Anda di halaman 1dari 6

“Biografi KH Achmad Qusyairi, Penggubah Kitab Shalawat”

Nabilah Ulil Fikriyah


Prodi Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Humaniora
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

E-mail : 210301110035@student.ac.id

Biografi al-Qusyairi

Riwayat Hidup al-Qusyairi Nama lengkap al-Qusyairi adalah Abu al-Qasim Abdul
Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Talhah bin Muhammad al-Istiwa’i al-
Qusyairi al-Naisabu>ri> al-Sha>fi’i>. Al-Qusyairi lahir pada bulan Ra>bi’ al-Awwal
tahun 376 H./986 M di kota Istawa1 , kota yang dekat dengan salah satu pusat
pendidikan ilmu-ilmu agama kota Naisabur di Iran timur laut. Al-Qusyairi wafat pada
usia usia 87 tahun bertepatan tahun 465 H./1073 M dan beliau dimakamkan di sisi
makam sang guru yaitu, Syekh Abu Ali al-Hasan bin Ali al-Naisaburi al-Daqaq. Dari
nama lengkap tersebut menunjukkan nama asli Al-Qusyairi adalah Abdul Karim.
Nama kunyah (nama yang dinisbatkan pada kata Abu) beliau adalah Abu al-Qasim.
Nasab beliau adalah Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Talhah bin
Muhammad. Nama lengkap di atas juga disematkan sejumlah julukan al-Qusyairi.
Pertama, al-Naisaburi merujuk pada kota kelahiran al-Qusyairi, yaitu kota Naisabur.
Kota tersebut menjadi ibukota Propinsi Khurasan. Di kota Khurasan yang merupakan
kota terbesar di wilayah pemerintahan Islam saat itu setelah kota Balkh dan Marw ini,
juga lahir dua ilmuan muslim yang terkenal yaitu, Umar al-Khayyam dan Fariduddin
alAtthar.

Kedua, Al-Qusyairi, merujuk pada nama marga Sa’ad al-Asyirah alQahthaniyyah


yang hidup di daerah pesisir Hadramaut. Ketiga, Al-Istiwa’i ditunjukkan kepada
masyarakat arab yang menduduki salah satu wilayah di daerah Khurasan yaitu Ustawa
yang terletak di wilayah pesisir Naisabur. Keempat, al-Sha>fi’i gelar ini diambil dari
nama madzab beliau, yaitu Imam Syafi’i yang dipelopori oleh Imam Muhammad bin
Idris bin Syafi’i yang hidup dalam kurun waktu tahun 150-204 H./767-820 M.4 Al-
Qusyairi merupakan keturunan Arab yang datang ke Khurasan. Ayah al-Qusyairi
merupakan keturunan Bani Qusyair, salah satu suku Arab yang tinggal di Khurasan.
Beliau wafat sewaktu al-Qusyairi masih kecil, sehingga ia tumbuh sebagai anak yatim
yang miskin. Menurut buku ensiklopedi sukusuku Arab, al-Qusyairi adalah putra dari
Ibnu Ka’ab bin Rabi’ah bin Amir bin Sha’-sha’ah bin Mu’awiyah bin Bakar bin
Hawazin bin Manshur bin Ikrimah bin Qais bin ‘Ailan. Bani Qusyair memasuki
Khurasan pada rezim Bani Umayah dan terlibat dalam beberapa pertempuran
penaklukan kota Syam dan Iraq. Sedangkan ibu al-Qusyairi berasal dari Bani al-
Sulami yang juga salah satu suku Arab. Paman al-Qusyairi dari pihak ibu bernama
Abu Aqil alSulami merupakan salah satu pembesar di daerah Ustawa. Silsilah marga
alSulami dapat digolongkan pada salah satu dari dua bangsa berikut:
1. Al-Sulami merujuk pada kabilah bangsa yang masyhur yaitu, Sulaim.
Adapun silsilah lengkapnya adalah Sulaim bin Manshur bin Ikrimah bin
Khafdhah bin Qais bin ‘Ailan bin Nashar.
2. Al-Sulaim merujuk pada sukudari golongan Anshar yaitu, Bani Salamah.
Al-Qusyairi menikah dengan putri bernama Fatimah yang merupakan putri guru
beliau, Syekh Abu Ali al-Daqaq. Istri al-Qusyairi merupakan seorang wanita yang
za>hid dan ahli hadis. Banyak hadis yang diriwayatkan oleh istri al-Qusyairi tersebut.
Keduanya bersama dalam kurun waktu 405 H./1014 H. sampai 412 H./1021 M. Dari
pernikahan tersebut, Al-Qusyairi memiliki enam putra dan seorang putri, yaitu:

