Anda di halaman 1dari 48

!

• Al-Imâm Al-Jamzûriy mengawali syair ini dengan


mengucapkan basmalah.
• Artinya, beliau menyusun bait-bait syair ini dengan
mengharap keberkahan atau memohon pertolongan kepada
Allâh dengan basmalah.
• Dan beliau memulai syair ini dengan basmalah untuk ber-
qudwah (mengambil teladan) kepada Al-Quran, dan sebagai
bentuk pengamalan atas hadits-hadits yang menyatakan
bahwa segala sesuatu yang tidak dimulai dengan basmalah,
maka akan terputus atau tidak sempurna di hadapan Allâh
c.
!
• Rasûlullâhَ g bersabda:
ُ‫ت‬َۡ ۡ ُ َ َۡ َ َُ
َ
َ َ َ َ ۡ َُُۡ َ َ ۡ َ ‫ُل‬
ُّ ‫حي ُِّم فه ُّو أقط ُّع أ ُّو أب‬
ِ ‫ن ٱلر‬
ُِّ ‫ل يبدُّأ فِي ُّهِ بِبِس ُِّم ٱّللُِّ ٱلرمح‬
ُّ ُّ‫ك أمرُّ ذِي بال‬ُّ •
• Setiap urusan yang memiliki kemuliaan yang tidak dimulai dengan
bismillâhirrahmânirrahîm maka ia terputus.
• Asy-Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani r mengatakan
bahwa (ُّ‫ )بَال‬artinya memiliki nilai baik atau mulia, yaitu
perkara yang terhormat, yang diperbolehkan melakukannya
dalam agama, bukan ۡ َ perkara yang makruh atau haram.
Sedangkan (ُّ‫ )أق َط ُع‬artinya orang yang َ terputus kedua
ُ َۡ
tangannya atau salah satunya. (ُّ‫ )أبت‬artinya hewan yang
terputus ekornya.
َُۡ ََۡ ُ َُ
• Al-Imâm Al-Jamzûriy berkata:

