PRINSIP-PRINSIP RASULULLAH
SAW DALAM MENEMPUH
KEHIDUPAN
Ma’rifat adalah modalku, akal adalah asal-muasal agamaku, rasa cinta adalah
alasanku, rindu adalah kendaraanku, dzikrullah adalah kesenanganku, percaya diri
adalah perbendaraanku, sedih adalah rekanku, ilmu adalah senjataku, sabar adalah
pakaianku, zuhud adalah pekerjaanku, ridha adalah keuntunganku, yakin adalah
kekuatanku, kejujuran adalah penolongku, taat adalah kecintaanku, jihad adalah
akhlakku, dan kebahagiaanku adalah shalat.”
MENGENAL ALLAH
Pada satu ketika ada seorang bertanya kepada Abu Bakar Assiddiq
Radhiallahu ‘anhu, “Wahai shahabi, bagaimana Anda dapat mengenal Robbmu?”
Abu Bakar menjawab, “Aku mengenal Robbku dengan perantaraan Robbku.
Kalau tidak karena Robbku, aku tidak akan mungkin mengenal-Nya.”
Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana Anda mengenal Robbmu?” Abu Bakar
menjawab, “Apa yang tidak mampu dicapai adalah suatu penyampaian, dan
meneliti zat Allah adalah kemusyrikan.”
Pada suatu ketika Bilal bin Rabah Ra pergi ke masjid Rasulullah Saw untuk
mengumandangkan adzan Fajar. Tiba-tiba ia menemukan Rasulullah sedang
menangis tersendu-sendu di sana. melihat Rasulullah dalam keadaan demikian
Bilal bertanya, “Apa yang membuat baginda sedih, ya Rasulullah?”
Rasulullah menjawab, “Ya Bilal …, pada malam ini telah diturunkan
sebuah ayat kepadaku. Celakalah orang-orang yang membacanya tapi tidak mau
memikirkannya. Firman Allah Ta’ala itu ialah:
Pada suatu hari seorang shahabi yang mulia, Abdurrahman bin Auf Ra
melihat Rasulullah Saw bersujud lama sekali di tengah-tengah kebun korma. Lalu
Abdurrahman bin Auf berdiri menantikan sampai Rasulullah mengangkat
kepalanya dari sujudnya, dan kemudian dia berkata, “Ya Rasulullah, engkau,
bersujud lama sekali sehingga aku mengira Allah Ta’ala telah mencabut rohmu.
Mengapa engkau melakukan hal yang demikian?”
Rasulullah Saw menjawab, “Ya Abdurrahman, Jibril telah datang
kepadaku, lalu ia berkata, “Allah Assalam mengucapkan salam kepadamu, dan
menyatakan juga,siapa yang bershalawat kepadamu, Aku akan bershalawat
kepadanya.” Lalu aku bersujud atas syukurku kepada Allah.”
MEMENUHI PANGGILAN ALLAH
Seorang sahabat Ra, Abdullah bin Ummi Maktum (yang buta) datang
menemui Rasulullah Saw seraya bertanya, “Ya Rasulullah, aku punya seorang
penuntun yang kurang patuh kepadaku, sedangkan sepanjang jalan antara rumahku
sampai masjid terdapat banyak pohonan dan duri-durian. Apakah aku diijinkan
shalat di rumahku?”
Rasulullah ganti bertanya kepadanya, “Apakah kau mendengar panggilan
adzan, ya Abdallah?” Abdallah menjawab, “Ya, saya mendengar, ya Rasulullah!”
“kalau begitu, ya Abdallah, sambutlah panggilan Allah itu dan shalatlah di
masjid,” jawab Rasulullah tegas.
Rasulullah Saw melihat sehelai dari Kitab Taurat di tangan Umar bin
Khatthab Ra. lalu beliau bertanya, “Apa ini, ya Umar?”
Umar menjawab, “Ini lembaran dari Kitab Taurat, ya Rasulullah.”
Ternyata rasulullah Saw marah sekali seraya bertanya, “Apakah kalian
ragu-ragu seperti halnya orang Yahudi dan Nasrani? Aku telah membawakan
sesuatu yang putih bersih lagi murni untuk kalian. Kalau saudaraku Musa masih
hidup, dia pasti akan mengikutiku!”
Diriwayatkan, seorang lelaki bangsa Arab bernama Tsamamah bin Itsal dari
Kabilah Al Yamamah, pergi ke Madinah Al Munawarah dengan tujuan hendak
membunuh Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam. Dengan tekad bulat dan semangat
kuat ia pergi ke majelis Rasulullah Saw.
Umar bin Khattab sudah mencium maksud jahat kedatangan orang itu.
maka dia pergi menghampirinya dan langsung mengusut, “Apa tujuan
kedatanganmu ke Madinah? Bukankah engkau seorang musyrik?!”
Orang itu dengan terang-terangan berkata, “Aku datang ke negeri ini hanya
untuk membunuh Muhammad!!”
Mendengar perkataan keji itu Umar dengan cepat dan tangkas langsung
melucuti pedangnya, sekaligus meringkusnya. Kemudian orang itu diikat di salah
satu tiang masjid.
Umar bin Khattab segera pergi melaporkan kejadian itu kepada Rasulullah.
Namun Rasulullah Saw yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam tidak
menaggapi positif perbuatan shahabatnya. Rasulullah cepat keluar dari rumahnya
menemui orang yang hendak membunuhnya. Setelah tiba di tempat majelis,
rasulullah mengamati wajah orang yang hendak membunuhnya itu, sementara
Umar sudah tidak sabar menunggu perintahnya untuk memenggal leher orang
durjana itu.
Sesudah mengamati wajahnya dengan cermat, Rasulullah lalu menoleh
kepada para sahabatnya dan bertanya, “Apakah ada di antara kalian yang sudah
memberinya makan?”
Umar terdiam sejenak mendengar pertanyaan tersebut. Dia yang sejak tadi
menunggu diperintah membunuhnya malah ditanya tentang makan kepada orang
itu. Umar seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya, maka dia bertanya,
“Makanan apa yang baginda maksudkan, ya Rasulullah? Makanan apa yang akan
dia makan? Orang ini datang ke sini sebagai pembunuh, bukan datang ingin masuk
Islam!” Namun Rasulullah Saw tidak menghiraukan ucapan Umar, bahkan beliau
memerintahkan, “Tolong ambilkan segelas susu dari rumahku, dan buka tali
pengikat orang itu!”
Umar bin Khattab bukan main marahnya dengan si musyrik itu. sesudah ia
diberi minum, Rasulullah memerintahkan dengan sopan kepadanya, “Ucapkan
“Tiada tuhan selain Allah.” Si musyrik menjawab, “Aku tidak akan
menjawabnya.” Rasulullah berkata lagi, “Katakanlah: “aku bersaksi tiada tuhan
selain Allah dan aku bersaksi Muhammad adalah Rasul Allah.” namun orang itu
tetap berkata dengan nada keras, “aku tidak akan mengatakannya!”
Rasulullah Saw kemudian memutuskan untuk membebaskan orang itu, dan
orang musrik itupun bangkit dan pergi seolah-olah hendak kembali kenegerinya.
Tetapi belum berapa jauh dia melangkah dari masjid, dia kembali lagi kepada
Rasulullah seraya berkata, “Ya Rasulullah, aku bersaksi “Tiada tuhan selain Allah,
dan Muhammad adalah Rasul Allah.”
Rasulullah bertanya kepadanya, “Kenapa engkau tidak mengucapkan ketika
aku memerintahkan kepadamu?”
Orang itu menjawab, “Aku tidak mau mengucapkan ketika masih belum
kau bebaskan karena aku khawatir ada orang yang menganggap aku masuk Islam
karena takut kepadamu. Akan tetapi, setelah aku dibebeskan, aku masuk Islam
semata-mata karena mengharap keridhaan Allah Rabbul ‘alamin.”
Pada satu kesempatan Tsamamah bin Itsal berkata, “ketika aku memasuki
kota Madinah, tidak seorang pun yang paling aku benci lebih dari Muhammad.
Tetapi sesudah aku meninggalkan kota ini, tidak ada seorang pun di muka bumi ini
yang lebih kucintai selain Muhammad Rasulullah.”
Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu
megah-megahkan dunia itu) (At Takatsur 8)
Pada suatu hari Rasulullah Saw pergi dalam sebuah perjalanan jauh
bersama para sahabatnya. Di tengah perjalanan mereka beristirahat dulu dan
mendirikan kemah di padang pasir. Kebetulan mereka membawa seekor domba.
Maka salah seorang sahabat berkata, “Aku akan memotong domba itu.” Sedang
yang lain berkata pula, “Aku yang akan mengulitinya,” dan sahabat yang lain lagi
berkata, “Aku yang akan memasaknya nanti.” Lalu Rasulullah berkata, “Dan Aku
yang akan mencari kayu bakarnya.”
Para sahabat terperanjat dengan ucapan beliau. Mereka segera berkata,
“Tidak usah ya Rasulullah, biar kami saja yang melakukan semuanya. Baginda
beristirahat saja sampai masakan ini selesai.”
Rasulullah kemudian besabda kepada mereka semua, “Demi Allah, aku
tidak akan tinggal diam sementara kalian semua bekerja. Allah membencinya
hamba-Nya yang mengistimewakan dirinya dari saudara-saudaranya.” Setelah
mengucapkan sabda-nya beliau pergi mencari dan memanggul sendiri kayu bakar
yang didapatkan.
Pada suatu hari seorang pemuda yang sedang dalam keadaan darah
mudanya bergelora datang menemui Rasulullah Saw. tiba-tiba ia berkata, “Ya
Rasulullah, ijinkanlah aku melakukan perzinaan!”
Para sahabat tentu saja amat marah mendengar kelancangan anak muda itu.
namun Rasulullah Saw menghadapinya dengan tenang dan bijaksana. Beliau minta
kepada semua yang hadir di majelis itu upaya tenang. Kemudian beliau meminta
kepada anak muda itu agar maju mendekatinya. Beliau menghadapinya seperti
seorang guru menghadapi muridnya, atau seperti seorang dokter menghadapi
pasiennya.
Kemudian Rasulullah Saw bertanya kepadanya, “Wahai anak muda, apa
yang kau inginkan?”
Pemuda itu menjawab dengan perkataan yang sama, “Ya Rasulullah,
ijinkanlah aku melakukan perzinaan…!”
Rasulullah tidak mengiyakan dan juga tidak melarang keras tindakannya,
tetapi beliau bertanya kepadanya, “Wahai anak muda, sukakah kamu kalau
perbuatan itu terjadi pada ibumu?”
Si pemuda terhentak dan menjawab tegas, “Tentu tidak, ya Rasulullah.”
Rasulullah bertanya lagi, “Apakah kamu senang bila perbuatan itu
dilakukan oleh saudara perempuanmu?”
Pemuda itu menjawab lagi, “Tidak, ya Rasulullah.”
Sekali lagi Rasulullah bertanya dengan lembut, “Atau apakah kamu ridho
bila perbuatan itu terjadi atau dilakukan oleh saudari ibu atau saudari ayahmu?”
Pemuda itu diam, tertunduk sejenak, dan kemudian dia berkata kepada
Rasulullah dengan perasaan sedih dan menyesal, “Ya Rasululla, do’akanlah
aku…” Maka Rasulullah Saw langsung mendo’akannya. Ucapnya:
Pemuda itu berkata, “Ketika aku keluar dari majelis itu, rasanya tidak ada
seorang pun di muka bumi ini yang lebih aku cintai lebih dari cintaku kepada
Rasulullah Saw.”
HIKMAH BIJAKSANA
DALAM WAKTU MARAH
Pada suatu hari serombongan orang yang tengah mengiringi jenazah lewat
di hadapan Rasulullah Saw. lalu beliau bertanya, “Jenazah siapa itu, mustarih atau
mustarah?”
Para sahabat bertanya, “Apa maksud baginda?”
Rasulullah menjelaskan, “Sesungguhnya jika orang mukmin yang
meninggal, maka mayitnya akan mustarih (puas hati) meninggalkan kesengsaraan
kehidupan dunia ini. Tapi sebaliknya, jika mayit itu orang yang fasik (jahat), maka
semua makhluk Allah yang akan mustarah (puas hati) karena kematiannya itu.”
Seorang sahabat yang mulia, Abdullah bin Amru bin Ash Ra yang selalu
mengikuti semua perilaku dan menulis kata-kata Rasulullah, pada suatu hari
bertanya kepada beliau, “Ya Rasulullah, engkau sebagai manusia bisa senang dan
bisa marah. Apakah aku boleh menulis perkataan yang keluar dari baginda pada
waktu marah?”
Rasulullah menjawab, “Ya Abdallah, tulislah segala sesuatu (lalu baginda
menunjukan pada mulutnya seraya bersabda): “Demi yang diriku dalam
genggaman-Nya, tidak keluar dari mulutku ini melainkan semua yang benar!?
Di jaman Rasulullah Saw ada seorang wanita Yahudi yang masuk Islam,
dan ternyata Islamnya baik sekali sampai dia menemui ajalnya.
Kedua orang tuanya datang menemui Rasulullah Saw dan bertanya kepada
beliau, “Ya Muhammad, kami ingin tahu benar, apakah puteriku di surga atau di
neraka?”
Rasulullah Saw memohon kepada Allah Swt supaya diberi jawaban atas
pertanyaan kedua orang tua itu. kemudian beliau mengajak mereka pergi ke
kuburan puterinya, seraya berseru: “Ya Fulannah! Jawablah pertanyaan kedua
orang tuamu ini!”
Kemudian dari dalam kubur itu terdengar suara, “Ya Rasulullah, aku tidak
dapat menjawab pertanyaan selama mereka masih beragama Yahudi.”
Rasulullah bertanya kepada ahli kubur itu, “Mengapa?”
Dia menjawab, “Ya Rasulullah, karena aku lebih senang tinggal bersama
Robbku daripada bersama orang tuaku.”
Maka sejak itu pula kedua orang tua itupun mengucapkan kalimat syahadat
dan masuk Islam.
TATKALA BILAL
MENGHADAPI MAUT
Seorang sahabat Nabi Saw yang terkenal, Bilal bin Rabah Ra yang tersohor
sebagai Muadzinur Rasul (juru adzan Rasulullah), ketika sedang menghadapi
maut, istrinya berkata, “Aduhai, musibah apa yang menimpah rumah tangga kami
ini?!?” Ketika Bilal mendengar ucapan isterinya itu, dia langsung berkata, “wahai
isteriku, aku tidak bertanggung jawab atas ucapanmu itu! katakanlah: “Alangkah
bahagianya suamiku ini. Dia akan segera menemui kekasihnya Nabi Muhammad
dan para sahabatnya.”
KUNJUNGAN PERPISAHAN
Pada saat Rasulullah menderita sakit (yang terakhir) dan masih terbaring di
tempat tidurnya, beliau didatangi oleh serombongan sahabat yang menjenguknya
di bawah pimpinan Abdullah bin Mas’ud Ra. rupanya kedatangan ini merupakan
kunjungan perpisahan.
Ketika kedua mata Rasulullah Saw bertatapan dengan mata Abdullah bin
Mas’ud dan para sahabatnya yang lain, beliau langsung menyambut mereka
dengan ramah sekali, sambutnya: “Marhaban bikum, Hayyakumullah,
wanafa’akumullah, wa sabdadakumullah. Allah telah memerintahkan kepadaku
dan kepada kamu sekalian supaya senantiasa bertaqwa kepada-Nya, dan supaya
kita tidak menyombongkan diri kepada-Nya di bumi-Nya ini dan juga terhadap
makhluk-Nya. Dia berfirman kepadaku dan kepada kalian:
Kesedihan semakin mencekam fatimah Ra. tidak terasa air mata terus
bergulir di pipinya. Ia berkata, “Ya Ayah, kami merasa menderita dengan
penderitaanmu.” Tetapi Rasulullah segera menjawab lembut, “Wahai anakku,
Fatimah, janganlah kau berduka, sesudah ini tidak ada lagi penderitaan yang akan
mengenai ayahmu.” Setelah itu beliau menyerahkan rohnya kembali kepada
Penciptanya. Shalawat dan salam kami panjatkan untukmu, ya Rasulullah,
mengiringi kepergian dan menyertai perjalananmu…”
SEDIHNYA PERPISAHAN
Pada suatu hari Umar bin khattab Ra berdiri di depan kuburan Rasulullah
Saw dengan tapekur sedih memandangnya. Air mukanya terlihat betapa kesedihan
yang mendalam. Lalu dia berkata dengan suara tersendat, “Assalamu ‘alaika, ya
Rasulullah! Dahulu engkau berpidato kepada kami di bawah pohan kurma.
Sesudah kami membuat mimbar untukmu, engkau pergi menigalkan pohon itu.
tiba-tiba kami mendengar rintihan dan sedu-sedunnya, seperti sedu sedan seorang
ibu ditinggal pergi puteranya. Ya Rasulullah, kalau pohon kurma itu merintih
karena ditigal pergi olehmu, bagaimana dengan kami yang telah ditinggal pergi
olehmu??!
Pada suatu hari datang seorang pengemis kepada Rasulullah Saw. dia
tatang hendak meminta sesuatu dari beliau. Ternyata kebetulan saat itu Rasulullah
tidak memiliki sesuatu apapun yang bisa disedekahkan kepada orang itu,
sedangkan beliau tidak bisa menolak permohonan seseorang. Maka beliau berkata
kepada pengemis itu, “Wahai saudaraku seislam, belilah apa yang engkau
inginkan, dan katakan kepada penjualnya, Muhammad yang akan menanggung
pembayarannya.”
Mendengar perkataan beliau, seorang sahabat sok tahu berkata, “Ya
Rasulullah, kepada engkau memaksakan diri benar?!”
Rasulullah Saw marah sekali mendengar teguran sahabatnya itu. para
sahabat melihat tanda kemarahannya pada wajahnya. Namun Abu Bakar Assiddiq
Ra cepat-cepat mengatasi keadaan. Katanya, “Ya Rasulullah, sedekahlah
sebanyak-banyaknya, jangan khawatir, Rezeki Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak
akan pernah habis…”
Medengar penuturan sahabatnya yang mulia itu, Rasulullah lansung
tersenyum puas dan cerah.
Pada suatu hari sesudah shalat Zhuhur bersama para sahabatnya Ra,
Rasulullah Saw bertanya kepada mereka, “Siapa di antara kalian yang berpuasa
pada hari ini?” Abu Bakar Assiddiq menjawab, “Saya, ya Rasulullah.”
Lalu beliau Saw bertanya lagi, “Siapa di antara kalia yang bersedekah
kepada orang miskin pada hari ini?”
“Saya, ya Rasulullah,” Abu Bakar Ra menjawab lagi.
“Siapa di antara kalian yang mengantarkan jenazah pada hari ini?”
Masih jawaban Abu Bakar, “Saya, ya Rasulullah!”
Untuk yang sekian kalinya Rasulullah masih bertanya, “Siapa di antara
kalian yang mendamaikan dua orang (yangberselisih) pada hari ini?”
Abu Bakar menjawab lagi, “Saya, ya Rasulullah.”
