Anda di halaman 1dari 47

Abu Ezra Laili Al-Fadhli

• Judul Manzhumah:
• Manzhumah At-Tanbihat Al-Wadhihah Litilawati
Suratil Fatihah
• Penyusun:
• Syaikh Abu Yusuf Akram Al-Hasyimi Al-Baghdadi
• (Baghdad, 15 Februari 1980 - …)
• Matn ini beserta syarhnya disebarkan secara
langsung oleh penyusun dalam beberapa forum
online.
• Mengapa memilih Nazhm ini?
• Diuraiakan beragam permasalahan tilawah,
khususnya dalam surat Al-Fatihah,
• Disusun berdasarkan hasil evaluasi beberapa
nazhm serupa yang telah ditulis sebelumnya,
• Telah mendapat rekomendasi dari salah
seorang pakar ilmu qiraat, Fadhîlatusy Syaikh
Al-Muqri Hasan Mushthafâ Al-Warrâqiy.
• An-Nazhim mengatakan:
‫م‬ ُ‫َ ََ م‬ ‫َ م‬ َ ‫مَُ َ َ م ََ م‬
‫آن‬
ِ ‫مِن فضلِهِ ت َِلوة ٱلقر‬ ‫ان‬
ِ ‫• أۡحد من اسبغ ل ِۡلنس‬
• Aku memuji Dzat yang telah menyempurnakan
bagi manusia, kenikmatan dan keutamaan berupa
tilawah Al-Quran dan kenikmatan lainnya berupa
ganjaran dan pahala.
• An-Nâzhim (penyusun syair) r mengawali
syairnya dengan mengucapkan pujian bagi
Allâh c, dengan kalimat: “Aku memuji Dzat
yang telah menyempurnakan bagi manusia,
kenikmatan dan keutamaan berupa tilawah
Alquran dan kenikmatan lainnya berupa
ganjaran dan pahala.”
• Beliau juga memulai syair ini dengan hamdalah
untuk ber-qudwah (mengambil teladan) kepada
Alquran, dan sebagai bentuk pengamalan atas
hadits
َ‫ َ م َ ُ م‬yang
َ‫ َ ُ م‬diriwayatkan
َ‫ َ م ه َ ُ م‬oleh Ibnu
َُ‫َ َ ُم‬ Mâjah, َ ُّ ُ
‫ال َل يبدأ فِيهِ ِِبم ِد ٱَّللِ فه َو أجذم أو أقطع أو‬ ‫م‬
ٍ ‫• َُكَ أم ٍر ذِي ب‬
ُ‫أ مبت‬
• Setiap urusan yang memiliki kemuliaan yang tidak
dimulai dengan hamdalah maka ia terputus.
• An-Nazhim mengatakan:
َ ُ‫َ مُ ُ َ َ َ م‬ ‫ُ َ ً ََ ه َ م‬
‫ال‬
ِ ‫خۡي مرت ٍِل وخۡي ت‬ ‫• مصلِيا لَع ٱنل ِِب وٱۡل ِل‬
• Aku bershalawat dengan shalawat atas Nabi
dan keluarganya. Beliaulah sebaik-baik orang
yang mentartilkan Al-Quran, dan sebaik-baik
orang yang mengikuti kandungan Al-Quran.
• An-Nâzhim melanjutkan bait-bait syairnya
dengan shalawat ke atas Nabi g denganُ
ً َ ُ َ
perkataannya: (‫)مصلِيا‬, maknanya adalah ( ‫أص ِل‬
‫)م َصل ِ ًيا‬:
ُ “aku bershalâwât dengan shalâwât”
atas seorang Nabi.
‫َ م‬
• An-Nâzhim melanjutkan (‫“ )وٱۡل ِل‬beserta
keluarganya”.
• Keluarga Nabi g (Ahlul Bait) memiliki dua
makna: pertama makna umum, yaitu
ummat ijâbah yang mencakup seluruh
pengikut beliau.
• Kedua: makna khusus, yaitu Ahlul Bait
yang tidak berhak menerima zakat dan
shadaqah.
• Tartîl berasal dari kata rattala-yurattilu-tartîlan, subjeknya adalah
murattil dan objeknya adalah murattal. Artinya adalah terstruktur
rapi, teratur, dan jelas. Dalam konteks membaca Al-Qur`an, Ar-Râghib

‫• إ مر َس ُال مٱل ََك َمةِ م َِن مٱل َفم ب ُس ُهولَةِ َو م‬


َِ‫ٱست َقامة‬
Al-Asfahânî mengatakan dalam Al-Mufradât bahwa tartil bermakna:
ِ ِ ِ ِ ِ
• “Mengeluarkan setiap kata dari mulut dengan ringan dan tepat.”
• Sedangkan Al-Imâm Ibnul Jazariy meriwayatkan dalam An-Nasyr, dari
ُُ‫َ َ م َُ م‬ ‫َ م ُ ُ َ َ م ُ ُ ُم‬
Al-Imâm ‘Alî bin Abî Thâlib h bahwa tartil bermakna:
ِ ‫• ٱلتتِيل هو َتوِيد ٱۡلر‬
ِ ‫وف ومع ِرفة ٱلوق‬
‫وف‬
• “Tartil adalah mentajwidkan huruf dan mengetahui kaidah waqf.”
Mentajwidkan huruf berarti membaca huruf
sesuai dengan tempat keluarnya dengan disertai
sifat hak dan mustahaknya.
Sedangkan yang dimaksud ma’rifatul wuquf
artinya memahami kapan dan di mana kita boleh
atau harus berhenti, serta kapan dan di mana kita
boleh atau harus memulai membaca Al-Quran.
Sungguh, tidaklah seseorang memahami
persoalan wuquf, kecuali bila ia memahami makna
yang terkandung pada setiap ayat yang dibaca.
Secara istilah, tajwid bermakna:
ُ‫ح هقه‬ ‫م َم‬
َ ‫َم َرجهِ َم َع إ مع َطائهِ َح هق ُه َو ُم مس َت‬ ‫م‬ َ ُ ُ َ ‫م‬
ِ ِ ِ ‫ُك حر ٍف مِن‬
ِ ‫إِخراج‬
“Mengeluarkan setiap huruf dari tempat keluarnya
beserta memberikan sifat hak dan mustahaknya.”
