Anda di halaman 1dari 6

Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam Al-ghozali

Oleh: 1. Siti Mahabatul Mawadah


2. Siti Kartika
3. Yuda Ari Prasetyo

A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan komponen penting dalam kehidupan. Hal ini menjadi
pembahasan para ulama tak terkecuali Imam al-Ghazali. Untuk itu, penelitian ini
membahas pendidikan Islam dalam perspektif al-Ghazali. Hasil penelitian ini adalah
bahwa pendidikan menurut Al Ghazali menekankan pada pendidikan agama dan akhlak.
Menurutnya pengertian dan tujuan pendidikan Islam yaitu pendidikan yang berupaya dan
bertujuan dalam proses pembentukan insan paripurna. Adapun dalam membuat sebuah
kurikulum, Al Ghazali memiliki dua kecenderungan, yaitu kecenderungan terhadap
agama dan kecenderungan pragmatis. Adapun aspek-aspek materi pendidikan Islam
menurut pemikiran Al Ghazali adalah meliputi: pendidikan keimanan, akhlak, akal,
sosial dan jasmani. Menurutnya guru yang baik itu selain cerdas dan sempurna akalnya,
juga harus memiliki sifat-sifat yang terpuji. Adapun sifat yang harus dimiliki oleh
seorang murid yaitu rendah hati, mensucikan diri dari segala keburukan taat dan
istiqamah. Sementara yang menjadi evaluasi pendidikan adalah semua bentuk aktifitas
yang terkait dengan tugas tanggung jawabnya masing-masing dalam proses pendidikan.

Kata Kunci: Pendidikan Islam, Akhlak, Al-Ghazali

B. Pembahasan
1. RIWAYAT HIDUP AL-GHAZALI
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al- Ghazali adalah nama
lengkap dari Imam al-Ghazali (Abudin, 2005:209). Lahir pada tahun 450 H/1058 M di
Thus, Khurasan,(Wahid et al., 2018) suatu tempat kira-kira sepuluh mil dari Naizabur,
Persia. (Al- Ghazali,2003:24)
Ayahnya seorang pemintal wol yang buta huruf dan miskin, tetapi beliau
memperhatikan masalah pendidikan anaknya. Sebelum meninggal,ia mewasiatkan
kepada sahabatnya yang sufiagar memberikan pendidikan kepada kedua anaknya,
Ahmad dan al- Ghazali. (Abudin, 2003:82)
Ada sebuah kisah, dimasa al-Ghazali menuntut ilmu ketika dalam perjalanan pulang
bersama-sama temannya, ia mengalami sebuah peristiwa perampokan dimana seluruh
barang bawaanya diambil oleh perampok, dimana didalam tasnya berisi buku dan
catatan ilmu yang ia bernilai baginya. Kemudia al-Ghazali meminta perampok untuk
mengembalikan buku dan catatannya itu tetapi,perampok tidak memberikannya malah
mengejek al-Ghazali dengan mengatakan ilmunya hanya tergantung pada beberapa
helai kerta. Atas peristiwa itu membuat al-Ghazali memotivasikan dirinya untuk
menajamkan ingatannya dengan menghafal semua catatan ilmunya. Hal inilah yang
kemudia mendorong kemajuannya dalam pendidikan
Abudin (2005:209) mengemukakan Al-Ghazali memulai pendidikannya diwilayah
Tus mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Selanjutnya ia pergi ke Nisyafur dan
Khurasan yang pada waktu itu merupakan kota pusat ilmu pengetahuan terpenting di
dunia Islam.dikota tersebutlah al-Ghazali berguru dengan al-Juwainy ( w. 478
H/1085M), seorang ulama yang bermazhab Syafi’I yang pada saat itu menjadi guru
besar di Nisyafur (Naisabur). Kepada al- Juwainy (Imam al-Harmain) ia belajar ilmu
kalam, ilmu ushul, mdzhab figh, retorika, tasauf dan filsafat. Setelah wafatnya al-
Juwainy al-Ghazali sangat sedih dan membuatnya berpindah ke istana Nidzam al-
Muluk yaituperdana mentri Khalifah Bani Saljuk. Tempat berkumpul para ulama
ternama(Nurmayuli, 2017)