ُّ ‫اج رمحةُِّ ٱلغف‬


‫ور‬ َ
ُّ ِ ‫ول ر‬
ُّ ‫• يق‬
ِ
ۡ ُ ۡ َۡ َ ُ ُ َ ۡ َ ُ ً ۡ َ
ُّ ِ‫ان ه ُّو ٱۡلمزور‬
‫ى‬ ُّ ‫• دوما سليم‬
• Akan berkata seorang yang mengharap rahmat dari Sang
Maha Pengampun selalu, yang bernama Sulaiman bin Husain
bin Muhammad Al-Jamzuuriy. Jamzûr adalah nama tempat
kelahiran beliau, sebuah kampung di kota Thantha, Mesir.
Beliau dilahirkan di bulan Rabi’ul awal, sekitar tahun 1160 H.
• Kemudian An-Nâzhim r melanjutkan dengan perkataan
“akan berkata”, sehingga seolah-olah beliau sedang
berusaha memberikan peringatan dan mencuri perhatian
dari pembaca atau pendengar, “Wahai para pembaca dan
pendengar, perhatikanlah, simaklah, akan ada seseorang
yang berkata.”
• Dan An-Nâzhim menggunakan kata ganti orang ketiga
sebagai bentuk ke-tawadhu-an (rendah hati), sehingga
beliau tidak berkata “Perhatikanlah, aku akan berkata
sesuatu.” Melainkan mengatakan “Perhatikanlah akan ada
seseorang yang berkata.”
• Kemudian An-Nâzhim memperkenalkan sosok tersebut dengan
perkataannya, “seorang yang senantiasa mengharap rahmat dari Sang
Maha Pengampun selalu.” Rahmat artinya kasih sayang, sedangkan
ghafûr berasal dari kata ghafara yang artinya “menutupi”.
• Maksudnya adalah menutupi kesalahan dan menyembunyikannya
sehingga orang lain tidak mengetahui bahwa ia memiliki kesalahan di
dunia dan Allâh tidak akan menghukumnya di akhirat kelak. Dialah
Allâh yang Maha Menutupi kesalahan hamba-Nya. Al-Ghafûr juga
diartikan sebagai Yang Maha Pengampun, karena apa yang dilakukan
Allâh b dalam menutupi kesalahan hamba-Nya di dunia bermakna
mengampuni kesalahan dan dosa, sehingga ia tidak mendapatkan
hukuman di akhirat kelak.
• Al-Imâm Al-Jamzûriy bernama lengkap: Sulaimân
bin Husain bin Muhammad Syalabi Al-Jamzûriy
• Julukan beliau adalah Al-Afandiy.
• Lahir pada bulan Rabî’ul awal di Jamzûr, Thantha,
sekitar tahun 1160-an H.
• Madzhab fiqih: Syâfi’i.
• Thariqah shufiyah: Syâdzuliy. Khirqah dari
gurunya, Asy-Syaikh Mujâhid Ahmadiy.
• Di antara Guru beliau: Asy-Syaikh Nûruddîn ‘Alî bin
‘Amru Al-Mîhiy, Asy-Syaikh Mujahid Al-Ahmadi.
• Di antara buku yang beliau tulis:
– Tuhfatul Athfâl wal Ghilmân fî Tajwiîdil Qurân
– Fathul Aqfâl bisyarhi Tuhfatil Athfâl
– Kanzul Ma’ânî bitahrîrî Hirzil Amânî
– Al-Fathur Rahmâni bisyarhi Kanzul Ma’âni Fil Qirââtis Sab’
– Manzhûmah Fî Riwâyatil Al-Imâm Warsy
– Ad-Durrul Manzhûm Fî Udzril Ma`mûm
– Ath-Tharâzul Marqûm bisyarhid Durril Manzhûm
• Al-Imâm Al-Jamzûriy berkata:
َ َ ً َ ُ َ ُ ۡ َۡ
ُّ ‫ّللِ مصلِيا‬
‫َع‬ ُّ ِ ‫• ٱۡلم ُّد‬
ََ ََ ٓ ََُ
ُّ ‫لِ ومن ت‬
‫ل‬ ُِّ ‫• ُممدُّ وا‬
• Segala puji hanya bagi Allâh c, dan Shalawat
atas Muhammad g dan keluarganya, serta
orang-orang yang mengikutinya.
• An-Nâzhim kemudian melanjutkan syairnya dengan
membacakan tahmid, yang berarti ats-tsanâ “pujian”. Pujian
berbeda dengan syukur (rasa terima kasih).
• Syukur dilakukan saat seseorang mendapatkan nikmat, dan
syukur dapat dilakukan dengan ucapan ataupun anggota
badan.
• Adapun pujian, maka merupakan amalan lisan yang dilakukan
sebagai bentuk pengagungan atas objek yang memiliki
begitu banyak kebaikan, keindahan, atau keistimewaan
lainnya.
• Setelah itu, An-Nâzhim melanjutkan syairnya dengan
ً َ ُ ً َ ُ َ ُ
Shalâwât (‫)مصلِيا‬, maknanya adalah (‫ل مصلِيا‬ُّ ِ ‫)أص‬, aku
bershalâwât dengan shalâwât atas Nabi Muhammad
bin Abdillâh bin Abdil Muththalib g juga kepada
keluarganya.
• Keluarga Nabi (Ahlul Bait) memiliki dua makna:
pertama makna umum, yaitu ummat ijâbah yang
mencakup seluruh pengikut beliau. Ini adalah
pendapat Al-Azhari dan para Ulama peneliti selainnya.
• Kedua, makna khusus, yaitu Ahlul Bait yang tidak berhak
menerima zakat dan Shâdaqah. Mereka adalah anak keturunan
Hâsyim dan anak keturunan Muththalib menurut Syâfi’iyyah.
Sedangkan menurut Mâlikiyyah adalah anak keturunan ‘Alî,
‘Aqîl, Ja’far, ‘Abbâs, dan Al-Hârits j
• Makna shalâwât, bila ia datang dari Allâh artinya adalah rahmat
dan maghfirah, bila ia datang dari Malaikat artinya adalah
istighfar, dan bila datang dari manusia artinya adalah doa.
Setelah itu beliau sampaikan pula shalâwât
ََ ََ kepada seluruh
pengikut Nabi dengan perkataannya (‫ل‬ ُّ ‫)ومن ت‬, yakni orang-orang
yang mengikutinya. Semoga kita termasuk di dalamnya. Âmîn.
• Al-Imâm Al-Jamzûriy berkata:
ُۡ ُ ۡ َ َ َ ُ ۡ َ َ
‫ هَٰذاُّٱنلظمُّل ِلم ِري ُِّد‬:‫• وبع ُّد‬
ُ ُ ۡ َ ۡ َ ‫ل‬
ُِّ‫ينُّوٱلمدود‬
ِ ِ‫ونُّوٱتلنو‬
ِ ‫ ٱنل‬:‫ف‬ ُّ ِ •
• Dan selanjutnya, nazhm (syair) ini adalah (hadiah)
bagi orang yang menginginkan pembahasan
mengenai hukum Nun, tanwin, dan mad, beserta
beberapa hukum-hukum tajwid lain yang terjadi
akibat tarkib.
• Setelah mengucapkan (ُّ‫)و َب ۡع ُد‬,
َ yang bemakna pemisah antara kalimat
