Anda di halaman 1dari 9

2. CONTOH UNTUK DITELADANI. Kisah Syuraih al-Qadhi.

Diriwayatkan bahwa Syuraih al-


Qadhi bertemu dengan asy-Sya’bi pada suatu hari, lalu asy-Sya’bi bertanya kepadanya tentang
keadaannya di rumahnya. Ia menjawab: “Selama 20 tahun aku tidak melihat sesuatu yang
membuatku marah terhadap isteriku.” Asy-Sya’bi bertanya, “Bagaimana itu terjadi?” Syuraih
menjawab, “Sejak malam pertama aku bersua dengan isteriku, aku melihat padanya kecantikan
yang menggoda dan kecantikan yang langka. Aku berkata dalam hatiku: “Aku akan bersuci dan
shalat dua rakaat sebagai tanda syukur kepada Allah. Ketika aku salam dan mendapati isteriku
menunaikan shalat dengan shalatku dan salam dengan salamku, maka ketika rumahku telah
sepi dari para Sahabat dan rekan-rekan, aku berdiri menuju kepadanya. Aku ulurkan tanganku
kepadanya, maka dia berkata, ‘Perlahan, wahai Abu Umayyah, seperti keadaan-mu semula.’
Kemudian ia berkata, ‘Segala puji bagi Allah. Aku memuji-Nya dan memohon pertolongan
kepada-Nya. Aku sampai-kan shalawat dan salam atas Muhammad dan keluarganya.
Sesungguhnya aku adalah wanita asing yang tidak mengetahui akhlakmu, maka jelaskanlah
kepadaku apa yang engkau sukai sehingga aku akan melakukannya dan apa yang tidak
engkau sukai sehingga aku meninggalkannya.’ Ia melanjutkan, ‘Sesungguhnya pada kaummu
terdapat wanita yang dapat engkau nikahi, dan pada kaumku ter-dapat pria yang sekufu
denganku. Tetapi jika Allah menentukan suatu perkara, maka perkara itu terjadi. Engkau telah
berkuasa, maka lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu, yaitu menahan dengan
yang ma’ruf atau mencerai dengan cara yang baik. Aku ucapkan sampai di sini saja, dan aku
memohon ampun kepada Allah untukku dan untukmu…!’ Syuraih berkata, “-Demi Allah wahai
asy-Sya’bi-, ia membuatku membutuhkan kepada khutbah di tempat tersebut. Aku katakan,
‘Segala puji bagi Allah. Aku memuji-Nya dan memohon pertolongan kepada-Nya. Aku
sampaikan shalawat dan salam atas Nabi dan keluarganya. Sesungguhnya engkau
mengatakan suatu pembicaraan yang bila engkau teguh di atasnya, maka itu menjadi
keberuntunganmu, dan jika engkau meninggalkannya, maka itu menjadi hujjah (keburukan)
atasmu. Aku menyukai demikian dan demikian, dan tidak menyukai demikian dan demikian.
Apa yang engkau lihat baik, maka sebarkanlah, dan apa yang engkau lihat buruk, maka
tutupilah!’ Ia mengatakan, ‘Bagaimana kesukaanmu dalam mengunjungi keluargaku?’ Aku
menjawab, ‘Aku tidak ingin mertuaku membuatku penat.’ Ia bertanya, ‘Siapa yang engkau sukai
dari para tetanggamu untuk masuk ke rumahmu sehingga aku akan mengizinkannya, dan siapa
yang tidak engkau sukai sehingga aku tidak mengizinkannya masuk?’ Aku mengatakan, ‘Bani
fulan adalah kaum yang shalih, dan Bani fulan adalah kaum yang buruk.’” Syuraih berkata,
“Kemudian aku bermalam bersamanya pada malam yang sangat nikmat (baik). Aku hidup
bersamanya selama setahun dan aku tidak melihat melainkan sesuatu yang aku sukai. Ketika di
awal tahun aku datang dari majelis Qadha’ (peradilan), tiba-tiba ada seorang wanita di dalam
rumah. Aku bertanya, ‘Siapa dia?’ Mereka menjawab, ‘Mertuamu (yakni, ibu dari isterimu).’ Ia
menoleh kepadaku dan bertanya kepadaku, ‘Bagaimana pendapat-mu tentang isterimu?’ Aku
menjawab, ‘Sebaik-baik isteri.’ Ia mengatakan, ‘Wahai Abu Umayyah, wanita tidak menjadi lebih
buruk keadaannya darinya dalam dua keadaan: jika melahirkan anak, atau dimuliakan di sisi
suaminya. Demi Allah, laki-laki tidak menemui di rumahnya yang lebih buruk daripada wanita
yang manja. Oleh karena itu, hukumlah dengan hukuman yang engkau suka, dan didiklah
dengan didikan yang engkau suka.’ Lalu aku tinggal bersamanya selama 20 tahun, dan aku
tidak pernah menghukumnya mengenai sesuatu pun, kecuali sekali, dan aku merasa telah men-
zhaliminya.”[1] Kita berbicara tentang kaum wanita yang patut diteladani, dan kita tidak bisa
melupakan seorang wanita yang mencapai derajat kemauan tertinggi dan mendapatkan kabar
gembira (bahwa dia akan masuk) Surga, sedangkan dia berjalan di permukaan bumi. Dari
wanita inilah kita belajar kemuliaan, kesabaran, dan memberi sumbangsih di jalan agama ini.

