Anda di halaman 1dari 8

Syekh Quro ( Hasanuddin bin Yusuf ), Karawang

Biografi Ulama Nusantara


Menurut Babad Tanah Jawa, pesantren pertama di Jawa Barat adalah pesantren Quro yang
terletak di Tanjung Pura, Karawang. Pesantren ini didirikan oleh Syekh Hasanuddin, seorang
ulama dari Campa atau yang kini disebut Vietnam, pada tahun 1412 saka atau 1491 Masehi.
Karena pesantrennya yang bernama Quro, Syekh Hasanuddin belakangan dikenal dengan
nama Syekh Quro. Syekh Quro atau Syekh Hasanuddin adalah putra Syekh Yusuf Sidik.
Awalnya, Syekh Hasanuddin datang ke Pulau Jawa sebagai utusan. Ia datang bersama
rombongannya dengan menumpang kapal yang dipimpin Laksamana Cheng Ho dalam
perjalanannya menuju Majapahit. Dalam pelayarannya, suatu ketika armada Cheng Ho tiba di
daerah Tanjung Pura Karawang. Sementara rombongan lain meneruskan perjalanan, Syekh
Hasanuddin beserta para pengiringnya turun di Karawang dan menetap di kota ini. Di
Karawang, Syekh Hasanuddin menikah dengan gadis setempat yang bernama Ratna Sondari
yang merupakan puteri Ki Gedeng Karawang. Di tempat inilah, Syekh Hasanuddin kemudian
membuka pesantren yang diberi nama Pesantren Quro yang khusus mengajarkan Alquran.
Inilah awal Syekh Hasanuddin digelari Syekh Quro atau syekh yang mengajar Alquran. Dari
sekian banyak santrinya, ada beberapa nama besar yang ikut pesantrennya. Mereka antara
lain Putri Subang Larang, anak Ki Gedeng Tapa, penguasa kerajaan Singapura, sebuah kota
pelabuhan di sebelah utara Muarajati Cirebon. Puteri Subang Larang inilah yang kemudian
menikah dengan Prabu Siliwangi, penguasa kerajaan Sunda Pajajaran. Kesuksesan Syekh
Hasanuddin menyebarkan ajaran Islam adalah karena ia menyampaikan ajaran Islam dengan
penuh kedamaian, tanpa paksaan dan kekerasan. Begitulah caranya mengajarkan Islam
kepada masyarakat yang saat itu berada di bawah kekuasaan raja Pajajaran yang didominasi
ajaran Hindu. Karena sifatnya yang damai inilah yang membuat Islam diminati oleh para
penduduk sekitar. Tanpa waktu lama, Islam berkembang pesat sehingga pada tahun 1416,
Syekh Hasanuddin kemudian mendirikan pesantren pertama di tempat ini. Ditentang
penguasa Pajajaran Berdirinya pesantren ini menuai reaksi keras dari para resi. Hal ini tertulis
dalam kitab Sanghyang Sikshakanda Ng Kareksyan. Pesatnya perkembangan ajaran Islam
membuat para resi ketakutan agama mereka akan ditinggalkan. Berita tentang aktivitas
dakwah Syekh Quro di Tanjung Pura yang merupakan pelabuhan Karawang rupanya didengar
Prabu Angga Larang. Karena kekhawatiran yang sama dengan para resi, ia pernah melarang
Syekh Quro untuk berdakwah ketika sang syekh mengunjungi pelabuhan Muara Jati di
Cirebon. Sebagai langkah antisipasi, Prabu Angga Larang kemudian mengirimkan utusan