[Taysirurrahmaan Fii Tajwiidil Quran, hal. 23]
Membaca dengan tajwid juga berarti membaca Al-
Quran sebagaimana dahulu pertama kali diturunkan Allaah
‫ ﷻ‬kepada Nabi Muhammad ‫ﷺ‬melalui Malaikat Jibril ‘alayhis

salaam. Inilah yang dikehendaki oleh Allaah ‫ ﷻ‬dan yang


lebih disukai-Nya. Dari Zaid bin Tsabit, dari Nabi ‫ﷺ‬
bersabda: ُ َ َ
َ ‫ه ه َ ُ ُّ م ُ م َ َ َ م ُ م َ ُ َ َ م‬
‫إِن ٱَّلل ُيِب أن يقرأ هذا ٱلقرءان كما أن ِزل‬
“Sesungguhnya Allaah menyukai Al-Quran ini dibaca
sebagaimana Al-Quran diturunkan”. [HR. Ibnu Khuzaimah]
• Membaca Al-Qur`an sebagaimana dahulu diturunkan berarti membacanya
dengan bahasa, cara, dan gaya membaca orang-orang Arab yang hidup
pada masa nubuwwah (zaman kenabian), yakni para Sahabat j. Karena
mereka menyimak secara langsung bagaimana Rasûlullâh g
membacakannya kepada mereka. Karenanya, kita juga diperintahkan untuk
membaca Al-Qur`an dengan dialek dan gaya bahasa orang-orang Arab yang
fasih, yakni dialek dan gaya bahasa para Sahabat j. Diriwayatkan dari
Hudzayfah bin Al-Yaman, Rasûlullâh g bersabda:
َ َ َ َ ُُ َ ُ ‫م َ َ َ م َ َ َ ه‬ ُ ُ َ َ‫مَُم مُ م‬
‫سق‬
ِ ‫أهل ٱل ِف‬
ِ ‫يو‬ ِ ‫أهل ٱلكِتاب‬
ِ ‫ب وأصوات ِها وإيكم وۡلون‬
ِ ‫ون ٱلعر‬
ِ ‫• ٱقرءوا ٱلقرءان بِلح‬
• “Bacalah Al-Qur`an dengan dialek orang Arab dan suara-suaranya yang fasih.
Dan berhati-hatilah kalian dari dialeknya Ahli Kitab dan langgamnya orang-orang
fasik.” [HR. Ath-Thabarâniy dan Al-Bayhâqiy]
• Berkaitan dengan hal ini, Al-Imâm Ibnul Jazariy berkata dalam Thayyibatun
Nasyr:

َ َ ‫م‬ ُ ُ ‫م‬ َ ‫م‬ ُ ‫م‬ َ


‫ب‬ِ ‫ون ٱلعر‬
ِ ‫• مع حس ِن صو ٍت بِلح‬
َ َ ‫َُهً َُهً م‬
‫مرتَل ُمودا بِٱلعر ِب‬
• “Dengan suara yang indah, yakni: dengan dialek Arab, dengan tartîl (khusyu’ dan
tadabbur), dengan tajwid (tepat makhrajnya dan sempurna sifatnya), serta
dengan bahasa Arab (yang paling fasih).”
Bahkan, Al-Imam Ibnul Jazariy juga menegaskan kewajiban mempraktikkan
tajwid saat membaca Al-Quran dalam Muqaddimahnya. Beliau berkata,
َ َ ُ‫َ َم َُ م‬ ُ‫اتل مجوي ِد َح متم ََلزم‬ َ‫َ م‬
‫ٱۡل مخ ُذ ب ه‬
ُ‫ان آث ِم‬‫من لم ُيوِدِ ٱلقر‬ ‫و‬
ِ َِ ِ
َ َ َ َ‫َ َ َ َ م ُ َم‬ َ َ ‫م َ َٰ ُ م‬ ُ ‫َه‬
‫وهَٰكذا مِنه إَِلنا وصَل‬ ‫ٱۡلله أنزَل‬ ِ ِ‫ِۡلنه بِه‬
“Dan mengamalkan tajwid kewajiban yang hukumnya tetap bagi seluruh muslim
mukallaf. Siapa saja orang yang (sengaja) tidak mengamalkan tajwid saat membaca
Al-Quran (sampai mengubah makna), maka ia berdosa,
Karena bersama dengan tajwid Allaah menurunkan Al-Quran dan cara membacanya.
Serta bersama dengan tajwid pula Al-Quran dan cara membacanya dari-Nya sampai
kepada kita.”
Lebih khusus, berkaitan dengan kesempurnaan
melafazhkan huruf-huruf hijaiyyah, telah sampai kepada kita
sebuah riwayat dari Ummu Salamah radhiyallaahu ‘anha saat
ditanya bagaimanakah karakterisitik bacaan Nabi:
ً‫َُ ه ًَ َ مً َم‬ ُ َ ‫م‬ َ َ َ
َ َ‫ه‬
‫ه‬ َ َ
‫أنها نعتت ق ِراءة ٱلرسو ِل ﷺ مفَّسة حرفا حرفا‬
Dari Ummu Salamah radhiyallaahu ‘anha, bahwa sesungguhnya
dia telah menyifati bacaan Rasuulullaah ‫ﷺ‬, (yaitu membaca
dengan) memperjelas huruf demi huruf. [HR.Tirmidzi 2923]
Al-Imam Ibnul Jazariy dalam Muqaddimah-nya mengatakan:
َُ ‫َ ه ً َ َ م‬ ُ ُّ َ‫َم‬ َُ ُ ‫َ َم‬
ُ‫ُم هتم‬ َ ‫م‬
‫وع أوَل أن يعلموا‬ ِ ‫قبل ٱلُّش‬ ‫جب علي ِهم‬ ِ ‫إذ وا‬
َ ُّ ‫َ م ُ َ َم‬ َ َ ُ ‫َ َ َ ُم‬
ِ ‫َِلل ِفظوا بِأفص ِح ٱللغ‬
‫ات‬ ِ ‫ٱلصف‬
‫ات‬ ِ ‫وف و‬ ِ ‫َمارِج ٱۡلر‬
“Wajib bagi mereka para Qurra’ untuk memperhatikan, Sebelum
memulai membaca Al-Qur`an hendaklah mempelajari
Makharij huruf dan sifat-sifatnya, Agar mampu mengucapkan
dengan bahasa yang paling fasih.”
