Anda di halaman 1dari 5

KISAH SHAHABIYAH

UMMU SALAMAH

Ummu Salamah : Muslimah cerdas yang rupawan hatinya

Ummu Salamah adalah seorang Ummul mukminin yang berkepribadian kuat, cantik dan
menawan serta memiliki semangat jihad dan kesabaran dalam menghadapi cobaan, lebih-lebih
setelah berpisah dengan suami dan anak-anaknya. Berkat kematangan berfikir dan ketepatan
dalam mengambil keputusan, dia mendapat kedudukan mulia disisi Rasulullah SAW. Didalam
sirah Ummahatul Mukminin dijelaskan tentang banyaknya sikap mulia dan peristiwa penting
darinya yang dapat diteladani oleh kaum muslimin, baik sikapnya sebagai istri yang selalu
menjaga kehormatan keluarga maupun sebagai pejuang dijalan Allah.

Nasabnya

Beliau bernama asli Hindun Binti Suhail Abu Umayyah bin Al-Mughirah bin Abdullah
bin Amr bin Al-Mahgzumi. Lahir 24 tahun sebelum hijrah dan wafat pada tahun 61 hijriyah.
Beliu di besar dilingkungan bangsawan suku quraisy. Ayahnya bernama Sughail bin Mughirah.
dikalangan kaumnya, suhail dikenal sebagai seorang dermawan sehingga dijuluki Dzadur Raqib
(penjamu para musafir) karena dia selalu menjamu setiap orang yang menyertainya dalam
perjalanan dia adalah pemimpin kaumnya, terkaya, dan terbesar wibawanya. Ibu dari Ummu
Salamah bernama Atikah binti Amir bin Rabi’ah bin Malik bin Jazimah bin Al-Qomah Al-
Kan’aniyah berasal drai bani faras.

Demikian dia dibesarkan didalam lingkungan bangsawan yang dihormati dan disegani.
Kecantikannya meluluhkan setip orang yang melihatnya dan kepribadiannya sudah tertanam
sejak kecil.

Sebelum Bersama Nabi

Sebelum bersama Nabi, Ummu Salamah menikah dengan putra pamannya, yaitu
Abdullah bin Abdul Asad bin Hilal bin Makhzum al-Qurasyi. Yang lebih dikenal dengan Abu
Salamah. Abu Salamah adalah seorang sahabat yang mulia. Yang pertama-tama memeluk Islam
dan merasakan musibah yang besar akibat keislamannya. Ia adalah putra dari bibi Rasulullah.
Ibunya adalah Barrah binti Abdul Muthalib.

Saat diizinkan berhijrah ke Habasyah, Ummu Salamah radhiallahu ‘anha berhijrah ke


sana bersama suaminya. Ia menuturkan, “Ketika kami sampai di Habasyah, penduduknya
memperlakukan kami dengan sangat baik. Kami aman berada di atas agama kami. Kami tidak
mendapat gangguan saat beribadah kepada Allah. Saat hal ini sampai kepada Quraisy, mereka
mengirim hadiah kepada An-Najasyi. Mereka bawakan kulit (hewan) yang banyak (Ibnu
Khuzaimah 2073 dan Ibnu Hisyam: as-Sirah an-Nabawiyah 1/334-335). Hadits ini menunjukkan
bahwa Abu Salamah dan Ummu Salamah turut berhijrah ke Habasyah.

Kemudian Allah izinkan kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah. Di sinilah terjadi
peristiwa memilukan yang dialami Ummu Salamah radhiallahu ‘anha. Dari peristiwa ini kita
semakin sadar akan hakikat kesabaran dan berkorban di atas agama Allah Ta’ala. Perlu diketahui,
Abu Salamah adalah orang pertama dari sahabat Rasulullah dari bani Makhzum yang hijrah ke
Madinah. Ia berhijrah satu tahun sebelum peristiwa Baiat Aqobah. Ia datang dari Habasyah
menemui Rasulullah di Mekah. Setibanya di Mekah, keadaan belum berubah. Orang-orang
Quraisy masih saja menyakiti kaum muslimin. Di sisi lain, ia mendengar kalau di Madinah sudah
terdapat kaum muslimin, ia pun berencana hijrah ke sana. Dan dalam peristiwa hijrahnya ini,
istrinya, Ummu Salamah, mengalami penderitaan yang sangat berat.

Ummu Salamah radhiallahu ‘anha berkisah, “Saat Abu Salamah telah mantab untuk
hijrah ke Madinah, ia membawakan ontanya untuk kunaiki. Dan bersamaku putraku, Salamah bin
Abu Salamah. Kemudian kami berangkat. Sekelompok laki-laki dari bani al-Mughirah bin
Abdullah bin Amr bin Makhzum (keluarga Ummu Salamah) mendekati kami dan berkata,
‘Tentang dirimu, kami sudah menyerah. Lalu bagaimana dengan istrimu ini? Apakah kau pikir
kami akan membiarkannya pergi bersamamu ke daerah lain?” Akhirnya, Ummu Salamah dan
putranya ditahan oleh keluarganya.
Ummu Salamah berkata, “Mereka melepaskan tali kekang onta dari tangan suamiku.
Mereka merebutku darinya.” Akhirnya, Ummu Salamah dan putranya tertahan. Ummu Salamah
melanjutkan, “Mengetahui kejadian ini, bani Abdul Asad pun murka, yakni saudara Abu
Salamah. Mereka berkata, ‘Tidak, demi Allah. Kami tak akan membiarkan anak kami (karena
nasab itu dari jalur ayah) berada di sisi ibunya. Karena kalian telah memisahkan ibunya dari
saudara kami’. Mereka pun berebut menarik anakku Salamah, hingga mereka melepaskan
tarikannya. Bani Abdul Asad pun membawanya pergi. Aku ditahan oleh keluargaku, Bani al-
Mughirah. Sementara suamiku pergi ke Madinah.”

Ummu Salamah melanjutkan, “Aku terpisah dari suami dan anakku. Selama satu tahun
atau hampir setahun lamanya, setiap pagi aku pergi ke ujung Kota Mekah dengan deraian air
mata. Sampai akhirnya seorang laki-laki dari putra pamanku melihatku. Ia melihat keadaanku
dan merasa iba. Ia berkata kepada Bani al-Mughirah, “Apakah kalian tak membiarkan saja dia
pergi? Kalian telah pisahkan ia dengan suami dan anaknya.” Keluargaku (Bani al-Mughirah)
berkata padaku, “Susullah suamimu jika kau menginginkannya.” Ummu Salamah berkata, “Dan
saat itu Bani Saad (keluarga Abu Salamah) mengembalikan putraku ke pangkuanku.”

Aku pacu ontaku. Kugendong anakku dan kuletakkan ia bersamaku. Kami berangkat
menuju Madinah untuk berkumpul dengan suamiku. Saat itu, tak ada seorang pun yang
menemaniku. Aku berkata pada diriku, Apakah aku akan bertemu dengan seseorang yang bisa
mengantarkanku pada suamiku? Saat sampai di Tan’im aku bertemu dengan Utsman bin Thalhah
bin Abi Thalhah, keluarga dari Bani Abdud Dar. Ia berkata padaku, “Mau kemana hai putri Abu
Umayyah?” Kujawab, “Aku hendak ke Madinah berjumpa dengan suamiku.” “Apakah ada orang
yang menemanimu?” tanyanya. “Demi Allah, tidak ada. Hanyalah Allah dan putraku ini.”

Utsman bin Thalhah berkata, “Demi Allah, kau tak pantas dibiarkan sendiri.” Ia pun
mengambil tali kekang ontaku, kemudian membawaku pergi. Demi Allah, aku tak pernah
ditemani seorang laki-laki Arab pun yang aku pandang lebih mulia darinya. Apabila kami sampai
di tempat istirahat, ia menghentikan ontaku. Kemudian ia memperhatikan keadaanku. Sampai-
sampai saat aku turun dari ontaku, dia pun memperhatikan ontaku itu. Ia pergi dan mengikat
tungganganku di pohon. Setelah istirahat selesai, ia datang lagi dan berkata, ‘Naiklah’. Saat aku
telah naik, ia mendekat dan mengarahkan perjalanan kami sampai kami ke tempat istirahat
berikutnya. Ia melakukan hal itu terus, sampai kami tiba di Madinah. Saat ia melihat kampung
Bani Amr bin Auf di Quba, ia berkata, “Suamimu berada di kampung ini. Masukilah dengan
berkah dari Allah.” Kemudian ia pergi kembali ke Mekah.

Ummu Salamah berkata, “Demi Allah, aku tidak mengetahui ada keluarga dalam Islam
yang menderita seperti penderitaan keluarga Abu Salamah. Aku tak melihat orang yang lebih
mulia dibanding Utsman bin Thalhah.” (Ibnu Hisyam: as-Sirah an-Nabawiyah, 1/468). Akhirnya
keluarga ini kembali berkumpul dengan keislaman dan keimanan mereka.

Pada tahun 2 H, Rasulullah mengajak para sahabatnya untuk mencegat kafilah Abu
Sufyan. Tanpa disangka, kemudian peristiwa inilah menjadi sebab Perang Badar. Abu Salamah
turut serta dalam rombongan yang mencegat kafilah. Dan tentu saja ia juga terlibat dalam Perang
Badr. Dalam perang itu ia menderita luka. Luka itu sempat sembuh, tapi kemudian kambuh
kembali. Hingga menyebabkannya wafat pada Jumadil Akhir tahun 3 H (Ibnu al-Atsir: Asad al-
Ghabah, 3/190).

Ummu Salamah menceritakan, “Suatu hari, Abu Salamah menemuiku. Ia baru saja
menemui Rasulullah. Ia berkata, ‘Aku mendengar dari Rasulullah sebuah perkataan yang
membuatku bahagia. Beliau bersabda, “Tidaklah seorang muslim ditimpa suatu musibah.
Kemudian ia beristirja (mengucapkan innalillahi wa inna ilaihi raji’un) saat musibah tersebut
terjadi. Setelah itu berdoa, ‘Ya Allah berilah aku pahala atas musibahku ini. Dan gantikanlah
dengan yang lebih baik darinya’. Kecuali Allah akan mengabulkannya.”
Kata Ummu Salamah, “Aku pun menghafalkannya.”
Ketika Abu Salamah wafat, aku beristirja. Dan berdoa, “Ya Allah berilah pahala atas musibahku
ini. Dan gantikanlah dengan yang lebih baik darinya.” Setelah itu, aku renungkan ucapanku dan
bertanya pada diriku, “Adakah untukku yang lebih baik dari Abu Salamah?” Setelah iddahku
selesai, Rasulullah meminta izin padaku. Saat itu aku sedang menyamak kulit. Kucuci tanganku
dan kuizinkan beliau masuk. Aku pun membentangkan alas duduk dari kulit yang berisi serat.
Beliau pun duduk di atasnya dan meminangku untuk dirinya. Setelah beliau selesai berbicara,
aku berkata, “Wahai Rasulullah, siapa aku ini untuk tidak menerimamu. Tapi aku adalah seorang
wanita yang sangat pencemburu. Aku khawatir Anda melihat pada diriku sesuatu yang
menyebabkan aku diadzab oleh Allah. Dan aku adalah wanita yang sudah berusia dan memiliki
anak-anak.”
Rasulullah menanggapi, “Yang engkau sebut berupa kecemburuan, Allah akan menghilangkan
hal itu darimu. Tentang umurmu, aku pun telah berumur sebagaimana engkau. Dan tentang anak-
anakmu, anak-anakmu juga anak-anakku.” Ummu Salamah pun menerima lamaran dari
Rasulullah SAW..

Kemudian ia mengatakan, “Sungguh Allah telah menggantikan untuk diriku seseorang


yang lebih baik dari Abu Salamah, yakni Rasulullah.” (Ibnu Katsir” as-Sirah an-Nabawiyah,
3/175).

Hikmah Pernikahan dengan Nabi

Pernikahan Nabi dengan Ummu Salamah radhiallahu ‘anha adalah pemuliaan terhadap
Ummu Salamah. Setelah suaminya wafat, tak ada pasangan yang melindungi dan menjaganya.
Sementara beliau adalah wanita yang telah banyak berkorban demi agamanya dan menyambut
dakwah yang penuh berkah ini. Ia juga memiliki empat orang anak yatim. Rasulullah hadir
sebagai suami dan seseorang yang menanggung dirinya dan anak-anaknya.

Di rumah Tangga Nabawi

Setelah Abu Salamah radhiallahu ‘anhu wafat dan masa iddah Ummu Salamah usai, ia
dipinang Abu Bakar, tapi ia menolaknya. Kemudian Umar meminangnya, ia juga menolaknya.
Kemudian Rasulullah meminta izin kepadanya, ia pun menerima pinangan Nabi. Dan putranya
yang menjadi wali baginya. Akad pernikahan itu disaksikan sejumlah sahabat. Maharnya sama
seperti mahar Aisyah: karpet tebal, kasur yang diisi serat, dan penggilingan. Nabi tinggal
bersamanya pada tahun ke-4 H (Ibnu Zibalah: Azwaj an-Nabi, Hal: 64).

Ummu Salamah radhiallahu ‘anha memiliki sesuatu yang berbeda dengan istri-istri nabi
yang lain. Ia memiliki keistimewaan bahwa rasa cemburunya telah Allah hilangkan. Dan ia
adalah salah seorang istri nabi yang tercantik. Sebagaimana pujian Aisyah terhadapnya.

Ummu Salamah memiliki kedudukan istimewa di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana dijelaskan oleh Zainab putri Ummu Salamah radhiallahu ‘anha. Rasulullah
shallallahu berada di sisi Ummu Salamah radhiallahu ‘anha. Beliau meletakkan Hasan di sisi
beliau dan Husein di sisi yang lain. Sementara Fatimah berada di bagian depan rumah beliau.
Beliau bersabda,“Semoga Allah merahmati dan memberkahi kalian wahai ahlul baitku.
Sesungguhnya Dia Maha Terpuji lagi Maha Mulia.”

Aku (Zainab) dan juga Ummu Salamah duduk. Kemudian ibuku, Ummu Salama,
menangis. Rasulullah melihat ke arahnya dan bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?”
Ummu Salamah menjawab, “Engkau mengkhususkan mereka dan meninggalkan aku dan
putriku.” Nabi bersabda, “Engkau dan putrimu juga termasuk ahlul baitku.” (HR. ath-Thabrani:
al-Mu’jam al-Kabir 18/19).

Saat Rasulullah hendak menemui istri-istrinya, beliau memulainya dari Ummu Salamah
radhiallahu ‘anha. Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata, “Merupakan kebiasaan Rasulullah
apabila usai shalat ashar beliau menemui istri-istrinya. Satu per satu. Ia mulai dari Ummu
Salamah, karena ialah yang paling senior. Dan beliau tutup dengan mengunjungiku.” (ash-Shalihi
asy-Syami: Subul al-Huda wa ar-Rasyad, 11/170).
Ummu Salamah adalah seorang wanita yang baik dan menjaga kehormatan diri. Ia
memiliki kedudukan istimewa di sisi Rasulullah. Anak-anaknya dididik di rumah nabi.
Pernikahannya dengan Nabi memiliki hikmah yang agung. Saat ia tengah sendiri setelah wafanya
Abu Salamah. Tak memiliki keluarga dan pelindung. Ia dan suaminya adalah seorang yang
berjuang untuk dakwah dengan segala yang mereka miliki, baik harta maupun jiwa.
Pernikahannya dengan Nabi adalah pengganti dari semua kebaikan yang hilang darinya.

Rasulullah memuliakan Ummu Salamah dan suka memberinya hadiah. Saat menikahinya,
Nabi berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku memberi an-Najasyi suatu perhiasan dan sejumlah
misik. Tapi sekarang an-Najasyi telah wafat. Dan aku memandang hadiah tersebut kembali
kepemilikannya kepadaku. Seandainya hadiah itu kembali padaku, akan kuberikan padamu.”

Apa yang diucapkan Rasulullah benar terjadi. Beliau memberi masing-masing istri beliau satu
uqiyah misik. Dan memberi Ummu Salamah sisa semuanya ditambah perhiasan (HR. Ahmad
27317).

Kecerdasan Ummu Salamah

Di antara keutamaan Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, beliau menjadi sebab langsung
turunnya beberapa ayat Alquran. Dari Mujahid, Ummu Salamah berkata, “Wahai Rasulullah,
laki-laki turut serta dalam perang (jihad) sementara kami tidak. Kami disifati sebagai warisan.”

Kemudian Allah menurunkan firman-Nya,“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa
yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.
(Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para
wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan…” [Quran An-Nisa: 32]

Saat itu Ummu Salamah merupakan wanita pertama yang tiba di Madinah (al-Qurthubi: al-Jami’
al-Ahkam al-Quran, 5/162).

Ummu Salamah berkata, “Wahai Rasulullah, berkaitan dengan hijrah, kami belum
mendengar Allah menyebutkan sedikit pun tentang perempuan. Kemudian Allah menurunkan
firman-Nya dan memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku
tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau
perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang
yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang
berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan
pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya,
sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik”. [Quran Ali Imran: 195].

Ummu Salamah dan Buah Perjanjian Hudaibiyah

Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menandatangani perjanjian


Hudaibiyah, beliau berkata kepada para sahabatnya, “Berdirilah dan semebelihlah hewan kurban
kalian. Setelah itu gundulilah kepala kalian.”

Tak ada seorang pun dari mereka yang melaksanakan perintah nabi. Hingga beliau merasa perlu
mengulangi perintahnya sampai tiga kali. Walaupun demikian, masih belum ada yang
melakukannya. Karena mereka berat dengan putusan Perjanjian Hudaibiyah, dan mereka masih
berharap Rasulullah berubah pikiran atau turun wahyu kepada beliau. Melihat keadaan itu, Nabi
pun masuk ke tenda menemui istrinya, Ummu Salamah. Beliau ceritakan keadaan para
sahabatnya kepada istrinya. Ummu Salamah merespon curahan hati beliau dengan mengatakan
“Wahai Nabi Allah kalau Engkau mau, keluarlah tanpa berbicara dengan seorang pun dari
mereka. Kemudian sembelihlah hewan, Panggil tukang cukur, dan cukurlah rambut Engkau
wahai Nabi.”
Nabi pun keluar tanpa berbicara sepatah kata pun kepada mereka hingga beliau
melakukan apa yang dianjurkan Ummu Salamah. Beliau sembelih hewannya. Memanggil tukang
cukurnya dan mencukur rambutnya. Saat melihat beliau melakukan itu, para sahabat pun berdiri
dan menyembelih hewan mereka. Sebagian mereka mencukur sebagian yang lain. Mereka sibuk
melakukan yang demikian (Ibnu Katsir: as-Sirah an-Nabawiyah, 3/334).

Para sahabat sadar bahwa keputusan beliau tak lagi berubah. Dan tidak turun wahyu
tentang hal ini. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Anjurannya kepada nabi pada hari
Hudaibiyah ini menunjukkan kecerdasan akalnya dan benarnya pandangannya.” (Ibnu Jakar al-
Asqalani: al-Ishobah fi Tamyiz ash-Shahabah 8/224).

Hadits yang Diriwayatkan Ummu Salamah

Adz-Dzahabi menyebutkan bahwa Ummu Salamah meriwayatkan sejumlah 380 hadits.


Yang disepakati al-Bukhari dan Muslim ada 13 hadits. Al-Bukhari saja, 3 hadits. Muslim saja, 13
hadits. Beliau meriwayatkan hadits-hadits tentang bimbingan dan pendidikan untuk muslimah.
Terdapat juga hadits bahwa nabi menciumnya saat nabi sedang berpuasa. Ada pula hadits tentang
ia mandi junub bersama nabi dari satu wadah air. Nabi pernah tidur bersamanya dalam satu
selimut. Nabi mengunjunginya saat ia sedang haid. Nabi bertanya, “Apakah engkau mengalami
nifas?” Ummu Salamah, “Benar.” Beliau bersabda, “Berdirilah, bersihkanlah dirimu. Kemudian
kembalilah ke sini.” Aku mengganti bajuku dan kupakai pakaian haidku. Kemudian aku kembali
bersamanya di dalam selimut.” (Muhibbuddin ath-Thabari: as-Samthu ats-Tsamin, Hal: 142-
143).

Setelah Nabi Wafat

Setelah nabi wafat, Ummu Salamah radhiallahu ‘anha banyak ambil peranan dalam
peristiwa-peristiwa di masanya. Ia pernah menemui Amirul Mukminin Utsman bin Affan dan
berkata padanya, “Menurutku rakyatmu tak akan lari. Orang-orang yang ada di sisimu akan tetap
bersamamu. Jangan kau padamkan jalan yang telah diterangi Rasulullah. Jangan engkau
memantik kekacauan. Jalinlah persaudaraan sebagaimana dua orang sahabatmu -Abu Bakar dan
Umar-. Keduanya telah menjelaskan perkara dengan sejelas-jelasnya. Mereka berdua tidak
menzalimi. Inilah kebenaran… Sesungguhnya engkau berhak ditaati.”

Utsman menjawab, “Sungguh engkau telah berkata dan aku memahaminya. Engkau telah
menasihati dan aku menerimanya.” (Min A’lamin Nisa, Hal: 190).

Wafat

Ummul Mukminin Ummu Salamah radhiallahu ‘anha wafat pada masa pemerintahan
Yazid bin Muawiyah. Tepatnya di tahun 61 H sebagaimana disebutkan Ibnu Hibban. Saat itu
usianya 84 tahun. Ada pula yang menyebutkan bahwa usia beliau mencapai 90 tahun. Semoga
Allah meridhai beliau (Ibnu Hajar: Tadzhib at-Tadzhib, 12/483).

https://kisahmuslim.com/6175-ummul-mukminin-ummu-salamah.html

Anda mungkin juga menyukai