untuk menutup pesantren ini. Utusan ini dipimpin oleh putera mahkotanya yang bernama
Raden Pamanah Rasa. Namun baru saja tiba ditempat tujuan, hati Raden Pamahan Rasa
terpesona oleh suara merdu pembacaan ayat-ayat suci Alquran yang dilantunkan Nyi Subang
Larang. Putra mahkota yang setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Prabu Siliwangi
itu dengan segera membatalkan niatnya untuk menutup pesantren tersebut. Ia justru melamar
Nyi Subang Larang yang cantik. Lamaran tersebut diterima oleh Nyi Santri dengan syarat
maskawinnya haruslah Bintang Saketi, yaitu simbol "tasbih" yang ada di Mekah. Pernikahan
antara Raden Pamanah Rasa dengan Nyi Subang Karancang pun kemudian dilakukan di
Pesantren Quro atau yang saat ini menjadi Masjid Agung Karawang. Syekh Quro bertindak
sebagai penghulunya. Menyebar santri untuk berdakwah Tentangan pemerintah kerajaan
Pajajaran membuat Syekh Quro mengurangi intensitas pengajiannya. Ia lebih memperbanyak
aktivitas ibadah seperti shalat berjamaah. Sementara para santrinya yang berpengalaman
kemudian ia perintahkan untuk menyebarkan Islam ke berbagai kawasan lain. Salah satu
daerah tujuan mereka adalah Karawang bagian Selatan seperti Pangkalan lalu ke Karawang
Utara di daerah Pulo Kalapa dan sekitarnya. Dalam penyebaran ajaran Islam ke daerah baru,
Syekh Quro dan para pengikutnya menerapkan cara yang unik. Antara lain sebelum
berdakwah menyampaikan ajaran Islam, mereka terlebih dahulu membangun Masjid. Hal ini
dilakukan Syekh Quro mengacu pada langkah yang dicontohkan Rasulullah SAW ketika
berhijrah dari Mekkah ke Madinah. Saat itu beliau terlebih dahulu membangun Masjid Quba.
Cara lainnya, adalah dengan menyampaikan ajaran Islam melalui pendekatan dakwah bil
hikmah. Hal ini mengacu pada AlQuran surat An Nahl ayat 125, yang artinya: "Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik." Sebelum memulai dakwahnya, Syekh Quro juga telah
mempersiapkan kader-kadernya dengan pemahaman yang baik soal masyarakat setempat. Ini
dilakukan agara penyebaran agamanya berjalan lancar dan dapat diterima oleh masyarakat.
Hal inilah yang melatarbelakangi kesuksesan dakwah Syekh Quro yang sangat
memperhatikan situasi kondisi masyarakat serta sangat menghormati adat istiadat penduduk
yang didatanginya. Selama sisa hidup hingga akhirnya meninggal dunia, Syekh Quro
bermukim di Karawang. Ia dimakamkan di Desa Pulo Kalapa, Kecamatan Lemah Abang,
Karawang. Tiap malam Sabtu, makam ini dihadiri ribuan peziarah yang datang khusus untuk
menghadiri acara Sabtuan untuk mendoakan Syekh Quro. Belakangan masjid yang dibangun
oleh Syekh Quro di pesantrennya, kemudian direnovasi. Namun bentuk asli masjid -berbentuk joglo beratap dua limasan, menyerupai Masjid Agung Demak dan Cirebon -- tetap
dipertahankan.

Sejarah Syekh Quro (Maulana Hasanuddin Azmatkhan)


