Anda di halaman 1dari 19

ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN

Makalah ini Dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu:
Muhammad Dahlan

Kelas : 3C
Disusun oleh Kelompok X:

Aji Sentosa (11210110000089)


M. Yusuf Firmansyah (11210110000099)
M. Hidayatul Makky (11210110000101)
Khairani (11210110000097)
Akhyar
(11210110000093)

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
TAHUN 2021 M / 1444
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, Puja puji serta syukur kehadirat Allah


SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga tugas yang berbentuk makalah
ini dapat terselesaikan tepat waktu, meskipun dengan berbagai macam
kekurangan dan halangan. Tak lupa shalawat serta salam tercurahkan kepada
nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman kegelapan
hingga zaman terang benderang.
Makalah ini disusun sebagai bahan diskusi yang akan kami
presentasikan dan merupakan implementasi dari program belajar aktif mata
kuliah Filsafat Ilmu.
Semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat menambah wawasan
keilmuan kita dalam mempelajari Filsafat Ilmu, dapat memberikan manfaat
bagi pembacanya. Dalam penyusunan makalah ini penyusun menyadari masih
banyak kesalahan dan kekhilafan di dalamnya. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang bersifat membangun senantiasa kami harapkan demi
penyempurnaan makalah berikutnya.

Jakarta, 25 November 2022

Pemakalah
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB I
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1

BAB II
PEMBAHASAN.....................................................................................................2
A. Hakikat Islamisasi Ilmu Pengetahuan...........................................................2
B. Sejarah Islamisasi Ilmu Pengetahuan............................................................4
C. Tujuan Islamisasi Ilmu Pengetahuan............................................................7
D. Pelopor Islamisasi Ilmu Pengetahuan...........................................................8
E. Prinsip Dasar Islamisasi Ilmu Pengetahuan................................................11

BAB III
PENUTUP.............................................................................................................15
A. Kesimpulan.................................................................................................15
B. Saran............................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan melahirkan berbagai macam dampaknya
dalam kehidupan manusia dan lingkungannya, disatu sisi dia mampu
membantu dan meringankan beban manusia, disisi lain dia juga mempunyai
andil dalam menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan, bahkan eksistensi itu
sendiri. Ilmu barat yang bercorak sekuler melahirkan ilmu pengetahuan yang
jauh dari nilai-nilai spiritual, moral, dan etika. Oleh karena itu, Islamisasi ilmu
pengetahuan dalam pandangan para pemikir Islam merupakan suatu hal yang
harus dirumuskan dan dilaksanakan agar tercipta kehidupan yang harmonis.
Ada dua pendekatan yang digunakan dalam mencari kebenaran antara
kitab suci dan ilmu pengetahuan yaitu pendekatan kesesuaian dan pendekatan
konflik. Yaitu pendekatan kesesuaian antara kitab suci dan ilmu pengetahuan,
atau pendekatan konflik dimana mencari ketidak samaan antara kitab suci
dengan ilmu pengetahuan, namun dengan pendekatan apapun Al-Qur’an
sepanjang berpikiran logis dan penjelasan logis tidak ada pertentangan antara
kitab suci Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan modern.

B. Rumusan Masalah
1. Apa hakikat Islamisasi ilmu pengetahuan?
2. Bagaimana sejarah Islamisasi ilmu pengetahuan?
3. Apa tujuan Islamisasi ilmu pengetahuan?
4. Siapa Pelopor Islamisasi ilmu pengetahuan?
5. Apa saja Prinsip dasar Islamisasi ilmu pengetahuan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui hakikat dari Islamisasi ilmu pengetahuan.
2. Untuk mengetahui sejarah Islamisasi ilmu pengetahuan.
3. Untuk mengetahui tujuan Islamisasi ilmu pengetahuan.
4. Untuk mengetahui para pelopor Islamisasi ilmu pengetahuan.
5. Untuk mengetahui prisip dasar Islamisasi ilmu Pengetahuan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hakikat Islamisasi Ilmu Pengetahuan


Islamisasi menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah pembebasan
manusia dari unsur magic, mitologi, animisme, dan tradisi kebudayaan
kebangsaan dan penguasaan sekular atas akal dan bahasanya. Ini berarti
pembebasan akal dan atau pemikiran dari pengaruh pandangan hidup yang
diwarnai oleh kecenderungan sekuler, primordial, dan mitologis. 1 Jadi
Islamisasi ilmu pengetahuan adalah program dalam rangka membangun
peradaban Islam.
Bentuk yang diambil al-Attas adalah tauhidasi atau spiritualisasi. Yakni
memberikan landasan tauhid, dan keimanan, atau memberikan wawasan
metafisik atau ketuhanan kepada setiap objek yang dikaji oleh ilmu
pengetahuan, terutama objek alam jagat raya dan fenomena sosial.2
Untuk melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut, menurut al-Attas
perlu melibatkan dua proses yang saling berhubungan. pertama ialah
melakukan proses pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang
membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, dan kedua, memasukan elemen-
elemen Islam dan konsep-konsep kunci kedalam setiap cabang ilmu
pengetahuan masa kini yang relevan.3
Al-Attas menolak bahwa pandangangan bahwa Islamisasi ilmu bisa
tercapai dengan melabelisasi sains dan prinsip Islam atas ilmu sekuler. Usaha
yang demikian hanya akan memperburuk keadaan dan tidak ada manfaatnya
selama virusnya masih berada dalam ilmu itu sendiri sehingga ilmu yang
dihasilkan pun jadi mengambang, Islam bukan dan sekuler bukan. Padahal
tujuan Islamisasi itu sendiri adalah untuk melindungi umat Islam dari ilmu
yang sudah tercemar, menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan. Islamisasi

1
Adian Husaini, Filsafat Ilmu; Prespektif Barat dan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2013), h. 248.
2
Abuddin Nata, Islam dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), h. 307.
3
Adian Husaini, Filsafat Ilmu; Prespektif Barat dan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2013),
h. 259-260.

2
ilmu juga dimaksudkan untuk mengembangkan kepribadian muslim yang
sebenarnya sehingga menambah keimanan kepada Allah.
Sementara itu, Ismail Raji al-Faruqi dalam karyanya yang berjudul
Islamization of knowledge: General Principles and Workplan menjelaskan
pengertian Islamisasi ilmu sebagai usaha “untuk mengacukan kembali ilmu,
yaitu untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali
argument, dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data tersebut, menilai
kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan
melakukannya dengan memperkaya visi dan perjuangan Islam.4
Islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Faruqi adalah solusi terhadap
dualism sistem pendidikan kaum Muslimin saat ini. Baginya, dualism sistem
pendidikan harus dihapuskan dan disatukan dengan paradigm Islam. Paradigm
tersebut bukan imitasi dari barat, bukan juga semata-mata memenuhi
kebutuhan ekonomis dan pragmatis pelajar untuk ilmu pengetahuan
professional, kemajuan pribadi atau pencapaian pribadi. Namun, paradigm
tersebut harus diisi dengan sebuah misi, yang tidak lain adalah menanamkan,
menancapkan serta merealisasikan visi Islam dalam ruang dan waktu.5
Untuk mewujudkan rencana tersebut, al-Faruqi merumuskan rencana yang
harus ditempuh. Yaitu:
1. Penguasaan disiplin ilmu modern: prinsip, metodologi, masalah, tema, dan
perkembangannya.
2. Survei disiplin ilmu.
3. Penguasaan khazanah Islam: ontologi.
4. Penguasaan khazanah ilmiah Islam: analisis.
5. Penentuan relevasi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu.
6. Penilaian secara kritis terhadap disiplin keilmuan modern dan tingkat
perkembangannya di masa kini.
7. Penilaian secara kritis terhadap khazanah Islam.
8. Survei permasalahan yang dihadapi umat Islam.
4
Abu Muhammad Iqbal, PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM Gagasan-gagasan Besar Para
Ilmuan Muslim, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 645.
5
Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, (Bandung: Pustaka, 2003), h. 38.

3
9. Survei permasalahan yang dihadapi manusia.
10. Analisis dan sintesis kreatif.
11. Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam.
12. Penyebarluasan ilmu yang sudah diIslamkan.6

B. Sejarah Islamisasi Ilmu Pengetahuan


Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, proses Islamisasi ilmu pengetahuan
pada dasarnya telah berlangsung sejak permulaan Islam hingga zaman kita
sekarang ini. Ayat-ayat terawal yang diwahyukan kepada nabi secara jelas
menegaskan semangat Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, yaitu ketika
Allah menekankan bahwa Dia adalah sumber dan asal ilmu manusia. Ide yang
disampaikan al-Qur'an tersebut membawa suatu perubahan radikal dari
pemahaman umum bangsa Arab pra-Islam, yang menganggap suku dan tradisi
kesukuan serta pengalaman empiris, sebagai sumber ilmu pengetahuan dan
kebijaksanaan.
Pada sekitar abad ke-8 masehi, pada masa pemerintahan Daulah Bani
Abbasiyah, proses Islamisasi ilmu ini berlanjut secara besar-besaran, yaitu
dengan dilakukannya penterjemahan terhadap karya-karya dari Persia dan
Yunani yang kemudian diberikan pemaknaan ulang disesuaikan dengan
konsep Agama Islam. Salah satu karya besar tentang usaha Islamisasi ilmu
adalah hadirnya karya Imam al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, yang
menonjolkan 20 ide yang asing dalam pandangan Islam yang diambil oleh
pemikir Islam dari falsafah Yunani, beberapa di antara ide tersebut
bertentangan dengan ajaran Islam yang kemudian dibahas oleh al-Ghazali
disesuaikan dengan konsep aqidah Islam. Hal yang sedemikian tersebut,
walaupun tidak menggunakan pelebelan Islamisasi, tapi aktivitas yang sudah
mereka lakukan semisal dengan makna Islamisasi.
Selain itu, pada tahun 30-an, Muhammad Iqbal menegaskan akan perlunya
melakukan proses Islamisasi terhadap ilmu pengetahuan. Beliau menyadari

6
Abu Muhammad Iqbal, PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM Gagasan-gagasan Besar
Para Ilmuan Muslim, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 647-648.

4
bahwa ilmu yang dikembangkankan oleh Barat telah bersifat ateistik, sehingga
bisa menggoyahkan aqidah umat, sehingga beliau menyarankan umat Islam
agar "mengonversikan ilmu pengetahuan modern". Akan tetapi, Iqbal tidak
melakukan tindak lanjut atas ide yang dilontarkannya tersebut. Tidak ada
identifikasi secara jelas problem epistimologis mendasar dari ilmu
pengetahuan modern Barat yang sekuler itu, dan juga tidak mengemukakan
saran-saran atau program konseptual atau metodologis untuk megonversikan
ilmu pengetahuan tersebut menjadi ilmu pengetahuan yang sejalan dengan
Islam. Sehingga, sampai saat itu, belum ada penjelasan yang sistematik secara
konseptual mengenai Islamisasi ilmu pengetahuan.
Ide Islamisasi ilmu pengetahuan ini dimunculkan kembali oleh Syed
Hossein Nasr, pemikir muslim Amerika kelahiran Iran, tahun 60-an. Beliau
menyadari akan adanya bahaya sekularisme dan modernisme yang
mengancam dunia Islam, karena itulah beliau meletakkan asas untuk konsep
sains Islam dalam aspek teori dan praktikal melalui karyanya Science and
Civilization in Islam dan Islamic Science. Nasr bahkan mengklaim bahwa ide-
ide Islamisasi yang muncul kemudian merupakan kelanjutan dari ide yang
pernah dilontarkannya.
Gagasan tersebut kemudian dikembangkan oleh Syed M. Naquib al-Attas
sebagai proyek "Islamisasi" yang mulai diperkenalkannya pada Konferensi
dunia mengenai Pendidikan Islam yang Pertama di Makkah pada tahun 1977.
Al-Attas dianggap sebagai orang yang pertama kali mengupas dan
menegaskan tentang perlunya Islamisasi pendidikan, Islamisasi sains, dan
Islamisasi ilmu. Dalam pertemuan itu beliau menyampaikan makalah yang
berjudul "Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the
Definition and Aims of Education". Ide ini kemudian disempurnakan dalam
bukunya, Islam and Secularism (1978) dan The concepts of Education in
Islam A Framework for an Islamic Philosophy of Education (1980).

5
Persidangan inilah yang kemudian dianggap sebagai pembangkit proses
Islamisasi selanjutnya.7
Selain itu, secara konsisten dari setiap yang dibicarakannya, al-Attas
menekankan akan tantangan besar yang dihadapi zaman pada saat ini, yaitu
ilmu pengetahuan yang telah kehilangan tujuannya. Menurut al-Attas, "Ilmu
Pengetahuan" yang ada saat ini adalah produk dari kebingungan skeptisme
yang meletakkan keraguan dan spekulasi sederajat dengan metodologi
"ilmiah" dan menjadikannya sebagai alat epistemologi yang valid dalam
mencari kebenaran. Selain itu, ilmu pengetahuan masa kini dan modern,
secara keseluruhan dibangun, ditafsirkan, dan diproyeksikan melalui
pandangan dunia, visi intelektual, dan persepsi psikologis dari kebudayaan
dan peradaban Barat. Jika pemahaman ini merasuk ke dalam pikiran elite
terdidik umat Islam, maka akan sangat berperan timbulnya sebuah fenomena
berbahaya yang diidentifikasikan oleh al-Attas sebagai "deIslamisasi pikiran
pikiran umat Islam". Oleh karena itulah, sebagai bentuk keprihatinannya
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan ia mengajukan gagasan tentang
“Islamisasi Ilmu Pengetahuan Masa Kini” serta memberikan formulasi awal
yang sistematis yang merupakan prestasi inovatif dalam pemikiran Islam
modern.8
Gagasan awal dan saran-saran konkrit yang diajukan al-Attas ini, tak pelak
lagi, mengundang pelbagai reaksi dan salah satunya adalah Ismail Raji al-
Faruqi dengan agenda Islamisasi Ilmu Pengetahuannya. Dan hingga saat ini
gagasan Islamisasi ilmu menjadi misi dan tujuan terpenting (raison d’etre)
bagi beberapa institusi Islam seperti International Institute of Islamic Thought
(IIIT), Washington DC., International Islamic University Malaysia (IIUM),
Kuala Lumpur, Akademi Islam di Cambridge dan International Institute of
Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur.

7
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 46-49.
8
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 334.

6
C. Tujuan Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Dalam merumuskan langkah-langkah Islamisasi ilmu pengetahuan al-
Faruqi menyampaikan lima tujuan, yaitu:
1. Penguasaan disiplin ilmu modern;
2. Penguasaan khazanah warisan Islam;
3. Membangun relevansi Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern;
4. Memadukan nilai-nilai dan khazanah warisan Islam secara kreatif dengan
ilmu-ilmu modern;
5. Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai
pemenuhan pola rencana Allah.9
Selanjutnya, secara umum Islamisasi ilmu tersebut dimaksudkan untuk
memberikan respon positif terhadap realitas ilmu pengetahuan modern yang
sekularistik dan Islam yang “terlalu” religius, dalam model pengetahuan baru
yang utuh dan integral tanpa pemisahan diantaranya. Kegiatan al-Faruqi dalam
masalah Islamisasi didorong oleh pendapatnya bahwa ilmu pengetahuan ini
sudah sekuler dan jauh dari kerangka tauhid. Untuk itu beliau menyusun
kerangka teori, metode, dan langkah praktis menuju Islamisasi ilmu
pengetahuan. Sejalan dengan itu, beliau juga menyerukan adanya perombakan
sistem pendidikan Islam yang mengarah kepada Islamisasi ilmu pengetahuan
dan terciptanya paradigm tauhid dalam pengetahuan dan pendidikan.
Sumbangan Islam bagi ilmu pengetahuan ialah paham tauhid: monoteisme
yang tegas dan tidak mengenal kompromi. Tauhid juga bisa disebut paham
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah ajaran yang menegaskan bahwa Tuhan
adalah asal usul manusia dan tujuan hidup manusia, termasuk peradaban dan
ilmu pengetahuannya. Kini muncul banyak kritik kepada peradaban modern
dengan teknologi dan ilmu pengetahuannya itu. Dari sudut pandang Islam,
hanya segi metode dan empirisme ilmu pengetahuan modernlah yang
nampaknya sah (valid). Sedangkan dalam hal moral dan etika, ilmu

9
Al-Faruqi dalam Adian Husaini, Filsafat Ilmu; Prespektif Barat dan Islam, (Jakarta: Gema
Insani, 2013), h. 263.

7
pengetahuan modern amat miskin. Di sinilah letak inti sumbangan Islam
dengan sistem keimanan berdasarkan tauhid itu, kaum Muslim diharapkan
mampu menawarkan penyelesaian atas masalah moral dan etika ilmu
pengetahuan modern. Manusia harus disadarkan kembali akan fungsinya
sebagai ciptaan Tuhan, yang dipilih untuk menjadi khalifah-Nya di muka
bumi ini kepada-Nya. Ilmu pengetahuan berasal dari Tuhan, dan harus
digunakan dalam senmangat mengabdi kepada-Nya.10

D. Pelopor Islamisasi Ilmu Pengetahuan


Ide islamisasi ilmu sebenarnya bukan konsep baru, melainkan konsep lama
yang kembali diaktualkan, mungkin hanya beda istilah saja. Namun, ketika
umat Islam berada pada posisi kemunduran dan ingin bangun darikemunduran
gagasan Islamisasi ilmu dianggap baru, tepat dan membumi. Karenaitu,
tidaklah mengherankan gagasan Islamisasi disambut positif oleh kalangan
dunia Islam dan para ilmuannya. Ada sejumlah tokoh yang telah berbicara
tentangIslamisasi ilmu, yaitu;
1. Al-Farabi
Al-Farabi, lahir di Turki di daerah Farab, dalam Filsafat Islam
disebut gurukedua, maksudnya Aristoteles disebut guru pertama, al-Farabi
guru kedua. Ia terkenal penganut filsafat emanasi yang diadopsi dari
filsafat emanasiAristoteles. Karya-karyanya yang terkenal di antaranya
yaitu Ihsha’ Al -Ulum (klasifikasi ilmu). Seperti yang dijelaskan oleh
Osman Bakar, klasifikasi ilmu menurut Al-Farabi yaitu ilmu religious;
tafsir, hadis, ushul fikih. Psikologi, ilmu kebahasaan dan logika, ilmu-ilmu
filosofis; matematika, ilmu alam,metafisika, ilmu politik, yurispurdensi
dan teologi.11
Klasifikasi ilmu ini padadasarnya merupakan kerangka berpikir untuk
Islamisasi ilmu. Karena padawaktu itu terdapat kebuntuan di kalangan

10
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan KeIndonesiaan, (Bandung: Mizan, 2013), h. 331-
332.
11
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, terjemah Purwanto Hierarki
IlmuMembangun Rangka Pikir Islamisasi ilmu (Bandung: Mizan, 1997), h. 38.

8
ilmuan Islam mengenai dikotomiantara ilmu dan agama (Islam). Sebagai
solusinya maka Al-Farabimenciptakan klasifikasi ilmu.
2. Al-Ghazali (1058-1111 M)
Imam Ghazali mendapatkan gelar hujjatul Islam, filosof, fuqaha,
teolog dansufi, lahir di Thus, sekarang masuk wilayah Khurasan. Karya-
karyanya yang terkenal di antaranya Ihya Ulumuddin, al-Munkiz min ad-
dalal (penyelamatdari kesesatan), dan Tahafut al-Falasifah (kerancuan
filsafat). Para pencari ilmu menurutnya dibagi empat. 1). Para teolog. 2).
Filosof. 3). Taklimiyah dan 4). Sufi.12 Sedangkan klasifkasi ilmu
menurutnya dibagi dua. Pertama, ilmu syar’iyah (naqliyah) dan kedua
ghairi syar’iyah (aqliyah). Pembagian ini sering juga disebut ilmu teoritis
dan praktis. Kelompok ilmu masuk syar’iyah yaitu:
1) Ilmu al-Ushul; ilmu tauhid, ilmu tentang kenabian, eskatologis
(akhirat)dan ilmu tentang sumber pengetahuan religious; Al-Quran dan
Sunnahsebagai sumber primer sedangkan ilmu sumber skunder yaitu
ijmak danatsar sahabat. Ilmu ini dibagi kepada dua hal, yaitu ilmu-ilmu
alat dan ilmu-ilmu pelengkap; ulum Al-Quran, Ulum al-Hadis, ushul
fikih, dan biografi para tokoh.
2) Ilmu tentang cabang-cabang (furuq); ilmu tentang kewajiban
manusiakepada Allah, ilmu tentang kewajiban kepada masyarakat;
transaksi,qisas, dan hukum keluarga serta Ilmu tentang akhlak.
Kelompok ilmu ghairi syar’iyah (aqliyah), yaitu :
a) Matematika; aritmatika, geometri, musik, astronomi dan astrologi.
b) Logika
c) Ilmu alam atau fisika; kedokteran, meteorologi mineralogi dan kimia.
d) Metafisika; ontologi, pengetahuan tentang esensi, sifat dan perbuatan
Tuhan, pengetahuan tentang substansi-substansi sederhana
(intelegensia) dan substansi-subtansi malaikat.
e) Pengetahuan tentang alam ghaib.
f) Ilmu tentang kenabian dan ilmu tentang mimpi.

12
Ibid. h. 207

9
g) Ilmu supernatural.
Klasifikasi ilmu yang diciptakan oleh Imam Al-Ghazali sebenarnya
ingin mendudukkan bahwa tidak terjadi dikotomi antara ilmu syar’iyah
(naqliyah) dan ilmu ghairi syar’iyah (aqliyah), perbedaannya ilmu
syar’iyah (naqliyah) sumber kebenarannya wahyu Allah dan ghairi
syar’iyah (aqliyah) yaitu akal manusia,kekuatan akal manusia adalah
terbatas sedangkan kebenaran wahyu Allah bersifatmutlak. Mengutip
Amsal Bachtiar yang membedakannya hanya soal pembidanganilmu saja,
ilmu naqliyah dan aqliyah.13
3. Ismail Rajiq al-Faruqi.
Beliau Lahir di daerah Jaffa, Palestina tahun 1921, sebuahnegeri
yang tidak pernah merdeka dan dijajah oleh Israel hingga kini. Iaterkenal
sebagai ilmuan muslim, pendidik, dan pejuang Palestina yanggigih
memperjuangkan negerinya untuk merdeka. Karirnya dalam bidang
pendidikan melejit setelah ia hijrah ke Amerika pada tahun 1947 dan
padatahun 1949 ia memperoleh gelar Magister di bidang filsafat di
Universitas Indiana dan gelar Doktor diperoleh dari universitas yang sama.
Ismail Rajiq al-Faruqi. Lahir di daerah Jaffa, Palestina tahun 1921,
sebuahnegeri yang tidak pernah merdeka dan dijajah oleh Israel hingga
kini. Iaterkenal sebagai ilmuan muslim, pendidik, dan pejuang Palestina
yanggigih memperjuangkan negerinya untuk merdeka. Karirnya dalam
bidang pendidikan melejit setelah ia hijrah ke Amerika pada tahun 1947
dan padatahun 1949 ia memperoleh gelar Magister di bidang filsafat di
UniversitasIndiana dan gelar Doktor diperoleh dari universitas yang
sama.14
Latar belakang munculnya gagasan Islamisasi Ilmu pengetahuan
disebabkan tedapatnya dualisme sistem pendidikan Islam, yang satu
bercorak pendidikan agama dan kedua bercorak pendidikan umum,
menurutnya keduanya harus disatukan ke dalam paradigma Islam berdasar

13
Amsal Bachtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: Rajawali Press, 2004), h. 129
14
Moeflich Hasbullah, (ed), Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Jakarta: LSAF, 2000),h. Xii

10
tauhid, tidak memisahkanantara dalil naqal dan akal. Kedua dalil ini saling
terkait tak terpisah, kebenarannaqal bersifat mutlak dan kebenaran akal
adalah bersifat nisbi (relatif).

E. Prinsip Dasar Islamisasi Ilmu Pengetahuan


Untuk menunjang pelaksanaan Islamisasi ilmu pengetahuan, termasuk
ilmu-ilmu sosial, al-Faruqi melihat tiga hal pokok yang harus mendapat
perhatian dari para ilmuwan Muslim, yaitu:15
1. Masalah sumber daya manusia (SDM).
Perlu ditumbuhkan kesadaran yang tinggi di kalangan para
ilmuwan Muslim akan pentingnya mengislamkan ilmu-ilmu sosial, karena
tidak sedikit ilmuwan Muslim yang otak mereka justeru sudah dicuci oleh
pikiran-pikiran Barat, sehingga mereka menjadi musuh di dalam
mewujudkan upaya ini.
2. Masalah bahan telaah dan piranti penelitian.
Bahan-bahan telaah kepustakaan dalam berbagai disiplin yang
telah tersusun secara topikal seharusnya dipersiapkan buat tradisi belajar
Islam dan tradisi belajar Barat. Dua transaksi ini memiliki kekhasan
masing-masing yang kalau tidak dipilah akan kabur, sehingga tradisi
belajar Islam akan terkubur di bawah tradisi belajar Barat. Di samping
survey-survey kepustakaan, juga harus dipersiapkan berbagai bacaan yang
secara topikal tersusun seseuai dengan masing-masing disiplin masalah
atau wilayah dalam disiplin tersebut. Berbagai tulisan dan survey analitik
perkembangan masalah, disiplin, atau penelitian kontemporer juga harus
dipersiapkan.
3. Masalah karya-karya kreatif.
Program-program utama lokakarya dan seminar-seminar harus pula
dirancang guna membantu para ahli yang berbakat mengarang siap
menggunakan pemahamannya, artikel-artikelnya, essay-essaynya, dan

15
Dr. Muzaki,th.--- Memahami Islamisasi Ilmu Pengetahuan Jurnal PKndan Hukum-FIS-UNY., h.
7-8

11
buku-buku kreatifnya untuk membangun relevansi Islam dengan berbagai
ragam disiplin dan dengan masalah-masalah utama dalam masing-masing
disiplin.
Di samping mengemukakan prinsip-prinsip yang perlu
diperhatikan dalam melakukan Islamisasi ilmu-ilmu sosial, al-Faruqi juga
menunjukkan beberapa kelemahan metodologis yang berkembang di Barat
dalam pengembangan ilmu pengetahuan modern. Di antara kelemahan
pokoknya adalah:16
1. Penyangkalan relevansi dengan data apriori.
Al-Faruqi menilai para penelaah Barat yang mempelajari
masyarakat dengan aneka coraknya kurang menyadari bahwa tidak
semua data berkaitan dengan perilaku manusia dapat diamati dengan
akal sehat dan karenanya bisa menjadi sasaran kuantifikasi dan
pengukuran. Fenomena manusia bukanlah gejala yang terdiri dari
elemen-elemen “alam” yang eksklusif. Hubungan-hubungan sosial
yang secara universal tidaklah sama dalam berbagai kelompok
manusia, tetapi tergantung kepada tradisi-tradisi budaya, agama, dan
preferensi pribadi serta kelompok yang tidak pernah bisa dibatasi
secara mendalam. Agar analisis terus ilmiah, ilmuwan sosial secara
tidak sah mengurangi komponen moral atau kepribadiannya. Hingga
saat ini metodologi ilmuwan tersebut belum memiliki peralatan yang
dapat mengenal dan berkaitan dengan komponen spiritual.
2. Pengertian objektivitas yang palsu.
Al-Faruqi menyatakan bahwa data perilaku manusia tidaklah sama
dengan data perilaku alam. Data perilaku manusia bukanlah sesuatu
yang mati, melainkan merupakan sesuatu yang hidup yang bukan tidak
mempan terhadap sikap dan preferensi pengamat dan tidak membuka
dirinya sebagaimana data ini sesungguhnya kepada setiap peneliti.
Dalam persepsi tentang benda-benda “mati”, pikiran sehat pengamat
adalah pasif. Seluruh akal sehat ditentukan oleh data. Ini berbeda

16
Ibid. h. 8-9

12
dengan persepsi nilai-nilai, pengamat dengan aktif berempati atau
beremosi dengan data, apakah data itu sesuai atau tidak dengannya.
Persepsi nilai merupakan determinasi nilai-nilai itu sendiri. Suatu nilai
dikatakan terpahami jika nilai itu telah bergerak, mempengaruhi, dan
menimbulkan emosi atau perasaan dalam diri pengamat seperti hakikat
yang dituntut oleh pengamat itu sendiri. Persepsi nilai tidaklah
mungkin dipahami kecuali jika perilaku manusia dapat menggerakkan
pengamat. Di samping itu, pengamat tidak tergerakkan kecuali dia
terlatih untuk dipengaruhi.
Al-Faruqi menambahkan bahwa para ilmuwan sosial Barat dengan
tegas menyatakan bahwa penyelidikan mereka objektif, kendatipun
diketahui bahwa penyelidikan mereka terjebak pada prasangka mereka
sendiri dan kesimpulan yang mereka ambil terbatas sekali
pengertiannya. Antropologi dinilai al-Faruqi sebagai yang paling sadis
di antara ilmu-ilmu sosial yang ada. Ini disebabkan objek antropologi,
yakni masyarakat “primitif’ dari dunia non-Barat, merupakan data
yang diam yang tidak punya kemampuan untuk menimbulkan
keterlibatan kritis para “tuan” itu. Pikiran Barat masih tetap merupakan
jalan yang sangat jauh untuk menyadari bahwa memahami agama,
peradaban, dan kebudayaan orang lain memerlukan bias yang
berlawanan dan empati dengan data, jika ingin memahami data itu
secara keseluruhan.
3. Aksiologi pribadi versus ummatiyah.
Al-Faruqi menganggap ilmu sosial Barat tidaklah lengkap. Ilmu
sosial Barat hanya diperlukan bagi kepentingan Barat dan karenanya
tidak bermanfaat untuk dijadikan suatu metode bagi para penelaah
Muslim. Lebih jauh al-Faruqi mengatakan bahwa ilmu sosial Barat
merusak syarat penting metodologi Islam, yaitu kesatuan kebenaran
(unity of truth). Landasan prinsip tersebut adalah bahwa kebenaran
adalah suatu kadar perasaan akan Tuhan dan tidak dapat terpisahkan
dari-Nya. Di samping itu, prinsip ini berpegang teguh pada landasan

13
bahwa kebenaran hanya satu sebagaimana Tuhan juga hanya satu.
Prinsip metodologi Islam tidaklah identik dengan prinsip relevansi
spiritual. Prinsip metodologi Islam menambahkan sesuatu yang khas
Islami, yaitu prinsip ummatiyah. Landasan prinsip ini adalah bahwa
tiada nilai dan tiada kewajiban yang semata-mata pribadi. Islam
menegaskan bahwa perintah Tuhan atau kewajiban moral perlu bagi
masyarakat. Secara esensial perintah Tuhan berhubungan dan hanya
berlaku dalam tatanan sosial ummah.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Islamisasi ilmu pengetahuan pada hakekatnya merupakan suatu
upaya mentransfomasikan nilai-nilai Islam ke dalam berbagai bidang
kehidupan, khusunya ilmu pengetahuan. Dengan Islamisasi ilmu
pengetahuan, dapat diketahui dengan jelas bahwa Islam mengatur semua
aspek kehidupan, bukan hanya mengatur masalah ibadah semacam shalat,
puasa, zakat, haji atau mengurus jenazah. Islam mengintegrasikan masalah
dunia dengan akhirat, mensinergi- kan iman, ilmu dan amal, memadukan
dzikir dengan fikir. Singkat- nya Islam mengintegrasikan nilai-nilai moral
ke dalam segi-segi kehidupan duniawi termasuk ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Saat ini dunia didominasi peradaban Barat yang dengan
keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi menguasai dunia. Peradaban
Barat terbukti memberi kontribusi pada munculnya serangkaian krisis
global. Pada kondisi yang demikian, kehadiran ilmu pengetahuan Islami
merupakan suatu kebutuhan bagi umat manusia. Maka proyek Islamisasi
ilmu pengetahuan adalah sebuah megaproyek yang ditunggu hasilnya.
Realisasi Islamisasi ilmu pengetahuan menggunakan beberapa
pendekatan, mulai dari sekedar labelisasi, pendekatan aksiologis,
pendekatan internalisasi nilai-nilai Islam dan penerapan prinsip Tauhid,
hingga melalui pendidikan Islam. Pendekatan penerapan nilai-nilai Islam
dan penerapan prinsip Tauhid, dan pendekatan melalui pendidikan
merupakan pendekatan yang cukup idealis dan realistis. Bila ini bisa
dioperasionalisasikan, Insya Allah akan muncul bangunan ilmu
pengetahuan yang membawa kepada keharmonisan dan kebahagiaan yang
hakiki bagi umat manusia dan seluruh alam.

B. Saran
Penulis memberikan saran kepada para pembaca bahwa kita
sebagai seorang muslim sudah seharusnya bangkit dari keterpurukan.
Setelah mempelajari islmaisasi ilmu pengetahuan seharusnya muncul dari
diri kita semangat untuk mempelajarai berbagai ilmu pengetahuan yang
sudah diislamisasikan oleh para ulama-ulama kita terdahulu lalu kita
kembangkan ilmu-ilmu tersebut sehingga menjadikan islam semakin maju
dan bangkit dari keterpurukan dan ketertinggalan, serta islam mampu
untuk bersaing dengan barat bahkan melampauinya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Al-Faruqi, Ismail Raji. Islamisasi Pengetahuan. Bandung: Pustaka. 2003


Amsal Bachtiar, Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Press. 2004
Husaini, Adian. Filsafat Ilmu; Prespektif Barat dan Islam. Jakarta: Gema Insani.
2013
Iqbal, Abu Muhammad. PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM Gagasan-gagasan
Besar Para Ilmuan Muslim. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2015.
Madjid, Nurcholish. Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
2013.
Majid, Nurcholis, Islam, Kemodernan, dan KeIndonesiaan. Bandung: Mizan.
2013.
Moeflich Hasbullah, (ed), Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Jakarta: LSAF.
2000.
Muzaki. Memahami Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Jurnal PKndan Hukum-FIS-
UNY. Th.---.
Nata, Abuddin. Islam dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Prenadamedia Group. 2018.
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan KeIndonesiaan. Bandung: Mizan.
2013.
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, terjemah Purwanto Hierarki
Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi ilmu. Bandung: Mizan. 1997
Tafsir, Ahmad. Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
Pengetahuan. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2004.

16

Anda mungkin juga menyukai