Ia adalah al-Ghumaisha’ binti Milhan Ummu Sulaim Radhiyallahu anha, yang Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentangnya:

ُ َ ‫ت م ِْل َح‬
ِ‫ْن َمالِك‬ ِ ‫ أ ُّم أَ َن‬،‫ان‬
ِ ‫سب‬ ُ ‫صا ُء ِب ْن‬ ُ ‫ َفقُ ْل‬،‫ت َخ ْش َف ًة‬
َ ‫ َه ِذ ِه ْال ُغ َم ْي‬:‫ َقالُوا‬.‫ َمنْ َه َذا‬:‫ت‬ aُ ْ‫ت ْال َج َّن َة َف َسمِع‬
ُ ‫دَخ ْل‬.
َ

“Aku memasuki Surga lalu aku mendangar suara, maka aku bertanya, ‘Siapakah ini?’
Mereka berkata, ‘Ini adalah al-Ghumaisha’ binti Milhan, Ummu Anas bin Malik.’”[2]
Bagaimana kisah Shahabiyah yang mulia ini? Pertama : Mari kita dengar kisah
pernikahannya. An-Nasa-i meriwayatkan dari hadits Anas Radhiyallahu anhu, ia
mengatakan: “Abu Thalhah (datang) melamar, lalu Ummu Sulaim berkata, ‘Demi Allah,
orang semisalmu, wahai Abu Thalhah, tidak akan ditolak. Tetapi engkau adalah pria kafir
sedangkan aku wanita muslimah, dan tidak halal bagiku menikahimu. Jika engkau masuk
Islam, maka itulah maharku dan aku tidak meminta kepadamu selainnya. Kemudian dia
masuk Islam, lalu hal itu menjadi maharnya.’ Tsabit berkata, ‘Aku tidak mendengar
seorang wanita pun yang lebih mulia maharnya dibanding Ummu Sulaim, (maharnya)
yaitu Islam.’”[3] Kedua : Kesabarannya. Anas bin Malik Radhiyallahu anhu meriwayatkan
bahwa seorang anak dari Abu Thalhah sakit. Ketika Abu Thalhah keluar, anak itu
meninggal. Ketika Abu Thalhah kembali, dia bertanya, “Bagaimana anakku?” Ummu
Sulaim menjawab, “Ia dalam kondisi sangat tenang,” seraya menghidangkan makan
malam kepadannya, dan dia pun makan. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Ummu
Sulaim berkata, “Jangan beritahukan kepada Abu Thalhah tentang kematian anaknya.”
Kemudian ia melakukan tugasnya sebagai isteri kepada suaminya, lalu suaminya
berhubungan intim dengannya. Ketika akhir malam, ia berkata kepada suaminya, “Wahai
Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu bila keluarga si fulan meminjam suatu pinjaman,
lalu memanfaatkannya, kemudian ketika pinjaman itu diminta, mereka tidak suka?” Ia
menjawab, “Mereka tidak adil.” Ummu Sulaim berkata, “Sesungguhnya anakmu, fulan,
adalah pinjaman dari Allah dan Dia telah mengambilnya.” Abu Thalhah beristirja’
(mengucapkan: Innaa lillaahi wa innaaa ilaih raaji’uun) dan memuji Allah seraya
mengatakan, “Demi Allah, aku tidak membiarkanmu mengalahkanku dalam kesabaran.”
Pada pagi harinya, dia datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala
beliau melihatnya, beliau bersabda, “Semoga Allah memberkahi kalian berdua di malam
hari kalian.” Keberkahan itu, sejak malam itu, mencakup ‘Abdullah bin Abi Thalhah, dan
tidak ada pada kaum Anshar seorang pemuda yang lebih baik darinya. Dari ‘Abdullah
tersebut lahirlah banyak anak, dan ‘Abdullah tidak meninggal sehingga dia dikaruniai
sepuluh anak yang semuanya hafal al-Qur-an, dan dia wajat di jalan Allah.[4] Ketiga :
Jihadnya di jalan Allah. Muslim meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu bahwa pada
perang Hunain, Ummu Sulaim membawa pisau kecil. Senjata itu bersamanya. Ketika Abu
Thalhah melihatnya, maka dia mengatakan, “Wahai Rasulullah! Ini adalah Ummu Sulaim,
ia membawa pisau kecil.” Mengetahui hal itu, beliau bertanya, “Untuk apa pisau kecil
