Anda di halaman 1dari 3

Nama : Amelia Silvera

Absen : 03
Kelas : D4-1B
NIM : P21331121006
Dosen : Drs. Zulkifli Lubis, M.A

RESENSI BUKU

JUDUL BUKU : AISYAH MUSLIMAH YANG CERDAS


PENULIS : DEWI CENDIKA
PENERBIT : DAR! MIZAN
TAHUN TERBIT : 2009

Saat itu, bulan Syawwal atau bertepatan dengan Juli 614 Masehi. Di sebuah rumah, di
Kota Makkah, lahirlah seorang bayi perempuan yang elok rupawan. Kelahiran putri nan cantik
berkulit putih kemerah-merahan ini memberikan rasa bahagia yang tak terkira di hati ayah dan
ibunya. Oleh kedua orangtuanya, bayi mungil itu diberi nama Aisyah. Ayahanda Aisyah bernama
Abdullah bin Abu Quhafah Utsman atau lebih dikenal dengan nama Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Ibunda Aisyah bernama Ummu Ruman binti Amir. Mereka adalah orang-orang Muslim yang
beriman kepada Allah Swt. Di tengah-tengah mereka, Aisyah kecil mendapatkan Pendidikan
yang sesuai ajaran Islam. Sehingga, Aisyah tumbuh menjadi anak salehah.

Orang akan berdecak kagum bila mengetahui kecerdasan Aisyah. Keluasan


pengetahuannya akan terlihat jelas saat dia berbicara ataupun mengungkapkan pendapatnya.
Kecerdasan Aisyah menyerupai kecerdasan ayahandanya tercinta, Abu Bakar, sahabat Nabi
Muhammad Saw, dan juga khalifah pertama. Dari ayahnya jugalah, Aisyah belajar sastra dan
sejarah bangsa-bangsa. Jadilah Aisyah, si Putri berperangai halus ini, memiliki ragam gaya
bahasa yang indag serta pandai dalam bidang sastra dan syair. Sama seperti ayahnya.

Aisyah, yang juga dikenal dengan julukan Ash-Shiddiqah (perempuan yang benar dan
lurus), merasa sangat beruntung dan bahagia. Pada suatu pagi yang cerah dan hangat,
Rasulullah Saw. datang meminangnya. Pernikahan Rasulullah Saw. dengan Aisyah merupakan
perintah langsung dari Allah Swt. Pernikahan itu dilangsungkan setelah wafat istri pertama
Rasulullah Saw., Khadijah r.a. Dengan bimbingan dan Pendidikan Rasulullah Saw., Aisyah selalu
taat dalam menjalankan ajaran agama. Dia juga murah hati dan penuh kasih sayang kepada
setiap orang. Kesederhanaan Aisyah tercermin dalam semua perbuatan dan tingkah lakunya.

Sejak kecil, Aisyah tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan belajar. Dia mempelajari
apa saja yang menarik hatinya. Aisyah selalu memanfaatkan setiap peluang untuk menghafal
dan memahami ayat-ayat yang didengar dari ayahnya, Abu Bakar. Abu Bakar sangat
menyayangi dan mencintai Aisyah. Abu Bakarlah orang pertama yang memberi Aisyah
Pendidikan dan bimbingan. Sehingga, Aisyah memiliki ilmu agama, ilmu sejarah, dan sastra yang
tinggi. Dalam bidang sastra, Abu Bakar mengajarkan seni bersyair dan menggubah syair. Aisyah
memiliki kepekaan perasaan dalam bersyair. Karena itulah, syair yang dilantunkannya begitu
indah.

Sepanjang hidupnya, Aisyah tidak pernah hamil sehingga tidak memiliki keturunan. Dia
mengerti kalau itu adalah kehendak Allah Swt. Dia adalah wanita yang senantiasa ikhlas dan
tidak pernah berkeluh kesah. Aisyah tidak hanya sebagai seorang istri yang paling dicintai
Rasulullah Saw. Namun, karena Aisyah jugalah, beberapa ayat Al-Quran diturunkan.

Dalam pernikahannya dengan Rasulullah, Aisyah berusaha menjadi istri yang baik dan
salehah. Namun, dia tidak luput dari kekurangan. Dibalik kekurangannya, sesungguhnya Aisyah
adalah istri yang sangat memerhatikan tugas-tugas rumah tangga. Dia selalu mengurus segala
keperluan Rasulullah Saw. Sebagai istri, Aisyah selalu berusaha melakukan tugas dan tanggung
jawab sebaik mungkin. Dia tak hanya melayani keperluan Rasulullah Saw. Dia juga menjadi
tempat mengadu bagi orang-orang yang membutuhkan pertolongan.

Aisyah adalah seorang wanita yang taat beribadah kepada Allah Swt. Dia selalu
melaksanakan shalat lima waktu, shalat malam, dan juga shalat Dhuha. Suatu hari pada bulan
Shafar, tahun kesebelas Hijriah, Rasulullah Saw. datang menemui Aisyah. Beliah mengeluh sakit
kepala yang dirasakannya selama beberapa hari. Sakitnya itu tak kunjung sembuh. Di kamar
Aisyah, Rasulullah Saw. meninggal di pangkuannya. Lalu, Rasulullah dikuburkan pula di kamar
Aisyah. Kepergian Rasulullah meninggalkan rasa sedih yang mendalam di hati Aisyah dan semua
keluarga beliau. Namun, Aisyah bersyukur dengan kehormatan yang diterimanya dan atas
segala yang diberikan Allah Swt. kepadanya. Aisyah pun bermimpi tentang tiga rembulan yang
jatuh ke kamarnya, salah satunya adalah Rasulullah Saw. Beberapa tahun kemudian, dua
rembulan lainnya menyusul. Ternyata, kedua rembulan itu adalah Abu Bakar dan Ummar bin
Khathab. Saat itu, kepergian Abu Bakar merupakan saat paling berat yang harus dilalui Aisyah.

Ketika itu, Kota Madinag merupakan pusat wilayah-wilayah Islam. Banyak umat Islam
dari berbagai penjuru dunia mendatangi Madinah. Mereka berziarah ke makam Rasulullah Saw.
dan mengunjungi Aisyah. Selain menjawab pertanyaan-pertanyaan dari kaum Muslimin yang
mengunjunginya, Aisyah juga mengajar di madrasah. Saat itu, ada beberapa madrasahilmu dan
keagamaan di Madinah. Madrasah yang terbesar letaknya di pojok Masjid Nabawi. Di sanalah,
Aisyah sebagai guru sekaligus pengasuh madrasah itu.

Saat menderita sakit pada bulan Ramadhan tahun 58 Hijriah, kepada mereka yang
menanyakan kabarnya, dia akan mengatakan kalau dirinya sehat. Orang-orang pun terus
berdatangan untuk menjenguknya. Saat ajal menjelang, Aisyah berwasiat kepada Abdullah bin
Zubair, “Jangan kuburkan aku bersama Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar. Kuburkan aku
bersama sahabat-sahabatku. Aku sama sekali tidak layak memperoleh kehormatan itu.”.
Setelah shalat Witir, pada malam 17 Ramadhan 58 Hijriah, atau bertepatan dengan Juni 678
Maseh, Aisyah menghembuskan napas terakhir. Berbondong-bondonglah orang mengerumuni
rumah Aisyah.

Gubernur sementara Kota Madinah, Abu Hurairah, menjadi imam shalat jenazah Aisyah.
Kemudian, Aisyah pun dikuburkan. Aisyah mewariskan sebidang tanah yang juga merupakan
warisan saudaranya, Asma’ binti Abu Bakar. Wafatnya Aisyah membuat Madinag larut dalam
duka. Semua berkabung atas kepergian Ummul Mukminin yang dicintai semua orang.

Anda mungkin juga menyukai