Anda di halaman 1dari 21

PENDIDIKAN ISLAM

PERSPEKTIF IMAM
AL-GHAZALI
M Nur Ade Saputra 2212120172
Naufal Farras 2212120174
Sulaiman Alfarizi 2212120167
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Al-Ghazali merupakan salah satu tokoh Muslim yang
pemikirannya sangat luas dan mendalam dalam berbagai hal
diantaranya dalam masalah pendidikan. Pada hakikatnya usaha
pendidikan menurut Al-Ghazali adalah dengan mengutamakan
beberapa hal terkait yang diwujudkan secara utuh dan terpadu karena
konsep pendidikan yang dikembangkannya berawal dari kandungan
ajaran dan tradisi Islam yang menjunjung berprinsip pendidikan
manusia seutuhnya.
Al-Ghazali merupakan tokoh filosof Islam yang terkenal bukan
hanya dalam kalangan umat Islam tetapi juga terkenal dikalangan
orang non Islam.Kehebatan al-Ghazali telah memberi kesan
mendalam di jiwa umat Islam dari segi pemikiran, budi pekerti, dan
pendidikan. Keilmuannya sangat meluas dalam berbagai bidang ilmu
terutama dalam bidang falsafah, akidah, fiqh, ilmu kalam, tasawuf,
pendidikan, politik dan sebagainya. Serta dengan berbagai karya tulis
ilmiah yang dikarangnya.
Rumusan 1. Bagaimana Riwayat Hidup Imam
Al- Ghazali?

Masalah 2. Bagaimana Konsep Pendidikan


Islam Menurut Perspektif Imam
Al-Ghazali?
1. Untuk Mengetahui Riwayat Hidup
Tujuan Imam Al-Ghazali?
2. Untuk Mengetahui Konsep
Pendidikan Islam Menurut
Perspektif Imam Al-Ghazali?
 
Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi An-
Naysaburi.Beliau dilahirkan di Thus, sebuah Kota di Khurasan Persia pada tahun 450 H. atau 1058 M. Ayahnya seorang
pemintal wol. Al-Ghazali mempunyai seorang saudara, ketika akan meninggal ayahnya berpesan kepada seorang sahabat setia
agar kedua putranya diasuh dan disempurnakan pendidikannya. Sahabat tersebut segera melaksanakan wasiat ayah Al-Ghazali
dengan mendidik dan menyekolahkan keduanya. Setelah harta pusaka peninggalan ayah mereka habis, keduanya dinasehati
agar meneruskan mencari ilmu semampunya. Imam Al-Ghazali sejak kecil dikenal sebagai seorang anak pencinta ilmu
pengetahuan dan pencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa nestapa dan sengsara. Di
masa kanak-kanak, Imam Al-Ghazali belajar kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Raziqani di Thus kemudian belajar kepada
Abi Nasr Al-Ismaili di Jurjani dan akhirnya ia kembali ke Thus.
Al-Ghazali banyak mengarang kitab dalam berbagai disiplin ilmu. Karangan-karangannya meliputi Fikih, Ushul Fikih,
Ilmu Kalam, Teologi Kaum Salaf, bantahan terhadap kaum Batiniah, Ilmu Debat, Filsafat dan khususnya yang menjelaskan
tentang maksud filsafat serta bantahan terhadap kaum filosof, logika, tasawuf, akhlak dan psikologi. Kitab terbesar karya Al-
Ghazali yaitu Ihya ‘Ulumuddin (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama), karangannya ini beberapa tahun dipelajari secara seksama
di antara Syam, Yerussalem, Hajaz, dan Thus. Karyanya berisi paduan yang indah antara fikih, tasawuf dan filsafat; bukan saja
terkenal di kalangan kaum Muslimin tetapi juga di kalangan dunia Barat. Bukunya yang lain yaitu Al-Munqidz min al-Dhalal
(Penyelamat dari Kesesatan) berisikan sejarah perkembangan alam pikiran dan mencerminkan sikapnya yang terakhir
terhadap beberapa macam ilmu serta jalan untuk mencapai Tuhan.
karya-karya Al-Ghazali
Maqasid al-Falasifah
Bidang Filsafat Al-Ma’arif
Tafahut al-Falasifah al-’Aqliyah

Bidang Agama Ihya ‘Ulumudin


Al-Munqidz min al-Dhalal
Minhaj al-Abidin

Bidang Ahklak-Tasawuf Mizan al-Amal


Al-Adab fi al-Din
Kitab al-Arbain
Ar-Risalah al-Laduniyah
Bidang Kenegaraan
Mishkat al-anwar

Mustazhiri Nasihat al-Muluk

Sirr al-Alamin Suluk al-Sulthanah


Pendidikan Islam Perspektif Imam Al-Ghazali
1. Tujuan Pendidikan

Menurut Al-Ghazali tujuan utama pendidikan Islam itu adalah ber-taqarrub kepada Allah Sang Khaliq, dan manusia
yang paling sempurna dalam pandangannya adalah manusia yang selalu mendekatkan diri kepada Allah. Untuk mencapai
tujuan dari sistem pendidikan apapun, dua faktor asasi berikut ini mutlak adanya: Pertama, aspek- aspek ilmu pengetahuan
yang harus dibekalkan kepada murid atau dengan makna lain ialah kurikulum pelajaran yang harus dicapai oleh murid.
Kedua, metode yang telah digunakan untuk menyampaikan ilmu- ilmu atau materi-materi kurikulum kepada murid,
sehingga ia benar-benar menaruh perhatiannya kepada kurikulum dan dapat menyerap faidahnya. Dengan ini, murid akan
sampai kepada tujuan pendidikan dan pengajaran yang dicarinya.
Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali, dapat diketahui dengan jelas, bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai
melalui kegiatan pendidikan ada dua: Pertama, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri
kepada Allah. Kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Karena itu ia
bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran-sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud
pendidikan itu. Tujuan itu tampak bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi.
2. Kurikulum Pendidikan
Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama yang sangat
menentukan bagi kehidupan masyarakat. Al-Ghazali agaknya menginginkan bahwa umat Islam memiliki gambaran yang
makro, dan utuh tentang agama, yang diyakininya sebagai sumber ilmu pengetahuan dan landasan yang dipahami dengan
sungguh-sungguh yang pada kenyataannya kemudian menjadi cara berpikir yang penting dalam memberikan kerangka
bangunan ilmu pengetahuan.

Beliau telah membagi ilmu pengetahuan yang terlarang dipelajari atau wajib dipelajari oleh anak didik menjadi tiga
kelompok ilmu, yaitu:
a. Ilmu yang tercela, banyak atau sedikit. Ilmu ini tak ada manfaatnya bagi manusiadi dunia ataupun di akhirat, misalnya
ilmu sihir, nujum, dan ilmu perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudarat dan akan meragukan
kebenaran adanya Allah.
b. Ilmu yang terpuji, banyak atau sedikit, misalnya ilmu tauhid, ilmu agama. Ilmu ini jika dipelajari akan membawa orang
kepada jiwa yang bersih dari kerendahan dan keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada Allah.
c. Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, ang tidak boleh didalami, karena ilmu ini dapat membawa kepada kegoncangan
iman dan ilhad, misalnya ilmu filsafat.
Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, Al-Ghazali membagi lagi menjadi dua kelompok dilihat dari kepentingannya,
yaitu:
1) Ilmu-ilmu yang fardhu ‘ain yang wajib dipelajari oleh semua orang Islam meliputi ilmuilmu agama yakni ilmu yang
bersumber dari kitab suci Al-Qur’an dan hadits.
2) Ilmu yang merupakan fardhu kifayah untuk dipelajari setiap muslim. Ilmu ini adalah ilmu yang dimanfaatkan untuk
memudahkan urusan hidup duniawi, misalnya ilmu hitung (matematika), ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian
dan industri.
Al-Ghazali mengusulkan beberapa ilmu pengetahuan yang harus dipelajari di sekolah sebagai berikut:
a) Ilmu Al-Qur’an dan ilmu agama, seperti fikih, hadits dan tafsir.
b) Sekumpulan bahasa, nahwu dan makhraj serta lafaz-lafaznya, karena ilmu ini berfungsi membantu agama.
c) Ilmu-ilmu yang fardhu kifayah, yaitu ilmu kedokteran, matematika, dan teknologiyang beraneka macam jenisnya,
termasuk juga ilmu politik.
d) Ilmu kebudayaan seperti syair, sejarah dan beberapa cabang filsafat.
Dalam membuat sebuah kurikulum pendidikan, Al-Ghazali memiliki dua kecenderungan sebagai berikut:
Pertama, kecenderungan terhadap agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat Al-Ghazali menempatkan ilmu-
ilmu agama di atas segalanya dan memandangnya sebagai alat untuk menyucikan dan membersihkan diri dari pengaruh
kehidupan dunia. Kecenderungan ini membuat Al-Ghazali lebih mementingkan pendidikan etika, karena menurutnya ilmu
ini berkaitan erat dengan ilmu agama.
Kedua, kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam karya tulis Al-Ghazali. Dia menjelaskan bahwa
ilmu yang tidak bermanfaat bagi manusia merupakan ilmu yang tak bernilai. Bagi Al-Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari
fungsi dan kegunaannya dalam bentuk amaliyah. Setiap amaliah yang disertai ilmu harus pula disertai dengan
kesungguhan dan niat yang tulus ikhlas.
3. Pendidik
Menurut Al-Ghazali pendidik merupakan muslihul kabir. Bahkan dapat dikatakan pula, pendidik mempunyai jasa
lebih dibandingkan kedua orang tuanya. Itu lantaran kedua orang tuanya menyelamatkan anaknya dari sengatan api dunia,
sedangkan para pendidik menyelamatkannya dari sengatan api neraka. Al-Ghazali seorang pendidik Islam memandang
bahwa seorang pendidik mempunyai kedudukan utama dan sangat penting.
Menurut Al-Ghazali, terdapat beberapa sifat penting yang harus dimiliki oleh guru sebagai orang yang diteladani,
yaitu: (1) Amanah dan tekun bekerja; (2) Bersifat lemah lembut dan kasih sayang terhadap murid; (3) Dapat memahami
dan berlapang dada dalam ilmu serta orang-orang yang mengajarkannya; (4) Tidak rakus pada materi; (5) Berpengetahuan
luas; serta (6) Istiqamah dan memegang teguh prinsip.
Al-Ghazali menguraikan sejumlah tugas yang harus dilaksanakan oleh seorang pendidik yang dijelaskannya sebagai
berikut:
1) Hendaknya seorang guru mencintai muridnya bagaikan mencintai anaknya sendiri. Pengarahan akan kasih sayang
kepada murid mengandung makna dan tujuan memperbaiki hubungan pergaulan dengan anak didiknya, dan
mendorong mereka untuk selalu mencintai pelajaran, guru, dan sekolah dengan tanpa berlaku kasar terhadap mereka.
2) Guru tidak usah mengharapkan adanya gaji dari tugas pekerjaannya, karena mendidik atau mengajar merupakan
tugas pekerjaan mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW. Nilainya lebih tinggi dari ukuran harta atau uang.
3) Guru hendaknya menasehati siswanya agar tidak menyibukkan diri dengan ilmu yang abstrak dan yang gaib-gaib.
4. Terangkanlah bahwa niat belajar itu supaya dapat mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk bermegah-megahan
dengan ilmu pengetahuan itu.
5. Guru wajib memberikan nasehat kepada murid-muridnya agar menuntut ilmu yang bermanfaat tersebutyang
nantinya akan membawa kepada kebahagiaan hidup akhirat, yaitu ilmu agama.
6. Menasehati para murid dan melarang mereka agar tidak memiliki akhlak yang tercela, yaitu melalui sindiran tanpa
menjatuhkan harga diri mereka. Guru harus terlebih dahulu beristiqamah. Setelah itu, dia meminta murid untuk
beristiqamah. Apabila hal itu tidak dilakukan, nasehat tidak akan bermanfaat.
7. Guru hendaknya menyalurkan serta mencukupkan ilmu bagi murid tersebut menurut kadar pemahamannya. Maka
ia tidak menyampaikan kepada murid sesuatu yang tidak terjangkau oleh akalnya.
8. Guru hendaknya harus memperhatikan perbedaan-perbedaan individual yang ada pada anak (murid) tersebut.
Pandangan Al-Ghazali mengandung himbauan agar guru memahami benar tentang prinsip-prinsip tentang
perbedaan individual dikalangan anak didik serta tahapan perkembangan akal pikirannya, sehingga dengan
pemahaman itu guru bisa mengajarkan ilmu pengetahuan sesuai dengan kemampuan mereka, dan berusaha sejalan
dengan dengan tingkat kemampuan berpikir anak didiknya.
9. Guru hendaknya mampu mengamalkan ilmunya. Menurut kebiasaan bahwa seorang guru adalah sebagai panutan,
dan para siswa mengikuti apa yang ditujukkan oleh gurunya. Perumpamaan seorang guru yang baik dan benar
adalah seperti benih yang ditanam di tanah dan bayangan dari tiang, maka bagaimana tanah itu tumbuh tanpa benih,
dan mana mungkin bayangan itu bengkok sedangkan tiangnya lurus.
10. Mempelajari hidup psikologis murid-muridnya. Guru harus dapat memahami jiwa anak didiknya. Dengan
pengetahuan tentang anak didik, ia dapat menjalin hubungan yang akrab antara dirinya dengan anak didiknya.
Secara praktis, guru harus mendidik mereka berdasarkan ilmu jiwa.
4. Peserta Didik
Menurut Al-Ghazali, anak adalah amanah Allah dan harus dijaga dan dididik untuk mencapai semua keutamaan
dalam hidup dan mendekatkan diri kepada Allah. Semua bayi yang dilahirkan ke dunia ini, bagaikan sebuah mutiara yang
belum diukur dan belum berbentuk, tetapi amat bernilai tinggi. Maka kedua orang tuanya-lah yang akan mengukir dan
membentuknya menjadi mutiara yang berkualitas tinggi dan disenangi semua orang. Maka ketergantungan anak kepada
pendidiknya termasuk kepada kedua orang tuanya, hendaknya dikurangi secara bertahap.
Menurut Al-Ghazali, terdapat beberapa sifat penting yang harus dimiliki oleh seorang murid, yaitu: (1) Rendah hati;
(2) Mensucikan diri dari segala keburukan; serta (3) Taat dan istiqamah.
Al-Ghazali menguraikan tentang tata kesopanan dan tugas-tugas seorang murid, yaitu antara lain:

1. Hendaknya murid bersih jiwanya dan menjauhi akhlak yang rendah serta sifat-Sifat tercela.
2. Menyedikitkan hubungan-hubungannya dengan kesibukan dunia, dan menjauh dari keluarga serta tanah air. Karena
hubungan-hubungan itu menyibukkan dan memalingkan.
3. Tidak menyombongkan diri kepada ilmu. Seorang murid tidak boleh mengatur guru. Bahkan, dia harus
menyerahkan segala keputusan kepada sang guru. Dia juga harus terus menerus berkhidmat kepada gurunya.
4. Bagi pelajar permulaan janganlah melibatkan atau mendalami perbedaan pendapat para ulama, karena yang
demikian itu dapat menimbulkan prasangka buruk, keragu-raguan dan kurang percaya pada kemampuan guru.
5. Orang yang mencari ilmu tidak meninggalkan satu cabang ilmu yang terpuji, kecuali apabila jika seorang murid
menyelam ke dalam ilmu tersebut hingga mendapatkan apa yang ia cari. Apabila usianya mendukungnya untuk
melakukan pencarian itu, dia dapat menyempurnakan ilmu tersebut. Tetapi, apabila tidak, maka dia dapat memilih
hal yang paling penting.
6. Janganlah murid mendalami suatu ilmu atau teknik (seni) sebelum ia dapat memahami benar ilmu atau teknik (seni)
yang telah dipelajari sebelumnya. Karena semua ilmu itu tersusun secara bertingkat-tingkat menurut keharusannya.
Sebagian ilmu menjadi jalan bagi ilmu yang lainnya.
7. Seorang pelajar agar dalam mencari ilmu selalu didasarkan pada upaya untuk menghiasi batin dan
mempercantiknya dengan berbagai keutamaan. Hal ini didasarkan pada tujuan belajar yaitu untuk memperoleh
kehidupan yang baik di akhirat. Hal itu tentunya tidak akan tercapai kecuali dengan membersihkan jiwa, menghiasi
diri dengan keutamaan dan akhlak yang terpuji.
8. Seorang pelajar harus mengetahui hubungan macam-macam ilmu dan tujuannya. Oleh sebab itu setiap pelajar harus
menemukan maksud dan tujuan ilmu, dan yang paling penting adalah memilih ilmu yang dapat menyampaikan
pada maksud tersebut.
5. Metode Pendidikan
Dalam rangka mewujudkan konsep pendidikannya, Al-Ghazali menggunakan metode pengajaran yang menggunakan
keteladanan, pembinaan budi pekerti, dan penanaman sifat-sifat keutamaan pada diri muridnya. Hal ini sejalan dengan
prinsipnya yang mengatakan bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan erat antara dua pribadi,
yaitu guru dan murid.
Al-Ghazali menjelaskan bahwa metode pendidikan yang harus dipergunakan oleh para pendidik-pengajar adalah
yang berprinsip pada child centeredatau yang lebih mementingkan anak didik daripada pendidik sendiri.Metode demikian
dapat diwujudkan dalam berbagai macam metode antara lain: (1) Metode contoh teladan; (2) Metode guidance and
counsellling (bimbingan dan penyuluhan); (3) Metode cerita 4) Metode motivasi 5) Metode reinforcement (mendorong
semangat).

Metode pendidikan islam juga diklasifikasikan oleh Al-Ghazali menjadi dua bagian:

1.Metode khusus pendidikan Agama. Metode khusus pendidikan agama ini memiliki orientasi terhadap pengetahuan
aqidah karena pendidikan agama pada realitasnya lebih sukar dibandingkan dengan pendidikan lainnya, karena pendidikan
agama menyangkut problematika intuitif dan lebih menitikberatkan kepada pembentukan personality peserta didik.
2.Metode khusus pendidikan Akhlak. Al-ghazali mengungkapkan: “Sebagaimana dokter, jikalau memberikan
pasiennya dengan satu macam obat saja, niscaya akan membunuh kebanyakan orang sakit, begitupun guru, jikalau
menunjukkan jalan kepada murid dengan satu macam saja dari latihan, niscaya membinasakan hati mereka. Akan tetapi
seyogyanyalah memperhatikan tentang penyakit murid, tentang keadaan umurnya, sifat tubuhnya dan latihan apa yang
disanggupimya.
Pendekatan dalam pendidikan Islam
menurut Al-Ghazali

Mengejar (al-Ta’lim

Pendekatan mengajar menurut Al-Ghazali terefleksi dalam bab yang menjelaskan tentang etika seorang
peserta didik, yaitu:
a) menyangi dan mengasihi peserta didik, serta memperlakukannya sebagaimana anaknya sendiri;
b) ittiba’ (mengikuti) metode Rasulullah SAW, termasuk ikhlas dalam menjalankan tugas mengajar;
c) senantiasa memberi nasihat dan bimbingan kepada peserta didik, bahkan mengarahkannya untuk tidak
mempelajari ilmu yang belum menjadi kapasitasnya;
d) mengkritik kesalahan peserta didik dengan cara menyindir dan dengan cara yang halus, tidak berterus
terang atau dengan keras;
e) menyampaikan atau mengajarkan ilmu sesuai dengan kapasitas pemahaman dan logika peserta didik;
f) memperhatikan tingkat intelektual peserta didik, sehingga memberi mati yang mudah dan jelas kepada
peserta didik yang lemah, dan tidak memberi materi yang rumit.
Mendidik (al-Ta’dib)

Perhatian Al-Ghazali dalam bidang metode ini lebih ditujukan pada pendekatan khusus bagi pengajaran
agama untuk anak-anak. Untuk ini dia telah mencontohkan semua metode keteladanan bagi mental anak-
anak, pembinaan budi pekerti dan penanaman sifat-sifat keutamaan pada diri mereka. Perhatian Al-Ghazali
dalam pendidikan agama dan moral ini sejalan dengan kecenderungan pendidikannya secara umum, yaitu
prinsip-prinsip yang berkaitan secara khusus dengan sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam
melaksanakan tugasnya. Hal ini mendapatkan perhatian khusus dari Al-Ghazali, karena berdasarkan pada
prinsipnya yang mengatakan bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat
antara dua pribadi, yaitu guru dan murid. Dengan demikian faktor keteladanan yang utama menjadi bagian
dari metode pengajaran yang amat penting.
Teladan (Uswah al-Hasanah)

Pendekatan ini dianggap sebagai metode pendidikan yang paling penting dalam Islam. Hal itu karena
Islam adalah satu agama, dan agama tidak tersebar karena ketajaman pedang, tetapi karena keteladanan. Hal
itu juga disebabkankarena kekuatan pedang kadang-kadang dapat memaksa manusia, akan tetapi dia tidak
dapat memasuki relung hati yang dalam. Karena ideologi yang disiarkan dengan pedang akan cepat hilang
pengaruhnya, bahkan masyarakat berubah menjadianti setelah pedang hilang atau pembawa pedangnya
pergi. Karena itu, keteladanan dalam pendidikan adalah alat yang paling utama dan paling dekat kepada
kesuksesan. Dengan keteladanan, pendekatan berubah menjadi fakta, lalu fakta berubah menjadi gerakan,
dan gerakan berubah menjadi sejarah.
Evaluasi Pendidikan

Kata evaluasi berasal dari bahasa Arab yaitu kata Muhasabah, yang berasal dari kata Hasiba yang berarti
menghitung, atau kata Hasaba yang berarti memperkirakan. Al-Ghazali menggunakan kata tersebut dalam
menjelaskan tentang evaluasi diri (Muhasabah an-Nafs) setelah melakukan aktifitas. Evaluasi pendidikan Al-
Ghazali ini pada prinsipnya diarahkan sepenuhnya untuk mengetahui kondisi murid berkaitan dengan penilikan
sejauh mana muridtelah dapat meresap ilmu pengetahuan yang didapat dalam pembelajaran danperkembangan
kepribadian murid. Evaluasi pendidikan Al-Ghazali berangkat dari teori dasar pendidikannya, yaitu Al-
Fadhilah.
Menurut Imam Al-Ghazali, evaluasi pendidikan berarti usaha memikirkan, membandingkan,
memprediksi (memperkirakannya), menimbang, mengukur dan menghitung segala aktifitas yang telah
berlangsung dalam proses pendidikan, untuk meningkatkan usaha dan kreativitasnya sehingga dapat seefektif
dan seefisien mungkin dalam mencapai tujuan yang lebih baik di waktu yang akan datang. Adapun subjek
evaluasi pendidikan adalah orang yang terkait dalam proses kependidikan meliputi: pimpinan, subjek didik,
wali murid dan seluruh tenaga administrasi. Dan yang menjadi evaluasi pendidikan adalah semua bentuk
aktifitas yang terkait dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing dalam proses pendidikan.
Teknik evaluasi pendidikan
Teknik Tes Teknik Non Tes

Penilaian yang menggunakan tes Penilaian yang tidak menggunakan


yang telah ditentukan terlebih dahulu. soal-soal tes. Yaitu dalam bentuk laporan
Metode ini bertujuan untuk mengukur dari pribadi mereka sendiri (self-report).
dan memberikan suatu penilaian Hal ini bertujuan untuk mengetahui sikap
terhadap hasil belajar yang dicapai oleh dan sifat kepribadian murid yang
murid. Meliputi: kesanggupan mental, berhubungan dengan kiat belajar atau
penguasaan akan hasil belajarnya, pendidikan. Objek penilaian non tes ini
keterampilan, koordinasi, motorik, dan meliputi: perbuatan, ucapan, kegiatan,
bakat. pengalaman, keadaan tingkah laku, dan
riwayat hidup.
Kesimpulan
Menurut Al-Ghazali, pendidikan yang baik merupakan jalan untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Al-
Ghazali menggabungkan antara kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Tentang kurikulum pendidikan Islam, Al-Ghazali mengatakan bahwa Al-Quran
beserta kandungannya berisikan pokok-pokok ilmu pengetahuan. Isinya sangat
bermanfaat bagi kehidupan, membersihkan jiwa, memperindah akhlak, dan
mendekatkan diri kepada Allah. Tujuan pendidikan Islam dalam pandangan Al-
Ghazali hanyalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Adapun tujuan utama dari
penggunaan metode dalam pendidikan harus diselaraskan dengan tingkat usia,
kecerdasan, bakat dan pembawaan anak dan tujuannya tidak lepas dari nilai manfaat.
Tentang pendidik, Al-Ghazali menekankan bahwa seorang pendidik harus memiliki
norma-norma yang baik, khususnya norma akhlak. Karena pendidik merupakan
contoh bagi anak didiknya. Dalam kaitannya dengan peserta didik, Al-Ghazali
menjelaskan bahwa mereka merupakan hamba Allah yang telah dibekali potensi atau
fitrah untuk beriman kepada-Nya. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah sesuai
dengan kejadian manusia, cocok dengan tabiat dasarnya yang memang cenderung
kepada agama Islam.
Thanks!
Do you have any questions?

CREDITS: This presentation template was created by


Slidesgo, and includes icons by Flaticon, and
infographics & images by Freepik

Anda mungkin juga menyukai