"Sebagian dari kesempurnaan Islam seseorang, adalah meninggalkan sesuatu yang tidak
berarti.”21
Al-Ustaz Al-lmam r.a. "Yang dimaksud wara’ adalah meninggalkan hal-hal yang
syubhat.” Menurut komentar ibrahim bin Adham, yang dimaksud wara' adalah meningalkan
hal-hal yang syubhat dan yang tidak pasti (tidak dikehendaki), yakü meninggalkan hal-hal
yang tidak berfaedah.
Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. berkata, "Kita telah meninggalkan tujuh puluh 22
persoalan yang berkaitan dengan hal yang halal karena takut terkait dengan persoalan yang
haram." Nabi Muhammad Saw. pemah menasihati Abu Hurairah r.a.:
Yahya bin Mu'adz berkata, "Barangsiapa yang belum menikmati lezatnya maka dia
belum pernah menikmati pemberian Allah Swt." Ada satu ungkapan, barangsiapa yang
pandangan keagamaannya baik dan bagus, maka akan ditinggikan oleh Allah Swt. di hari
kiamat. Yunus bin 'Ubaid berpendapat, yang dimaksud wara' adalah menghindarkan diri dari
segala bentuk syubhat dan memelihara diri dati segala bentuk arah pandangan. Sufyan Ast-
Tsauri berkata, "Saya tidak pernah melihat sesuatu yang lebih mudah daripada wara', kecuali
meninggalkan hal yang keruh di dalam diri." Ma'ruf Al-Karakhi juga berkomentar, "Jagalah
mulutmu dari pujian, sebagaimana kau menjaga mulutmu dari perilaku tercela." Bisyr bin
Harits berkata, "Perbuatan yang paling utama ada tiga. Pertama, dermawan dalam keadaan
tidak mempunyai sesuatu kecuali hanya sedikit. Kedua, wara' dalam keàdaan khalwah.
Ketiga, berkata benar di hadapan orang yang takut kepada Allah Swt. dan mengharap
kerelaannya."
Dalam satu cerita, saudara perempuan Bisyr Al-Mafi datang kepada Ahmad bin Hanbal
seraya bertanya, "Suatu saat kami menarik kami yang dan datar, kemudian ada cahaya obor
yang mengikuti kami dan cahaya itujatuh di hadapan kami, apakah diperbolehkan bagi kami
menarik cahaya obor itu?"
"Siapa engkau?" Ahmad balik bertanya.
"Saudara perempuan Bisyr Al-Mafi."
Setelah itu Ahmad bin Hanbal menangis dan berkata, "Barangsiapa yang memberikan
perlindungan (penginapan) di waktu malam, maka dia adalah orang yang wara'. Oleh
karenanya, sinar obor itu jangan kau tarik."
Ali Al-Aththar menceritakan, "Suatu hari saya melewati sebagian jalan Kata Basrah.
Tiba-tiba. di sana ada beberapa orang tua yang sedang duduk dan beberapa anak yang sedang
bermain. Saya bertanya, 'Apakah kamu sekalian tidak malu terhadap beberapa orang tua itu?'
seorang dari mereka menjawab, 'Beberapa orang tua itu tidak mempunyai sifat wara'. Setelah
itu, saya menceritakan kepada mereka (orang tua) tentang kehebatan mereka (anak-anak)."
Ada satu ungkapan, Malik bin Dinar bertempat tinggal di
Başrah selama empat puluh tahun. Dia tidak pernah makan kurma, baik yang kering maupun
yang basah sampai dia wafat. Ketika musim panen telah selesai, dia berkata, "Wahai
penduduk Basrah, inilah perutku yang belum pernah merasakan kekurangan dan kelebihan."
İbrahim bin Adham pemah ditanya, "Apakah engkau tidak minum air zamzam?" Dia
menjawab, "Seandainya ada timba pasti saya minum." Harits Al-Muhasibi pernah
mengulurkan tangannya untuk mengambil makanan syubhat, tiba-tiba ujung jarinya
berkeringat sehingga dia tahu bahwa makanan tersebut tidak halal. Diceritakan bahwa Bisyr
Al-Mafi pemah diundang dalam suatu acara. Makanan telah diletakkan di hadapannya. Ketika
dia mengulurkan tangannya, ternyata tangan tersebut tidak mengulur. Sampai dia kerjakan
tiga kali. Peristiwa itü diketahui oleh seorang laki-laki. "Sesungguhnya tangan Bisyr Al-Mafi
tidak dapat diulurkan pada makanan yang syubhat. Oleh karenanya, pengundang tersebut
tidak layak mengundang syekh ini," kata laki-laki itu.
Sahal bin Abdullah pemah ditanya tentang hal yang mumi dan halal. Dia menjawab,
"Barang yang dipergunakan bukan untuk bermaksiat kepada Allah Swt." Dia juga
menegaskan, "Yang dimaksud hal yang murni halal adalah barang yang dipergunakan bukan
untuk melupakan Allah Swt."
Hasan Al-Bashri mengunjungi Kota Mekkah. Dia melihat salah seorang dari putera Ali
bin Abi Thalib menyandarkan pungungnya ke Ka'bah sambil menganjurkan kebaikan kepada
orang banyak. Hasan AI-Bashri berhenti seraya bertanya, "Kebesaran agama itü apa?"
"Ward."
"Penyakit agama itü apa?”
'Tamak."
Hasan Al-Bashri kagum kepadanya sampai dia berkata, "Berat timbangan satu biji wara'
yang murni lebih baik daripada timbangan seribu puasa dan salat."
Abu Hurairah r.a. berkata, "Orang-orang yang selalu beribadah kepada Allah Swt. akan
dikumpulkan dengan orang-orang yang wara’ dan zuhud besok di hari kiamat.” Sahal bin
Abdullah berkata, "Orang yang tidak pernah bergaul dengan orang yang 'wara' diibaratkan
orang yang makan kepala gajah, tetapi dia tidak pernah kenyang.”
Dalam satu cerita, Umar bin Abdul Aziz menerima minyak misik dari rampasan harta
perang, sementara dia sedang memegang racun yang terkandung di dalamnya. Setelah
mengamati sejenak, lidahnya berujar, "Dari minyak misik ini bau harumnya dapat diambil
manfaat, tetapi saya tidak menyukai bau harumnya itu kecuali terhadap orang islam.”
Abu Utsman Al-Mariri pernah ditanya tentang wara'. Dia bercerita, "Abu Shahih
Hamdun, seorang tukang penatu, berada di samping temannya yang dalam keadaan sekarat
dan akhimya dia meninggal dunia. Setelah itu, Abu Shahih meniup (mematikan) api lampu
dan ditanya tentang permasalahannya. Dia menjawab, 'Sampai sekarang minyak yang
dipergunakan untuk menyalakan lampu masih tetap ada dan mulai sekarang minyak itu adalah
milik ahli waris. Oleh karena itu, carilah minyak yang lain.”
Seseorang laki-laki pernah menulis di atas papan di rumah sewaan. Dia hendak
menghapuskan tulisan itu dengan debu dinding rumah. Di dalam hatinya terlintas bahwa
rumah itu adalah rumah sewaan yang sebelumnya tidak pernah terlintas (terbayangkan) untuk
hal ini, sehingga pada akhimya tulisan itu äxapusnya. telah itu, dia mendengar suara hati,
"Orang yang mengangsap remeh (rendah) terhadap apa yang menimpanya, sehingga dia
menghapus tulisan itu, dia akan dihisab lama o\eh Allah Swt. di hari kiamat."
meninggalkan tidak bejana mau itu mengambilnya," di sampingnya jawabnya karena takut
seraya dosa.
“Wara’.”
“Sabarlah engkau (ya Muhammad), tiada ksaabaranmu itu kecuali dengan pertolongan Allah
swt." (QS. An-Nahl: 127)
Dari Aisyah r.a. diceritakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Sabar yang sempurna adalah pda pukulan (saat menghadapi cobaan) yang pertama.” Dari
Anas bin Malik dikatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, "Sabar yang sempurna adalah
pada pukulan (saat menghadapi cobaan) yang pertama. " Sabar terbagi menjadi dua, yaitu
sabar yang berkaitan dengan usaha hamba dan sabar yang tidak berkaitan dengan usaha. Sabar
yang berkaitan dengan usaha terbagi menjadi dua, yaitu sabar terhadap apa yang diperintah
oleh Allah dan sabar terhadap apa yang dilarang-Nya. Sedang sabar yang tidak berkaitan
dengan usaha adalah sabar terhadap penderitaan yang terkait dengan hukum karena
mendapatkan kesulitan.
Junaid mengatakan, "Perjalanan dari dunia menuju akhirat adalah mudah dan
menyenangkan bagi orang yang beriman ; putusnya hubungan makhluk di sisi Allah Swt.
adalah berat; perjalanan dari sendiri Giwa) menuju Allah Swt. adalah sangat berat dan sabar
kepada Allah Swt. tentu akan lebih berat." Dia ditanya tentang sabar, lalu djawab, "Menelan
kepahitan tanpa bermasam muka."
Menurut Ali bin Abu Thalib, sabar merupakan bagian dari iman sebagaimana tempat
kepala merupakan bagian dari tubuh. Menurut Abdul Qasim, yang dimaksud firman Allah
Swt. "sabarlah engkau (ya Muhammad)" adalah pondasi ibadah, sedang yang dimaksud
firman Allah Swt. "tiada kesabaranmu kecuali dengan pertolongan Allah Swt" (QS. An-Nahl:
127) adalah ubudiyah (penghambaan, bersifat ibadah). Barangsiapa yang naik dari satu derajat
untuk-Mu menuju satu derajat yang lain karena pertolongan-Mu, maka dia pindah dari derajat
kaidah menuju derajat ubudiyah. Rasulullah Saw. Bersabda;
"Sabar adalah mengekang nafsu terhadap sesuatu yang menggelisahkan atau kelezatan
yang meninggalkan dirinya. Ini termasuk sifat yang terpuji dan dituntut.
“Hadis riwayat Anas bin Malik dan díkeluarkan Imam Bukhari di dalam "Al-Janaiz"
bab sabar 3/138, sedangkan Imam Muslim juga mengelompokkannya dalam "Al-Janaiz" bab
sabar nomor 626, Abu Dawud di nomor 3124, At-Turmuzi di nomor 987, dan An-Nasai
mencantumkan di 4/22”
Abu Sulaiman pernah ditanya tentang sabar. Dia menjawab, “Demi Allah, kami tidak
bersabar terhadap apa yang kami cintai maka bagaimana kami bersabar terhadap apa yang
kami benci?”
Menurut Dzun Nun Al-Mishri, yang dimaksud sabar adalah menjauhi hal-hal yang
bertentangan, bersikap tenang ketika menelan pahitnya cobaan, dan menampakkan sikap kaya
dengan menyembunyikan kefakiran di medan penghidupan. Menurut Ibnu Atha', yang
dimaksud sabar adahh tertimpa cobaan dengan tetap berperilaku yang baik. Menurut satu
pendapat, yang dimaksud sabar adalah orang yang sangat sabar, yaitu orang yang
ngembalikan pada dirinya sendiri terhadap sesuatu yang ketika menghadapi serangan.
Menurut sebagian ulama, yang dimaksud sabar adalah tertimpa cobaan dengan tetap bersikap
baik dalam pergaulan sebagaimana keadaan sehat (selamat). Dia juga berpendapat, sebaik-
baik pembahasan akan melebihinya. Allah Swt. berfirman:
“ Kami balas orang – orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang
telah di kerjakan.” (QS. An-Nahl: 96)
Menurut Amr bin Utsman, yang dimaksud sabar adalah tetap bersama Allah Swt. dan
menerima cobaan-Nya dengan lapang dada dan senang hati. Menurut Ibrahim Al-Khawwash,
yang dimaksud sabar adalah konsisten terhadap hukum-hukum Al-Quran dan As-sunnah.
Menurut Yahya, kesabaran orang-orang yang cinta kepada Allah Swt. Lebih kuat daripada
kesabaran orang-orang yang zuhud.
Menurut Abdullah bin Khafif, sabar terbagi menjadi tiga, yaitu orang yang menerima
sabar, orang yang sabar, dan orang yang sangat sabar. Menurut Ali bin Abu nłalib, sabar
ibarat binatang kendaraan yang tidak pemah jatuh tersungkur.
Ali bin Abdullah Al-Bashri mengatakan bahwa seorang laki-laki berhenti di
depan Syibli seraya bertanya, "Sabar yang bagaimana yang lebih kuat (hebat) di atas orang-
orang yang sabar?”
Sabar fillah (di dalam Allah) adalah sabar dalam mengudapi proses pengubahan akhlak
yang tercela digantikan dengan akhlak yang terpuji dan sibuk dengan macam-macam taat.
Sabar lillah (sabar untuk atau demi Allah) adalah sabar terhadap apa-apa yang
mendatangi hati dari Allah. Dia mendidik hati bersamaNya.
“Sabar bersama Allah.”
“Bukan?!”
“Jadi sabar yang bagaimana?” Syibili balik bertanya.
“Sabar menghidarkan diri dari Allah Swt.” Setelah itu Syibili berteriak yang ruh
(nafas) nya hampir saja lenyap.
Menurut Abu Muhammad Ahmad Al-Jariri, yang dimaksud sabar adalah tidak memisahkan
antara kenimatan dan ujian dengan pemikiran yang tenang, sedang yang di maksud
penerimaan sabar adalah tenang menghadapi cobaan dengan mendapatkan beratnya ujian.
Saya telah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mengataan, ”0rang-orang yang sabar
telah beruntung disebabkan susahnya orang-orang yang tahu, karena mereka telah
memperoleh perlindungan dari Allah Swt.”
Allah Swt. berfirman:
Sabar ma'allah (sabar bersama Allah) adalah sabar dalam menghadapi demikian itu untuk
membebaskan diri kekuatan.
Yang dimaksud arti firman Allah Swt.:
"Sabarlah engkau (ya Muhammad) (menerima) Tuhanmu. Sesungguhnya engkau dalam penjagaan
mata Kami."
(QS. Ath-Thur: 48)
Menurut satu pendapat, yang dimaksud firman Allah Swt. "Bersabarlah engkau (Ya
Muhammad) dengan sabar yang baik. " (QS. Al-Ma'arij: 5) adalah sabar yang betul agar orang
yang tertimpa musibah di tengah-tengah masyarakat tidak dapat diketahui. Umar bin
Khaththab pemah mengatakan, "Seandainya sabar dan syukur diibaratkan dua unta, maka
saya tidak akan peduli mana di antara keduanya yang harus saya tunggangi."
Dalam satu ungkapan, Ibnu Syibrimah apabila mendapatkan cobaan, dia mengatakan, "Sekarang
berawan, besok ia akan hilang." Di dalam hadis disebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw. pemah
ditanya tentang iman. Beliau menjawab:
"Sabar dan toleransi."76
Dalam sebagian hadis disebutkan bahwa orang-orang fakir yang sangat sabar adalah
tamu-tamu Allah Swt. di hari kiamat. Dalam satu cerita, Allah Swt. menurunkan wahyu
kepada sebagian para nabi-Nya: "Cobaan-Ku telah Kuturunkan kepada hamba-Ku lantas dia
kepada-Ku, tetapi Aku tidak mengabulkannya, kemudian dia mengeluh kepada-Ku. Aku
kepadanya, 'Wahai hamba-Ku, bagaimana Aku dapat mengasihanimu dengan memberikan
sesuatu sehingga Aku dapat kasihan kepdamu.' "
Arti firman Allah Swt.:
"Sungguh Kami mendapati Ayyub seorang yang sabar. Dia sebaik-baik hamba " (QS. Shad: Ayyub
44)
Ayat itu ditopang dengan firman-Nya yang lain seperti perkataan Nabi Ayyub:
Saya juga telah mendengar dia mengatakan, "Dari ungkapan ini dapat ditafsirkan bahwa
maksud firman Allah Swt. adalah: Kemelaratan telah menimpa diriku agar engkau (Ayyub)
memberikan kesenangan kepada umat yang lemah.” Menurut sebagian ulama, ayat itu
berbunyi: "Sungguh Kami mendapatkan Ayyub seorang yang sabar” bukan kata-kata:
"seorang yang sangat sabar”, karena semua kondisi Ayyub tidak dapat disamakan dengan
sabar. Sebaliknya, sebagian kondisi Ayyub telah mendapatkan kenikmatan musibah. Dałam
keadaan menerima kenikmatan, dia tidak diklasifikasikan seorang yang sabar. Oleh karena
itu, Allah Swt. tidak berfirman, "Orang yang sangat sabar'
Saya telah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, "Hakikat sabar adalah
menghindarkan diri dari cobaan dan menerima apa-apa yang telah menimpanya seperti Nabi
Ayyub a.s. Dia tetap mengatakan di akhir cobaannya, 'Kemelaratan telah menimpa diriku.
Sedang Engkau lebih pengasih dari segala yang pengasih' (QS. Al-Anbiya': 83).
Dia menjaga etika berbicara dengan mengatakan, 'Sedang Engkau lebih Pengasih dari
segala yang pengasih.' la tidak mengatakan, 'Kasihanilah diriku.”'