Maka Rasulullah Saw bersabda: “Tdak seorang mukmin pun yang
melakukan perangai yang baik seperti itu, melainkan ia kelak akan dipanggil dari
semua pintu surga, “Ya Fulan, mari masuk…”
Abu Bakar Ra bertanya, “Bagaimana kalau semuanya dikerjakan, ya
Rasulullah?”
Rasulullah Saw menjawab, “Kalau semua pintu surga memanggil umatku,
tentu engkaulah orang pertama yang akan memasukinya, ya Abu Bakar…!”
Abdullah bin Umar Ra berkata, “Pada suatu hari ayahku (Umar bin
Khattab) keluar mininjau kebun kurma. Setibah di dalam kota (Madinah), beliau
melihat orang-orang sudah selesai shalat Ashar. Melihat para sahabatnya telah
selesai shalat berjamaah Ashar, Umar sangat menyesali diri. Dia berkata, “Innaa
lillahi wa innaa alaihi raji’un…, aku terlambat shalat Ashar berjama’ah lantaran
kebun kurma. Ya Allah, saksikanlah, kebun kurmaku aku sedekahkan kepada para
fakir miskin sebagai kifarat atas kealpaan yang telah kulakukan…”
PERTUNJUKAN MENARIK DI
DEPAN PINTU RUMAH RASULULLAH SAW
Pada suatu hari Abu Bakar Assiddiq Ra dan Ali bin thalib Radhiallahu
`Anhuma pergi berkunjung ke rumah Rasulullah Saw. Setiba keduannya di depan
pintu rumah Nabi, satu sama lain saling mendorong rekannya untuk masuk
terlebih dahulu.
Abu Bakar : Mana mungkin aku akan mendahuluimu, ya Abu bakar, sedang
Rasulullah juga pernah bersabda: “Aku telah menikahkan wanita
terbaik kepada lelaki terbaik, aku nikahkan putriku Fatimah dengan
Ali bin thalib.”
Abu bakar : Mana mungkin aku akan mendahuluimu, ya Ali, sedang Rasulullah
saw pernah bersabda: “Pada hari kiamat aku bersama Ali, lalu Allah
berfirman kepadaku: “Wahai kekasihku, aku telah pilihkan
untukmu, Ibrahim Al khalil sebagai ayah terbaikmu, dan Aku telah
pilihkan untukmu Ali sebagai saudara dan sahabat terbaikmu.”
Ali : Mana mungkin aku akan mendahuluinya, ya Abu bakar, sedang
Allah Ta’ala pernah berfirman tentang engkau: “dan orang yang
datang membawa kebenaran dan orang yang membenarkannya,
mereka itu adalah orang-orang yang bertaqwa.” (Azzumar: 33)
Abu Bakar: Mana mungkin aku akan mendahuluhkan engkau, ya Ali, sedang
Allah Ta’ala juga telah mengisyaratkan tentang engkau dalam
firman-Nya: “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan
dirinya karena mencari keridhaan Allah: dan Allah maha Penyantun
kepada hamba-hamba-Nya.” (Al Baqarah: 207)
KETAJAMAN
INDERA KEENAM UMAR
Pada suatu hari Jum’at, Umar bin Khattab sedang berkhutbah di Madinah,
sementara pasukan Islam tengah berperang di negeri Parsi di bawa pimpinan
Sariah bin Hushn Ra. Tiba-tiba Umar berhenti dari khutbahnya dan berteriak-
teriak dengan suara keras, “Ya Sariah, ke gunung… cepat ke gunung!!”
Sesuatu berseru demikian Umar melanjutkan khotbah Jum’atnya. Sesuai
shalat Jum’at, Ali bin Abi Thalib Ra bertanya kepadanya, “Ya Amirul Mukminin,
apa yang Anda terikkan tadi? Kami mendengar Anda berteriak-teriak memanggil
Sariah, padahal Sariah sedang memimpin pasukan Islam di Negeri Parsi.”
Umar menjawab, “Ya Ali! Aku melihat pasukan musuh sedang mengepung
pasukan yang dipimpin oleh Sariah. Jadi aku memerintahkan dia agar cepat-cepat
lari kegunung. Semoga allah melindungi pasukannya dari musuh-musuhnya.”
Sesudah sariah dan pasukannya kembali dari medan laga, para sahabat
bertanya tentang apa yang terjadi dalam peperangan parsi, sementara itu tidak ada
satupun sahabat yang membicarakan perihal perkataan Umar dalam khotbah
jum’at. Sariah berkisah kepada para sahabatnya Ra, “ketika kami di medan laga,
musuh berusaha keras menjepit dan mengepung kami. Pada saat itu kami sudah
benar-benar terkepung. Tetapi tiba-tiba kami mendengar seperti suara Khalifah
Umar bi khattahab yang memerintahkan kepadaku supaya cepat-cepat lari ke
gunung. Maka kami pun segeralari ke gunung, dan ternyata Allah menyelamatkan
kami dari rencana lihai musuh.”
DEMIKIANLAH
KAMI MEMPERILAKUKAN KALIAN,
HAI AHLI KITAB !
SOSOK
PEJABAT NEGARA YANG BIJAK
Pada suatu malam seorang utusan dari wali Azerbaijan datang memasuki
kota madinah. Karena hari sudah malam maka ia memutuskan untuk bermalam di
masjid Rasulullah Saw. ia berniat biarlah besok pagi dia menemui Amirul
Mukminin Umar bin khatthab. Namun, ketika hendak tidur, di malam yang hening
dan amat dingin itu dia mendengar suara orang tengah menangis dan merintih
memohon ampun kepada Allah. orang itu memohon kepada Allah: Ya Robbi, aku
sedang berdiri di depan pintu-Mu. Apakah Engkau menerima taubatku supaya aku
tidak mengucapkan selamat kepada diriku, atau engkau menolaknya supaya aku
menyampaikan rasa duka citaku kepada diriku.”
Perutusan wali Azerbaijan amat terkesan dengan ucapan tersebut. Matanya
tidak jadi dipinjamkan. Dia sungguh penasaran siapa gerangan orang yang berdoa
di masjid pada malam yang dingin dan telah larut begini. Maka didekatinyalah
orang itu seraya bertanya, “wahai saudaraku, kalau boleh aku tahu siapakah
engkau!”
Orang itu dari kegelapan menjawab, “Aku Umar bin khatthab!”
Wali dari Azerbaijan amat terkejut mendengar jawaban itu. sungguh, ia
tidak menyangka sama sekali orang yang kini berada bersamanya di dalam masjid
Rasulullah adalah Amirul Mukminin Umar bin Khattha. Maka denan nada masih
terkejut, utusan dari Azerbaijan itu berkata memperkenalkan diri, “Aku adalah
utusan wali dari Azerbaijan. Aku datang ke Madinah dengan maksud
menyampaikan suatu amanat kepada baginda dari wali Azerbaijan. Sesampai di
Madinah ternyata hari telah malam, maka keputusan besok pagi saja aku ke rumah
baginda karena aku tidak mau menggangu tidur baginda. Maksudnya, biarlah esok
pagi kusampaikan amanat itu, tapi ternyata baginda ada di sini….”
Khalifah menjawab perkataan orang itu dengan singkat, “semoga Allah
merahmatimu. Aku takut bila aku tidur semalam suntuk akan menghilangkan
diriku di hadapan Allah, dan kalau aku tidur sepanjang hari berarti aku telah
menghilangkan rakyatku.”
Sesudah keduanya usai shalat fajar, Khalifah Umar mengajak tamunya
pergi ke rumahnya. Khalifah Umar berkata kepada isterinya, “Ya Ummu Kultsum!
Keluarkan makanan yang ada kami datangkan dari jauh, dari Azerbaijan.”
Isterinya menjawab, “Kami tidak mempunyai makanan selain roti dan garam.”
“Tidak mengapa.” Jawab Umar. Maka kemudian keduanya makan roti dan garam.
Sesudah makan, khalifah Umar bin Khatthab bertanya kepada tamunya,
“Apa maksud kedatangan Anda kali ini?”
Utusan Azarbaijan iyu menjawab, “Aku adalah perutusan negeri
Azerbaijan. Amirulku memerintahkan aku membawah hadiah ini untuk baginda.”
Umar bin Khatthab berkata, “Bukahlah bungkusan itu , apa isinya?” sesudah
dibuka ternyata isinya gula-gula. Kata perutusan itu, “Gula-gula itu khusus buatan
Azerbaijan.”
Umar Ra pertanya lagi, “Apakah semua kaum Muslimin mendapat kiriman
gula-gula itu?” Perutusan itu tertegun sejenak, lalu dia menjawab, “Tidak,
baginda…… gula-gula itu khusus untuk Amirul Mukminin….”
Mendengar perkataan itu Umar marah sekali. dia lalu memerintahkan
kepada utusan tersebut untuk membawa gula-gula itu ke masjid, dan membagi-
bagikannya kepada fakir miskin kaum muslimin yang ada di sana. Umar berkata
dengan nada marah, “Barang itu haram masuk ke perutku, kecuali kalau kaum
muslimin memakannya juga! Dan kaum cepat-cepatlah kembali kenegerimu.
Beritahukan kepada yang mengutusmu, kalau ia mengulanginnya kembali, maka
akan kupecat dia dari jabatannya!”.
SOSOK
PEMIMPIN KAUM MUSLIMIN
Pada masa Khalifah Abu Bakar Assyiddiq Ra, Umar bin Khattab yang pada
waktu itu memegang jabatan sebagai Qodhi (hakim) perna mengajukan sebuah
usul kepada Khalifah Abu Bakar Assyiddiq.
Umar berkata kepada Abu Bakar di hadapan para sahabatnya yang lain,
“Ya Amirul Mukminin Abu Bakar, sudah lama aka memegang jabatan qodhi
dalam Khalifah ini namun tidak banyak orang yang mengadukan hal-ihwalnya
kepadaku. Karena itu sekarang aku mengajukan permohonan agar dibebaskan dari
jabatan ini?”
Khalifah Abu Bakar Ra sungguh terkejut mendengar usulan Umar. Maka ia
bertanya dengan nada heran, “Mengapa engkau mengajukan permohonan ini?
Apakah karena bertanya tugas tersebut, ya Umar?”
Umar menjawab, “Tidak, ya Khalifahtu Rasulillah, akan tetapi aku sudah
tidak diperlukan lagi menjadi qadhinya kaum mukminin. Mereka semua sudah
tahu haknya masing-masing sehingga tidak ada yang menuntut lebih dari haknya.
Mereka juga sudah tahu kewajibannya sehingga tidak seorang pun yang merasa
perlu menguranginya. Mereka satu sama lain mencintai saudaranya seperti
mencintai dirinya. kaLau salah seorang tidak hadir, mereka mencarinya, kalau ada
yang sakit mereka menjenguknya, kalau ada yang tidak mampu mereka
mambantunya, kalau ada yang membutuhkan pertolongan mereka segerah
menolong, dan kalau ada yang terkena musibah mereka menyampaikan rasa duka
cita. Agama mereka adalah nasihat. Akhlak mereka adalah amar ma’ruf nahi
mungkar. Karena itulah tidak ada alasan bagi mereka untuk bertengkar.”
MEMPERGAULI ISTRI
DENGAN BAIK
Pada suatu hari seorang lelaki datang kerumah Umar bin Khattab Ra
hendak mengadukan keburukanakhlak istrinya. Namun setiba di samping
rumahnya, ia mendengar istri Umar bin Khattab Ra mengeluarkan kata-kata yang
keras dan kasar kepada suaminya, sementara Umar tidak menjawab sepata
katapun. Akhirnya orang itu berpikir, sebaiknya dia membatalkan niatnya.
Ketika orang itu hendak berbalik pulang, Umar baru saja keluar dari pintu
rumahnya. Umar segera berteriak memanggil orang itu. umar lansung berkata
kepadanya, “Engkau datang kepadaku tentu hendak membawa suatu berita yang
penting!”
Orang itu lalu berkata terus terang, “Ya sahabat Umar bin Khattab, aku
datang kepadamu hendak mengadukan keburukan akhlak istriku terhadapku. Akan
tetapi setelah aku mendengar kelancangan istrimu tadi kepadamu, dan sikap
diammu terhadap perbuatannya, aku jadi mengurungkan niatku untuk melaporkan
halku itu.”
Mendengar perkataan yang jujur itu, Umar tersenyum kecil seraya berkata,
“wahai saudaraku, istriku telah memasakkan makanan untukku. Dia juga telah
mencuci pakaianku, mengurus urusan rumahku, dan mengasuh anak-anakku
dengan tiada hentinya. Maka bila ia berbuat satu dua kesalahan, tidaklah layak kita
mengenangnya, sedang kebaikan-kebaikannya kita lupakan. Ketahuilah, wahai
saudaraku, antara kami dan dia hanya ada dua hari. Kalau kami tidak
meninggalkannya terbebas dari perangainya kami pula.”
Setelah mendengar penuturan yang amat bijak dan penuh hikmah itu, orang
tersebut pergi meninggalkan Umar bin Khattab dengan hati gembira dan puas.
KEMBALIKAN KE BAITULMAL
Pada suatu hari seusai mengingat shalat Ashar, Khalifah Umar bin Khatthab
Ra menanyakan tentang kabar salah seorang sahabat yang tidak menghadiri shalat
jama’ah. Salah seorang sahabat berkata, “Kabarnya dia sakit, ya Amirul
Mukminin!”
Maka Umar Ra memutuskan untuk pergi kerumahnya. Setiba di sana ia
ketuk pintu rumahnya, dan dari dalam sahabat itu bertanya, “Siapa yang mengetuk
pintu?”
Dari luar Umar menjawab, “Umar bin Khatthab!”
Mengetahui yang datang adalah Amirul Mukminin, orang itu berlari dengan
sigap untuk segera membuka pintu. Tapi ketika kedua mata Umar bin Khatthab
bertatapan dengan kedua mata sahabat itu, Umar bertanya dengan nada menegur,
“mengapa engkau tidak shalat jama’ah bersama kami? Padahal Allah Ta’ala telah
memanggil engkau dari atas langit ketuju: “Hayya Alas shalat”, mari bershalat”,
akan tetapi engkau tidak menyambutnya! Sedang panggilan Umar bin Khatthab
sempat membuatmu gelisah dan ketakutan!!”
Pada suatu hari Umar bin Khatthab pergi mengadukan perihal Ali bin Abi
Thalib kepada Rasulullah, Ali bin Abi Thalib tidak pernah memilai mengucapkan
salam kepadaku…”
Mendengar pengaduan seperti itu Rasulullah Saw segera memanggil Ali Ra
untuk datang. Lalu Rasulullah bertanya kepadanya, “Ya dahulu kepada umar?”
Ali bin Abi Thalib Ra menjawab, “Ya Rasulullah, hal itu kulakukan karena
ucapan Rasulullah juga yang mengatakan: “Siapa yang mendahului saudaranya
mengucapkan salam, Allah akan mendirikan baginya istana di surga.” Karena
itulah, ya Rasulullah, aku selalu ingin Umar mendahuluiku mengucapkan salam
supaya ia bisa mendapatkan istana di surga!”
………………………………..
“Islam akan menangisi kematianmu, ya Umar! Engkau pelita Islam, ya
Umar!”
Demikianlah riwayat akhir perjalanan hidup Umar bin Khattab. Beliau
menutup mata setelah menjabat kekhalifahan selama 10 tahun, 6 bulan. Dan 4 hari,
Radhiallahu anhu.
Kepada:
Khalifah Hisyam III,
Raja Andalusia yang mulia di tempat.
PERISTIWA SYAHID
DARI PERANG UHUD
Ketika kaum muslimin berperang dengan kaum kuffar dalam perang Uhud,
Abdullah bin Umar, ayah Jabir bin Abdullah Ra tewas. Rasuluhllah Saw berkata
kepada Jabir, “Ya Jabir, maukah aku sampaikan berita gembira untukmu?” “Tentu,
ya Rasulullah,” jawab Jabir dengan antusias. “Seorang seperti baginda tidak akan
menyampaikan berita kecuali yang baik-baik,” Kata Jabir selajutnya.
Maka Rasulullah bersabda kepadanya, “Wahai Jabir, sesungguhnya Allah
Ta’ala tidak pernah berbicara dengan seorangpun, kecuali di balik hijab. Akan
tetapi Dia telah berbicara dengan ayahmu tanpa hijab. Allah Ta’ala berfirman: “Ya
Abdullah! Mintalah kepada-Ku, Aku akan memberikan apa yang kau minta!” Lalu
ayahmu menjawab, “Ya Robbi, aku minta dihidupkan lagi ke dunia supaya aku
bisa bercerita kepada kawan-kawanku tentang kenikmatan yang kuperoleh disini,
dan kemudian aku tewas lagi karena Engkau. Tetapi Allah Ta’ala menjawab, “Ya
Abdullah, Aku sudah berjanji pada diri-Ku, orang yang sudah dimatikan tidak
dikembalikan lagi ke dunia.”
Abdullah Ra berkata lagi, “Ya Robbi, kalau begitu siapa yang akan
memberitaukan kepada para sahabatku dengan kenikmatan yang kuperoleh disini?
Maka Allah Ta’ala menjawab, “Aku yang akan menyampaikannya kepada mereka,
ya Abdullah!”
Lalu Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya:
……………………………………….
……………………………………….
“Jangan kamu mengira orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati:
bahkan mereka itu hidup di sisi Robbinya dengan mendapat rizeki. Mereka
dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya
kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang
masih tinggal dibelakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”(Ali
Imran 169-170)
Pada suatu hari kafilah Usman bin Affan yang terdiri dari seribu unta yang
bermuatan kurma, minyak, kismis, dan lain-lain tiba di tempat tinggalnya. Melihat
kafilah unta yang membawa barang-barang dagangan itu, para pedagang
berdatangan menyambungnya. Mereka berkata, Ya Usman, kami bermaksud
hendak membeli barang-barangmu ini, sedifham dengan dua dirham.” Namun
Usman menjawab, “Sayang sekali, aku sudah menjualnya lebih tinggi dari itu…”
“Kalau begitu kutambah sedirham dengan lima dirham,” tantang para
pedagang itu kepada Usman.
Namun Usman kembali menjawab tantangan itu, “Yang lain berani
membayar lebih… sedirham dengan sepuluh dirham.”
Mendengar jawaban Usman yang demikian, mereka amat terkejut seakan
tak percaya. Mereka bertanya kepada Usman Ra dengan nada penasaran, “Wahai
Usman, siapakah yang berani membayar sebesar itu di Madinah, selain dari
kami??!”
Usman menjawab dengan tenang, “Aku telah menjualnya kepada Allah dan
Rasul-Nya, dan kebaikan itu ganjarannya sepuluh kali lipat.”
JANGANLAH ANDA TERGOLONG
DARI MEREKA
Ketika Ali bin Abi Thalib berjalan di pasar, dia melihat baju besinya ada di
toko seorang Yahudi. Kemudian dia amati baju besi itu, dan barang itu memang
miliknya. Maka ia bertanya kepada orang Yahudi perihal barang tersebut. Namun
orang Yahudi itu tidak mau mengakuinya. Untuk menyelesaikan perkara itu maka
Khalifah Ali bin Abi Thalib Ra mengadukannya kepada qadhi kaum Muslimin,
Syuraih Ra.
Di pengadilan Ali bin Abi Thalib berkata, “Baju besi itu adalah milik saya
yang hilang. Barang tersebut terjatuh dari unta yang sedang saya naiki.”