1. Abu Said Abdullah


2. Abu Said Abdul Wahid
3. Abu Manshur Abdurrahman
4. Abu Nashr Abdurahim
5. Abdul Fatih Ubaidillah
6. Abdul Mudzaffar Abdul Mun’im.
7. Ummatul Karim

Al-Qusyairi memiliki hobi dan ahli dalam menunggang kuda, hal tersebut dibuktikan
dalam berbagai ajang pacuan kuda yang diikuti oleh beliau. Beliau mempunyai kuda
kesayangan yang merupakan pemberian teman dekatnya dan bersama selama 20 tahun.
Saat al-Qusyairi wafat kuda tersebut sangat sedih sampai tidak mau makan apapun
selama seminggu. Tidak lama setelah itu, kuda tersebut meninggal. Mazhab al-
Asy’ari merupakan aliran yang dianut al-Qusyairi dalam berteologi, dan bermadzhab
al-Sha>fi’i> dalam berfikih. Al-Qusyairi merupakan sufi yang jenius, karena
disamping ia aktif menafsir Al-Qur’an dan meriwayatkan hadits, menguasai ilmu
fikih dan ushul fiqh, sehingga alQusyairi memiliki banyak gelar meskipun dari
latarbelakang sufi. beberapa predikat yang diraih al-Qusyairi diantaranya: al-Mufassir,
al-Muh}addis, alFa>qih al-Sha>fi’i, al-Mutakallim al-Us}uli al-Adib al-Nah}wi, al-
Ka>tib al-Sya’ir al-Su>fi.

KH Achmad Qusyairi bin Shiddiq merupakan seorang ulama dari Pasuruan, Jawa
Timur. Dakwahnya tidak hanya melalui lisan, tetapi juga tulisan. Salah satu concern-
nya ialah menggubah bait-bait pujian yang berpadu dengan shalawat kepada Nabi
Muhammad SAW. Ini terbukti antara lain dalam sebuah karyanya, Al Wasilatul
Hariyyah.

Buku KH Achmad Qusyairi bin Shiddiq: Pecinta Sejati Sunnah Nabi merangkum
riwayat sang tokoh. Walaupun dikenal karena dakwahnya di Pasuruan, Kiai Ahmad
Qusyairi sesungguhnya lahir di Dukuh Sumbergirang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah,
pada 11 Sya’ban 1311 Hijriah/17 Februari 1894 Masehi. Ia merupakan putra keempat
dari pasangan KH Muhammad Shiddiq bin Abdullah dan Nyai Maimunah.

Achmad muda pernah menimba ilmu di Pondok Pesantren Langitan, Tuban. Ia juga
pernah belajar kepada KH Khozin di Kajen, Pati. Gurunya yang lain adalah Kiai
Umar di Semarang. Lebih lanjut, dirinya sempat menjadi santrinya Syaikhona Kholil
Bangkalan di Pulau Madura.

Pada suatu momen Ramadhan, Syaikhona Kholil Bangkalan menyuruh para santri
agar tidak tidur kala malam. Tujuannya ialah mencari keberkahan Lailatul Qadar.
Seluruh muridnya mematuhi anjuran itu, termasuk di antara mereka adalah Achmad
muda.
Ketika itu, Achmad mengira bahwa Lailatul Qadar adalah sebuah benda. Karena itu,
ia berusaha mencarinya ke sana kemari. Setelah lelah berkeliling, remaja ini pun
tertidur pulas. Memasuki dini hari, Syaikhona mulai berjalan ke berbagai tempat di
kompleks pesantren guna mengawasi para santrinya.

Tak lama kemudian, Syaikhona terkejut karena melihat seberkas cahaya pada tubuh
kecil seorang santri. Di tengah kegelapan malam, ia pun mendekati sosok santrinya itu.
Waktu itu, lampu penerang belum lumrah dimiliki. Untuk menandai sosok santri yang
menjadi sumber cahaya itu, sang mahaguru mengikat ujung sarung muridnya tersebut.

Seusai shalat Subuh, Syaikhona membuat pengumuman. Semua santri dikumpulkan


lalu diberikan pertanyaan. “Siapa di antara kalian yang merasa sarungnya ada tali
simpul?” tanya sang alim. Karena takut, kebanyakan santri terdiam. Mereka tidak
berani menjawab. Achmad, yang menemukan bahwa sarungnya terikat, juga tidak
berani menjawab.

Ia merasa bersalah karena justru tertidur pulas pada malam yang penting itu. Padahal,
Syaikhona sudah menyuruh semua santri untuk begadang. Maka, rasa takut dalam diri
Achmad berubah jadi penyesalan. Usai gurunya mengulangi pertanyaan, pemuda ini
pun mengacungkan jarinya. Diakuinya bahwa sarungnya dalam kondisi terikat.

Bukannya marah, Syaikhona justru langsung menyerukan kepada para santrinya agar
mereka mulai mengaji kepada Achmad Qusyairi. Sejak hari itu, banyak santri belajar
kepadanya. Itulah pengalaman yang tidak terlupakan selama dirinya menjadi murid
sang waliyullah di Pulau Garam.

Saat berusia 20 tahun, Achmad menikah dengan seorang hafizah. Kemudian, ia


memantapkan niat untuk belajar lagi. Setahun sejak pernikahannya, ia dapat
kesempatan untuk berangkat ke Tanah Suci. Bukan hanya untuk menunaikan ibadah
haji, tetapi juga berguru pada sejumlah syekh setempat. Dalam kurun waktu tiga bulan,
dirinya pun menghafalkan 30 juz Alquran.

Saat Perang Dunia I meletus, Achmad tidak bisa pulang. Sebab, angkutan pelayaran
terganggu oleh pecahnya konfik di beberapa negeri. Alhasil, mubaligh ini mesti
menambah durasi mukimnya di kota kelahiran Nabi SAW itu hingga lima tahun ke
depan.

Menolak jabatan

Kembali ke Tanah Air, KH Achmad Qusyairi mengajar di Pondok Pesantren


Salafiyah Panggung Rejo, Pasuruan. Pengasuh ponpes itu ialah mertuanya, yakni KH
Yasin.

Menurut KH Hasan Abdillah dalam buku KH Achmad Qusyairi bin Shiddiq: Pecinta
Sejati Sunnah Nabi, Kiai Achmad merupakan menantu yang sangat disayang Kiai
Yasin. Maklum, antara keduanya terdapat kesamaan prinsip. Sampai sang mertua
wafat, ulama ini terus melanjutkan peran sebagai pengajar dan pengurus ponpes
tersebut.
Selain mengajar para santri, ia juga kerap mengisi acara keislaman di luar pesantren.
Jangkauan dakwahnya tidak hanya di Pasuruan, tetapi sampai pula ke Gresik, Madura,
dan sejumlah daerah lainnya di Jatim.

Perlahan namun pasti, reputasinya kian menanjak. Pada 1945, datanglah tawaran
kepadanya untuk menjadi adipati Pasuruan. Ceritanya bermula pada saat sejumlah
ulama berkumpul di Masjid Jami’ al-Anwar guna mengadakan pemilihan adipati.
Hasilnya, mereka sepakat untuk memilih Kiai Achmad Qusyairi sebagai pengisi
jabatan tersebut.

Akan tetapi, Kiai Achmad saat itu menolak untuk menjadi adipati. Ia hanya ingin
menjadi orang biasa yang fokus dalam menyebarkan syiar Islam dan beribadah
kepada Allah.

Setelah itu, ia hijrah ke Jember, tepatnya di sebuah desa kecil yang bernama Jatian.
Alasannya, sang kiai kala itu sedang dikejar-kejar Belanda terkait kabar
pencalonannya sebagai adipati Pasuruan.

Kemudian, ia berhijrah lagi ke ujung timur Pulau Jawa, tepatnya di Desa Glenmore,
Banyuwangi. Selama menetap di sana, Kiai Achmad tentu tak lupa untuk selalu
berdakwah. Namun, metode syiar Islam yang dilakukannya kali ini berbeda dengan
yang sebelumnya.

Sebab, umumnya masyarakat di daerah tersebut berwatak keras. Bahkan, mereka juga
bersikap permisif terhadap maksiat dan kejahatan, seperti mencuri, mabuk-mabukan,
atau bahkan membunuh.

Karena itu, dakwah Kiai Achmad terasa lebih berat. Namun, dengan ketabahan dan
kesabarannya dalam mengajar dan berdakwah, lambat laun masyarakat mulai berubah.
Banyak di antara mereka yang memegang teguh nilai-nilai Islam serta mencintai
ulama.

Menolak jabatan

Kembali ke Tanah Air, KH Achmad Qusyairi mengajar di Pondok Pesantren


Salafiyah Panggung Rejo, Pasuruan. Pengasuh ponpes itu ialah mertuanya, yakni KH
Yasin.

Menurut KH Hasan Abdillah dalam buku KH Achmad Qusyairi bin Shiddiq: Pecinta
Sejati Sunnah Nabi, Kiai Achmad merupakan menantu yang sangat disayang Kiai
Yasin. Maklum, antara keduanya terdapat kesamaan prinsip. Sampai sang mertua
wafat, ulama ini terus melanjutkan peran sebagai pengajar dan pengurus ponpes
tersebut.

Selain mengajar para santri, ia juga kerap mengisi acara keislaman di luar pesantren.
Jangkauan dakwahnya tidak hanya di Pasuruan, tetapi sampai pula ke Gresik, Madura,
dan sejumlah daerah lainnya di Jatim.

Perlahan namun pasti, reputasinya kian menanjak. Pada 1945, datanglah tawaran
kepadanya untuk menjadi adipati Pasuruan. Ceritanya bermula pada saat sejumlah
ulama berkumpul di Masjid Jami’ al-Anwar guna mengadakan pemilihan adipati.
Hasilnya, mereka sepakat untuk memilih Kiai Achmad Qusyairi sebagai pengisi
jabatan tersebut.

Akan tetapi, Kiai Achmad saat itu menolak untuk menjadi adipati. Ia hanya ingin
menjadi orang biasa yang fokus dalam menyebarkan syiar Islam dan beribadah
kepada Allah.

Setelah itu, ia hijrah ke Jember, tepatnya di sebuah desa kecil yang bernama Jatian.
Alasannya, sang kiai kala itu sedang dikejar-kejar Belanda terkait kabar
pencalonannya sebagai adipati Pasuruan.

Kemudian, ia berhijrah lagi ke ujung timur Pulau Jawa, tepatnya di Desa Glenmore,
Banyuwangi. Selama menetap di sana, Kiai Achmad tentu tak lupa untuk selalu
berdakwah. Namun, metode syiar Islam yang dilakukannya kali ini berbeda dengan
yang sebelumnya.

Sebab, umumnya masyarakat di daerah tersebut berwatak keras. Bahkan, mereka juga
bersikap permisif terhadap maksiat dan kejahatan, seperti mencuri, mabuk-mabukan,
atau bahkan membunuh.

Karena itu, dakwah Kiai Achmad terasa lebih berat. Namun, dengan ketabahan dan
kesabarannya dalam mengajar dan berdakwah, lambat laun masyarakat mulai berubah.
Banyak di antara mereka yang memegang teguh nilai-nilai Islam serta mencintai
ulama. (Nabilah Ulil Fikriyah)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Fitra Muhammad, Haqiqi, 50 Ulama Agung Nusantara; Potret Keteladanan dan


Ketokohan bagi Umat dan Bangsa, Jombang: Ash-Shofa, 2104.

Amir Zainal, Abidin, Peta Islam Politik: Pasca Soeharto, Jakarta: LP3ES, 2003.
Burhanuddin, Jajat, Ulama dan Kekuasaan; Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah
Indonesia, Jakarta: Mizan, 2012.

Ensiklopedia Pemuka Agama Nusantara, Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khasanah


Keagamaan badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2016.

Fealy, Greg, dkk, Tardisionalisme Radikal; Persinggungan Nahdhatul Ulama dan


Negara, Yogyakarta: LkiS, 2010.

Feillard, Andree, NU Vis-a-vis Negara; Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, Terj.
Lesmana,Yogyakarta: LKiS, 2009.

Halim, Abdul, Relasi Islam, Politik, dan Kekuasaan, Yogyakarta: LkiS, 2013. Hamid,
Shalahuddin, dkk, Seratus Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia, Jakarta: PT.
Intermedia Cipta Nusantara, 2003.

Anda mungkin juga menyukai