• Tilâwah berasal dari kata talâ-yatlû-tilâwatan, subjeknya
adalah tâli, dan objeknya adalah matluw. Maknanya
membaca atau mengikuti.
• Secara istilah, Syaikh Ayman Rusydi Suwaid membedakan
antara tilâwah dengan qirâah. Tilâwah adalah bacaan Al-
Qur`an yang sudah menjadi wirid harian. Disebut tilâwah
karena ia dilakukan secara rutin dan terus menerus.
Sedangkan qirâah maknanya lebih umum, mencakup
tilâwah atau bacaan lain selain tilâwah.
• Dalam bait ini, An-Nâzhim mengatakan bahwa sebaik-baik
orang yang bertilawah serta men-tartîl-kan Al-Qur`an adalah
Rasûlullâh g, dan telah berlalu penjelasannya.
• Baik dalam tilâwah atau qirâah biasa, dan lebih-
lebih dalam majlisul adâ, maka termasuk adab
dalam membaca Al-Qur`an adalah:
melafazhkannya dengan tajwid yang sempurna.
Al-Imâm Ibnulَ Jazariy r mengatakan: َ
َِ ‫َوز مي َن ُة ٱۡل َداءِ َو مٱلقِ َراءة‬ َ
َِ ‫َِلوة‬ َُ‫م‬
‫حلية ٱتل‬
ً ‫َُ َ م‬
ِ ‫• وهـو أيضا‬
ِ
• “Dan tajwid juga merupakan perhiasannya
tilâwah, serta memperindah adâ dan qirâah.”
• An-Nazhim mengatakan:
‫م َ َُ َ َ ََ َ م‬ ‫ََم ُ ُ م ُم ً ُم مَ َم‬
‫اضحة‬
ِ ‫أحَكمها بيِنة وو‬ ِ ‫وبعد خذ نظما نلِ ط ِق ٱلف‬
‫اِتة‬
• Dan pelajarilah sebuah Nazhm (Syarir) untuk
menjelaskan tata cara membaca surat Al-
Fatihah.
• Hukum-hukum tajwidnya diuraikan dengan
jelas, ringkas, dan mudah dipahami.
• Dalam bait ini An-Nâzhim mengisyaratkan agar
para pembaca Alquran hendaknya mempelajari
bait-bait dalam syair yang disusunnya ini agar
dapat melafalkan ayat demi ayat dalam surat Al-
Fatihah dengan benar.
• An-Nâzhim juga memberikan alasan mengapa َ ُ َ ‫م‬
harus
‫ َ َ َ م‬syair
َ ini, yakni dengan perkataannya: (‫ا‬‫ه‬ ‫م‬ ‫َك‬ ‫أح‬
ِ ‫“ )بَيِنة وو‬Hukum-hukum tajwidnya diuraikan
‫اضحة‬
dengan jelas, ringkas, dan mudah dipahami.”
• An-Nazhim mengatakan: َ َ
‫م‬ َ َ َ ‫م‬ َ
َ ‫خذ لفظ َها َم مو ُروثة ٱل ِق َر‬‫م‬ ُ ‫م‬ َ َ ‫م‬ ‫م‬ ‫م‬
‫اءة‬ ‫• أع ِِن ب ِ ِذي ٱۡلحك ِم بِٱتل َِل َوة‬
• Yakni hukum-hukum tajwid yang diamalkan
untuk bertilawah
• Ambillah lafazh dan bacaannya secara turun
temurun melalui talaqqi dari generasi
sebelumnya
• Jadi, hukum-hukum yang dimaksud dalam syair ini maksudnya
bukanlah hukum-hukum fiqih yang berkaitan dengan surat Al-
Fatihah, melainkan hukum-hukum tajwid dalam surat Al-Fatihah.
Dalam syair ini akan diuraikan beberapa peringatan dalam
permasalahan sifat-sifat huruf dan hukum-hukum tajwid secara
umum.
• Adapun cara memperbaiki dan membaguskan bacaan Alquran mesti
diambil lafazh-lafazhnya sekaligus cara membacanya secara turun-
temurun dari generasi terdahulu, yang mewarisi lafazh-lafazh
Alquran dari generasi sebelumnya kemudian mewariskannya kepada
generasi yang datang kemudian. Demikianlah Alquran diwariskan
dari generasi ke generasi. Karenanya para ulama mengatakan bahwa
inti dari pembelajaran tajwid dan qiraat adalah talaqqi dan
musyâfahah.
• Asy-Syaikh Husniy Syaikh ‘Utsmân mengatakan dalam
Haqqut Tilâwah hal.َ 47: َ َ
ُ َ َ ‫ه‬ َ ُ َ َ َ َ ُ َ َ ‫مُ م‬ َ َََ
ِ‫وٱۡلسنادِ ع ِن ٱلشيوخ‬
َ َ َ َ ُ َ ُ ِ ُ َ َ ‫ِق‬
َ ِ ‫يق َٱتلهل‬
‫م‬ ِ ‫أخ َذ ق َِرائتَ َٰه َ َلَع ُّط ِر‬ َ‫آن أن م ي م‬
ِ ُ ‫ارِ ِى َ ٱلق ُر‬ ‫• ف معل ق‬
َ ‫خ ِذ‬
‫خ ِهم َك ي ِصل إِل تأك ٍد مِن أن ت َِلوته تطابِق ما جاء عن‬ ِ ‫ينه عن شيو‬ ِ ‫ٱۡل‬
.‫يح ُمت ِص ٍل‬ ‫ح‬ ‫ص‬َ ‫ ب َس َند‬g ِ‫َر ُسول ٱَّلل‬
ٍ ِ ٍ ِ ِ
• “Maka hendaknya para pembaca Al-Qur`an mengambil
bacaannya (mempelajari Al-Qur`an) dengan jalan talaqqî
dan (mengambil) sanad, dari para Syaikh (guru) yang
mereka mendapatkan (bacaan itu) dari guru-guru mereka,
agar sampai pada kepastian bahwa bacaan yang
dipraktikkan tersebut sesuai dengan apa yang datang dari
Rasûlullah g dengan sanad yang bersambung lagi shahih.”