Tetapi orang Yahudi itu cepat menyangkal, “Tidak! Ini adalah baju besi
saya dan kini ada di tangan saya!”
Setelah mendengar pertanyaan kedua penggugat itu, Syuraih mengamati
baju besi tersebut, dan kemudian dia berkata, “Benar demi Allah, ya Amirul
Mukminin, ini adalah baju besi Anda. Tetapi untuk menyelesaikan kasus ini Anda
harus menghadiri dua orang saksi kemari.”
Maka Khalifah Ali bin Abi Thalib pun memanggil khadamnya, Qabarah,
dan putranya Al hasan. Mereka berdua bersaksi bahwa baju besi itu milik orang
Yahudi. Qadhi Syuriah berkata kepadanya, “Ambilah baju besimu itu!” Maka
orang Yahudi itupun mengambilnya dan membawahnya pulang sambil melirik
kebelakang. Dia melihat Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib menjabat tangan
dan merangkul qadhi itu seraya berkata, “Sungguh, inilah keputusan yang adil dan
haq.”
Melihat perilaku kedua mikmin itu, orang yahudi jadi berpikir kembali.
Katanya dalam hati, “Amirul Mukminin mengadukan aku kepada qadhinya kaum
muslimin, tapi kemudian qadhi itu memutuskannya kalah, dan ia (Ali bin Abi
Thalib) menerima keputusan itu dengan lapang dada…” direnungkannya akhlak
yang sungguh mulia itu.
Ketika Khalifah Ali bin abi Thalib tengah berjalan pulang, orang Yahudi itu
mengikutinya dari belakang. Dia kemudian memanggol Ali Ra dan berkata,
“Wahai Amirul Mukminin, baju besi itu memang milik anda. Barang itu jatuh dari
untamu, dan kemudian saya memungutnya. Saksikanlah wahai Amirul Mukminin,
saya bersaksi “tiada tuhan selain Allah dan Muhammad Saw adalah Rasulullah”,
“ashadu anlaa ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah.”
Amirul Mukminin Ali bin abi Thalib Ra kemudian berkata, “karena engkau
telah menyatakan Islam, maka baju besi itu kuberikan kepadamu, begitu pula
kudaku ini.” Dan sejak saat itu kedua barang tersebut tetap berada di tangan orang
Yahudi itu hingga dalam perang Shaffain.
LUKISAN BIJAKSANA
UNTUK DUNIA
Seorang lelaki datang kepada Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib Ra. Dia
memohon, “Wahai Amirul Mukminin, aku telah membeli rumah, dan aku ingin
transaksi jual-beli ditulis dengan tangan baginda.”
Khalifah Ali bin Abi Thalib mengamati wajah orang itu dengan tajam.
Beliau tahu dunia sudah bertakhta dalam kalbunya, dan beliau ingin memberinya
pelajaran yang menyadarkan kepada Allah Ta’ala. Maka ditulislah transaksi jual-
beli yang dimintanya sebagai berikut
Amma Ba’du. Seorang mayit telah membeli rumah dari seorang mayit
lainnya di negeri orang-orang yang berdosa dan di tengah-tengah orang yang alpa
dengan keempat perbatasannya sebagai berikut:
Yang pertama, berbatasan dengan kematian. Yang kedua, berbatasan
dengan kuburan. Yang ketiga, berbatasan dengan hari perhitungan, dan yang
keempat, berbatasan dengan surga atau neraka.
TIGA KELEBIHAN
ALI BIN ABI THALIB
Nabi Saw pernah bersabda kepada Ali bin Abi Thalib Ra, “Wahai Ali,
Allah Ta’ala memberikan tiga kelebihan untukmu. Pertama, kamu dikawinkan
dengan Fatimah, pemimpin wanita penduduk surga. Kedua, kamu dikaruniai Al
Hasan dan Al Husain, yang keduanya pemimpin pemuda penduduk surga, dan
ketiga, kamu menjadi menantu Muhammad, pemimpin umat yang terdahulu dan
yang terakhir. Ini bukan suatu kesombongan bagimu.”
Pada suatu perang Ali bin Abi Thalib datang ke rumah Amirul Mukminin
Umar bin Khattab Ra. pada waktu itu beliau sedang duduk menulis gaji para
pegawai negeri dengan diterangi sebuah pelita (lilin) yang berada di atas mejanya.
Setelah Ali Ra berada di ruangannya, Umar Ra bertanya, “Wahai Ali, ada
kepentingan apakah engkau datang, apakah kepentingan kaum muslimin atau
untuk kepentingan pribadi?”
Ali agak sedikit terkejut dengan pertanyaan tersebut. Maka dia bertanya,
“Wahai Amirul Mukminin, mengapa Anda bertanya demikian?”
Umar bin Khattab Ra menjawab tegas, “Jika kedatanganmu menyangkut
kepetingan kaun muslimin, maka aku akan membiarkan lilin ini menyala terus,
tetapi engkau datang untuk urusan pribadi, maka aku akan mematikan lilin ini agar
jangan sampai mal kaum muslimin terpakai tidak untuk kepentingan mereka.”
TIPU DAYA
SEORANG WANITA MUNAFIK
Ada seorang kafir muslim yang selalu tekun shalat di belakang Rasulullah
Saw. ia tidak mempunyai tsaub, kecuali yang dipakainya untuk shalat sehingga
karena telah lama dipakai, tsaub itupun robek disana-sini dan sebenarnya tsaub itu
sudah tidak layak lagi dipakai untuk shalat. Namun ia ingin jangan sampai dirinya
ketinggalan Takbiratul Ihram di belakang Rasulullah walaupun hanya sekali.
karena itulah meskipun tsaubnya sudah robeng ia tetap memakainya untuk shalat
di Masjid Rasulullah.
Pada suatu hari Rasulullah Saw bertanya kepadanya mengenai keadaannya,
dan dia menjawab, “Alhamdulillah, ya Rasulullah!”
Tetapi Rasulullah mengetahui keadaan yang sebenarnya. Beliau
memberikan gamisnya dan lansung memakaikannya ke badan fakir mukmin iyu.
Namun setiba di rumah, isterinya lansung mengenali gamis itu. ‘Ia berkata kepada
suaminya dengan nada kurang senang, “Kau tentu telah mengelukan Allah kepada
Rasulullah! Hati-hatilah, jangan sampai kau mengeluhkan Allah Ta’ala kepada
Rasulullah!”
Suaminya bersumpah bahwa dia tidak pernah melakukannya. Isterinya
bertanya lagi dengan nada masih ragu, “Tapi kenapa tiba-tiba saja Rasulullah
memakaikan gamisnya kepadamu?!”
Suaminya menjawab, “Demi Allah, aku tidak menerimanya, melainkan
supaya aku dikafani dengan gamis itu sesudah aku meninggal dunia…”
KEABADIAN ITU
HANYA MILIK ALLAH
Pada jaman Nabi Saw ada dua orang tua suami-isteri yang biasa digendong
putranya bila hendak mengikuti shalat jama’ah bersama Nabi Saw di Masjid. Pada
suatu hari, sesuai shalat Nabi menengok kebelakang. Dia tidak melihat kedua
orang tua itu. maka beliau bertany kepada para sahabat, “Kenapa kedua orang tua
itu tidak hadir?”
Mereka menjawab, “Putra mereka meninggal dunia, ya Rasulullah.” Maka
Rasulullah Saw berkata, “Kalau ada diantara kalian seorang yang abadi, tentu anak
orang tua itu juga akan abadi. Akan tetapi tidak ada yang abadi dan kekal, selain
Allah Ta’ala sendiri.”
Pada jaman Rasulullah Saw ada seorang wanita hitam bernama ummuh
Mahjan. Dia selalu menepaytkan diri membersikan Masjid Rasulullah Saw.
Pada suatu hari ketika Rasulullah Saw sedang ke pekuburan, beliau melihat
sebuah kuburan baru. Maka Rasulullah bertanya, “kuburan siapa ini, wahai para
sahabat?” Mereka yang hadir di situ menjawab, “Ini kuburan Ummu Mahjan, ya
Rasulullah.” Rasulullah lansung menangis begitu mendengar berita tersebut, lalu
beliau menyalakan para sahabatnya, “Kenapa kalian tidak memberitaukan
kemataannya kepadaku supaya aku bisa menyolatinya??!”
Mereka menjawab, “Ya Rasulullah, pada waktu itu matahari sedang terik
sekali.”
Rasulullah diam saja mendengar jawaban tersebut. Lalu beliau berdiri dan
shalat kepada mayit yang sudah ditanam beberapa hari itu dari atas kuburan,
seraya bersabda, “Bila ada di antara kalian yang meninggal dunia, beritaukan
kepadaku sebab orang yang kushalati di dunia, shalatku itu menjadi syafa’at
baginya di akhirat.”
Sesudah berkata demikian Rasulullah kemudian memanggil Ummu Mahjan
dari atas kuburnya. Sabdanya, “Assalamu alaikum, ya Ummu Mahjan!Pekerjaan
apa yang paling bernilai dalam daftar amalmu?”
Rasulullah Saw diam sejenak. Tak lama kemudian beliau berkata, “Di
menjawab bahwa pekerjaannya membersikan masjid Rasulullah adalah pekerjaan
yang paling bernilai di sisi Allah. Allah Ta’ala berkenan mendirikan rumah
untuknya di sorga, dan dia kini sedang duduk-duduk di dalamnya.”
Sesudah firman Allah Ta’ala yang terdapat dalam surat Al Isra ayat 72
diturunkan: Barang siapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan
lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)."”Abdullah bin Ummi
Maktum, seorang sahabat Ra yang tuna netra itu pergi menghadap Rasulullah
dengan wajah murung. Ia mengadukan perasaannya kepada Rasulullah, “Ya
Rasulullah, ayat itu sungguh membuat hatiku sedih. Aku sudah relah dengan
kebutaan di dunia ini, tetapi aku tidak sanggup dengan kebutaan di akhirat kelak.”
Sebelum Rasulullah menjawab pengaduan tersebut, Allah Ta’ala berkenan
menurunkan ayat lainnya yang menjelaskan maksud ayat 72 dari surat Al Isra itu.
Allah berfirman: “…Sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta
ialah hati yang di dalam dada.”(Al Hajj 46)
Lalu Rasulullah berkata, “Ya Ummu Maktum, apakah kamu tidak ridha
kalau kamu orang pertama melihat Zat Allah di hari kiamat kelak?!”
SENANTIASA
TAKUTLAH KEPADA ALLAH
Pada suatu hari Abu Hurairah Ra pergi ke suatu kampung. Lalu ia melihat
seorang laki-laki sedang mencampur susu yang hendak dijualnya dengan air. Maka
Abu Hurairah menegurnya, “Wahai saudaraku seislam! Apa yang akan kau
perbuat bila pada hari kiamatkelak Allah menuntut kamu memurnikan susu itu
kembali dari airnya?”
EMPAT PERTANYAAN
DI HARI PENGHISABAN
Pada suatu hari seorang lelaki datang kepada Nabi Saw membawa daging
matang seraya berkata, “Ya Rasulullah, terimalah ini untuk para fakir miskin yang
membutuhkannya.”
Pada waktu itu kebetulan para fakir miskin yang ada di masjid Nabawi
sudah makan malam. Nabi Saw bertanya kepada mereka, “Adakah di antara kalian
yang masih mau makan daging itu?” mereka menjawab serentak, “tidak, ya
Rasulullah. Bukankah kami sudah makan malam?”
Rasulullah Saw kemudian menyuruh abu Hurairah Ra mengantarkan
daging itu kepada Ummul yatama, seorang wanita yang ditinggal suaminya dan
mempunyai beberapa anak. Setiba di rumah ibu itu, Abu Hurairah mengetuk pintu
ruamahnya. Ibu itu bertanya, “Siapa diluar?” Abu Hurairah menjawab, “Saya, Abu
hurairah. Saya diutus oleh Rasulullah untuk mengantarkan daging matang
untukmu dan untuk anak-anakmu.”
Namun kemudian ibu itu berkata dengan ramah, “Sampaikan salamku
untuk Rasulullah Saw. Semoga beliau dan Anda mendapatkan balasan yang
setimpal atas kemurahan ini. Aku dan anak-anakku, Alhamdulillah sudah makan.
Mereka kini sudah tidur semua.”
Abu Hurairah masih mau memaksanya. Katanya, “terima saja, ya Ummul
Yatama, besok pagi kalau anak-anakmu bangun tidur berikanlah daging ini.”
Akan tetapi ibu itu menolak seraya berkata, “Wahai Abu Hurairah, siapa
yang menjamin bahwa kami akan hidup hingga esok pagi? Bawa saja daging itu
dan berikan kepada orang yang lebih fakir miskin.”
Seorang sahabat yang mulia, abu Qallabah Ra berkisah: ketika aku sedang
berjalan, tiba-tiba aku melihat awan berarak-arak di langit menuju suatu tempat.
Lalu aku seperti mendengar suara yang memerintahkan awan-awan itu: “Siramkan
airmu ke ladang si Fulan!” Aku begitu penasaran dengan peristiwa tersebut, maka
ikutilah terus kemana awan itu berarak. Setelah sampai di ladang si Fulan, awan-
awan itu menumpahkan air hujan seluruhnya ke ladang itu. Sesudah hujan lebat
usai, aku berusaha menemui pemilik ladang itu dan bertanya, “Wahai saudaraku,
apa yang telah anda lakukan selama ini hingga saudaraku, apa yang telah Anda
lakukan selama ini hingga ladang anda begini subur karena seringnya disirami air
hujan?”
Lelaki itu menjawab kepadaku dengan tawadhu, “Ya sahabat, yang
kulakukan selama ini hanyalah, bila aku diberi karunia oleh Allah Ta’ala, aku
selalu membagi hasil penennya menjadi tiga bagian. Satu bagian untuk para fakir
miskin, satu kupakai untuk membeli bibit untuk ditanam kembali.”
NILAI
SEORANG WANITA MUSLIMAH
MULIANYA KEBENARAN
DI TANGAN ORANG MULIA
BERBEKAL KESABARAN
Pada suatu hari Al Iman ibnu Abbas Ra sedang menunggu kuda. Tiba-tiba
ada seorang lelaki yang menghampirinya dan menyatakan duka cita kepadanya.
Orang itu berkata, “ Azzhamallah ajrak, ya Ibnu Abbas! Ayahmu telah meninggal
dunia!”
Mendengar berita tersebut, Ibnu Abbas Ra hanya terucap, “Inna lillahi wa
inna ilaihi raji’un. Wa laa haula walaa quwata illa billah.” Lalu ia turun dari
kudanya dan shalat dua raka’at. Seusai Ibnu Abbas shalat, orang itu bertanya
keheranan, “mengapa anda sambut dengan shalat setelah aku memberitahukan
kematian ayahmu, ya Abdallah?”
Ibnu Abbas Ra menjawab, “Apakah engaku tidak pernah mendengar firman
Allah Ta’ala yang memerintahkan: “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah
sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang
yang sabar.” (Al Baqarah 153)
Pada suatu malam seorang sahabat Rasulullah saw yang mulia, abu sa’id Al
Khudari Ra bermimpi dan mengisahkan mimpinya kepada Rasulullah Saw.
katanya, “Ya Rasulullah, aku melihat dalam mimpiku seolah-olah aku sedang
duduk-duduk dibawah pohon. Lalu aku dengar pohonan itu membaca surat Shad.
Sesudah selesai membaca ayat sajadah, iapun bersujud kepada Allah Ta’ala seraya
berdoa:
“Ya Allah, catatlah di sisi-Mu untukku ganjaran, dan gugurkanlah dengan
itu dosa-dosaku, dan jadikanlah ia sebagai tabunganku dan terimalah
amalku itu seperti Engkau menerimanya dari hamba-Mu daud.”
1. “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu
mengerjakannya, niscaya kami hapus kesalahan-kesalahan (dosa-dosamu yang
kecil) dan kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (syurga).” (An Nisaa
31)
2. “Sesudahnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan
jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya allah akam melipat gandakan dan
memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.” (An Nisaa 40)
3. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia
telah berbuat dosa yang besar.” (An Nisaa 48)
4. “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu,
lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk
mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha pemerima Taubat lagi maha
Penyayang.” (An Nisaa 64)
5. “Barangsiapa yang mengajarkan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya
untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. Dan allah maha mengerti lagi Maha
Bijaksana.” (An nisaa 111)
“Ya Allah, Al Wadud! Wahai yang memiliki ‘Arsy yang tinggi, wahai zat
yang Mahakuasa melakukan apa saja. Aku memohon atas nama kemuliaan-
Mu yang tiada terjangkau, dan kerajaan-Mu yang tiada teraniaya. Dan
dengan nur cahayah wajah-Mu yang meliputi seluruh penjuru kerajaan-Mu,
selamatkanlah aku dari kejahatan si penyamun ini. Wahai Allah yang Maha
Penolong, tolonglah aku diselamatkan!”
Abu Ma’laq mengucapkan doa itu sampai tiga kali. Tiba-tiba dalam sekejab
ia melihat ada seorang penunggang kuda yang melemparkan tombak ke arah si
penyamun sehingga tewas seketika. Kemudian penunggang kuda itu pergi
menghampiri Abu Ma’laq.
Abu ma’laq bertanya kepadanya, “Siapakah tuan yang telah menolongku
ini?”
Dia menjawab, “Aku malaikat dari penghuni langit keempat. Ketika engkau
berdoa, aku mendengar pintu-pintu langit terketuk. Kemudian engkau berdoa lagi,
aku mendengar suara ketukan itu semakin keras, dan kala yang ketiga kalinya
engkau berdoa, ada yang memberitaukan kepadaku bahwa ini tentu doa orang
yang sedang ditimpa petaka. Maka aku memohon kepada Allah Ta’ala supaya Dia
menyerahkan tugas itu ke tanganku. Lalu Allah berfieman: “sampaikanlah berita
gembira ini dan ketahuilah, siapa yang berwudhu’ dan shalat empat rakaat,
kemudian berdoa dengan doa itu, maka akan disambutnya, baik bagi yang sedang
ditimpa duka derita maupun tidak.”
ULAMA WANITA
KETAQWAAN
RABI’AH AL ADAWIYAH
(TOKOH WANITA SUFI)
Pada suatu hari, ketika Rabi’ah masih berusi enam tahun, ia diberi makanan
oleh ayahnya. Namun ia tidak mau memakan makanan yang disuguhkan ayahnya
itu. ayahnya tentu saja kurang senang dan menegur perbuatannya, “Ya Rabi’ah,
mengapa kamu tidak mau makan?”Rabi’ah menjawab, “Ya Ayah, aku tidak
maumakan sebelum aku mengetahuinya apakah ia dari barang/sumber yang halal
atau haram.”
Ayahnya berkata mengguruinya, “Kalau makanan itu haram dan tidak ada
lagi yang bisa dimakan, apakah itu tidak dibenarkan?”
Putrinya menjawab tegas, “Wahai ayah, aku tetab akan bersabar
menghadapi lapar di dunia dari pada aku harus bersabar menghadapi siksa api
neraka di hari kiamat kelak.”
JAWABAN BERHIKMAH
KEIKHLASAN
Sesudah shalat Isya biasanya Amirul Mukminin Umar bin abdul Aziz Ra
pergi menemui puteri-puterinya dan mengucapkan salam kepada mereka.