ini?” Ia menjawab, “Aku membawanya; jika seorang dari kaum musyrik mendekat
kepadaku, maka aku robek perutnya dengannya.” Mendengar hal itu beliau tertawa. Ia
berkata, “Wahai Rasulullah, akan kubunuh orang-orang yang masuk Islam setelah kita
dari kalangan thulaqa'[5] yang melarikan diri darimu!” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, “Wahai Ummu Sulaim, Allah telah mencukupi dan berbuat baik.”[6]
Keempat : Kemuliaannya di rumahnya. Kita masih membicarakan Shahabiyah mulia ini,
dan kita akan mendengarkan tentang kemuliaannya di rumahnya dan pengetahuannya
bahwa Allah Azza wa Jalla akan memberi ganti kepada orang-orang yang berinfak.[7]
Dalam Shahiih al-Bukhari dari hadits Anas Radhiyallahu anhu, ia menuturkan bahwa Abu
Thalhah berkata kepada Ummu Sulaim, “Aku telah mendengar suara Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam keadaan lemah yang aku ketahui beliau sedang lapar; apakah
engkau mempunyai sesuatu?” Ia menjawab, “Ya.” Lalu ia mengeluarkan sejumlah roti
yang terbuat dari gandum, kemudian mengeluarkan kerudungnya lalu membungkus roti
tersebut dengan sebagiannya. Kemudian ia melilitkannya di bawah tanganku, lalu
mengutusku kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku pun pergi dan
menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid bersama sejumlah orang.
Ketika aku berada di hadapan mereka, beliau ber-tanya kepadaku, “Apakah Abu Thalhah
mengutusmu?” Aku menjawab, “Ya.” Beliau bertanya, “Dengan membawa makanan?”
Aku menjawab, “Ya.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada
orang-orang yang bersamanya, “Berdirilah!” Beliau beranjak dan aku pun beranjak dari
hadapan mereka hingga aku sampai kepada Abu Thalhah, lalu aku mengabarkan
kepadanya. Abu Thalhah berkata, “Wahai Ummu Sulaim, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah datang bersama sejumlah orang, sedangkan kita tidak mempunyai sesuatu
untuk menjamu mereka.” Ia menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Lalu Abu
Thalhah pergi hingga bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dan Abu Thalhah menyertainya, lalu
beliau berkata, “Kemarilah wahai Ummu Sulaim, apa yang engkau miliki?” Maka ia
membawa roti tersebut. Lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
untuk membukanya, dan Ummu Sulaim membuat kuah untuk menguahinya. Kemudian
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada makanan itu apa yang hendak
dikatakannya, kemudian beliau bersabda, “Izinkanlah untuk sepuluh orang orang!” Maka
makanan itu mengizinkan mereka, lalu mereka makan hingga kenyang, lalu mereka
keluar. Kemudian beliau bersabda, “Izinkanlah untuk sepuluh orang!” Maka ia
mengizinkan mereka, lalu mereka makan hingga kenyang. Lalu beliau bersabda,
“Izinkahlah untuk sepuluh orang!” Maka ia menginzinkan mereka, lalu mereka makan
hingga kenyang, kemudian mereka keluar. Selanjutnya beliau mengatakan, “Izinkan
untuk sepuluh orang!” Kemudian mereka semua makan hingga kenyang. Mereka semua
berjumlah 70 atau 80 orang.[8] Inilah seorang wanita yang mengajarkan kepada kaum
pria untuk bersabar, terutama terhadap kaum wanita,