• Beliau melanjutkan: َ ُ ‫م‬ َ َ َ
ُ َ َ َ ُ
َ ‫ أ مو تقلِيد ما‬,‫لَع ما ق َ َرأ ف ُب ُطون ٱلكتب‬ َ َ َٰ َ َ ‫م‬
َ ‫• أما إن ٱعت َمد ف ق َِر‬ ‫ه‬
‫س ِمعه َم ُِّن‬َ َ‫َ ه‬ ٍ ‫ه‬ ِ َ َ ‫ُ ِ ِم َ َ ِ َ َ ُ ُ َ م َ َ َ َ َ م َ م‬
ِ ِ ِ ‫ه‬ِ ‫ت‬ ‫اء‬
ُ َ
‫ وتعد‬.ِ‫ح َيحةِ ٱثلَلثة‬ ِ ‫ َ في َكون قد َهدم مأ َحد أرَك ِن َٱل َقِر ماء ُة ِ ٱلص م‬,‫ات‬ ِ َ ‫ٱۡلذاء‬ ِ ُ ُ ِ‫قراء‬
.‫ان ٱلك ِري ِم‬ ‫م‬ َٰ َ ‫ق َِر‬
ِ ‫الرواي ِة ٱلقر‬ ‫ب‬
ِ ِ ِ‫ب‬ ‫ذ‬
ِ ‫ك‬ ‫ٱل‬ ‫اب‬ِ ‫ب‬ ‫ِن‬ ‫م‬ – ‫ِك‬ ‫ل‬ ‫ذ‬ ‫ند‬ ‫ع‬ ِ - ‫ه‬ ‫ت‬ ‫اء‬
• “Adapun apabila ia hanya menyandarkan bacaannya pada
apa-apa yang telah ia baca dari buku-buku, atau sekadar
mengikuti apa yang ia dengar dari rekaman para Qari,
maka artinya ia telah menjadi orang yang meruntuhkan
salah satu dari tiga rukun bacaan yang shahih. Sedangkan
bacaannya yang ia riwayatkan pada orang lain dapat
terhitung sebagai salah satu kedustaan terhadap
periwayatan Al-Qur`an Alkarim.”
• Al-Imâmً Ibnul Jazariy menyebutkan dalam Thayyibatun
َ
َ َ ‫ََ َ ه م م‬ ‫َ ُ ُّ َ َ َ َ َ م َ م‬
Nasyr:
‫وَكن ل ِلر َس ِم ٱحت ِ َماَل ُيوِي‬ ِ ‫• فك ما وافق وجه م َنو‬
ُ َ ‫ه َُ م‬ ََٰ
َ ُ َ‫َ َ ه َ ً َُ ُم‬
‫ٱثلَل َثة ٱۡلرَكن‬ ِ ‫ه‬ ‫ذ‬
ِ ‫ه‬ ‫ف‬ ‫• وصح إِسنادا هو ٱلقرءان‬
‫وذهُ ل َ مو أنه ُه ف ه‬
َِِ‫ٱلس مبعة‬ َ ُ ُ
‫شذ‬ ‫ت‬
‫َ َ م ُ َ َ م َ ُّ ُ م م‬
ِ ِ ‫• وحيثما َيتل ركن أثب‬
ِ
• “Dan setiap yang sesuai dengan kaidah nahwu, juga sesuai dengan rasm
(‘Utsmâniy) walaupun dari satu sisinya,
• Serta shahih (bersambung) sanadnya itulah Al-Qur`an, Maka inilah tiga
rukun (bacaan yang benar),
• Kapan saja salah satunya tidak terpenuhi, Maka (bacaan tersebut) syâdz
(janggal) walaupun termasuk dalam Qira’ah Sab’ah.”
• An-Naazhim mengatakan:
ُ‫م‬ ‫م‬ َ َ ‫َ م َُ م‬ ‫َ ُ َ م َ َم‬ َ ‫م‬
ِ ‫مع ِرفة ٱۡلداءِ ل ِلقر‬
‫آن‬ ‫ان‬
ِ ‫جب قالوا مِن ٱۡلعي‬
ِ ‫• إِذ وا‬
• Sungguh hukumnya fardhu ‘ain menurut para
‘Ulama, memahami cara membaca Al-Quran
yang benar.

• Al-Adaa = membaca Al-Quran di hadapan


seorang guru dalam konteks pengambilan
riwayat
• Asy-Syaikh Mahmûd Khalîl Al-Hushary
mengatakan dalam Ahkâmu Qiraatil Quran:
َ َُ َ ‫م‬ ُ ‫م‬ َ ً ‫م‬ َ َ َ ‫م‬ ‫َ َ َ هم ُ َ ه‬
‫ ً معاقب‬,‫سل ِ ِمي‬
َ َ ‫م‬ ‫ٱل‬ً ‫اق‬
ِ ‫ِف‬ ‫ٱت‬ َ ِ ‫ب‬ ‫ع‬ ‫َش‬ َ ‫ام‬‫ر‬ ‫ح‬ ‫ن‬ِ ‫ح‬ ‫ٱلل‬ ‫ِن‬
‫م‬ ‫ع‬ُ ‫و‬‫ٱنل‬ ‫ا‬‫ذ‬َ ‫ه‬‫و‬ •
َ ‫م‬ ُ َ ‫م‬ ً َ ُ ََ َ َُ ‫َ م َ ُ ََه‬
.‫ فإِن فعله نا ِسيا أو جاهَِل فَل حرمة‬.‫عليهِ فاعِله إِن تعمده‬
• “Dan lahn jenis ini (jaliy) secara hukum syar’i haram
berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.
Pelakunya mendapat dosa apabila melakukannya
dengan sengaja. Apabila ia melakukannya karena
lupa atau tidak tahu, maka tidak haram.”
