Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. membuka lembaran kehidupan rumah
tangganya dengan Aisyah yang telah banyak dikenal. Aisyah laksana lautan luas
dalam kedalaman ilmu dan takwa. Di kalangan wanita, dialah sosok yang banyak
menghafal hadits-hadits Nabi, dan di antara istri-istri Nabi, dia memiliki
keistimewaan yang tidak dimiliki istri Nabi yang lain. Ayahnya adalah sahabat
dekat Rasulullah yang menemani beliau hijrah. Berbeda dengan istri Nabi yang
lain, kedua orang tua Aisyah melakukan hijrah bersama Rasulullah.
Ketika wahyu datang kepada Rasulullah, Jibril membawa kabar bahwa Aisyah
adalah istrinya di dunia dan akhirat, sebagaimana diterangkan di dalam hadits
riwayat Tirmidzi dari Aisyah :

‘Jibril datang membawa gambarnya pada sepotong sutera hijau kepada Nabi
Shallallahu alaihi wassalam., lalu berkata, ini adalah istrimu di dunia dan akhirat.”

Dialah yang menjadi sebab atas turunnya firman Allah yang menerangkan
kesuciannya dan membebaskannya dari fitnah orang-orang munafik.
BAB II
PEMBAHASAN
2. Aisyah Binti Abu Bakar
2.1 Nasab dan Masa Kecil Aisyah
Siti Aisyah memiliki gelar ash-Shiddiqah, sering dipanggil dengan Ummu
Mukminin, dan nama keluarganya adalah Ummu Abdullah. Kadang-kadang ia
juga dijuluki Humaira’. Namun Rasulullah sering memanggilnya Binti ash-Shiddiq.
Ayah Aisyah bernama Abdullah, dijuluki dengan Abu Bakar. Ia terkenal dengan
gelar ash-Shiddiq. Ibunya bernama Ummu Ruman. Ia berasal dari suku Quraisy
kabilah Taimi di pihak ayahnya dan dari kabilah Kinanah di pihak ibu.
Siti Aisyah lahir pada bulan Syawal tahun ke-9 sebelum hijrah, bertepatan
dengan bulan Juli tahun 614 Masehi, yaitu akhir tahun ke-5 kenabian. Kala itu,
tidak ada satu keluarga muslim pun yang menyamai keluarga Abu Bakar ash-
Shiddiq dalam hal jihad dan pengorbanannya demi penyebaran agama Islam.
Rumah Abu Bakar saat itu menjadi tempat yang penuh berkah, tempat makna
tertinggi kemuliaan, kebahagiaan, kehormatan, dan kesucian, dimana cahaya
mentari Islam pertama terpancar dengan terang.
2.2 Pernikahan yang penuh Berkah
Dialah ‘Aisyah binti Abu Bakar ash Shidiq bin Abu Quhafah. Tidak lama setelah
Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau mengutus orangnya agar menjemput
‘Aisyah dan istrinya untuk hijrah ke Madinah. Sebelumnya Rasulullah telah
bertunangan dengan ‘Aisyah di Mekkah. Setibanya diMadinah, Abu Bakar
mengingatkan Rasulullah untuk segera menikahi ‘Aisyah di tengah kesibukan
beliau menjalankan misi Islam. Rasulullah pun kemudian menikahi Aisyah
dengan mas kawin 500 dirham. Wanita keturunan suku Quraisy ini menikah
dengan Rasulullah Saw di Mekah pada usia enam tahun. Ada yang mengatakan,
pada usia tujuh tahun. Dan baru digauli oleh Rasulullah di Madinah ketika ia
berusia Sembilan tahun, tapi ada yang mengatakan sepuluh tahun. Dengan
kehadiran ‘Aisyah, kekosongan hati Rasulullah setelah ditinggal wafat oleh
Khadijah, berhasil digantikan oleh ‘Aisyah. Kecintaan Rasul kepada ‘Aisyah
membuat para istri Nabi yang lain ada cemburu.[1]
Disebutkan dalam hadist Bukhari dari Irak :

Artinya :
Nabi Saw telah meminang Aisyah kepada ayahnya,Abu Bakar Sidik. Jawab Abu
Bakar : Engkau kan saudaraku ?’’ Sahut Nabi ; Engkau saudaraku dalam
seagama yaitu agama Allah dan Kitab-Nya, sedangkan Aisyah halal bagiku.