Oleh:
Sayyid Iwan Mahmoed Al-Fattah Azmatkhan
Syekh Quro, siapa yang tidak kenal nama yang satu ini, khususnya diwilayah Karawang.
Bahkan nama beliau ini juga dikenal dikawasan jawa barat. Dalam Sejarah Jawa Barat dan
Betawi nama yang satu ini cukup sering diulas, Ridwan Saidi, sejarawan betawi dalam
bukunya yang berjudul "Babad Tanah Betawi, hal 109, penerbit gria media prima,
mengangkat nama beliau ini sebagai penyebar agama islam pertama di betawi. Ridwan sangat
fanatik dengan sosok Syekh Quro ini, beberapa kali dalam diskusi sejarah betawi, dia selalu
bangga dengan sosok Syekh Quro, namun anehnya dia tidak bangga dengan sosok Fatahillah
(yang dia anggap membunuh 3000 orang betawi saat membebaskan sunda kelapa). Dalam
buku yang saya peroleh dari dinas museum banten lama yang ditulis dengan gaya ilmiyah
yang berjudul Riwayat Kesultanan Banten, halaman 5 tahun 2006 olehTubagus Hafiz
Rafiudin, sosok Syekh Quro bahkan ditulis dengan jelas sebagai guru besar Agama Islam Di
Champa. Pada halaman awal itu nama Syekh Quro langsung tertera sebagai guru besar dan
orang yang berpengaruh pada tokoh tokoh atau raja/sultan pada kerajaan Pajajaran,
kesultanan Cirebon maupun kesultanan Banten kelak.
Bagi orang Cirebon, Indramayu dan juga banten, nama yang satu ini juga cukup mendapat
perhatian, karena sepak terjang dakwahnya yang dapat dikatakan sukses besar. Dakwahnya
damai, santun dan cerdik. Beliau berdakwah dengan kemampuan ilmu alqur'annya. Ulama
besar yang bergelar Syekh Qurotulain ini ternyata nama aslinya adalah Syekh
Mursyahadatillah atau Syekh Hasanudin. Beliau adalah seorang yang arif dan bijaksana dan
termasuk seorang ulama yang hafidz Al-quran serta ahli Qiroat yang sangat merdu
suaranya. Syekh Quro adalah putra ulama besar Mekkah, penyebar agama Islam di negeri
Campa (Kamboja) yang bernama Syekh Yusuf Siddik yang ternyata masih merupakan
keluarga besar Azmatkhan, karena ayah Syekh Yusuf Siddiq ternyata Sayyid Husein
Jamaluddin Jumadhil Kubro. Sayyid Yusuf Siddiq sendiri ibunya adalah Puteri Linang
Cahaya binti Raja Sang Tawal/ Sultan Baqi Syah/ Sultan Baqiuddin Syah (Malaysia). Putri
Linang cahaya ini dalam kitab Ensiklopedia Nasab Al Husaini dan juga situs Madawis telah
melahirkan 3 anak, yaitu: Pangeran Pebahar, Fadhal (Sunan Lembayung), Sunan Kramasari
(Sayyid Sembahan Dewa Agung), Syekh Yusuf Shiddiq. Ibu dari Sayyid Yusuf Siddiq ini
adalah istri ke 3 dari Sayyid Husein Jamaluddin Jumadhil Kubro. Jadi Syekh Quro ini adalah
cucu dari Sayyid Husein Jamaluddin Jumadhil Kubro, artinya beliau Syekh Quro adalah
keluarga besar Walisongo.
Adapun nasab Syekh Quro berdasarkan kitab nasab yang disusun Oleh Al Allamah Sayyid
Bahruddin Azmatkhan Al Hafiz dan Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan (TheGrand-Mufti
Kesultanan Palembang Darussalam), penerbit Madawis, Tahun 2011 adalah :
1. Muhammad Rasulullah SAW
2. Fatimah Az-zahra
3. Husein As-shibti
4. Ali Zaenal Abidin

