawuf dan sebagainya, namun
pada akhirnya ia lebih tertarik pada fiqih dan tasawuf.
2. Pemikiran al-Ghazali
Menurut Al-Ghazali, “Akal bagaikan penglihatan sehat, sedangkan Al-
Qur’an bagaikan matahari yang menerbitkan sinarnya. Satu sama lain saling
membutuhkan, kecuali orang-orang bodoh, yakni orang yang mengabaikan akal
dan mencukupkan diri dengan Al-Qur’an. Mereka bagaikan orang yang melihat
cahaya matahari dengan menutup kelopak mata. Tidak ada bedanya antara orang
seperti ini dengan orang buta.” Dengan demikian, menurut Al-Ghazali, akal tidak
mungkin menetapkan suatu kebenaran yang dinafikan syara’ dan syara’ tidak
akan membawa suatu keyakinan yang tidak dapat diterima oleh akal. 2 Al-Ghazali
memandang bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu baik yang besar maupun
yang kecil. Al-Ghazali mengilustrasikan dengan “seumpama ada seorang yang
berdiri disebelah kanan anda kemudian ia berpindah kesebelah kiri anda, lalu
kedepan atau kebelakang, maka yang berpindah adalah orang gtersebut bukan
anda”. Mestinya seperti ini kita memahami perihal pengetahuan Tuhan. Tuhan
mengetahui segala sesuatu dengan pengetahuan tunggal sejak azali hingga abadi
dan tidak berubah keadan-Nya.3
Al- Ghazali mengatakan bhawa alam adalah hadist, dan Tuhanlah yang
Qadim. Menurut Al-Ghazali menganggap pandangan bahwa alam dan Tuhan itu
qadim seperti itu jelas sekali mustahil, karena seuatu yang temporal adalah
akibat. Sebagaimana sesuatu yang temporal mustahil ada tanpa sebab atau
pencipta, maka mustahil pula ada sebab yang tidak bisa menghasilkan akibat
pada saat semua persyaratan dan faktor yang diperlukan telah terpenuhi untuk
mewujudkan suatu hubungan sebab akibat. Bahkan keberadaan akibat merupakan
keniscayaan, dan penangguhannya merupakan kemustahilan ketika semua syarat
dan kondisi sebab terpenuhi. Ketiadaan akibat seperti ini sama mustahilnya
dengan keberadaan akibat yang temporal tanpa keberadaan sebab. 4
Karya Al-Ghazali diperkirakan 300 buah, namun disini hanya beberapa saja
yag dapat di sebutkan :
5
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam…, hlm 157-158.
n. Mahak Al-Nazar.6
6
Ali Mahdi Khan, Dasar-Dasar Filsaat Islam (pengantar ke gerbang pemikiran),
Nuansa:Bandung,2004, hal 135
7
Abdullah Nur ,IBNU SINA, Vol. 6, No.1, April 2009. Hal 4.
sejauh bergera kata nyata. Sedangkan metafisika memandang “yang ada” sejauh
itu ada.
Mengarah untuk mengetahui seluruh kenyataan sejauh dapat dicapai oleh
manusia. Terhadap “yang ada” ini, IbnuSinamengikutijalan Mutakallimin yang
mengadakan pembagian atas segala yang ada ini kepada dua bagian, yaitu “yang
wajib ada” dan “yang mungkin ada”. “yang wajib ada”, adalah zat yang tidak
dapat digambarkan tidak adanya. Sedangkan, yang mungkin ada adalah sesuatu
yang dapat digambarkan adanya. Wajib ada menurut Ibnu Sina terbagi menjadi
dua pula, yaitu ada karena zat-Nya dan yang wajib ada karena yang lainnya.
Wajib ada karena zat-Nya adalah sesuatu yang adanya tidak tergantung dengan
adanya sebab yang lain. Wajib ada karena zat-Nya ini biasanya disebut juga wajib
wujud(Al-Haq); dan Ibnu Sina menamakan Al-Mabdaul awwal atau Al-Awwal.
Dan wajib ada karena yang lainnya adalah sesuatu yang adanya berasal dari
sesuatu yang lain. Hal ini meliputi semua makhluk.