pembuka dan kalimat isi, An-Nâzhim melanjutkan ۡ bahwa nazhm ini
ُ
diperuntukkan kepada para penuntut ilmu (ُّ‫)ٱلم ِري ِد‬, secara bahasa adalah
“orang yang menginginkan sesuatu”. Maksudnya orang-orang yang
menginginkan ilmu.
• Nazhm ini berisi penjelasan mengenai sebagian hukum-hukum tajwid. Di
antaranya adalah persoalan Nûn dan Tanwîn serta Mad. Yakni
permasalahan hukum-hukum tajwid yang terjadi disebabkan tarkib atau
susunan kata dan kalimat.
• Maksudnya perubahan bunyi atau suara suatu huruf karena hubungan
dan keterkaitannya dengan huruf yang lain, bukan membahas bunyi dari
suatu huruf saat sendirian. Karena bagaimana mengucapkan huruf saat
sendirian dibahas pada bab makhraj dan sifat huruf hijaiyyah.
• Walaupun An-Nâzhim hanya menyebutkan Nûn, Tanwîn,
dan Mad, namun nazhm ini juga berisi penjelasan
hukum Mîm Sâkinah, Lam Sâkinah, Persoalan Mitslain,
Mutaqâribain, dan Mutajânisain.
• An-Nâzhim hanya menyebutkan sebagiannya saja
dengan tujuan meringkas. Seluruh hukum-hukum itu
dijelaskan sesuai dengan porsinya masing-masing,
sebagian telah cukup detail, namun pada sebagian yang
lain membutuhkan penjelasan untuk bisa lebih
memahami berbagai permasalahan di dalamnya.
• Al-Imâm Al-Jamzûriy berkata: َ
َ ۡ ۡ َُۡ ُ ُ َ َ
[‫• سميتهُّبِـ]ُتفةُِّٱۡلطفا ُِّل‬
َ َ ۡ ۡ َ ۡ َ َ
ِ ‫• عنُّشي‬
ِ ِ ‫خناُّٱل ِم‬
‫يهُّذِيُّٱلكما ُِّل‬
Aku menamainya dengan Tuhfatul Athfâl
(hadiah bagi anak-anak), dari guru kami yang
luas ilmunya, lagi mulia perangainya yaitu
Syaikh Nûruddîn Al-Mîhiy r.
• An-Nâzhim menamakan kitab ini dengan “Tuhfatul Athfâl”, yang
secara lengkap bernama “Tuhfatul Athfâli wal Ghilmâni fî
Tajwîdil Qurân” atau dalam naskah yang lain “Tuhfatul Athfâli
wal Ghilmân fî ‘Ilmit Tajwîd”. Kitab ini ditulis berdasarkan hasil
talaqqi beliau kepada gurunya dalam bidang tajwid dan Qirâât,
yakni Asy-Syaikh Nûruddin ‘Ali bin ‘Umar bin Hamd bin ‘Umar bin
Nâji bin Fanîsy Al-Mîhiy r (1139-1204 H).
• An-Nâzhim menggambarkan sosok gurunya sebagai orang yang
memiliki kesempurnaan. Maksudnya adalah memiliki kelebihan
dari sisi fisik, ilmu, sifat, serta akhlaknya, baik saat ia berada di
keramaian ataupun kesendirian.
• Al-Imâm Al-Jamzûriy berkata:
َ
َ‫ُّٱلطلبا‬ َ َ َ
‫• أ ۡر ُجوُّبهُِّأنُّيَنف َع ل‬
َ ۡ ِ
َ
َ‫ول َوٱثل َوابا‬َ ُ َ ۡ َ َ ۡ َ
ُّ ‫• وٱۡلج ُّر وٱلقب‬
Aku mengharap dengan adanya kitab ini memberikan
manfaat bagi para pelajar, dan aku berharap balasan (al-
ajr) dari Allâh c, diterima sebagai amal shalih oleh Allâh
c, dan mendapatkan pahala (ats-tsawaab) dari Allâh c.
َ ‫ل‬
• Ath-Thullâbu (ُّ‫)ٱلطل ُب‬ merupakan bentuk jamak dari kata thâlib (ُّ‫)ٱلطال ُِب‬,
yang َ َ artinya pelajar. Juga bisa merupakan bentuk jamak dari kata thalâb
ُ
(ُّ‫)ٱلطلب‬, yakni bentuk mubâlaghah, yang artinya pelajar yang sungguh-
sungguh dan benar-benar menginginkan ilmu. Mereka inilah yang
dimaksud dari lafazh al-murîd (orang yang menginginkan) pada bait
sebelumnya.
• Kemudian pelajar terdiri atas beberapa kategori: pelajar pemula
(mubtadi`), pertengahan (mutawassith), dan tinggi (muntahî). Pelajar
mubtadi adalah mereka yang belum mampu menggambarkan dan
menyelesaikan masalah secara utuh. Pelajar mutawassith adalah mereka
yang menggapai sebagian ilmu yang dengannya bisa menjadi petunjuk
untuk menggapai sebagian ilmu yang lain. Adapun pelajar muntahî adalah
mereka yang sudah bisa menggambarkan dan menyelesaikan masalah
secara utuh.
• Al-Ajr (ganjaran), adalah pemberian dari Allâh yang
diberikan kepada hamba-Nya setelah hamba-Nya
melakukan suatu amal.
• Sedangkan Ats-Tsawâb (pahala) adalah pemberian dari
kepada hamba-Nya tanpa menunggu hamba-Nya
melakukan amalan terlebih dahulu. Dia memberikan
pahala kepada siapapun yang Dia kehendaki.
• Semoga Allâh c memberikan apa yang beliau
harapkan, juga kepada kita sekalian.
‫اإلسناد إلى الناظم‬
• Sanad secara bahasa artinya sandaran yang dapat dipercaya atau
bukti. Sedangkan menurut istilah, sanad adalah rantai yang
menghubungkan pembawa berita (rawi/ periwâyah) dari sebuah matn
atau teks (lafazh) kepada sumbernya, yakni pembicara (bila berupa
perkataan) atau penulis (bila berupa tulisan).
• Teks atau lafazh yang dibawa atau diriwayatkan oleh perawi disebut
khabar (berita) atau matn. Jadi, matn adalah sesuatu yang kepadanya
berakhir sanad. Matn dapat berupa kitab, seperti Al-Qurân, kitab-kitab
hadits, aqidah, atau fiqih. Dapat juga berupa syair, seperti
manzhumah ilmiyah yang disusun oleh para Ulama. Dapat juga berupa
matn-matn hadits (sebuah hadits) yang memiliki kesamaan sifat dalam
meriwayatkannya (disebut dengan istilah hadits musalsal).
‫اإلسناد إلى الناظم‬
Al-Imam Sulayman
Al-Jamzuriy Asy-Syaikh Nashr Al-
Huriniy
Tuhfatul Athfal

Asy-Syaikh Taufiq An- Asy-Syaikh Muhammad Asy-Syaikh Ibrahim As-


Nahhas Bakhit Al-Muthi’iy Saqa,

Asy-Syaikh ‘Ali Taufiq


Laili Al-Fadhli Hadhirin
An-Nahhas
‫فوائد الرواية‬
• Fungsi Sanad dan Periwayatan
1. Salah satu pintu gerbang ilmu
2. Penjagaan terhadap lafazh dari sebuah Matn/ Khabar
3. Sanad dan Keberkahan (Lil-Barakah)
4. Menjaga cara baca (tajwid) dan variasi qiraatnya (khusus sanad
atau periwayatan Al-Quran)
5. Sunnah para ulama Salaf dan Khalaf
6. Menjaga sifat dan karakter perawi yang shahih, sehingga
senantiasa dekat dengan Allâh
7. Menjadi pemicu untuk memperdalam sisi dirayah
‫شروط الراوي‬
• Sebuah riwâyah akan dinilai sah dan diterima apabila
memenuhi lima syarat sanad yang shahih (lih. Dr. Luqmân Al-
Hakîm Al-Azhariy dalam Imdâdul Mughîts hal. 28-35):
• Ittishâlus sanad (tersambungnya sanad),
• ‘Adâlatur râwî (perawi yang adil),
• Dhabthur râwî (perawi yang bisa menjaga),
• Tidak ada syâdz (pertentangan), dan
• Tidak ada cacat.
• Dari syarat-syarat tersebut, syarat yang berkaitan dengan
perawi ada dua: ‘adâlatur râwî (perawi yang adil) dan dhabthur
râwî (perawi yang bisa menjaga).
‫عدالة الراوي‬
• Maksud dari ‘adâlatur râwî adalah selamatnya
seorang perawi dari sifat fasik (at-taqwâ) dan al-
murû`ah.
• Lebih rinci, beberapa sifat yang wajib dimiliki perawi
yang adil adalah:
• Islam,
• Baligh,
• Berakal,
• Bertakwa,
• Al-Murû`ah.
‫ضبط الراوي‬
• Adh-Dhabt artinya bisa menjaga riwâyah dari kekeliruan, baik
yang disebabkan oleh kelalaian, lupa, atau keraguan pada
saat at-tahammul wal adâ. Maka, setiap perawi mesti memiliki
karakter:
1. Mampu menghafal dan menjaga setiap periwayatan dengan
baik,
2. Mampu menjaga teks riwâyah apabila ia tidak menghafalnya
dengan kuat,
3. Mengetahui perubahan lafazh dan makna apabila ia
meriwayatkan dengan makna.
‫ضبط الراوي‬
• Adh-Dhabth terbagi menjadi dua:
1. Dhabhtu Shadr:
– Dhabthu Tâm: perawi yang memiliki hafalan yang sangat kuat dan sempurna,
tidak ada kecacatan dan riwâyahnya tidak bertentangan dengan perawi lain
yang sama derajat kepercayaannya. Riwâyah yang dibawanya disebut shahîh
lidzâtihi.
– Dhabthu Ghayri Tâm: perawi yang hafalannya kuat namun tidak sekuat perawi
pertama. Penilaian para ulama terhadapnya kadang berbeda, sebagian
menilai dhabith dan sebagian lain menilai tidak. Periwayatan dari perawi jenis
ini dapat menjadi shahîh lighayrihi atau hasan lidzâtihi.
2. Dhabthu Kitâb: perawi yang mampu menjaga kitab yang
berisi periwayatannya dan mampu mengoreksinya apabila
terjadi kekeliruan.
‫ُط ُر ُق الت َّ َّحمُ ِل َّواألَّ َّدا ِء‬
• At-Tahammul artinya seorang murid mengambil
riwâyah dari gurunya, sedangkan al-adâ artinya
seorang guru meriwayatkan sesuatu kepada
muridnya.
• Cara yang merupakan asas dari periwayatan, baik at-
tahammul atau al-adâ adalah: as-samâ’ dan al-qirâ`ah
(al-‘ardh).
• Sedangkan cara selain kedua cara tersebut,
merupakan cara yang digunakan untuk menggantikan
kedua cara tersebut apabila tidak bisa dilakukan.
‫ُط ُر ُق الت َّ َّحمُ ِل َّواألَّ َّدا ِء‬
1. َ
As-Samâ’ (‫)ٱلس َماع‬
– Secara bahasa, as-samâ’ artinya mendengar atau menyimak. Yakni
seseorang mengambil riwâyah dari perkataan guru, baik guru tersebut
menyampaikan dari hafalannya atau dari kitabnya.
ُ َ َ ۡ
2. Al-Qirâah (ُّ‫)ٱلقِراءة‬
– Secara bahasa, al-qirâah bermakna mengumpulkan atau membaca.
Yakni mengambil riwâyah dari guru melalui bacaan murid kepada
gurunya, atau melalui bacaan orang lain kepada gurunya dan ia
menyimaknya.
ۡ َ ۡ
3. Al-‘Ardh (‫)ٱلعرض‬
– Secara bahasa, al-‘ardh bermakna menyodorkan atau menampakkan. Yakni
membaca kepada seorang muhaddits (perawi), sambil mencocokkannya dengan
naskah asli.
‫ُط ُر ُق الت َّ َّحمُ ِل َّواألَّ َّدا ِء‬
ُ َ َ ۡ
4. Al-Ijâzah (ُّ‫)ٱۡلجازة‬
– Maksud dari al-ijâzah adalah izin dalam meriwayatkan. Al-
Ijâzah (izin) untuk meriwayatkan ini diberikan dari
seorang guru kepada muridnya disebabkan muridnya
tidak sempurna dalam as-samâ’ atau al-‘ardh.
• Ijâzah dalam ilmu riwâyah sendiri bervariasi bentuknya, di
antaranya:
• Al-Ijâzah yang diberikan seseorang untuk orang tertentu dalam
riwâyah tertentu (Al-Ijâzah Al-Khâshshah),
• Al-Ijâzah yang yang diberikan seseorang untuk orang tertentu
dalam riwâyah yang tidak ditentukan (al-ijâzah al- ‘âmmah).
‫ُط ُر ُق الت َّ َّحمُ ِل َّواألَّ َّدا ِء‬
ََُ َُۡ
5. Al-Munâwalah (ُّ‫)ٱلمناولة‬
– Secara bahasa, al-munâwalah artinya memberikan atau
menyampaikan. Yakni seorang guru memberikan sebuah kitab yang
berisi periwayatannya kepada muridnya, setelah kitab tersebut diteliti
dan dipastikan keshahihannya, disertai izin untuk meriwayatkannya, baik
izin tersebut disampaikan secara tersurat ataupun tersirat.
ََُ َ ۡ
6. Al-Mukâtabah (ُّ‫)ٱلمَكتبة‬
– Secara bahasa bermakna mengumpulkan atau menyusun sesuatu. “Seorang guru
– atau orang yang dipercaya olehnya dan berdasarkan perintahnya – menulis
sebagian hadits yang diriwayatkannya untuk diberikan kepada muridnya (yang
tidak hadir) sambil disertai izin untuk meriwayatkannya, baik izin tersebut
disampaikan secara tersurat ataupun tersirat. Status hukumnya sama dengan
munâwalah.
ِ ُ‫از ُة ِفي الق‬
‫رآن‬ َّ ‫ا ِإل َّج‬
• Dalam konteks Al-Qurân atau ilmu qirâât, maka ijâzah selain berfungsi
sebagai izin untuk menjaga dan meriwayatkan lafazh-lafazh Al-Qurân
sebagaimana pada hadits, juga berfungsi sebagai at-tazkiyah
(rekomendasi) dan asy-syahâdah (kesaksaian) seorang Syaikh atas
kompetensi muridnya.
• Seorang Syaikh tidak akan memberikan ijâzah Al-Qurân kepada muridnya
kecuali ia telah yakin bahwa muridnya ini bisa melafazhkan ayat-ayat Al-
Qurân dengan tepat sesuai dengan kaidah dan standar ilmu tajwid.
• Jadi, dalam ijâzah Al-Qurân terdapat dua fungsi penjagaan: pertama,
fungsi periwayatan dalam menjaga lafazh-lafazh Al-Qurân (dari sisi
tulisan/ rasm dan makna). Kedua, fungsi pengakuan atas keahlian dalam
menjaga cara membaca lafazh-lafazh tersebut (dari sisi qirâah dan
tajwid).
ِ ُ‫از ُة ِفي الق‬
‫رآن‬ َّ ‫ا ِإل َّج‬
• Di kalangan para ulama ahli qirâât, dikenal dua jenis ijâzah dalam
Al-Qurân.
• Pertama, al-ijâzah fil qirâah. Ijâzah ini adalah ijâzah diberikan
seorang Syaikh kepada muridnya karena muridnya telah
mengamalkan salah satu atau beberapa cara tahammul (cara-cara
meriwayatkan) yang sah dengan bacaan yang baik, namun masih
memiliki kekurangan dari sisi pendalaman teoritis (ilmu tajwid atau
qirâât), atau belum memenuhi syarat-syarat khusus yang
ditentukan oleh Syaikhnya.
• Maka Syaikhnya memberikan ijâzah qirâah (izin untuk membaca Al-
Qurân di depan umum) tanpa iqrâ (menerima bacaan (mengajar)
atau meriwayatkan).
ِ ُ‫از ُة ِفي الق‬
‫رآن‬ َّ ‫ا ِإل َّج‬
• Kedua, al-ijâzah fil-qirâah wal iqrâ`. Ijâzah ini adalah ijâzah diberikan seorang
Syaikh kepada muridnya setelah muridnya mengamalkan salah satu atau
beberapa cara tahammul yang sah dengan bacaan yang baik dan telah teruji
dari sisi pendalaman teoritisnya (ilmu tajwid atau qirâât), serta telah
memenuhi syarat-syarat khusus yang telah ditetapkan oleh Syaikhnya seperti
misalnya hafalan yang kuat, hafalan mutûn (kitab-kitab kecil) dalam ilmu
tajwid dan qirâât, memahami persoalan waqf dan ibtidâ (tata cara berhenti
dan memulai bacaan Al-Qurân), atau selainnya, dimana masing-masing Syaikh
terkadang memberikan syarat yang berbeda-beda.
• Al-Ijâzah fil qirâah wal iqrâ artinya izin dari seorang Syaikh kepada muridnya
untuk membaca Al-Qurân di depan umum, membacakannya
(meriwayatkannya) kepada orang lain, atau menerima bacaan dari orang lain
(mengajarkan dan mengoreksi bacaannya).
ِ‫از ُة ِفي القُرآن‬
َّ ‫ستج‬
َّ ِ
‫إل‬ ‫ا‬
ُ َۡ
1. At-Talqîn (‫ي‬
ُّ ِ‫)ٱتللق‬
– At-Talqîn artinya Syaikh (guru) membacakan Al-Qurân kepada muridnya,
kemudian muridnya mengulangi bacaan tersebut sambil dikoreksi dari awal
Al-Fâtihah sampai akhir An-Nâs.
ُ َۡۡ
2. Al-‘Ardh (ُّ‫)ٱلعرض‬
– Yakni murid membacakan Al-Qurân secara sempurna dari awal Al-Fâtihah
sampai akhir An-Nâs kepada gurunya, baik bil ifrâd (satu riwâyah) atau bil
jam' (membaca dengan menggabungkan beberapa riwâyah atau beberapa
qirâât dalam satu bacaan).
ُ َ )
ُّ ‫ٱلس َم‬
3. As-Samâ’ (‫اع‬
– Yaitu menyimak keseluruhan Al-Qurân dari Syaikhnya secara sempurna dari
awal Al-Fâtihah sampai akhir An-Nâs. Seorang murid menyimak bacaan
gurunya dari awal sampai akhir, tanpa mengulangi bacaan tersebut.
ِ‫از ُة ِفي القُرآن‬
َّ ‫ستج‬
َّ ِ
‫إل‬ ‫ا‬
ۡ
ُُّ ‫ٱلخت ِ َب‬
1. Alikhtibâr (‫ار‬ ِ )
– Seorang guru menguji bacaan muridnya pada sebagian tempat Al-Qurân,
baik dari sisi ketepatan makhraj dan sifat huruf, hukum-hukum tajwid, waqf
dan ibtida, atau variasi qirâât.
ُۡ
2. Biba'dhil Qurân (‫ن‬ ُّ ِ ‫)ب َِب ۡع‬
ُِّ ‫ض ٱلقرآ‬
– Seorang murid membaca sebagian surat atau ayat Al-Qurân, kemudian
gurunya memberikan ijâzah (izin) untuk membaca (fil qirâah) dan
mengajarkan (wal iqrâ) untuk seluruh Al-Qurân, bukan hanya ayat atau surat
yang dibacanya saja. Termasuk dalam kategori ini adalah bit tanawub.
3. Al-Ijâzah (‫ۡل َج َازُُّة‬
ِ ‫)ٱ‬
– Seorang guru langsung memberikan ijâzah (izin) untuk membaca (fil qirâah)
dan mengajarkan (wal iqrâ), tanpa mendengar bacaan muridnya (al-‘ardh),
dan tanpa membacakan Al-Qurân kepada muridnya (as-samâ’).
‫التنبيهات‬
• Para ulama qirâât berbeda pendapat mengenai keshahihan
ijâzah untuk tiga nomor terakhir (al-ikhtibâr, biba’dhil qurân, dan
al-ijâzah). Pendapat pertama, sebagian ulama mengatakan shahih
secara mutlak.
• Pendapat kedua, sah dengan syarat penerima ijâzah (mujâz)
telah menerima ijâzah sebelumnya dengan cara talaqqiy 30 Juz.
• Apabila mujâz menerima ijâzah dengan salah satu dari cara ke-4
sampai ke-6, namun ia belum pernah mendapat ijâzah dengan
cara talaqqiy 30 Juz, maka ijâzahnya tidak sah, artinya tidak bisa
diriwayatkan kepada murid-muridnya. Dengan kata lain,
sanadnya tidak shahih.
‫التنبيهات‬
• Apakah Sanad ‘Alî Selalu Berbanding Lurus dengan
Kepakaran?
• Dalam ilmu riwayah, sanad atau periwayatan yang dipegang seseorang tidak
selalu berbanding lurus dengan kepakaran atau kedalaman pemahaman yang
dimilikinya. Tidak ada jaminan bahwa seorang perawi yang sanadnya‘alî telah
memiliki kepakaran dalam seluruh kitab yang ia riwayatkan.
• Oleh karena itu, bila seseorang ingin mencari riwayah, maka carilah sanad ‘alî,
karena demikianlah sunnahnya, tanpa perlu melihat kepakaran dan kedalaman
pemahamannya. Adapun bila seseorang ingin mencari pemahaman yang
mendalam (dirayah), maka lihatlah kepakaran seseorang, tanpa harus melihat
sanad yang dipegangnya.
‫التنبيهات‬
• Dalam periwayatan, bukan tidak mungkin orang yang mendengar (murid) bisa
jadi lebih paham daripada orang yang meriwayatkan (guru), sebagaimana isyarat
dari Rasûlullâh g:
ُُّ َ ‫ع‬
ُ‫ل م ِۡن ُّه‬ َ َۡ َ ُ ۡ َ َ َُ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ۡ ُ َ
ُّ ‫ن ه ُّو أو‬
ُّ ‫س أن يبل ِ ُّغ م‬
ُّ ‫ن ٱلشاه ُِّد ع‬ ُّ ِ ‫• ِِلُ َبلِغ ٱلشاه ُِّد ٱلغائ‬
ُّ ِ ‫ب فإ‬
• “Hendaklah yang hadir menyampaikan pada yang tidak hadir diantara kalian. Bisa jadi
yang menyaksikan itu menyampaikan kepada orang yang lebih paham daripada
dirinya.” [HR. Al-Bukhârî, Ahmad, dan Ad-Dârimî]
• Juga sabda Rasûlullâh َ g:
َ ْ َ ۡ َ َ ُ َ ُ ۡ ُ َ ۡ َ ُ ۡ َ َ ۡ َ َ ُ َ ُ َ َُ َ َ ُ َ َ َ ً َ َ َ َ ًَ ۡ َُ َ َ َ
ُّ ‫ِل ُّف ِقهُّ لي‬
‫س‬ ُِّ ‫ب حام‬
ُّ ‫ن ه ُّو أفق ُّه مِن ُّه ور‬
ُّ ‫ل م‬ُّ ِ ‫ِل ف ِقهُّ إ‬
ُِّ ‫ب حام‬
ُّ ‫ّت يبلِغ ُّه فر‬
ُّ ‫ٱّلل ٱمرُّأ س ِم ُّع مِنا ح ِديثا فحفِظ ُّه ح‬
ُّ ‫ّض‬ ُّ ‫• ن‬
َ
ُّ‫بِفقِيه‬
• “Semoga Allah memperindah orang yang mendengar hadits dariku lalu menghafal dan
menyampaikannya kepada orang lain, berapa banyak orang menyampaikan ilmu
kepada orang lain yang lebih berilmu, dan berapa banyak pembawa ilmu merupakan
orang yang tidak terlalu memahaminya.” [HR. Abû Dâwûd, At-Tirmidzî, Ahmad, dan
Ad-Dârimi]
‫هل يجب للمعلم عنده اإلسناد‬

• Apabila yang dimaksud bersanad adalah memiliki guru yang


jelas jalur periwayatannya, ahli di bidangnya, dan terpercaya
ilmunya, maka jelas setiap orang yang akan mengajar Al-Qurân
wajib memilikinya. Bahkan, setiap pelajar Al-Qurân harus
berusaha mendapatkan guru yang memenuhi kriteria tersebut.
• Adapun sanad, otomatis tersambung apabila seseorang telah
mendengar sebuah matn dari Syaikh (as-samâ'), atau ia
membacakan matn kepada Syaikhnya (al-'ardh).
• Artinya, seseorang yang memiliki guru yang jelas, maka ia telah
bersanad.
‫هل يجب للمعلم عنده اإلسناد‬

• Adapun apabila yang dimaksud bersanad adalah memiliki ijâzah


qirâah wal iqrâ, maka sesungguhnya para ulama sepakat bahwa
ijâzah bukanlah syarat untuk mengajar. Siapapun yang yakin
dirinya memiliki keahlian, maka ia boleh bahkan wajib mengajar.
Sesungguhnya Nabi shallallâhu 'alayhi wa sallam bersabda:
َ‫ن َولَو آية‬ ُ
ُّ ِ ‫• بَلِغوا َع‬
• “Sampaikanlah oleh kalian apa yang berasal dariku, walaupun satu
ayat.” [HR. Al-Bukhari]
• Yang terpenting adalah ia memahami kapasitas dirinya. Sampai
level mana ia bisa mengajarkan ilmunya. Tidak menyembunyikan
ilmu dan pengetahuan, serta tidak memaksakan diri untuk
mengajarkan apa yang ia tidak miliki ilmunya.
‫هل يجب للمعلم عنده اإلسناد‬