Pada suatu malam, mereka merasa ayahnya tengah memasuki ruangan
mereka. Lalu mereka berpura-pura memasukkan tangan mereka ke dalam
mulutnya, dan kemudian cepat-cepat pergi.
Umar bin Abdul Aziz Ra agak heran melihat sikap puteri-puterinya yang
tidak biasanya begitu. Maka ia bertanya kepada pembantunya, “Kenapa mereka
meninggalkan tempatnya?” Pembantunya menjawab, “Karena mereka tidak
mempunyai makanan selain dari kacang adas dan bawang, dan mereka tidak ingin
baginda mengetahui hal ini.
Mendengar penuturan tentang puteri-puterinya itu Umar bin Abdul Aziz
menangis. Lalu ia berkata menjelaskan kepada puteri-puterinya, “Wahai puteri-
puteriku tersayang, apalah artinya kalian makan bermacam-macam makanan yang
lezat dan gurih kalau nantinya bisa menghantarkan ayah kalian ke dalam lembah
api neraka.”
Mendengar penuturan ayahnya itu mereka pun ikut menangis terharu dan
menyadari beratnya tanggung jawab ayahnya sebagaimana kepala negara Islam.
ISTANA KHALIFAH
Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan dibesarkan dalam sekolah Islam
dan terdidik ilmu Al Qur’an. Ayahnya adalah seorang khalifah, Abdul Malik bin
Marwan, dan suaminya juga seorang khalifah, yakni Umar bin Abdul Aziz.
Keempat saudaranya pun semua khalifah, yaitu Al Walid, Sulaiman, Al Yazid,
dan Hisyam.
Ketika Fatimah dipinang untuk Umar bin Abdul Aziz, pada waktu itu Umar
masih layaknya orang kebanyakan, bukan sebagai calon pemangku jabatan
khalifah.
Sebagai puteri dari saudari para khalifah, perkawinan Fatimah dirayakan
dengan resmi dan besar-besaran, dan ditata dengan perhiasan emas mutu-manikam
yang tiada ternilai indah dan harganya. Namun sesudah perkawinannya usai,
sesudah Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah dan Amirul Mukminin,
Umar langsung mengajukan pilihan kepada Fatimah, Isteri tercintanya. Umar
berkata kepadanya, “Isteriku sayang, aku harap engkau memilih satu diantara
dua.”
Fatimah bertanya kepada suaminya, “Memilih apa, kakanda?”
Umar bin Abdul Aziz menerangkan, “Memilih antara perhiasan emas
berlian yang kau pakai dengan Umar bin Abdul Aziz yang mendampingimu.”
“Demi Allah,” kata Fatimah, “Aku tidak memilih pendamping lebih mulia
daripadamu, ya Amirul Mukminin. Inilah emas permata dan seluruh perhiasanku.’
Kemudian Khalifah Umar bin Aabdul Aziz menerima semua perhiasan itu
dan menyerahkannya ke Baitulmal, kas negara kaum muslimin. Sementara Umar
bin Abdul Aziz dan keluarganya makan makanan rakyat biasa, yaitu roti dan
garam sedikit.
Pada suatu hari raya puteri-puterinya datang kepadanya, “Ya Ayah, besok
hari raya. Kami tidak punya baju baru…”
Mendengar keluhan puteri-puterinya itu, khalifah Umar berkata kepada
mereka, “Wahai puteri-puteriku sayang, hari raya itu bukan bagi orang yang
berbaju baru, akan tetapi bagi yang takut kepada hari ancaman Allah.”
Mengetahui hal tersebut, pengelolah baitulmal berusaha menengahi, “Ya
Amirul Mukminin, kiranya tidak akan menimbulkan masalah kalau untuk baginda
diberikan gaji di muka setiap bulan.”
Umar bin Abdul Aziz sangat marah mendengar perkataan pengurus
baitulmal. Ia berkata, “Celaka engkau! Apakah kau tahu ilmu gaib bahwa aku akan
hidup hingga esok hari?!”
Ketika ajalnya tiba, beliau meninggalkan 15 orang anak lelaki dan
perempuan. Banyak keluarganya yang datang menanyakan, apa yang ditinggalkan
beliau untuk anak-anaknya. Umar bin Abdul Aziz menjawab, “Aku tinggalkan
untuk mereka ketaqwaan kepada Allah. kalau mereka tergolong orang-orang yang
shaleh, maka Allah telah menjamin akan mengayomi mereka. Tetapi kalau mereka
tergolong orang-orang yang tidak shaleh, aku tidak akan meninggalkan apapun
yang bisa mereka gunakan untuk bermaksiat kepada Allah.”
Kemudian Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepada karib kerabat dan
isterinya, fatimah agar meninggalkannya seorang diri. Ucapannya, “Ya Fatimah,
isteriku sayang…keluarlah dan tinggalkan aku sendiri menyambut kedatangan
makhluk asing yang sedang memasuki kamarku ini. Mereka bertubuh nurani,
beraneka ragam sayapnya, ada yang bersayap dua, tiga dan empat. Tinggalkanlah
aku sendirian, wahai sayangku. Rohku sudah siap menyertai para pengawal itu
menjadi tamu agung Allah Ar Rahman.”
Menjelang rohnya meninggalkan jasadnya, beliau mengulang-ulang firman
Allah Ta’ala:
“Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin
menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan
kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.”
NASIHAT
UNTUK SEMUA PENGUASA
“Pada waktu khalifah Umar bin Abdul Aziz meninggalkan dunia, beliau
meninggalkan 11 anak lelaki, dan mewariskan 18 dinar. Dinar itu digunakan untuk
membeli kafan (4 dinar), untuk membeli kuburan (5 dinar), dan sisanya baru
dibagi-bagikan kepada ahli warisnya.
Pada suatu ketika Umar bin Abdul Aziz pernah ditanya orang tentang anak-
anaknya. Beliau menjawab, “Anak-anakku itu salah satu dari dua. Bisa seorang
taqwa yang senantiasa mendapat pengayoman Allah dan memberinya jalan keluar,
atau bisa juga sebagai para pembangkang yang membuat aku enggan
meninggalkan sesuatu yang bisa digunakannya untuk lebih mudah dan lebih berani
membangkang kepada Allah.
Pada suatu hari Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz ingin memberikan
wakaf lahan untuk kaum muslimin. Ketika salah seorang puteranya mendengar
berita ini, dia langsung menghadap ayahnya.
Pada waktu itu Umar bin Abdul Aziz sedang istirahat. Karena itulah
ajudannya tidak mengijinkan siapun menemui dan mengganggu beliau. Katanya,
“Apakah Anda tidak tahu kalau khalifah sedang istirahat di siang hari seterik
ini?!”
Khalifah Umar bin Abdul Aziz mendengar pembicaraan antara puteranya
dengan ajudannya itu, maka beliau segera mengijinkan anaknya masuk. Setelah
bertatapan muka, anaknya berkata kepadanya, “Ya Ayah, aku medengar ayah akan
mewakafkan lahan ayah untuk kaum muslimin.”
Khalifah Umar menjawab, Ya benar! InsyaAllah besok akan kuwakafkan
tanah itu.”
Akan tetapi puteranya segera berkata, “Ayah! Apakah ayah yakin ayah
masih hidup hingga besok pagi?! Apakah tidak lebih baik kalau niat baik itu
dilaksanakan hari ini juga?!”
Demikianlah rasa taqwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz telah diwariskan
kepada puteranya ketika masih semasa hidupnya.
Pada suatu hari Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz mengumpulkan
putera-puterinya. Dia berkata, “Wahai putera-puteriku sayang, aku ingin
meninggalkan warisan yang banyak kepada kalian supaya kalian hidup
berkecukupan dan bergelimang dalam kenikmatan. Akan tetapi aku yakin, kalian
tidak akan ridha bergelimang dalam kenikmatan, sedang ayah kalian
dipertanggungjawabkan di hadapan pengadilan Allah kelak atas semua yang
ditinggalkan untuk anak-anaknya…”
Demikian kisah Khalifah Amirul Mukminin, Umar bin Abdul Aziz. Beliau
tidak mengamankan putera-puterinya dengan harta, pangkat, rumah dan lahan
pertanian, tetapi mengamankan dengan memakmurkan kalbu mereka dengan
taqwa kepada Allah Ta’ala.
GUNUNG KESABARAN
Urwah bin Az Zubair Ra, seorang tabi’I putera Asma binti Abi Bakar
Assidiq Ra. dia menderita penyakit kangker pada tulang betisnya. Para tabib
menasihatinya supaya kaki tersebut dipotong saja hingga lutut.
Urwah menerimah takdir Allah Ta’ala dan menyetujui nasihat tabib untuk
diamputasi. Sebelum oprasi dimulai, para tabib memerintahkannya supaya
menggunakan madat (untuk obat bius) agar tidak terasa sakit benar. Akan tetapi
Urwah tidak mau dan berkeras hati. Katanya, “Na’udzu billah! Tidak mungkin aku
menggunakan madat untuk menghilangkan pikiranku memikirkan keagungan
Allah Ta’ala.”
Para tabib memperotes ketidakmauannya itu, “Lalu bagaimana kami dapat
melakukan operasi anpa menggunakan madat?”
Urwah memberikan jalan kepada mereka. Katanya, “Kalau aku dalam
shalat, kalau sudah bertakbiratul ihram, kalau aku sedang duduk membaca
syahadat, mulailah kalian mengamputasi kakiku. Aku pada waktu itu, InsyaAllah,
tidak akan memikirkan dunia, tetapi akan melayangkan sukmaku ke hadirat Allah
Subhanahu wa Ta’ala.”
Maka akhirnya pekerjaan amputasi itu berasil dengan baik, meskipun
Urwah merasa lemas tidak bertenaga karena banyak mengeluarkan darah. Pada
saat itu Urwah memanggil putera sulungnya. Namun aneh, tidak ada jawaban atas
panggilan tersebut. Ini tidak seperti biasanya. Karena itu Urwah mengeluh,
“Innalillah, belum pernah aku memanggilnya lalu dia tidak segera datang. Ada apa
gerangan dengan puteraku itu?”
Ternyata putera Urwah meninggal dinia, jatuh dari atap rumahnya.
Banyak orang berdatangan menyatakan duka citanya kepada Urwah. Kata
mereka, “Azhamallah ajrak atas kematian puteramu, ya Urwah!”
Urwah memegang kakinya yang dipotong itu seraya berkata, “Ya Robbi,
Engkau telah memberikan dua kaki kepadaku. Engkau telah mengambil kembali
yang sebuah dan membiarkan padaku yang sebuah lainnya. Aku panjatkan tahmid
kepada-Mu atas apa yang telah Engkau ambil kembali, dan aku panjatkan syukur
kepada-Mu atas apa yang Engkau biarkan padaku. Engkau telah memberikan
kepadaku dua orang putera. Eangkau telah mengambil kembali yang sulung dan
membiarkan yang bungsu padaku. Aku memanjatkan tahmid kepada-Mu atas yang
telah Engkau ambil kembali, dan syukur atas apa yang Engkau tinggalkan.”
Kemudian Urwah memegang dan membalut kakinya yang dipotong itu
seraya berkata, “Alhamdulillah, aku tidak pernah membawahmu ke tempat-tempat
yang tidak diridhai Allah Ta’ala.”
CELAKA KAU,
HAI ANAK-ANAK ADAM
SINAR KETAQWAAN
SEORANG ULAMA
Pada suatu hari Hasan Al Bashri Ra ditanya, “Hari apa menurutmu yang
patut dikatakan hari raya itu, ya Abal Hasan?
Hasan Al Bashri menjawab, “Setiap hari pada hari itu aku tidak melakukan
maksiat kepada Allah Ta’ala.”
Mereka bertanya lagi, “Apa rahasia zuhudmu dalam dunia ini, ya Abal
Hasan?”
Hasan Al Bashri menjawab, “Aku tahu rezekiku tidak akan diambil oleh
orang lain, karena itulah kalbuku selalu tenang. Aku tahu amal perbuatanku tidak
akan dapat ditunaikan oleh orang lain, karena itulah aku sibuk mengerjakannya.
Aku tahu Allah Ta’ala selalu mengamatiku, karena itulah aku merasa malu bila
Dia melihatku sedang dalam maksiat. Dan aku tahu kematian itu sudah
menungguku, karena itulah aku selalu menambah bekal untuk hari pertemuanku
dengan Allah Azza wa Jalla.
KEISTIMEWAAN ISTIGHFAR
PAHLAWAN MIMBAR
Pada suatu hari ketika Imam Hasan Al Bashri Ra sedang duduk di
rumahnya yang sederhana, beliau didatangi oleh seorang delegasi budak-budak
dari negeri Al Bashrah. Delegasi itu berkata kepadanya, “Ya Taqiyuddin, majikan
kami memperlakukan kami dengan buruk dan tidak berperikemanusiaan. Kami
berharap pada khotbah Jum’at yang akan datang tuan bisa membicarakan tentang
kasus kami supaya para pemilik budak melepaskan budak-budaknya dan tidak
memperlukan mereka dengan kejam.”
Imam hasan Al Bashri mendengarkan permohonan delegasi itu dengan baik
tanpa berkomentar apa-apa.
Silih berganti Jum’at berlalu, tetapi sang Imam tidak pernah membicarakan
tentang budak di khutbah Jum’atnya. Barulah pada suatu hari Jum’at beliau
berkhutbah tentang keutamaan membebaskan budak dalam Islam dan besarnya
dosa berbuat kejam serta tidak berperikemanusiaan terhadap budak.
Sesuai dengan pidato Jum’at ini banyak kaum muslimin yang
membebaskan budaknya karena Allah Ta’ala, dan delegasi Al Bashrah juga datang
kembali ke rumah sang Imam. Tetapi kedatangannya ini bukan untuk
mengucapkan terima kasih. mereka berkata, “Wahai Imam Hasan, kami datang
kepada tuan bukan untuk berterima kasi, tetapi untuk mengeritik tuan!”
Imam Hasan Al Basahri terkejut mendengar perkataan yang cukup pedas
dari delekasi itu. “Mengapa begitu?” Tanya Imam Hasan kepada mereka.
Mereka menjawab, “Seemula kami datang dan mengadukan hal-ihwal kami
kesini dengan harapan supaya tuan cepat-cepat menyampaikan pidato Jum’at itu
karena kami dan rekan-rekan kami butuh penyelesaian yang segerah.”
Imam Hasan Al basahri tidak menjawab gugatan mereka, tapi beliau balik
bertanya, “Tahukah kamu, mengapa aku menunda khutbah Jum’atku itu?”
Mereka menjawab,”Allahu ‘alam!”
Imam Hasan kemudian menerangkan, “Aku menunda bicaraku tentang
pembebasan budak karena aku belum mempunyai uang untuk membeli budak.
Setelah Allah Ta’ala mengaruniai aku uang untuk membeli budak, kemudian
kubebaskan dia sesuai dengan tema pembicaraanku dalam khutbah Jum’at itu,
barulah aku memerintah orang lain untuk membebaskan para budak. Kaum
muslimin akan menyabut seruan Allah Rabbul ‘alamin bila mereka melihat bicara
dan perbuatanku sejalan!”
KARENA TAKUT
KEPADA ALLAH TA’ALA
DI MASJID NABAWI
Pada waktu ulama yang mulia Sad bin Al Musayib Ra sedang mengajar di
Masjid Nabawi di Madinah, Amirul Mukminin Al Walid bin Abdul Malik,
Khalifah Bani Umayyah masuk kedalam masjid itu bersama dengan
rombongannya dan dengan disertai Amir Madinah pada waktu itu, Umar bin
Abdul Aziz Ra. Khalifah Bani Umayyah itu menyapa Syeikh Said, “Assalamu
alaika, ya Said!”
Said bin Al Musayib menjawab salam itu dengan perlahan sekali sehinggah
hampir tidak terdengar.
Umar bin Abdul Aziz Ra khawatir Khalifah jadi gusar dan bertindak keras
kepada Said bin Al Musayib. Maka kata Umar bin Abdul Aziz kepada Khalifah,
“Ucapkan sekali lagi dengan suara yang keras.” Maka Khalifah pun mengucapkan
salamsekali lagi. Tatapi Said bin Musyib tetap saja menjawabnya dengan tenang
dan perlahan.
Umar bin Abdul Aziz kembali memberikan alasannya. Katanya, “Mungkin
penglihatannya sudah kabur.”
Khalifah Al Walid pun maju ke depan dan mengulurkan tangan kepada
Said seraya mengulangi salamnya. Tetapi Said bin Al Musayyib menjawab salam
itu dengan suara lemah dan hampir tidak terdengar.
Akhirnya Al Walid bangkit dari tempat duduknya seraya berkata kepada
Umar bin Abdul Aziz. Katanya, “Ya Umar, sebenarnya Said bin Al Masayyib
tidak lemah pendengaran atau penglihatan, tetapi ia seorang yang takut kepada
Allah. maka Allah membuat semua makhluk-Nya takut kepadanya…!”
KEUTAMAAN SHALAT
BERJAMA’AH
Seorang zahid terkenal, Malik bin Dinar Ra sedang berjalan di salah sebuah
jalan di kota Al Bashrah. Lalu dia melihat seorang lelaki mabuk sedang terlentang
di jalanan dengan mengucapkan:”Allah…Allah…”
Mendengar ucapan yang keluar dari seorang yang sedang mabuk itu, Al
Imam Malik berpikir, betapa tidak pantasnya asma yang mulia itu keluar dari
kedua bibir yang kotor. Maka beliau pergi mengambil air bersih dan mencuci
kedua bibir orang yang mabuk itu. kemudian beliau berdoa kepada Allah semoga
pemabuk itu diberi hidayah.
Setelah itu Al Imam Malik pulang ke rumahnya dan tidur dengan nyenyak.
Tiba-tiba ia bermimpi dan mendengar suara orang memanggilnya, “Ya Malik!
Engkau telah membersikan mulut orang itu karena Kami (Allah), maka Kami pun
telah membersikan kalbunya karena kamu…”
Imam Malik terbangun dari tidurnya setelah mengalami mimpi tersebut.
Kemudian ia pergi ke masjid untuk menantikan shalat Subuh. Ternyata di sana ia
melihat seorang lelaki yang sedang menangis tersendu-sendu dan merintih
memohon dosanya diampuni. Orang itu memohon: “Ya Allah, aku telah berdiri di
hadapan-Mu di rumah-Mu memohon ampunan atas dosa-dosaku. Kiranya Engkau
menerima penyesalanku, ya Allah, ya Rabbul “alamin. Kini ya Allah, apakah aku
mengucapkan selamat kepada diriku atas ampunan yang Engkau berikan
kepadaku, atau aku mengucapkan duka cita dengan penolakan tobatku itu…”
Setelah Al Imam Malik bin Dinar Ra mendengar rintihan dan tangis orang
itu, ia bertanya, “Siapakah Anda? Semoga Allah merahmatimu…” Imam Malik
berkata kepada orang itu sambil mengamati wajahnya baik-baik. ternyata ia adalah
orang mabuk yang pernah dibersikan mulutnya dan didoakan olehnya. Maka
Imam Malik bertanya lagi kepadanya, “Bagimana keadaanmu, wahai hamba
Allah?”