Yang mungkin ada juga dibagi menjadi dua, yaitu “yang mungkin ada
karena zat-Nya” dan “yang mungkin ada karena lainnya”. “Yang mungkin ada
karena zat-Nya” adalah kemungkinan yang bias digambarkan adanya dan tidak
adanya karena tabi’atnya sendiri. Sedangkan “yang mungkin ada karena yang
lainnya” adalah sesuatu yang biasa digambarkan karena yang lainnya bukan
karena zat-Nyasendiri
8
Harun Nasution, Falsafat dan Misticisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1973),114 .
9
Sunardji Dahri Tiam, Historiografi Filsafat Islam, (Jawa Timur: Intrans Publishing,
2015), 114
Allah yang imateri dan Maha Sempurna. Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah
penciptaan alam, melainkan Ia adalah penggerak pertama (Prime Cause). 10
TeoriemanasiinibukanlahberasalmurnidarihasilrenunganIbnuSina.Tetapibera
saldariNeoplatonisme yang menyatakanbahwaalaminiterjadikarenapancarandari
Yang Esa.KemudianIbnuSinamengambilkaidahfilsafat Plotinus yang
menyatakanbahwa: “ Dari yang satuhanyasatu yang melimpah” (De Boer: 198),
yang kemudiandiislamkanolehIbnuSinabahwa Allah
menciptakanalamsecaraemanasi. Hal inimemungkinkankalamdalam Al-Qur’an
tidakditemukaninformasi yang rincitentangpenciptaanalamdarimateri yang
sudahadaataudaritiada.Dengandemikian, dapatdipahamibahwaTuhanbergerak
(Prime Cause)
daridokrinspekulatiffilsafatYunaniyaknisebagaipenyebabpasifmenjadiTuhanPenci
pta (Shani, Agent) yang aktif. Iamenciptakanalammateri yang
sudahadasecarapancaran.
Bagi Ibnu Sina akal pertama mempunyai dua sifat: sifat wajib wujudnya
sebagai ciptaan secara pancaran dari Allah dan sifat mungkin wujudnya jika
ditinjau dari hakikat dirinya. Dengan demikian, Ibnu Sina membagi objek
pemikiran akal-akalmenjadi 3: Allah (wajib al-wujud li dzatihi), dirinyaakal-akal
(wajib al-wujud li ghairihi) sebagaipancarandari Allah, dandirinyaakal-akal
(mumkin al-wujud) ditinjaudarihakikatdirinya.
UntuklebihjelasnyadapatdilihattabelemanasiIbnuSinaberikutini.
4. Mistik
Walaupun Ibnu Sina bukan seorang sufi dan tidak berpengalaman dengannya,
namun ia membentangkan juga asas tasawufnya sesuai dengan seluruh ajarannya.
Ia mengatakan bahwa hasrat jiwa untuk bersatu dengan Tuhan itu bersifat
rasional, bukan termasuk cinta emosional atau paralogis seperti yang ada pada
Al-Hallaj. Jadi, jiwa itu terdorong oleh kekhusukan rindu untuk bersatu kembali
dengan asalnya, naik melalui segala tingkatan wujud yang beredar dalam harmoni
falak abadi sampai menghadap wajah Allah.
Jenjang pertama untuk sampai ke arah puncak itu adalah keinginan untuk
meningkatkan kepribadiannya dan melepaskan diri dari kesibukan fana ini. Ia
menjauhkan diri dari kesenangan dan pergaulan duniawi. Setelah itu, ia harus
mengolah batinnya dengan latihan tertentu yang bertumpu pada tiga tingkatan:
11
Sirajuddinzar, Filsafat Islam, (Jakarta: Rajawali press, 2004), hlm. 102
c. ‘Arif, terus menerus bermediasi tentang hakikat tertinggi, sehingga jiwanya
menjadi cermin kebenaran mutlak.12
5. Jiwa
Aristoteles, Ibnu Sina juga membagi jiwa kepada tiga bagian:
12
Sunardji Dahri Tiam,...117
13
Sunardji Dahri Tiam,...118-120
14
Sunardji Dahri Tiam,...118-120
Tanpa adanya wujud, esensi tidak besar artinya. Oleh karena itu, wujud lebih
penting dari segala sifat-sifat penting lainnya, termasuk dari esensi. Karena
itulah, Ibnu Sina sering dikatakan sebagai filosof pertama yang memunculkan
filsafat wujudiyah atau eksistensialisme dari filosof-filosof barat lainnya.15
a. Esensi yang tidak dapat mempunyai wujud, dan hal yang rupa ini disebut
oleh Ibnu Sina ممتنعyaitu sesuatu yang mustahil berwujud (ودVV ُع ال ُو ُجVِ) ُم ْمتَن
imposible bein. Sebagai umpama, adanya sekarang ini juga kosmos lain
samping kosmos yang ada.
b. Esensi yang boleh mempunyai Wujud dan boleh pula tidak mempunyai
wujud. Yang serupa ini disebut () yaitu suatu yang berwujud mungkin tetapi
mungkin pula tidak berwujud () ُم ْم ِكنُ الوجوجcontingent bein. Contohnya ialah
alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan
hancur menjadi tidak ada. Esensi yang tidak boleh tidak mesti mempunyai
wujud. Esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud. Esensi dan wujud adalah
sama dan satu. Disini esensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan
kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan esensi kedua, tetapi esensi
mesti dan wajib mempunyai wujud selamanya. Yang serupa ini disebut mesti
berwujud (ودVVVVاجبُ الوج
ِ ) َوyaitu Tuhan. Wajib al-Wujud inilah yang
mewujudkan mumkin al-Wujud.16
15
Sunardji Dahri Tiam,...120
16
Harun Nasution, Falsafat..., 33-34
syafi’I dan mengikuti teologi
al-Asy’ari. Ahli di bidang
Teologi, hukum Islam,
Falsafat, Logika, Sufisme,
dan Ilmu-ilmu alam
3 Pemikiran
a. Penci Menurut filosof sebelumnya Filsafat emanasi atau al-
ptaan alam itu harus ada materi faidh adalah teori pancaran
Alam potensinya, tidak mungkin tentang penciptan alam,
diciptakan dari tiada menjadi yang mana alam ini
ada. Menurut beliau segala maujud karena limpahan
sesuatu itu harus bermuara dari Yang Maha Esa (The
pada Allah, tak ada yang One).Ibnu Sina sepertinya
boleh sejajar dengan Allah. mengalami kesulitan dalam
Karena Allah merupakan menjelaskan masalahini,
Dzat yang Pencipta (al- yaitu bagaimana terjadinya
Khaliq), yaitu yang yang banyak (alam) yang
menciptakan sesuatu dari bersifat materi berasal dari
tiada menjadi ada. Maka Allah yang imateri dan
Allah itu qadim, alam itu Maha Sempurna. Dalam
hadits. filsafat Yunani, Tuhan
bukanlah penciptaan alam,
melainkan Ia adalah
penggerak pertama (Prime
Cause).
b. Peget Menurut al-Ghazali para “Wajib wujud” merupakan
ahuan filosof Muslim itu sebab awal dari wujud-
Allah mempunyai pemahaman wujud lain yang
bahwa Allah hanya dilimpahkan secara wajib.
mengetahui zat-Nya sendiri Jadi, alam adalah hasil
(juz’iyat) dengan alasan alam abadi dari sebab awal yang
ini selalu terjadi perubahan- berdampingan dengan
perubahan, jika Allah sebab awalnya (abadinya).
mengetahui rincian Dunia tidak berpermulaan
perubahan tersebut, hal itu dalam waktu, meskipun
akan membawa perubahan menurut zatnya menerima
pada zat-Nya. Perubahan permulaan. Karena itu hal-
pada obyek ilmu akan hal duniawi adalah
membawa perubahan pada mungkin, sejauh di
yang punya ilmu (bertambah pandang dari dirinya
atau berkurang). Ini mustahil sendiri, tetapi juga wajib
terjadi pada Allah. wujud sejauh dipandang
dari sudut sebab awalnya.
4 Kesimpulan Tiada perbedaan yang signifikan dari kedua pendapat Al-
Ghazali dan Ibnu Sina, tentang penciptaan alam. Hanya
berbeda dalam mengistilahka saja. Kalau Al-Ghazali
berteori segala sesuatu yang ada harus ada materi
potensinya yaitu Allah SWT. Sedangkan Ibnu Sina berteori
Materi potensial itu adalah Allah yang lewat pancaranya
terciptlah alam semesta ini.
E. Daftar Pustaka
Dahri Tiam, Sunardji. 2015. Historiografi Filsafat Islam. (Jawa Timur: Intrans
Publishing)
KETERANGAN;
Tempat : Lampung Timur
Tanggal : 13 Mei 2020
Tanda Tangan: