Anda di halaman 1dari 11

KAJIAN TOKOH-TOKOH INSPIRATIF MUSLIM

“Aisyah Binti Abu Bakar r.a”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas UAS Agama Islam

Oleh :

Fridamytha Yasmine

213140714111202

Dosen Pengampu :

Dr. M. Mukhlis Fahruddin, M.S.I

FAKULTAS PENDIDIKAN VOKASI

BIDANG MINAT DIGITAL & E-COMMERCE

UNIVERSITAS BRAWJIAYA

2021/2022
BAB I

LATAR BELAKANG

Peradaban dan generasi seiring bertambahnya zaman, selalu mengalami


perubahan. Tak bisa dipungkiri, setiap ajaran dan sirah para nabi seakan-akan termakan
oleh teknologi. Tak jarang manusia terlena akan kehidupan dunia yang hanya bersifat
sementara ini. Bagi sebagian orang, mereka menganggap adal perbedaan tingkatan kasta
gender untuk menjadi seorang pemimpin. Dimana presepsi yang beredar dimasyarakat
adalah laki-laki yang harus menjadi tuntunan atau pemimpin bagi manusia. Sosok
perempuan dianggap sebagai sosok yang lemah dan selalu berhubungan dengan urusan
dapur, sumur, dan kasur. Perempuan dianggap sebagai sosok yang dapat mengurus
anaknya dengan baik, mendidik anaknya, merawat rumah, dan lain sebagainya. Namun
islam mematahkan presepsi itu semua.
Sejak zaman 614 M, telah banyak sosok perempuan hebat yang lahir ke dunia ini.
Mereka bak penerang di jalan yang buntu dan gelap. Sejarah mencatat bahwa Islam banyak
melahirkan tokoh-tokoh inspiratif yang memiliki peran penting dala perkembangan Islam.
Bahkan para perempuan di zaman Nabi SAW dan para sahabat nabi juga memiliki posisi
yang sangat menopang perkembangan zaman. Diantara banyak tokoh muslimah yang
terkenal dengan kejeniusannya dan kemurahan hatinya adalah “Aisyah Binti Abu Bakar r.a”.
Aisyah tidak hanya menjadi sosok yang menginspirasi, namun dia juga dikatakan sebagai
seorang tokoh muslimah yang melampaui zamannya.
Kesederhanaan dan kesabaran Aisyah yang didapat dari Rasulullah, melekat sangat
jelas pada diri Aisyah r.a. Maka dari tiu, tidak heran apabila kita melihat Aisyah sebagai
sosok yang tumbuh dengan tangguh, qana`ah, zuhud, dan lain sebagainya. Diharapkan
dengan adanya makalah ini, para kaum muslim, terutama muslimah dapat mengambil
hikmah dan pelajaran dari deskripsi/gambaran terhadap perjalanan hidup Aisyah. Tidak
hanya itu riwayat-riwayat sahabat dan Tabi`in juga banya memberikan kesaksian hidup
umm al-mu`mininn Aisyah r.a. sehingga kita menjadi lebih bisa meneladani riwayat hidup
Aisyah r.a dengan lebih spesifik.
BAB II
PEMBAHASAN

Dari berbagai kajian yang telah diperoleh tentang Aisyah r.a ada banyak sekali kisah
yang dapat kita petik. Ketaqwaan dan kesederhanaan Aisyah saat tinggal bersama
Rasulullah membuat kita semakin harus merasa bersyukur. Sebagai umat nabi Muhammad,
ada baiknya kita juga mempelajari sirah-sirah tentang Aisyah r.a.
a. Kelahiran Aisyah
Āisyah lahir di Mekah pada bulan Syawal tahun kesembilan sebelum hijrah,3
bertepatan pada bulan Juli tahun 614 M. yaitu akhir tahun kelima setelah Nabi Muhammad
SAW diangkat menjadi Rasul. ‘Āisyah r.a. adalah istri ketiga Rasulullah SAW. Ia terlahir dari
pasangan suami istri yang mulia, ayahnya adalah sahabat Rasulullah SAW yang sangat
dicintainya, yaitu Abu Bakar al-Ṣiddīq. Ibunya bernama Ummu Ruman. Nama lengkapnya
‘Āisyah binti Abu Bakar al-Ṣiddīq bin Abu Quḥāfah ‘Uthmān bin ‘Āmir bin ‘Amr bin Ka‘ab bin
Sa’d bin Tayim bin Murrah bin Ka’b. Sedangkan dari ibunya ‘Āisyah binti Ummu Rūmān binti
‘Umair bin Dahman bin al-Ḥarith bin Ghānim bin Malik bin Kinānah. Sebelum dinikahi oleh
Abu Bakar, Ummu Ruman sempat menikah dengan Abdullah bin Harits al-Azdi. Setelah
Abdullah bin Harits al-Azdiika meninggal, barulah ia menikah dengan Abu Bakar dan
dikaruniai dua orang anak, yaitu Abdurrahman dan Aisyah. Jika dilihat dari nasab, ‘Āisyah
berasal dari keturunan yang mulia, sebab garis keturunannya bertemu dengan garis
keturunan Nabi Muhammad SAW, yaitu pada kakek ketujuh Murrah bin Ka’b. Sedangkan
dari Ummu Ruman nasabnya bertemu dengan Rasulullah SAW pada kakeknya yang
kesebelas atau kedua belas. ‘Āisyah berasal dari suku Arab terpandang Quraisy (Bani
Tayim dari Abu Bakar dan Bani Kinanah dari Ummu Ruman). Bani Tayim merupakan
keluarga besar suku Quraisy yang terkenal berani membela kehormatan diri dan
mengedepankan kedermawanan, juga suka menolong. Maka, tak heran jika sejarah
mencatat kelembutan, keberanian, ketegasan, kedermawanan dan kesabaran ‘Āisyah. Ia
adalah seorang perempuan cerdas dan berwibawa yang sangat dicintai Rasulullah SAW
dan menjadi teladan bagi seluruh perempuan Muslim di dunia.

b. Masa Kecil Aisyah


Aisyah tumbuh menjadi gadis yang sangat jenius dan pintar. Bahkan di waktu kecil
Aisyah dapat melakukan sesuatu hal yang tidak dapat dilakukan oleh teman seusianya Ia
mengingat dengan baik apa yang terjadi pada masa kecilnya, termasuk hadits-hadits yang
didengarnya dari Rasulullah saw. Ia memahami hadits-hadits itu, meriwayatkannya, menarik
kesimpulan darinya. Ia juga sering menjelaskan hikmah-hikmah dari peristiwa yang
dialaminya pada masa kecil. Aisyah menceritakan, bahwa telah turun ayat al-Qur’an kepada
Nabi Muhammad di Makkah. Saat itu aku masih kecil dan sedang bermain. Ayat itu
berbunyi:
“Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu
lebih dahsyat dan lebih pahit.” (QS. al-Qamar [54]: 46)
Tatkala Nabi berhijrah ke Madinah, Aisyah belum berumur delapan tahun, tetapi dia
bisa memahami dan menghafal dengan baik berbagai peristiwa hijrah Nabi Muhammad dan
hal-hal lain yang berhubungan dengan peristiwa tersebut. Tidak ada seorang sahabat pun
yang menghafal peristiwa bersejarah tersebut yang lebih urut dan lengkap dibanding Aisyah.
Pada suatu ketika, Aisyah kecil sedang asik bermain boneka. Melihat boneka itu Rasulullah
saw. bertanya,
“Apa ini wahai Aisyah “Kuda” jawab Aisyah.
“Adakah kuda memiliki dua sayap?” tanya Rasulullah saw.
“Bukankah kuda Nabi Sulaiman memiliki banyak sayap?”
Rasulullah saw. pun tertawa mendengar jawaban spontan Aisyah yang akurat tersebut. (HR.
Abu Dawud).
Hal semacam ini tidak lain adalah bukti kecerdasan dan keluasan pemahamannya
tentang persoalan-persoalan agama. Anak-anak kecil, dimanapun mereka berada,
cenderung tidak memiliki perhatian terhadap apapun. Tidak ada urusan yang mengganggu
pikiran mereka. Dan mereka pun tidak merasa perlu untuk memikirkan sesuatu. Hal seperti
itu biasanya terus terjadi hingga mereka berusia tujuh atau delapan tahun. Begitulah kisah
masa kecil Aisyah yang penuh dengan wawasan dan pengetahuan yang luas. Maka tidak
heran apabila Aisyah memang dapat dijadikan, bahkan sejak dia kecil.

c. Kisah Pernikahan Aisyah dan Rasulullah


Seperti yang telah ditulis dalam hadist-hadist bahwa Aisyah r.a menikah diusia
muda. Rasulullah SAW menikahinya 3 tahun setelah wafatnya Khadijah, saat ia berumur 6
tahun, lalu hidup serumah saat ia berusia 9 tahun, kemudian Rasulullah wafat ketika ‘Āisyah
berumur 18 tahun.5 Pernikahan ‘Āisyah dan Rasulullah dilaksanakan atas perintah langsung
dari Allah SWT yang diwahyukan lewat mimpi. Hal ini diketahui ‘Āisyah saat Rasulullah saw
pernah bersabda kepadanya:
“Aku pernah melihat engkau dalam mimpiku tiga hari berturut-turut (sebelum
aku menikahimu). Ada seorang malaikat yang datang kepadaku dengan membawa
gambarmu yang ditutup dengan secarik kain sutera. Malaikat itu berkata: ‘Ini adalah
istrimu’. Aku pun lalu membuka kain yang menutupi wajahmu. Ketika ternyata
perempuan itu adalah engkau (‘Āishah). Aku lalu berkata: ‘Jika mimpi ini benar dari
Allah, kelak pasti akan menjadi kenyataan”.
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhārī dan Muslim.6
Āisyah tinggal bersama Rasulullah SAW di sebuah kamar di komplek Masjid Nabawi,
yang terbuat dari batu bata, dengan atap pelepah kurma dan alas tidurnya kulit hewan yang
diisi rumput kering. Sedangkan alas duduknya berupa tikar dan tirai kamarnya terbuat dari
bulu hewan. Walaupun demikian, rumah sederhana ini sama sekali tidak mengurangi
kesucian dan kemuliaan ‘Āisyah. Bahkan suatu ketika, saat kaum Muslimin telah menguasai
banyak wilayah dan memiliki harta kekayaan yang melimpah, ‘Āisyah pernah diberi hadiah
uang seratus ribu dirham. ‘Āisyah tidak serta merta menyimpan atau membelanjakan uang
tersebut. ‘Āisyah langsung membagi-bagikan semuanya kepada orang-orang, hingga tak
tersisa sekeping pun, walaupun ia pada waktu itu sedang berpuasa tanpa makanan apapun
di rumahnya. Lalu, salah seorang pelayannya berkata:
“Alangkah baiknya kalau engkau membeli sekerat daging meskipun satu dirham
saja untuk berbuka puasa!”
Ia menjawab, “Seandainya engkau katakan hal itu dari tadi, niscaya aku melakukannya”
Pernikahan Rasulullah dengan Aisyah tidaklah dikarunia seorang anak. Kenyataan
tersebut yang sering mengganggu perasaannya karena tidak dapat memberikan keturunan
pada Rasulullah saw. Untuk mencurahkan perasaan keibuannya Aisyah mengadopsi
seorang anak lakilaki bernama Abdullah bin Zubair putra dari saudaranya yang bernama
Asma binti Abu Bakar. Oleh karenanya ia diberi kuniyah “Ummu Abdillah” yang berarti
ibunda Abdullah. Aisyah juga mengadopsi Qasim bin Abdurrahman putra Abdurrahman bin
Abu Bakar. Kehidupan rumah tangga Rasulullah saw. dengan Sayyidah Aisyah ra. adalah
kehidupan yang sederhana dan jauh sekali dari kenikmatankenikmatan yang bersifat
duniawi. Berikut penuturan Aisyah mengenai hal itu:
“Keluarga Rasulullah saw. tidak pernah memakan roti gandum beserta lauknya
selama tiga hari berturut-turut hingga beliau meninggal dunia.”
(HR. Bukhari, Muslim, Nasa’i, dan Ibnu Majah)
“Pernah selama sebulan keluarga Rasulullah saw. tidak membuat roti dan tidak
pula memasak dalam periuk.”
“Keluarga Rasulullah saw. hanya hidup dengan mengkonsumsi kurma dan
air.”
(HR. Bukhari dan Ahmad)
Rumah yang didiami Rasulullah saw. bersama Aisyah bukanlah sebuah istana yang
besar dan megah. Rumah yang beliau tempati bersama para istri beliau lebih tepat
dikatakan sebagai kamar-kamar atau ruanganruangan kecil di perkampungan Bani Najjar, di
sekeliling masjid Nabawi. Diantara kamar-kamar itu, ada kamar milik Aisyah. Luas kamar
Aisyah kira-kira enam atau tujuh hasta. Dindingnya terbuat dari tanah liat. Atap yang terbuat
dari pelepah daun kurma dan sangat rendah sehingga setiap orang yang berdiri dapat
menyentuhnya. Tidak dapat disangkal bahwa kediaman Rasulullah saw. merupakan sumber
cahaya ilahi dan mata air kenabian, tetapi tidak memiliki lentera duniawi. Rumah Rasulullah
saw. tidak memiliki lampu penerang. Aisyah mengisahkan, “Pernah selama empat puluh
malam pada masa Rasulullah saw., rumah beliau tidak diterangi oleh lentera atau apa pun
yang sejenisnya.” (HR. Thayalisi dan Ishaq bin Rahawaih).
Demikianlah Aisyah menjalani kehidupan pernikahan dengan Rasulullah saw. dalam
kesederhanaan dan kekurangan. Baju bagus, perhiasan mewah, rumah mewah dan
makanan enak tidak pernah ia lihat di rumah suaminya, namun ia tidak pernah mengeluh.
Bahkan dikisahkan ketika sepeninggal Rasulullah saw., apabila ia sedang makan dengan
menu yang cukup, maka ia menitikkan air mata. Ketika ditanya hal ini, ia berkata
Demikianlah Aisyah menjalani kehidupan pernikahan dengan Rasulullah saw. dalam
kesederhanaan dan kekurangan. Baju bagus, perhiasan mewah, rumah mewah dan
makanan enak tidak pernah ia lihat di rumah suaminya, namun ia tidak pernah mengeluh.
Bahkan dikisahkan ketika sepeninggal Rasulullah saw., apabila ia sedang makan dengan
menu yang cukup, maka ia menitikkan air mata. Ketika ditanya hal ini, ia berkata bahwa
dirinya teringat akan Rasulullah yang tidak pernah makan dengan kecukupan seperti ini.14
Pendidikan akan kesederhanaan yang diberikan oleh Rasulullah tersebut menancap kuat
dalam diri Aisyah ra. Sebab itu, tidak heran bila kita melihat sosok Aisyah tumbuh menjadi
wanita yang berkepribadian tangguh, qana’ah, ahli syukur, zuhud serta rendah hati.

d. Wafatnya Aisyah
Aisyah r.a wafat di masa kepemimpinan Muawiyah pada malam Selasa, tanggal 17
Ramadhan, tahun 58 Hijriyah, dalam usia 67 tahun setelah shalat witir. Ada juga yang
berpendapat bahwa beliau wafat pada tahun 57 H, dalam usia 63 tahun dan sekian bulan.
Para sahabat Anshar berdatangan pada saat itu, bahkan tidak pernah ditemukan satu hari
pun yang lebih banyak orang-orang berkumpul padanya daripada hari itu, sampai-sampai
penduduk sekitar Madinah turut berdatangan. Aisyah r.a dikuburkan di Pekuburan Baqi’.
Shalat jenazahnya diimami oleh Abu Hurairah dan Marwan bin Hakam yang saat itu adalah
Gubernur Madinah.
Sosok Aisyah ra merupakan teladan yang tepat bagi muslimah tanpa perlu
menggembargemborkan masalah emansipasi yang terjadi saat ini. Keberadaan Aisyah
sudah membuktikan bahwa perempuan juga diberikan posisi yang layak di zaman
Rasulullah saw dan para shahabat.Ruh beliau yang suci meninggal tenang setelah menulis
bagi generasi berikutnya keteladanan dan akhlak yang mulia. Beliau merupakan hasil
tarbiyah dari ayahnya ash-Shiddîq dan orang setelahnya yaitu pemimpin orang-orang yang
betakwa Nabiyullâh Muhammad SAW.
e. Peran Aisyah dalam perkembangan Islam
Setelah Rasulullah SAW wafat itulah posisi Aisyah layaknya menjadi pengganti
beliau sebagai pembimbing umat. Abu Musa al-Asy’ari berkata, “Ketika kami, para sahabat,
menghadapi kesulitan, dalam memahami sebuah hadits, kami sering bertanya kepada
Aisyah. Ia pun selalu mampu menjawabnya.” Imam Syihab az-Zuhri yang telah sekian lama
dididik oleh beberapa sahabat senior juga mengakui kecermerlangan otak Aisyah. Ia
berkata, “Aisyah adalah orang luas pengetahuannya. Para sahabat senior sering bertanya
dan berkonsultasi kepadanya.” Adz-Dzahabi berkomentar dalam kitab as-Sâir, jilid 2,
halaman 240, “Saya tidak pernah melihat pada umat Muhammad saw., bahkan wanita
secara keseluruhan, ada seorang wanita yang lebih alim dari Aisyah. Dia adalah istri Nabi
Muhammad saw. di dunia dan akhirat. Apakah itu bukan hal yang membanggakan?”
Aisyah r.a menyaksikan dinamika umat Islam  selepas wafatnya Rasulullah  SAW.
Tiga puluh tahun lamanya, dia mengalami pergantian kepemimpinan di bawah Khulafaur
Rasyidin. Dalam masa itu, ia berperan dalam mendidik umat Islam, utamanya generasi
muda. Aisyah diketahui juga mendirikan majelis ilmu untuk kaum Muslimah. Dari  sinilah
para sahabat mendapatkan pokok-pokok disiplin ilmu, antara lain ilmu fikih dan tafsir
Alquran. Pada tahun-tahun awal peradaban Islam  hingga akhir hayatnya, Aisyah termasuk
salah satu dalam jajaran intelektual Muslim selain Ali bin Abi Thalib, Abdullah ibn Abbas,
dan Abdullah ibn Umar. Ia disebut juga ibu dari pendidikan umat Islam, sekaligus orator
ulung yang selalu menyuarakan kebenaran. Sebagai sosok yang sederhana, Aisyah layak
menjadi figur yang diteladani dengan berbagai sumbangsinya terhadap proses kemajuan
peradaban Islam, serta sebagai seorang muslimah dengan karsa yang tinggi dalam
mempelajari  keilmuan dan pengabdiannya pada agama.
Sepeninggal suaminya, Rasulullah saw., lebih kurang selama lima puluh tahun
Aisyah mengabdikan usianya untuk mengajar umat. Ia memberikan pemahaman kepada
para perawi hadits, memberikan fatwa hukum atas persoalan yang membingungkan, dan
menasihati umat sesuai tuntunan al-Qur’an dan sunnah Nabi saw. Dalam bidang al-Qur’an,
Aisyah memiliki kemampuan yang baik dalam menarik kesimpulan dari ayat-ayat al-Qur’an
yang diturunkan. Ini dikarenakan Aisyah kerap kali menjadi saksi-mata atas sejumlah wahyu
yang turun. Oleh karena itu Aisyah mempunyai gambaran yang jelas tentang keadaan di
mana ayat itu turun.
Selanjutnya di bidang hadits, Aisyah termasuk dalam daftar nama-nama para
sahabat yang mampu meriwayatkan hadits hingga mencapai angka ribuan, dan bahkan
satu-satunya dari kalangan wanita. Ada tujuh orang sahabat yang menjadi periwayat hadits
terbanyak, mereka adalah:
a. Abu Hurairah ra. (wafat 57 H) jumlah hadits yang diriwayatkan sebanyak 5.364
hadits
b. Abdullah bin Umar ra. (wafat 73 H) jumlah hadits yang diriwayatkan sebanyak
2.630 hadits
c. Anas bin Malik ra. (wafat 91 H) jumlah hadits yang diriwayatkan sebanyak 2.286
hadits
d. Aisyah ra. (wafat 58 H) jumlah hadits yang diriwayatkan sebanyak 2.210 hadits
e. Abdullah bin Abbas ra. (wafat 68 H) jumlah hadits yang diriwayatkan sebanyak
1.660 hadits
f. Jabir bin Abdullah ra. (wafat 78 H) jumlah hadits yang diriwayatkan sebanyak 1.540
hadits g. Abu Sa’id al-Khudri ra. (wafat 74 H) jumlah hadits yang diriwayatkan
sebanyak 1.170 hadits.
Dalam meriwayatkan hadits, Aisyah termasuk orang yang sangat berhati-hati. Jika
Aisyah mendengar sebuah hadits dari orang lain dan bukan dari lisan Rasulullah saw.
secara langsung, maka ia pasti berusaha untuk melacak sumbernya dan tidak tergesa-gesa
meriwayatkannya. Pada suatu ketika Urwah meriwayatkan sebuah hadits yang di dengarnya
dari Abdullah bin Amr bin Ash kepada Aisyah. Selang beberapa waktu, Abdullah bin Amr
menunaikan ibadah haji. Lalu Aisyah berkata, “Wahai anak saudaraku, pergilah kepada
Abdullah untuk memastikan hadits yang engkau riwayatkan darinya.” Urwah pun berangkat
untuk melaksanakan apa yang diperintahkan Aisyah. Ia berhasil menemui Abdullah.
Ternyata periwayatannya kali ini sama persis seperti apa yang diriwayatkannya pertama
kali. Lalu, Urwah pun kembali dan menceritakan hal itu kepada Aisyah, Mendengar
penuturan Urwah, Aisyah merasa takjub. Ia berkata, “Demi Allah, Abdullah bin Amr benar-
benar hafal”
BAB III
IMPLEMENTASI KISAH AISYAH DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Selama Sembilan tahun hidup dengan Rasulullah saw. Beliau dikenal sebagai
pribadi yang haus akan ilmu pengetahuan. Ketekunan dalam belajar menghantarkan beliau
sebagai perempuan yang banyak menguasai berbagai bidang ilmu. Diantaranya adalah ilmu
al-qur’an, hadist, fiqih, bahasa arab dan syair. Keilmuan Aisyah tidak diragukan lagi karena
beliau adalah orang terdekat Rasulullahyang sering mengikuti pribadi Rasulullah. Banyak
wahyu yang turun dari Allah disaksikan langsung oleh Aisyah r.a.
1. Periwayat Hadist
Aisyah juga dikenal sebagai perempuan yang banyak menghapalkan hadist-hadist
Rasulullah. Sehingga beliau mendapat gelar Al-mukatsirin (orang yang paling banyak
meriwayatkan hadist). Ada sebanyak 2210 hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a.
Diantaranya terdapat 297 hadist dalam kitab shahihain dan sebanyak 174 hadist yang
mencapai derajat muttafaq ‘alaih. Bahkan para ahli hadist menempatkan beliau pada posisi
kelima penghafal hadist setelah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik, dan Ibnu Abbas.
2. Memiliki Kecerdasan dan Pengetahuan Ilmu Yang Luas
Tak bisa dipungkiri ilmu yang dimiliki Aisyah tidak dapat diragukan lagi. Hisyam bin
Urwah meriwayatkan hadis dari ayahnya. Dia mengatakan: “Sungguh aku telah banyak
belajar dari ‘Aisyah. Belum pernah aku melihat seorang pun yang lebih pandai daripada
‘Aisyah tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang sudah diturunkan, hukum fardhu dan sunnah,
syair, permasalahan yang ditanyakan kepadanya, hari-hari yang digunakan di tanah Arab,
nasab, hukum, serta pengobatan."
3. Pribadi Yang Teguh Pada Jalan Allah
Aisyah merupakan sosok yang sangat tegas dalam mengambi sikap. Aisyah tidak
senang apabila dia melihat sebuah kesalahan, namun dibiarkan begitu saja. Hal ini terlihat
dalam penegakan hukum Allah, Aisyah langsung menegur perempuan-perempuan muslim
yang melanggar hukum Allah. Di dalam Thabaqat Ibnu Saad mengatakan bahwa Hafshah
binti Abdirrahman menemui Ummul-Mukminin Aisyah. Ketika itu Hafsyah mengenakan
kerudung tipis. Secepat kilat Aisyah menarik kerudung tersebut dan menggantinya dengan
kerudung yang tebal.
4. Dermawan
Dalam hidupnya Aisyah r.a juga dikenal sebagai pribadi yang dermawan. Dalam
sebuah kisah diceritakan bahwa Aisyah r.a pernah menerima uang sebanyak 100.000
dirham. Kemudian beliau meminta para pembantunya untuk membagi-bagikan uang
tersebut kepada fakir miskin tanpa menyisakan satu dirham pun untuk beliau.
BAB IV
KESIMPULAN

Aisyah binti Abu Bakar r.a adalah sosok muslimah yang dapat dijadikan suri tauladan
di setiap masa. Aisyah merupakan perempuan yang memilikin teladan intelektual dan
kapasitas keilmuan yang sangat tinggi. Aisyah menjadi referensi panduan serta rujukan bagi
seluruh umat Islam di dunia, terkhusus bagi para muslimah. Bahkan kecerdasan dan sifat
Aisyah telah mumpuni dan melewati kepandaian wanita muslim pada zamannya.
Aisyah telah banyak berkontribusi dalam perkembangan zaman. Aisyah menjadi
salah satu periwayat hadist yang masuk kedalam jajaran besar para sahabat nabi. Sifat
tabah, dermawan, sederhana, dan jenius telah melekat di diri Aisyah r.a bahkan sampai
Aisyah telah wafat.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Hifni, Abdul Mun’im. Mawsū‘ah Umm al-Mu’minīn ‘Āishah Binti Abī Bakr. Kairo: Madbūlī,
2003.
Al-Istanbuli, Mahmud Mahdi dan Mushtafa Abu Nashr Asy-Syilbi. Nisa’ Haula ar-Rasul
(Wanita Teladan, Istri-istri, Putri-putri dan Sahabat Wanita Raslullah saw). Bandung:
Irsyad Baitus salam, 2005.
As-Sayyid Sulaiman an-Nadawi, Memoar Aisyah ra.: Istri Kinasih Baginda Rasul saw., terj.
M. Baharun (Surabaya: Risalah Gusti, 2005), cet. ke-2, h. 115
Fathi Fauzi dan Widad Sakakini, Keluarga Perempuan Rasulullah: Biografi Para Ibu, Istri,
dan Putri Nabi, terj. Khalifurrahman Fath dan Taufik Damas (Jakarta: Zaman, 2011),
h. 271.
Kahhālah, Umar Riḍā. A‘lām al-Nisā’ fī ‘Ālamay al-‘Arab wa al-Islām, Jilid 3. Beirut:
Mu’assasat al- Risālah, t.th.
Manisī, Sāmiyah. Silsilat Nisā’ Mu’mināt, (1) Ummahāt al-Mu’minīn, Umm alMu’minīn
‘Āishah binti A bī Bakr ra. Kairo: Al-Majlis al-A‘lā li al-Shu’ūn alIslāmiyyah, t.th.
Muhammad Ali al-Allawi, The Great Women: Mengapa Wanita Harus Merasa Tidak Lebih
Mulia, terj. El-Hadi Muhammad (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), cet. ke-2, h. 70.
Muhammad Syafi’i Antonio, Ensiklopedi Leadership & Manajemen Muhammad saw., jilid 3
(Jakarta: Tazkiya Publishing, 2010), h. 55-56.
Muhammad Zakariyya al-Kandhalawi, Kitab Ta’lim Fadhail A’mal, terj. Abdurrahman Ahmad,
dkk. (Cirebon: Pustaka Nabawi, tth.), h. 445.
Shilbī, Maḥmūd. Ḥayāt ‘Āishah Umm al-Mu’minīn ra. Beirut: Dār al-Jīl, 1998. Bintu Shāṭi’,
‘Āishah `Abd al-Raḥmān. Nisā’ al-Nabī SAW. Maroko: Dār al-Hilāl, 1971.

Anda mungkin juga menyukai