Orang itu menjawab dengan singkat, “Yang memberikan hidayah kepadaku
(Allah) telah memberitaukan keadaanku kepadamu!”
DUDUK-DUDUK
DI TENGAH MAYIT-MAYAT
Sudah menjadi kebiasaan Imam Malik bin Dinar Ra, pada Waktu luang ia
pergi ke kuburan dan duduk-duduk di sana.
Pada suatu hari ia ditanya orang, “Ya Imam Malik, mengapa Anda suka
duduk-duduk di sini, di tengah mayit-mayit?”
Imam Malik menjawab, “Kalau aku duduk di tengah mereka, mereka tidak
menggaguku, dan apabila aku pergi mereka tidak berhihah kepadaku.
PERSIAPAN
UNTUK HARI KEBERANGKATAN
Diriwayatkan, Malaikatul maut Alahissalam perna menemui Nabi Daud
Alahissalam. Nabi Daud bertanya kepadanya, “Siapakah Engkau?”
Malaikatul maut menjawab, “Aku petugas yang tidak gentar menghadapi
raja-raja dan tidak mundur karena adanya pengawalan yang ketat dan kuat!”
“Ya, benar!” jawab Malaikatul maut.
Nabi Daud mengetahui maksud kedatangan malaikat tersebut, tetapi ia
mengajukan alasan, “Kedatangan Anda tidak ada waktunya. Aku belum
mengadakan persiapan untuk berangkat!”
Malaikatul maut menolak alasan tersebut. Katanya, “Ya Daud! Dimana
karib kerabatmu, si Fulan? Dimana tetanggamu si Fulan?”
Nabi Daud menjawab, “semua sudah meninggal dunia.”
Maka Malaikatul maut menjawab lagi, “Apakah itu tidak cukup menjadi
pelajaran bagimu untuk dijadikan ibrah?!”
KASIH SAYANG
SESAMA BINATANG
Imam Malik bin Dinar Ra mengisahkan, “Pada suatu hari ketika aku
hendak makan, tiba-tiba ada seekor kucing menyambar sepotong daging dari
tempat makanku. Aku mengikutinya dari belakang karena ingin tahu kemana ia
akan membawa daging itu. ternyata ia melemparkan daging itu ke mulut sebuah
lobang berbatu. Aku mengamatinya dari jauh, dan tak lama kemudian keluar dari
dalam lubang itu seekor ular buta hendak memakan daging itu.”
MUNAJAT
AKHLAK
ORANG-ORANG SHALEH
Pada suatu hari Khalifah Harun Ar Rasyid berkata kepada qadhiya, Abu
Yusuf, “tolong kisahkan kepadaku akhlak Abu Hanifah.”
Abu Yusuf mengisahkan, “Beliau wallahi seirang yang kuat dan berpegang
teguh dalam menolak apa yang diharamkan Allah. beliau senantiasa menjauhkan
diri dari para pecinta dunia. Banyak berdiam diri, suka berpikir, dan bicaranya
teratur, tidak asal bicara. Kalau ada orang yang bertanya sesuatu, maka bila beliau
memahaminya, beliau akan memberikan jawaban. Tetapi apabila tidak tahu, beliau
tidak menjawab. Beliau selalu memelihara kehormatan diri dan agamanya. Beliau
sibuk mengurusi dirinya sendiri, dan tidak mengurusi hal-ihwal orang lain. Bahkan
beliau tidak pernah berbicara tentang orang lain selain kesan baiknya saja.
Mendengar penuturan Abu Yusuf tentang akhlak Abu hanifah, Khalifah
Harun Ar Rasyid berkomentar, “Itulah akhlak para shalihin.”
Pada suatu hari seorang ilmuwan memasuki suatu negeri. Lalu ia berkata
kepada penduduk negeri itu, “Aku siap menjawab pertanyaan kalian yang tersulit
sekalipun.”
Kebetulan di antara penduduk yang tengah berkumpul itu hadir Al Imam
Abu Hanifah Ra. dia berkata kepada ilmuwan itu, “Aku akan bertanya kepadamu
satu pertanyaan saja.”
Sang ilmuwan menjawab, “Ap itu, silahkan saja.”
Maka Abu Hanifah bertanya, “Semut yang berbicara tentang Nabi
Sulaiman, apakah semun jantan atau semut betina?”
Ilmuwan itu terdiam, tidak bisa menjawab. Katanya, “Allahu a’lam.”
Abu Hanifah Ra menjelaskan, “ia adalah seekor semut betina.”
Sang ilmuwan mengernyitkan kening, tidak puas dengan jawaban Abu
Hanifah. Maka dia bertanya, “Mana buktinya?”
Abu Hanifah menjelaskan lebih lanjut, “bukankah Al Qur’an telah
menyatakan: “Wa qalat namlatun”, dengan menggunakan “ta’ut ta’nits.”
Kemudian Abu Hanifah berkata lagi, “Sebenarnyaa aku memajukan
pertanyaan kepadamu bukannya untuk mengujimu, akan tetapi aku ingin
mengingatkanmu agar jangan congkak dengan ilmu yang kau miliki!”
Seorang atheis bertanya kepada Abu Hanifah ra, “Apakah Anda pernah
melihat Robbmu?”
Abu Hanifah Ra menjawab, “Maha suci robbku, Dia tidak bida dicapai oleh
penglihatan.”
“Apakah Anda pernah menyentuh, mencium, mendengar atau
mencicipinya?” Tanya atheis lebih dalam.
“Maha suci robbku, Dia tidak sama dengan sesuatu apapun, Dia Maha
Mendengar lagi Maha melihat,” kata Abu Hanifah selanjutnya.
Si Atheis terus mencecernya, “Kalau anda tidak pernah melihat, tidak
pernah mendengar suaranya, dan tidak pernah meraba zatnya, lalu dari mana Anda
bisa membuktikan keberadaannya?”
Abu Hanifah mulai kesal dengan pertanyaan orang atheis itu. ia tidak
menjawab pertanyaan tersebut, tetapi justru balik bertanya, “Hai saudara, apakah
Anda melihat akalmu?”
“Tidak,” jawab orang atheis itu.
“Pernahkah Anda mendengar suara akalmu?”
“Tidak,” jawab orang atheis itu lagi.
“Juga, pernahkah Anda maraba akalmu?”
orang atheis kembali menjawab sambil menggeleng, “tidak.”
Akhirnya Abu Hanifah sampai pada pertanyaan, “Apakah Anda seorang
akil (sehat akal) atau seorang yang sinting (kurang waras)?”
“Tnetu seorang akil!” Jawab orang atheis itu tegas.
“Apakah Anda mempunyai akal?”
“Tentu ada!” Jawab sang atheis itu agak sewot.
Abu Hanifah menegaskan kembali, “Apalagi Zat Allah Robbul alamin.
Tentu wajib ada-Nya meskipun indera kita tidak mampu menjaungkau-Nya!”
AGAMA FITRAH
Pada waktu Abu Hanifah sedang berguru kepada Syaikh Hamad, ia pernah
bermimpi melihat seekor babi ingin mengukir batang pohon, lalu cabang pohon itu
menundukan rantingnya dan memukul babi itu dengan pukulan yang keras
sehingga ia lari dan menjerit-jerit kesakitan.
Abu Hanifah Ra lalu pergi menemui gurunya dan menceritakan mimpinya
itu. ternyata gurunya sedang sedih. Maka ia bertanya kepada gurunya, “Apa yang
menyebabkan engkau bersedih hati, wahai Syaikh Hamad?”
Syaikh Hamad menjawab, “Ada beberapa orang atheis datang menemui
raja negeri ini yang menyatakan keyakinannya bahwa alam semesta ini terjadi
dengan sendirinya tanpa diciptakan oleh Allah. lalu raja memerintahkan kepadaku
agar aku mengirimkan para ahli yang bisa menjelaskan duduk permasalahannya
kepada mereka, apakah alam ini mempunyai Tuhan atau tidak. Kami sudah
bersepakat akan mengadakan perbedaan di suatu tempat tertentu. Hanya yang
sangat menyedihkanku, aku takut hal ini menimbulkan fitnah di tengah-tengah
masarakat.”
Mendengar penuturan gurunya, Abu Hanifah berkata, “Ya Syaikh Hamad,
kini aku tahu tafsir mimpi yang hendak aku tanyakan kepada guru. Seekor babi
yang mendekati pohon itu ialah orang atheis itu, sedangkan pohonnya adalah
bapak guru sendiri, dan ranting pohon yang mengusir babi itu, InsyaAllah aku
yang melakukannya dengan bukti. Serahkanlah hal itu kepadaku, wahai guru.
Kalau mereka mengalahkan aku maka wajar saja karena aku murid guru yang
terkecil. Kalau mereka berdebat dengan guru tentu mereka akan dikalahkan.
Syaikh Hamad menyetujui usulan muridnya itu. maka berangkatlah Abu
Hanifah ke tempat yang dituju sebagai wakil gurunya. Setibah di tempat yang
dimaksud, orang-orang atheis telah berkumpul. Abu Hanifah lalu berkata kepada
mereka, “Sesungguhnya Syaikh Hamad, merasa masalah ini tidak harus
ditanganinya sendiri. Karena itulah dia mengutusku. Aku adalah salah seorang
murid terkecilnya. Aku diberi amanat untuk melanjutkan perdebatan dengan kalian
semua. Mudah-madahan kalian akan mendapatkan jawaban yang jelas dan
memuaskan.”
Mereka mulai denga berbagai pertanyaan, antara lain:
V. TAKDIR ALLAH
Atheis :kalau segala sesuatu sudah ditakdirkan sebelum diciptakan, lalu apa
kegiatan Robbmu kini?
Abu Hanifah :ada pekerjaan –Nya yang dijelaskan dan ada pula yang tidak
dijelaskan.
Atheis :kalau ada orang masuk ke surga itu ada awalnya, kenapa tidak ada
akhirnya? Kenapa di surga kekal selamanya?
Abu Hanifah :Hitungan angka pun ada awalnya tapi tidak ada akhirnya.
Atheis :Bagaimana kita bisa makan dan minum di surga tanpa buang air dan
kecil?
Abu Hanifah :kalian sudah mempraktekkannya ketika kalian ada di dalam perut
ibu kalian. Hidup dan makan-minum selama sembilan bulan, akan
tetapi tidak pernah buang air kecil dan besar di sama. Baru kita
melakukan dua hajat tersebut setelah keluar beberapa saat ke dunia.
Atheis :bagaimana kebaikan surga akan bertambah dan tidak akan habis-
habisnya jika dengan didinafkahkan?
Abu Hanifah :Allah juga menciptakan sesuatu di dunia, yang bila dinafkahkan
malah bertambah banyak, seperti ilmu. Semakin diberikan ilmu kita
semakin berkembang dan tidak berkurang.
Abu Hanifah :Apakah lemparan itu menimbulkan rasa sakit di kepala Anda?
Atheis :Ya, tentu saja.
Abu Hanifah :Dimana letak sakitnya?
Atheis :Ya, ada pada lukanya ini.
Abu hanifah :Tunjukkanlah kepadaku kalau sakitmu itu memang ada, baru aku
akan menunjukkan kepadamu dimana adanya Robbku!
Orang Atheis tidak bisa menjawab dan tentu saja tidak bisa menunjukkan
rasa sakitnya karena itu adalah suatu rasa dan gaib tapi rasa sakit itu memang ada.
Atheis :baik dan buruk sudah ditakdirkan sejak azal, tetapi kenapa ada
pahala dan siksa?
Abu Hanifah :kalau Anda sudah mengerti bahwa baik dan buruk itu bagian dari
takdir, mengapa Anda kini menuntut aku agar dihukum karena telah
melempar tanah liat ke dahi Anda? Bukankah perbuatnku itu bagian
dari takdir?
KELUARGA SHALEH
Seorang laki-laki yang shaleh bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan
di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba dia melihat sebuah apel jatuh keluar pagar
sebuah kebun buah-buahan. Melihat apel yang merah ranum itu tergelatak di tanah
membuat air liur Tsabit terbit, apalagi di hari yang panas menyengat dan tengah
kehausan. Maka apel yang lezat itu. akan tetapi baru setengahnya dimakan dia
teringat bahwa buah itu bukan miliknya dan dia belum mendapatkan ijin dari
pemiliknya.
Maka ia segera pergi ke dalam kebun buah-buahan itu hendak menemui
pemiliknya agar menghalalkan buah yang telah dimakannya. Di kebun itu dia
bertemu dengan seorang lelaki. Maka langsung saja dia berkata, “Aku sudah
makan setengah dari buah apel ini. Aku harap Anda menghalalkannya.” Orang itu
menjawab, “Aku bukan pemilik kebun ini. Aku khadamnya yang tugasnya
merawat dan mengurusi kebunya.”
Dengan nada menyesal Tsabit bertanya lagi, “Dimana rumah pemiliknya?
Aku akan datang menemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah kumakan
ini.”
Pengurus kebun itu memberitahukan, “Apabila engkau ingin pergi ke sana
maka engkau harus menempuh perjalanan sehari semalam.”
Tsabit bin Ibrahim bertekad akan pergi menemui si pemilik kebun itu.
katanya kepada orang tua itu, “Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya,
meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena
tanpa seijin pemiliknya. Bukankah Rasulullah Saw memperingatkan kita lewat
sabdanya:
“Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka lebih layak menjadi
umpan api neraka.”
Tsabit pergi juga ke rumah pemilik kebun itu, dan setiba di sana dia
langsung mengetuk pintu. Setelah si pemilik rumah membukakan pintu, Tsabit
langsung memberi salam dengan sopan, seraya berkata, “Wahai tuan yang
pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh ke
luar kebun tuan. Karena itu, maukah tuan menghalalkan apa yang sudah kumakan
itu?”
Lelaki tua yang ada dihadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat. Lalu
dia berkata tiba-tiba, “Tidak, aku tidak bisa menghalalkannya, kecuali dengan satu
syarat.”
Tsabit merasa khawatir dengan syarat itu karena takut ia tidak bisa
memenuhinya. Maka segera dia bertanya, “Apa syarat itu tuan?”
Orang itu menjawab, “Engkau harus mau mengawini puteriku!”
Tsabit bin Ibrahim tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu, maka
dia berkata, “Apakah karena hanya aku makan setengah buah apelmu yang keluar
dari kebunmu, aku harus mengawini puterimu?”
Tepai pemilik kebun itu tidak menggubris pertanyaan Tsabit. Ia malah
menambahkan, katanya, “Sebelum pernikahan dimulai engkau harus tahu dulu
kekurangan-kekurangan puteriku itu. dia seorang yang buta, bisu dan tuli. Lebih
dari itu dia juga seorang yang lumpuh!”
Tsabit amat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berpikir
dalam hatinya, apakah perempuan seperti itu patut dia persunting sebagai isteri
gara-gara setengah buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya?
Kemudian pemilik kebun itu menyatakan lagi, “Selain syarat itu aku tidak
bisa menghalalkan apa yang telah kau makan!”
Namun Tsabit kemudian menjawab mantap, “Aku akan menerima
pinangannya dan perkawinannya, aku telah bertekad akan mengadakan transaksi
dengan Allah Robbul ‘alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-
kewajiban dan hak-hakku kepadanya karena aku amat berharap Allah selalu
meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di
sisi Allah Ta’ala.’
Maka pernikahanpun dilaksanakan. Pemilik kebun itu menghadirkan dua
orang saksi yang akan menyaksikan akan nikah mereka. Sesudah perkawinan usai,
Tsabit dipersilahkan masuk menemui isterinya. Sewaktu tsabit memasuki kamar
pengantin, dia berpikir akan tetap mengucapkan salam walaupun isterinya tuli dan
bisu, karena bukankah malaikat Allah yang berkeliaran dalam rumahnya tentu
tidak tuli dan bisu juga. Maka iapun mengucapkan salam, “Assalamu ‘alaukum…”
Tak dinyana sama sekali wanita yang ada di hadapannya dan kini resmi
menjadi isterinya itu menjawab selamnya dengan baik. ketika Tsabit masuk
hendak menghampiri wanita itu, dia mengulurkan tangan untuk menyambut
tangannya. Sekali lagi Tsabit terkejut wanita yang kini menjadi isterinya itu
menyambut uluran tangannya.
Tsabit terhentak menyaksikan kenyataan ini. “Kata ayahnya dia wanita tuli
dan bisu tetapi ternyata dia menyambut salamnya dengan baik. jika demikian
berarti wanita yang ada di hadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu, ayahnya
juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut
kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula,” Kata
Tsabit dalam hatinya. Tsabit berpikir, mengapa ayahnya menyampaikan berita-
berita yang bertentangan dengan yang sebenarnya?
Setelah Tsabit duduk di samping isterinya, dia bertanya “Ayahmu
mengatakan kepadaku bahwa engkau buta. Mengapa?”
Wanita itu kemudian berkata, “Ayahku benar, karena aku tidak pernah
melihat apa-apa yang diharamkan Allah.”
Tsabit bertanya lagi, “Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli.
Mengapa?
Wanita itu menjawab, “ayahku benar, karena aku tidak pernah mau
mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah.” Ayahku juga
mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh, bukan?” Tanya wanita itu
kepada tsabit yang kini sah menjadi suaminya.
Tsabit mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan isterinya. Selanjutnya
wanita itu berkata, “Aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku hanya
menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta’ala saja. Aku juga
dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang bisa
menimbulkan kegusaran Allah Ta’ala.”
Tsabit amat bahagia mendapatkan isteri yang ternyata amat shaleh dan
wanita yang amat memelihara dirinya. Dengan bangga ia berkata tentang isterinya,
“Ketika kulihat wajahnya…subhanallahu, dia bagaikan bulan purnama di malam
yang gelap.”
Tsabit dan isterinya yang shaleh dan cantik itu hidup rukun dan berbahagia.
Tidak lama kemudian mereka dikaruniai seorang putera yang ilmunya
memancarkan hikmah ke seluruh penjuru dunia. Itulah Imam Abu Hanifah An
Nu’man bin Tsabin Ra.
Wanita seperti itu sungguh layak menjadi ibu seorang Imam seperti Abu
Hanifah Ra, yang dengan ijtihadnya telah berhasil menyusun 83.000 masalah
fiqih. Selama 40 tahun beliau shalat Fajar dengan wudhu Isya’. Keistimewaan
Imam Abu Hanifah lainnya adalah beliau pada suatu malam (di musim dingin
yang panjang) memasuki Baitullah Al Haram di Mekah, kemudian beliau shalat
sunnah ba’diyah Isya’ dua rakataat hingga adzan Faajar. Dalam shalatnya beliau
membaca 30 juz Al Qur’anul Karim seluruhnya! Pada rakaat pertama beliau
membaca surat Al Fatihah sampai pada ayat yang firman-Nya:”
Dan pada rakaat yang kedua dibaca dari ayat tersebut hingga firman-Nya:
MATINYA
ORANG-ORANG YANG ZALIM
Hanad bin Al Aswad berkisah, “pada suatu hari aku, Abu Lahab dan
puteranya, Utbah bersama sekelompok pedagang bersiap-siap hendak pergi ke
negeri Syam. Tapi ketika hendak berangkat Utbah berkata, “Wallahi, sebelum
berangka aku akan menemui Muhammad. Aku akan mengejek dia sepuas-
puasnya!”