dan mengajarkan kepada mereka supaya ridha dengan ketentuan Allah. Kita memohon kepada
Allah, semoga para wanita kita belajar bersabar ketika mengalami musibah yang menyedihkan,
agar melahirkan untuk kita tokoh-tokoh seperti Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Malik, Ahmad
dan asy-Syafi’i. Abul Faraj Ibnu al-Jauzi mengatakan bahwa al-Ashma’i berkata, “Aku dan
kawanku keluar menuju dusun, lalu kami tersesat jalan. Tiba-tiba kami menjumpai gubuk di
kanan jalan, lalu kami menuju ke sana dan mengucapkan salam. Ternyata seorang wanita
menjawab salam kami seraya bertanya, ‘Siapa kalian?’ Kami menjawab, ‘Kaum yang tersesat
jalan. Kami datang kepada kalian untuk mengunjungi kalian.’ Ia mengatakan, ‘Wahai kaum,
palingkan wajah kalian dariku hingga aku menyelesaikan apa yang menjadi hak kalian.’ Kami
pun melakukannya, lalu ia melemparkan kepada kami alas tidur seraya mengatakan, ‘Duduklah
di situ hingga puteraku datang.’ Kemudian dia melihat-lihat kedatangan puteranya hingga dia
bisa melihatnya seraya mengatakan, ‘Aku memohon kepada Allah keberkahan orang yang
datang. Unta itu adalah unta puteraku, sedangkan yang menungganginya bukan puteraku.’
Ketika penunggang unta itu telah berdiri di hadapannya, ia mengatakan, ‘Wahai Ummu ‘Uqail,
semoga Allah membesarkan pahalamu karena ‘Uqail.’ Dia bertanya, ‘Apakah puteraku wafat?’
Ia menjawab, ‘Ya.’ Dia bertanya, ‘Apa penyebab kematiannya?’ Ia menjawab, ‘Unta berdesak-
desakan padanya lalu ia terlempar ke sumur.’ Dia mengatakan, ‘Turunlah, lalu penuhi hak
bertamu kaum ini.’ Dia menyerahkan seekor domba kepadanya, lalu ia menyembelih dan
mengolahnya serta menghidangkan makanan kepada kami. Kemudian kami makan dan kami
kagum dengan kesabarannya. Ketika kami selesai, dia keluar kepada kami dalam keaadan
tertutup hijab seraya mengatakan, ‘Wahai kaum, apakah di antara kalian ada yang dapat
membaca al-Qur-an dengan baik?’ Aku menjawab, ‘Ya.’ Ia mengatakan, ‘Bacakan kepadaku
dari Kitabullah ayat-ayat yang aku menjadi terhibur dengannya.’ Aku mengatakan, ‘Allah Azza
wa Jalla berfirman:

‫ُون‬ َ ‫ات مِنْ َرب ِِّه ْم َو َرحْ َم ٌة ۖ َوأُو ٰلَ ِئ‬


َ ‫ك ُه ُم ْال ُم ْه َتد‬ ٌ ‫صلَ َو‬ َ ‫ُون أُو ٰلَئ‬
َ ‫ِك َعلَي ِْه ْم‬ َ َ‫ِين إِ َذا أ‬
َ ‫صا َب ْت ُه ْم مُصِ ي َب ٌة َقالُوا إِ َّنا هَّلِل ِ َوإِ َّنا إِلَ ْي ِه َرا ِجع‬ َ ‫ين الَّذ‬ ِ ‫َو َب ِّش ِر الص‬
َ ‫َّاب ِر‬
“…
Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang
apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.’ Mereka
itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb-nya, dan mereka
itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” [Al-Baqarah: 155-157]. Ia bertanya, ‘Apakah ayat-
ayat ini dalam Kitabullah demikian?’ Aku menjawab, ‘Ayat-ayat ini dalam Kitabullah demikian.’
Dia mengatakan, ‘Assalaamu ‘alaikum. Kemudian dia meluruskan kedua telapak kakinya dan
shalat dua rakaat, kemudian mengucapkan, ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Di sisi Allah
mendapatkan ‘Uqail.’ Ia mengatakan demikian tiga kali. Ya Allah, aku melakukan apa yang
Engkau perintahkan kepadaku, maka berikan kepadaku apa yang Engkau janjikan
kepadaku.’”[9] Inilah Ummu ‘Umarah, seorang mujahidah yang membela Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan hidupnya. Membelanya karena agama, membelanya dan cemas
terhadapnya adalah lebih penting baginya daripada dirinya sendiri. Di manakah kaum wanita
sekarang jika di bandingkan dengan wanita-wanita yang membeli akhirat dengan dunia?
Kemauan wanita pada zaman sekarang ini adalah membeli segala keinginan dan menikmati
kehidupan dunia berikut berbagai kelezatannya. Sementara dia tidak menghiraukan perkara
agama, bahkan di dalam rumahnya, bersama anak-anaknya. Ya Allah, selamatkanlah…
selamatkanlah.

Inilah Ummu ‘Umarah Nasibah binti Ka’ab bin ‘Auf, seorang Shahabiyah mujahidah. Ia keluar di
tengah pasukan kaum muslimin dalam perang Uhud dan mendapatkan ujian yang baik.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentangnya: “Sungguh kedudukan
Nasibah binti Ka’ab pada hari ini lebih baik dibanding kedudukan fulan dan fulan.”[10] Ia
sebagai bintang perang umat Islam. Kemudian ia memalingkan wajahnya dari mereka, ternyata
pedang-padang kaum musyrikin menimpa mereka, memenggal leher-leher mereka dan
menikam punggung-punggung mereka. Maka mereka bercerai berai dan mundur ke belakang.
Dia pun pergi ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mencabut panah dan
memukul dengan pedang. Sedangkan di se-kitarnya ada para tokoh seperti ‘Ali, Abu Bakar,
‘Umar, Sa’ad, Thalhah, az-Zubair, al-‘Abbas, kedua puteranya dan suaminya. Ia tidak ingin
bahaya mendekati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga ia menjadi bentengnya.
Sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ْ‫ت َي ِم ْي ًنا َوالَ شِ َماالً إِالَّ َوأَ َنا أَ َرا َها ُت َقا ِت ُل د ُْونِي‬
ُّ ‫ َما ْال َت َف‬. “

Tidaklah aku melihat ke kanan dan ke kiri melainkan aku melihatnya berperang untuk
membelaku.”[11] Dari ‘Umarah bin Ghazyah, ia mengatakan: “Ummu ‘Umarah menuturkan,
‘Aku melihat orang-orang pergi dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak tersisa
kecuali sekelompok orang yang kurang dari sepuluh orang. Aku, anakku dan suamiku berada di
depan Rasulullah untuk melindungi beliau. Sementara orang-orang melewati beliau untuk
melarikan diri, dan beliau melihatku tidak memakai perisai. Ketika beliau melihat orang yang
melarikan diri sambil membawa perisai, maka beliau mengatakan, ‘Lemparkan perisaimu untuk
dipakai orang yang berperang.’ Ia melemparkannya, lalu aku mengambilnya. Perisai tersebut
aku pakai untuk melindungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Luka yang aku dapatkan
hanyalah dari orang-orang berkuda. Seandainya mereka berjalan (tanpa tunggangan) seperti
kami, niscaya kami dapat melukai mereka. Insya Allah. Ketika seseorang berkuda datang lalu
menebasku, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berteriak, ‘Wahai putera Ummu ‘Umarah! Ibumu!
Ibumu!’ Lalu puteraku membantuku menghadapi pria tersebut sehingga aku berhasil
membunuhnya.’”[12] Pada hari itu Ummu ‘Umarah Radhiyallahu anha terluka sebanyak 13 luka.

Di antara wanita yang mengajarkan kepada kita dan meng-ajarkan wanita-wanita kita agar
yakin kepada Allah dan berinfak di jalan-Nya adalah Ummud Dahdah. Mari kita dengar kisahnya
bersama suaminya dan ketaatannya kepadanya. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari ‘Abdullah
bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia menuturkan bahwa ketika turun ayat ini:

‫َمنْ َذا الَّذِي ُي ْق ِرضُ هَّللا َ َقرْ ضًا َح َس ًنا َف ُيضَاعِ َف ُه َل ُه‬
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan
hartanya di jalan Allah)…” [Al-Baqarah/2 : 245].

Abud Dahdah al-Anshari bertanya, “Wahai Rasulullah, benarkah Allah menginginkan pinjaman
dari kami?” Beliau menjawab, “Ya.” Ia mengatakan, “Perlihatkan tanganmu kepadaku, wahai
Rasulullah.” Ketika beliau mengulurkan tangannya kepadanya, ia mengatakan, “Sesungguhnya
aku telah meminjamkan kebun kepada Rabb-ku.” Ia mempunyai kebun yang di dalamnya
terdapat 600 pohon kurma, dan Ummud Dahdah beserta keluarganya berada di dalamnya.
Abud Dahdah datang dan memanggilnya, “Wahai Ummud Dahdah!” Ia menjawab, “Aku penuhi
panggilanmu.” Ia mengatakan, “Keluarlah, sebab aku telah meminjamkannya kepada Rabb-ku
Azza wa Jalla.” Dalam satu riwayat bahwa Ummud Dahdah berkata kepadanya, “Jual belimu
telah mendapat keuntungan, wahai Abud Dahdah.” Lalu ia mengangkat darinya perabot dan
anak-anaknya, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Alangkah banyaknya
pohon kurma yang lebat di Surga milik Abud Dahdah.”[13] Dari Muhammad bin al-Husain, ia
mengatakan bahwa Abu Muhammad al-Hariri berkata: “Aku berada di sisi Badr al-Maghazili,
dan isterinya menjual intan seharga 30 dinar, maka dia berkata kepada isterinya, ‘Kita pisahkan
dinar-dinar ini untuk saudara-saudara kita, dan kita makan rizki yang didapat sehari-hari.’
Isterinya memenuhi permintaan suaminya seraya mengatakan, ‘Engkau berzuhud sedangkan
kami menginginkan? Ini tidak akan terjadi.”[14] Riyah al-Qaisi menikahi seorang wanita, lalu dia
membangun rumah tangga dengannya. Ketika pagi hari, wanita ini beranjak menuju
adonannya, maka Riyah mengatakan, “Seandainya engkau mencari seorang wanita yang dapat
mengerjakan pekerjaanmu ini.” Ia menjawab, “Aku hanyalah menikah dengan Riyah al-Qaisi
dan aku tidak membayangkan menikah dengan orang yang sombong lagi ingkar. Pada malam
harinya Riyah tidur untuk menguji isterinya, ternyata ia bangun pada seperempat malam,
kemudian memanggilnya seraya mengatakan, “Bangun, wahai Riyah.” Dia menjawab, “Aku
akan bangun.” Tapi ia tidak bangun. Lalu ia bangun pada seperempat malam yang terakhir,
kemudian memanggilnya seraya mengatakan, “Bangun, wahai Riyah.” Dia menjawab, “Aku
akan bangun.” Maka ia mengatakan, “Malam telah berlalu dan orang-orang yang berbuat
kebajikan meraih keuntungan, sedangkan engkau tidur. Duhai siapa yang tega menipuku
hingga aku menikah denganmu, wahai Riyah?” Lalu ia bangun pada seperempat waktu yang
tersisa.”[15] Al-Husain bin ‘Abdirrahman berkata: “Sebagian Sahabat kami bercerita kepadaku,
ia mengatakan: ‘Isteri Hubaib, yakni Abu Muhammad mengatakan bahwa ia terjaga pada suatu
malam sedangkan suaminya tidur, lalu ia membangunkannya pada waktu sahur seraya
mengatakan, ‘Bangunlah wahai pria, sebab malam telah berlalu dan siang pun tiba, sedangkan
di hadapanmu ada jalan yang panjang dan perbekalan yang sedikit. Para kafilah orang-orang
shalih di depan kita, sedangkan kita di belakang.’”[16] Ummu Ibrahim al-Bashariyyah, seorang
wanita ahli ibadah. Dikisahkan bahwa di Bashrah terdapat para wanita ahli ibadah, di antaranya
adalah Ummu Ibrahim al-Hasyimiyah. Ketika musuh menyusup ke kantong-kantong perbatasan
wilayah Islam, maka orang-orang tergerak untuk berjihad di jalan Allah. Kemudian ‘Abdul Wahid
bin Zaid al-Bashri berdiri di tengah orang-orang sambil berkhutbah untuk menganjurkan mereka
berjihad. Ummu Ibrahim ini menghadiri majelisnya. ‘Abdul Wahid meneruskan pembicaraannya,
kemudian menerangkan tentang bidadari. Dia menyebutkan pernyataan tentang bidadari, dan
bersenandung untuk menyifatkan bidadari. Gadis yang berjalan tenang dan berwibawa Orang
yang menyifatkan memperoleh apa yang diungkapkannya Dia diciptakan dari segala sesuatu
yang baik nan harum Segala sifat jahat telah dienyahkan Allah menghiasinya dengan wajah
yang berhimpun padanya sifat-sifat kecantikan yang luar biasa Matanya bercelak demikian
menggoda Pipinya mencipratkan aroma kesturi Lemah gemulai berjalan di atas jalannya
Seindah-indah yang dimiliki dan kegembiraan yang berbinar-binar Apakah kau melihat
peminangnya mendengarkannya Ketika mengelilingkan piala dan bejana Di taman yang elok
yang kita dengar suaranya Setiap kali angin menerpa taman itu, bau harumnya menyebar Dia
memanggilnya dengan cinta yang jujur Hatinya terisi dengannya hingga melimpah Wahai