• Dr. Rihâb Muhammad Mufîd Syaqaqi dalam Hilyatut Tilâwah
ُ ‫ ه‬mengatakan:
َ َ َ َ ‫َم‬ ‫ه‬ ‫م‬ ُ‫م‬ َ‫َم‬ ‫ُ َ َ َ ُ م ًَ َهُ َ م‬ َ ‫م‬ ‫م‬ ‫ُ م ُ ه‬
‫ۡي ُّها َتت مح ُرف‬ ِ ‫آن َ ٱل ِت َ َبِتغي‬
ِ ‫اظ َ مٱل َقر َ م‬
ِ ‫ۡللف‬ ِ ‫ َ هِۡلن َه تغ َيِۡي َ م‬,‫ َ َهو ح َرام َم َط هلقا‬:‫ل‬
ِ ُ ِ ‫• َح َكم َٱللَ هح ِن م َٱۡل‬
َ‫ٱتل َع ِلم ف َيق َرأ ما‬
‫ه‬ ‫يع أو َل ميق موي َلَع‬ ُ َ َ َ َ ‫م‬
ِ َ َ ‫ َو مأ َما ُ م من ََل يَست ِط‬,‫ٱۡلا َه َِل ُفعَليهِ أ َن ًيتع َل َم‬ ُ ُ ‫ وأ َم َا‬,ِ‫َمعانِيه‬
.‫ وَل ُيهر بِٱلقِراءة ِ ِف ُمال ِِس ٱلمسل ِ ِمي‬,‫ وَل يص ِل إِماما‬,‫ت ِص ُح بِهِ صَلته‬
ُ
• “Hukum lahn jaliy: adalah haram secara mutlak, karena mengubah
lafazh Al-Qur`an yang karena perubahan tersebut dapat
menyimpangkan maknanya. Adapun orang awam, wajib baginya
belajar (hingga terbebas dari lahn jaliy). Orang yang tidak bisa belajar
atau tidak sanggup lagi mengikuti pembelajaran, maka wajib baginya
(terus belajar sampai bisa) membaca Al-Qur`an dengan benar surat
yang menjadi rukun shalat (Alfatihah), tidak menjadi imam shalat, dan
tidak mengeraskan bacaannya dalam majlis-majlis kaum muslimin.”
• An-Nazhim mengatakan:
َ ‫َ ه م ُ َ ُم ُ ه‬ َ ‫َ ه َ ََ م‬
ِ ‫ات فٱللحن فِيها يب ِطل ٱلصَلة‬ ِ ‫• َل ِسيما ف‬
ِ ‫اِتة ٱۡلي‬
• Terlebih lagi ayat-ayat dalam surat Al-
Fatihah, karena kekeliruan padanya dapat
berpotensi membatalkan shalat.
• Lahn artinya:
َ ‫ه‬ َ ُ َ ‫مَمُ َ م‬
‫اب‬
ِ ‫ٱَلَنِراف ع ِن ٱلصو‬
ِ ‫• ٱلميل و‬
• “Menyimpang dari yang benar.”
• Adapun yang dimaksud lahn dalam membaca
Alquran adalah kekeliruan atau penyimpangan
dalam membaca ayat-ayat Alquran, baik itu
mengurangi hak dan mustahak huruf atau
berlebihan padanya.
َ ‫م‬ َ ‫ُي َ َ َ م‬ َ َ ‫َ ي‬ َ ‫م‬ ُ ‫م‬
‫ف ِف ٱۡل ِف‬ ٍ‫خ َُّل م‬
ِ ‫ان ج ِل م وخ ِف ُك حر َام م َع‬ ِ ‫• َوٱللح من ق ِسم‬
َ‫خ َطأ ف ٱل َم مب َِن َخ هل بهِ أ مو َل ََيِل ٱل َم معِن‬ َ َ َ
‫• أما ٱۡل ِل ف‬
ِ ِ
• “Dan lahn itu ada dua jenis: lahn jaliy dan lahn khafiy.
Keduanya haram, namun sebagian Ulama Qiraat berbeda
pendapat mengenai hukum lahn khafiy, apakah ia haram
atau makruh.
• Adapun lahn jaliy adalah kekeliruan dalam masalah tata
bahasa, baik mengubah ataupun tidak mengubah makna.
Seperti mengubah, menambah atau mengurangi huruf,
dan mengubah harakat.”
• Kekeliruan dalam membaca Al-Quran
yang membatalkan shalat adalah
kekeliruan yang dapat mengubah makna,
seperti:
• 1. Mengubah huruf,
• 2. Menambah/ mengurangi huruf,
• 3. Mengubah harakat.
BACAAN BENAR BACAAN SALAH
‫ح‬
َ‫ٱۡل حم ُد َ هّلِلَ َرب ٱلح َعَٰلَمي‬
َ َ‫ٱل ح َه حم ُد َ هّلِلَ َرب ٱٓأۡلل َمي‬
َ َ َ َ
Segala puji bagi Allâh rabb semesta alam Segala kehancuran bagi Allâh rabbnya rasa sakit

ُ‫اك ن َ حس َتعَي‬
َ ‫اك َن حع ُب ُد ِإَويه‬
َ ‫إيه‬ ُ‫اك ن َ حس َتعَي‬
َ َ‫اك َن حع ُب ُد ِإَوي‬
َ َ‫إي‬
َ َ
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah Kepada cahaya matahari-Mu kami
dan hanya kepada engkaulah kami memohon menyembah dan kepada cahaya matahari-mu
pertolongan kami memohon pertolongan
‫‪• Al-Imâm Asy-Syâfi’î mengatakan dalam‬‬
‫‪Al-Umm‬‬
‫َ‬ ‫‪(1/215):‬‬ ‫ُ‬
‫َشء م مِن َها‪ ,‬ل َ مم أ َر َص ََلتَهُ‬‫يل َم مع َِن َ ٍم‬ ‫َ ً ُ ُ‬ ‫م‬ ‫ِ مُ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ م َ‬
‫م َ‬ ‫ِ‬ ‫ُي‬ ‫ا‬ ‫ان‬ ‫ِ‬
‫ۡل‬ ‫آن‬
‫ِ‬ ‫ر‬ ‫ق‬ ‫ٱل‬ ‫م‬ ‫أ‬ ‫ف‬ ‫ِ‬ ‫ن‬ ‫ۡل‬ ‫إن‬ ‫و‬ ‫•‬
‫ۡل َن ف َغ مۡي َها َكر مه ُت ُه‪َ ,‬ول َ مم أرَ‬ ‫َ‬ ‫ُ‬ ‫ُم ًَ َ مُ ََ َ ه م َ مَ‬
‫ُ‬ ‫ِ‬ ‫َ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ُ‬ ‫ِإَون‬ ‫‪.‬‬‫ه‬ ‫ف‬ ‫ل‬ ‫خ‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ع‬ ‫َل‬‫َ‬ ‫و‬ ‫‪,‬‬‫ه‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫ة‬‫ئ‬ ‫ز‬
‫ِ‬ ‫ُم‬
‫م‬ ‫َ َم َ ًَ ه ُ َم ََ َ َ ََ َ م ِ مُ م َ َ ِ مُ‬
‫آن‬
‫آن وأت مب ِ َأم ٱلمقر َ ِ‬ ‫ۡي أمَ ٱلقَر ِ‬ ‫ِ‬ ‫َ‬ ‫عليهِ إِعدة ُ‪ِۡ ,‬لنه لو َترك ق ِراءة َ غ‬
‫ِإَوذا أ مج َزأتم ُه أ مج َزأ مت َم من َخلف ُه إن شاءَ‬ ‫َ َ م ُ م م َُ َ ُُ َ‬
‫َ ُ ُ مِ‬ ‫ُ‬ ‫‪.‬‬ ‫ه‬ ‫ت‬‫َل‬ ‫ص‬
‫م َ َ َ‬ ‫ه‬‫ئ‬ ‫ز‬
‫ِ‬ ‫َت‬ ‫أن‬ ‫ت‬
‫هُ ََ َ‬ ‫و‬ ‫ج‬‫ر‬
‫ۡل ُن ُه ف أ ِم مٱل ُق مرآن َو َغ مۡي َها َل ُيِيل ٱل َم معِنَ‬ ‫م‬
‫ِ َ ِ‬ ‫َٱَّلل َتعال‪ِ َ .‬إَون ََكن َ ِ‬
‫ً‬ ‫َ‬ ‫م َ م َ ُُ َ م َُ َ ُ َ‬
‫أجزأت صَلته وأكره أن يكون إماما ِِب ٍ‬
‫ال‪.‬‬
• “Orang yang keliru dalam surat Al-Fâtihah dengan lahn yang
menyebabkan perubahan makna, saya berpendapat bahwa shalatnya
tidak sah. Begitupula tidak sah orang yang shalat di belakangnya
(menjadi makmum). Adapun jika kekeliruannya (yang mengubah
makna itu) pada selain Al-Fâtihah, maka saya tidak menyukainya,
namun saya tidak berpendapat bahwa ia mesti mengulangi shalatnya.
Karena kalaupun ia meninggalkan (tidak membaca) surat selain Al-
Fâtihah dan hanya membaca Al-Fâtihah saja, saya berharap shalatnya
diterima. Apabila (dengan itu) shalatnya sah, maka begitupula shalat
makmum di belakangnya, insyaallah. Jika kekeliruannya terjadi pada
surat Al-Fâtihah atau surat yang lainnya namun tidak sampai
mengubah makna, maka shalatnya sah. Namun saya tidak menyukai
ia menjadi imam, bagaimanapun keadaannya.”
ً َ َ
• Al-Imâm An-Nawawiy berkata dalam Al-Majmu’ (3/
‫ُ ُ َ ََم َ َ َُ ه مََ َ م ََ َم‬َ 392): َ ‫ه‬ َ َ‫َ ُ َ َُ م‬
‫ن أ َر مب َع َع َُّشةً تش َ ِديدة َ ِف‬ ‫ وه‬,‫اِتةِ ِف ٱلصَلة ِ ِبميعِ حروف ِها وتشديدات ِها‬
َ‫ فَلَ مو أَ مس َق ِ َط ِ َح مر َفًا م مِن َها أَ مو َخ هفِ َف ُم َش هد ًدا أَ مو أبدل ح مرفا ِِب مرف مع‬,‫ث‬ َ ِ َ ‫ب َق َِراءة م ُٱل هف‬
‫م‬ َ ‫َت‬
ِ‫• م‬
َ ٍَ َ َ َ ‫ه‬ َ ‫َل ه َ َ ُ ُ َ َ م م َ َ ه َ ه‬ َ ‫ٱلب هسملةِ َمِنهن َ مث‬
ِ‫صحةِ ق ِراءتِهِ وصَلتِه‬ ِ ‫ ولو أبدل الضاد بِالظا ِء ف ِف‬.‫ص م َحةِ ل ِسان ِ َهِ َ ل ُّم ُت ِص َح ق َِراء ُّته‬ ِ
.‫صح‬ َ
ِ ‫ (أصحهما) َل ت‬...‫ان‬ َ
ِ ‫وجه‬
• “Wajib membaca surat Al-Fâtihah di dalam shalat dengan menyempurnakan
seluruh huruf dan tasydidnya yang berjumlah empat belas, dan di antaranya tiga
tasydid pada basmalah. Apabila ada huruf yang tidak terbaca atau meringankan
tasydid (membaca huruf bertasydid dengan biasa, sebagaimana tanpa tasydid),
atau mengganti sebuah huruf dengan huruf yang lain, padahal lisannya sehat,
maka bacaannya (di dalam shalat tersebut) tidak sah. Apabila ia mengganti
huruf Dhad menjadi Zha, maka dalam permasalahan keabsahan bacaan dan
shalatnya terdapat dua pendapat. Pendapat yang paling shahih adalah tidak
sah.”
‫‪• َ Al-Imâm‬‬
‫‪َ An-Nawawiy‬‬
‫‪َ melanjutkan (3/ 393):‬‬
‫ت أوم‬ ‫اء أ من َع مم َ‬ ‫ۡل ًنا َُيِ ُّل ٱل م َم مع َِن بأ من َض هم تَ َ‬ ‫اِتةِ َ م‬ ‫ِ‬
‫َ ََ‬
‫ۡل َن ف مٱل َف ِ َ‬ ‫ا‬‫إذ‬
‫ِ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫َ َ َ َ م َ‬ ‫•‬
‫اء ب َه مم َز َت مي ل َ مم تَصحه‬ ‫َ‬ ‫اك َن مع ُب ُد أ مو قَ َال إيه‬
‫َّس ََك َف إيه َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫كَّسها أو ك‬
‫ِ‬ ‫ِ َ ِ‬
‫م‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫م‬ ‫َ َُُ َ َ َ ُُ م ََه َ َ َ ُ َ َُ م َ َ م‬
‫َتب إعدة َٱلقِراءة ِ إن لم يتعمد‪َِ .‬إَون‬ ‫ِ‬ ‫َق ِراءته و مصَلته َإن تعمد‪ ,‬و‬
‫َ َ َ م‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ُ‬ ‫َ‬ ‫م‬ ‫م ُ ه َمَ َم َ َمُُ َُ‬
‫اط وَنوِ‬ ‫ِص‬ ‫ون نستعِي وصادِ ِ‬ ‫ِ‬ ‫لم َيِل ٱلمعِن كفت ِح دا ِل نعبد ون‬
‫ك ُروه َو َي مح ُر ُم َت َع ُّم ُده‪ُ.‬‬ ‫َ َ َم َمُ م َ َ ُُ ََ َ َُُ ََ هُ َ م‬
‫كنه م‬ ‫ذل َِك لم تب َطل صَلته وَل ق َِراءته َول ِ‬
‫حيح‪ُ.‬‬ ‫اءتُ ُه َوَل َصَلتُ ُه َه َذا ُه َو الصه‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ م ََ ه َ ُ م َمُ م‬
‫ِ‬ ‫ولو تعمده لم تبطل ق ِر‬
• “Jika ia melakukan kekeliruan dalam surat Al-Fâtihah dengan lahn yang
mengubah makna, seperti mendhammahkan huruf Ta pada kata
“an’amta” (menjadi an’amtu) atau mengkasrahkannya (menjadi
“an’amti”), atau mengkasrahkan huruf Kaf pada kata “iyyâka na’budu”
(menjadi “iyyâki”), atau ia membacanya menjadi “iyyâ`a” dengan dua
huruf Hamzah, maka bacaan dan shalatnya tidak sah, bila dilakukan
dengan sengaja. Adapun apabila kekeliruannya tidak mengubah makna,
seperti memfathahkan huruf Dal pada kata “na’budu” (menjadi
“na’buda”) atau huruf Nun pada kata “nasta’înu” (menjadi nasta’îna)
atau huruf Shad pada kata “shirâtha” (menjadi “sharâtha”) atau hal-
hal yang semisalnya, maka shalat dan bacaannya tidak batal, namun
makruh melakukannya dan haram hukumnya apabila dilakukan dengan
sengaja. Apabila ia melakukan semua itu dengan sengaja, maka shalat
dan bacaannya tidak batal. Inilah pendapat yang shahih.”
• Al-Imâm َ
‫ م‬Ibnu Qudâmah
‫َ مً ُ ُ َ مَ َ م‬
dalam
‫م‬ ‫م‬ ُ ‫م‬
Al-Mughnî (I/348) mengatakan:
َ َ ‫م‬ َ ًَ ‫َمَُُ َم َ َ َ َ َ َ َُهًَ ُ َ ه‬
‫ فإ ِ َن‬.َ ‫ون َف مِيها ۡل منا ُيِ َيل َ ٱلمع هِن‬
ُ ٍ ‫م‬ ِ ‫• يَلز َمه َ أن يأ ِتَ بِقِ َراء ًة ِ ٱل مف‬
‫ُ غ مۡي م َملح‬,‫اِت َةِ م َرتبة َم ًشد ُدة‬
‫َّس َكف َ (إياك) أوم‬ َ
َ ِ ‫ۡلنا ُيِيل ٱلمعِن مِثل أن يك‬ َ َ َ ‫ت َرك ت مرت َِيب َه َا أ مو ش هدة َ مِن َها أو‬
‫ۡل َن م‬ ‫م‬
َ ُ َ ‫م َ َم َ مَه َ َ ه م‬ ‫م‬ َ ‫َ ُ ه َ َ مَم َ م َمََ َ م‬
‫ لم يعتد بِقِراءتِهِ إَل أن يكون‬,)‫ت) َ أو يفتح أل ِف ٱلوص ِل ِف (ٱه ِدنا‬ ََٰ ‫اء م(أن َع مم‬
َ ‫ي َضم ً ت‬
.‫ۡي هذا‬ ِ ‫جزا عن غ‬ ِ ‫ع‬
• “Wajib baginya untuk membaca surat Al-Fâtihah secara tertib urutannya dan
ditunaikan tasydidnya, tanpa terjatuh pada kekeliruan yang dapat mengubah
makna. Apabila ia meninggalkan urutannya atau tidak membaca tasydidnya,
atau terjatuh pada kekeliruan yang mengubah makna seperti mengkasrahkan
huruf Kaf pada kata “iyyâka” (menjadi “iyyâki”) atau mendhammahkan huruf
Ta pada kata “an’amta” (menjadi “an’amtu”), atau memfathahkan Alif Washl
pada kata “ihdinâ” (menjadi “ahdinâ”), maka bacaannya tidak terhitung (tidak
sah), kecuali apabila ia benar-benar dalam kondisi tidak mampu untuk
membacanya dengan benar.”
• Syaikhul Islâm Ibnu Taymiyyah mengatakan dalam Majmû’ul Fatâwâ (23/
350):
َ‫َ م‬ َ ُ ََ ُُ‫َ م َُ م‬ ‫َ مَ ُ ه‬ َ َ
ُ ََ َ َ‫َ ه َ م َ ُ ُ َ ََ م‬
‫ فَل ي م َص ِل َ خلف‬.‫َم من هو مِثله‬ ‫إَل‬ ِ ‫• و مأ َم ما من ه َل يقِيم ُ ق ِراءة ً ٱلف‬
َ ‫اِتةِ ف هَل ي َ مص َ ِل خ هلفه‬
ُ َ ‫ٱۡلثلَ ٱَّلِي ُي َبدل َح مرفا‬
‫أخ َر َج ُه م مِن َط َر ِف ٱلف ِم ك َما ه َو‬ ‫ِب مر ِف إَل حرف ٱلضادِ إذا‬ ِ ِ َ ِ‫غ‬
‫اس‬ِ ‫ۡي م َِن ٱنله‬ ‫ث‬‫ك‬ ُ‫َع َدة‬
ٍ ِ
• “Dan adapun seseorang yang tidak bisa membaca Al-Fâtihah (dengan benar),
maka janganlah shalat di belakangnya (menjadi makmum), (karena shalatnya
tidak sah) kecuali bagi orang yang semisal dengannya. Maka janganlah shalat
(menjadi makmum) di belakang orang yang cadel berat yang dapat mengubah
sebuah huruf menjadi huruf yang lain. Kecuali apabila perubahannya terjadi pada
huruf Dhad saat ia mengeluarkannya dari ujung mulutnya, sebagaimana hal
tersebut sudah menjadi kebiasaan bagi banyak orang (mengubahnya menjadi
huruf Zha).”
‫)‪• Dalam Bughyatul Mustarsyidîn, Habîb Abdurrahmân (w. 1320 H‬‬
‫‪menjelaskan dengan terperinci terkait hukum dan kondisi-kondisi di mana‬‬
‫‪kita boleh dan tidak boleh mufâraqah (memisahkan diri) dari imam. Beliau‬‬
‫‪َ berkata:‬‬
‫م م َ ُ مَ م َ ُ َ ً َ م‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫مَ ُ ه َ م َ م ُ م َ َ م َ‬
‫جبا كأن‬ ‫ِ‬ ‫تيهِ ٱۡلحَكم مٱۡلمسة وا‬ ‫ِ‬ ‫اصل أن قطع ٱلقدوة ِ تع‬ ‫ِ‬ ‫ٱۡل‬‫َ‬ ‫•‬
‫ودةً‬ ‫َ ِ ُهً َم ُ َ‬ ‫م‬ ‫َُه َ‬ ‫م‬ ‫ُ‬ ‫ً‬ ‫َ َُ ََُ‬ ‫َ‬
‫ٱۡلمام سنة م مقص‬ ‫ِ‬ ‫ك‬‫ِ‬ ‫ِت‬ ‫ل‬ ‫ة‬
‫ٍ‬ ‫ن‬ ‫س‬ ‫و‬ ‫ل‬‫ٍ‬ ‫ط‬
‫ِ‬ ‫ب‬ ‫م‬ ‫ِ‬ ‫ب‬ ‫م‬ ‫ا‬ ‫س‬ ‫َ‬ ‫ِ‬ ‫ب‬ ‫ل‬‫ت‬ ‫م‬ ‫ه‬
‫َ‬ ‫ام‬
‫َ‬ ‫م‬ ‫ِ‬ ‫إ‬ ‫ى‬ ‫أ‬‫ر‬
‫ََ َ م‬ ‫َ‬ ‫َ ُ ََ ُ ً َُ ً َ‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫َ‬ ‫َو ُم َب ً‬
‫ٱۡلماعةِ إِن‬ ‫َ‬ ‫ة‬
‫ِ‬ ‫يل‬ ‫ض‬
‫ِ‬ ‫ِف‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ت‬ ‫ِ‬ ‫و‬ ‫ف‬ ‫م‬ ‫ا‬ ‫وه‬ ‫ر‬ ‫ك‬ ‫م‬ ‫و‬ ‫ام‬ ‫م‬ ‫ٱۡل‬‫ِ‬ ‫ل‬ ‫و‬ ‫ط‬ ‫ن‬ ‫أ‬ ‫ك‬ ‫ا‬ ‫اح‬
‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫م‬ ‫م‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ُ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ه‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ً‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ َ َم ُ م‬
‫ت‬ ‫ٱلشعار عليهِ أو وجب ِ‬ ‫ۡي ع مذ ٍر وحراما إِن توقف ِ‬ ‫َك من ل ِغ ُ َِ‬
‫ٱۡل ُمعةَِ‬ ‫اعة ك ُ‬ ‫ٱۡل َم َ‬‫َ‬
• “Hasilnya adalah bahwa memisahkan diri dari imam
dalam shalat jamaah memliki lima hukum. Wajib, jika
melihat imam melakukan perkara yang membatalkan
shalat. Sunnah, karena imam meninggalkan perkara yang
sangat disunnahkan. Mubah, jika imam terlalu
memanjangkan shalat. Makruh dan bisa menggugurkan
keutamaan berjamaah jika memisahkan diri tanpa uzur.
Haram, jika ada unsur syiar atau wajib berjamaah seperti
shalat Jumat.”
• Apakah orang yang mufâraqah kehilangan pahala jamaah?
• Jawabannya adalah iya apabila mufâraqah yang dilakukannya
tanpa sebab. Sedangkan apabila mufâraqah yang dilakukannya
diiringi dengan sebab syar’i, maka ia tidak akan kehilangan pahala
jamaah,
َ berdasarkan َ hadits: َ َ
‫م مِث َل أ مجر َمنم‬e ‫ٱَّلل‬ ‫ه‬
ُ ‫اس قَ مد َصل موا أ مع َطاهُ ه‬ َ ‫وءهُ ُث هم َر‬
َ ‫اح فَ َو َج َد ٱنله‬ َ ‫• َم من تَ َو هضأ فَأ مح َس َن ُو ُض‬
ِ ً‫نق ُص َذَٰل َِك م مِن أَ مجرهِم َشيمئا‬ُ َ َ ََ َ َ َ َ‫َ ه‬
ِ ‫صَلها وحَضها َل ي‬
• Siapa yang berwudhu dengan sempurna kemudian dia menuju
masjid, ternyata dia jumpai jamaah shalat telah selesai, maka Allâh
akan berikan untuknya seperti pahala orang yang mengikuti shalat
jamaah itu dan menghadirinya, tanpa mengurangi pahala mereka
sedikitpun. [HR. Ahmad, Abû Dâwûd 564, An-Nasa`i]
• Al-Khafiy berarti tersembunyi, yaitu kekeliruan ketika membaca
Al-Qur`an yang tidak diketahui secara umum kecuali oleh orang
yang pernah mempelajari ilmu tajwid. Bahkan sebagian di
antaranya hanya diketahui oleh para ulama yang memiliki
pengetahuan mengenai kesempurnaan membaca Al-Qur`an.
Asy-Syaikh ‘Utsmân Murad mengatakan dalam As-Salsabîl:
‫م‬ َ ‫َ َم م‬ َ ‫م َم م‬ ‫م‬ ُ ‫َ ه مَ َ َ َ َ م‬
‫ۡي إِخَل ٍل كتكِ ٱلوص ِف‬
ِ ‫مِن غ‬ ‫• أما ٱۡل ِف فخطأ ف ٱلعر ِف‬
• “Adapun lahn khafiy adalah kekeliruan dalam ‘urf (tata cara
membaca Al-Qur`an yang telah disepakati Ulama Qiraat), dan tidak
mengubah makna kandungan Al-Qur`an, contohnya seperti tidak
menyempurnakan sifat-sifat huruf hijaiyyah.”
Dari sisi Dari sisi ‘Urf Tahsiniyyah
Makna dan
I’rab Tilawah biasa:
Qari Mutqin
Majlis adaa: tercela bila
Wajib
wajib meninggalkan,
Disebabkan para ulama
sepakat menjaga makna awam tidak
merupakan kewajiban mengapa

Anda mungkin juga menyukai