Setiba di hadapan Nabi Saw, Utbah berkata, “Hei Muhammad! Aku kafir
dengan Tuhanmu yang Maha Agung itu!”
Nabi Saw tidak membalas ejekan itu tetapi dia mengangkat tangannya
seraya berdoa: “Ya Allah, jadikanlah dia mengsa dari salah seekor anjing-anjing-
Mu!”
Setelah puas mengejek, Utbah kembali ke rombongannya dan menemui
ayahnya. Ia menceritakan apa yang barusan terjadi. Ayahnya, Abu Lahab berkata
kepadanya, “Wahai anakku, wallahi aku tidak aman melepaskanmu pergi dari
doa’anya.”
Tetapi mereka berangkat juga pergi ke negeri Syam. Pada suatu malam
mereka beristirahat dulu memasang tenda tidak jauh dari sebuah biara di tengah
gurun pasir. Abu Lahab amat khawatir dengan keselamatan anaknya. Dia berpesan
kepada hanad bin Al Aswad agar menjaga puteranya supaya dapat selamat dari
doa Muhammad Saw. Dia berpesan supaya puteranya jangan dilepas berjalan
seorang diri, dan kalau tidur supaya ditempatkan ditengah-tengah anggota
rombongan.
Malam itu rombongan menggelar permadani di dalam kemah Hanad
dengan anggota rombongan lain menempatkan Utbah di tengah-tengah. Ketika
sedang tidur, tiba-tiba ada seekor singa memasuki kemah dan mencium kepala
setiap anggota rombongan yang sedang tidur, hingga ketika sampai ke kepalah
Utbah bin Abu Lhab, dia menerkam hingga kepala Utbah terpisah dari tubuhnya.
Karenanya Abu Lahab selalu mengatakan bahwa anaknya, Utbah kualat dan
terkena doanya Muhammad!”
Pada suatu malam Al Imam Malik bin Anas Ra tertidur, lalu ia bermimpi
melihat Malaikatul Maut. Kemudian ia bertanya kepadanya, “Ya Malikatul Maut,
masih tinggal berapa lama lagi usiaku ini?”
Malaikatul maut memberi isyarat dengan kelima jarinya. Imam Malik tidak
mengerti maksudnya. Maka ia bertanya lagi, “Lima Apa, ya Malikatul Maut?
Apakah lima tahun, lima bulan, lima minggu, atau lima hari?” Tapi belum sempat
mendengarkan jawabannya, Imam Malik Ra terbangun dari tidurnya.
Keesokan pagi Imam Malik Ra pergi menanyakan perihal mimpinya
kepada seorang ahli mimpi, yaitu Al Imam Ibnu Sirin. Ibnu Sirin berkata
kepadanya, “Ya Malik, mimpimu baik-baik saja. Malikatul maut tidak bermaksud
mengatakan lima tahun, lima bulan, lima minggu, lima hari, atau lima waktu
lainnya, tetapi dia hendak mengatakan kepadamu bahwa pertanyaanmu itu
termasuk dalam kelima rahasia ilmu ghaib yang tidak diketahui oleh siapapun
selain Allah Ta’ala sendiri sebagaimana dalam firman-Nya:
KEMULIAAN ILMU
Pada suatu hari ada seorang yang bertanya kepada Imam Malik Ra tentang
tafsir dari firman Allah Ta’ala yang terdapat pada surat Thaha ayat 5:
…………………………….
…………………………….
“(Yitu) Robb Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas
‘Arsy.”(Thaha 5)
Karena itu Aku telah meridhaimu, ya Malik!” Itulah pengajaran orang mati untuk
orang hidup.
TIGA KEUNTUNGAN
Pada suatu hari seorang pemuda mengetuk pintu rumah Al Imam Ahmad
bin Hambal Ra. pada waktu itu sang Imam sedang duduk santai di rumahnya.
Mendengar ada suara ketukan pintu Imam Ahmad segera beranya, “Siapa yang
mengetuk pintu itu?”
Setelah pintu dibuka ternyata yang datang adalah seorang pemuda. Ia
bermaksud ingin menemui Imam Ahmad. Setelah berhadapan dengan sang Imam
pemuda itu berkata, “Ya Imam, ibuku mengirim aku kesini untuk menemui imam.
Ia terkena penyakit lumpuh. Kami sudah pergi berobat kemana-mana akan tetapi
belum juga berhasil. Kini ia mengirimku kemari untuk didoakan oleh bapak Imam.
Al Imam bertanya kepada pemuda itu, “Siapa yang memberitahukan
kepadamu, nak, bahwa doaku mustajab? Pulanglah kepada ibumu dan mintakan
doa kepadanya untuk kita semua!”
Mendengar perkataan sang Imam yang seakan tidak ingin mengabulkan
permintaan ibunya, pemuda itu keluar rumah dan menangis sejadi-jadinya di sana.
Melihat peristiwa ini ibu sang Imam menemuinya dan bertanya, “Mengapa
engkau menagis, nak?’
Pemuda itu menjwab, “Ibuku mengirim aku kesini untuk diberi doa oleh
Imam atas derita yang dialaminya. Namun ternyata imam tidak mau
mendoakannya…”
Mendengar penuturan keliru pemuda itu, ibu imam Ahmad menjelaskan,
“tadi Imam sudah mendoakan ibumu, nak. Percayalah. Kini pulanglah engkau ke
rumah.”
Setiba di rumah pemuda itu sangat terkejut melihat ibunya sudah sehat dan
dapat berdiri, dan ibunyalah yang membukakan pintu untuknya!
Pada suatu ketika, seorang pasien datang kepada seorang arif, Sofyan Ra.
pasien itu bertanya kepadanya, “Ya Sofyan, aku ini menderita penyakit jauh dari
Allah Ta’aala. Tolong beri obat penyembuhnya, ya Sofyan…”
Sofyan Ra, ulama yang arif itu lalu berkata kepadanya, Ya saudaraku,
hendaklah kau mengambil beberapa buah akar keikhlasan, daun-daunan
kesabaran, dan perahan kerendahan hati. Letakkan semua dalam wadah
ketaqwaan, lalu tuangkan ke dalam cairan rasa takut, kemudian dengan api
kesedihan. Saringlah kewaspadaan dan kemudian ambil ramuan itu dengan tangan
kejujuran, lalu minumlah dari gelas istighfar yang telah dicampur dengan air
keshalehan. Sesudah itu jauhkanlah dirimu dari rakus dan serakah, Insya Allah
dengan ijin Allah Ta’ala, engkau akan sembuh dari penyakitmy itu.”
Pada suatu malam yang hening dan sejuk, salah seorang wali Allah yang
shaleh, Abu Yazid Al Busthamil Ra sedang tidur nyenyak. Tiba-tiba seperti ada
suara memanggilnya, “Ya Aba Yazid! Malam ini adalah Hari Raya orang Nasrani.
Pergila engkau ke biara mereka, dan sampaikan risalah nabimu Muhammaad.”
Abu Yazid segera bangkit dari tidurnya dan pergi ke salah satu biara
Nasrani. Setiba di sana, ia duduk di tengah-tengah mereka. Dia mengira tidak ada
orang yang mengenalnya. Akan tetapi tiba-tiba pastur mereka berkata, “Aku tidak
bisa meneruskan khotbahku ini sebelum pengikut Muhammad keluar dari ruangan
ini!” Pastur itu berkata demikian sambil menuding Yazid agar meninggalkan
ruang itu.
Para jamaah pastur tidak mengerti. Mereka bertanya, “Darimana pastur itu
tahu kalau dia mengikut Muhammad?”
Pastur itu menjawab, “Pada wajah pengikut Muhammad terdapat bekas
sujudnya!"”akhirnya jamaah yang ada di biara itu serentak memerintahkan kepada
Abu Yazid agar keluar dari tempat itu. akan tetapi Abu Yazid bersikeras. kAtanya,
“Aku tidak akan meninggalkan tempat ini hingga Allah menentukan antara aku
dan kalian karena Dia lah Yang Maha Pemutus segala perkara.”
Maka pastur itu berkata kepada Abu Yazid, “Aku berikan kesempatan
kepada tuan untuk tinggal disini dan menjawab semua pertanyaanku. Kalau tuan
bisa menjawab semua pertanyaanku, kami akan beriman bahwa Tuhan itu satu,
dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah Saw. Akan tetapi, kalau tuan tidak bisa
menjawab, meskipun hanya satu pertanyaan, tuan harus menerima resiko. Kami
akan memenggal kepala tuan. Bagaimana apakah tuan setuju?”
Abu Yazid Ra menjawab, “Tanyalah apa yang tuan hendak tanyakan,
karena Allah Ta’ala sudah berfirman: “Takutlah hanya kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Al Baqarah 282)
Lalu pastur itu berdiri dan memulai pertanyaan-pertanyaannya satu demi
satu.
Pastur : Apa ciptaan Allah yang tidak berayah dan tidak beribu?
Abu yazid : Mereka adalah malaikat, yang tidak berayah dan beribu. Tubuhnya
nurani, tidak makan dan tidak minum, tidak dilahirkan dan tidak
melahirkan, tidak pernah tidur dan bersitirahat. Dia bertasbih siang
dan malam, seperti halnya kita bernafas setiap saat.
Pastur : Siapa pula ciptaan Allah yang tidak berayah dan tidak beribu?
Abu Yazid : Nabi Adam, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti
(penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian
Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka
jadilah dia.” (Ali Imran 59)
Pastur : Pohon apa yang terdiri dari 12 ranting, dan setiap ranting terdiri
dari 30 daun. Pada tiap daun ada 5 buah, 2 buah di antaranya ada di
panasnya dan 3 buah lagi ada di teduhnya.
Abu Yazid : pohon yang terdiri dari 12 ranting itu yang pada tiap rantingnya ada
30 daun, dan pada tiap daun ada 5 buah, 2 buah di antaranya ada
pada tiap daun ada di panasnya dan 3 buah lagi ada diteduhnya.
Yang dimaksud dengan pohonan adalah tahun, tiap-tiap tahun ada 12
bulan, tiaptiap bulan terdapat 30 hari, pada tiap-tiap hari terdaapat 5
kewajiban menunaikan shalat, 2 shalat ditunaikan di siang hari (yaitu
Dhuhur dan Ashar), dan 3 shalat lainnya ditunaikan pada waktu
matahari terbenanm, yakni maghrib, Isya’, dan Subuh.
Abu Yazid : Kini giliran saya, wahai tuan pastur yang terhormat, untuk
memajukan satu pertanyaan saja. Saya harap Anda bisa
menjawabnya.
Pastur :Silahkan!
Abi Yazid : Apa kunci surga itu?
Pastur : …(Sang pastur tidak dapat menjawab0
- Kalau engkau melihat orang sibuk dengan dunia, maka sibuklah dirimu dengan
soal kahirat.
- Kalau engkau melihat orang sibuk memperindah lahirnya, maka sibukanlah
dirimu dengan memperindah batinmu.
- Kalau engkau melihat orang sibuk memakmurkan perkebunan, maka
sibukanlah dirimu memakmurkan kuburan.
- Kalau engkau melihat orang sibuk mengabdikan diri kepada sesamanya, maka
sibukanlah dirimu mengabdikan diri kepada Robbul ‘alamin.
- Kalau engkau melihat orang sibuk mempergunjingkan keburukan orang lain,
maka sibukanlah dirimu dengan keburukan dirimu sendiri.
- Jadikanlah kehidupandi dunia ini sebagai lahan pertanian yang akan
mengahantarkan engkau ke penenan raya di akhirat kelak!
AYAT-AYAT PENYEMBUHAN
“Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku.” (Asy Syu’araa
80)
“…Katakanlah: “Al Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-
orang yang beriman…(Fushshilat 44)
Pada suatu hari ada seorang lelaki datang menemui Ibrahim bin Adham Ra.
ia berkata kepada Ibrahim, “Ya Aba Ishak! Aku ini suka melakukan dosa. Tolong
berikan jalan keluar yang ampuh agar aku bisa menghindarinya.”
Setelah mendengar perkataan tersebut, Ibrahim Ra berkata, “Jika enkau
mau menerima lima syarat, dan kau mampu melaksanakannya, maka tidak apa-apa
bila kau melakukan perbuatan maksiat.”
Lelaki yang kerap melakukan maksiat itu dengan rasa ingin tahu yang besar
bertanya, “Apa saja syarat-syarat itu, ya Aba Ishak?”
“Syarat pertama,” kata Ibrahim bin Adham Ra, “Jika kamu mau bermaksiat
kepada Allah, jangan memakan rezeki-Nya!”
lelaki itu mengernyutkan kening seraya berkata, “Lalu Aku mau makan dari
mana?! Bukankah semua yang di bumi ini rezeki Allah, ya Aba Ishak?!
“Ya,” tegas ibrahim bin Adham Ra, “Kalau engkau sudah mengetahuinya,
masih pantaskag engkau memakan rezeki-Nya tapi sementara itu engkau
melanggar perintah-perintahnya-Nya?!”
“Baiklah…baiklah,” Jawab lelaki itu menyerah, “Lalu apa lagi syarat yang
keduanya, ya Aba Ishak?”
“Kalau engkau mau bermaksiat kepada-Nya, jangan engkau tinggal di
bumi-Nya!” Kata Ibrahim bin adham Ra lebih tegas mengajukan syarat kedua.
Syarat ini membuat lelaki iu kaget setengah mati, “Hah! Ini lebih hebat
lagi! Lantas aku mau tinggal di mana?! Semua bumi dan seisinya ini kan milik
Allah?!”
“Ya Abdallah! Pikirkanlah, apakah engkau layak memakan rezeki-Nya dan
tingga di bumi-Nya tetapi sementara itu engkau melanggar perintahnya-Nya?!
Tanya Ibrahim kepada lelaki itu.
“Ya, engkau benar Aba Ishak,” kembali lelaki itu mengangguk pasrah.
“lalu…,” tanyanya kembali, “Apa syarat yang ketiganya?”
“Kalau engkau mau bermaksiat kepada-Nya, mau makan rezeki-Nya, dan
mau tinggal di bumi-Nya juga, carilah tempat yang tersembunyi yang tidak dapat
terlihat oleh-Nya!”
Syarat ini kembali membuat lelaki itu terperajat, “Ya Ibrahim! Ini nasihat
macam apa?! Mana mungkin Allah tidak melihat kita?!”
“Nah, kalau engkau yakin Dia selalu melihat dan mengamatimu, apakah
pantas engkau bermaksiat di hadapan-Nya?! Sudah makan rezeki-Nya, hidup di
bumi-Nya, tapi masih juga mau bermaksiat di hadapan-Nya dengan terang-
terangan!” Ucap Ibrahim kepada lelaki itu. Ucapan ini membuat lelaki itu kembali
tidak berkutik dan harus membenarkan semua ucapan sang Imam.
“Baiklah, ya Aba Ishak…Kini apa syarat yang keempatnya?”
“Kalau malaikatul Maut datang hendak mencabut rohmu, katakanlah
kepadanya, “Mundurlah kematianku dulu. Aku masih mau bertobat dan
melakukan amal shaleh!”
kembali lelaki itu menggeleng dan tersadar, “Ya Ibrahim, mana mungkin
malaikat maut akan memenuhi permohonanku itu…”
“Ya Abdallah, kalau engkau sudah meyakini bahwa engkau tidak bisa
menunda dan mengudurkan datangnya kematianmu, lalu jalan apa yang mungkin
bisa memberikan jalan keluar kepadamu dari murka Allah Ta’ala?!”
Baiklah, ya Aba Ishak, kini apa syarat yang kelimannya?”
Ibrahim bin Adham Ra sekali lagi berpetuah kepada lelaki itu, “Ya
Abdallah, kalau malaikat Zabaniyah datang mengiringmu ke api neraka di hari
kiamat, jangan engkau mau ikut bersamanya!”
Perkataan Ibrahim sekali lagi membuat lelaki itu benar-benar tersadar dari
kebutaannya selama ini. Dai berkata, “Ya Aba Ishak, jelas mereka tidak mungkin
membiarkan aku menolak kehendaknya!”
“Kalau begitu, dari jalan apa engkau bisa menyelamatkan dirimu, ya
Abdallah?”
Lelaki yang ada di hadapan Ibrahim bin Adham Ra itu tidak tahan lagi
mendengar perkataan Ibrahim. Dia menangis dan dengan wajah penyesalan
berkata, “Ya Ibrahim cukup…cukup…jangan engkau teruskan lagi. Mulai saat ini
aku akan beristighfar dan bertobat yang nashuha kepada Allah Ta’ala…”
Ternyata lelaki itu menepati janjinya. Sejak dari pertemuannya dengan
Ibrahim bin AdhamRa, lelaki itu benar-benar bertobat.Dia mengakui segala ibadah
dan mejalankan semua perintah-perintah Allah dengan baik dan penuh
kekhusyu’an hingga menemui ajalnya.
MATINYA KALBU
DELAPAN MASALAH
YANG TERANG BEDERANG
KEMULIAAN ISLAM
Ada seorang lelaki shaleh beristri seorang wanita berakhlak buruk sehingga
perangai isterinya selalu mengganggu ketenagan kalbunya.
Pada suatu hari seorang temannya memberikan nasihat kepadanya,
“Ceraikan saja perempuan macam itu!”
Tetapi dengan sabar lelaki itu berkata, “Tidak! Aku khawatir kalau aku
menceraikannya, nanti ia menggoda suaminya yang lain. Dengan demikian nanti
akulah yang menjadi penyebab gangguannya itu.”
Temannya bertanya lagi, “Kalau begitu, apa yang akan kau lakukan?”
Lelaki shaleh itu menjawab, “Aku akan bersabar menghadapi gangguannya
demi merelisasikan sabda Nabi Saw: “Laki-laki manapun yang bersabar dengan
akhlak buruk isterinya, Allah akan memberikan kepadanya seperti apa yang
diberikan-Nya kepada Ayyub pada waktu menderita ujian. Dan begitu pula halnya
dengan perempuan shaleh yang sabar menghadapi akhlak buruk suaminya, Allah
akan memberikan kepadanya seperti apa yang diberikan-Nya kepada Asiah, istri
Fir’aun.”
PERJALANAN
ORANG-ORANG SHALEH
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dan di
langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang
dijanjikan kepadamu.” (Adz Dzaariyaat 22)
Seorang yang shaleh berkisah, “pada suatu malam di saat aku sedang tidur,
aku melihat dalam tidurku ada seorang yang menyuguhkan daging basi kepadaku,
seraya berkata, “Makanlah!” Aku menolak memakannya. Kataku kepadanya,
“Aku tidak mau makan danging busuk itu!” Tetapi orang itu berkata lagi
kepadaku, “Bukankah engkau suka mengadakan ghibah terhadap saudara-
saudaramu?!” Aku membantahnya. Kataku, “Tidak, aku tidak pernah
melakukannya!” Namun ia berkata lagi kepadaku, “Bukankah kau suka
mengadakan ghibah terhadap saudara-saudaramu?” Aku membantahnya. Kujawab
perkataannya, “Tidak, aku tidak pernah melakukannya!!” Tetapi sekali lagi ia
terus memaksaku, katanya, “Bukankah kau suka duduk-duduk dengan orang yang
mengadakan ghibah terhadap saudara-saudaranya, dan kau mendengarnya?!