2. Karya karyaal ghazali


Al-Ghazali banyak mengarang buku dalam berbagai disiplin ilmu. Karangan-
karangannya meliputi Fikih, Ushul Fikih, Ilmu Kalam, Teologi Kaum Salaf, bantahan
terhadap kaum Batiniah, Ilmu Debat, Filsafat dan khususnya yang menjelaskan
tentang maksud filsafat serta bantahan terhadap kaum filosof, logika, tasawuf, akhlak
dan psikologi. Banyak perbedaan pendapat tentang jumlah karya al-Ghazali.
Dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin terjemahan Ismail Yakub Karya Al- Ghazali
diperkirakan mencapai 100 buah (Al-Ghazali,2003:24),
Ali al- Jumbulati(2002:133) menyebutkan karya al-Ghazali sebanyak 70 buah,
sementara menurut Abdurrahman Badawi dalam bukunya Muallafah Al-Ghozali
menyebutkan karya al-Ghozali mencapai 457 judul.
Al- Washiti dalam al-Thobaqot al-‘Aliyah fi Manaqib al- Syafi’iyah menyebutkan 98
judul buku. Musthofa Ghollab menyebut angka 228 judul buku.
Al-Subki (2006:42) dalam al-Thobaqot a- Syafi’iyah menyebut 58 judul buku.
Thasy Kubro Zadah dalam Miftah al-Sa’adah wa Misbah al-Siyadah menyebut angka
80 judul.
Michael Allard (2006:43), seorang orientalis barat, menyebutkan angka 404 judul.
Sedangkan Fakhruddin al-Zirikli dalam al-‘A’lam menyebut kurang lebih 200 judul
buku
Ihya ‘Ulumuddin (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama) merupakan kitab terbesar karya
Al-Ghazali dimana, karangannya ini beberapa tahun dipelajari secara seksama di
antara Syam, Yerussalem, Hajaz, dan Thus.
Karyanya berisi paduan yang indahantara fikih, tasawuf dan filsafat bukan saja
terkenal di kalangan kaum Muslimin tetapi juga di kalangan dunia Barat. berikut
sebagian kecil karya-karya Al-Ghazali yang diambil dari berbagai sumber sebagai
berikut:
Di Bidang filsafat

➢ Maqasid al-Falasifah (Tujuan-tujuan Para Filsuf), filsafat sebagai karangannya


yang
pertama dan berisi masalah-masalah filsafat.
➢ Tafahut al-Falasifah (Kekacauan Pikiran Para Filsuf), buku ini dikarang sewaktu
Beliau berada di Baghdad tatkala jiwanya dilanda keragu-raguan. Dalam buku ini,
Al-Ghazali mengecam filsafat dan para filsuf dengan keras.
➢ Al-Ma’rif al-‘Aqliyah (Pengetahuan Yang Rasional).
➢ Mi’yar al-‘Ilm (Kriteria Ilmu-ilmu).

Di bidang agama
Ihya ‘Ulumuddin (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama), buku ini merupakan
karyanya yang terbesar yang dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan
berpindah-pindah antara Damaskus, Yerussalem, Hijaz, dan Thus yang berisi paduan
antara fikih, tasawuf, dan filsafat.

➢ Al-Munqidz min al-Dhalal (Penyelamat DariKesesatan), buku ini merupakan


sejarah perkembangan alam pikiran Al-Ghazali sendiri dan merefleksikan sikapnya
terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai Tuhan.
➢ Minhaj al-Abidin (Jalan Mengabdikan Diri Kepada Tuhan).
➢ Al-Iqtishad fi al-‘Itiqad (Moderasi Dalam Akidah).
➢ Mizan al-‘Amal.
➢ Iljam al-‘Awwam ‘an ‘Ilm al-Kalam.