Adapun cara perkawinannya disebutkan dalam sebuah hadist Bukhari dan
Muslim dari Aisyah sendiri :
Artinya :
Cara aku dikawini oleh Nabi , waktu itu aku sedang bermain buai-buaian dengan
teman-temanku, lalu datanglah Ibuku. Apa maksudnya, aku pun tak tahu.
Tanganku diambilnya lalu aku dibawanya msuk rumah. Setelah sampai dimuka
pintu, laku aku pun berdiri, kiranya perempuan-perempuan Anshor (perempuan
Madinah) telah banyak dalam rumahku. Serentak mereka melihatku, mereka pun
membacakan do’a bahagia berkat keberuntungan dan kebahagiaan. Lalu aku
diserahkan oleh ibuku untuk didandani dan dihias. Maka setelah sedikir malam
hanya tinggallah Nabi yang menjagaku dan menemaniku, lalu aku diserahkan
kepadanya, sedang umurku baru 9 tahun.
2.3 Isteri Kecintaan Rasulullah
Beliaulah istri yang paling dicintai olah Rasulullah Saw diantara istri-istrinya yang
lain. Dia biasa dipanggil dengan panggilan Ummu Abdullah, mengambil nama
keponakannya yaitu anak Asma’, adik perempuannya.
‘Aisyah adalah istri kecintaan Rasulullah, sehngga dalam sebuah hadis
digambarkan ; ‘’’Cinta pertama yang terjadi di dalam Islam adalah cintanya
Rasulullah kepada ‘Aisyah’’.(HR.Anas Bin Malik). Saat Rasul ditanya oleh Amru
Bin Ash, ‘’Siapakah manusia yang paling engkau cintai ?’’ Nabi menjawab, ‘’
‘Aisyah ! Sedangkan dari kalangan laki-laki, Nabi menjawab, Ayahnya (Abu
Bakar) !’’ (Mutafaqun Alaih).
Diantara istri-istri Nabi, Aisyah yang termuda, cantik belia sehingga apabila Nabi
memanggilnya, bukan namaya yang disebut tapi panggilan julukan
kesayanganlah yang terdengar, ialah dengan kata-kata ‘’Humaira’’, artinya bunga
ros yang kemerah-merahan. Mukanya yang merah cerah itu bukan karena diberi
alat-alat kecantikan, sekali-kali tidak, apalagi dizaman dahulu alat-alat itu belum
ada. Kecantikan Aisyah adalah kecantikan asli yang bertahtakan budi pekerti
yang luhur dihiasi dengan ilmu agama, pandai menghibur hati suami , dan
menjaga diri dan rumah-tangga. Otaknya cerdas menangkap pelajaran-pelajaran
yang disampaikan oleh Nabi dan kepada kawan-kawannya sesame wanita.
Kepandaiannya diakui oleh orang-orang cerdik pandai waktu itu.[2]
2.4 Aisyah Berhati-hati Menjaga Kesuciannya dan Kehormatannya.
Pada suatu hari bertandanglah kerumahnya, pamannyanya sesusuan, yaitu
saudara ayahnya yang satu susuan (yang sama –sama menyusu kepada
seorang Ibu) bukan ‘pamannya yang bersaudara kandung dengan ayahnya.
Orang laki-laki itu ingin bertemu dengan ‘Aisyah.
Atas kedatangan pamannya itu dirundingkan dengan Nabi, apkaah boleh ia
bertemu dengan pamannya itu . ujar Nabi, ‘’Terimalah dia hai Aisyah, bukankah
itu paman kamu sendiri’’. Mendengar itu barulah beliau menerima pamannya itu
untuk menemuinya sendiri.
Demikainlah berhati-hatinya Aisyah menjaga kehormatan dirinya, sedang
menerima pamannya itu masih ragu-ragu hatinya. Apalagi yang lain bukan
muhrimnya.
Sifat yang baik ini harus dipunyai oleh setiap muslimin dan inilah yang akan
mengamnakan rumah-tanggan dan akan membuat hati suami percaya kepada
istrinya.
Tetapi jika seorang istri, tidak pandai menjaga yang demikian, bakan memberi
kesempatan kepada semua laki-laki masuk rumahnya dengan tak seizing
suaminya, tentu inilah yang akan memberikan akibat yang tak baik yang akan
membawa berantakan rumah tangga yang diakhiri dengan perceraian,
perpecahan dan pembunuhan.[3]
Mengapa isteri Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam yang lain tidak pergi bersama
Aisyah ?
Ummahatul Mukminin yang masih hidup ketika Aisyah pergi ialah Ummu
Salmaah, Hafsah, Juwairiyah, Ummu Habibah, Shafiyah dan Ummu Salamah.
Usia Ummu Salamah berkisar enam puluh tahun. Sedangkan usia Hafsah saat
itu lima puluh tiga tahun, Usia Ummu Habibah enam puluh delapan tahun, usia
Maimunah berkisar antara empat puluh Sembilan hingga enam puluh lima tahun
dan usia Aisyah empat puluh tiga tahun, yang berarti dialah orang yang paling
muda diantara Ummahatul Mukminin yang lain, sehingga usia mereka yang lebih
tua menjadi kendala tersendiri untuk memuntaskan masalha ini. Kelayakan untuk
melaksanakan rekonsiliasi diantara orang-orang Muslim ini ada pada diri Aisyah,
baik ditilik dari usia, pengetahuan, kemampuan dan kedudukannya. Sebab
Aisyah adalah orang yang paling tahu dintara Ummahatul Mukminin tentang ijma’
Jumhur Muslimin. [4]
Kelayakan pada diri Aisyah yang tidak dapat disamakan dengan Ummahtaul
Mukminin yang lain, bukan berarti menodai kedudukan mereka. Kepergian
Ummahatul Mukmini ke Madinah pada awal mulanya, lalu kepergian mereka
yang kedua kalinya sambil mengucapakn salam perpisahan kepad Aisyah ketika
dia ke Bashrah, merupakan salah satu makan sugesti yang mereka berikan
kepada Aisyah. Namun begitu, tidak ada satu kajian ilmiah pun sebelum ini yang
mmeperhatikan masalah ini.[5]
Inilah yang diungkapkan Aisyah kepada dua orang utusan Utsman bin Hanif,
gubernur Ali di Bashrah, ketika keduanya bertanya kepada Aisyah, ‘’Gubernur
kami mengutus kami untuk menanyakan kepergian engkau , Maka apakah
engkau sudi memberitahukannya kepada kami ?’’
Aisyah menjawab, Demi Allah, orang sepertiku tidak mungkin mengadakan
perjalanan untuk suatu urusan yang ditutup-tutupi dan menyembunyikannya.
Para perusuh telah melanggar tanah yang disucikan Raulullah Saw dan
menimbulkan banyak peristiwa disana. Mereka mmebuhun pemimpin orang-
orang Muslim tanpa ada alasan.
Kepergian ke Bashrah dan kemarahan para sahabat, tidak sederhana yang ada
dalam benak manusia, sebagia sebuah tuntutan pembalasan. Maka
pelanggaran terhadap khilafah ini, yang tidak didasarkan kepada alasan yang
benar,merupakan pelanggaran terhadap pembuat syari’at, melecehkan
kekuasaannya dan mengabaikan tatanan kehidupan orang-orang Muslim.[6]
2.4 KESETIAAN AISYAH KEPADA RASULULLAH SAW
Ketika Rasulullah sakit menjelang ajalnya, ‘Aisyah merawat Rasulullah hingga
akhir hayatnya. ‘Aisyah menggambarkan detik-detik terakhir bersama Rasulullah
Saw , Bagi Aisyah, menetapnya Rasulullah selama sakit di kamarnya merupakan
kehormatan yang sangat besar karena dia dapat merawat beliau hingga akhir
hayat. Rasulullah SAW dikuburkan di kamar Aisyah, tepat di tempat beliau wafat.
‘’Sungguh merupakan nikmat Allah bagiku Rasulullah wafat dirumahku,Allah
telah mneyatukan ludahku dan ludah beliau. Menjelang wafat.Abdurrahman
menemuiku ditangannya tergenggam siwak, semenatra aku menyandarkan
beliau aku melihat beliau melihat kea rah Abdurrahman aku segera menyadari
bahwa beliau menyukai siwak. Aku berbisik kepada beliau, bolehkah aku
haluskan siwak untukmu ? Beliau memberi isyarat setuju dengan gerakan
kepala, kemudian beliau menyuruhku menghentikan menghasluskan siwak
sementara ditangan beliau ada bejana berisi air. Beliau memasukkan kedua
tangannya dan mengusapkannya kewajahnya seraya berkata ; Laa ilahaillallohu .
. . , setiap kematina mengalami sekarat (beliau mengangkat tangannya) pada
Allah maha tinggi, beliau menggenggam tangan dan perlahan lahan tangan
beliau menggengan tangan dan perlahan-lahan tangan beliau jatuh kebawah’’.
(HR. Muttafaqun ‘Alaih ).
2.5 Keistimewaan dan keutamaan Aisyah
Banyak sekali keutamaan yang dimiliki oleh Ibunda Aisyah, sampai-sampai
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan dalam sabdanya:
“Orang yang mulia dari kalangan laki-laki banyak, namun yang mulia dari
kalangan wanita hanyalah Maryam binti Imron dan Asiyah istri Fir’aun, dan
keutamaan Aisyah atas semua wanita seperti keutamaan tsarid atas segala
makanan.” (HR. Bukhari (5/2067) dan Muslim (2431)
Beberapa kemuliaan itu di antaranya:[7]
Pertama: Beliau adalah satu-satunya istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
dinikahi tatkala gadis, berbeda dengan istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang lain karena mereka dinikahi tatkala janda.
Aisyah sendiri pernah mengatakan, “Aku telah diberi sembilan perkara yang tidak
diberikan kepada seorang pun setelah Maryam. Jibril telah menunjukkan
gambarku tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintah untuk
menikahiku, beliau menikahiku tatkala aku masih gadis dan tidaklah beliau
menikahi seorang gadis kecuali diriku, beliau meninggal dunia sedang kepalanya
berada dalam dekapanku serta beliau dikuburkan di rumahku, para malaikat
menaungi rumahku, Al-Quran turun sedang aku dan beliau berada dalam satu
selimut, aku adalah putri kekasih dan sahabat terdekatnhya, pembelaan
kesucianku turun dari atas langit, aku dilhairkan dari dua orang tua yang baik,
aku dijanjikan dengna ampunan dan rezeki yang mulia.” (Lihat al-Hujjah Fi Bayan
Mahajjah (2/398))
Kedua: Beliau adalah orang yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dari kalangan wanita.
Suatu ketika Amr bin al-Ash bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling engkau cintai?” Beliau
menjawab, “Aisyah.” “Dari kalangan laki-laki?” tanya Amr. Beliau menjawab,
“Bapaknya.” (HR. Bukhari (3662) dan Muslim (2384))
Maka pantaskah kita membenci apalagi mencela orang yang paling dicintai oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?!! Mencela Aisyah berarti mencela,
menyakiti hati, dan mencoreng kehormatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Na’udzubillah.
Ketiga: Aisyah adalah wanita yang paling alim daripada wanita lainnya.
Berkata az-Zuhri, “Apabila ilmu Aisyah dikumpulkan dengna ilmu seluruh para
wanita lain, maka ilmu Aisyah lebih utama.” (Lihat Al-Mustadrak Imam Hakim
(4/11))
Berkata Atha’, “Aisyah adalah wanita yang paling faqih dan pendapat-
pendapatnya adalah pendapat yang paling membawa kemaslahatan untuk
umum.” (Lihat al-Mustadrok Imam Hakim (4/11))
Berkata Ibnu Abdil Barr, “Aisyah adalah satu-satunya wanita di zamannya yang
memiliki kelebihan dalam tiga bidang ilmu: ilmu fiqih, ilmu kesehetan, dan ilmu
syair.”
Keempat: Para pembesar sahabat apabila menjumpai ketidakpahaman dalam
masalah agama, maka mereka datang kepada Aisyah dan menanyakannya
hingga Aisyah menyebutkan jawabannya.
Berkata Abu Musa al-Asy’ari, “Tidaklah kami kebingungan tentang suatu hadits
lalu kami bertanya kepada Aisyah, kecuali kami mendapatkan jawaban dari
sisinya.” (Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi (3044))
Kelima: Tatkala istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi pilihan untuk
tetap bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengna kehidupan apa adanya,
atau diceraikan dan akan mendapatkan dunia, maka Aisyah adalah orang
pertama yang menyatakan tetap bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bagaimanapun kondisi beliau sehingga istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang lain mengikuti pilihan-pilihannya.
Keenam: Syari’at tayammum disyari’atkan karena sebab beliau, yaitu tatkala
manusia mencarikan kalungnya yang hilang di suatu tempat hingga datang waktu
Shalat namun mereka tidak menjumpai air hingga disyari’atkanlah tayammum.
Berkata Usaid bin Khudair, “Itu adalah awal keberkahan bagi kalian wahai
keluarga Abu Bakr.” (HR. Bukhari (334)).
Ketujuh: Aisyah adalah wanita yang dibela kesuciannya dari langit ketujuh.
Prahara tuduhan zina yang dilontarkan orang-orang munafik untuk menjatuhkan
martabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat istri beliau telah tumbang
dengan turunnya 16 ayat secara berurutan yang akan senantiasa dibaca hingga
hari kiamat. Allah Subhanahu wa Ta’ala mempersaksikan kesucian Aisyah dan
menjanjikannya dengan ampunan dan rezeki yang baik.
Namun, karena ketawadhu’annya (kerendahan hatinya), Aisyah mengatakan,
“Sesungguhnya perkara yang menimpaku atas diriku itu lebih hina bila sampai
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tetnangku melalui wahyu yang akan
senantiasa dibaca.” (HR. Bukhari (4141))
Oleh karenanya, apabila Masruq meriwayatkan hadits dari Aisyah, beliau selalu
mengatakan, “Telah bercerita kepadaku Shiddiqoh binti Shiddiq, wanita yang suci
dan disucikan.”
Kedelapan: Barang siapa yang menuduh beliau telah berzina maka dia kafir,
karena Al-Quran telah turun dan menyucikan dirinya, berbeda dengan istri-istri
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain.
Kesembilan: Dengan sebab beliau Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyari’atkan
hukuman cambuk bagi orang yang menuduh wanita muhShanat (yang menjaga
diri) berzina, tanpa bukti yang dibenarkan syari’at.
Kesepuluh: Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit, Beliau memilih
tinggal di rumah Aisyah dan akhirnya Beliau pun meninggal dunia dalam dekapan
Aisyah.
Berkata Abu Wafa’ Ibnu Aqil, “Lihatlah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam memilih untuk tinggal di rumah Aisyah tatkala sakit dan memilih
bapaknya (Abu Bakr) untuk menggantikannya mengimami manusia, namun
mengapa keutamaan agung semacam ini bisa terlupakan oleh hati orang-orang
Rafidhah padahal hampir-hampir saja keutamaan ini tidak luput sampaipun oleh
binatang, bagaimana dengan mereka…?!!”
Aisyah meninggal dunia di Madinah malam selasa tanggal 17 Ramadhan 57 H,
pada masa pemerintahan Muawiyah, di usianya yang ke 65 tahun, setelah
berwasiat untuk dishalati oleh Abu Hurairah dan dikuburkan di pekuburan Baqi
pada malam itu juga. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai Aisyah dan
menempatkan beliau pada kedudukan yang tinggi di sisi Rabb-Nya. Aamiin.
Sayidina Ali juga memuji istri Nabi Muhammad ini dengan ucapannya, ‘’Jika
seorang wanita bisa menjadi khalifah maka dia adalah ‘Aisyah’’. Dalam
beberapa riwayat dijelaskan tentang keutamaan ‘Aisyah, yaitu mahir dalam
menggubah syair.
Karena kecerdasannya, Abu Musa Al-Asya’ari berkat, ‘Jika para sahabat
Rasulullah menghadap kesulitan tentang suatu hadits, maka kami bertanya
kepada ‘Aisyah dan pasti menemukan pemecahannya’’. Bahkan al-Hakim
menegaskan, ‘’Seperempat dari hokum syariat adalah dinukilkan dari ucapan
‘Aisyah’’.
Berkata Urwah bin Zuber, ‘’Aku pernah melihat Aisyah besedekah 70.000 dirham
untuk fisabilillah sedang waktu itu ia memakai pakaiann yang sudah using (lama
benar). Akupun mengetahui pula ketika beliau diberi Muaiyah kalung emas yang
sangat berharga. Barang ini pun disedekahkannya pula kepada yang lainnya.
Begitu pula ketika ia mempunyai uang 1180 dirham (pemberian orang), maka
sampai petang harinya kerjanya membagi-bagikan uang itu kepada fakir miskin
sehingga habis.
Waktu itu dia sedang berpuasa, dan setelah datang waktu berbuka berkatalah
dia kepada sahayanya : Marilah kita berbuka. Maka berbukalah mereka dengan
sepotong roti dengan minyak zaitun. Ketika itu berkata Ummu Darah kepadanya :
Kenapakah engkau tidak membelikan kami sepotong daging dengan uang satu
dirham saja ?
Jawab beliau :

Artinya :
‘’Janganlah aku disesali, jika dari tadi engkau ingatkan kepadaku, niscaya aku
perbuat (belikan).’’
Di waktu pemerintahan Umar bin Khattab r.a. dimana waktu itu Umar mendirikan
Baitul Mal (kas negeri) dan semua isteri Nabi beroleh bahagian pada tiap-tiap
bulan dan Aisyah sendiri mendapat bahagian 12.000 dirham. Kesemuanya
uangnya itu dibelanjakannya untuk fakir miskin, keperluan umum, fisabilillah
semata-mata.
2.7 Mutiara Teladan[8]
Beberapa teladan yang telah dicontohkan Aisyah kepada kita di antaranya:
Perlakuan baik seorang istri dapat membekas pada diri suami dan hal itu menjadi
kebanggaan tersendiri bagi seorang suami yang akan selalu ia kenang hingga
ajal menjemputnya.
Hendaklah para wanita menjaga mahkota dan kesuciannya, karena kecantikan
dan keelokan itu adalah amanah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang harus
senantiasa ia jaga dan tidaklah boleh dia peruntukkan kecuali kepada yang
berhak atasnya.
Hendaklah para istri mereka belajar dan mencontoh keShalihan suaminya. Istri,
pada hakikatnya adalah pemimpin yang di tangannya ada tanggung jawab besar
tentang pendidikan anak dan akhlaknya, karena ibu adalah madrasah pertama
bagi anak-anaknya.
Wallahu A’lam.
2.8 Wafatnya Aisyah
Dalam hidupnya yang penuh dengan jihad, Sayyidah Aisyah wafat pada usia 66
th, bertepatan dengan bulan Ramadhan,th ke-58 H, dan dikuburkan di Baqi`.
Kehidupan Aisyah penuh dengan kemuliaan, kezuhudan, ketawadhuan,
pengabdian sepenuhnya kepada Rasulullah SAW, selalu beribadah serta
senantiasa melaksanakan shalat malam. Selain itu, Aisyah banyak mengeluarkan
sedekah sehingga didalam rumahnya tidak akan ditemukan uang satu dirham
atau satu dinar pun. Dimana sabda Rasul, “Berjaga dirilah engkau dari api
neraka walaupun hanya dengan sebiji kurma.” (HR. Ahmad ) Dari Abdullah bin
Qais, Imam Ahmad menceritakan, “Aisyah berkata, ‘Janganlah engkau tinggalkan
shalat malam, karena sesungguhnya Rasulullah tidak pernah meninggalkannya.
Jika beliau sakit atau sedang malas, beliau melakukannya sambil duduk.” Aisyah
memiliki kebiasaan untuk memperpanjang shalat, sebagaimana diriwayatkan
oleh Ahmad dan Abdullah bin Abu Musa, “Mudrik atau Ibnu Mudrik mengutusku
kepada Aisyah untuk menanyakan segala urusan. Aku tiba ketika dia sedang
shalat dhuha, lalu aku duduk sampai dia selesai melaksanakan shalat.
Berkata, ‘Sabar-sabarlah kau menunggunya.” Aisyah pun senantiasa
memperbanyak doa, sangat takut kepada Allah, dan banyak berpuasa sekalipun
cuaca sedang sangat panas. Di dalam Musnad-nya, Ahmad berkata,
“Abdurrahman bin Abu Bakar menemui Aisyah pada hari Arafah yang ketika itu
sedang berpuasa sehingga air yang dia bawa disiramkan kepada Aisyah.
Abdurrahman berkata, ‘Berbukalah.’ Aisyah menjawab, ‘Bagaimana aku akan
berbuka sementara aku mendengar Rasulullah telah bersabda, ‘Sesungguhnya
puasa pada hari Arafah akan menebus dosa-dosa tahun sebelumnya.”[9]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Aisyah Ummul Mukminin merupakan ikon yang sangat wajar untuk di contohi
terutamanya dalam bidang ilmu pengetahuan. Kefaqihannya dan kegigihannya
dalam menyebarkan ilmu dan membangunkan ummat Islam bukan untuk
disimpan dalam tirai sejarah.
Kehidupan Aisyah penuh dengan kemuliaan, kezuhudan, ketawadhuan,
pengabdian sepenuhnya kepada Rasulullah SAW, selalu beribadah serta
senantiasa melaksanakan shalat malam. Selain itu, Aisyah banyak mengeluarkan
sedekah sehingga didalam rumahnya tidak akan ditemukan uang satu dirham
atau satu dinar pun.
3.2 Saran
Kami selaku pemakalah mohon maaf atas segala kekurangan yangterdapat
dalam makalah ini, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dansaran dari
teman-teman semua agar makalah ini dapat dibuat dengan lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Ar-Rawi,Umar Ahmad (2006).Wanita-wanita Sekitar Rasulullah. Media Eka
Sarana
http://yuzrunjokam.wordpress.com/kisah-siti-aisyah-binti-abu-bakar-r-a-isteri-
kesayangan-nabi-muhammad-s-a-w/
Salim,H.Hadiyah (1990).Wanita Islam Kepribadian Dan Perjuangannya. Remaja
Rosdakarya,Bandung
http://kisahmuslim.com/kemuliaan-dan-keutamaan-aisyah/
http://www.republika.co.id
Indra,Hasbi.Ahza,Iskandar dan Husnaini (2004). Potret wanita shalehah.
Penamadani,Jakarta
Ar-Rawi,Umar Ahmad (2006).Wanita-wanita Sekitar Rasulullah. Media Eka
Sarana

Anda mungkin juga menyukai