kekasih, aku tidak menginginkan selainnya Dengan cincin tunangan sebagai pembukanya
Janganlah kau seperti orang yang bersungguh-sungguh ke puncak hajatnya Kemudian setelah
itu ia meninggalkannya Tidak, orang yang lalai tidak akan bisa meminang wanita sepertiku
Yang meminang wanita sepertiku hanyalah orang yang me-rengek-rengek Maka sebagian
orang bergerak pada sebagian lainnya, dan majelis itu pun bergerak. Lalu Ummu Ibrahim
menyeruak dari tengah orang-orang seraya berkata kepada ‘Abdul Wahid, “Wahai Abu ‘Ubaid,
bukankah engkau tahu anakku, Ibrahim. Para pemuka Bashrah meminangnya untuk puteri-
puteri mereka, tetapi aku memukulnya di hadapan mereka. Demi Allah, gadis (bidadari) ini
mencengangkanku dan aku meridhainya menjadi pengantin untuk puteraku. Ulangi lagi apa
yang engkau sebutkan tentang kecantikan-nya.” Mendengar hal itu ‘Abdul Wahid kembali
menyifatkan bidadari, kemudian bersenandung: Cahayanya mengeluarkan cahaya dari cahaya
wajahnya Senda guraunya seharum parfum dari parfum murni Jika menginjakkan sandalnya di
atas pasir gersang niscaya seluruh penjuru menjadi menghijau dengan tanpa hujan Jika engkau
suka, tali yang mengikat pinggangnya seperti ranting pohon Raihan yang berdaun hijau
Seandainya meludahkan air liurnya di lautan niscaya penduduk merasakan segarnya meminum
air lautan Pandangan mata yang menipu nyaris melukai pipinya Dengan luka keraguan hati dari
luar kelopak mata Orang-orang pun menjadi semakin gaduh, lalu Ummu Ibrahim maju seraya
berkata kepada ‘Abdul Wahid, “Wahai Abu ‘Ubaid, demi Allah, gadis ini mencengangkanku dan
aku meridhainya sebagai pengantin bagi puteraku. Apakah engkau sudi menikahkannya
dengan gadis tersebut saat ini juga, dan engkau ambil maharnya dariku sebanyak 10.000 dinar,
serta dia keluar bersamamu dalam peperangan ini; mudah-mudahan Allah mengarunikan
syahadah (mati sebagai syahid) kepadanya, sehingga dia akan memberi syafa’at untukku dan
untuk ayahnya pada hari Kiamat.” ‘Abdul Wahid berkata kepadanya, “Jika engkau
melakukannya, niscaya engkau dan anakmu akan mendapatkan keberuntungan yang besar.”
Kemudian ia memanggil puteranya, “Wahai Ibrahim!” Dia bergegas maju dari tengah orang-
orang seraya mengatakan, “Aku penuhi panggilanmu, wahai ibu.” Ia mengatakan, “Wahai
puteraku! Apakah engkau ridha dengan gadis (bidadari) ini sebagai isteri, dengan syarat
engkau mengorbankan dirimu di jalan Allah dan tidak kembali dalam dosa-dosa?” Pemuda ini
menjawab, “Ya, demi Allah wahai ibu, aku sangat ridha.” Sang ibu mengatakan, “Ya Allah, aku
menjadikan-Mu sebagai saksi bahwa aku telah menikahkan anakku ini dengan gadis ini dengan
pengorbanannya di jalan-Mu dan tidak kembali dalam dosa. Maka, terimalah dia dariku, wahai
sebaik-baik Penyayang.” Kemudian ia pergi, lalu datang kembali dengan mem-bawa 10.000
dinar seraya mengatakan, “Wahai Abu ‘Ubaid, ini adalah mahar gadis itu. Bersiaplah dengan
mahar ini.” Abu ‘Ubaid pun menyiapkan para pejuang di jalan Allah. Sedangkan sang ibu pergi
untuk membelikan kuda yang baik untuk puteranya dan menyiapkan senjata untuknya. Ketika
‘Abdul Wahid keluar, Ibrahim pun berangkat, sedangkan para pembaca al-Qur-an di sekitarnya
membaca: ‫ِين أَ ْنفُ َس ُه ْم َوأَم َْوالَ ُه ْم ِبأَنَّ لَ ُه ُم ْال َج َّن َة‬
َ ‫“ إِنَّ هَّللا َ ا ْش َت َر ٰى م َِن ْالم ُْؤ ِمن‬Sesungguhnya Allah telah membeli dari
orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan Surga untuk mereka …” [At-
Taubah/9: 111]. Ketika sang ibu hendak berpisah dengan puteranya, maka ia menyerahkan
kain kafan dan wangi-wangian kepadanya seraya mengatakan kepadanya, “Wahai anakku, jika
engkau hendak bertemu musuh, maka pakailah kain kafan ini dan gunakan wangi-wangian ini.
Janganlah Allah melihatmu dalam keadaan lemah di jalan-Nya.” Kemudian ia memeluk
puteranya dan mencium keningnya seraya mengatakan, “Wahai anakku, Allah tidak
mengumpulkan antara aku denganmu kecuali di hadapan-Nya pada hari Kiamat.” ‘Abdul Wahid
berkata: “Ketika kami sampai di negeri musuh, terompet pun ditiup, dan orang-orang mulai
berperang, maka Ibrahim berperang di barisan terdepan. Ia membunuh musuh dalam jumlah
besar, kemudian mereka mengepungnya, lalu ia terbunuh.” ‘Abdul Wahid berkata: “Ketika kami