Dengan demikian dosamu sama dengan dosa orang yang mempergunjingkannya!”
Ada seorang lelaki yang sangat berbakti mengurusi ibunya seorang diri.
Untuk melayani ibunya, ia tidak pernah meminta bantuan. Namun pada waktu
meninggal dunia, lelaki itu menemui Allah dalam keadaan tidak diridhoi-Nya.
Para malaikat berkata kepada Allah, “Ya Robbi! Orang itu baik sekali kepada
ibunya.”
Allah Ta’ala segera berfirman kepada para malaikat, “Wahai hamba-
hamba-Ku, kalian tidak tahu apa yang dikatakan antara dia dan aku. Setiap
memberi makan dan minum ibunya ia selalu memohon kepada-Ku agar ibunya
cepat-cepat mati. Ia selalu berkata, “Ya Allah, cepat-cepatlah dia diambil supaya
aku bisa beristirahat daripadanya!"
HUSNUL KHOTIMAH
Sayyidah Nafisah Ra dari keturunan Al Imam Al Hasan bin Ali bin Abi
Thalib Ra, sebelum meninggal dunia telah menggali kuburannya sendiri dan
membaca Al Qur’an disana sebanyak 145 kali. Pada waktu ajalnya menjelang tiba,
kebetulan waktu itu bulan ramadhan. Tabibnya memberi nasihat kepadanya agar
dia berbuka puasa, tetapi dia bersikeras tetap ingin menjalankan ibadah shaumnya.
Dengan penuh percaya diri dia berkata, “Jauhkan dokter itu dariku, dan
tinggalkanlah aku dengan kekasihku (Allah).”
Saat-saat menjelang ajalnya itu, dia terus membaca Al Qur’an, hingga pada
firman Allah yang berbunyi:
PENGARUH BERTETANGGA
DENGAN MAYIT YANG SHALEH
Pada suatu ketika Rasulullah Saw ditanya para sahabatnya, “Ya Rasulullah,
apakah di pekuburan, mayit yang bertetangga dengan seorang mayit yang shaleh
itu ada pengaruhnya?”
Rasulullah saw tidak langsung menjawab, tetapi beliau balik bertanya,
“Apakah kalau sewaktu hidup ia (orang yang shaleh itu) bertetangga ada
pengaruhnya?”
Para sahabat serentak menjawab, “Ya, ada…”
Maka jawab Rasulullah Saw menjelaskan. “Begitu pula bila dia meninggal
dunia. Di dalam kuburnya dia pun akan berpengaruh baik kepada di mayit yang
menjadi tetangganya.”
BERTETANGGA DENGAN
ORANG-ORANG SHALEH
JANGAN BERPIHAK
KEPADA ORANG YANG ZALIM
Pada suatu hari lelaki datang kepada Hasan Al Basri Ra. lalu orang itu
bertanya kepadanya, “Ya Imam, aku menjahitkan baju para pembesar negara yang
zalim, sedangkan Allah Ta’ala telah berfirman: “Janganlah kamu cenderung
kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka…”
(Huud 113). Karena itu wahai Imam, apakah aku ini termasuk orang-orang yang
condong kepada mereka?”
Imam hasan Al Basri Ra menjawab, “Sesungguhnya orang yang menjual
benang dan jarum kepadamu itulah yang condong kepada orang yang zalim,
sedang Anda tergolong orang-orang yang zalim itu!”
Pada suatu hari seorang ulama besar, Salim bin Abdullah Ra sedang
bertawaf di sekitar Ka’bah. Lalu ia berjumpa dengan Amirul Mukminin, Hisyam
bin Abdul Malik, Khalifah Bani Umayyah. Hisyam bin Abdul malik berkata
kepadanya, “Ya Salim, mintalah kepadaku apa saja yang kau kehendaki. Aku akan
memberikan apa yang kau minta!”
Namun Salim bin Abdullah Ra menjawab, “Ya Amiral mukminin, aku
malu meminta kepada selain dari Allah di rumah Allah.”
Sesuadh Salim bin Abdullah Ra berada di luar masjid, ternyata Khalifah
bani Umayyah Hisyam bin Abdul malik masih mengikutinya, dan dia berkata lagi,
“nah Salim, kini engkau sudah berada di luar Baitullah. Mintalah apa yang kau
inginkan.”
Salim Bin Abdullah Ra bertanya kepadanya, “Ya Amiral Mukminin, Anda
ingin aku minta kebutuhan dunia atau akhirat?”
Khalifah Hisyam berkata lagi, “Aku Amirul Mukminin, Anda ingin aku
minta kebutuhan dunia atau akhirat?”
Salim bin Abdullah berkata lagi kepada Khalifah Hisyam, “Ya Amirul
Mukminin, kalau aku malu meminta soal kebutuhan dunia kepada Allah yang
memilikinya, bagaimana aku akan meminta kepada Anda, sedang Anda bukan
pemilik dunia!”
NASIHAT BERHARGA
Pada suatu ketika seorang ulama yang mujahid, Al Imam Abul Hasan
Ahmad bin Sanan Ra menemui hakim Mesir, Ahmad bin Thulun di sebuah
pengadilan. Al Imam Abul Hasan berkata kepada hakim tersebut, “Ya Ubna
Thulun! Bertaqwalah kepada Allah!”
Orang-orang yang hadir di ruang sidang itu semua tertegun dengan
keberanian Imam Abul hasan menegur penguasa yang sudah dikenal sebagai
hakim yang zalim. Namun tampaknya Imam Abul Hasan bersikap tenang,
berwibawa, dan tidak gentar sedikitpun tatkala berkata demikian.
Ahmad bin Thulun, hakim Mesir itu tidak bisa menahan amarahnya ditegur
demikian oleh sang Imam di depan khalayak ramai. Maka dengan nada gusar dan
beringas ia berkata kepada ajudannya, “Buat lapar singa yang di kandang itu!
jangan diberi makan selama tiga hari, dan kemudian masukkan si bedebah Abul
Hasan ke dalam kandang singa itu!”
Ajudan Ahmad bin thulun segera melaksanakn perintah tersebut. Maka
setelah tiga hari (singa itu dalam keadaan lapar karena tidak diberi makan) Imam
Abul hasan dijebloskan ke dalam kandang tersebut. Ahmad bin Thulun tersenyum
puas melihat Imam Abul Hasan dijebloskan ke dalam kandang singa kelaparan itu.
ia sudah membayangkan tubuh Abul Hasan akan habis terkoyak-koyak dimakan
singa. Tetapi apa yang terjadi ? sesudah satu hari Abul Hasan dimasukkan ke
dalam kandang singa yang sedang lapar itu, yang menurut perhitungan sudah
dirobek-robek binatang buas itu, ternyata tubuh Abul Hasan masih utuh tak kurang
suatu apa, dan sehat wal afiat.
Ajudan Ahman bin Thulun meyaksikan dengan mata kepala sendiri masih
segar bugarnya Imam Abul hasan. Bahkan dia melihat Imam Abul Hasan sedang
bersujud kepada Alla Ta’ala, sementara singa itu berdiri di sebelahnya seolah-olah
memperhatikan apa yang dilakukan sang Imam dan turut mendengarkan apa yang
dibaca dalam sujudnya. Ajudan ahmad bin Thulun melihat tatkala Imam Abul
Hasan dalam sujudnya. Ajudan Ahmad bin Thulun melihat tatkala Imam Abul
Hasan dalam sujudnya membaca: “Subhana Robbiyal A’la”, singa itu tertunduk
kepalanya, seakan menundukkan diri kepada kehendak Penciptanya.
Melihat peristiwa yang ganjil itu, Ajudan Ahmad bin Thulun bergegas
melapor kepada majikannya. Ahmad bi Thulun seakan tak percaya dengan laporan
peristiwa yang sungguh amat mengherankan itu. maka untuk meyakinkan
kebenarannya di datang sendiri ke tempat singa tersebut. Sesudah ia menyaksikan
sendiri, ia lalu memerintahkan kepada ajudannya agar Abul Hasan dihadapkan
kepadanya.
Abul Hasan masuk menemui Ahmad bin Thulun dengan kepala tegak.
Ahmad bin Thulun bertanya kepadanya, “bagaimana keadaanmu?”
Imam Abul Hasan menjawab, “Keadaanku seperti yang tuan lihat, baik-
baik saja.”
Ahmad bin Thulun bertanya lagi, “Bagaimana perasaanmu ketika
dimasukkan ke kandang singa?”
Abul Hasan menjawab tenang, “Aku membaca firman Allah:
Pada suatu hari harun Ar Rasyid, Khalifah Abbasiyah telah menunda waktu
shalat Ashar. Hal ini diketahui oleh Al Imam Abu Yusuf Ra. karena itulah di amat
tidak senang dengan kelancangan khalifah merubah waktu shalat itu. lalu ia masuk
menemui Harun Ar Rasyid dan berbincang-bincang dalam berbagai hal.
Dalam kesempatan berbincang-bincang tu Al Imam Abu Yusuf meminta
segelas air kepada kahlifah. Setelah gelas air minum itu di tangannya, ia bertanya,
“Ya Amiral Mukminin, kalau semua air di muka bumi ini tida ada, kecuali segelas
air ini, sedangkan Anda haus sekali, berapa Anda berani membeli air yang ada di
tanganku ini?”
Abu Yusuf bertanya lagi, “Kalau air yang baginda minum itu tidak bisa
keluar (tidak bisa buang air dan tidak keluar keringat), berapa Anda berani
membayar dokter supaya bisa buang air?”
Khalifah menjawab lagi, “Saya berani membayarnya dengan setengah
kerajaanku ini!”
Al Imam Abu Yusuf kemudian berkata lagi, “Nah Amirul Mukminin, Allah
Ta’ala telah memberikan air kepada baginda dan kepada seluruh rakyat kerajaan
ini dengan gratis. Tetapi setelah diberi kenikmatan yang tiada taranya itu baginda
“mensyukurinya” dengan mengulur-ulur waktu shalat Ashar yang telah ditetapkan
Allah Ta’ala!”
KEBODOHAN
MENJADI SAKSI ORANGNYA
Pada suatu kali Khalifah harun Ar Rasyid pergi berhaji disertai Al Imam
Abu Yusuf Ra. setiba di Mekkah Al Mukarramah, Abu Yusuf mempersilahkan
Khalifah maju ke depan untuk mengimami para jama’ah shalat dua rakaat dan
mengucapkan salam. Kemudian Abu Yusuf berteriak kepada para jamaah
penduduk kota Mekah. Katanya, “Wahai penduduk kota Mekah, kalian boleh
meneruskan shalat Kalian karena Amirul Mukminin dan rombingannya adalah
musafir!”
Lalu tiba-tiba salah seorang jamaah dari Mekah berkata, “Ya Ab Yusuf!
Kami lebih tahu dari Anda dan guru Anda!”
Abu Yusuf menjawab, “Kalau Anda lebih tahu, tentu Anda tidak akan
berbicara pada waktu sedang shalat!”
BAITULLAH
Pada suatu hari terjadi percecokan antara Khalifah harun Ar Rasyid dengan
isterinya, hingga Khalifah harun Ar Rasyid bersumpah akan mencerekainnya,
kecuali bila malam itu isterinya tidak bermalam di dalam kerajaannya.
Isterinya amat bingung dengan keputusan tersebut. Perbatasan kerajaan
Khalifah harun Ar Rasyid di sebelah timur berbatasan dengan negeri Cina, dan dan
di bagian baratnya berbatasan dengan kota Paris. Bagaimana mungkin isterinya itu
akan meninggalkan kawasan negerinya dalam semalam karena pada waktu itu
belum ada alat transportasi yang cepat dan canggih.
Khalifah lalu meminta nasihat ulama terkenal pada waktu itu, Al Imam Abu
Yusuf Ra untuk memecahkan permasalahan tersebut. Setelah mendengarkan
permasalahannya, Abu Yusuf dengan cepat menjawab, “Ya Amirul Mukminin, ia
bisa terlepas dari sumpah baginda. Pada malam ini suruhlah supaya dia bermalam
di masjid. Bukankah masjid itu di luar kerajaan baginda karena ia milik Allah,
sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya: “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu
adalah kepunyaan Allah. maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di
dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (Al Jin 18)
Atas saran tersebut maka kerukunan rumah tangga Khalifah Harun Ar
Rasyid dapat dilestarikan.
DAKWAH ANTARA
UCAPAN DAN PERBUATAN
RAHMAT ALLAH
KEPADA HAMBA-NYA
Pada suatu hari ada seorang bertanya kepada seorang ulama. Tanyanya,
“Ya Syaikh, mengapa orang yang dipotong tangan tanpa melakukan dosa harus
dikenakan diyah sebesar 500 dinar emas, sedangkan orang yang mencuri ¼ dinar
harus dipotong sebelah tangannya?
Ulama itu menjawab, “Karena tangan amanat itu mahal harganya dan mulia
orangnya, sedangkan tangan khianat itu murah harganya dan hina orangnya!”
KEAGUNGAN AL KHALIQ
SURGA ADALAH
RUMAH KAUM MUKMININ
SEORANG WANITA
MENASIHATI SEORANG ULAMA
HIKMAH ALLAH
Begitu besar perhatian Islam pada keutuhan rumah tangga sehingga setiap
terjadi pernikahan, kerukunan hidup berumah tangga selalu didengungkan kepada
kedua suami isteri yang baru menikah.
Begitu pula halnya dengan Abdullah bin Ja’far Ra. pada malam
pertunangan puterinya, ia berkata menasehati, “Wahai anakku, hindarilah curiga
yang berlebih-lebihan karena itu bisa mendatangkan percereaian. Jangan suka
mengomel karena itu bisa merusak cinta kasih, dan ketahuilah…air merupakan
pembersih yang paling baik!”
KEJUJURAN
ADALAH JALAN KESELAMATAN
Pada suatu hari seorang anak muda belia dari Mekkah Al Mukarramah akan
pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu. Usia anak itu tidak lebih dari 12 tahun.
Sebelum pergi anak itu memohon kepada ibunya untuk diberi nasihat.
Dengan lemah lembut anak itu berkata kepada ibunya, “Ya Ummah, Aushini,
berilah aku nasihatmu!”
Ibunya memberi nasihat kepadanya, “Wahai puteraku, berjanjilah kepadaku
bahwa engkau akan selalu bersikap jujur dimanapun dan kapanpun engkau
berada.”
Ibunya kemudian membekali puteranya uang sebanyak 400 dirham untuk
keperluan hidupnya selama di Baghdad. Setelah pamit dan mohon doa restu
ibunya, anak itupun pergilah dengan menunggang kuda.
Namun ketika di tengah perjalanan anak itu dicegat oleh para perampok.
Mereka dengan kasar bertanya kepada anak itu, “Hai anak muda, cepat kemari!
Beritahukan kami berapa uang yang kau bawa!”
Anak muda itu menjawab dengan jujur, “Aku membawa uang 400 dirham!”
Mendengar jawaban anak itu kepala perampok tidak percaya, bahkan dia
merasa diejek. Maka dia menghardik, “Hei, kurang ajar kau! Anak kecil seperti
kau sudah berani mengejek aku?! Pergilah dari sini! Kalau tidak, akan kutebas
batang lehermu!”
Mendengar hardikan yang menggelegar itu, anak muda itu cepat-cepat
pergi. Tetapi beberapa hari kemudian, di tengah perjalanan ia berjumpa lagi
dengan kepala perampok itu. kepala perampok iu bertanya lagi kepadanya,
“berapa uang yang kau bawa?!”
Anak muda itu menjawab masih dengan jawaban tempo hari, “Ya, aku
membawa uang sebanyak 400 dirham!”
Mendengar jawaban yang sama seperti kemarin dari anak muda yang
dilepasnya itu, si kepala perampok menjadi ragu. Untuk menguji kebenaran anak
muda itu, dua menyuruh untuk mengeluarkan uang tersbeut. Ternyata anak muda
itu dengan lugu menyerahkan seluruh uangnya kepada kepala perampok itu. hal ini
membuat kepala perampok tertegun. Dengan nada heran kepala perampok itu
bertanya, “Mengapa engkau berlaku jujur, dan tidak berdusta kepadaku, padahal
kau tahu uang itu akan kurampok?!”
Dengan polos hati anak muda itu menjawab, “Ibuku menuntut janjiku
supaya aku bersikap jujur kepada siapapun!”
Dengan ijin Allah Ta’ala hati si perampok yang kejam itu tersentuh.
Dengan penuh penyeslan dan hari si perampok itu berkata, “Wahai anak muda,
aku terharu dengan ketaatanmu kepada ibumu. Sedangkan aku sudah tidak taat
kepada Allah, bahkan tidak segan-segan mengkhianati janjiku kepada-Nya. Wahai
anak muda. Bawalah uangmu itu dan berjalanlah dengan aman. Aku berjanji akan
bertobat kepada Allah dengan tobat nashula.”
Pada sore harinya para perampok “asuhannya” membawa barang rampasan
kepada si kepala perampok. Tapi alangkah terkejutnya mereka ketika melihat
pimpinannya sedang menangis. Melihat anak buahnya kebingungan menyaksikan
dirinya menangis, maka dia segera berkata, “Wahai anak buahku, Allah Ta’ala
memerintahkan kepada kita supaya mengembalikan amanat itu kepada
pemiliknya.”
Mendengar perkataan itu, anak buah si perampok sejenak tertegun. Selama
ini mereka tidak pernah mendengar ucapan semacam itu dari mulut pemimpinnya.
Sebagai anak buah yang selalu patuh kepada pemimpinnya, mereka serentak
berkata, “Kalau tuan sebagai pemimpin sudah menyatakan tobat, maka kami pun
sebagai anak buah menyatakan bertobat juga.”
Akhirnya mereka, kelompok perampok yang semula sangat ditakuti
masyarakat karena kekejamannya iu kini kembali ke tengah-tengah masyarakatnya
sebagai muslim yang baik.
SERUAN BERHAJI
KE BAITULLAH AL HARAM
PELAJARAN
DARI SEORANG BADUI
Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqofi adalah seorang Amir untuk Irak di sana
pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari dinasti Bani Umayyah. Al
Hajjaj mempunyai kebiasaan, bila hendak makan ia harus ditemani.
Pada suatu hari ia pergi dengan rombongan untuk berburu di padang pasir.
Ketika waktu makan siang tiba, ia mengutus para pengawalnya untuk mencarikan
teman makannya. Akan tetapi para pengawal itu tidak menemukan siapapun,
selain seorang badui yang kebetulan sedang tidur di bawa naungan sebuah gunung.
Pengawal Hajjaj segera membangunkan badui itu dari tidurnya. Orang
badui itu bertanya kepada mereka, “Mengapa kalian membangunkan aku. Semoga
Allah merahmati kalian.”
Para pengawal itu kemudian menjelaskan maksudnya, “Kami mengundang
Anda makan siang bersama Amir Irak. Tahukah engkau siapa dia?”
“Ya,”jawab orang badui itu, “Dia Al Hajjaj bin Yusuf.”
Kemudian pengawal itu membawa si badui ke hadapan Al Hajjaj. Setiba di
hadapannya, Al Hajjaj bertanya kepadanya, “Tahukah engkau, siapa aku?”
Orang badui itu menjawab dengan kalem, “Ya, engkau adalah Al Hajjaj bin
Yusuf, Amir Irak.”
