Anda di halaman 1dari 4

ASMA’ BINTI ABU BAKAR

Beliau adalah Ummu Abdullah al-Qurasyiyah at-Tamiyah putri dari seorang laki-laki yang
pertama masuk Islam setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, penghulu kaum
muslimin yakni Abu Bakar ash-Shiddiq sedangkan ibunya bernama Qatilah binti Abdul Uzza
al-Amiriyah.

Asma` adalah ibu dari sahabat seorang pejuang yang bernama Abdullah bin Zubeir. Beliau
adalah saudari dari Ummul mukminin `Aisyah radhiyallahu ‘anha yang mana usia beliau lebih
tua belasan tahun daripada Aisyah. Beliau adalah wanita muhajirah yang paling akhir wafat.

Asma’ masuk Islam setelah ada tujuh orang yang masuk Islam. Beliau membaiat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beriman kepadanya dengan iman yang kuat. Di antara tanda
baiknya Islam beliau adalah tatkala ibunya yang bernama Qatilah (telah diceraikan oleh Abu
Bakar tatkala zaman jahiliyah) mendatanginya dan mengunjunginya, beliau enggan
menemuinya dan menolak hadiah darinya. Di dalam Shahihain dari Asma` binti Abu Bakar
radhiyallahu ‘anha berkata, “Ibuku mendatangiku sedangkan dia masih musyrik pada zaman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka saya meminta fatwa kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata, “Sesungguhnya ibuku mendatangi diriku dengan
penuh harap, apakah aku boleh berhubungan dengannya?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Ya berhubunganlah dengan ibumu.” [1]

Adapun beliau dipanggil dengan “Dzatun Nithaqain” (pemilik dua ikat pinggang) karena beliau
pernah membelah ikat pinggangnya menjadi dua untuk mempermudah baginya dalam
membawa dan menyembunyikan makanan dan minuman yang akan beliau kirim ke gua Tsur
untuk Rasulullah tatkala beliau hijrah. Manakala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melihat apa yang telah dilakukan oleh Asma’ terhadap ikat pinggangnya tersebut maka beliau
memberi julukan kepadanya “Dzatun Nithaqain” (pemilik dua ikat pinggang).[2]

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah dari Makkah menuju Madinah dengan
ditemani oleh Abu Bakar yang membawa seluruh hartanya yang berjumlah 5.000 atau 6.000
dinar, maka datanglah kakeknya yang bernama Abu Quhafah yang telah hilang penglihatannya
seraya berkata, “Sesungguhnya Abu Bakar itu hendak mencelakakan kalian dengan membawa
seluruh harta dan jiwanya.” Maka tiadalah yang diperbuat oleh seorang gadis yang suci dan
pemberani tersebut melainkan berkata, “Jangan begitu… beliau telah meninggalkan bagi kita
harta yang baik dan yang banyak.” Kemudian beliau mengambil batu-batu dan beliau letakkan
di lubang dinding lalu beliau tutupi dengan kain dan beliau pegang tangan kakeknya lalu beliau
sentuhkan tangan kakeknya pada kain tersebut sambil berkata, “Inilah yang beliau tinggalkan
buat kita.” Abu Quhafah berkata, “Jika dia telah meninggalkan bagi kalian barang-barang ini
ya sudah.” Dengan hal itu beliau telah meredam kemarahan kakeknya, menenangkan
fikirannya dan menentramkan hatinya.[3]

Ketika masih kecil Dzatun Nithaqain telah menghadapi gangguan dari musuh Allah Abu Jahal
yang datang kepadanya untuk memaksanya agar memberitahukan rahasia tempat ayahnya.
Akan tetapi beliau tetap menjaga tanggung jawab sekalipun masih berusia muda, beliau
menyadari bahwa satu kata yang keluar dari mulutnya bisa menyebabkan bahaya besar
menimpa Rasulullah dan ayahnya. maka beliau hanya diam dan tidak ada kalimat yang keluar
dari mulutnya selain, “Aku tidak tahu.” Maka si musuh Allah itu akhirnya menampar beliau
dengan tamparan yang keras hingga jatuh anting-antingnya, kemudian meninggalkan beliau
dan pergi dengan menyimpan kejengkelan menghadapi gadis yang dianggap keras kepala
tersebut. [4]

Begitulah kelakuan orang yang kejam pada setiap masa, manakala tidak bisa memukul dan
membunuh laki-laki, mereka memukul wanita dan anak-anak.

Tidak lama kemudian Asma` menyusul ke negeri hijrah dan di sanalah beliau melahirkan
Abdullah, anak pertama yang dilahirkan dalam Islam.

Sungguh Dzatun Nithaqain telah memberikan contoh hidup dan teladan yang baik dalam hal
sabar menghadapi kesulitan hidup dan serba kekurangan, senantiasa berusaha taat kepada
swami dan menjaga keridhaan suaminya. Telah disebutkan di dalam hadits yang shahih beliau
berkata:

“Zubeir menikahiku sedangkan dia tidak memiliki apa-apa kecuali kudanya. Akulah yang
mengurusnya dan memberinya makan, dan aku pula yang mengairi pohon kurma, mencari air
dan mengadon roti. Aku juga mengusung kurma yang dipotong oleh Rasulullah dari tanahnya
Zubeir yang aku sunggi di atas kepalaku sejauh dua pertiga farsakh (kira-kira 2 km). Pada suatu
hari tatkala saya sedang mengusung kurma di atas kepala, saya bertemu dengan Rasulullah
bersama seseorang. Beliau bersabda “ikh… ikh…” (ucapan untuk menghentikan kendaraan-
pent) dengan maksud agar aku naik kendaraan di belakangnya namun saya merasa malu dan
saya ingat Zubeir dan rasa cemburunya, maka beliau berlalu. Tatkala saya sampai di rumah,
aku kabarkan hal itu kepada Zubeir lalu dia berkata, “Demi Allah engkau mengusung kurma
tersebut lebih berat bagiku dari pada engkau mengendarai kendaraan bersama beliau.”
Kemudian Asma’ radhiyallahu ‘anha berkata, “Sampai akhirnya Abu Bakar mengirim
pembantu setelah itu, sehingga saya merasa cukup untuk mengurusi kuda, seakan-akan dia
telah membebaskanku.” [5]

Setelah semua kesabaran itu hasilnya adalah beliau dan suaminya mendapatkan banyak nikmat,
akan tetapi beliau tidak sombong dengan kekayaannya. Bahkan beliau adalah seorang yang
dermawan dan pemurah dan tidak suka menyimpan sesuatu untuk besok. Apabila sakit, beliau
menunggu hingga sembuh kemudian beliau merdekakan semua budak yang dia miliki serta
berkata kepada anak-anaknya, “Berinfaklah dan bersedekahlah clan janganlah kalian
menunggu banyaknya harta. [6]

Asma` radhiyalahu ‘anha adalah seorang wanita yang pemberani tidak takut celaan dari orang
yang suka mencela di jalan di Allah. Beliau juga menyertai perang Yarmuk dan beliau
berperang sebagaimana layaknya para pejuang.

Tatkala banyaknya pencuri di Madinah pada masa Said bin Ash, beliau mengambil pisau dan
beliau letakkan di bawah kepalanya. Tatkala beliau ditanya, apa yang akan anda perbuat
dengan pisau itu? Beliau menjawab, “Apabila ada pencuri masuk ke rumahku maka akan aku
robek perutnya.” [7]

Adapun tentang kebulatan tekad dan kebesaran jiwa yang dimiliki oleh Asma` kita dapat
mengenalinya dari nasihat beliau kepada putranya yakni Abdullah pada saat Abdullah
menemui beliau untuk meminta pertimbangan tatkala Hajjaj mengepung Makkah. Ketika itu
Asma’ telah berusia senja mendekati 100 tahun. Abdullah berkata, “Wahai ibu sungguh orang-
orang telah menghinaku bahkan keluargaku dan anakku, sehingga tiada lagi yang bersamaku
melainkan sedikit yang mereka tidak kuasa melawan, sedangkan ada kaum yang menawariku
dengan dunia, maka bagaimana pendapat ibu?” Dalam menghadapi ujian yang sulit bagi
seorang ibu tersebut hilanglah rasa lemah dan menguatlah rasa wibawa dan kemuliaan beliau
berkata kepada putranya:

“Adapun engkau wahai anakku, lebih mengetahui terhadap dirimu. Jika kamu mengetahui
bahwa engkau di atas kebenaran dan mengajak kepada kebenaran, maka kerjakanlah. Sungguh
telah terbunuh sahabat-sahabatmu karenanya, sedangkan tidak mungkin engkau dipermainkan
oleh anak-anak Bani Umayah. Jika engkau hanya menginginkan dunia, maka seburuk-buruk
hamba adalah engkau, dan berarti kamu telah membinasakan dirimu sendiri, dan telah
membinasakan orang yang berperang bersamamu.”

Abdullah berkata, “Demi Allah ini adalah pendapat yang bagus wahai ibu, akan tetapi saya
takut jika penduduk Syam membunuhku dan mencincang tubuhku lalu menyalibku.” Maka
sang ibu menjawab, “Wahai anakku…sesungguhnya kambing tidak lagi merasakan sakit
dipotong-potong tubuhnya setelah disembelih. Maka berangkatlah dengan bashirahmu dan
mintalah pertolongan kepada Allah.”

Tatkala Asma` menjumpai Abdullah untuk mengucapkan perpisahan dan merangkulnya,


beliau memegang baju besi yang dikenakan anaknya dan berkata, “Apa ini wahai Abdullah apa
yang kamu kehendaki?” Maka ditanggalkanlah baju besi tersebut dan keluarlah Abdullah untuk
berperang dan beliau senantiasa teguh dan berani dalam menyerang musuh hingga beliau
terbunuh. Hajjaj memerintahkan pasukannya agar mayat beliau disalib. Kemudian dia
mendatangi Asma` dan berkata, “Wahai ibu sesungguhnya Amirul Mukminin telah berwasiat
kepadaku agar menanyakan kebutuhan anda.” Beliau menjawab, ‘Aku bukanlah ibumu akan
tetapi ibu dari orang yang disalib di atas pohon (Abdullah). Adapun aku tidak memiliki
keperluan apa-apa selain aku beritahukan kepadamu bahwa aku telah mendengar Rasulullah
bersabda:
`Akan muncul di Tsaqif seorang pendusta dan seorang perusak. Adapun sang pendusta kita
telah mengetahuinya, sedangkan seorang perusak itu adalah kamu.”

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa tatkala Hajjaj menemui Asma` dia berkata dengan
sombong, “Bagaimana pendapatmu tentang apa yang telah aku perbuat terhadap anakmu wahai
Asma`?” Asma` menjawab dengan tenang, “Engkau telah merusak dunianya, namun dia
(Abdullah) telah merusak akhiratmu.” [8]

Asma` radhiyallahu ‘anha wafat di Makkah beberapa hari setelah terbunuhnya putra beliau
Abdullah sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Sa’ad. Adapun terbunuhnya Abdullah pada
tanggal 17 Jumadil ‘ula tahun 73 Hijriyah. Tak ada satupun gigi beliau yang telah tanggal,
akalnyapun masih jernih dan belum pikun (padahal telah berumur seratus tahun).

Semoga Allah merahmati Asma’ Dzatun Nithaqain karena beliau berhak untuk menjadi teladan
yang diikuti dan juga contoh yang baik untuk dirimu.

Foot Note:
[1] HR. al-Bukhari (111/142) dalam al-Hibah pada bab: Hadiah bagi Orang-orang Musyrik dan
Firman Allah Ta’ala, “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil.” (QS. al-
Mumtahanah: 8). Diriwayatkan pula oleh Muslim dalam Zakat no. 1003.
[2] Riwayat tentang pemberian nama Asma’ dengan gelar Dzatun Nithaqain. diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam al-Manakib pada bab: Hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Para
Sahabatnya ke Madinah (IV/258). Diriwayatkan pula oleh Ibnu Sa’ad dalam ath- Thabaqat
(VIII/250).

[3] Lihatlah al-Khabar dalam Sirah Nabawiyah oleh Ibnu Hisyam (I/488). Imam adz-Dzahabi
menukil darinya dalam Siyaru A’lam an-Nubala’ (II/288) sedangkan Syaikh asy-Syu’aib al-
Arnuth telah mengisyaratkan akan shahihnya sanad dari riwayat tersebut.

[4] Lihat Sirah Ibnu Hisyam (1/487).

[5] HR. al-Bukhari dalam an-Nikah pada bab: Cemburu (VI/156), Muslim dalam as Salam
pada bab: Diperbolehkannya Memboncengkan Wanita yang Bukan Mahram apabila dia
Kelelahan di Jalan, no. 2182.

[6] Lihat ath-Thabaqat Ibnu Sa’ad (VIII/251) dan seterusnya.

[7] HR. Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat (VIII/253) dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (IV/64).

[8] Lihat ath-Thabaqat Ibnu Sa’ad (VIII/254), al-Mustadrak(IV/64). Siyaru A’lam an-Nubala’
oleh adz-Dzahabi (11/293) dan Tarikhul Islam oleh Imam adz-Dzahabi juga (111/136).

Sumber: Buku ‘Mereka Adalah Para Shahabiyah’, Mahmud Mahdi al Istanbuli & Musthafa
Abu An Nashir Asy Sylabi, Penerbit at Tibyan.

Artikel: www.KisahIslam.net

Anda mungkin juga menyukai