Di bidang ahlak tasawuf


➢ Mizan al-Amal
➢ Kitab al-Arbain
➢ Mishkat al-anwar (Lampu Yang Bersinar Banyak), buku ini berisi pembahasan
tentang akhlak dan tasawuf.
➢ Al-Adab fi al-Din
➢ Ar-Risalah al-Laduniyah

Bidangkenegaraan
➢ Mustazhiri
➢ Sirr al-Alamin
➢ Nasihat al-Muluk
➢ Suluk al-Sulthanah
➢ Mahakk al-Nazhar

Bidang fiqh dan ushul


Al-Basith fi al-Furu’ ‘ala Nihayah al-Mathlab li Imam al-Haramain
Fiqh
➢ Al- Wasith al-Muhith bi Iqthar al-Basith
➢ Al-Wajiz fi- al- Furu’
➢ Asror al-Hajj, dalam Fiqh as-Syafi’i
➢ Al-Musthofa fi ‘Ilm al Ushul
➢ Al-Mankhul fi ‘Ilm al-Ushul

Bidang tafsir
➢ Jawahir al-Qur’an
➢ Yaqut al-Ta’wil fi Tafsir al-Tanzil

Bidang aqidah
➢ Al-iqtishad fi al-I’tiqod, terbit di Mesir
➢ Al-ajwibah al-Ghozaliyah fi al-Masail Ukhrowiyah
➢ Iljamul al-Awam ‘an ‘Ilm al-Kalam al-
➢ Al-Risalah al-Qudsiyah fi-Qowaid al-‘Aqoid
➢ ‘Aqidah al-Sunnah
➢ Fadhoih al-Bathiniyah Mustadzoriyah wa Fadhoil al-
➢ Faishol al-Tafriqoh bain al-Islam wa al-Zindiqoh
➢ Al-Qisthosu al-Mustaqim
➢ Kimiyah al-Sa’adah
➢ Al-Maqshid al-Tsana fi Ma’ani Asma’ Allah al- Husna
➢ Al-Qoul al-Jamil fi al-Radd ‘ala Man Ghoyyar al- Injil(Nurmayuli, 2017)

3. Pengertian Pendidikan Islam Menurut Al Ghazali


pendidikan Islam yaitu pendidikan yang berupaya dalam pembentukan insan
paripurna, baik di dunia maupun di akhirat. Menurut Al Ghazali pula manusia dapat
mencapai kesempurnaan apabila mau berusaha mencari ilmu dan selanjutnya mengamalkan
fadhilah melalui ilmu pengetahuan yang dipelajarinya. Fadhilah ini selanjutnya dapat
membawanya untuk dekat kepada Allah dan akhirnya membahagiakannya hidup di dunia
dan akhirat.(Kinasih Cut Delpasya et al., 2022)

Bagi Al Ghazali, ilmu adalah medium untuk taqarrub kepada Allah, dimana tak ada
satu pun manusia bisa sampai kepada-Nya tanpa ilmu. Tingkat termulia bagiseorang
manusia adalah kebahagiaan yang abadi. Di antara wujud yang paling utamaadalah wujud
yang menjadi perantara kebahagiaan, tetapi kebahagiaan itu tidak mungkin tercapai kecuali
dengan ilmu dan amal, dan amal tak mungkin dicapai kecuali jika ilmu tentang cara beramal
dikuasai. Dengan demikian, modal kebahagiaan di dunia dan akhirat itu, tak lain adalah
ilmu. Maka dari itu, dapat disebut ilmu adalah amal yang terutama.

Proses pendidikan pada intinya merupakan interaksi antara pendidik (guru) dan
peserta didik (murid) untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Dalam konteks umum tujuan pendidikan tersebut antara lain mentrasmisikan pengalaman
dari generasi ke generasi berikutnya. Pendidikan menekankan pengalaman dari seluruh
masyarakat, bukan hanya pengalaman pribadi perorangan. Definisi ini sejalan dengan
pendapat Jhon Dewey yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan
organisasipengalaman hidup, pembentukan kembali pengalaman hidup, dan juga
pembahasan pengalaman hidup sendiri. Sedangkan dalam konteks Islam pendidikan dapat
diartikan sebagai proses persiapan generasi muda untuk generasi peranan, memindahkan
pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal
di dunia danmemetik hasilnya di akhirat.

Jadi pendidikan Islam menurut Al Ghazali merupakan pendidikan yang ingin menjadikan
manusia menjadi insan yang paripura yang nantinya akan mencapai hidup bahagia di dunia dan
akhirat dengan bertaqarrub kepada Allah melalui ilmu yang sudah dia dapatkan lewat proses
pendidikan.
Konsep Pendidikan Al-Ghazali
Untuk mengetahui konsep pendidikan Al-Ghazali ini dapat diketahui antara lain dengan cara
mengetahui dan memahami pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang ber-kait
(Rosadi et al., 2021)an dengan pendidikan, yaitu aspek tujuan pendidikan, kurikulum, metode, etika
guru dan etika murid berikut ini. Tujuan Pendidikan Rumusan tujuan pendidikan pada hakikatnya
merupakan rumusan filsafat atau pemikiran yang mendalam tentang pendidikan.
Seseorang baru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan, jika ia memahami secara benar filsafat yang
mendasarinya. Rumusan tujuan ini selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, guru dan
lainnya yang berkaitan dengan pendidikan.
Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas, bahwa tujuan akhir yang
ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan ada dua. Pertama, tercapainya kesempurnaan insani yang
bermuara pada pendekatan diri kepada Allah, dan kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Karena itu ia bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran-sasaran yang
merupakan tujuan akhir dan maksud pendidikan itu,duniawi. Pendidikan Islam itu secara umum
mempunyai corak yang spesifik, yaitu adanya cap (stempel) agama dan etika yang kelihatan nyata
pada sasaran-sasaran dan sarananya, dengan tidak menga baikan masalah-masalah keduniaan.
Dan pendapat Al-Ghazali ten tang pendidikan pada umumnya sejalan dengan trend- trend agama dan
etika.
Al-Ghazali juga tidak melupakan masalah-masalah duniawi, karenanya ia beri ruang dalam sistem
pendidikannya bagi perkembangan duniawi.
Tetapi dalam pandangannya, mempersiapkan diri untuk masalah- masalah dunia itu hanya
dimaksudkan sebagai jalan menuju kebahagiaan hidup di alam akhirat yang lebih utama dan kekal.
Dunia adalah alat perkebunan untuk kehidupan akhirat, sebagai alat yang akan mengantarkan
seseorang menemui Tuhannya. Ini tentunya bagi yang memandangnya sebagai alat dan tempat tinggal
sementara, bukan bagi orang yang memandangnya sebagai tempat untuk selamanya.
Akan tetapi pendapat Al-Ghazali tersebut, di samping bercorak agamis yang merupakan ciri spesifik
pendidikan Islam, tampak pula cenderung kepada sisi keruhanian.
Dan kecenderungan tersebut menurut keadaannya yang sebenarnya, sejalan dengan filsafat al-Ghazali
yang bercorak Tasawuf.
Maka sasaran pendidikan, menurut Al-Ghazali, adalah kesempurnaan insani di dunia dan akhirat. Dan
manusia akan sampai kepada tingkat kesempurnaan itu hanya dengan menguasai sifat keutamaan
melalui jalur ilmu. Keutamaan itulah yang akan membuat dia bahagia di dunia dan mendekatkan dia
kepada Allah SWT. sehingga ia menjadi bahagia di akhirat kelak.

Kurikulum
Konsep kurikulum yang dikemukakan Al-Ghazali terkait erat dengan konsepnya mengenai ilmu
pengetahuan. Dalam pandangan Al-Ghazali ilmu terbagi kepada tiga bagian, sebagai berikut.

Pertama, ilmu-ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu- ilmu yang tidak ada
manfaatnya, baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu sihir, ilmu nujum dan ilmu ramalan. Al-
Ghazali menilai ilmu tersebut tercela karena ilmu-ilmu tersebut terkadang dapat menimbulkan
mudharat (kesusahan) baik bagi yang memilikinya, maupun bagi orang lain. Ilmu sihir dan ilmu guna-
guna misalnya dapat mencelakakan orang, dan dapat memisahkan antara sesama manusia yang
bersahabat atau saling mencintai, menyebarkan rasa sakit hati, permusuhan, menimbulkan kejahatan
dan sebagainya. Selanjutnya ilmu nujum yang tergolong ilmu yang tidak tercela ini menurut Al-
Ghazali dapat dibagi dua, yaitu ilmu nujum yang berdasarkan perhitungan (hisab), dan ilmu nujum
yang berdasarkan istidlaly, yaitu semacam astrologi dan meramal nasib berdasarkan petunjuk bintang.
Ilmu nujum jenis kedua ini menurut Al-Ghazali tercela menurut syara’, sebab dengan ilmu itu dapat
menyebabkan manusia menjadi ragu pada Allah, lalu menjadi kafir.
Kedua, ilmu-ilmu yang terpuji baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu yang erat kaitannya dengan
peribadatan dan macam-macamnya, seperti ilmu yang berkaitan dengan kebersihan diri dari cacat dan
dosa serta ilmu yang dapat menjadi bekal bagi seseorang untuk mengetahui yang baik dan
melaksanakannya, ilmu-ilmu yang mengajarkan manusia tentang cara-cara mendekatkan diri kepada
Allah dan melakukan sesuatu yang diridlai-Nya, serta dapat membekali hidupnya di akhirat.

Terhadap ilmu model kedua Al-Ghazali membaginya kepada dua bagian.


Pertama, wajib ‘aini dan wajib kifayah. Selanjutnya al-Ghazali mengatakan bahwa di antara para
ulama masih terdapat perbedaan pendapat mengenai ilmu yang tergolong wajib ini. Ada yang
mengatakan, bahwa ilmu yang wajib dipelajari itu adalah me ngenai zat dan sifat-sifat-Nya. Yang lain
lagi mengatakan bahwa ilmu yang wajib itu adalah ilmu fiqih, sebab dengan ilmu ini seseorang akan
mengetahui masalah ibadah, mengenai yang halal dan haram, baik yang menyangkut tingkah-laku
secara umum, ataupun yang menyangkut bidang mu’amalah. Sementara itu yang lain meman-dang
bahwa ilmu yang wajib itu adalah ilmu al-Qur’an dan As-Sun-nah, karena dengan mengetahui al-
Qur’an dan As-Sunnah tersebut seseorang dapat mengenai agama dengan baik, dan dapat semakin
dekat kepada Tuhan. Sementara Al-Ghazali sendiri memandang bahwa ilmu-ilmu yang yajib ‘aini
bagi setiap Muslim itu adalah ilmu-ilmu agama dengan segala jenisnya, mulai dari kitab Allah, ibadat
yang pokok seperti shalat, puasa, zakat dan sebagainya. Bagi Al-Ghazali, ilmu yang wajib ‘aini itu
adalah ilmu tentang cara mengamalkan amalan yang wajib. Jadi siapa yang mengetahui ilmu yang
wajib itu, maka ia akan mengetahui kapan waktu wajibnya. Sedangkan ilmu-ilmu yang termasuk
fardlu kifayah adalah semua ilmu yang mungkin diabaikan untuk kelancaran semua urusan, seperti
ilmu kedokteran yang menyangkut keselamatan tubuh atau ilmu hitung yang sangat diperlukan dalam
hubungan mu’amalah,
kedua, ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu, atau sedikit, dan tercela jika dipelajarinya secara
mendalam, karena dengan mempelajarinya secara mendalam itu dapat menyebabkan terjadinya
kekacauan dan kesemrawutan antara keyakinan dan keraguan, serta dapat pula membawa kepada
kekafiran, seperti ilmu filsafat. Mengenai ilmu filsafat dibagi oleh Al-Ghazali menjadi ilmu
matematika, ilmu-ilmu logika, ilmu Ilahiyat, ilmu fisika, ilmu politik dan ilmu etika.
Metode Pengajaran
Perhatian Al-Ghazali dalam bidang metode ini lebih ditujukan pada metode khusus bagi pengajaran
agama untuk anak-anak. Untuk ini ia telah mencontohkan sebuah metode keteladanan bagi mental
anak-anak, pembinaan budi pekerti dan penanaman sifat-sifat keutamaan pada diri mereka.
Perhatian Al-Ghazali akan pendidikan agama dan moral ini sejalan dengan kecenderungan
pendidikannya secara umum, yaitu prinsip-prinsip yang berkaitan secara khusus dengan sifat yang
harus dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini mendapatkan perhatian
khusus dari Al-Ghazali, karena berdasar pada prinsipnya yang mengatakan bahwa pendidikan adalah
sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara dua pribadi, yaitu guru dan murid. Dengan
demikian faktor keteladanan yang utama menjadi bagian dari metode pengajaran yang amat penting
(Chodijah, 2011)

C.Simpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan menurut Al Ghazali menekankan pada
pendidikan agama dan akhlak. Menurutnya pengertian dan tujuan pendidikan Islam yaitu pendidikan
yang berupaya dan bertujuan dalam proses pembentukan insan paripurna. Adapun dalam membuat
sebuah kurikulum, Al Ghazali memiliki dua kecenderungan, yaitu kecenderungan terhadap agama dan
kecenderungan pragmatis. Adapun aspek-aspek materi pendidikan Islam menurut pemikiran Al
Ghazali adalah meliputi: pendidikan keimanan, akhlak, akal, sosial dan jasmani. Menurutnya guru
yang baik itu selain cerdas dan sempurna akalnya, juga harus memiliki sifat-sifat yang terpuji.
Adapun sifat yang harus dimiliki oleh seorang murid yaitu rendah hati, mensucikan diri dari segala
keburukan taat dan istiqamah. Sementara yang menjadi evaluasi pendidikan adalah semua bentuk
aktifitas yang terkait dengan tugas tanggung jawabnya masing-masing dalam proses pendidikan.
Konsep pendidikan Islam dalam pemikiran Al Ghazali ini sejalan dengan tujuan pendidikan di
Indonesia saat ini. Dimana pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan,
kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab.

D. Referensi

Chodijah, S. (2011). PENDIDIKAN MENURUT FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM. Cendekia, 9(2), 1–22.
Kinasih Cut Delpasya, K., Rosadi, A., Ridwan, D., & Agustian Nur, R. (2022). Pengaruh Penggunaan
Model Pembelajaran Inkuiri Terhadap Hasil Belajar PAI Siswa pada Masa Pandemi. DIAJAR:
Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran, 1(3), 348–355. https://doi.org/10.54259/diajar.v1i3.994
Nurmayuli. (2017). Al-Ghazali Dan Pemikirannya. Al-Mabhats, 2(1), 125–150.
Rosadi, A., Marwiji, M. H., & Mariah, E. Y. (2021). Strategi Kepala Sekolah Dalam Pembinaan
Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Kelola: Journal of Islamic Education Management, 1(3), 112–118.
https://www.ejournal.jendelaedukasi.id/index.php/JJP/article/view/17
Wahid, A. H., Muali, C., & Sholehah, B. (2018). Pendidikan Akhlak Perspektif Al-Ghazali. At-Tajdid:
Jurnal Ilmu Tarbiyah, 7(2), 282–314.

Anda mungkin juga menyukai