Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

KONSEP ILMU MENURUT AL-GHAZALI


diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu:
Dr. H. Nurmawan, M. Ag

Disusun oleh Kelompok 7 :


Ghaida Khoirunnisa (NIM : 22.03.2970)
Ajeng Karisma Ayu (NIM : 23.03.3261)
Hanif Sofiyuddin Yusup (NIM : 22.03.3017)
Padli Ardiansyah (NIM : 22.03.2987)
Rusli Zayani (NIM : 22.03.2994)
Silfa Sagita Nur Fauziah (NIM : 22.03.3009)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM PERSIS BANDUNG
2023 M/1444
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Filsafat Ilmu,
dengan judul : Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali

Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. H. Nurmawan, M. Ag.


selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat Ilmu, yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi
yang kami tekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki.
Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk kritik, saran serta masukan yang
membangun dari berbagai pihak. Dan kami berharap semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi dunia dan akhirat. Aamiin yarabbal ‘alamin.

Bandung, Desember 2023

Penulis

i
DAFTAR IS

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang Masalah........................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah...................................................................................... 3
1.3. Tujuan Penulisan ....................................................................................... 3
BAB II .................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN .................................................................................................... 4
2.1. Biografi dan karya al-Ghazali ............................................................... 4
2.1.1. Karya-Karya Al-Ghazali ................................................................ 6
2.2. Ilmu Menurut Al-Ghazali (Ontologi, Epistemologi, Aksiologi) ......... 9
2.3. Pandangan Imam Al-Ghazali Terhadap Filsafat dan para Filsuf ... 20
2.4. Filsafat Metafisika Imam Al-Ghazali ................................................. 25
BAB III ................................................................................................................. 28
PENUTUP ............................................................................................................ 28
3.1. Kesimpulan ........................................................................................... 28
3.2. Saran ...................................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 30

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Pemahaman tentang ilmu berkembang di mana-mana, di seluruh
belahan dunia. Di dunia Barat mencapai puncaknya setelah periode
renaisance pada abad ke-16. Renaisance bagi dunia Barat adalah ilham yang
menerangi alur berfikir manusia yang memberikan angin baru, dan
memberikan interpretasi rasional terhadap filsafat yang mewujudkan
terpilahnya wilayah ilmu pengetahuan dengan disiplinnya sendiri. "Dua
macam ilmu pengetahuan dibawa ke Eropa dari dunia Islam, yaitu ilmu
murni dan ilmu teknologi. Corak ilmu itu telah berubah menjadi ilmu
menurut budaya dan peradaban Barat sehingga pemahamanya berbeda dari
bentuk aslinya sebagaimana diutarakan oleh Sayed Muhammad al-Naquib
al-Attas dalam "Aim and Objektives of islamic Education".
Islam abad ke-11 muncul seorang pakar agung dalam dunia
pemikiran dan ilmu pengetahuan. Ia tampil sebagai sosok dengan
menyajikan argumen-argumennya yang jitu tanpa mengabaikan pola-pola
yang telah berkembang dengan mencoba mengadakan satu upaya besar
dalam proses keilmuan. Sintetik Islam telah dia lakukan untuk memahami
hakekat ilmu, artinya pengakuannya tentang otoritas indrawi (hissiyah) dan
akal (aqliyyah) dipadukannya dengan keyakinannya tentang keagungan dan
kemahakuasaan Allah dalam usaha insaniyyah tentang ilmu. Tokoh tersebut
adalah Abu Hamid Muhammad al-Ghazali. Ia seorang pribadi yang utuh
yang berwawasan luas dengan aneka ragam keahliannya. Berkat
kepribadian demikian itulah dalam dunia Islam, al-Ghazali berhak
mendapat gelar luar biasa dan abadi sebagai “Hujjah al-Islam (Pembaharu
Islam/ Hujjah Islam)”.
Konsep dikotomi ilmu di satu sisi berkembang terus sebagai akibat
diterimanya konsep Barat. Di sisi lain dalam pendidikan Islam tradisional

1
termasuk sistem pondok pesantren yang terkenal sebagai ujung tombak
penyebar faham ahli sunnah wa al-jama'ah di mana Imam al-Ghazali
sebagai salah seorang tokohnya yang dominan, sebagaimana ungkapan
Habib Chirzin." "Beberapa pesantren berdasarkan pemilihan materi
pendidikan dan pengajaran kepada pendapat Imam al-Ghozali dalam karya
utamanya Ihya Ulum al-din.". Kenyataannya pondok pesantren banyak
mengisolir diri dari pergumulan pemikiran tentang konsep ilmu, bahkan
memusatkan perhatiannya pada ilmu agama ansich dan seolah-olah
melepaskan diri dari pemahaman tentang ilmu lain yang telah berkembang
pesat juga sebagai suatu disiplin.
Kekhawatiran akan terus menurunnya nilai-nilai moral dalam proses
lahirnya generasi baru dalam masyarakat Islam di masa mendatang condong
untuk dirasakan. Betapa tidak, budaya dan peradaban Barat semakin
mendesak untuk memasuki kesempatan yang belum ditangani, khususnya
di bidang ilmu pengetahuan yang merupakan kriteria kecemerlangan dan
idealisasi generasi masa depan. Kondisi ini terjadi akibat krisis konseptual
tentang ilmu dalam tubuh umat Islam serta kesalahan pemahaman konsep
ilmu menurut al-Ghazali ditambah dengan kegandrungan akan produk Barat
melalui issu sekularisasi ilmu yang dihembuskan ke dalam pikiran umat
Islam. Inilah masalah dan tantangan terbesar bagi umat Islam yang dialami
dan dihadapi oleh umat Islam dalam konteks keilmuan yang bersifat
psikologik dan pedagogik. Untuk menyembuhkan situasi krisis ini,
pemikiran dan pemahaman tentang ilmu perlu dijabarkan dalam arti Islam
dengan menampilkan kembali konsep ilmu menurut al-Ghazali.
Telah kita ketahui bahwa sistem pendidikan apapun harus ada
filsafat tertentu yang mengarahkan dan merumuskan langkah-langkah serta
metode-metodenya. Tentu saja filsafat dan pandangan al-Ghazali tentang
kehidupan yang global itu menjadi motivator berfikir mengenai sistem
pendidikan tertentu dan dikendalikan oleh tujuan yang jelas, kita
menemukan bahwa pendapat-pendapat al- Ghazali didasarkan kepada
coraknya, bercorak keagamaan yang mengistimewakan kepada pendidikan

2
Islam, maka pendapat-pendapat tersebut lebih cenderung kepada masalah-
masalah rohani. Olch karena itu, tujuan pendidikan menurut Ghazali adalah
pembentukan insan purna, baik di dunia maupun di akhirat. Manusia dapat
mencapai kesempurnaan lantaran usahanya mengamalkan fadhilah
(perbuatan utama) melalui ilmu pengetahuan. Fadhilah ini lalu
membahagiakannya di dunia dan mendekatkannya kepada Allah. Akibatnya
dengan fadhilah ini manusia dapat meraih kebahagiaan di akhirat.
Walaupun filsafat dan tasawufnya mempengaruhi pandangan beliau
terhadap nilai-nilai kehidupan dan mengarahkannya kepada suatu target
untuk bertaqarrub kepada Allah dan mencapai kebahagiaan di akhirat,
namun al-Ghazali tidak melalaikan bahwa ilmu pengetahuan itu seyogyanya
dipelajari, lantaran ia mempunyai keistimewaan-keistimewaan dan
kebagusan-kebagusan. Jadi, seolah- olah beliau berpendapat bahwa “ilmu
itu mempunyai keutamaan pada dirinya sendiri dan memberikanya kepada
orang lain tanpa sarat”.1

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa Biografi dan karya al-Ghazali?


2. Bagaimana Ilmu Menurut Al-Ghazali (Ontologi, Epistemologi, Aksiologi)?
3. Bagaimana pandangan Imam Al-Ghazali Terhadap Filsafat dan para Filsuf?
4. Bagaimana Filsafat Metafisika Imam Al-Ghazali?

1.3. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui Biografi dan karya al-Ghazali.


2. Untuk mengetahui Ilmu Menurut Al-Ghazali (Ontologi, Epistemologi,
Aksiologi).
3. Untuk mengetahui pandangan Imam Al-Ghazali Terhadap Filsafat dan para
Filsuf.
4. Untuk mengetahui Filsafat Metafisika Imam Al-Ghazali.

1
https://jurnal.stitradenwijaya.ac.id/KonsepIlmuMenurutAl-Ghazali/2022

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Biografi dan karya al-Ghazali


Al-Ghazali adalah ulama besar dalam bidang agama. Dia termasuk
salah seorang terpenting dalam sejarah pemikiran agama secara
keseluruhan. Barangkali al-Ghazali dan Shalahuddin al-Ayyubi adalah
orang yang paling dekat dan disukai oleh orang-orang Nasrani di Barat
karena keduanya dianggap sebagai orang Muslim yang paling dekat dengan
orang kristen2. Al-Ghazali seorang filsuf dan teolog Persia, yang dikenal
sebagai Algazel di Dunia Barat pada abad pertangahan.3

Al-Ghazali, lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin


Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali. Ia lahir di Ghazelah, sebuah kota kecil
di Tus, Wilayah Khurasan (Iran), pada 450 H (1059 M)), dan wafat di
Tabristan, sebuah wilayah di Provinsi Tus, pada 4 Jumadil Akhir tahun 505
H/1 Desember 1111 M.4 Kata-kata al-Ghazali kadang-kadang diucapkan al-
Ghazzali (dengan dua z). Dengan menduakalikan z, kata-kata al-Ghazzali
diambil dari kata-kata ghazzal, artinya tukang pemintal benang, karena
pekejaan ayah al-Ghazali ialah memintal benang wol, sedang al-Ghazali
dengan satu z, diambil dari kata-kata Ghazalah, namakampung kelahiran al-
Ghazali. Sebutan yang terakhir ini yang banyak dipakai.5

Pendapat yang kedua ini dicatat oleh az-Zahabi (w.748/1348) yang


mengutip pernyataan salah seorang murid al-Ghazali yang bernama Ibn
Khamis al-Juhani (w.552/1157) bahwa al-Ghazali keberatan terhadap
sebutan al-Ghazali dengan z ganda.6 Beliau mendapat gelar dari kaum

2
Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2006), h. 177.
3
4Nina W. Syam, Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi, (Bandung: Rosdakarya, 2013), h. 55.
4
Syamsul Kurniawan, Ewin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media, 2011), h. 87.
5
.Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 135
6
Syamsul Anwar, Pemikiran Usul Fiqih al-Ghazali, (Yogyakarta: Suara Muhammdiyah, 2015),
h.53.

4
muslimin sebagai “Hujjatul Islam” dan beliau juga adalah Ahlus Sunnah al-
Asya’ariah dan ahli ilmu fiqih atau imam mazhab Syafi’iyah.7 Tidak banyak
informasi yang ditemukan mengenai keluarga al-Ghazali. Beberapa penulis
menyatakan bahwa keluarga tersebut adalah keturunan persia. Al-Ghazali
sendiri diriwayatkan menceritakan bahwa ayahnya adalah seorang yang
fakir dan hanya mengandalkan pekerjaan memintal wol. Sang ayah juga
tidak sempat belajar menulis dan ia sangat menyesali keadaan ini dan
karenanya sebagai gantinya ia ingin mengkonpensasi hal itu kepada anak-
anaknya yang diharapkan bisa belajar dengan baik apa pun biaya yang harus
dikeluarkan untuk itu. 8

Walaupun dalam hal ekonomi hidupnya amat bersahaja dan


sederehana, namun sang ayah adalah seorang yang salih, aktif
mendengarkan pengajian para fukhaha dan ikut bersama sesuai
kemampuannya untuk berpastisipasi menghidupkan majlis tersebut.
Disebutkan bahwa ayahnya sangat menyenangi ulama dan sangat rajin
menghadiri majlis-majlis pengajian, bahkan sering memberikan sesuatu dari
hasil jerih payahnya kepada para ulama sebagai ungkapan rasa simpatik.

Ayahnya juga terkenal pecinta ilmu dan selalu berdoa agar anaknya
kelak menjadi seorang ulama. Amat disayangkan ajalnya tidak memberi
kesempatan kepadanya untuk menyaksikan keberhasilan anaknya sesuai
dengan doanya. Ayahnya juga seorang tasawuf yang saleh dan sebelum
wafatnya ia telah menitipkan kedua anaknya tersebut kepada seorang
tasawuf pula untuk mendapatkan bimbingan dan pemeliharaan dalam
hidupnya.9

Para biografer mencatat bahwa profesi pemintal wol adalah


pekerjaan ayah al-Ghazali. Ada juga yang menyebutkan itu adalah juga
profesi kakeknya. Namun apabila dihubungkan kepada kenyataan bahwa

7
Busyairi Madjidi, Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim, (Yogyakarta: Al-Amin, 1997), h. 79.
8
Syamsul Anwar, Loc. Cit. h. 60.
9
Ahmad Hanafi, Loc.Cit

5
ada anggota keluarganya yang merupakan tokoh ulama, yaitu pamannya,
yang juga disebut dengan nisbah alGhazzali, berarti kemungkinan bahwa
profesi itu adalah profesi keluarga yang diwarisi secara turun temurun.10
Sementara tentang sejarah ibunya tidak banyak orang yang mengetahuinya,
selain bahwa ia hidup hingga menyaksikan kehebatannya anaknya di bidang
ilmu pengetahuan dan melihat popularitasnya serta gelar tertinggi di di
bidang keilmuan.11

Yang menjadi modal utamanya adalah kasih sayang ibu yang selalu
menjadi pendorong moril bagi mereka untuk terus belajar. Setelah
peninggalan ayahnya habis terpakai, tidaklah mungkin bagi sang sufi itu
untuk memberikan nafkah kepada mereka berdua, sang sufipun berkata
“ketahuilah bahwa saya telah membelanjakan bagi kalian, seluruh harta
peninggalan ayahmu. Saya seorang miskin dan bersahaya dalam hidupku.
Saya kira hal terbaik yang dapat kalian lakukan adalah masuk dalam sebuah
madrasah sebagai murid. Dengan jalan ini kalian akan mendapatkan makan
untuk kelangsungan hidup.” Kedua anak tersebut berlaku demikian menjadi
sebab dari kebahagiaan dan tercapainya cita-cita luhur mereka.12

Di madrasah inilah al-Ghazali bertemu dengan Yusuf Al-Nassaj,


seorang guru sufi kenamaan pada saat itu, dan di sini pula sebagai titik awal
bagi perkembangan intelektual dan spritualnya yang kelak akan
membawanya menjadi seorang ulama besar yang berpengaruh dalam
perkembangan pemikiran Islam.

2.1.1. Karya-Karya Al-Ghazali


Al-Ghazali adalah seorang ahli pikir Islam yang dalam ilmunya, dan
mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya.13 Puluhan buku
yang telah ditulisnya yang meliputi berbagai ilmu, antara lain Teologi Islam,

10
Syamsul Anwar, Op. Cit. h. 61.
11
Muhammad Ustman Najati, Jiwa Dalam Pandangan Para Filosof Muslim, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 2002), h. 202.
12
Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 8.
13
Ahmad Tafsir, Op. Cit. h. 136.

6
Hukum Islam, Tasawwuf, Tafsir, Akhlak, dan Adab Kesopanan, kemudian
Autobiografi. Sebagian besar buku-buku tersebut di atas ditulis dalam
bahasa Arab dan yang lainnya ditulis dalam bahasa Persia. 14 Hasil karya
tulis dari buah tangannya tersebut tidak sedikit dialihbahasakan orang ke
dalam berbagai bahasa di Eropa.

Karena luasnya pengetahuan al-Ghazali, maka sangat sulit untuk


menentukan bidang dan spesialisasi apa yang digelutinya. Hampir semua
aspek keagamaan dikajinya. Di perguruan tinggi Nizamiyah al-Ghazali
banyak mengajarkan tentang ilmu fiqih versi al-Syafi’i sebab ia pengikut
Mazhab Syafi’i dalam bidang fiqih. Tetapi al-Ghazali juga mendalami
bidang-bidang lain. Oleh karena itu menetapkan al-Ghazali sebagai tokoh
dalam satu bidang atau segi tentulah tidak adil. Sangat tepat sekali bila gelar
Hujjatul Islamia sandang dengan pertimbangan al-Ghazali mempunyia
keahlian (kualifikasi) dimensional.15

Kitabnya atau karyanya yang terbesar, yaitu Ihya Ulumuddinyang


artinya menghidupkan ilmu-ilmu agama dan dikarangnya selama bebearapa
tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara Syam, Yerussalem, Hijaz,
dan Tus yang berisi paduan yang indah antara fiqih, tasawwuf dan filsafat,
bukan saja terkenal di kalangan kaum Muslimin, tetapi juga di kalangan
dunia Barat dan luar Islam.

Adapun diantara karya-karya al-Ghazali yang bisa disebutkan disini


adalah:

a. Dalam bidang filsafat, antara lain:


1. Maqasid al-Falasifah
2. Tahafut al-Falasifah
3. Al-Ma’arif al-aqliyah
4. Mi’yar al-Ilm

14
Ibid.
15
Bahri Ghazali, Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali, (Yogyakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991), h.
28..

7
b. Dalam bidang ilmu kalam, antara lain:
1. Al-Iqtisad fi al-I’tiqad
2. Al-Risalah al-Qudsiyah
3. Qawa’id al-Aqa’id
4. Iljam al-Awam an Ilm al-Kalam
c. Dalam bidang fiqih dan usul fiqih, antara lain:
1. Al-Wajiz
2. Al-Wasith
3. Al-Basith
4. Al-Mustasfa
d. Dalam bidang tasawwuf/akhlak, antara lain:
1. Ihya Ulumuddin
2. Al-Munqiz min ad-Dhalal
3. Minhaj al-Abidin
4. Mizan al-Amal
5. Kimiya as-Sa’adah
6. Misykat al-Anwar
7. Ar-Risalah al-Laduniyah
8. Bidayah al-Hidayah
9. Al-Adab fi ad-Din
10. Al-Arba’in fi Ushul ad-Din
e. Dalam bidang-bidang lain, antara lain:
1. Yaqut at-Ta’wil fi Tafsir at-Tanzil
2. Jawahir al-Quran
3. Al-Mustazhiri
4. Hujjah al-Haqq
5. Mufassal al-Khilaf
6. Ad-Darj
7. Al-Qishas al-Mustaqim
8. Fatihah al-Ulum
9. At-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Muluk

8
10. Suluk al-Sultanah
2.2. Ilmu Menurut Al-Ghazali (Ontologi, Epistemologi, Aksiologi)

a. Ontologi Ilmu Al-Ghazali


Menurut al-Ghazali, pemahaman terhadap konsep tentang ilmu
secara syar'i berarti pengetahuan yang diperoleh seseorang dari Allah dan
sudah menyatu dalam kepribadiannya yang menunjukkan kedekatannya
dengan agama. Pernyataan al-Ghazali ini didasarkan dari suatu kasus yang
pernah terjadi pada saat meninggalnya Umar ibn Khattab. ketika Khalifah
Umar wafat, Abdullah ibn Mas'ud berkata "hari ini, sembilan persepuluh
dari ilmu (al-ilm) telah mati". Di sini ia menggunakan huruf alif dan lam
(artikel) didepan kata ilmu untuk menunjuk kepada sesuatu ilmu tertentu.
Kemudian ia menafsirkannya dengan ilmu untuk mengenal Allah swt. Arti
kata ilmu itu tadinya digunakan menunjukkan kepada ilm bi al-Allah, yakni
pengetahuan yang membuat orang mengenal Allah, ayat-ayat (tanda-tanda
keagamaan) Nya serta tindakan-tindakan Nya terhadap hubungan dengan
mahluknya.
Dengan mempergunakan hadis di atas sebagai dasar pemikiran
untuk meredifinisi konsep ilmu, al-Ghazali kelihatannya memulai dari
suatu keraguan tentang makna ilmu. Ia tidak serta merta mengambil
pengertian-pengertian yang sudah terbentuk pada zamannya dan kemudian
menyimpulkannya. Ia juga tidak mengambil definisi dari al- Qur'an, tetapi
dari suatu hadis yang menimbulkan problem filosofis. Dengan analisis
bahasa, al-Ghazali merumuskan definisi al-'ilm berbeda dengan ilmu pada
umumnya. Kalau kita simak dari analisis al-Ghazali di atas, menunjukkan
bahwa persetujuannya terhadap pandangan ibn Mas'ud itu dimaksudkan
pentingnya ilmu metafisika. Sebab demikian banyak sahabat yang mampu
mengumpulkan informasi parsial tentang agama, namun totalitas dari
semuayang ada ini, yang tidak lain adalah terdapat dalam ilmu metafisika
belum dikuasai oleh sebagian besar sahabat. Sementara itu di bagian lain
ia menyatakan bahwa hakekat ilmu yang sebenarnya ialah pengetahuan yang

9
diperoleh pada tingkat Kasyf, sebagaimana dikatakannya:

‫فظهر يل أن العلم اليقيني ىو الذي يكشف فيو ادلعلوم انكشافا اليبقى‬

،‫ معو ريب‬،‫ واليتسع القلب لتقدير ذلك‬،‫واليقارنو إمكان الغلط والوىم‬

‫ينبغ ان يكون مقاران لليقين مقارنة لو حتدي ابظهار بل اأملان من اخلطأ‬

‫ مل يورث ذلك شكاو بطالنو مثال من يقلب احلجر‬،‫ذىبا والعصا ثعباان‬

‫إنكارا‬

“Nyatalah olehku bahwa arti ilmu atau tahu yang sesungguhnya itu adalah
tersingkapnya sesuatu dengan jelas sehingga tak ada lagi ruangan untuk ragu-ragu,
tak mungkin salah atau keliru, tak ada di hati tempat untuk itu. Keamanan dari
bahaya salah atau keliru itu harus diperkuat dengan keyakinan sedemikian
rupa sehingga andaikata disangkal oleh seseorang yang sakti, yang misalnya
dapat mengubah batu menjadi emas atau mengubah tongkat menjadi ular,
namun demikian itu tak akan menimbulkan ragu-ragu, sedikitpun juga terhadap
keyakinan tersebut.”

“Nyatalah olehku bahwa arti ilmu atau tahu yang sesungguhnya itu
adalah tersingkapnya sesuatu dengan jelas sehingga tak ada lagi ruangan untuk
ragu-ragu, tak mungkinsalah atau keliru, tak ada di hati tempat untuk itu.
Keamanandari bahaya salah atau keliru itu harus diperkuat dengan
keyakinan sedemikian rupa sehingga andaikata disangkal oleh seseorang yang
sakti, yang misalnya dapat mengubah batu menjadi emas atau mengubah
tongkat menjadi ular, namun demikian itu tak akan menimbulkan ragu-ragu,
sedikitpun juga terhadap keyakinan tersebut”

Pandangan al-Ghazali di atas menunjukkan bahwa suatu pengetahuan


dapat disebut sebagai ilmu bila telah mencapai tingkat keyakinan yang
mendalam. Tingkat keyakinan atau obyektifitas yang digunakan ukuran al-

10
Ghazali di sini lebih mengacu kepada validitas internal, yakni dengan
menggunakan ukuran ketetapan sikap yang sedikit banyak bersifat dogmatis.
Bila kita lihat lebih jauh, maka pandangannya ini bersesuaian dengan
obyektifitas akal yang akan dinyatakannya dalam visi epistemologis-nya.

a) Obyek Ilmu
Berkenaan dengan obyek ilmu, yang untuk selanjutnya akan nampak
dalam disiplin-disiplin yang bisa dikembangkan, dipelajari atau diajarkan,
maka al-Ghazali membuat suatu klasifikasi yang berbeda dengan yang
sudah pernah dirumuskan orang-orang sebelumnya. Berikut ini adalah
merupakan ringkasan dari pandangannya. Dalam ihya ulumiddin, al-ghazali
mengungkapkan tentangkonsep ilmu, menututnya ilmu terbagi ke dalam dua
bagian, yaitu:

‫العلم بكيفية‬: ‫ ومعناه‬،‫فهذا ىو احلق يف العلم الذي ىو فرض عين‬

‫ علم العلم الذي‬.. ‫ فمن علم العمل الواجب ووقت وجوبو‬،‫العمل الواجب‬

‫ والعلوم‬، ‫ ان الفرض اليتميز عن غريه إال بذكر أقسام العلوم‬.‫ىو فرض عين‬

‫ابإلضافة إىل الفرض الذي حنن بصدده تنقسم إىل شرعية وغري شرعية‬
Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan aqidah dan ibadah wajib, setiap
orang wajib mendalami ilmu-ilmu tersebut (fardu ain) Ilmu-ilmu yang berkaitan
dengan ruang publik, misalnya ilmu kedokteran ilmu sosiologi ilmu computer
dan lain-lain. Tidak semua orang wajib mempelajari ilmu-ilmu tersebut,
beberapa orang saja yang mempelajarinya sudah cukup (fardlu kifayah).
Selain itu, menurutnya masih terdapat ilmu filsafat. baginya filsafat
tidak berdiri sendiri, tetapi sedikitnya terdiri dari empat bidang, yakni:
Pertama, adalah Handasah dan Hisab. Hukumnya mubah. orang-orang yang
berjiwa lemah supaya menjauhkan darinya, sebabnya akan menjerumuskanke
dalam bid'ah. Dalam kaitan ini al-Ghazali menyatakan bahwa mengenai
perbintangan, hanya dapat digunakan untuk pelayaran dan perjalanan. Selain

11
itu tidak diperbolehkan mempelajari ilmu nujum. Ilmu Nujum hanya
menghasilkan teori yang bersifat "kebetulan", dan bukan kepastian. Kedua,
Mantiq, yang membahas tentang substansi keabsahan suatu dalil dan
perbagai persyaratannya, tentang definisi dan persyaratannya.
Menurut al-Ghazali jenis ini termasuk ilmu Kalam. Namun demikian
al-Ghazali tidak sependapat bilamana kepandaian seorang ulama diukur dari
kelihaiannya dalam debat atau adu argumentasi. Bahkan ia menyatakan
bahwa yang mereka lakukan itu bukan ilmu, tetapi hanya sekedar "omongan".
Ketiga, Ilahiyat yang membahas tentang dzat Allah serta sifat-sifatnya, yang
dalam hal ini ada beberapa macam aliran. Keempat, Thabi'iyat yang
membahas tentang sifat-sifat jasmani (substansi) serta khasiat/ ciri-cirinya.
Dalam pandangan al-Ghazali meskipun ilmu-ilmu tadi diakui, tetapi ia
masih berpegangan pada kosepnya tentang al- 'ilm yang bersifat universal yang
dalam skema di atas adalahberupa ilmu Mukasyafah. Namun sayang di sini
al-Ghazali tidak memberikan penjelasan keterkaitan antara ilmu mukasyafah
sebagai induk ilmu itu dengan ilmu-ilmu lainnya yang bersifat parsial. Hal ini
menunjukkan bahwa adanya disiplin-disiplin ilmu itu tidak terkait dan
berakar pada pandangan metafisis, tetapi masing-masing berdiri sendiri. Apa
yang dibuat oleh al-Ghazali dalam klasifikasinya ini kalau kita perhatikan
sungguh-sungguh sebenarnya mencerminkan keinginannya untuk
merekonstruksi disiplin-disiplin dalam Islam dengan menggiring ke arah ilmu-
ilmu agama saja.

12
b. Epistimologi Ilmu Al-Ghazali
a) Al-Qur'an dan Hadis sebagai sumber ilmu
Al-Ghazali memang tidak secara eksplisit menyebut al- Qur'an dan
Hadis sebagai sumber ilmu, tetapi seringkali diungkapkannya dengan
istilah al-wahyu, as-sam, an-nagl, maupun al-abbar. Oleh al-Ghazali,
sumber ini selain dijadikan sebagai rujukan bagi akidah ahlus sunnah, juga
merupakan sumber untuk mengolah argumentasi rasional. Dalam hal ini
al-Ghazali tidak menyebutkan apakah ia merupakan sumber tertinggi atau
tidak, namun rupanya al-Ghazali ingin mendudukkannya sebagai sumber
paling awal. Hal ini dapat kita ketahui dari susunan materi dalam kitab
Ihya-nya. Namun dalam beberapa analisisnya yang rinci, menunjukkan
bahwa al-Qur'an dan hadis lebih banyak dijadikan sebagai legitimasi
produk teorinya. Kemungkinan besar ini dilakukan karena al-Ghazali
belum menangkap ide sentral dari pesan al- Qur'an, atau mungkin itu
merupakan bagian dari pandangannya bahwa al-Qur'an tiada artinya tanpa
akal dan intuisi. Masalah ini memerlukan penelitian yang mendalam.
Ukuran untuk menilai kredibilitas sumber ini, menurut al- Ghazali adalah
dengan pendekatan kemutawatiran, artinya tidak mungkin sekian banyak
orang berbohong
b) Akal sebagai sumber ilmu
Al-Ghazali memberikan tempat yang jelas 9/18 sebagai alat untuk
memperoleh ilmu, sebagaimana pernyataannya16:

‫ السيما وقد ظهر شرف العلم من‬،‫ان هذا مما ال حيتاج إىل تكلف يف إظهاره‬

‫ والعقل منبع العلم ومطلعه وأساسه والعلم جيري منه جمرى‬،‫قبل العقل‬

‫ والرؤية من العني‬،‫ والنور من الشمس‬،‫الثمرة من الشجرة‬

16
al-Ghaza>li>, Al-Munqiz} Min al-Dalal, (Beyrut : al-Makbah al-Syu’ubiyyah, et.), 26.

13
“Bahwa ilmu-ilmu agama hanya dapat dikuasai dengan kesempurnaan
penalaran akal serta kejernihan kecerdasan. Dengan akal amanat Allah
diterima manusia, dan dengannya pula dapat dicapai pengharapan diri
seseorang kepadaNya. Jelaslah bahwa akal adalah sumber ilmu
pengetahuan, serta azasnya, ibaratnya, ilmu adalah buah dari pohon, atau
cahaya dari matahari atau penglihatan dari mata”.
Memperhatikan pernyataan di atas secara sepintas kita seakan dapat
segera menyimpulkan bahwa al-Ghazali memiliki pandangan
epistemologis yang rasional, namun perlu kiranya kita memahami apa
yang dimaksudkan oleh al- Ghazali dengan istilah akal. Mengenai
pengertian akal ini, al- Ghazali mensinyalir adanya empat pendapat
definisi tentang akal. Yang pertama adalah akal sebagai gharizab (insting)
yang potensial, berupa kemampuan mengetahui dan membedakan,
fungsinya seperti mata. Kegunaannya adalah untuk menyerap berbagai
pengetahuan. Yang kedua adalah dalam arti hasil dari suatu perkembangan
atau kematangan, seperti kemampuan untuk mengetahui yang mungkin
dan mustahil. Yang ketiga adalah akal dalam pengertian pengalaman.
misalnya wawasan tentang sejarah. Yang keempat adalah kemampuan
mengendalikan nafsu berdasarkan pengetahuan tentang manfaat dan
mudharat sesuatu.
Menurut al-Ghazali, yang pertama dan kedua adalah bersifat
naluriah, sedangkan yang ketiga dan keempat bersifat empiris. Masing-
masing mempunyai proporsi makna sendiri- sendiri, yang juga pernah
digunakan oleh Rasulullah. Al- Ghazali berpendapat bahwa keempatnya
adalah syah dan benar belaka. Mengenai kredebilitas akal sebagai alat
untuk memperoleh ilmu pengetahuan, maka al-Ghazali lebih menekankan
pada fungsi jenis akal pertama, sebab akal pertama itu dimiliki oleh semua
manusia dan bersifat dharuri (aksiomatis). Sementara itu akal jenis kedua
hanya merupakan cabang dari akal pertama. Mengenai jenis akal yang
ketiga, al- Ghazali meragukan kredibilitasnya, alasannya adalah karena ia
bersifat subyektif, dimana ia menyebutnya dengan akal muktasab.

14
Sedangkan akal keempat, oleh al-Ghazali dianggap sebagai tingkatan
tertinggi, sebab ia sudah menunjukkan aplikasi keimuan itu sendiri.
Memperhatikan pemikiran al-Ghazali di atas, maka pengembangan
pengetahuan rasional sedikit banyak menjadi dibatasi pada rasionalisme
ortodok, yang amat ditentang oleh Empirisme Radikal. Rasionalisme
Ortodok ini dikemukakan oleh Spinoza dalam apa yang disebutnya sebagai
dalil-dalil dalam ilmu ukur. Descartes lalu mengembangkannya menjadi
sebuah susunan metodologi deduktif. Seperti kita ketahui, tingkat
kebenaran kongklusi dalam pemikiran deduktif amat terpercaya, namun
terdapat kelemahannya. Kelemahan pertama adalah bahwa premis pertama
harus benar, namun dari mana premis pertama itu diambil atau disusun,
apakah dari al-Qur'an atau dari mana saja, al-Ghazali tidak pernah
mempertanyakan persoalan ini. al-Ghazali hanya menyatakan bahwa akal
potensial untuk semua orang sudah memilikinya, artinya taken for granted
sebagai kebenaran apriori. Kelemahan kedua, sebagaimana pernah
dinyatakan oleh Ibn Taymiyah, adalah tidak mampu menghasilkan
pengetahuan baru
c) Intuisi sebagai sumber ilmu
Intuisi merupakan salah satu sumber memperoleh pengetahuan.
Dalam kaitan ini al-Ghazali menyatakannya sebagai berikut17:

‫ اترة على سبيل‬،‫ أن أرابب القلوب يكاشفون أبسرار امللكوت‬: ‫فاعلم‬

‫ واترة‬،‫اإلهلام أبن خيطر هلم على سبيل الورود عليهم من حيث ال يعلمون‬

‫ واترة يف اليقظة على سبيل كشف املعاين‬،‫على سبيل الرؤاي الصادق‬

‫مبشاهدة األمثلة كما يكون يف املنام‬

17
al-Ghazali, Ih}ya> „Ulu>m al-Di>n Jilid I, (Jeddah : Da>r al-Manha>j, 2011), 60-61.

15
“Maka ketahuilah, bahwa arbab al-qulub, orang-orang yang telah
tercerahkan hati nurani mereka, disingkapkan bagi mereka rahasia-rahasia
malaikat (atau kerajaan alam atas). Adakalanya melalui datangnya ilhan,
dengan melintasnya pikiran atau gambaran peristiwa tertentru dalam hati
mereka, dan tanpa disadari oleh mereka sendiri. Adakalanya melalui
mimpi yang benar (arra'ya ash- shadiqal). Dan adakalanya juga dalam
keadaan terjaga (dalam kesadaran penuh, tidak dalam tidur), yaitu dengan
tersingkapnya maqam-maqam tersebut melalui penyaksian kasus-kasus
dalam kehidupan, seperti halnya yang tampak dalam mimpi di waktu
tidur”.
Al-Ghazali menyebut sumber intuisi ini dengan istilah al-Kasf (ilm
al-Mukasyafab). Menurut al-Ghazali, al-Kasyf tingkatannya lebih tinggi
dari akal. Ketinggian yang dimaksud adalah pertama, hanya sedikit orang
yang dapat mencapainya. Kedua, kasyf dari segi kejernihan produk ilmu
yang dihasilkan. Ketiga, pengetahuan ini tidak melalui proses yang
gradual, tetapi cepat dan langsung dari lauh mahfudz. Siapa yang bisa
menggunakan sumber kasyf ini sebagai alat memperoleh ilmu, al-Ghazali
mengatakan bahwa hanya orang-orang tertentu, yakni para nabi dan para
wali. Apakah mereka mendapatkan kasyf itu diusahakan atau tidak? al-
Ghazali tidak memberikan jawaban secara langsung, tetapi dalam
beberapa argumennya ia mengiyakan, sambil mengutip ayat al-Qur'an “fa
man jabadu fi na lanabdiyannabum subulana”.
Di sini al-Ghazali menafsirkan mujahadah sebagai proses
mendapatkan kasyf, meskipun sebenarnya ia sendiri tidak mengakui kasyf
ini sebagai hasil belajar. Untuk memperjelas penggambarannya ini al-
Ghazali juga mendasarkan pada hadis Rasul "barang siapa mengamalkan
ilmu yang telah diperolehnya, niscaya Allah memberikan kepadanya ilmu
yang belum diketahuinya. Mengenai kredibilitas kasyf sebagai sumber
ilmu, al-Ghazali menyatakan bahwa ia (kasyf) diperoleh melalui
musyahadah di dalam batin, sedangkan musyahadah itu termasuk
pengetahuan sensual yang bisa menghasikan pengetahuan dharuri.

16
Dari kedua sumber ilmu tadi, yakni akal dan kasyf, rupanya al-
Ghazali ingin mengatakan bahwa yang terbaik adalah kasyf. Sebab kasyf
ini akan menghasilkan premis pertama yang bisa dipercaya tingkat
kebenarannya. Tetapi karena yang bisa melalukannya cuma segelintir
orang, maka tidak semua orang harus melakukan.
d) Batas-Batas Ilmu
Al-Ghazali memberikan batasan wewenang dan tanggung jawab
disiplin-disiplin Islam, sebagaimana pernyataannya mengenai ilmu fiqh
dan ilmu kalam.

،‫ وهو حراسة العقيدة اليت ترمجناها على العوام‬،‫بل منفعته شيئ واحد‬

‫وحفظها عن تشويشات املبتدعة أبنواع اجلدل‬


“Ilmu Figh cukup dengan mengetahui yang lahir saja. Mengenai ilmu
kalam, maka hanya sejauh ia mampu menjaga akidah orang-orang awam
secara logika dan debat dan kericuhan para ahli bid'ah”.
Terhadap kedua macam ilmu itu, al-Ghazali menilai berada dibawah
tingkatan ilmu Mukasyafah, dengan menyatakan bahwa ilmu mukasyafah
hanya dimiliki orang- orang tertentu, seperti dinyatakannya;"

‫ فهو عبارة عن نور يظهر يف‬،‫ أعين علم املكاشفة‬،‫وهو علم الصديقني واملقربني‬

‫القلب عند تطهريه وتزكيته من صفاته املذمومة‬


“Ilmu Mukasyafah adalah merupakan ilmunya orang-orang arifin,
shiddiqin, dan Muqarrabin. Ia akan timbul pada orang- orang yang telah
mengalami penjernihan (tazkiyah) hati dari sifat-sifat yang tercela”.
Dari sini menunjukkan bahwa ilmu fiqh lebih tepat menggunakan
metode empiris, ilmu kalam menggunakan metode logika, sedangkan ilmu
mukasyafah menggunakan metode intuisi.18

18
al-Ghazali, Ih}ya> „Ulu>m al-Di>n Jilid I, (Jeddah : Da>r al-Manha>j, 2011), 61-70

17
c. Aksiologi Ilmu Al-Ghazali
a) Nilai Instrinsik dan Instrumental
Al-Ghazali dalam pandangannya tentang hakekat ilmu lebih bersifat
instrinsik, tetapi dalam pandangan aksiologisnya tentang nilai ilmu, ia
lebih cenderung pada pemahaman yang bersifat instrumental. Berikut ini
penuturannya:"19 "Sedangkan ilmu merupakan fadhilah pada dirinya
sendiri, bahkan secara mutlak, walaupun tidak dikaitkan dengan sesuatu
lainnya. Sebab, ia merupakan sifat kesempurnaan Allah swt, dan padanya
pula bersumber semua kemuliaan para nabi dan malaikat. Dengan
demikian jelaslah bahwa ilmu merupakan fadhilah dalam dirinya sendiri,
secara mutlak, walaupun tidak dikaitkan dengan suatu sifat lainnya.
sesuatu yang berharga itu ada tiga alasan. Alasan pertama karena sebagai
alat memperoleh sesuatu, seperti Dirham maupun Dinar. Alasan kedua
karena dirinya sendiri, seperti kebahagiaan di akherat. Dan alasan ketiga
adalah karena kedua-duanya, seperti kesehatan dan keselamatan badan".
Apa sesungguhnya yang melatarbelakangi pandangan
instrumentalnya nilai ilmu bagi al-Ghazali, barangkali dapat dijelaskan
dalam kaitannya dengan penerapan faham pragmatisnya dalam figh. Al-
Ghazali seringkali mengungkapkan bahwa munculnya hukum positif
terjadi bilamana memang dibutuhkan oleh tuntutan masyarakat. Dalam
persoalan nilai ilmu, rupanya al-Ghazali cenderung melihat bahwa
keutamaan ilmu amat tergantung dari kegunaannya, bila ia banyak
menimbulkan manfaat maka ilmu itu menjadi mulia, namun bila
menimbulkan mudharat, dengan serta merta ia menjadi tidak bernilai.
b) Gradasi nilai ilmu
Al-Ghazali menyatakan bahwa ilmu-ilmu yang ada ini memiliki
gradasi (tingkat-tingkat) keutamaan yang berbeda satu dengan lainnya
terkait dengan tiga kriteria. Kriteria pertama dengan memperhatikan
gharitzah. Dalam hal ini al- Ghazali memberikan contoh bahwa ilmu-ilmu
akliyah nilainya lebih tinggi dari ilmu bahasa, sebab yang pertama

19
Ibid, 47-48.

18
memerlukan kecerdasan akal, sementara yang kedua hanya membutuhkan
indera pendengaran dan pengucapan. Kriteria kedua adalah dari aspek
luasnya manfaat, sebagai contohnya adalah ilmu pertanian lebih mulia dari
ilmu pandai besi, sebab ilmu pertanian bisa dimanfaatkan oleh banyak
orang, sementara ilmu pandai besi hanya beberapa orang saja yang
memanfaatkannya. Kriteria ketiga adalah berhubungan dengan obyek
yang diolah, sebagai contohnya adalah ilmu mengolah emas nilainya lebih
mulia daripada ilmu mengolah kulit (menyamak), sebab yang pertama
merupakan benda yang berharga, sementara yang kedua merupakan benda
najis.

Dari analisis ini kita dapat mengetahui bahwa nilai ilmu menurut al-
Ghazali amat terkait dengan praktek. penerapannya, dan tidak
menekankan pada substansi ilmu itu sendiri. Untuk ini al-Ghazali
mendasarkan argumentasinya pada sebuah hadis, bahwa menuntut ilmu
atau pengetahuan wajib atas setiap muslim adalah ilmu atau pengetahuan
yang disertai dengan pengamalan.

c) Prioritas ilmu yang dipelajari


Mengenai ilmu apa yang menjadi prioritas untuk dipelajari, al-
Ghazali memberikan ukuran yang jelas dan sama bagi semua orang, yakni
dimulai dari fardhu a'in, baru yang fardhu kifayah. Selanjutnya adalah
dipilih obyek-obyek sebagai berikut, mulailah dengan kitab Allah swt,
kemudian Sunnah Rasul, kemudian ilmu tafsir serta ulum al-Qur'an
lainnya seperti ilmu nasikh dan mansukh, almufsal dan al-mausbul, al-
mubkam dan al-mutasyabih, dan sebagainya. Demikian juga dengan as-
sunnah. Kemudian pelajarilah pula terhadap furu' yakni ilmu fiqh yang
disepakati dalam madzhab, dan bukannya yang diperselisihkan, kemudian
tentang ilmu ushul fiqh....ilmu-ilmu ini hanya merupakan alat atau
mukaddimah saja. Ia dicari bukan karena pentingnya secara substansial,
tapi semata-mata karena untuk meraih sesuatu yang lain.

19
d) Ilmu dalam wacana pengajaran
Pemikiran aksiologis al-Ghazali tidak berhenti hanya pada nilai ilmu
dalam wacana pembacaan, tetapi diikuti dengan penerapannya dalam
wacana pengajaran. Ia misalnya menyarankan untuk mempelajari buku-
buku berdasarkan urutan kesulitannya. Ia mengatakan bahwa buku-buku
yang ada terdapat tiga tingkatan, yaitu yang cukup, lebih dari cukup, dan
luas. Ia menilai bahwa kitab tafsir al-Wajiz berada pada tingkatan cukup,
kitab al-Wasith berada pada tingkatan lebih dari cukup, dan selebihnya
bisa dibaca orang yang memiliki target yang lebih tinggi yakni sengaja
memperluas wawasan tafsirnya.
Di bidang ilmu hadis ia menilai untuk tingkat pertama cukup
membaca Shahih Bukhari dan Muslim, baru pada tingkat kedua perlu
membaca Musnad. Kitab-kitab lainnya bisa dipelajari bagi yang ingin
mendalaminya. Sementara itu dalam disiplin Fiqh, ia menyarankan pada
tingkatan pemula cukup membaca kitab Mukhtasya oleh al-Muzany, baru
kemudian al-Wasith, dan terakhir yang ingin memperluas wawasannya
bisa membaca al-Basith. Di bidang ilmu Kalam, untuk tingkat pemula
cukup mempelajari kitab Qawaid al- 'aqaid, baru kemudian al-iqtishad fi
al-i'tiqad, dan bagi yang ingin memperdalam boleh membaca yang lain-
lain.
Dari pemikirannya ini maka dapat disimpulkan bahwa nilai ilmu
menurut al-Ghazali lebih bersifat pragmatis, artinya selalu dikaitkan
dengan amaliah. Mengenai nilai instrinsik dan instrumental, secara teoritis
al-Ghazali memungkinkan keduanya, tetapi dalam prakteknya hanya
yang instrumental.20
2.3. Pandangan Imam Al-Ghazali Terhadap Filsafat dan para Filsuf

a. Pandangan Imam Al-Ghazali terhadap filsafat


Dalam fase awal-awal perkembangan intelektualnya, al-Ghazali
banyak berkarya di bidang ilmu-ilmu syariat ketika masih di Baghdad.

20
Irsyad Zamjani, Wacana Pendidikan al-Ghazali, (Surabaya: Jurnal Gerbang vol. V, 2002), 8-17.

20
Namun, setelah itu dalam kurun dua tahun al-Ghazali memahami filsafat
dengan seksama, hampir setahun ia terus merenungkannya, mengulang-
ulang kajiannya, dan membiasakan diri dengannya, di samping meneliti
kebohongan dan penyelewengan yang terkandung di dalamnya. Pada saat
itulah al-Ghazali menyingkap pemalsuan dan tipuan-tipuan, serta
membedakan unsur yang benar dan yang cuma khayatan.21 Dalam al-
Munqidz min al-Dhalal, al-Ghazali memberikan klasifikasi filosof sekaligus
memberikan penilaian (vonis kekafiran) kepada mereka.22 yaitu:
1. Pengikut Ateisme (al-Dahriyyun); kelompok ini merupkan golongan
filosof yang mengingkari Tuhan yang mengatur alam ini dan menentang
keberadaan-Nya. Mereka mempunyai dugaan kuat bahwa alam telah ada
dengan sendirinya tanpa campur tangan Tuhan. Mereka berkeyakinan
bahwa bahwa hewan berasal dari sperma dan sperma berasal dari hewan,
dari zaman dahulu dan selamanya tetap seperti itu. Menurut al-Ghazali
mereka itu orang-orang yang tidak mengenal Tuhan.
2. Pengikut faham Naturalisme (al-Thabi’iyyun); mereka merupakan
golongan filosof yang setelah sekian lama meneliti keajaiban hewan dan
tumbuh-tumbuhan (alam atau thabi’ah) dan menyaksikan tanda-tanda
kekuasaan Tuhan, akhirnya mereka mengakui keberadaan-Nya. Namun
karena terlalu banyak meneliti alam, mereka terkesan dengan watak
biologis hewan yang memiliki pengaruh terhadap daya-daya inderawi
mereka. Akibatnya, mereka pun berpendapat bahwa daya pikir manusia
tergantung pada watak biologisnya, dan ketika watak biologisnya hilang,
maka hilang pulalah daya pikirnya. Pada akhirnya, mereka berpandangan
bahwa tidak mungkin mengembalikan sesuatu yang telah tiada. Mereka
berkeyakinan orang yang telah tiada ruhnya tidak akan kembali. Selain

Abu Bakar abdurrazak, Inilah Kebenaran; Puncak Hujjah al-Ghazali untuk Para Pencari
21

Kebenaran, terj. Khaeron Sirin, Jakarta: Penerbit liman, 2003, hlm. 43.

22
Al-Ghazali, al-Munqidz min al-dhalal, hlm. 21.

21
itu mereka juga menentang eksistensi akhirat, surga, neraka, hari kiamat
dan hisab.23
3. Penganut filsafat Ketuhanan (ilahiyyun); mereka adalah golongan filosof
yang percaya kepada Tuhan, mereka para filosof Yunani seperti Socrates,
Plato dan Aristoteles, serta orang-orang yang mengekor pada pemikiran
mereka. Kelompok ilahiyyun ini pada garis besarnya membantah dua
kelompok pertama yaitu dahriyyun dan thabi’iyyun. Al-Ghazali lebih
lanjut menyatakan bahwa Aristoteles pada fase berikutnya menolak dan
menyanggah dengan tegas pandangan Plato dan Socrates beserta
pendahulunya yang mengikuti filsafat ketuhanan sehingga ia keluar dari
ruang lingkup mereka. Hanya sayangnya, dalam filsafatnya, ia masih
menyisakan beberapa hal kecil yang setidaknya masih mengandung
indikasi kekufuran yang belum dapat ia lepaskan.24
b. Pandangan Imam Al-Ghazali terhadap Filsuf
Al-Ghazali melontarkan sanggahan kepada para filosof, dari
pandangan itu al-Ghazali menvonis kafir, termasuk para filosof Islam
dengan pandangan-pandangannya Plato, Aristoteles seperti Ibnu Sina dan
al-Farabi. Dalam Tahafut al-Falasifah, al-Ghazali memandang para filosof
telah melakukan kerancuan, setidaknya ada 20 masalah yang menyebabkan
para filosof ini menjadi ahli ahl al-bid’at dan kafir. Dari 20 persoalan ini, al-
Ghazali menegaskan bahwa para filosof menjadi kafir karena tiga
masalah25:
1. Para filosof yang berpendapat bahwa alam itu Qadim (tidak mempunyai
permulaan), ini merupakan pendapat Aristoteles dan pengikutnya. Para
filosof muslim sebelum al Ghazali mengatakan bahwa alam ini qadim.
Sebab qadimnya Tuhan atas alam sama halnya dengan qadimnya illat
atas ma’lulnya (ada sebab akibat), yakni dari zat dan tingkatan, juga dari
segi zaman. Para filosof kala itu beralasan tidak mungkin wujud yang

23
Ibid,hlm. 22.
24
Ibid,hlm. 23.
25
Al-Ghazali, Tahafut Al Falasifah, hlm 307-309.

22
lebih dahulu, yaitu alam, keluar dari yang qadim (Tuhan), karena dengan
demikian berarti kita bisa membayangkan bahwa yang qadim itu sudah
ada, sedangkan alam belum ada.26 Menurut alGhazali yang qadim (tidak
mempunyai permulaan) hanyalah Tuhan semata. Maka, selain Tuhan
haruslah baru (hadits). Karena apabila terdapat sesuatu yang qadim selain
Tuhan, maka dapat memunculkan paham; apabila yang qadim banyak,
berarti Tuhan banyak; pemikiran ini tentu menimbulkan kemusyrikan
yang pelakunya dosa besar yang tidak dapat diampuni Tuhan; atau masuk
golongan Ateisme yang menyatakan bahwa alam yang qadim tidak perlu
adanya pencipta.
2. Pendapat filosof yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mungkin
mengetahui hal-hal yang bersifat partikular (pendapat yang dipegangi
oleh Ibnu Sina). Mula-mula pendapat ini dipegangi oleh Aristoteles
kemudian dianut oleh para filosof Muslim. Menurut al-Ghazali para
filosof Muslim itu mempunyai pemahaman bahwa Allah hanya
mengetahui zat-Nya sendiri (juz’iyat) dengan alasan alam ini selalu
terjadi perubahan-perubahan, jika Allah mengetahui rincian perubahan
tersebut, hal itu akan membawa perubahan pada zat-Nya. Perubahan
pada obyek ilmu akan membawa perubahan pada yang punya ilmu
(bertambah atau berkurang). Ini mustahil terjadi pada Allah.27 Al-Ghazali
mengkritik seraya mengatakan bahwa para filosof itu telah melakukan
kesalahan fatal. Menurutnya, sebuah perubahan pada obyek ilmu tidak
membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu berubah tidak membawa
perubahan pada zat, dalam artian keadaan orang yang mempunyai ilmu
tidak berubah. Kemudian al-Ghazali memberikan sebuah ilustrasi,
sebagaimana halnya kalau ada orang berdiri di sebelah kanan kita,
kemudian ia berpindah ke sebelah kiri kita, maka yang berubah
sebenarnya dia, bukan kita. Ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-
Nya yang satu (Esa) semenjak azali dan tidak berubah meskipun alam

26
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, Bandung, 2009, hlm, 162.
27
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Jakarta, 2004, hlm, 174.

23
yang diketahuinya itu mengalami perubahan.28 Untuk memperkuat
bangunan argumen dalam mengkritik para filosof Muslim, al-Ghazali
mengemukakan dalil ayat-ayat alQur’an yang menunjukkan bahwa Allah
mengetahui segala yang ada di bumi, baik itu kecil maupun besar, di
antaranya:
ٍ ‫ْن وما تَ ْت لُ ۟وا ىم ْنهُ ىمن قُرء‬
‫ان َوَال تَ ْع َملُو َن ىم ْن َع َم ٍل إىاال ُكناا‬ ٍ
َْ َ َ ‫َوَما تَ ُكو ُن ىِف َشأ‬
‫ك ىمن ىمثْ َق ى‬
‫ال ذَ ارةٍ ىِف‬ َ ‫ب َعن اربى‬ ‫ودا إى ْذ تُىفي ُ ى ى‬
ُ ‫ضو َن فيه ۚ َوَما يَ ْع ُز‬ ً ‫َعلَْي ُك ْم ُش ُه‬
ٍ َ‫َب إىاال ىِف كى َٰت‬
ٍ ‫ب ُّمبى‬ َ ‫َصغَ َر ىمن َٰذَلى‬ ‫ض وَال ىِف ٱل ا ى‬
‫ني‬ ََ ‫ك َوَالٓ أَ ْك‬ ْ ‫س َمآء َوَالٓ أ‬ َ ‫ْٱأل َْر ى‬
“Dan tidakkah engkau (Muhammad) berada dalam suatu urusan, dan
tidak membaca suatu ayat Al-Qur'an serta tidak pula kamu melakukan
suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu ketika kamu
melakukannya. Tidak lengah sedikit pun dari pengetahuan Tuhanmu
biarpun sebesar zarrah, baik di bumi ataupun di langit. Tidak ada sesuatu
yang lebih kecil dan yang lebih besar daripada itu, melainkan semua
tercatat dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Q.S Yunus:61).
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:

ُ‫اَّلل‬ ‫اَّللُ بى ُك ىل َش ْي ٍء عَ لى يمٌ قُلْ أَتُ عَ لى ُم و َن ا‬


‫اَّللَ بى ىد ينى ُك ْم َو ا‬ ‫َر ى‬
‫ض ۚ َو ا‬ ْ ‫ْاأل‬
‫س م او ى‬
‫ات َومَ ا ىيف‬ َ َ ‫يَ عْ لَمُ مَ ا ىيف ال ا‬
“Katakanlah (kepada mereka), “Apakah kamu akan memberitahukan
kepada Allah tentang agamamu (keyakinanmu), padahal Allah
mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S Al-Hujurat:16).
3. Penolakan filosof terhadap kebangkitan jasmani dan mortalitas jiwa
individu. Para filosof Muslim sebelum al-Ghazali berpandangan bahwa

28
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, Bandung, 2009, hlm, 162.

24
yang akan dibangkitkan dari alam kubur menuju akhirat nanti adalah
rohani semata, sedangkan jasmani akan hancur lebur. Menurut mereka,
akan merasakan kebahagiaan atau siksaan adalah rohani semata. Al-
Ghazali dalam mengkritik pendapat para filosof tersebut lebih banyak
bersandar pada arti tekstual Al-Qur’an, yang menurutnya tidak ada alasan
untuk menolak terjadinya kebahagiaan atau menciptakan segala sesuatu
dan untuk itu tidaklah ada keraguan sedikitpun Allah akan
mengembalikan rohani pada jasmani di akhirat nanti.29 Lebih lanjut al-
Ghazali menegaskan bahwa kekalnya jiwa setelah mati tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan terdapat beberapa hadis yang
menyebutkan bahwa roh-roh manusia merasakan adanya kebaikan atau
siksa kubur dan lain-lain. Semua itu sebagai indikasi adanya kekekalan
jiwa. Sementara itu kebangkitan jasmani secara eksplisi telah ditegaskan
syara’ (agama), dengan arti jiwa dikembalikan pada tubuh, baik tubuh
semula maupun tubuh yang lain, atau tubuh yang baru dijadikan.30
2.4. Filsafat Metafisika Imam Al-Ghazali

Metafisik adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan proses analitis


atas hakikat fundamental mengenai keberadaan dan realitas yang
menyertainya. Kajian mengenai metafisika umumnya berproses pada
pertanyaan mendasar mengenai keberadaan sifat-sifat yang meliputi realitas
yang dikaji. Pemaknaan mengenai metafisika bervariasi dan setiap masa dan
filsuf memiliki pandangan yang berbeda.

Pandangan al Ghazali mengenai metafisik dapat dikategorikan


menjadi tiga sudut pandang, yaitu (1) secara esensi, (2) secara subtansi, (3)
secara eksistensi. Secara esensi dan subtansi. Mengenai ini imam al Ghazali
menggunakan istilah yaitu annafs, al-qulb, al-aql, dan al-ruh.

29
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Jakarta, 2004, hlm, 172.
30
Ibid, 172.

25
Dalam metafisika al Ghazali, ia mendasarkan pandanganya pada jiwa.
Jiwa ini dibagi menjadi tiga bagian esensial, yaitu jiwa vegetative, jiwa
sensitive dan rasional. Jiwa vegetative ini adalah yang terdapat pada semua
mahkluk hidup, dikatakan vegetative karna hanya mempunyai daya nutrisi
tumbuh kembang dan reproduksi, jiwa sensitif jiwa yang terdapat pada
hewan dan manusia, jiwa esensiail atau jiwa insaniah terdiri pada manusia
saja karna jiwa rasional atau esensial ini disebut dengan akal, akal manusia
merupakan perwujudan metafisik yang tersusun atas subtansi lain. Imam al-
Ghazali menyebutkan bahwa akal adalah sumber ilmu, karena tempat
terbitnya pengetahuan, akal juga menjadi sebab tercapainya kebahagiaan
dunia akhirat.

Imam al-Ghazali juga dengan jalur ini akan mampu mendapatkan al-
llm al-Yakini (kebenaran ilmu yang mytlak). Selain dari itu, Imam al-
Ghazali juga mendasari pemikirannya dengan al-Qur'an dan Hadis
Nabi.Namun definisi ini belum sepenuhnya benar, karena sedetail apapun
manusia menerangkannya, Itu diluar batas kemampuan manusia dalam
menjelaskan tentang ruh, sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur'an
surat al-lsra' ayat 85: Artinya: “dan mereka bertanya kepadamu
(Muhammad) tentang ruh. Ketahuilah, ruh itu urusan Tuhanku, sedan kan
kamu diberi pengetahuan hanya sedikit”.30

Kedua hasil perolehan panca indra Yang ditangkap oleh otak sebagai
alatnya.41 Perolehan dari dalam ini terdiri dari lima băgian hierarkis
(tingkatan), yaitu:42

1. Penerima indra (al-hiss yąng bertempat di pangkal syarafindra bagian depan


otak.
2. Penyimpan dari yang Oiterłnią (memorie' atau al-khayaliyat) Yang
bertempat di belakang syarafindra,
3. Pemaknaan (abstaktion alăW4młyyat) dari yang tersimpan di memori,
bertempat di rongga otaŔ țengah.
4. Pengingat țal-dzakiraâ) sebțai pembąrțding dari yang diketahui

26
Bertempat di otak bagłan Șeia ąng,

5. Penghubung dan pemeroses dari tempat sebelumnya


Dengan adanya akal seharusnya manusia menjadi actor utama dalam
kehidupan, artinya, dengan ilmu yang ia miliki mampu mengelola segala
urusan pribadi, lingkungan, agama, budaya dan menjadi bekal fundamental
untuk jadi perantara atau wakil Tuhan yang Hakiki. Al Ghazali merupakan
tokoh utama peletak dasar filosofis pertama kali teori iluminasionis
(pengentahuan tentang tuhan) yang memberikan penjelasan dan gambaran
bahwa wujud Tuhan merupakan wujud yang Esa (Tunggal) yang
keberadaan wujudnya tidak disebabkan oleh adanya wujud lain selain itu
adanya wujud tuhan menjadi sebab adanya wujud yang lain.

27
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1. Al-Ghazali adalah ulama besar dalam bidang agama. Dia termasuk salah seorang
terpenting dalam sejarah pemikiran agama secara keseluruhan. Barangkali al-
Ghazali dan Shalahuddin al-Ayyubi adalah orang yang paling dekat dan disukai
oleh orang-orang Nasrani di Barat karena keduanya dianggap sebagai orang
Muslim yang paling dekat dengan orang kristen. Al-Ghazali seorang filsuf dan
teolog Persia, yang dikenal sebagai Algazel di Dunia Barat pada abad
pertangahan.
2. Ilmu Menurut Al-Ghazali terbagi menjadi 3 bagian (Ontologi, Epistemologi,
Aksiologi)
3. Pandangan Imam Al-Ghazali terhadap filsafat pengikut Ateisme (al-Dahriyyun),
pengikut faham Naturalisme (al-Thabi’iyyun), dan penganut filsafat Ketuhanan
(ilahiyyun). Dalam al-Munqidz min al-Dhalal, al-Ghazali memberikan klasifikasi
filosof sekaligus memberikan penilaian (vonis kekafiran) kepada mereka.
Pandangan Imam Al-Ghazali terhadap filsuf seperti Aristoteles, Ibnu Sina dan al-
Farabi. Dalam Tahafut al-Falasifah, al-Ghazali memandang para filosof telah
melakukan kerancuan, setidaknya ada 20 masalah yang menyebabkan para filosof
ini menjadi ahli ahl al-bid’at dan kafir. Dari 20 persoalan ini, al-Ghazali
menegaskan bahwa para filosof menjadi kafir karena tiga masalah. Pertama, Para
filosof yang berpendapat bahwa alam itu Qadim (tidak mempunyai permulaan),
kedua, Pendapat filosof yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mungkin
mengetahui hal-hal yang bersifat partikular (pendapat yang dipegangi oleh Ibnu
Sina), ketiga, Penolakan filosof terhadap kebangkitan jasmani dan mortalitas jiwa
individu.
4. Pembahasan yang mendalam tentang metafisika dalam ilmu pengetahuan
memberikanya banyak wawasan bagaimana metafisika menjadi subtansive dalam
menelaah lebih jauh konsep keilmuan dalam menunjang kejayaan manusia dalam
berfikir dan menganalisis.

28
3.2. Saran
Demikianlah pokok bahasan makalah ini yang dapat kami paparkan. Besar
harapan kami makalah ini dapat bermanfaat untuk kalangan banyak. Karena
keterbatasan pengetahuan dan referensi, kami menyadari makalah ini masih jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat
diharapkan untuk makalah ini agar disusun lebih baik lagi dimasa yang akan
datang.

29
DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar abdurrazak. Inilah Kebenaran; Puncak Hujjah al-Ghazali untuk Para
Pencari Kebenaran. terj. Khaeron Sirin. Jakarta: Penerbit liman.

Ahmad Tafsir, Op. Cit.

Al-Ghazali, al-Munqidz min al-dhalal

Al-Ghazali, Tahafut Al Falasifah

al-Ghazali. Ihya Ulum al-Din Jilid I. (Jeddah : Dar al-Manhaj, 2011)

Amin, Husayn Ahmad Amin. Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam. (Bandung:
Rosdakarya, 2006),

Anwar, Syamsul. Loc. Cit.

Anwar, Syamsul. Pemikiran Usul Fiqih al-Ghazali. (Yogyakarta: Suara


Muhammdiyah, 2015)

Dedi Supriyadi. Pengantar Filsafat Islam, Bandung. 2009.

Ghazali, Bahri. Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali. (Yogyakarta: Pedoman Ilmu


Jaya, 1991)

Hanafi, Ahmad. Loc.Cit

Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1996)

https://jurnal.stitradenwijaya.ac.id/KonsepIlmuMenurutAl-Ghazali/2022

Madjidi, Busyair. Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim. (Yogyakarta: Al-Amin,


1997)

Najati, Muhammad Ustman. Jiwa Dalam Pandangan Para Filosof Muslim.


(Bandung: Pustaka Hidayah, 2002)

Sirajuddin Zar. Filsafat Islam. Jakarta. 2004.

Sirajuddin Zar. Filsafat Islam. Jakarta, 2004

30
Supriyadi, Dedi. Pengantar Filsafat Islam. Bandung, 2009

Syam, Nina W. Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi. (Bandung: Rosdakarya,


2013)

Syamsul Kurniawan, Ewin Mahrus. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam.


(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011)

Zainuddin, dkk. Seluk Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali. (Jakarta: Bumi Aksara,
1991)

Zamjani, Irsyad. Wacana Pendidikan al-Ghazali. (Surabaya: Jurnal Gerbang


vol. V, 2002)

31

Anda mungkin juga menyukai