Al Hajjaj kemudian berkata lagi, “Silakan duduk, temani aku makan
siang!”
Orang badui itu cepat menjawab, “Maaf, aku telah menerima undangan
makan dari yang lebih besar dari Anda.”
Al Hajjaj penasaran, maka dia bertanya, “Siapa yang lebih basar dari aku
yang mengundangmu itu, hai badui?”
Orang badui itu menjawab lagi menjelaskan, “Aku hari ini sedang shaum,
dan diundang makan oleh Allah Ta’ala.”
Al Hajjaj bertanya lagi dengan penuh keheranan, “Mengapa engkau
berpuasa pada hari sepanas ini?”
Orang badui itu menjawab lagi, “Ya Hajjaj! Aku melakukannya untuk
menangkal hari yang lebih panas dari hari ini!”
Dengan setengah memaksa Al Hajjaj terus membujuk orang badui itu, “Ya
Akhil Arab, besok saja engkau berpuasa. Hari ini Batalkanlah puasa Anda dan
makanlah bersamaku.”
Tetapi orang badui itu menjawab dengan tegas, “Tidak, Hajjaj! Apakah
engkau tahu pasti bahwa aku akn hidup hingga besok pagi?!”
Karena Hajjaj terus menerus mendesaknya, maka orang badui itu akhirnya
berkata tegas, “Ya Hajjaj, sebenarnya apa yang engkau inginkan dariku?
Al Hajjaj menjawab dengan nada menyerah, “Tidak, aku tidak
menginginkan apa-apa.”
Maka orang badui itu berkata lagi untuk yang terakhir kalinya, “Kalau
begitu, lepaskanlah aku bersama Alla!!”
Maka Al Hajjaj pun melepaskan orang badui itu dan dia membiarkannya
pergi.
YA ALLAH, YA SATTAR!
Pada suatu hari Nabi Sulaiman bin Daud Alaihissalam sedang duduk-duduk
dengan salah seorang pembantunya. Tak lama kemudian masuk seorang
lelakiberpenampilan rapih dan cakap. Setelah mengucapkan salam dan
memperkenalkan diri, lelaki itu lalu ikut duduk bersama Nabi Sulaiman. Namun
lirikan matanya sebentar-sebentar dilepaskan ke arah teman duduk Nabi Sulaiman
itu sehinggah membuatnya gelisah. Kemudian lelaki itu berbisik kepada Nabi
Sulaiman agar dia dikirim kembali ke negeri asalnya yakni negeri India.
Nabi Sulaiman Alaihissam kemudian memerintahkan angin supaya
membawa orang itu ke negerinya. Setelah sampai lelaki itu lansung masuk ke
kamar tidurnya. Namun tiba-tiba orang yang menjadi teman duduk Nabi Sulaiman
tadi sudah ada di hadapannya. Hal ini membuat lelaki itu amat ketakutan. Dengan
suara gemetar ia bertanya, “siapa kau?” Orang yang ada di hadapannya itu
menjawab, “saya malaikatul maut!”
Mendengar jawaban tersebut lelaki itu tidak puas, maka ia bertanya
kembali, “Bukankah engkau tadi yang berada di tempat Nabi Sulaiman?!
Malaikatul maut menjawab, “Benar. Aku ditugasi mencabut rohmu di sini
dan pada saat ini juga. Semula aku heran, kamu bisa di negeri Syam, padahal
ajalmu akan berakhir di India. Aku sempat bingung, padahal Allah tidak biasa
merubah tempat dan waktu orang apabila sudah tiba ajalnya. Ternyata penetapan
Allah Ta’ala benar! Engkau sudah sudah ditakdirkan mati disini!”
ILMU MENGUNDANG
ORANG MASUK ISLAM
“Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah
itu Kami jadikan segumpal daging. Dan segumpal daging itu Kami jadikan
tulang belulang. Lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging.
Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha
Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (Al Mu’minun 14)
Doktor Wanita berbangsa Perancis itu dengan rasa ingin tahu yang besar
bertanya lagi, “Benarkah kitabmu menyatakan demikian?”
Mahasiswa Saudi itu menjawab, “Benar.”
Dosen itu berkata lagi, “Kalau begitu aku akan menelitinya lebih lanjut
dengan para ahli dalam soal tersebut.”
Berita ini akhirnya sampai kepada orang-orang yang berwenang di
Universitas Saudi Arabia di Riadh. Akhirnya dosen tersebut mendapat undangan
ke sana untuk mendapatkan penjelasan-penjelasan yang dbutuhkan. Ternyata
sebelum majelis ilmiah itu berakhir membahas masalah tersebut, dosen wanita
berbangsa Perancis itu menyatakan keislamannya, dan mengucapkan syahadatain
di depan mejelis tersebut karena pemahamannya pada hakikat yang terkandung
dalam Al Qur’an.
Pada suatu hari Sayyidina Ali bin Al Husain yang bergelar Zainul Abidin
sedang berwudhu dari sebuah kendi yang dipegang oleh seorang budaknya. Tiba-
tiba kendi itu terjatuh ke mukanya sehingga wajahnya luka dan berdarah. Lalu ia
mengangkat mukanya hendak melihat muka budaknya itu. tetapi sebelum matanya
menatap mata budaknya, budaknya berkata, “Sesungguhnya Allah Ta’ala
berfirman: “Adapun orang-orang yang menahan amarahnya…”
Zainul Abidin menjawab, “Aku sudah menahan amarahku.” Lalu budaknya
menlanjutkan firman Allah: “Dan mereka yang suka memaafkan orang lain…”
Zainul abidin menjawab lagi, “Aku sudah memaafkan kamu.”
Sesungguhnya Allah cinta kepada orang-prang muhsinin.”
Zainul Abidin berkata lagi, “Pergilah kau. Kini kau merdekakan engkau!”
Pada suatu hari Umar bin Abdul Aziz Ra mendengar bahwa puteranya,
Ashim memakai cincin dengan harga seribu dirham. Maka dia segera mengirim
surat kepada puteranya. Dia berkata dalam suratnya, “Ya Ashim! Setiba suratku
ini di tanganmu, juallah cincinmu dengan harga seribu dirham dan sedekahkan
kepada seribu fakir miskin, lalu kau beli cincin dari besi, dan tuliskan di dalamnya:
“Allah akan merahmati orang yang tahu harga dirinya!”
KEADILAN ISLAM
Pada waktu terjadi paceklik panjang di jaman Khalifah Umar bin Khatthab
Ra makanan utama Khalifah setiap hari hampir terdiri lemak sehingga wajahnya
yang tampan seperti bulan purnama menjadi pucat masai dan perutnya kempis. Ia
berkata kepada perutnya yang keroncongan itu, “Engkau boleh berbunyi sepuas
hatimu, namun engkau tidak akan dapat menikmati daging sehingga anak-anak
kaum muslimin kenyang semua!”
Pada suatu hari Asy Sya’bi sedang duduk-duduk dengan Syuraih, seorang
hakim yang dikenal arif dan bijaksana. Lalu tiba-tiba ada seorang wanita masuk
dan melapor perihal kekejian suamianya kepada dirinya dengan tangis yang amat
memilukan hati orang yang mendengarkannya.
Setelah wanita itu selesai menjelaskan pengaduannya, Asy Sya’bi berkata
dengan nada terharu seakan ikut merasakan duka deritanya, “Semoga Allah
memperbaiki keadaanmu, wahai perempuan. Engkau sudah dizalimi seseorang.”
Mendengar perkataan Asy Sya’bi itu, Syuraih bertanya kepadanya,
“Darimana engkau mengetahinya?”
Asy Syu’bi menjawab, “Dari tangisannya!”
Lalu Syuraih berkata mengingakan Asy Sya’bi, “Jangan kau mudah
percaya! Saudara-saudara Yusuf dulu juga menangis ketika mereka hendak
menipu ayahnya, padahal merekalah pelaku semua kezaliman!”
MEMPERKENALKAN KEBAIKANNYA
Dikisahkan dari Al Husain bin Ali Ra, pada suatu hari dia mendengar dari
seorang bahwa dia dikecam oleh seorang. Lalu ia membawa sepiring kirma dan
dibawanya sendiri korma itu ke rumah orang yang mengecamnya.
Setiba di rumah orang itu, kebetulan yang membukakan pintu adalah orang
yang dimaksud. Orang itu melihat kepada Al Husein seraya berkata dengan nada
kagum, “Apa ini, wahai putera anak perempuan Rasulullah?” maka Al Husain
menjawab, “Terimalah ini! Aku mendengar Anda mengrimkan kebaikan-kebaikan
Anda kepadaku, dan akupun membalas ala kadarnya.”
PETUNJUK-PETUNJUK CEMERLANG
- Janganlah engkau tergiur dengan tempat yang baik. ketahuilah, tidak akan ada
tempat yang lebih baik dari surga. Bukankah bapak kita Adam telah
meneriman akibatnya karena ia tertipu pada yang lainnya?
- Janganlah engkau tergiur dengan banyaknya ibadah. Ketahuilah, iblis pada
mulanya tidak kurang ibadahnya, tetapi bagaimana nasib peruntungannya?
- Janganlah engkau tertipu dengan orang yang shaleh. Ketahuilah, tidak ada
orang shaleh yang lebih besar dari Muhammad Saw. namun orang-orang kafir
dan munafik tidak mendapat keuntungan daripadanya.
- Jangan tergiur dengan banyaknya ilmu karena Bal’am bin Ba’ura’ jauh
pandangannya dan banyak mengetahui isi kitab-kitab, tetapi lihat bagaimana
nasib peruntungannya.
“Ya Allah, kalau makanan dan minuman ini ada syubhat keharaman,
lindungilah aku daripadanya. Kalau tidak, janganlah kau biarkan ia
mendekam dalam perutku. Kalau tidak, peliharalah aku dari maksiat yang
timbul karena memakannya. Kalau bukan Engkau yang melindungiku,
daimana aku bisa bertobat dengan tobat nashuha? Kalau engkau tidak
memberiku tobat, kasihanilah aku dan jangan aku didosakan, wahai Allah,
ya Akramal Akramin, ya Arhamal Rahimin.”
Dibawakan oleh Anas bin Malik, katanya, “Pada suatu hari ketika matahari
sudah hampir terbenam, Rasulullah Saw berdiri di Arafat seraya memerintahkan
kepada Bilal, “Ya Bilal, perintahkanlah kepada kaum muslimin semua supaya
tenang!”
Setelah suasana tenang Rasulullah saw bersabda kepada merela, “Wahai
kaum muslimin, baru saja Jibril datang kepadaku dan menyampaikan dalam pesan-
Nya. Katanya, Allah Azza wa Jalla telah mengampuni semua orang yang wiquf di
Arafat dan Masy’aril Haram lainnya, dan menjamin bagi mereka pahalanya.”
Umar bin Khatthab kemudian bertanya, “Ya Rasulullah, apakah ini khusus
bagi kita para sahabat?”
Nabi Saw menjawab, “Ini untuk kamu semua dan untuk orang-orang yang
datang sesudah kamu hingga hari kiamat.”
Maka Umar bin Khatthab berkomentar, “Subhanallah, begitu banyak dan
indah sekali kebaikan Allah!”
Pada suatu hari terjadi perselisihan antara Al Imam Al Husain bin Ali dan
saudaranya Muhammad bin AL Hanafiah Radiallahu anhum ajma’in. pertengkaran
mulut itu akhirnya membuat keduanya marahan dan pulang dengan hati kesal dan
masygul sekali.
Setiba di rumah, Muhammad bin Al Hanafiah langsung mengambil kertas
dan menulis surat kepada saudaranya, Al Husaien. Bunyi surat itu:
KUNCI-KUNCI SURGA
Umar bin Utbah berkata, “Ketika aku berusia 15 tahun, ayahku berwasiat
kepadaku. Katanya, “Wahai puteraku sayang, telah terputus darimu hukum sabar.
Maka peliharalah rasa malumu dan jadilah engkau seorang pemalu! Jangan mudah
tertipu dengan orang yang memujimu, padahal kamu meyakini dirimu tidak
demikian. Kalau dia memujimu dengan kebaikan yang tidak dia ketahui pada
waktu dia senang kepadamu, maka besok lusa dia akan mencercamu seperti itu
juga pada waktu ia benci kepadamu!”
Pada suatu hari Ali bin Abi Thalib berkata menasehati, “Siapa yang
mengangkat diri menjadi Imam seseorang, maka hendaklah dia memulai mengajar
dirinya sendiri sebelum mengajar orang lain, dan memperlihatkan kemanisan budi
pekertinya sebelum menampakan kemanisan lidahnya!”
KESAKSIAN
Pada suatu hari Al Fadhal bin Rabi’, salah seorang menteri pemerintahan
Khalifah Harun Ar Rasyid ditolak kesaksiannya oleh Jaksa Agungnya itu.
Teguran tersebut lalu dijawab oleh Jaksa Agung, Abu Yusuf, “Sekali tempo
aku pernah mendnegar dia mengucapkan, “Aku hambamu”. Kalau benar
demikian, berarti kesaksiannya sebagai budak tidak sah, dan kalau tidak demikian
pun juga tidak sah.”
Pada suatu ketika Ibnal Muqaffa’ ditanya, “Siapa yang telah mendidikmu
begitu tinggi?”
Ibnal Muqaffa’ menjawab kembali, “Bagaimana Anda sampai tidak
mempercayai ini? Jika aku melihat yang baik dan yang haq, maka aku lakukan,
dan kalau aku melihat yang bathil dan buruk, maka aku jauhi. Dengan demikian
aku telah mendidik diriku sendiri.”
OBAT KALBU
Sayyidina Ibrahim Al Khawash Ra berkata, “Obat kalbu itu ada lima, yakni
membaca Al Qur’an dan mereninginya, mengosongkan perut (shaum), bangun
(shalat) malam, memohon pada waktu sahur, dan bergaul dengan para shalihin.
ORANG MUKMIN
Diriwayatkan, pada satu ketika Salim bin Auf, saudara Abdurrahman bin
Auf Ra ditawan musuh. Ayahnya kemudian datang mengadu kepada Rasulullah
Saw. lalu beliau bersabda, “Bertaqwalah kepada allah dan perbanyaklah
memanjatkan ucapan: “Laa haula walaa quwata illa billahil ‘Aliyil ‘Azhim.”
Setelah diberi nasihat tersebut dia segera melakukannya. Sampailah pada
suatu hari, ketika ia tengah berada di rumahnya, ia mendengar pintu rumahnya
diketuk orang. Ternyata orang tersebut adalah puteranya, Salim bin Auf yang
datang dengan menggiring 100 unta musuh yang tinggal karena pemiliknya
melarikan diri.
AKHLAKNYA
ORANG-ORANG MUSLIM
Sesudah membaca surat itu Umar bin Khatthab langsung bersujud syukur
sambil menangis atas kemenangan itu. melihat Khalifah menangis orang-orang
yang berada disitu terheran-heran dan salah seorang di antara mereka berkata, “Ya
Amirul Mukminin, dalam menyambut kemenangan ini seharusnya baginda
bergembira, bukan menangis.”
Khalifah Umar lalu berkata, “Aku menangis karena aku khawatir kalau
Allah ta’ala membukakan pintu dunia untukmu sekalian, kalian semua tidak lagi
saling mengenal di antara sesama kalian, lalu penghuni langit tidak sudi lagi
mengenal kalian karenanya!”
Pertempuran di medan Al Qadisiyah itu terjadi pada bulan Syawal tahun
XIV Hijriah. Pasukan beristirahat untuk memulai pertempuran yang lebih seru dan
dahsyat dengan pasukan musuh, yakni penyerbuan pasukan kaum muslimin
menyeberangi sungai dajlah untuk mengepung istana Kisra di Al Mada’in.
Sa’ad berunding dengan pimpinan pasukannya untuk mencari jalan
bagaimana cara menyeberangi sungai Dajlah. Disana tidak ada jembatan
penyeberangan dan perahu pun tidak mereka miliki.
Ketika tengah berunding, tiba-tiba salah seorang komandan pasukan,
Ashim bin Amru At Tamimi mengacungkan tangan. Dia berkata, “Ya Amir, aku
akan mencoba menyeberanginya dengan kudaku ini. Bila kaum muslimin melihat
aku berhasil, mereka tentu akan mengikuti jejakku.”
Lalu Ashim membentuk batalyon “marabahaya”, suatu bataiyon pertama
yang dikenal sejarah militer untuk menyeberangan. Ashim berdiri di atas kudanya
di tepi kali itu dan sebelum menyeberang dia mengucapkan: “Bismillah, tawakaltu
‘alallah.” Lalu dia turunkan kudanya ke air dan mulai melakukan penyebarangan.
Penyeberangan itu diikuti oleh 60 pasukan kavalerinya. Al Qi’qa’ bin Amru
mengamati jalannya penyeberangan itu, lalu terlintas dipirannya, kenapa
pasukanku tidak ikut menyeberangan itu, lalu terlintas dalam pikirannya, kenapa
pasukanku tidak ikut menyeberanginya lagi? mAka kemudian ia pun
memerintahkan 600 anggota pasukan kavalerinya untuk ikut menyeberang di
bawah pimpinannya. Akhirnya ribuan pasukan berkuda kaum muslimin berhasil
menyeberangi sungai Dajlah itu. para sejarawan bersumpah dengan nama Allah,
tidak seorangpun dari pasukan kaum muslimin yang menyeberangi sungai tersebut
tewas.
Warga Parsi terheran-heran bercampur kagum melihat pasukan kaum
muslimin berani menyeberangi sungai Dajlah. Mereka bahkan berpendapat
pasukan kaum muslimin seperti pasukan jin yang bisa berbuat segala-galanya.
Ketika pasukan kaum muslimin sudah hampir menuju ke tepi sungai mereka
segera lari untuk menghindarkan diri dari peperangan.
Setelah mendengar berita bahwa pasukan tergangguhnya di Al Qadidiyah
hancur berantakan dan kini pasukan kaum muslimin itu telah mendekati ibukota
negerinya, Kisra amat ketakutan. Maka ia segera keluar dari istananya dan
melarikan diri tanpa tujuan yang jelas!
Sa’ad bin Abi Waqqash dan pasukan akhirnya berhasil memasuki istana
Kisra dengan tanpa alasan kaki! Sambil memegang jenggot dan tombaknya, ia
terheran-heran melihat kemegahan dan keindahan Istana Kisra. Seluruh lantainya
dihampari permadani yang menghanyutkan kaki orang yang menginjaknya, dan
dihiasi dengan perabotan yang mewah dan mahal. Sambil melihat-lihat istana yang
megah itu tak henti-hentinya Sa’ad mengucapkan firman Allah:
“…Bukankah kamu telah bersumbah dahulu (di dunia) bahkan sekali-kali
kamu tidak akan binasa?, dan kamu telah berdiam di tempat-tempat
kediaman orang-orang yang menganiaya diri mereka sindiri, dan telah
nyata bagimu bagaimana kami telah berbuat terhadap perummaan.”
(Ibrahim 44-45)
Sa’ad bin Abi Waqqash Ra bersama para komandan pasukan Islam keluar-
masuk kamar dan ruangan istana itu. mereka mengamati barang-barang mewah
yang sudah tidak bertuan itu seraya membacakan firman Allah Ta’ala: