Anda di halaman 1dari 19

Ummul Mukminin Shafiyah binti Huyai

Read more https://kisahmuslim.com/6209-ummul-mukminin-shafiyah-binti-huyai.html

Ummul Mukminin Shafiyah binti Huyai memiliki silsilah nasab mulia. Ia seorang bangsawan
Bani Nadhir keturunan Nabi Harun ‘alaihissalam. Artinya jika ditarik garis nasabnya, Nabi Musa
‘alaihissalam terhitung sebagai pamannya. Keutamaan itu semakin lengkap karena Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suaminya.

Nasabnya

Beliau adalah Shafiyah binti Huyai bin Akhtab bin Syu’ah bin Ubaid bin Ka’ab bin al-Khazraj
bin Abi Hubaib bin an-Nadhir bin an-Niham bin Tahum dari Bani Israil yang termasuk cucu
Nabi Harun bin Imran ‘alaihissalam. Ibunya adalah Barrah binti Samau-al.

Ummul Mukminin Shafiyah lahir tahun 9 sebelum hijrah dan wafat 50 H. Tahun lahir dan wafat
itu bertepatan dengan 613 M dan 670 M.

Sebelum menikah dengan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, Ibunda Shafiyah bersuamikan
Sallam bin Misykam. Ia adalah seorang penyair. Kemudian Sallam menceraikannya. Berikutnya
ia menikah dengan Kinanah bin Abu Huqaiq yang juga merupakan seorang penyair. Di zaman
itu, penyair menempati posisi mulia. Mereka terhitung sebagai cerdik cendekia. Dan suami
terakhirnya tewas di Perang Khaibar (Ibnu Abdil Bar: al-Isti’ab, 4/1871 dan Muhibbuddin ath-
Thabari: as-Simthu ats-Tsamin Hal: 201).

Kaum Yang Membenci Risalah Rabbani

Ummul Mukminin Shafiyah radhiallahu ‘anha adalah seorang bangsawan Bani Quraizhah dan
Bani an-Nadhir. Ayahnya, Huyai bin Akhtab, adalah tokoh Yahudi sekaligus ulama mereka.
Sang ayah tahu bahwa Muhammad bin Abdullah adalah seorang nabi akhir zaman. Ia tahu persis
sejak kali pertama kaki Nabi yang mulia menjejak tanah Yatsrib (nama Madinah di masa lalu).
Namun ia sombong dan menolak kebenaran. Karena apa? Karena nabi itu berasal dari Arab
bukan dari anak turunan Israil (Nabi Ya’qub).

Keadaan ayah Ummul Mukmini Shafiyah ini, langsung ia ceritakan sendiri. Ia bercerita, “Tak
ada seorang pun anak-anak ayahku dan pamanku yang lebih keduanya cintai melebihi aku. Tak
seorang pun anak-anak keduanya membuat mereka gembira, kecuali ia melibatkan aku
bersamanya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Quba -perkampungan Bani
Amr bin Auf-, ayah dan pamanku, Abu Yasir bin Akhtab, datang menemuinya di pagi buta.
Demi Allah, mereka baru pulang menemui kami saat matahari menghilang. Keduanya datang
dengan ekspresi layu, lunglai, dan jalan tergontai lesu. Aku berusaha membuat mereka gembira
seperti yang biasa kulakukan. Demi Allah, tak seorang pun dari keduanya peduli walau hanya
sekadar menoleh padaku. Aku dengar pamanku, Abu Yasir, bicara pada ayahku, “Apakah dia itu
memang si nabi itu? “Iya, demi Allah,” jawab ayah. “Kau kenali dia dari sifat-sifat dan tanda-
tandanya?” tanya paman lagi. “Iya, demi Allah,” ayah memberikan jawaban yang sama. “Lalu
bagaimana keadaan dirimu terhadapnya?” tanya paman. Ayah menjawab, “Demi Allah,
permusuhan selama aku masih hidup.”

Diceritakan oleh Musa bin Uqbah az-Zuhri bahwa saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
di Madinah, Abu Yasir bin Akhtab datang menemui beliau. Ia mendengar ucapan-ucapan beliau.
Setelah itu, ia kembali ke kaumnya dan berkata, “Taatilah aku. Sesungguhnya Allah telah
mendatangkan pada kalian seseorang yang kalian tunggu-tunggu. Ikutilah dia! Jangan kalian
menyelisihinya.”

Kemudian Huyai bin Akhtab yang merupakan pimpinan Yahudi segera beranjak menemui
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia duduk dan mendengar ucapan Nabi. Setelah itu
pulang menuju kaumnya. Huyai adalah seorang yang ditaati. Ia berkata, “Aku telah datang
menemui laki-laki itu. Demi Allah, aku akan senantiasa memusuhinya selamanya.”

Abu Yasir berkata, “Hai anak pamanku, ikutlah bersamaku dalam permasalahan ini. Selain
urusan ini silahkan tidak bersamaku sekehendakmu. Kau tidak akan binasa.”

Huyai menjawab, “Tidak! Demi Allah! Aku tak akan menurutimu.” Ia dikuasai oleh setan. Dan
kaumnya mengikuti pandangannya (Ibnu Hisyam: as-Sirah an-Nabawiyah 1/519-520 dan Ibnu
Katsir: as-Sirah an-Nabawiyah 2/298).

Pernikahan Terindah

Sejak Nabi tiba di Madinah, orang-orang Yahudi Khaibar telah bulat menolak ajakan damai.
Kebuntuan tersebut tak dapat didobrak kecuali dengan perang. Pecahlah perang antar dua
kelompok yang akhirnya dimenangkan oleh umat Islam.

Saat para tawanan dikumpulkan, Dihyah bin Khalifah al-Kalbi menemui Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, berilah aku seorang budak wanita dari tawanan
ini.” Nabi menaggapi, “Silahkan. Ambillah seorang budak perempuan.” Dihyah yang Malaikat
Jibril suka menyerupainya ini memilih Shafiyah binti Huyai.

Lalu datang seseorang menemui Nabi. Ia berkata, “Wahai Nabi Allah, Anda telah memberikan
Dihyah seorang Shafiyah binti Huyai. Seorang tokoh Bani Quraizah dan Bani Nadhir. Wanita
yang tidak layak untuk siapapun kecuali Anda. Kemudian Nabi bersabda, “Panggil Dihyah
bersama dengan Shafiyah.” Dihyah pun datang membawa Shafiyah. Saat Nabi melihat Shafiyah,
beliau berkata pada Dihyah, “Pilihlah tawanan wanita selain dirinya.”

Dalam kesempatan lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Bilal untuk
membawa Shafiyah. Saat hendak menemui Nabi, Bilal membawa Shafiyah lewat di jalan yang
banyak korban perang. Rasulullah tidak menyukai apa yang dilakukan Bilal. Beliau bersabda,
“Apakah telah hilang rasa kasih sayang pada dirimu, Bilal?”

Rasulullah menawari Shafiyah untuk memeluk Islam. Ia pun memilih Islam. Kemudian Nabi
memperistrinya (setelah masa iddahnya selesai). Pembebasannya sebagai tawanan adalah mahar
pernikahannya. Saat memandangnya, Nabi melihat ada bekas lebam di wajah Shafiyah. Beliau
bertanya, “Apa ini?” Shafiyah menjawab, “Sebelum kedatanganmu, aku bermimpi seakan
rembulan hilang dari tempatnya dan masuk ke rumahku. Demi Allah, saat itu aku sama sekali
tidak menyebut-nyebut dirimu. Kemudian kuceritakan mimpi itu pada suamiku. Ia pun
menamparku.” Ia berkata, “Kau berharap penguasa Madinah itu!” (Ibnul Qayyim: Zadul Ma’ad,
3/291)

Salah satu hikmah dari berbilangnya istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah faktor
sosial. Yaitu menolong dan menjaga perasaan orang yang dinikahi. Agama Islam menjaga
kedudukan seseorang. Dengan Islam kedudukan mereka tidak terjatuh, bahkan semakin mulia.
Siapa yang mulia sebelum memeluk Islam, semakin mulia kedudukannya dengan Islam.
Demikian juga keadaan Ummul Mukminin Shafiyah binti Huyai radhiallahu ‘anha. Ia adalah
wanita mulia sebelum memeluk Islam. Seorang pemuka kaumnya. Putri dari kepala kabilah. Dan
istri seorang yang mulia pula. Setelah ia memeluk Islam, agama yang mulia ini tetap menjaga
kedudukannya. Menjaga perasaannya. Allah nikahkan dia dengan orang paling mulia di tengah-
tengah kaum muslimin, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasulullah Memuliakan Shafiyah

Rasulullah adalah seorang yang lembut dan penyayang kepada istri-istrinya, termasuk kepada
Ummul Mukminin Shafiyah radhiallahu ‘anha. Suatu hari, sampai di telinga Shafiyah bahwa istri
nabi, Hafshah binti Umar, menyebutnya dengan putri seorang Yahudi. Shafiyah menangis. Saat
bersamaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menemuinya dan melihatnya
menangis. Beliau bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Ia menjawab, “Hafshah binti
Umar berkata padaku bahwa aku adalah putri seorang Yahudi.” Nabi berkata padanya,
“Sesungguhnya engkau adalah putri seorang nabi. Pamanmu pun seorang nabi. Dan engkau
dalam naungan seorang nabi. Bagaimana kau tidak bangga dengan hal itu.” Kemudian beliau
berkata pada Hafsha, “Wahai Hafshah, bertakwalah kepada Allah.” (Muhibbuddin ath-Thabari:
as-Shimthu ats-Tsamin Hal 207).

Maksud Shafiyah putri seorang nabi adalah nasabnya yang sampai Nabi Harun. Sehingga Nabi
Harun terhitung sebagai ayahnya. Dan Nabi Harun merupakan saudara Nabi Musa. Sehingga ia
memiliki paman seorang nabi juga. Tentang di bawah naungan nabi. Maksudnya suamimu yang
menaungimu pun nabi.

Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf di masjid. Nabi bersama istri-istrinya. Saat
mereka pergi, Nabi berkata kepada Shafiyah binti Huyay, “Jangan tergesa-gesa pulang. Akan
kuantar engkau.” Rumah Shafiyah berada di tempatnya Usamah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam keluar bersama Shafiyah. Di jalan, Nabi bertemu dua orang Anshar. Keduanya
memandang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sesaat lalu terus berjalan. Beliau shallallahu
‘alaihi wasallam berkata pada keduanya, “Kemarilah kalian, ini adalah Shafiyah binti Huyay”.
Maka keduanya berkata, “Maha suci Allah, wahai Rasulullah”. Lalu Beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Sesungguhnya syetan berjalan pada diri manusia lewat aliran darah dan aku
khawatir telah timbul suatu perasaan pada diri kalian berdua.” (HR. Al-Bukhari No. 1897 Kitab
I’tikaf)

Wafat
Ummul Mukminin Shafiyah binti Huyai radhiallahu ‘anha wafat pada tahun 50 H/670 M di
zaman pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu. Dan beliau dimakamkan di
Pemakaman Baqi’ (Ibnu Hajar: Tadzhib at-Tadzhib, 12/380).

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)


Artikel www.KisahMuslim.com

Read more https://kisahmuslim.com/6209-ummul-mukminin-shafiyah-binti-huyai.html


Silsilah Sejarah Pernikahan Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam
Sebelum kita menelusuri sebagian kehidupan rumah tangga Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersama istri-istrinya maka sebaiknya kita mengenal terlebih dahulu siapakah para ummahatul
mukminin tersebut. Bagaimanakah silsilah sejarah pernikahan Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam dengan mereka, sehingga kita memiliki sedikit gambaran tentang kehidupan rumah
tangga Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.

1) Khadijah binti Khuwailid

Istri pertama Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah Khadijah binti Khuwailid bin Asad. dan
umur beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam tatkala menikahi Khadijah adalah dua puluh lima
tahun, sedangkan Khadijah berumur dua puluh delapan tahun. Khadijah adalah istri Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam yang paling dekat nasabnya dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam. Semua anak-anak Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan dari rahim Khadijah
kecuali Ibrohim. Khadijah adalah seorang wanita yang kaya, cantik, serta memiliki kedudukan
yang tinggi di masyarakat, sehingga banyak orang Quraisy yang ingin menikahinya akan tetapi
hatinya terpikat pada sosok seorang pemuda yang tidak memiliki harta namun memiliki budi
pekerti yang luhur dan tinggi. Dialah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Khadijah telah
mengorbankan harta dan jiwanya untuk membela risalah kenabian. Ia lah wanita yang selalu
menenangkan sang kekasih dikala dirundung duka dan gelisah. Ia menguntaikan mutiara-mutiara
kata yang indah sebagai penyejuk di kala susah, penenang di kala bimbang, dan membakar
semangat di kala lesu dan kecewa. Kata-kata indahnya telah diriwayatkan dan dicatat oleh
perawi dan penulis, sebagai ibrah bagi para istri dan wanita yang hendak meneladani sang
kekasih penghulu manusia.

Tatkala Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya “Aku mengkhawatirkan diriku”,
Khadijah pun menanggapi curhatan sang kekasih dengan mengatakan,

“Tidak demikian, bergembiralah, Demi Allah sesungguhnya Allah selamanya tidak akan pernah
menghinakanmu. Demi Allah, sungguh engkau telah menyambung tali silaturahmi, jujur dalam
berkata, membantu orang yang tidak bisa, engkau menolong orang miskin, memuliakan tamu,
dan menolong orang-orang yang tak berdaya ditimpa musibah.”

Demikianlah ia menghibur sang suami yang kala itu khawatir sesuatu yang buruk akan menimpa
dirinya. Ia memotivasi, memuji, dan member kabar gembira.

Tidak heran Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencintainya, selalu menyebut
namanya, kemuliaannya, dan jasa-jasanya, meski ia telah tiada. sampai-sampai Aisyah berkata,

“Aku tidak pernah cemburu pada seorang pun dari istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
seperti kecemburuanku pada Khadijah. aku tidak pernah melihanya, akan tetapi Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam selalu menyebut namanya. Terkadang Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam menyembelih seekor kambing kemudian mengirimkannya kepada sahabat-sahabat
Khadijah. Ada kalanya aku berkata kepadanya, “Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita bagi
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam kecuali Khadijah”, lalu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
berkata, “Dia itu wanita yang demikian dan demikian dan aku dahulu memiliki seorang putra
darinya…'” Aisyah cemburu kepada Khadijah padahal Khadijah telah meninggal dunia.

Khadijah wafat tiga tahun sebelum hijrah. Pada hari wafatnya Khadijah. Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam merasakan kesedihan yang sangat dalam hingga tahun wafatnya
disebut dengan “Tahun Kesedihan”.

selanjutnya marilah kita cermati perkataan Ibnul Qoyim rhimahullah yang menceritakan silsilah
sejarah pernikahan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. beliau berkata,

2) Kemudian beberapa hari setelah itu beliau menikahi Saudah binti Zam’ah Al-Qurosyiah, dia
lah yang telah menghadiahkan hari gilirannya (giliran menginap Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam di rumahnya) untuk Aisyah.

3) Setelah menkahi Saudah, beliau menikah dengan Ummu Abdillah Aisyah Ash-Siddiqoh binti
Ash-Shiddiq yang telah dinyatakan kesuciannya oleh Allah dari atas langit ketujuh. kekasih
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, putri Abu bakar Ash-Shiddqi, malaikat telah
menampakkan Aisyah kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sebelum menikah dengannya.
Dalam mimpi beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam melihat Aisyah tertutup wajahnya dengan
selembar kain dari sutra lalu malaikat itu berkata, “Inilah istrimu (bukalah kain penutup
wajahnya)”. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menikahinya pada bulan Syawal dan umur
Aisyah kala itu adalah enam tahun. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menggaulinya pada
Syawwal pada tahun pertama hijrah ketika umurnya sembilan tahun. Beliau tidak menikahi
seorang perawan pun selainnya. Tidak pernah ada wahyu yang turun ketika nabi berselimut
bersama salah seorang di antara istrinya kecuali Aisyah. Ia merupakan wanita yang paling
dicintai nabi. Allah pun mencintainya dan membela serta menyucikan namanya dari tuduhan
dusta. Telah turun wahyu dari langit menjelaskan terbebasnya Aisyah dari tuduhan zina dan umat
sepakat akan kafirnya orang yang menduduh Aisyah berzina. Dia adalah istri Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam yang paling paham agama dan yang paling pandai, bahkan
terpandai di antara para wanita umat ini secara mutlak. Tokoh-tokokh para sahabat pun
menjadikan pendapatnya sebagai landasan beragama dan mereka sering meminta fatwa
keadanya. Ada sebuah kabar yang menyatakan bahwa beliau pernah mengalami keguguran,
namun pendapat ini tidak benar sama sekali.

4) istri Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang keempat adalah Hafshah binti Umar bin Al-
Khattab. Abu Dawud menyebutkan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah
menceraikannya kemudian ruju’ (kembali) lagi kepadanya.

5) Kemudian Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Zainab binti Khuzaimah bin Al-Harits
Al-Qurosyiah dari bani Hilal bin Amir. dan beliau wafat di sisi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam setelah tinggal bersama selama dua bulan.

6) kemudian beliau menikah dengan Ummu Salamah Hind binti Abi Umayyah Al-Qurosyiah Al-
Makhzumiah, nama Abu Umayyah adalah Hudzaifah bin Al-Mughiroh. Ummu Salamah
merupakan istri Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang paling terakhir wafatnya menurut
sebagian ulama, ada pula yang berpendapat Shafiah yang terakhir wafat di antara istri-istri Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam yang lain.

7) Kemudian beliau menikahi Zainab binti Jahsy dari bani Asad bin Khuzaimah dan dia adalah
anak Umayyah bibi Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Allah telah menurunkan firman-Nya
berkaitan dengan dirinya,

“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami
kawinkan kamu dengan dia.” (Q.s. Al-Ahzab: 37)

Peristiwa Allah langsung yang menikahkannya dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
menjadi kebanggan tersendiri bagi Zainab binti Jahsy. Bagaimana tidak, Allah telah menjadi wali
nikahnya, tentunya wajar apabila ia berbangga. Ia pun sering membanggakannya di hadapan
istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang lain. Ia berkata, “Kalian dinikahkan oleh
keluarga kalian, adapaun aku dinikahkan oleh Allah dari atas langit yang ke tujuh.” Oleh karena
itu, di antara keistimewaannya adalah Allah lah yang telah menikahkannya dengna Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ia wafat di awal kekhalifahan Umar bin Al-Khatthab. Dahulunya
ia adalah istri Zaid bin Haritsah dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat Zaid
sebagai anak angkatnya. tatkala Zaid menceraikannya maka Allah pun menikahkannya dengan
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam agar umat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bisa
mencontohnya atau agar anggapan haramnya menikahi istri anak angkat tidaklah menjadi isu
yang benar, pendapat-itu hanya merupakan warisan budaya jahiliyah.

8) Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Juwairiyah binti Al-Harits bin
Abi Dhiror Al-Mushtoliqiah. Awalnya ia merupakan seorang tawanan bani Mushtholiq (Kabilah
Yahudi) lalu ia pun datang menemui Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam meminta agar Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam membantu penebusannya. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
kemudian menebusnya dan menikahinya.

9) Kemudian Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Ummu Habibah , namanya adalah
Romlah binti Abi Sufyan Sokhr bin Harb Al-Qurosyiah Al-Umawiah. Ada pula yang
mengatakan namanya adalah Hindun. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menikahinya
pada saat Ummu Habibah sedang berada di negeri Habasyah karena berhijrah dari Mekah ke
negeri Habasyah. Najasyi memberikan mahar atas nama Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
kepada Ummu Habibah sebanyak empat ratus dinar. Lalu ia dibawa dari Habasyah kepada Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam (di Madinah). Ummu Habibah meninggal di masa pemerintahan
saudaranya, Mu’awiyah.

10) Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Shafiyah binti Huyai bin
Akhtab pemimpin bani Nadhir dari keturunan harun bin Imron saudara Musa. Ia adalah putri
(keturunan) Nabi (Harun) dan istri Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ia termasuk wanita
tercantik di dunia. Dahulu ia merupakan tawanan atau seorang budak Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam kemudian Nabi memerdekakannya dan menjadikan pembebasannya sebagai maharnya.
11) Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Maimunah binti Al-Haritsah
Al-Hilaiah dan ia adalah wanita terakhr yang dinikahi oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menikahinya di Mekah pada waktu Umroh Al-
Qadha setelah ia bertahallul -menurut pendapat yang benar-, Maimunah wafat pada masa
pemerintahan Mu’awiyah.

12) Ada pula yang memasukkan nama Raihanah binti Zaid An-Nasraniah di antara istri-istri
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Raihanah binti Zaid An-Nasraniah ada juga yang menyatakan
Al-Qurazhiah yakni dari kalangan Yahudi bukan Nasrani. Ia merupakan tawanan pada waktu
perang Bani Quraizhah. Saat itu ia adalah tawanan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memerdekakannya dan menikahinya.
Rasulullah menceraikannya sekali kemudian ruju (kembali) kepadanya. Sebagian ulama
berpendapat bahwa Raihanah adalah budak Rasulullah yang digauli oleh beliau dan terus
menjadi budaknya hingga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Oleh Karena itu, dia
terhitung termasuk budak-budak Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan bukan termasuk istri-
istrinya. Al-Waqidi lebih cenderung kepada pendapat yang pertama, yakni ia merupakan istri
nabi. Pendapatnya disetujui oleh Syarifuddin Ad-Dimyathi. Ia mengatakan bahwa pendapat
inilah yang lebih kuat meurut para ahli ilmu. Namun, perkataannya itu perlu dicek kembali
karena yang dikenal bahwasanya Raihanah termasuk budak-budak Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam.

Sumber: Suami Idaman Istri Pilihan, Firanda, Pustaka Muslim dengan perubahan bahasa
seperlunya.

Read more https://kisahmuslim.com/1788-silsilah-sejarah-pernikahan-nabi.html#more-1788


Romantisme Rasulullah Bersama Istri-Istrinya
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersikap tawadhu (rendah diri) di hadapan istri-istrinya,
sampai-sampai Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam membantu istri-istrinya dalam menjalankan
pekerjaan rumah tangga. Padahal sehari-harinya nabi memiliki kesibukan dan mobilitas yang
sangat itnggi menunaikan kewajiban menyampaikan risalah Allah Azza wa Jalla dan kesibukan
mengatur kaum muslimin.

Aisyah mengatakan, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sibuk membantu istrinya dan jika
tiba waktu salat maka ia pun pergi menunaikannya.”

Imam Al-Bukhari mencantumkan perkataan Aisyah ini dalam dua bab di dalam sahihnya, yaitu
Bab Muamalah Seorang (suami) dengan Istrinya dan Bab Seorang Suami Membantu Istrinya.

Urwah bertanya kepada Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apa yang diperbuat Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam jika ia bersamamu di rumah?”, Aisyah menjawab, “Ia melakukan
seperti yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya, ia memperbaiki
sandalnya, menjahit bajunya, dan mengangkat air di ember.”

Dalam Syama’il karya At-Tirmidzi terdapat tambahan, “Dan memerah susu kambingnya…”

Ibnu Hajar menerangkan faidah hadis ini dengan mengatakan, “Hadis ini menganjurkan untuk
bersikap rendah hati dan meninggalkan kesombongan dan hendaklah seorang suami membantu
istrinya.”

Sebagian suami ada yang merasa rendah diri dan gengsi jika membantu istrinya mencuci,
menyelesaikan urusan rumah tangga. Kata mereka, tidak ada istilahnya lagi, nyuci baju sendiri,
merapikan rumah yang tidak bersih, dan jahit baju sendiri. Seolah-olah mereka menjadikan istri
seorang pembantu dan memang tugasnyalah melayani suami. Apalagi jika mereka adalah para
suami berjas berpenampilan necis, pekerjaan seperti ini tentu tidak lauak dan tidak pantas mereka
kerjakan. Atau mereka merasa ini hanyalah tugas ibu-ibu dan para suami tidak pantas dan tidak
layak untuk melakukannya.

Berikut ini beberapa kisah yang menunjukkan tawadhu’nya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam di hadapan istri-istrinya,

Dari Anas bin Malik ia berkisah, “Suatu saat Nabi halallahu ‘alaihi wa sallam di tempat salah
seorang istrinya maka istrinya yang lain mengirim sepiring makanan. Maka istrinya yang sedang
bersamanya ini memukul tangan pembantu sehingga jatuhlah piring dan pecah sehingga
makanan berhamburan. Lalu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan pecahan piring
tersebut dan mengumpulkan makanan yang tadinya di piring, beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam
berkata, “Ibu kalian cemburu…”

Perhatikanlah, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak marah akibat perbuatan
istrinya yang menyebabkan pecahnya piring. Nabi tidak mengatakan, “Lihatlah! makanan
berhamburan!!, ayo kumpul makanan yang berhamburan ini!. ini adalah perbuatan mubadzir!”
Akan tetapi ia mendiamkan hal tersebut dan membereskan bahkan dengan rendah hati nabi
langsung mengumpulkan pecahan piring dan mengumpulkan makanan yang berhamburan,
padahal di sampingnya ada seorang pembantu.

Tidak cukup sampai di situ saja, nabi juga memberi alasan untuk membela sikap istrinya tersebut
agar tidak dicela. Nabi mengatakan, “Ibu kalian sedang cemburu.”

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menghadapi permasalahan rumah tangganya dengan tenang
dan bijak, bagaimanapun beratnya permasalahan tersebut. Beliau juga mampu menenangkan
istri-istrinya jika timbul kecemburuan diantara mereka. Sebagian suami tidak mampu mengatasi
permasalahan istrinya dengan tenang, padahal istrinya tidak sebanyak istri rasulullah dan
kesibukannya pun tidak sesibuk rasulullah. Bahkan di antara kita ada yang memiliki istri cuma
satu orang pun tak mampu mengatasi permasalaha antara dia dan istrinya.

Ibnu Hajar mengatakan, “Perkataan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, ‘ibu kalian cemburu’
adalah udzur dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam agar apa yang dilakukan istrinya tersebut
tidak dicela. Rasulullah memaklumi bahwa sikap tersebut biasa terjadi di antara seorang istri
dengna madunya karena cemburu. Rasa cemburu itu memang merupakan tabiat yang terdapat
dalam diri (wanita) yang tidak mungkin untuk ditolak.”

Ibnu Hajar juga mengatakan, “Mereka (para pensyarah hadis ini) mengatakan, bahwasanya pada
hadis ini ada isyarat untuk tidak menghukum wantia yang cemburu karena sikap kekeliruan yang
timbul darinya. Karena tatkala cemburu, akalnya tertutup akibat kemarahan yang dikobarkan
oleh rasa cemburu. Abu Ya’la mencatat sebuah hadis dengan sanad yang hasan dari Aisyah
secara marfu’

“Wanita yang cemburu tidak bisa membedakan bagian bawah lembah dan bagian atasnya.”

Ibnu Mas’ud meriwayatkan sebuah hadis dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,

“Allah menetapkan rasa cemburu pada para wanita, maka barangsiapa yang sabar terhadap
mereka, maka baginya pahala orang mati syahid.” Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Bazar dan ia
mengisyaratkan akan sahihnya hadis ini. Para perawinya tsiqoh (terpercaya) hanya saja para
ulama memperselisihkan kredibilitas seorang perawi yang bernama Ubaid bin AS-Sobbah.

Dari Anas bin Malik, “Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Khaibar, tatkala Allah
mengilhamkan rasa tengan dalam jiwanya untuk menaklukkan benteng Khaibar, sampai sebuah
kabar kepada beliau tentang kecantikan Shafiah bin Huyai bin Akhthab dan suami Shafiah pada
saat itu telah tewas dengan usia pernikahan mereka yang masih dini. Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam pun meminangnya untuk menjadi istrinya. Kemudian beliau mengadakan
perjalanan pulang menuju Madinah.” Anas melanjutkan, “Aku melihat Nabi shalallahu ‘alaihi
wa sallam mempersiapkan kelambu di atas unta untuk Shafiah lalu beliau shalallahu ‘alaihi wa
sallam duduk di dekat unta lalu meletakkan lutut, lalu Shafiah menginjakkan kakinya di atas
lutut beliau untuk naik di atas unta.” Adakah seorang suami yang mungkin berbuat hanya
setengah dari usaha yang dilakukan Rasulullah, seperti membukakan pintu mobil untuk sang
istri, membawakan belanjaannya, dsb. Tentunya hal ini tidak banyak kita dapati.
Perhatikanlah perlakuan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang sedemikian tawadhu dan
bersikap romantis terhadap istri-istrinya di hadapan orang banyak tanpa rasa gengsi dan
canggung. Inilah sebuah qudwah sri teladan untuk para sahabat yang melihat kejadian itu dan
untuk kita semua.

Romantisme Rasulullah Bersama Istri-Istrinya

Perhatikan kisah romantisme Rasulullah bersama istrinya Aisyah. Aisyah mengatakan, “Orang-
orang Habasyah masuk ke dalam masjid untuk bermain (latihan berpedang), maka Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku ‘wahai khumaira (panggilan saying untuk
Aisyah), apakah engkau ingin meihat mereka?’, aku menjawab, ‘iya’. Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam lalu berdiri di pintu, lalu aku mendatanginya dan aku letakkan daguku di atas pundaknya
kemudian aku sandarkan wajahku di pipinya. (setelah agak lama) Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam pun bertanya, ‘sudah cukup (engkau melihat mereka bermain)’, aku menjawb, ‘wahai
Rasulullah, jangan terburu-buru’, lalu beliau (tetap) berdiri untukku agar aku bisa terus melihat
mereka. Kemudian ia bertanya lagi, ‘sudah cukup’, aku pun menjawab, ‘wahai Rasulullah,
jangan terburu-buru’. Aisyah berkata, ‘Sebenarnya aku tidak ingin terus melihat mereka bermain,
akan tetapi aku ingin para wanita tahu bagaimana kedudukan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam di sisiku dan kedudukanku di sisi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam”

Lihatlah bagaiaman tawadhu-nya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdiri menemani
Aisyah menyaksikan permainan orang-orang Habasyah, bahkan beliau terus berdiri hingga
memenuhi keinginan Aisyah sebagaimana perkataan Aisyah dalam riwayat yang lain, “Hingga
akulah yang bosan (melihat permainan mereka).”

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak segan-segan memberikan waktunya kepada


istrinya untuk memenuhi keinginan istrinya karena beliau adalah orang yang paling lembut
kepada istri dalam segala hal selama masih dalam perkara-perkara yang mubah.

Renungkanlah kisah yang dituturkan oleh Aisyah berikut ini,

“Kami keluar bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pada saat safar beliau (untuk
melawan kaum Yahudi kabilah bani Mushthaliq), hingga tatkala kami sampai di Al-Baidaa di
Dzatulijaisy kalung milikku terputus maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pun berhenti
untuk mencari kalung tersebut. Orang-orang yang bersamanya pun ikut berhenti mencari kalung
tersebut, padahal mereka tatkala itu tidak dalam keadaan bersuci. Maka orang-orang pun pada
berdatangan menemui Abu bakar Ash-Shiddiq dan berkata, ‘Tidakkah engkau lihat apa yang
telah diperbuat Aisyah? Ia menyebabkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-
orang berhenti padahal mereka tidak dalam keadaan suci (dalam keadaan berwudu). Maka Abu
Bakar menemuiku dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sedang berbaring meletakkan
kepalanya di atas pahaku dan buliau telah tertidur. Lalu ia berkata, ‘engkau telah menyebabkan
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berhenti padahal orang-orang dalam keadaan tidak
bersuci dan mereka tidak memiliki air’. Aisyah berkata, ‘Abu bakar mencelaku dan berkata
dengan perkataannya lalu ia memukul pinggangku dengan tangannya. Dan tidaklah mencegahku
untuk bergerak kecuali karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang tidur di atas
pahaku. Lalu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bangun tatkala subuh dalam keadaan tidak
bersuci lalu Allah turunkan ayat tentang tayammum. Usaid bin Al-Hudhair mengatakan, “Ini
bukanlah awal barokah kalian wahai keluarga Abu bakar.” Aisyah berkata, “Lalu kami pun
bersiap melanjutkan perjalanan, ternyata kalung itu berada di bawah unta yang aku naiki tadi.”

Lihatlah bagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memberhentikan pasukan


perangnya yang sedang berangkat untuk menyerang orang-orang Yahudi hanya untuk mencari
kalung Aisyah yang jatuh. Bahkan disebutkan bahwa kalung Aisyah yang hilang itu nilainya
murah, ada yang mengatakan nilainya hanya dua belas dirham. Apalagi di tengah malam dan
para sahabat dalam keadaan tidak bersuci dan tidak membawa air. Ini semua menunjukkan
bagaimana perhatian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan tawadhu beliau kepada istri-
istrinya.

Sangat disayangkan, sebagian suami sangat pelit terhadap istrinya, bukan hanya pelit terhadap
hartanya, bahkan pelit terhadap waktunya. Seakan-akan waktunya sangat berharga sehingga
tidak pantas untuk dihabiskan bersama istrinya. Sering kita jumpai, ada suami yang tidak sabar
untuk menemani istrinya belanja, jalan-jalan, atau kegiatan-kegiatan santai lainnya.

Sumber: Suami Idaman Istri Pilihan, Firanda, Pustaka Muslim (Dengan penyesuaian bahasa
oleh redaksi kisahmuslim.com)

Read more https://kisahmuslim.com/1777-rasulullah-bersama-istri-istrinya.html


Shafiyyah binti Huyay bin Akh-thab bin Sa’nah bin ‘Ubaid bin Ka’ad bin Khajraj bin Abu Habib
bin An-Nadhir bin An-Nuhham bin Nakhum. Ia berasal dari keturunan Yahudi, dari keturunan
Ya’qub, bahkan memiliki jalur keturunan hingga Harun bin ‘Imran, yang merupakan saudara
Musa ‘alaihis salam.

Ayah Shafiyyah adalah tokoh di kalangan Bani Nadhir dan dibunuh bersama Bani Quraizhah.

Nama ibunya adalah Barrah bin Samaw-al, saudara perempuan dari Rifa’ah bin Samaw-al dari
Bani Quraizhah. Dan tidak diketahui ibunya masuk Islam, bahkan nampak ia mati dalam
keadaan kafir.

Ingin tahu selengkapnya.


Yuk KLIK: https://rumaysho.com/17049-faedah-sirah-nabi-istri-nabi-shafiyyah-binti-huyay.html
Shafiyah binti Huyay, Tamu Agung dari Yahudi Khaibar
Oleh: Raihana Mardhatillah, raihana.mardhatillah03@gmail.com

IA adalah Ummul Mukminin Shafiyah bintiHuyay bin Akhtab bin Sa’yah yang berasal
dari keturunan Lawi bin Isra’il (Nabi Ya’qub) bin Ishaq bin Ibrahim as, dan masih
merupakan keturunan Nabi Harun as (Al-Mishri, 2013, p. 316). Ia lahir pada tahun kedua
dari kenabian Muhammad. Ibunya bernama Barrah binti Samwa’il, saudara perempuan
Rifa’ah bin Samwa’il dari Bani Quraizhah (Sa’ad, 1997, p. 112).Ayahnya merupakan
seorang pemimpin terkemuka Yahudi yang sangat benci terhadap Islam.

Walaupun terlahir dan dibesarkan oleh keturunan Yahudi, namun ia tetap memiliki sifat-sifat
yang baik. Setelah beranjak dewasa, Shafiyah menikah dengan Salam bin Misykam salah
seorang pemimpin Bani Quraizhah. Rumah tangga mereka tidak berlangsung lama. Ia menikah
lagi dengan Kinanah bin Rabi’. Orang inilah yang pernah di usir oleh Rasulullah dari Madinah,
kemudian menetap di Khaibar (Indra, 2005, p. 52).

Ketika terjadi perperangan Khaibar antara umat Islam dengan kelompok Yahudi, Allah Swt
memberi kemenangan kepada kaum muslimin, sehingga seluruh benteng Khaibar dapat dikuasai.
Shafiyah r.a termasuk dalam barisan wanita yang ditawan dan menjadi bagian seorang sahabat
terkemuka, Dihyah Al-Kalbi. Sementara itu, suaminya (Kinanah) dibunuh karena melakukan
pengkhianatan (Al-Mishri, 2013, p. 330).

Selanjutnya, tawanan-tawanan wanita dikumpulkan. Saat itu Dihyah datang kepada Rasulullah
Saw seraya berkata ‘Wahai Rasulullah, berilah aku seorang tawanan wanita.’ Rasulullah Saw
berkata, ‘Silahkan ambil seorang tawanan wanita yang engkau suka.’ Dihyah mengambil
Shafiyah. Tiba-tiba seseorang menghadap Rasulullah Saw dan berkata, ‘Wahai Rasulullah,
apakah engkau memberikan Shafiyyah binti Huyay kepada Dihyah. Shafiyyah adalah putri
pemimpin Quraizhah dan Nadhir, ia hanya pantas untukmu.’ Rasulullah Saw berkata, ‘Suruh
Dihyah membawa Shafiyyah kemari.’ Dihyah pun datang sambil membawa Shafiyyah.
Rasulullah Saw memperhatikan Shafiyyah, lalu berkata kepada Dihyah, ‘Ambillah tawanan
wanita lain.’ Kemudian, Rasulullah Saw menawarkan untuk membebaskannya apabila ia
memilih Allah dan Rasul-Nya. Dia menjawab, “Aku telah memilih Allah dan Rasul-Nya.” Dia
memeluk Islam dan beliau memerdekakannya dan menjadikan kemerdekaanya sebagai bagian
dari maharnya.

Beliau melihat ada bekas berwarna hijau di sekitar mata Shafiyyah, Beliau bertanya, ‘Shafiyyah,
apa warna hijau itu?’ ia menjawab, “Rasulullah, dulu aku pernah menjadi istri Kinanah bin
Rabi’, saat sedang tidur aku bermimpi melihat bulan datang dari Madinah dan jatuh kedalam
kamarku. Aku menceritakan hal itu kepada suamiku. Dia berkata, ‘Engkau ingin menikahi raja
yang datang dari Madinah?’ Dan dia menampar wajahku.” Lalu Shafiyyah menjalani masa iddah
selama satu periode haid. Rasulullah Saw belum meninggalkan Khaibar sampai dia suci dari
haidnya. Kemudian Rasulullah Saw meninggalkan Khaibar tanpa menikahinya.
Kemudian beliau pergi bersama Shafiyyah menaiki unta, ketika sampai di Sahba’ 12 mil dari
Khaibar, Rasulullah Saw berkata kepada Ummu Sulaim, “Temani dan sisiri dia.” Rasulullah
ingin menikahinya disitu (Sa’ad, 1997, p. 113). Lalu Ummu Sulaim mempersiapkan Shafiyyah,
dan menyerahkannya kembali kepada Rasulullah dimalam hari, sehingga paginya Rasulullah
Saw menjadi pengantin. Saat itu beliau berkata, ‘siapa yang mempunyai kelebihan makanan,
hendaknya membawanya kepadaku.’ Beliau menghamparkan kulit kering, lalu datanglah sahabat
membawa keju, ada pula yang membawa kurma, dan ada pula yang membawa minyak samin.
Makanan itu dicampur dan dijadikan hais (makanan yang terbuat dari campuran kurma dan
gandum serta bahan-bahan lainnya).Itulah walimah pernikahan Rasulullah Saw dengan
Shafiyyah.” (Al-Mishri, 2013, p. 333).

Pernikahan Rasulullah Saw dengan Shafiyyah mengandung hikmah yang besar. Beliau menikahi
Shafiyyah bukan lantaran nafsu. Rasulullah Saw menikahinya untuk memuliakan dan
menjaganya, disamping itu, pernikahan ini juga sebagai ikatan antara Nabi Saw dengan Yahudi,
dengan harapan bisa meredakan permusuhan mereka terhadap Islam serta mendorong mereka
untuk bergabung dibawah naungan agama Islam.

Setelah melangsungkan pernikahan, Shafiyyah melanjutkan perjalanan ke Madinah bersama


Rasulullah Saw. Berita gembira kedatangan Rasulullah Saw telah tersebar di Madinah, sehingga
mereka beramai-ramai keluar rumah untuk menyambut kedatangan beliau. Begitu juga dengan
istri-istri Rasulullah menyambut kedatangan beliau dengan riang gembira, walaupun Aisyah r.a
tidak dapat menyembunyikan kecemburuannya saat mendengar kabar pernikahan Rasulullah
Saw dengan Shafiyyah. Bagaimana tidak, Shafiyyah adalah seorang wanita muda yang sangat
cantik dan kala itu masih berusia 17 tahun.

Ketika pasukan muslim tiba di Madinah, Rasulullah Saw tidak membawa Shafiyyah masuk
kedalam salah satu rumah istrinya, dan beliau menginapkannya di rumah seorang sahabat
terdekatnya, Haritsah bin Nu’man Al-Anshari ra (Al-Mishri, 2013, p. 335).Setelah beberapa saat,
Shafiyyah menempati rumah sendiri yang dibuatkan oleh Nabi Saw, Shafiyyah menunjukkan
sifat-sifat baiknya kepada istri-istri Nabi lainnya, karena bagaimana pun, Shafiyyah masih
merasa sangat asing, karena istri-istri Nabi belum bisa melupakan latar belakang keluarganya
yang berasal dari kaum Yahudi.

Anas bin Malik ra berkata, “Shafiyyah pernah mendengar berita bahwa Hafsah menyebutnya,
‘Dia itu anak seorang Yahudi.’ Shafiyyah menangis hingga Rasulullah Saw masuk ke rumahnya.
Rasulullah Saw bertanya, ‘apa yang membuatmu menangis?’ Shafiyyah menjawab, ‘Hafsah
mengejekku dengan mengatakan bahwa aku adalah anak Yahudi.’ Nabi Saw berkata sambil
menghiburnya, ‘Sesungguhnya engkau adalah keturunan Nabi, pamanmu juga nabi dan sekarang
suamimu juga nabi. Apa yang dibanggakan Hafsah atas dirimu?’ Kemudian Rasulullah Saw
menemui Hafsah dan berkata, “Takutlah kepada Allah wahai Hafsah.”

Hal yang serupa juga diterima oleh Shafiyyah dari Zainab binti Jahsyi ra. Ketika itu Rasulullah
Saw pergi menunaikan ibadah haji dengan seluruh istrinya, di tengah perjalanan unta yang
dinaiki Shafiyyah jatuh dan tidak dapat melanjutkan perjalanan, para sahabat yang melihatnya
memberi tahu kejadian itu kepada Rasulullah Saw, sehingga beliau datang dan memutuskan
untuk beristirahat di tempat itu, ketika mau berangkat, Rasulullah Saw berkata kepada Zainab
binti Jahsyi, “Berikanlah salah satu untamu kepada saudaramu ini” karena Zainab memiliki unta
yang banyak, namun Zainab menolak dan berkata “Apakah aku memberi tunggangan kepada
Yahudi itu”. Rasulullah Saw pun marah, sehingga beliau tidak mau berbicara denganZainab
hingga kembali ke Madinah.

Begitulah sikap-sikap istri Rasulullah Saw terhadap Shafiyyah, walaupun demikian, Shafiyyah
tetap berlaku baik dan selalu berbicara jujur serta terbuka. Ia mencintai Rasulullah Saw dengan
sepenuh hati. Inilah yang membuat Shafiyyah menyandang keistimewaan-keistimewaan tertentu
dalam beberapa hal. Disamping itu, Shafiyyah juga berusaha keras menjalankan segala bentuk
ketaatan kepada Allah Swt untuk mengejar ketertinggalannya dari sekian banyak waktu
hidupnya yang terbuang sia-sia. Kedekatannya dengan Nabi mendorongnya untuk banyak belajar
ilmu dan amalan yang berguna untuk menguatkan pemahamannya terhadap agama.

hafiyyah adalah sosok wanita yang pemberani, hal ini terlihat ketika Utsman bin Affan di kepung
oleh orang-orang munafik. Shafiyyah membelanya dengan ucapan dan tindakannya. Kinanah
berkata, ‘Aku membawa Shafiyyah untuk membela dan menolong Utsman.’ Tiba-tiba ia bertemu
dengan Al-Asytar, Al-Asytar langsung memukul wajah keledai Shafiyyah hingga keledai itu
tersungkur. Shafiyyah berkata, ‘Lepaskan aku, jangan sampai orang ini mempermalukan ku.’
Kemudian Shafiyyah memasang kayu dari rumahnya ke rumah Utsman dan mengirimkan
makanan dan minuman untuk keluarga Utsman dengan kayu tersebut (Al-Bankani, 2013, p. 36).

Hari-hari pun berlalu begitu cepat, Shafiyyah hidup bersama Rasulullah Saw dengan penuh
keimanan. Akan tetapi tidak ada yang abadi, hari yang membawa kegelapan kepada seluruh alam
pun tiba, yaitu ketika wafatnya Rasulullah Saw. Shafiyyah sangat terpukul dengan peristiwa ini,
namun ia mencoba untuk tetap sabar dan menyerahkan segalanya kepada Allah Swt.

Pada tahun 50 H, Shafiyyah binti Huyay pun pergi menyusul Rasulullah Saw menghadap Allah
Swt. Ia wafat Pada masa pemerintahan Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Sebagai
penghormatan terakhir, Marwan bin Hakam, orang kepercayaan khalifah menyalati jenazahnya,
kemudian ia dikuburkan di Baqi’, Madinah (Indra, 2005, p. 53). Begitulah akhir hidup Ummul
Mukminin Shafiyyah binti Huyay, Ia meninggal dalam keadaan iman di hatinya dan telah
meNempatkan diri sebagai contoh teladan bagi kaum muslimah lainnya. Semoga Allah Swt
meridhoinya. []

Daftar Pustaka
Abdul Hamid, Muhyidin. 1995. Wanita – Wanita Shalihah dalam Lintas Sejarah Islam. Jakarta :
Pustaka Al- Kautsar.
Al-Bankani, Majid bin Khanjar. 2013. Perempuan – Perempuan Shalihah. Solo : Tiga
Serangkai.
Al-Mishri, Mahmud. 2013. 35 Sirah Shahabiyah. Jakarta : Al-I’tishom Cahaya Umat.
Ash-Shalabi, Ali Muhammad. 2014. Sejarah Lengkap Rasulullah SAW. Jakarta : Pustaka Al-
kautsar.
Indra, Hasbi. 2005. Potret Wanita Shalihah. Jakarta : Penamadani.
Ridha, Muhammad. 2010. Sirah Nabawiyah. Bandung : Irsyad Baitus Salam.
Sa’ad, Ibn. 1997. Purnama Madinah. Bandung : Al-Bayan.
https://books.google.co.id/books?id=lfuvDgAAQBAJ&pg=PA136&lpg=PA136&dq=kinanah+bin+rabi&sou
rce=bl&ots=xp4bZzkjLy&sig=ACfU3U13s-VnVxuVF5pjpWF-
PDLJBQnqiQ&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwjav9DM9qLkAhWBmuYKHSYfBBs4ChDoATADegQICBAB#v=one
page&q=kinanah%20bin%20rabi&f=false
“Shafiyyah Binti Huyay, Ummul Mukminin Keturunan Yahudi”

(Oleh: Siti Mahdya Wardah – KAIFA Fakultas Ilmu Administrasi UI )

Bagi sebagian orang, nama Shafiyyah binti Huyay masih terdengar asing dalam sejarah islam.
Namun, tahukah kamu bahwa Shafiyyah binti Huyay adalah salah satu Ummul Mukminin, istri
Rasulullah SAW yang berasal dari keturunan pemuka Yahudi?

Ia dilahirkan sebelas tahun sebelum hijriah atau dua tahun setelah kenabian Rasulullah SAW.
Ibunya bernama Barrah binti Samaual dari Bani Quraizhah, sedangkan ayahnya Huyay bin
Akhtab, seorang pimpinan Yahudi terpandang dari kalangan Bani Nadhir.

Sejak masih muda, Shafiyah sudah gemar akan ilmu pengetahuan. Ia banyak mempelajari tentang
sejarah Yahudi hingga menemukan fakta dalam kitab Taurat bahwa kelak akan datang seseorang
nabi penyempurna agama samawi yang datang dari jazirah Arab. Meskipun mengetahui bahwa
Muhammad adalah seseorang yang dimaksud dalam kitab Taurat tersebut, Huyay bin Akhtab
beserta kaumnya masih mengingkari dan mendustakan akan kenabian karena faktor kedengkian
dan iri hati. Mereka juga menyembunyikan fakta kenabian itu dari Shafiyyah, meskipun Shafiyyah
akhirnya mengetahui bahwa Rasulullah berada dalam jalan yang benar.

Kebencian Huyay bin Akhtab dan kaumnya terhadap Rasulullah dibuktikan dengan diingkarinya
perjanjian Hudaibiyah serta menghasut kaum Quraisy untuk menyerang kaum muslimin. Atas izin
Allah, Rasulullah kemudian memutuskan untuk melakukan penyerangan terlebih dahulu di lembah
Khaibar. Peperangan yang memenangkan kaum muslimin ini kemudian banyak mengakibatkan
laki-laki Yahudi yang mati terbunuh, termasuk Huyay dan saudaranya. Sementara perempuan dan
anak-anak yang masih hidup dijadikan sebagai tawanan. Shafiyyah adalah salah satu di antara
mereka yang kini tinggal sebatang kara.

Rasulullah kemudian memberikan pilihan kepada Shafiyyah, apakah ia ingin dimerdekakan dan
dikembalikan kepada kaumnya, atau ingin masuk Islam kemudian dinikahkan oleh Rasulullah.
Dengan tegas Shafiyyah menjawab, “Ya Rasulullah, aku telah menyukai Islam dan
membenarkanmu sebelum engkau mendakwahiku. Aku tidak meyakini agama Yahudi. Orangtua
dan saudara-saudaraku pun telah tiada. Allah dan Rasul-Nya lebih aku sukai dari pada
dibebaskan untuk kembali pada kaumku.” Rasulullah pun kemudian menikahi Shafiyyah dengan
mahar berupa kebebasannya.

Kehadiran Shafiyyah sebagai istri Nabi yang merupakan keturunan Yahudi, sempat menjadi alasan
bagi para sahabat tidak menyukainya. Shafiyyah pun pernah menangis karena hal tersebut dan
Rasulullah menghiburnya dengan jawaban, “Mengapa tidak kau katakan, bahwa aku lebih baik
dari kamu. Ayahku Harun, pamanku Musa, dan suamiku Muhammad SAW?”

Menurut Al-Hafizh Abu Nu’aim, Shafiyyah dikenal sebagai orang yang bertakwa, bersih, dan
matanya selalu basah karena menangis. Ibnu Katsir juga turut menuturkan bahwa Shafiyyah adalah
seseorang yang sangat menonjol dalam ibadah, kezuhudan, kebaikan, dan shadaqah. Ia juga
merupakan istri dari Rasulullah yang sangat tulus dan penuh kejujuran. Selepas kepergian
Rasulullah, ia semakin menunjukkan ketakwaan kepada Allah SWT hingga ajal menjemputnya
pada tahun 50 Hijriah atau sekitar 40 tahun setelah Rasulullah wafat.

Dalam paparan singkat mengenai keteladanan Shafiyyah binti Huyay, dapat diambil hikmah
bahwa menjadi muslimah sejatinya ialah menjadi pembelajar yang baik. Terus menggali ilmu
pengetahuan dan menyeimbangkan dengan amalan akhirat merupakan sebuah pencapaian yang
sangat bernilai tanpa perlu menyombongkan diri. Jika Shafiyyah yang pada masanya dapat dipuji
sebagai wanita yang sangat cerdas oleh Ibnu Al-Atsir dan An-Nawawi, pada era globalisasi
sekarang ini, di mana arus informasi sangat mudah diterima, sudah seharusnya kita sebagai
muslimah dapat lebih memperkaya diri dengan ilmu pengetahuan yang didapat dan terus meng-
upgrade diri dari segi keimanan dan ketakwaan.

Sumber:

http://www.muslimahdaily.com/story/hikmah/item/499-shafiyyah-binti-huyay-istri-rasulullah,-
putri-pemuka-yahudi.html

https://muslimah.or.id/5328-shafiyah-binti-huyay-ummul-mukminin-yang-cerdas.html

http://www.ummi-online.com/shafiyah-binti-huyai-bin-akhtab–ummul-mukminin-dari-kalangan-
yahudi.html

https://www.dakwatuna.com/2010/06/18/6389/wanita-wanita-pengukir-sejarah-bagian-ke-9-
shafiyah-binti-huyay/#axzz4rEyxtbEV

Anda mungkin juga menyukai