5. Muhammad Al-Baqir
6. Jakfar As-Shodiq
7. Ali Al-Uraidhi
8. Muhammad An-Naqib
9. Isa Ar-Rumi
10. Ahmad Al-Muhajir
11. Ubaidhillah
12. Alwi Al Awwal
13. Muhammad Shohibus Souma'ah
14. Alwi Atsani
15. Ali Kholi' Qosam
16. Muhammad Shohib Marbat
17. Alwi Ammul Faqih
18. Abdul Malik Azmatkhan
19. Abdullah Amir Khan
20. Sultan Ahmad Syah Jalaluddin
21. Husein Jamaluddin Jumadhil Kubro
22. Syekh Yusuf Siddiq
23. Syekh Hasanuddin/Maulana Hasanuddin/Syekh Quro Azmatkhan
Pada waktu kedatangan beliau ditanah Jawa, terutama kawasan Jawa bagian barat (saat itu
belum ada istilah barat atau timur), wilayah Jawa Bagian Barat masih dibawah kekuasaan
Negeri Pajajaran yang saat itu menganut agama Hindu, dengan seorang Raja yang bernama
Prabu Anggalarang, Kekuasaan raja pajajaran tersebut meliputi wilayah Karawang dan juga
sekitarnya, sebelum datang ke tanah Karawang sekitar tahun 1409 Masehi, Syekh Quro
menyebarkan Agama islam di negeri Campa, dari sini beliau lalu ke daerah Malaka dan
dilanjutkan ke daerah Martasinga Pasambangan dan Japura akhirnya sampai ke Pelabuhan
Muara Jati Cirebon, disini beliau disambut dengan baik oleh Ki Gedeng Tapa atau Ki Gedeng
Jumajan Jati, yang masih keturunan Prabu Wastu Kencana dan juga oleh masyarakat sekitar,
mereka sangat tertarik dengan ajaran yang disampaikan oleh Syekh Quro yang di sebut ajaran
agama Islam.
Kedatangan awal Syekh Quro tentu tidak mengherankan jika ditinjau dari sisi ilmu nasab dan
sejarah, karena sebelum kedatangan beliau, keluarga besar AZMATKHAN atau walisongo
sudah periode awal sudah mulai bergerak, dimulai dari Sayyid Husein Jamaluddin, kemudian
anak anaknya dan dilanjutkan dengan keturunanya. Jika ditinjau dari nasab dan periodesasi
walisongo, beliau ini satu angkatan dengan Maulana Malik Ibrahim dan walisongo angkatan
angkatan pertama. Sayangnya memang, dibandingkan dengan walisongo yang lain, sosok
beliau ini jarang dikaji dalam bentuk tulisan sejarah atau ilmiah, padahal jasa beliau dalam
menyebarkan agama islam itu sangat besar. Jasa beliau ini tidak boleh dianggap kecil, karena
beliau inilah yang merupakan pelopor penyebaran agama islam di Jawa Barat, sebelum
eranya Sunan Gunung Jati.
Sebelum kedatangan Syekh Quro, dapat dikatakan penyebaran islam belum sporadis, namun
sejak kedatangan Syekh Quro ini, Islam mulai mendapat tempat dihati rakyat. namun
demikian, penyebaran agama Islam yang disampaikan oleh syekh Quro di tanah Jawa bagian
barat ini rupanya sangat mencemaskan Raja Pajaran Prabu Anggalarang, sehingga pada
waktu itu penyebaran agama Islam dengan titahnya harus segera dihentikan. Perintah dari
Raja Pajajaran tersebut dipatuhi oleh Syeh Quro yang memang pendekatan dakwahnya sangat
persuasif. Namun kepada utusan dari Raja Pajaran yang mendatangi Syekh Quro, Syekh Quro

mengingatkan kepada utusan tersebut untuk kemudian disampaikan kepada raja pajajaran,
"meskipun ajaran agama Islam dihentikan, namun penyebarannya kelak akan meluas hebat,
dan justru dari keturunan Prabu Anggalarang nanti akan ada yang menjadi seorang
Waliyullah".
Beberapa saat kemudian beliau pamit pada Ki Gedeng Tapa untuk kembali ke negeri Campa,