• Adapun maksud diadakannya ijâzah Al-Qurân adalah disebabkan orang-


orang awam tidak bisa melihat kemampuan dan ilmu seseorang,
sehingga membuat mereka bingung kepada siapa seharusnya mengambil
ilmu. Karenanya seorang Syaikh kemudian memberikan ijâzah yang
berfungsi sebagai sebuah rekomendasi bahwa ia memang bisa dan layak
diambil ilmunya berdasarkan penilaiannya tersebut.
• Al-Imâm As-Suyûthiy dalam Al-Itqân berkata,
َُ َ َ َ َ ْ َ ْ َْ ْ َ َ ْ َ َ َ َ ْ َ َْ ْ َ َ َ َ ْ َ ُْ َ ْ َ َ َُ َ ْ
ُّ ‫از‬
‫ل‬ ُّ ‫س ُّهِ ْاۡلهل ُِّي ُّة ْج‬ ِ ‫ِن نف‬ ُّ ‫ن َعل ِ ُّم م‬ ُّ ‫اۡلفاد ُّة ِ فم‬
ِ ‫ازِ اتلص ْ ِد َي ُ ل ِِْلقراءُِّ و‬ ُّ ‫ف جو‬ ُّ ِ ُّ‫ي َش َط‬ ُّ ‫خ َغ‬ ُِّ ‫ِن الشي‬ َُّ ‫اۡلجازُّة م‬ ِ •
َْ ُ َ َ َ ‫الص ْد ُُّر‬ َ ‫ون َو‬ َ ُ َ َ َ َ ُ ْ َ َ
ِ‫اۡلق َرا ُّء‬ُِّ ُّ‫ك ع َِلمُّ ْ َو ِف‬ ُِّ ‫ف‬ ُّ ِ ‫ِك‬ ُّ ‫الصال ُُِّح َوكذل‬ ُّ ‫ف اۡل َول‬ ُّ ‫السل‬ َ ‫ِك‬ ُّ ‫َع ْ َذل‬ُّ ‫ُي ْزُّهُ أ َحدُّ َو‬ ِ ‫ِإَون ل ُّْم‬
ُّ ‫ِك‬ ُّ ْ ‫ذل‬
َ َ َ َ ُ َ ََ َ ْ ََ ً ْ َ َ ْ َ َ ْ ُ َ ْ ُُ ََََ َ ً َ َ ْ َ
ُّ ‫جازُّة ِۡل‬
‫ن‬ ِ ُّ ‫َع اۡل‬ ُّ ‫اس‬ ُّ ‫ح انل‬ ُّ ‫ ِإَونما اصطل‬.‫ِن اعتِقادُِّ كون ِها َشطا‬ ُّ ‫اء م‬ ُّ ‫خلفا ل ِما يتوهم ُّه اۡلغبي‬ ِ
ِ ‫واۡلفتا ُّء‬
َ َ ْ َ ِْ َ َ ُ ُ ْ ْ َ َ َ َ ْ ُ ْ َ ُ ْ َ َ ْ َ ْ ُ ِ ُ ْ َِ ً َ َ ُ َ ْ َ َ ْ َ َ َِ ْ َ
ُّ ‫ن َ ذل‬
‫ِك‬ ُّْ ‫ع‬
ُّ ‫ورِ م ْقا ِم ِه ُّم‬ُّ ‫ي وَنوِه ُِّم ل ِقص‬ ُّ ِ ‫ِن المبت ِدئ‬ ُّ ‫يد اۡلخ ُّذ عن ُّه ْم‬ ُّ ‫ن ي ِر‬ ُّ ‫ص ْ َلُّ يعلمها َغ ِِل ْا َ م‬ ُّ ِ ‫أه ْلِي ُّة الشخ‬
ْ َ َ َ َ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ ُ ْ َ َ
ِ‫ازِ بِاۡلهل ِ َية‬ ُّ ‫ج‬ َ ‫خ ل ِل ُم‬ ُِّ ْ‫ِن الشي‬ َُّ ‫ازُّةُ َكلش َهاد ُّة ِ م‬ َ ‫ت اۡل َج‬ ُ
ِ ُِّ ‫ل اۡلخ ُِّذ َشطُّ فج ِعل‬ ُّ ْ‫ن اۡلهل ِ َيةِ قب‬ ُِّ ‫ث َع‬ ُّ ‫ح‬ ‫واِل‬
(I/ 355)[ ‫]اۡلتقان ف علوم القرآن‬
‫آداب المجيز‬
• Bagi seseorang yang telah mendapatkan ijâzah, maka
perlu diperhatikan adab-adabnya, sebelum meng-
ijâzah-kan kepada orang lain, di antaranya:
1. Tidak memperjualbelikan al-ijâzah atau riwâyah serta
tidak bermudah-mudah dalam memberikannya,
2. Menahan diri dari meriwayatkan apabila ada orang
yang lebih ‘âliy (tinggi) sanadnya di wilayah tersebut,
3. Menahan diri dari meriwayatkan apabila ada orang
yang lebih senior di wilayah tersebut, walaupun
sanadnya setara (satu tingkat),
‫آداب المجيز‬
4. Kalaupun pada akhirnya mesti meriwayatkan, maka
hendaknya mengabarkan kepada murid-muridnya,
keberadaan orang yang lebih tinggi sanadnya atau yang
lebih senior itu, sehingga murid-muridnya terpacu untuk
terus belajar dan tidak mencukupkan diri pada riwâyah yang
ada atau ijâzah yang diberikan,
5. Hendaknya menjaga kejujuran dalam periwayatan, dengan
mengabarkan siapa gurunya dan bagaimana cara tahammul
(mengambil riwâyah) yang dahulu pernah dilakukannya. Hal
ini sebagai bentuk dari amanah ilmiah dan menjauhkan diri
dari tadlîs (penipuan terhadap riwâyah).
‫آداب المجيز‬
6. Memenuhi syarat yang mu’tabar, berupa:
– Tatsabbut (cek dan ricek) perkataan atau lafazh yang tidak dipahami atau
belum diketahui ketepatan cara membacanya,
– Berusaha menjaga periwayatan dari tahrîf (perubahan pada harakat) atau
tashhîf (perubahan pada huruf/ titik),
– Selalu murâja’ah (mengulang pelajaran) dan bertanya kepada para ‘ulama,
– Apabila menemukan persoalan yang baru, maka mesti mencari jawabannya
dengan merujuk pendapat para ulama atau menggunakan ushul yang telah
ditetapkan para ulama,
– Tidak tergesa-gesa dalam memberikan fatwa, kecuali setelah benar-benar
meneliti dengan mendalam permasalahan yang diajukan,
– Hendaknya meneliti jalur-jalur periwayatan dan sanad yang ia dapatkan, agar
terhindar dari kekeliruan atau kekurangan atau penambahan, dan menjaga
jalur sanadnya tetap shahih.
‫األسانيد إلى الناظم‬
• Sanad Tuhfatul Athfâl kepada penulisnya
• Walhamdulillaah, Kami telah membaca kitab ini kepada Syaikh Muhammad
Yahya Jum'an Al-Yamani, Syaikh Mahmoud El-Said Alu Zurainah, dan KH.
Muhammad Qudsi Al-Garuti dengan sanad mereka kepada Syaikh Sulaiman Al-
Jamzuriy hafizhahuumullaahu Ta’aala.
• Dan juga telah menyampaikan serta mengabarkan kepada kami: Syaikh
Muhammad Kurayyim Said Rajih, Syaikh Muhammad Al-Badawi, Syaikh
Muhammad Ibrahim Ali Ath-Thawwab, Syaikh Ibrahim Al-Mu'allim, Syaikhah At-
Tinaazhar An-Najuli, dan Syaikh Abdul Fattah Madkur Bayumi dengan sanad
mereka kepada penulisnya.
• Serta melalui jalur ijazah 'ammah dari para Masyayikh yang lain, seperti: Ustadz
Rikrik Aulia Rahman, Syaikh Taufiq 'Ali An-Nahas, Syaikh Walid Idris Al-Muniisi,
Syaikh Manshur Banut Al-Lubnaniy, Syaikh Muhammad Idris As-Sindi, Syaikh
Dr. Hasan Asy-Syafi'i, Syaikh Rif'at Fawzi, Syaikh Abul Hajjaj Yusuf Al-Ardani,
dll.
‫األسانيد إلى الناظم‬
• Menurut penelitian para pakar ilmu riwayah seperti Asy-Syaikh Hasan
Mushthafa Al-Warrâqi r, tidak ada ijazah khusus dalam kitab ini kecuali
terputus pada Asy-Syaikh Al-Mutawalli r. Sehingga kebanyakan Ulama
hanya menetapkan sanadnya pada beliau, tidak meneruskannya ke atas.
• Adapun melalui jalur Ahli hadits (ijazah ‘ammah), maka ada sanad dari
beberapa jalur, di antaranya yang paling masyhur adalah dari Asy-Syaikh
‘Alî Taufîq An-Nahhâs dari orangtua beliau dari Syaikh Muhammad Bakhit
Al-Muthî’i, dari Asy-Syaikh Abdurrahmân Asy-Syirbînî, Asy-Syaikh Hasan
Ath-Thawîl, dan Asy-Syaikh Muhammad Al-Basyûnî; ketiganya dari Asy-
Syaikh Ibrâhîm As-Saqa.
• Dan lebih tinggi satu tingkat Asy-Syaikh Muhammad Bakhit Al-Muthi’i
meriwayatkan langsung dari Asy-Syaikh Ibrâhîm As-Saqa (w. 1298), dari
Syaikh Nashr Al-Hûrînî (w. 1291 H), dari Al-Imam Sulaiman Al-Jamzûriy j.

Anda mungkin juga menyukai