Anda di halaman 1dari 8

Klasifikasi Ilmu Menurut Al-Ghazali (1058-111 M) (Sumber Dan Hukum Mempelajari)

Disusun Oleh:
Zakiatus Safira (210201210034)
Zakiksafira@gmail.com

Abstract
Science is the obligation of Muslims to open the horizons of the Islamic world which is
sourced from the revelations of the Qur'an and Sunnah with the support of reason for the
development of Islamic education. An Islamic figure Imam Al-Ghazali is a famous
philosopher whose work, the book Ihya 'Ulumuddin, means reviving religious knowledge.
This book explains about scientific concepts that can be drawn as a scientific reference for a
Muslim. In the work of Imam Al-Ghazali described in detail the scientific concepts that are
very important for the development of Islamic religious education. Imam Al-Ghazali divides
knowledge into two categories, namely: fardhu ain and fardhu kifayah. Therefore, the concept
of education is recommended to start from farhu 'ain and fard kifayah.
Keyword: Science, Imam Al-Ghazali, Fardhu ‘Ain, Fardhu Kifayah

Abstrak
Ilmu merupakan kewajiban umat muslim untuk membuka cakrawala dunia islam yang
bersumber pada wahyu Al-Qur’an dan Sunnah dengan adanya dukungan oleh akal guna untuk
perkembangan pendidikan Islam. Seorang Tokoh Islami Imam Al-Ghazali merupakan ahli
filsuf masyhur dengan karyanya yaitu kitab Ihya’ Ulumuddin berarti menghidupkan kembali
pengetahuan agama. Dalam kitab ini menjelaskan tentang konsep keilmuan yang dapat ditarik
sebagai rujukan ilmiah seorang muslim. Dalam karya imam Al-Ghazali dijelakan secara
terperinci mengenai konsep keilmuan yang sangat penting guna perkembangan pada
pendidikan agama Islam. Imam Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua kategori yaitu: fardhu
ain dan fardhu kifayah. Makadari itu komsep pendidikan dianjurkan untuk memulai dari farhu
‘ain dan fardhu kifayah.
Kata Kunci: Ilmu, Imam Al-Ghazali, Fardhu ‘Ain, Fardhu Kifayah

Pendahuluan
Ilmu pengetahuan merupakan entitas kruisial bagi umat manusia. Dalam kehidupannya
pun pengetahuan manusia dapat dibedakan antara yang baik dan buruk. Selain itu pengetahuan
para Filsuf Barat cukup didapat dengan menggunakan rasio dan akal saja, tanpa
menyangkutpautkan dengan pengaruh agama dan Tuhan. Pengaruh seperti ini dapat memberikan
dampak kerusakan ataupun kehancuran bagi seluruh umat manusia dan seluruh makhluk pada
umumnnya. Kognisi yang berlandaskan akal seperti ini akan menimbulkan reaksi besar dari para
pemikir Islam yang bertujuan untuk mengembalikan esensi pengetahuan. Nabi Muhammad SAW
mengutus kepada seluruh umat atas wajibnya untuk menuntut ilmu.
Adapun tokoh cendikiawan Islam, tokoh Filsuf yang membesarkan Islam biasa disebut
dengan Imam Al-Ghazali. Menurut pandangan Al-Ghazali, ilmu dapat dilihat dari dua segi, yaitu
ilmu proses dan ilmu objek. Ilmu juga dapat dikatakan sebagai objek, yaitu apanya. Al-Ghazali
memiliki paradigma tujuan pendidikan sesuai dengan pandangan hidup manusia. Paradigma
pendidikan yang dibangun harus sesuai dan mampu mengaktualisasikan tujuan-tujuan
kependidikan dalam bingkai falsafah hidupnya secara sistematik bangunan dan
keilmuan/kependidikan Al-Ghazali. Sesungguhnya Al-Ghazali dikenal sebagai orang yang
terkendali sebagai orang yang terkendali oleh jiwa agamis dan sufi yang mana keduannya telah
mempengaruhi pandangannya mengenai hidup, mengenanin nilai-nilai yang terdapat dalam
kehidupan dan kedua-duanya juga telah membuat dia mencari jalan untuk mendekatkan diri
kepada Allah dan mencari kebahagiaan dunia akhirat. Tujuan pendidikan yang di inginkan oleh
Al-Ghazali iyalah Taqqarub kepada Allah SWT dan kesempurnaan manusia untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Pemikiran Al-Ghazali mengenai pendidikan,menonjolkan karakteristik relegus moralis
dengan tidak mengabaikan urusan kedunniaan sekalipun hal tersebut merupakan alat untuk
mencapai kebahagiaan hidup di akhirat. Mengenai filsafat dalam dunia Islam sewaktu-waktu
dapat mengubah ataupun merubah pikiran pembaharuan terhadap prinsip pokok ajaran agama
dan pengetahuan. Beberapa para Ulama’ mengkhawatirkan dan mencoba menverifikasikan pada
permasalahan ini. Al-Ghazali melakukan rekontruksi berupa integralisasi, yang berakibatkan
pada generasi selanjutnya dan menyebabkan terjadinya perubahan besar. Pembahasan ini
bertujuan untuk mengetahui metode klasifikasian ilmu yang terbagi menjadi dua bagian yaitu
ilmu pengetahuan yang Fardhu ‘ain dan Fardhu Kifayah.
Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian adalah cara-cara prosedur ilmiah yang digunakan untuk
mengumpulkan, mengolah bahan dan menyajikan serta menganalisis data guna menemukan
atau menguji kebenaran suatu pengetahuan yang di laksanakan dengan menggunakan metode-
metode ilmiah dan dapat mencapai hasil yang valid dengan rumusan yang sistematis agar sesuai
dengan apa yang diharapkan. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan
(library research), sehingga dengan metode ini akan dikaji dari berbagai sumber kepustakaan
yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, baik
berupa buku, majalah, artikel maupun opini. (Ari, 1998:11). Study kepustakaan adalah tekhnik
pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literartur-
literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubunganya dengan masalah yang di
pecahkan.(Nazir 2003:27).
Pembahasan
Biografi Imam Al-Ghazali
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali dilahirkan di Thus, sebuah kota di
Khurasan, Persia pada tahun 450 H atau 1058 M. Ayah beliau seorang pemintal wool, yang
selalu memintal dan menjualnya sendiri ke kota itu.5 Al-Ghazali mempunyai saudara, sejak kecil
ia dikenal sebagai seorang anak pecinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran
yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita,dilanda aneka dka nestapa. Untaian kata-kata berikut ini
melukiskan kepribadiannya: “Kehausan untuk mencari hakikat kebenaran sesatu sebagai babit
dan favorit saya dari sejak kecil dan masa mudaku merupakan insting dan bakat yang
dicampakkan oleh Allah SWT. Pada tempramen saya, bukan merupakan usaha atau rekaan
saja.”
Imam Al-Ghazali merupakan seorang yang sangat cerdas dan mampu mendebat segala
sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih hingga Imam Al-Juwaini sempat
memberikan predikat beliau sebagai orang yang memiliki ilmu yang sangat luas bagaikan “laut
dalam nan menenggelamkan (bahrun muhgriq)”. Keikutsertaan Ghazali dalam duatuu diskusi
bersama kelompok ulama’ dan para intelektual di hadapan Nidzam al-Mulk membawa
kemenangan baginya. Hal itu berkat dengan tingginya ilmu filsafat beliau, kekayaan ilmu
pengetahuannya serta kefashihan lidahnya serta kejituan argumentasinya yang membuat Nidzam
Al-Mulk sangat mengagumi dan berjanji akan menjadikan beliau sebagai guru besar di
Universitas yang didirikannya di Baghdad. Peristiwa ini terjadi pada tahun 484 atau 1091 M.6
Ditengah-tengah kesibukan mengajar di Baghdad beliau sempat mengarah berbagai
kitab, salah satunya yaitu: Al-Basith, Ilmu Fiqh, Lubab al-Nadzar, Tashin all-Ma’akhidz, dll.
Namun kesibukan ini tidak menjadikan kendala beliau terhadap ilmu metafisika dan beliau selalu
meragukan kebenaran adat-istiadat nenek moyang yang dimana seorang pun belum ada yang
memperdebatkan perihal kebenarannya serta menggali asal-usul dari timbulnya sebuah adat
istiadat tersebut. Kemudian pada saat beliau pulang ke Bahgdad dan menjadi guru besar disana,
beliau yang menjadi guru besar dalam bidang ilmu pengetahuan agama. Kembalinya imam Al-
Ghazali ke Baghdad sekitar sepuluh tahun dan beliau pindah ke Naisaburi mengajar tidak dengan
waktu lama, setelah itu beliau meninggal dunia di kota Thus pada tahun 505 H atau 1111 M.