di waktu itu pula Ki Gedeng Tapa menitipkan putrinya yang bernama Nyi Mas Subang
Larang, untuk ikut dan berguru pada Syekh Quro. Tak lama kemudian Syekh Quro datang
kembali ke negeri Pajajaran kembali beserta Rombongan para santrinya, dengan
menggunakan Perahu dagang sebagian ahli sejarah mengatakan beliau ikut bersama
rombongan titian muhibah laksamana cheng ho (nanti akan dibahas dibawah ini). Dalam
rombongan yang bersama beliau diantaranya adalah, Nyi Mas Subang Larang, Syekh Abdul
Rahman. Syekh Maulana Madzkur dan Syekh Abdilah Dargom.
Setelah Rombongan Syekh Quro melewati Laut Jawa dan Sunda Kelapa dan masuk Kali
Citarum yang waktu itu di Kali tersebut ramai dipakai Keluar masuk para pedagang ke
Pajajaran, akhirnya rombongan beliau singgah di Pelabuhan Karawang.
Menurut Buku Sejarah Jawa Barat Oleh Yosep Iskandar, tahun 1997 Halaman 250, Syekh
Quro masuk Karawang sekitar 1416 M. Syekh Quro masuk bersama rombongan besar titian
muhibah Laksamana Cheng Ho. Armada Cheng Ho sendiri berangkat atas perintah Kaisar
Cheng-Tu atau Kaisar Yunglo, Kaisar Dinasti Ming yang ketiga. Armada laut itu berjumlah
63 kapal, dengan prajurit lautnya sebanyak 27.800 orang termasuk Syekh Quro dan
rombongannya. Oleh Karena Syekh Quro atau Maulana Hasanuddin atau Syekh Hasanuddin
bermaksud menyebarkan agama islam, Laksamana Cheng Ho mengizinkan, apalagi Cheng
Ho dan Syekh Quro sama-sama ahlul bait. Dalam Pelayarannya menuju Majapahit Armada
Cheng Ho singgah disebuah daerah yang bernama Pura, nah saat di Pura inilah rombongan
besar Syekh quro turun, sedangkan armada cheng ho menuju muara jati cirebon dan
beristirahat seminggu lamanya untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Jawa timur.
Syekh Hasanuddin tinggal beberapa lama di Pura Karawang dibawah kegiatan Pemerintahan
dan kewenangan Jabatan Dalem (masih bawahan pajajaran). Karena rombongan Syekh quro
tersebut, sangat menjunjung tinggi peraturan kota Pelabuhan, aparat setempat sangat
menghormati dan memberikan izin untuk mendirikan Mushola ( 1418 Masehi) sebagai sarana
Ibadah sekaligus tempat tinggal mereka. Setelah beberapa waktu berada di pelabuhan
Karawang, Syekh Quro terus menyampaikan Dakwah-dakwahnya di Mushola yang
dibangunnya (sekarang Mesjid Agung Karawang). Dalam berdakwah ajaran Syekh Quro
mudah dipahami dan mudah diamalkan, ia beserta santrinya juga memberikan contoh
pengajian Al-Quran menjadi daya tarik tersendiri di sekitar karawang.
Di tempat ini pula Syekh Quro menikah dengan Ratna Sondari, putri penguasa daerah
karawang yaitu bernama Ki Gedeng Karawang, dari pernikahannya beliau memperoleh putra
yang dikenal dengan nama Syekh Ahmad, yang selanjutnya menjadi penghulu (na'ib pertama
di Karawang. Cucunya Syekh Ahmad dari putrinya Nyi Mas Kedaton bernama Musanudin
yang kelak menjadi lebai di Cirebon dan memimpin tajug sang cipta rasa pada masa
pemerintahan susunan jati
Ulama besar ini sering mengumandangkan suara Qorinya yang merdu bersama muridmuridnya, Nyi Subang Larang, Syekh Abdul Rohman, Syekh Maulana Madzkur dan santri
lainnya seperti , Syekh Abdiulah Dargom alias Darugem alias Bentong bin Jabir Modafah

alias Ayekh Maghribi keturunan dari sahabat nabi (sayidina Usman bin Affan).
Berita kedatangan kembali Syekh Quro, rupanya terdengar oleh Prabu Anggalarang yang
pernah melarang penyebaran agama islam di tanah Jawa, sehingga Prabu Anggalarang
mengirim utusannya untuk menutup kembali pesantren Syekh Quro. Rupanya ketidak sukaan
Raja ini belum pupus terhadap ajaran Islam. Utusan yang datang kali ini ketempat Syekh
Quro adalah Putra Mahkota Kerajaan Pajajaran sendiri yang bernama Raden Pamanah Rasa
(kelak bernama Prabu Siliwangi, raja pajajaran yang legendaris). Sesampainya di pesantren
tersebut sang putra putra mahkota tersebut justru hatinya tertambat oleh alunan suara yang
merdu yang dikumandangkan oleh Nyi Subang Larang, dalam mengalunkan suara pengajian
Al-Quran,. Nyai Subang Larang bin Ki Gedeng Tapa adalah Alumnus pertama Pesantren
Quro Dalem Karawang, pesantren Pertama Di Jawa Barat yang didirikan oleh Syekh Quro
tahun 1416 Masehi. Silsilah Nyai Subang Larang sendiri masih merupakan kerabat dekat
kerajaan pajajaran, sehingga mau tidak mau penguasa pajajaran juga merasa serba salah
menyikapi adanya pesantren ini, apalagi dalam berdakwah pondok pesantren ini tidak
melakukan kekerasan, pendekatan dakwah pesantren adalah persuasif, damai, santun dan
cerdas.
Prabu Pamanah Rasa akhirnya mengurungkan niatnya untuk menutup pesantren tersebut.
Atas kehendak yang Maha Kuasa Prabu Pamanah Rasa menaruh perhatian khususnya pada
Nyi Subang Larang yang cantik dan merdu suaranya, akhirnya Prabu Pamanah Rasa melamar
dan ingin mempersunting Nyi Subang Larang sebagai permaisurinya. Pinangan tersebut
diterima tapi dengan syarat mas kawinnya yaitu Lintang Kerti Jejer Seratus, yang di maksud
itu adalah simbol dari Tasbeh yang merupakan alat untuk berwirid. Pernikahan ini
membuktikan jika beliau Prabu Pamanah Rasa adalah Islam. Tidak mungkin rasanya tokoh
sekelas Syekh Quro akan mudah menikahkan Nyai Subang Larang sembarangan.
Selain itu Nyi Subang Larang mengajukan syarat lain yaitu, agar kelak anak-anak yang lahir
dari mereka harus menjadi Raja. Semua permohonan Nyi Subang Larang disanggupi oleh
Raden Pamanah Rasa. Atas petunjuk Syekh Quro, Prabu Pamanah Rasa segera pergi ke
Mekkah.
Di tanah suci Mekkah, Prabu Pamanah Rasa disambut oleh seorang kakek penyamaran dari
Syekh Maulana Jafar Sidik. Prabu Pamanah Rasa merasa keget, ketika namanya di ketahui
oleh seorang kakek. Dan Kekek itu, bersedia membantu untuk mencarikan Lintang Kerti Jejer
Seratus dengan syarat harus mengucapkan Dua Kalimah Syahadat. Sang Prabu Pamanah
Rasa denga tulus dan ikhlas mengucapkan Dua Kalimah Syahadat yang makna pengakuan
pada Allah SWT sabagai satu-satunya Tuhan yang harus disembah dan Muhammad adalah
utusannya.
Semenjak itulah, Prabu Pamanah Rasa masuk agama Islam dan menerima Lintang Kerti Jejer
Seratus atau Tasbeh, mulai dari itu Prabu Pamanah Rasa diberi ajaran tentang agama islam
yang sebenarnya. Prabu Pamanah Rasa segera kembali ke Kraton Pajajaran untuk
melangsungkan pernikahannya dengan Nyi Subang Larang. Waktu terus berjalan maka pada
tahun 1422 M pernikahan di langsungkan di Pesantren Syekh Quro dan dipimpin langsung
oleh Syekh Quro. Setelah menikah Prabu Pamanah Rasa dan dinobatkan sebagai Raja Pakuan
Pajajaran dengan gelar Prabu Siliwangi.
Hasil dari pernikahan tersebut mereka dikarunai 3 anak yaitu:

1.Raden Walangsungsang ( 1423 Masehi)


2.Nyi Mas Rara Santang ( 1426 Masehi)
3.Raja Sangara ( 1428 Masehi).
Setelah melewati usia remaja Raden Walangsunsang bersama adiknya Nyi Mas Rara Santang
pergi meninggalkan Pakuan Pajajaran dan mendapat bimbingan dari ulama besar Syekh Nur
Jati Azmatkhan di Perguruan Islam Gunung Jati Cirebon.
Setelah kakak beradik menunaikan ibadah Haji, maka Raden Walang Sungsang
Menjadi Pangeran Cakra Buana dengan sebutan Mbah Kuwu Sangkan dengan beristerikan
Nyi Mas Endang Geulis Putri Pandita Ajar Sakti Danuwarsih. Sedangkan Nyi Mas Rara
Santang waktu pergi ke naik haji ke Mekkah diperisteri oleh Abdullah Umdatuddin (ada yang
mengatakan Sultan Mesir, kemungkinan besar mesir adalah tempat belajar atau transit
dakwah Sayyid Abdullah Umdatuddin, karena pada era itu tidak ada nama Syarif Abdullah
dalam peta pemimpin mesir) , sedangkan Raja Sangara menyebarkan agama islam di tatar
selatan dengan sebutan Prabu Kian Santang (Sunan Rohmat), wafat dan dimakamkan di
Godog Suci Garut. Nyi Mas Rara Santang setalah menikah dengan Sayyid Abdullah
Umdatuddin/Sultan Champa/Maulana Hud, Namanya diganti menjadi Syarifah Mudaim, dari
hasil pernikahannya dikaruniai dua orang putra, masing-masing bernama Syarif Hidayatullah
dan Syarif Nurullah. Abdullah Umdatuddin sendiri memiliki beberapa istri, salah satunya
adalah Syarifah Zaenab/Putri Champa binti Ibrahim Zaenuddin Al Akbar Asmorokondi. Dari
Syarifah Zaenab lahir Raden Fattah Azmatkhan/Sultan Demak 1, artinya antara Sunan
Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah satu bapak beda ibu.
Adapun anak ke 3 dari Prabu Siliwangi yang bernama Raja Sengara kelak bernama Kian
Santang yang salah satu keturunannya adalah KH ABDULLAH BIN NUH (ulama besar
Indonesia). Kian Santang mengikuti jejak kakak kakaknya untuk menjadi pendakwah,
namanya menjadi legenda dibumi jawa barat. Kisahnya cukup banyak, baik itu fakta ataupun
mitos. Kian Santang terus bergerak kearah Jawa Barat untuk mengislamkan penduduk
penduduk yang masih beragama hindu. Ayahnya sendiri yaitu Prabu Pamanah Rasa atau
Prabu Siliwangi masih sering menjadi perdebatan tentang agama yang dianut, apakah ia islam
atau hindu. Memang pasca pernikahan beliau dengan Nyai Subang Larang, Prabu Siliwangi
kembali ke kerajaannya dimana kondisinya sangat hindu sentris, sehingga keberadaan beliau
bisa saja dipengaruhi kembali ajaran lamanya, apalagi intrik intrik dalam kerajaan sangat
kuat. istri dan anak-anak Prabu Siliwangi sendiri cukup banyak dan rata rata agama mereka
adalah hindu, sehingga boleh jadi mereka juga bisa memberikan pengaruh besar pada
keimanan beliau, sebaliknya ketiga anaknya yang lahir dari Nyai Subang Larang
terselamatkan akidahnya karena berada pada pendidikan sang ibu yang merupakan jebolan
pertama pesantren Quro Dalem Karawang. Ketiga anak beliau dari Nyai Subang Larang ini
rupanya tidak kerasan di Kraton Pajajaran dan mereka lebih memilih hidup dengan ibu dan
santri santri pesantren Quro. Yang juga harus dikritisi, menurut saya tidak benar jika Kian
Santang mengejar ngejar ayahnya untuk masuk islam, apakah memang demikian??? apakah
islam mengarjakan paksaan? saya rasa tidak, sebagai orang orang yang dididik oleh keluarga
besar walisongo, saya fikir tidak mungkin Kian Santang memaksa ayahnya. cerita darimana
ini??? apakah tidak malah merendahkan Kian Santang sebagai seorang pendakwah???. Kita
tidak tahu masalah keimanan Prabu Siliwangi diakhir hidupnya. Namun fakta ia menikah
secara islam memang benar, karena ia menikah disaksikan Syekh Quro dan juga para Santri
Syekh Quro, Adapun bila dikemudia hari di kembali keagama lamanya, wallahu a'lam...hanya
Allah yang tahu Jawaban itu semua......

SUMBER :
1. ENSIKLOPEDIA NASAB ALHUSAINI SELURUH DUNIA, OLEH AL ALLAMAH
SAYYID BAHRUDDIN AZMATKHAN AL HAFIZH & SAYYID SHOHIBUL FAROJI
AZMATKHAN AL HAFIZH (THEGRAND-MUFTI KESULTANAN PALEMBANG
DARUSSALAM), PENERBIT MADAWIS 2011.
2. SEJARAH JAWA BARAT, OLEH YOSEF ISKANDAR, PENERBIT CV GEGER
SUNTEN, BANDUNG , 1997.
3. BABAD TANAH BETAWI, RIDWAN SAIDI, PENERBIT GRIA MEDIA, JAKARTA,
2002.
4. RIWAYAT KESULTANAN BANTEN, TUBAGUS HAFIDZ RAFIUDIN, BANTEN,
2006.
5. CHENG HO-MISTERI PERJALANAN MUHIBAH DI NUSANTARA, PROF. KONG
YUANZHI, PUSTAKA OBOR, JAKARTA, 2011
2. DARI SITUS/WEBSITE PON PES RAUDATUL IRFAN (PONDOK PESANTREN DI
KARAWANG YANG DIDIRIKAN OLEH KH MEMED TURMUDZI BIN KH ZARKASI (MURID KH TB AHMAD BAKRI (MAMA SEMPUR).

Anda mungkin juga menyukai