hendak kembali ke Bashrah, aku berkata kepada Sahabat-Sahabatku, ‘Jangan menceritakan
kepada Ummu Ibrahim tentang berita yang menimpa puteranya sampai aku mengabarkan
kepadanya dengan sebaik-baik hiburan, agar ia tidak bersedih sehingga pahalanya hilang.’
Ketika kami sampai di Bashrah, orang-orang keluar untuk menyambut kami, dan Ummu Ibrahim
keluar di tengah-tengah mereka.” ‘Abdul Wahid berkata: “Ketika dia memandangku, ia bertanya,
‘Wahai Abu ‘Ubaid, apakah hadiah dariku diterima sehingga aku diberi ucapan selamat, atau
ditolak sehingga aku harus diberi belasungkawa?’ Aku menjawab, ‘Hadiahmu telah diterima.
Sesungguhnya Ibrahim hidup bersama orang-orang yang hidup dalam keadaan diberi rizki
(insya Allah).’ Maka ia pun tersungkur dalam keadaan bersujud kepada Allah karena bersyukur,
dan mengatakan, ‘Segala puji bagi Allah yang tidak mengecewakan dugaanku dan menerima
ibadah dariku.’ Kemudian ia pergi. Keesokan harinya, ia datang ke masjid ‘Abdul Wahid lalu
berseru, ‘Assalaamu ‘alaikum wahai Abu ‘Ubaid, ada kabar gembira untukmu.’ Dia mengatakan,
‘Engkau senantiasa memberi kabar gembira.’ Ia mengatakan kepadanya, ‘Tadi malam aku
bermimpi melihat puteraku, Ibrahim, di sebuah taman yang indah. Di atasnya terdapat kubah
hijau, dia berada di atas ranjang yang terbuat dari mutiara, dan kepalanya memakai mahkota.
Dia berucap, ‘Wahai ibu, bergembiralah. Sebab, maharnya telah diterima dan aku bersanding
dengan pengantin wanita.’”[17] Mereka itulah para ibu kita terdahulu, bintang-bintang malam di
langit kebesaran dan cahaya yang indah di kening tekad yang menggebu. Itulah sedikit dari
pembicaraan tentang jihad mereka yang tidak membiarkan seseorang mengatakan “konon”,
tidak memberikan kesempatan kepada orang yang sombong yang menjadi saksi salah satu
rahasia kekuatan terbesar, yang menyebabkan bangsa Arab yang “ummi” menjadi sebaik-baik
umat yang dilahirkan untuk manusia. Itulah jiwa yang diberi celupan oleh Allah dengan rahmat-
Nya, menyiraminya dari hikmah-Nya, menciptakannya untuk mendidik prajurit-Nya, serta
menyiapkannya untuk menyucikan (makhluk) ciptaan-Nya. ‫ار‬ ٍ ‫ك ْال َخالَئ ِِق إِ َّن َها م َُسلَّ َم ٌة مِنْ ُك ِّل َع‬
َ ‫َسالَ ٌم َعلَى ت ِْل‬
َ‫ َو َمأْث ٍم‬Kesejahteraan atas para manusia Karena terbebas dari segala aib dan dosa.[18] Ini adalah
kisah-kisah yang berisikan ibrah (pelajaran berharga), penulis kemukakan di sini agar para
wanita kita membaca-nya dan belajar dari generasi pertama; bagaimana mereka menjadi isteri,
dan bagaimana mereka bersabar terhadap ketentuan Allah dan tidak bersedih. Juga agar
mereka dapat belajar dari biografi mereka dalam berjihad; betapa banyak mereka mengaitkan
hati mereka kepada Allah, tidak kepada dunia berikut perhiasannya yang hina. Demikian pula
agar mereka melihat bagaimana wanita membantu suami dan anaknya untuk mentaati Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Adakah jalan untuk kembali, dan adakah (kesempatan) kembali kepada
agama kita? [Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin
Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z,
Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor] _______ Footnote [1].
Ahkaamun Nisaa’, Ibnul Jauzi (hal. 134-135) dan Ahkaamul Qur-aan, Ibnul ‘Arabi (I/417). [2].
HR. Muslim (no. 2456) kitab Fadhaa-ilush Shahaabah, Ahmad (no. 13102). [3]. HR. An-Nasa-i
(no. 3341) kitab an-Nikaah, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih an-Nasa-i. [4].
Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5470) kitab al-‘Aqiiqah, Muslim (no. 2144), kitab Fadhaa-ilush
Shahaabah, Ahmad (no. 11617). [5]. Ath-thulaqa’ adalah orang-orang yang masuk Islam dari
penduduk Makkah pada hari penaklukan Makkah. Mereka dinamakan demikian karena Nabi n
memberi kebebasan kepada mereka, dan keislaman mereka sangatlah lemah. Oleh karena itu,
Ummu Sulaim berkeyakinan bahwa mereka itu munafik yang berhak dibunuh karena mereka
melarikan diri. [6]. HR. Muslim (no. 1809) kitab al-Jihaad was Siyar, Abu Dawud (no. 3718) kitab
al-Jihaad, Ahmad (no. 11698). [7]. Fiqhut Ta’aamul Bainaz Zaujaini, al-‘Adawi (hal. 100). [8].
HR. Al-Bukhari (no. 3578) kitab al-Manaaqib, Muslim (no. 2040) kitab al-Asyribah, at-Tirmidzi

Anda mungkin juga menyukai