Demikianlah mengenai sejarah kehidupan Imam Al-Ghazali yang tergolong ulama’ taat
berpegang pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, taat menjalankan agama dan menghias dirinya
dengan tassawuf. Ia banyak mempelajari berbagai ilmu seperti fiqh, ilmu kalam, filsafat, dan
tassawuf. Namun diantara berbagai ilmu yang dipelajari beliau pada akhirnya pun lebih tertarik
kepada fiqh dan tassawuf. Oleh karena itu, tujuan pendidikan Al-Ghazali yaitu Taqqarub kepada
Allah SWT dan kesempurnaan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Pemikiran Al-Ghazali mengenai pendidikan, menonjolkan karakteristik relegius moralis dengan
tidak mengabaikan urusan dunia, sekalipun itu bertujuan untuk mencapai kebahagiaan hidup di
akhirat. Dalam bukunya Ihya’ Ulum al-Din, Al-Ghazali menyatakan sebagai berikut: “Dunia
adalah lading tempat persamaian benih-benih akhirat. Dunia adalah alat yang menghubungkan
seseorang dengan Allah. Sudah barang tentu, bagi orang yang menjadikan dunia hanya sebagai
alat dan tempat persinggahan, bukan bagi orang yang menjadikannya sebagai tempat tinggal
yang kekal dan negeri yang abadi”.
Klasifikasi Ilmu menurut pandangan Imam Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa manusia yang dididik dalam proses pendidikan
hingga pintar, namun tidak bermoral maka orang tersebut akan dikategorikan sebagai orang-
orang yang bodoh, kelak hidupnya akan susah. Begitupula dengan orang yang mau mengenal
dunia pendidikan maka orang tersebut akan dipandang sebagai orang yang binasa (Syaefuddin,
2005: 111). Al-Ghazali berpandangan bahwa dunia pendidikan menempatkan ilmu pengetahuan
pada posisi yang sangat berharga ataupun terhormat, pernghormatan tersebut merupakan suatu
nisyaca kepada ilmu. Konsekuensii atas penghormatan terhadap ilmu yaitu penghormatan
terhadap guru (Djumransjah dan Abdul Malik Karim Amrullah 2007: 55-56).
Imam al-Ghazali memandang pendidikan sebagai media ataupun sarana untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT, selain itu untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di
akhirat kelak yang lebih utama dan abadi. Hal ini terlihat dari tujuan-tujuan pendidikan yang
dirumuskan, yaitu:
a. Insan Purna bertujuan lebih ke mendekatkan diri kepadaAllah SWT
b. Insan Purna yang bertujuan untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhiirat.
Selain itu, adapun hal yang sangat penting mendapat perhatian dalam mengkaji pemikiran Imam
Al-Ghazali yaitu pandangannya mengenai hidup dan nilai-nilai kehidupan yang sejalan dengan
filsafat hidupnya, proporsi minat serta dasar kurikulum yang sesuai terhadap ilmu
pengetahuannya. Maka corak pemikiran Al-Ghazali cenderung sufistik dan lebih banyak bersifat
rohaniah. Karena menurut beliau khas pendidikan Islam lebih menekankan pada pentingnya nilai
moralitas yang dibangun pada akhlak Islam dan diri sendiri.
Imam Al-Ghazali menekankan betapa pentingnya mempelajari ilmu, manusia itu berilmu
dan ilmu itu harus diajarkan kepada yang lainnya. Dengan begitu Al-Ghazali menghendaki
bahwa ilmu pendidikan itu menjad suatu kebutuhan pokok umat Islam. Karena Islam
menghendaki pendidikan itu berlangsung sepanjang masa, dan dengan pendidikan itu pula
manusia menjadi umat Islam yang dapat berproses hingga mencapai predikat insan kamil, yakni
manusia memiliki integritas moral yang tinggi yang dibangun oleh akhlak-akhlak yang diajarkan
oleh agama Islam.
Dalam kitab Iya’ Ulumuddin Imam al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi
beberapa kelompok. Pengklasifikasian al-Ghozali tidak jauh dengan pandangannya mengenai
apa itu pendidikan. Tujuan pendidikan menurut Imam Al-Ghazali sangat memperhatikan urusan
agama yang yang berkaitan dengan akhirat dibandingkan dengan materi. Tentunya hal ini
menjadi dasar Imam Al-Ghazali dalam mengklasifikasikan ilmu. Imam Al-Ghazali
mendefinisikan ilmu pengetahuan menjadi dua tingkatan yaitu ilmu fardlu ‘ain dan fardlu
kifayah.
Ilmu Fardu ‘ain
Secara istiilah fardu ‘ain merujuk kepada kewajiban agama yang mengikat seorang
muslim.selaras dengan Abu Thalib al-Makky berkata bahwa ilmu yang fardhu yaitu pengetahuan
terhadap apa yang terkandung dalam hadist yang membuat bangunan-bangunan Islam.
Dalam ilmu tingkatan ilmu, Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa fardlu ‘ain iyalah ilmu yang
wajib bagi setiap muslim. Meskipun ada perbedaan pendapat dikalangan ulama’ mengenai ilmu
agama apa yang didahulukan untuk dipelajari. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwasanya dimana
hal-hal yang wajib dilakukan bagi seorang muslim, maka wajib dipelajari, seperti pada dasarnya
mulai dari mempelajari kitab-kitab Allah, menjalankan ibadah yang pokok seperti puasa, zakat,
dan sebagainya. Pada intinya bagi Imam Al-Ghazali ilmu yang wajib ‘ain iyalah ilmu mengenai
tata cara mengamalkan amalan yang wajib.16
Pernyataan tersebut sesuai dengan pemaparan Imam Al-Ghazali bahwasannya sangat banyak
sekali ayat Al-Qur’an yang menjelaskan perihal keutamaan ilmu serta ketinggian derajat. Periode
awal Islam, ilmu mengacu pada dua hal, yaitu ‘ilm dan fiqh. ‘Ikm digunakan pada Al-Qur’an dan
Hadist untuk mengacu kepada pengetahuan wahyu (revealed knowledge), yang jelas dan absolut,
sedangkan ilmu fiqh lebih bersifat rasional dan keilmuan. Konsep ilmu juga memiliki dimensi
moralitas. Konsep ‘ilm dan fiqh yang bersifat doctrinal ini memuculkan adanya Islamic
worldview, atau serimg difahami dengan pemahaman doctrinal dengan sangat menyeluruh atau
biasa disebut dengan struktur pengetahuan.
Klasifikasi ilmu pengetahuan yang diberikan oleh beberapa ahli filsuf seperti al-Farabi, Ibnu
Sina, Imam Al-Ghazali, Imam Al-Suyuti, Ibnu Hazm, Al-Attas mengakui adanya kontribusi ilmu.
Ilmu juga dikategorikan berdasarkan keragaman ilmu manusia dan dengan cara untuk
memperolehnya yaitu dengan mencerminkan usaha manusia guna melakukan keadilan terhadap
setiap bidang ilmu pengetahuan. Filsuf pertama yang mengklasifisikan ilmu yaitu Aristotelas.
Beliau membagi ilmu (filsafat) dengan cara antroposentrik-naturalistik pada tiga bagian: a. filsafat
praktis, terbagi menjadi tiga bagian juga yaitu etika, ekonomi, dan politik, lalu b. filsafat teoritis
terbagi menjadi tiga cabang yaitu fisika, matematika, dan materifisika, dan yang terakhir yaitu c.
estetika. Orientasi antroposentrik-substansialis ini diikuti oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina dengan
adanya modifikasi dan perempuan perbedaan dari Aristoteles.
Filsuf muslim terpengaruhi oleh Aristoteles, meskipun klasifikasi tersebut masih sangat
sederhana, namun merupakan skema dasar tanpa adanya penjelasan mengenai apa yang disebut
dengan “disiplin ilmu”. Dalam paradigma non filsuf, seperti Ibnu al-Na’im dan al-Khawarizmi,
yang lebih bebas dari dominasi Aristoteles, serta memandang ilmu secacra komprehensif namun
lebih bersifat dualistik-dikotomik. Al-Ghazali memperkenalkan dua kelompok besar ilmu, salah
satunya yaitu ilmu praktik keagamaan (‘ilm mu’amalah) dan ilmu pengungkapan ruhiyah(‘ilm
mukasyafah). ‘ilm mu’amalah berhubungan dengan prasyarat memperoleh ilmu yang kedua. ‘ilm
mukashafah lahn yang dibicarakan oleh nabi secarda singkat melalui kiasan serta lambing,. Maka
dariitu sains ya ng pertama dibagi menjadi eksoterik yang mencangkup kegiatan disik, contohnya
seperti ritual dan kebiasaan seseorang, sedangkan sains esoteric itu yang berhubungan dengan
kegiatan ruhani dalam artian hubungan dengan dunia malaikat diluar persepsi indrawi.
Dapat digarisbawahi bahwasannya ilmu yang fardlu ‘ain iyalah ilmu yang mana Islam ini
dibangun sesuai dengan hadist-hadist Rasulullah SAW tentang rukun Islam. Maka wajibnya bagi
seorang muslim untuk mempelajarinya serta mengamalkan maupun mengetahui cara wajibnya.
Termasuk pada ilmu muammalah yang meliputi tiga, yakni: kepercayaan, melakukan, dan
meninggalkan. Maka umat mmuslim harus mempelajari rukun Islam hingga membuatnya
meyakini, serta melakukan dan mengetahui kewajibannya untuk melakukan. Lalu selanjutnya,
mengetahhui apa saja yang harus dilakukan dan ditinggalkan serta meninggalkan sesuai rukun
Islam tersebut.17
Yang pertama mengenai adanya ilmu pengetahuan terkait Ideology. Menurut Imam Al-
Ghazali berkaidah, bahwasannya orang yang berakal, telah baligh atau umur 15 Tahun, maka
wajib atasnya mempelajari dua kalimat syahadat serta memahaminya. Cukup dengan
membenarkan serta memahami serta meyakininya, tidak diwajibkan untunya menyingkap hal-hal
yang terkandung padanya dengan penalaran. Apabila talah melakukannya, maka kewajiban
menuntut ilmu ysang wajib atasnya pada waktu itu.
Yang kedua, mengenai pembelajaran ilmu pengetahuan aplikatif dan praktis. Setelah
memahami makna dua kalimat syahadat maka pada saat itupun dia telah diwajibkan untuk belajar
ilmuu pengetahuan mengenai bersuci dan sholat. Maka hal lain juga menjadi wajib jika adanya
suatu hal yang baru yang menyebabkan kewajibannya. Mengapa kita dituntut untuk belajar
terlebih dahulu? Karna adanya alasan untuk tidak memungkinkan jika suatu saat kewajiban
datang, lalu belajar langsung bisa melaksanakannya, maka diwajibkannya belajar terlebih dahulu
sebelum kewajiban itu datang, agar kita telah memiliki bekal pengetahuan sebelumnya.
Yang ketiga, adanya ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan tarku (tentnag sesuatu yang
harus ditinggalkan). Ilmu seperti ini bersifat kondisional dan individual. Makna lain seperti halnya
antara satu orang dengan orang lain berbeda-beda. Contohnya seperti yang terjadi pada anak bisu,
maka tidak diwajibkan untuk mepelajari hal-hal yang dibicarakan, karena telah ditakdirkan bisu.
Tak lupa dengan penjabaran ilmu yang bersifat fardlu ‘ain bahwasannya yang termasuk ilmu
fardlu ‘ain itu iyalah ilmu-ilmu yang menjelaskan tentang bagaimana cara melaksanakan
kewajiban yang telah diperintahkan oleh Allah SWT. Dan semua ilmu pengetahuan yang
dibutuhkan seseorang akan mengacu dan bertujuan untuk beribadah, makadari itu ilmu ilmu
tersebut wajib dipelajari oleh masing-masing individu seseorang. Jika seseorang tersebut telah
mengetahui kewajiban dan waktu wajibnya maka tellah dijelaskan bahwa ilmu membahas
bagaimana menngamalkan kewajiban yang telah dibebankan.
Fardhu Kifayah
Begitu sangat pentingnya menuntut ilmu yang bersifat Fardhu Kifayah. Karena ilmu itu
sendiri memiliki beberapa keistimewaan dan kebaikan serta yang berkaitan dengan perkembangan
zaman dan tuntutan masyarakat tertentu.begitu pula dengan ilmu memiliki nilai—nilai, dan
dengan ilmu seseorang memiliki seseorang akan mendapatkan kenikmatan serta kesenangan tanpa
melupakan sumbernya. Ilmu Fardhu Kifayah seharusnya tidak boleh dipandang sebelah mata guna
berupaya pada urusan dunia contohnya seperti kedokteran. Hal ini jika tidak dikuasai oleh seorang
saja dalam masyarakat ataupun golongan maka golongan tersebut dipastikan akan mengalami
kesusahan. Namun, jika telah dipelajari dan dikuasai oleh sebagian orang, kewajiban bagi yang
lain telah gugur Menurut Imam Al-Ghazali sendiri, ilmu dan pengetahuan yang masuk pada
kategori fardu kifayah hanya boleh dipelajari dengan porsi yang secukupnya atau sewajarnya.
Dilihat dari kaidah Fiqh, fardhu kifayah secara garis besar merupakan ilmu yang menjadikan
kewajiban yang dibebankan atas kelompok umat Islam, bilamana salah satu telah melakukan hal
tersebut maka gugurnya kewajiban yang lainnya. Hsl ini menjadi tolak ukur bahwasannya penting
ataupun butuh tidaknya suatu masyarakat terhadap ilmu ffardlu kifayah untuk kebutuhan pokok
sehari-hari.19
Ilmu fardlu kifayah membahas tentang ilmu-ilmu yang berkaitan dengan urusan keduniaan,
yang perlu diketahui oleh sesama mannusia. Ilmu-ilmu ini seringkali ditemui dengan urusan
keduniaan, yang berhubungan dengan profesi manusia. Oleh karena itu tidak setiap menusia
dituntut untuk memilikki semua jenis-jenis yang ada, akan tetapi juga perlu dikembangkan oleh
orang-orang tertentu yang memiliki kemampuan khusus guna mewujudkan dunia ini. Indikasi
kecukupan dalam ilmu fardu kifayah secara umum mencakup tiga aspek, salah satunya yaitu
Pertama,ilmu-ilmu dengan kategori fardu kifayah dipelajari dari ilmu-ilmu fardu ‘ain. Orang
yang mempelajari ilmu fardu kifayah wajib senantiasa menjaga keunggulan dan prioritas dalam
ilmu fardu ‘ain. Kedua, orang yang mempelajari fardu kifayah harus benar-benar mengalami
perkembangan bertahap dalam studi fardu kifayah. Ketiga, orang tersebut wajib menahan diri
guna mempelajari ilmu fardu kifayah tersebut jika telah dipelajari oleh orang lain dalam jumlah
yang cukup.Begitupula dengan ilmu diperoleh dengan tiga tingkatan, yaitu terbatas (iqtisar),
cukup (iqtisad). Ilmu-ilmu yang ada dalam kategori fardu kifayah terdiri dari empat jenis, yaitu:
usul (pokok), furu’ (cabang), muqaddimat (prasarana), dan mutammimat (pelengkap). Ilmu yang
termasuk dalam keloompok prinsip (usul) tetapi bisa dicerap oleh akal: Muqqadimat seperti ilmu
nahwu dan Bahasa yang merupakan alat untuk memahami Al-Qur’an; Mutammimat sangat
berhubungan dengan pengetahuan untuk nasikh dan Mansukh, ‘am dan khas; ilmu tentang para
periwayatan hadith, dan lain sebagainya.
Adapun beberapa ilmu lain yang secara eksplisit disebutkan oleh Al-Ghazali sebagai kategori
fardu kifayah. Ilmu-ilmu tersebut yaitu kedokteran (al-tibb) dan aritmrtika (al-hisab), politik (al-
siyasah), logika (al-manfiq), ilmu teologi (‘ilm al-kalam), dan metafisika. Selain itu dasar
keterampilan dan industri contohnya seperti pertanian (al-fallahah), desain busana (al-khiyayah),
dan tekstil (al-hiyakah) semua masuk dalam kategori fardu kifayah.
Dari beberapa contoh ilmu-ilmu yang tergolong dalam ilmu fardlu kifayah bersifat ilmu-ilmu
yang tidak boleh tidak harus ada yang bisa menguasai dalam sebuah negeri. Sakalipun ada
hanyalah satu maka kewajiban yang lain gugur, namun jika suatu negeri tidak adanya satupun
yang menguasai maka semua berdosa.
Penutup
Kolerasi antara ilmu fardu ‘ain dan fardu kifayah sangat jelas. Fardu ‘ain menyingap rahasia
atas Dzat yang Mahawujud; menerangkan dengan sebenar-benarnya hubungan antara diri manusia
dengan Tuhan, serta menerangkan maksud dari mengetahui sesuatu dan tujuan kehidupan sesuai
dengan realitas. Klasifikasi ilmu ini mencerminkan adanya adab dalam berimu ataupun ilmu.
Konsekuensinya, kategori ilmu pengetahuan yang pertama harus lah membimbing yang kedua.
Maka ilmu pengetahuan yang kedua akan membingungkan manusia secara menerus serta
menjebak mereka ke dalam suasana pencarian tujuan dan makna kehidupan. Klasifikasi ilmu
fardu ‘ain dan fardu kifayah tidak diletakkan dalam dikotomi, dan klasifikasi ini berdasarkan
kepada tingkatan kebenarannya yang mesti dipandang dalam perspektif kesatuan integral atau
biasa disebut dengan tawhud.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai