Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

BIOGRAFI PARA PENDIRI NU

OLEH :

NUR AINI ULFIAH


KELAS : XI IPA 2

MADRASAH ALIYAH
PERGURUAN MU’ALLIMAT
CUKIR JOMBANG JAWA TIMUR INDONESIA
TAHUN PELAJARAN 2015 - 2016
1. HADRATUSSYEKH KH. M. HASYIM ASY’ARI
beliau lahir di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten
Jombang, Jawa Timur, Beliau meninggal di Jombang, Jawa Timur, 25 Juli 1947 pada
umur 72 tahun/4 Jumadil Awwal 1292 H dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang. Beliau
adalah pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia.
Dikalangan Nahdliyin dan ulama pesantren beliau dijuluki dengan sebutan Hadratus
Syeikh yang berarti maha guru.

KH Hasyim Al Asy’ari adalah seorang ulama pendiri Nahdlatul Ulama (NU),


organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia. Ia juga pendiri pesantren Tebuireng,
Jawa Timur dan dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain
mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-
buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.

A. Keluarga
KH Hasyim Asyari adalah putra ketiga dari 10 bersaudara. Ayahnya bernama
Kyai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya
bernama Halimah. Sementara kesepuluh saudaranya antara lain: Nafi'ah, Ahmad Saleh,
Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi dan Adnan. Berdasarkan
silsilah garis keturunan ibu, KH. Hasyim Asy'ari memiliki garis keturunan baik
dari Sultan Pajang Jaka Tingkir juga mempunyai keturunan ke raja Hindu Majapahit, Raja
Brawijaya VI (Lembupeteng). Berikut silsilah berdasarkan KH. Hasyim Asya'ari
berdasarkan garis keturanan ibu:

Muhammad Hasyim Asy’ari putra Halimah putri Layyinah putri Sihah Putra

Abdul Jabar putra Ahmad putra Pangeran Sambo putra Pangeran Benowo putra

Joko Tingkir (Mas Karebet) putra Prabu Brawijaya VI (Lempupeteng)

B. Pendidikan

KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai
Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun,
ia berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren
Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di
Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.
Pada tahun 1892, KH Hasyim Asyari pergi menimba ilmu ke Mekah, dan
berguru pada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Mahfudh at-
Tarmisi, Syekh Ahmad Amin Al-Aththar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said
Yamani, Syekh Rahmaullah, Syekh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki,Sayyid
Alwi bin Ahmad As-Saqqaf, dan Sayyid Husein Al-Habsyi.
Di Makkah, awalnya K.H. Hasyim Asy'ari belajar dibawah bimbingan Syaikh
Mafudz dari Termas (Kediri) yang merupakan ulama dari Indonesia pertama yang
mengajar Sahih Bukhori di Makkah. Syaikh Mafudz adalah ahli hadis dan hal ini
sangat menarik minat belajar K.H. Hasyim Asy'ari sehingga sekembalinya ke
Indonesia pesantren ia sangat terkenal dalam pengajaran ilmu hadis. Ia mendapatkan
ijazah langsung dari Syaikh Mafudz untuk mengajar Sahih Bukhari, dimana Syaikh
Mahfudz merupakan pewaris terakhir dari pertalian penerima (isnad) hadist dari 23
generasi penerima karya ini. Selain belajar hadis ia juga belajar tassawuf (sufi)
dengan mendalami Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah.
KH. Hasyim Asy'ari juga mempelajari fiqih madzab Syafi'i di bawah
asuhan Syaikh Ahmad Katib dari Minangkabau yang juga ahli dalam bidang
astronomi (ilmu falak), matematika (ilmu hisab), dan aljabar. Di masa belajar pada
Syaikh Ahmad Katib inilah Kyai Hasyim Asy'ari mempelajari Tafsir Al-manar karya
monumental Muhammad Abduh. Pada prinsipnya ia mengagumi rasionalitas
pemikiran Muhammad Abduh akan tetapi kurang setuju dengan ejekan Muhammad
Abduh terhadap ulama tradisionalis.
Gurunya yang lain adalah termasuk ulama terkenal dari Banten yang mukim di
Makkah yaitu Syaikh Nawawi al-Bantani. Sementara guru yang bukan dari
Nusantara antara lain Syaikh Shata dan Syaikh Dagistani yang merupakan ulama
terkenal pada masa itu.

C. Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng


Ketika telah berada di Jombang beliau berencana membangun sebuah
pesantren yang dipilihlah sebuah tempat di Dusun Tebuireng yang pada saat itu
merupakan sarang kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu tentu saja menuai tanda
tanaya besar dikalangan masyarakat, akan tetapi semua itu tidak dihiraukannya.
Nama Tebuireng pada asalnya Kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, Di
dearah tersebut ada seekor kerbau yang terbenam didalam Lumpur, dimana tempat
itu banyak sekali lintahnya, ketika ditarik didarat, tubuh kerbau itu sudah berubah
warna yang asalnya putih kemerah-merahan berubah menjadi kehitam-hitaman yang
dipenuhi dengan lintah. Konon semenjak itulah daerah tadi dinamakan Keboireng
yang akhirnya berubah menjadi Tebuireng.
Pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren
Tebuireng, bersama rekan-rekan seperjuangnya, seperti Kiai Abas Buntet, Kiai
Sholeh Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya, segala
kesulitan dan ancaman pihak-pihak yang benci terhadap penyiaran pendidikan Islam
di Tebuireng dapat diatasi.
D. Mendirikan Nahdlatul Ulama’

Disamping aktif mengajar beliau juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik
yang bersifat lokal atau nasional. Pada tanggal 16 Sya’ban 1344 H/31 Januari 1926
M, di Jombang Jawa Timur didirikanlah Jam’iyah Nahdlotul Ulama’ (kebangkitan
ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan ulama’-ulama’
besar lainnya, dengan azaz dan tujuannya: “Memegang dengan teguh pada salah satu
dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafi’i, Imam Malik bin
Anas, Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga
mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam”. KH. Hasyim
Asy’ari terpilih menjadi rois akbar NU, sebuah gelar sehingga kini tidak seorang pun
menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi (peraturan dasar) NU yang
mengembangkan faham ahli sunnah waljama’ah.
E. Wafatnya Sang Tokoh
Pada Tanggal 7 Ramadhan 1366 M. jam 9 malam, beliau setelah mengimami
Shalat Tarawih, sebagaimana biasanya duduk di kursi untuk memberikan pengajian
kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, tiba-tiba datanglah seorang tamu
utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kiai menemui utusan tersebut
dengan didampingi Kiai Ghufron, kemudian tamu itu menyampaikan pesan berupa
surat. Entah apa isi surat itu, yang jelas Kiai Hasyim meminta waktu semalam untuk
berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya.
Namun kemudian, Kiai Ghufron melaporkan situasi pertempuran dan kondisi
pejuang yang semakin tersudut, serta korban rakyat sipil yang kian meningkat.
Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berkata,“Masya Allah, Masya
Allah…” kemudian beliau memegang kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai Ghufron
bahwa beliau sedang mengantuk. Sehingga para tamu pamit keluar. Akan tetapi,
beliau tidak menjawab, sehingga Kiai Ghufron mendekat dan kemudian meminta
kedua tamu tersebut untuk meninggalkan tempat, sedangkan dia sendiri tetap berada
di samping Kiai Hasyim Asy’ari. Tak lama kemudian, Kiai Ghufron baru menyadari
bahwa Kiai Hasyim tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia
memanggil keluarga dan membujurkan tubuh Kiai Hasyim.
Tak lama kemudian baru diketahui bahwa Kiai Hasyim terkena pendarahan
otak. Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Tuhan
berkehendak lain pada kekasihnya itu. KH.M. Hasyim Asy’ari wafat pada pukul 03.00
pagi, Tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal 07 Ramadhan 1366 H. Inna
Lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un. Kepergian
beliau ketempat peristirahatan terakhir, diantarkan bela sungkawa yang amat dalam
dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil maupun
militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU, dan khususnya para santri
Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini berbaring di
pusara beliau di tenggah Pesantrn Tebuireng. Pada saat mengantar kepergianya,
sahabat dan saudara beliau, KH. Wahab hazbulloh, sempat mengemukakan kata
sambutan yang pada intinya menjelaskan prinsip hidup belaiu, yakni, “berjuang terus
dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder istirahat”.

F. Karya Kitab Klasik


Peninggalan lain yang sangat berharga adalah sejumlah kitab yang beliau tulis
disela-sela kehidupan beliau didalam mendidik santri, mengayomi ribuan umat,
membela dan memperjuangkan bumi pertiwi dari penjajahan. Ini merupakan bukti riil
dari sikap dan perilakunya, pemikirannya dapat dilacak dalam beberapa karyanya
yang rata-rata berbahasa Arab.
Tetapi sangat disayangkan, karena kurang lengkapnya dokumentasi, kitab-
kitab yang sangat berharga itu lenyap tak tentu rimbanya. Sebenarnya, kitab yang
beliau tulis tidak kurang dari dua puluhan judul. Namun diakungkan yang bisa
diselamatkan hanya beberapa judul saja, diantaranya:
1. Al-Nurul Mubin Fi Mahabati Sayyidi Mursalin. Kajian kewajiban beriman, mentaati,
mentauladani, berlaku ikhlas, mencinatai Nabi SAW sekaligus sejarah hidupnya

2. Al-Tanbihat al-Wajibat Liman Yashna’u al-Maulida Bi al-Munkarat. Kajian mengenai


maulid nabi dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar

3. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Kajian mengenai pandangan terhadap bid’ah,
Konsisi salah satu madzhab, dan pecahnya umat menjadi 73 golongan

4. Al-Durasul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh. Kajian tentang wali dan thoriqoh
yang terangkum dalam sembilan belas permasalahan.

5. Al-Tibyan Fi Nahyi’an Muqatha’ah al-Arham Wa al-Aqrab Wa al-Akhwal. Kajian


tentang pentingnya jalinan silaturahmi antar sesama manusia

6. Adabul ‘Alim Wa Muata’alim. Pandangan tentang etika belajar dan mengajar didalam
pendidikan pesantrren pada khususnya

7. Dlau’ al-Misbah Fi Bayani Ahkami Nikah. Kajian hukum-hukum nikah, syarat, rukun,
dan hak-hak dalam perkawinan

8. Ziyadah Ta’liqot. Kitab yang berisikan polemic beliau dengan syaikh Abdullah bin
yasir Pasuruaan

2. KH. Abdul Wahab Hasbulloh

A. Latar Belakang Dan Nasab


KH. Abdul Wahab Hasbullah lahir di Jombang, 31 Maret 1888. Ayah beliau
adalah Kiai Hasbullah Said, pengasuh Pesantren Tambakberas Jombang Jawa Timur,
sedangkan Ibundanya bernama Nyai Latifah. Kiai Hasbullah adalah putra dari Nyai
Fatimah binti Abdus Salam (Kiai Sihah) yang tak lain adalah saudara kandung Nyai
Layyinah binti Abdus Salam, ibu dari Nyai Halimah (ibunda Hadratus Syaikh KH.
Hasyim Asy’ari).
B. Pendidikan
Masa pendidikan KH. Abdul Wahab dari kecil hingga besar banyak dihabiskan
di pondok pesantren. Selama kurang lebih 20 tahun, beliau secara intensif menggali
pengetahuan keagamaan dari beberapa pesantren. Karena tumbuh di lingkungan
pondok pesantren, mulai sejak dini beliau diajarkan ilmu agama dan moral pada
tingkat dasar. Termasuk dalam hal ini tentu diajarkan seni Islam seperti kaligrafi,
hadrah, barzanji, diba’, dan sholawat. Kemudian tak lupa diajarkan tradisi yang
menghormati leluhur dan keilmuan para leluhur, yaitu dengan berziarah ke makam-
makam leluhur dan melakukan tawasul.
Beliau dididik ayahnya sendiri cara hidup seorang santri. Diajaknya shalat
berjamaah, dan sesekali dibangunkan malam hari untuk shalat tahajjud. Kemudian
Kiai Hasbullah membimbingnya untuk menghafalkan Juz ‘Amma dan membaca Al-
Qur’an dengan tartil dan fasih. Lalu beliau dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari
kitab yang paling kecil dan isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari. Misalnya:
Kitab Safinatunnaja, Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahab, Muhadzdzab dan Al
Majmu’. Abdul Wahab Hasbullah juga belajar Ilmu Tauhid, Tafsir, Ulumul Quran,
Hadits, dan Ulumul Hadits.
Kemauan yang keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak
semenjak masa kecilnya yang tekun dan cerdas memahami berbagai ilmu yang
dipelajarinya. Selama enam tahun awal pendidikannya, beliau dididik langsung oleh
ayahnya, baru ketika berusia 13 tahun, KH. Abdul Wahab merantau untuk menuntut
ilmu. Maka beliau pergi ke satu pesantren ke pesantren lainnya. Di antara pesantren
yang pernah disinggahi KH. Ahmad Wahab Hasbullah adalah Pesantren Langitan
Tuban, Pesantren Mojosari, Nganjuk. Pesantren Cempaka, Pesantren Tawangsari,
Sepanjang, Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura dibawah asuhan Kiai Kholil
Bangkalan. Pesantren Branggahan, Kediri, Pesantren Tebuireng, Jombang dibawah
asuhan Hadratus Syaikh K.H. Hasyim Asy‘ari.
Khusus di Pesantren Tebuireng, beliau cukup lama menjadi santri. Hal ini
terbukti, kurang lebih selama 4 tahun, beliau menjadi “lurah pondok”, sebuah jabatan
tertinggi yang dapat dicicipi seorang santri dalam sebuah pesantren, sebagai bukti
kepercayaan kiai dan pesantren tersebut.
Setelah merasa cukup bekal dari para ulama di Jawa dan Madura, beliau ke
Makkah untuk belajar pada ulama terkemuka dari dunia Islam, termasuk para ulama
Jawa yang ada di sana seperti Syaikh Mahfudz Termas dan Syaikh Ahmad Khatib al-
Minangkabawi. Selain belajar agama saat di Makkah itu, beliau juga mempelajari
perkembangan politik nasional dan internasional bersama aktivis dari seluruh dunia.
C. Peranan Dalam Bidang Sosial Dan Kebangsaan
KH. Abdul Wahab Hasbullah adalah pelopor kebebasan berpikir di kalangan
ummat Islam Indonesia, khususnya di lingkungan Nahdhiyyin. Beliau merupakan
seorang ulama besar Indonesia yang menekankan pentingnya kebebasan dalam
keberagamaan terutama kebebasan berpikir dan berpendapat. Untuk itu KH. Abdul
Wahab membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di
Surabaya pada tahun 1914 M.
Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas.
Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-
topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam
waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian di
kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum
itu untuk memperdebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap
penting.
Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga
menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasional
sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Karena
sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak,
maka jelas pula kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum
muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik.
Kebebasan berpikir dan berpendapat yang dipelopori KH. Abdul Wahab
Hasbullah dengan membentuk Tashwirul Afkar merupakan warisan terpenting beliau
kepada kaum muslimin Indonesia. Beliau telah mencontohkan kepada generasi
penerusnya bahwa prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat dapat dijalankan dalam
nuansa keberagamaan yang kental. Prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat tidak
akan mengurangi ruh spiritualisme umat beragama dan kadar keimanan seorang
muslim. Dengan prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat, kaum muslim justru
akan mampu memecahkan problem sosial kemasyarakatan dengan analisis keislaman.
Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya, KH. Abdul
Wahab bersama KH. Mas Mansyur menghimpun sejumlah ulama dalam organisasi
Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang mendapatkan kedudukan badan
hukumnya pada 1916 M. Dari organisasi inilah KH. Abdul Wahab mendapat
kepercayaan dan dukungan penuh dari ulama pesantren yang kurang-lebih sealiran
dengannya. Di antara ulama yang berhimpun itu adalah KH. Bisri Syansuri (Denanyar
Jombang), KH. Abdul Halim, (Leimunding Cirebon), KH. Alwi Abdul Aziz, KH.
Ma’shum (Lasem) dan KH. Cholil (Kasingan Rembang).
Untuk memperkuat gerakannya itu, tahun 1918 M. KH. Abdul Wahab
mendirikan Nahdlatut Tujjar (kebangkitan saudagar) sebagai pusat penggalangan dana
bagi perjuangan pengembangan Islam dan kemerdekaan Indonesia. KH. Hasyim
Asy’ari memimpin organisiasi ini. Sementara KH. Abdul Wahab menjadi sekretaris
dan bendaharanya. Salah seorang anggotanya adalah KH. Bisri Syansuri.
Di tengah gencarnya usaha melawan penjajahan muncul persoalan baru di
dunia Islam, yaitu terjadinya ekspansi gerakan Wahabi dari Najed, Arab Pedalaman
yang menguasai Hijaz tempat suci Makkah dikuasai tahun 1924 M dan menaklukkan
Madinah 1925 M.
Persoalan menjadi genting ketika aliran baru itu hanya memberlakukan satu
aliran, yakni Wahabi yang puritan dan ekslusif. Sementara madzhab Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hanbali yang selama ini hidup berdampingan di Tanah Suci itu, tidak
diperkenankan lagi diajarkan dan diamalkan di Tanah Suci. Anehnya, kelompok
modernis Indonesia setuju dengan paham Wahabi.
KH. Abdul Wahab lantas membentuk Komite Khilafat beranggotakan para
ulama pesantren, dengan nama Komite Hijaz atas izin KH. Hasyim Asy’ari. Komite
ini bertujuan untuk mencegah cara beragama model Wahabi yang tidak toleran dan
keras kepala, yang dipimpin langsung Raja Abdul Aziz.
Untuk mengirimkan delegasi ini diperlukan organisasi yang kuat dan besar,
maka dibentuklah organisasi yang diberi nama Nahdlatul Ulama pada tanggal 31
Januari 1926. KH. Abdul Wahab Hasbullah bersama Syaikh Ghonaim al-Misri yang
diutus mewakili NU untuk menemui Raja Abdul Aziz Ibnu Saud. Usaha ini direspon
baik oleh raja Abdul Aziz.
Beberapa hal penting hasil dari Komite Hijaz ini di antaranya adalah, makam
Nabi Muhammad SAW dan situs-situs sejarah Islam tidak jadi dibongkar serta
dibolehkannya praktik madzhab yang beragam, walaupun belum boleh mengajar dan
memimpin di Haramain.

D. Karya Dan Pemikiran


Selain ahli dalam bidang politik, KH. Abdul Wahab adalah seorang ulama
tauhid dan juga fiqih yag sangat mendalam dan luas pengetahuannya. Dengan ilmunya
itu, itu dengan mudah mampu menerapkan prinsip-prinsip fiqih dalam kehidupan
modern secara progresif, termasuk dalam bidang fiqih siyasah.
Kitab yang ditulisnya Sendi Aqoid dan Fikih Ahlussunnah Wal Jama’ah,
menunjukkan kedalaman penguasanya di bidang ilmu dasar tersebut. Ini yang
kemudian menjadi dasar bagi perjalanan Ahlusunnah Waljamaah di lingkungan NU.
Dalam tiap bahtsul masail muktamar NU, beliau selalu memberikan pandangannya
yang mampu menerobos berbagai macam jalan buntu (mauquf) yang dihadapi ulama
lain.
KH. Abdul Wahab sadar betul mengenai pentingnya pendidikan masyarakat
umum. Karena itu dirintis beberapa majalah dan surat kabar seperti Berita Nahdlatoel
Oelama, Oetoesan Nahdlatoel Oelama, Soeara Nahdlatoel Oelama, Duta Masyarakat,
dan sebagainya. Beliau sendiri aktif salah seorang penyandang dananya dan sekaligus
sebagai penulisnya. Propaganda di sini juga sangat diperlukan dan media ini sangat
strategis dalam mepropagandakan gerakan NU dan pesantren ke publik. Gagasan itu
semakin memperoleh relevansinya ketika KH. Mahfudz Siddiq dan KH. Wahd
Hasyim turut aktif dalam menggerakkan pengembangan media massa itu.

E. Keluarga
Pada tahun 1914 M. KH. Abdul Wahab Hasbullah menikah dengan putri Kiai
Musa yang bernama Maimunah. Sejak itu beliau tinggal bersama mertua di kampung
Kertopaten Surabaya. Dari perkawinan ini lahir seorang anak laki-laki pada tahun
1916 M bernama Wahib, yang kemudian dikenal sebagai Kiai Wahab Wahib. Namun,
pernikahan dan membina rumah tangga ini tidak berlangsung lama. Istrinya
meninggal sewaktu mereka berdua menjalankan ibadah haji pada tahun 1921 M.
Setelah itu KH. Abdul Wahab Hasbullah menikah lagi dengan perempuan
bernama Alawiyah, putri Kiai Alwi. Namun pernikahan ini pun tidak berlangsung
lama sebab setelah mendapatkan putra, istrinya meninggal. Begitu juga untuk ketiga
kalinya beliau menikah lagi, namun pernikahannya tidak berlangsung lama. Tidak
jelas siapakah nama istri ketiganya ini. Juga, penyebab terputusnya pernikahan yang
tidak lama tersebut, apakah karena istrinya meninggal atau bercerai.
Dari sini beliau menikah lagi, pernikahan keempat dilakukan dengan Asnah,
putri Kiai Sa’id, seorang pedagang dari Surabaya dan memperoleh empat orang anak,
salah satunya bernama Kiai Nadjib (almarhum) yang selanjutnya mengasuh Pesantren
Tambakberas. Namun lagi-lagi pernikahan ini tidak langgeng kembali. Nyai Asnah
meninggal dunia.
Kemudian KH. Abdul Wahab menikah lagi untuk yang kelima kalinya dengan
seorang janda bernama Fatimah, anak Haji Burhan. Dari pernikahan ini beliau tidak
mendapatkan keturunan. Namun, dari Fatimah beliau memperoleh anak tiri yang salah
satunya kelak besar bernama KH. A. Syaichu.
Dari sinilah banyak orang mencemooh perilaku KH. Abdul Wahab. Tidak
jarang, banyak orang yang menjulukinya sebagai “kiai tukang kawin” karena setelah
itupun beliau menikah kembali untuk yang keenam kalinya. Kali ini dengan anak Kiai
Abdul Madjid Bangil, yang bernama Ashikhah. Pernikahan inipun tidak berlangsung
lama karena saat menunaikan ibadah haji bersama, Nyai Ashikhah meninggal dunia.
Dari istri ini beliau dikaruniai empat orang anak.
Pernikahan beliau yang terakhir, yang ketujuh adalah dengan kakak
perempuan Ashikhah, bernama Sa’diyah. Dengan perempuan inilah pernikahan KH.
Abdul Wahab mencapai puncaknya, artinya langgeng sampai akhir hayat beliau. Dari
Nyai Sa’diyah ini beliau mendapatkan beberapa keturunan, yaitu Mahfuzah,
Hasbiyah, Mujidah, Muhammad Hasib dan Raqib.

F. Wafat
KH. Abdul Wahab Hasbullah wafat pada tanggal; 29 Desember 1971, empat
hari setelah beliau terpilih kembali sebagai Rais Aam pada Muktamar NU di
Surabaya.

3. KH. Bisri Syansuri


Kyai Haji Bisri Syansuri (lahir di desa Tayu, Pati, Jawa Tengah, 18 September 1886
meninggal di Jombang, Jawa Timur, 25 April 1980 pada umur 93 tahun) seorang
ulama dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Ayahnya bernama Syansuri dan ibunya
bernama Mariah. Kiai Bisri adalah anak ketiga dari lima bersaudara yang memperoleh
pendidikan awal di beberapa pesantren lokal, antara lain pada KH Abdul Salam di
Kajen.
Ia adalah pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang dan terkenal atas
penguasaannya di bidang fikih agama Islam. Bisri Syansuri juga pernah aktif
berpolitik, antara lain sempat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota Dewan Konstituante, ketua Majelis
Syuro Partai Persatuan Pembangunan dan sebagai Rais Aam NU. Ia adalah kakek dari
Abdurrahman Wahid, Presiden Republik Indonesia keempat.

A. Riwayat Pendidikan
Kiai Bisri kemudian berguru kepada KH Kholil di Bangkalan dan KH Hasyim
Asy’ari di Tebuireng, Jombang. Kiai Bisri kemudian mendalami pendidikannya di
Mekkah dan belajar ke pada sejumlah ulama terkemuka antara lain Syekh Muhammad
Baqir, Syekh Muhammad Sa’id Yamani, Syekh Ibrahim Madani, Syekh Jamal Maliki,
Syekh Ahmad Khatib Padang, Syekh Syu’aib Daghistani, dan Kiai Mahfuz Termas.
Ketika berada di Mekkah, Kiai Bisri menikahi adik perempuan Kiai Wahab. Di
kemudian hari, anak perempuan Kiai Bisri menikah dengan putra KH Hasyim As’ari,
KH Wahid Hasyim dan memiliki putra Gus Dur dan KH Solahuddin Wahid (Gus
Sholah). Ia kemudian mendalami pendidikannya di Mekkah dan belajar ke pada
sejumlah ulama terkemuka antara lain Syekh Muhammad Baqir, Syekh Muhammad
Sa'id Yamani, Syekh Ibrahim Madani, Syekh Jamal Maliki, Syekh Ahmad Khatib
Padang, Syekh Syu'aib Daghistani, dan Kiai Mahfuz Termas. Ketika berada di
Mekkah, Bisri Syansuri menikahi adik perempuan Abdul Wahab Chasbullah. Di
kemudian hari, anak perempuan Bisri Syansuri menikah dengan KH Wahid Hasyim
dan menurunkan KH Abdurrahman Wahid dan Ir.H. Solahuddin Wahid.
Sepulangnya dari Mekkah, Kiai Bisri menetap di pesantren mertuanya di
Tambak Beras, Jombang, selama dua tahun. Kiai Bisri ke-mudian mendirikan Ponpes
Mam-baul Maarif di Denanyar, Jombang pada 1917. Saat itu, Kiai Bisri adalah kiai
pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang
didirikannya.

B. Pergerakan dan Politik


Di sisi pergerakan, Kiai Bisri bersama-sama para kiai muda saat itu antara lain
Kiai Wahab, KH Mas Mansyur, KH Dahlan Kebondalem dan KH Ridwan,
membentuk klub kajian yang diberi nama Taswirul Afkar (konseptualisasi pemikiran)
dan sekolah agama dengan nama yang sama, yaitu Madrasah Taswirul Afkar.
Sedangkan keterlibatannya dalam upaya pengembangan organisasi NU antara lain
berupa pendirian rumah-rumah yatim piatu dan pelayanan kesehatan yang dirintis-nya
di berbagai tempat.
KH Bisyri Zansuri adalah seorang ulama besar yang memiliki sifat sederhana
dan rendah hati. Meskipun demikian beliau dikenal sebagai ulama yang teguh
pendirian dan memegang prinsip. Dalam menjalankan tugas beliau selalu istiqamah
dan tidak mudah goyah, terutama dalam memutuskan suatu perkara yang
berhubungan dengan syari'at Islam. setiap hukum suatu persoalan yang sudah Jelas
dalilnya dari Al Quran, Hadits, Ijma atau Qiyas keputusan beliau selalu tegas dan
tidak bisa ditawar-tawar.
KH Bisri Syansuri boleh disebut sebagai “kyai plus“. Dalam diri KH Bisri
Syansuri paling tidak melekat tiga karakter sekaligus. Yaitu sebagai perintis
kesetaraan gender dalam pendidikan di pesantren, seorang ahli dan pecinta fiqh dan
sekaligus seorang politisi. Di masa penjajahan Jepang, Kiai Bisri terlibat dalam
pertahanan negara, yakni menjadi Kepala Staf Markas Oelama Djawa Timur
(MODT), yang berkedudukan di Waru, dekat Surabaya.
Pada masa kemerdekaan Kiai Bisri pun terlibat dalam lembaga peme-rintahan,
antara lain dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), me-wakili unsur
Masyumi. Kiai Bisri juga menjadi anggota Dewan Konstitu-ante tahun 1956 hingga
ke masa pemilihan umum tahun 1971. Ketika NU bergabung ke PPP, Kiai Bisri
pernah menjadi ketua Majelis Syuro-nya. Kiai Bisri terpilih menjadi ang-gota DPR
sampai tahun 1980. Kiai Bisri kemudian wafat dalam usia 94 tahun pada 25 April
1980 atau berte-patan dengan bulan Rajab di Denanyar. Beliau juga aktif dalam Rais
Aan PB NU, Rais Aam Majelis Syuro DPP PPP namun tetap memimpin dan aktif
mengasuh Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar

C. Mundur dari Jabatan Rais Am


Jasa Kiai Bisri dalam membesarkan NU juga tak patut dilupakan. Kiai Bisri
turut terlibat terlibat dalam pertemuan pada 31 Januari 1926 di Surabaya saat para
ulama menye-pakati berdirinya NU. Pada periode pertama, Kiai Bisri menjadi A’wan
Syuriah PBNU dan kemudian pada periode-periode berikutnya Kiai Bisri pernah
menjadi Rais Syuriah, Wakil Rais Am dan menjadi Rais Am hingga akhir hayatnya.
Meski dikenal tegas dalam mem-pertahankan prinsip, kesantunan Kiai Bisri
juga tak perlu diragukan. Saat berlangsungnya Muktamar NU ke-24 pada tahun 1967
di Bandung, Kiai Bisri menunjukkan sikap tawadlu’ yang perlu kita teladani. Ketika
itu sedang terjadi pemilihan Rais Am yang melibatkan “rivalitas” antara dua kiai
sepuh yang sama-sama berwibawa, yaitu Kiai Wahab yang saat itu menjabat Rais Am
(incumbent) dengan Kiai Bisri yang menjadi salah satu Rais Syuriah PBNU. Hasil
pemilihan ternyata di luar dugaan. Walaupun lebih muda, tiba-tiba Kiai Bisri bisa
meraih suara terbanyak. Kiai Wahab pun menerima kekalahan dengan berbesar hati,
apalagi yang menga-lahkan sahabat dekatnya sekaligus adik iparnya sendiri.

Demikian halnya Kiai Bisri yang memperoleh kemenangan juga sangat rendah
hati. Walaupun telah dipilih oleh muktamirin, tetapi kemudian Kiai Bisri segera
memberikan sambutan, selama masih ada Kiai Wahab yang lebih senior dan lebih
alim Kiai Bisri tidak bersedKiai Bisri menduduki jabatan itu. “Karena itu saya
menyatakan untuk mengundurkan diri dan kembali menyerah-kan jabatan itu kepada
Kiai Wahab Chasbullah.”
Menanggapi sikap Kiai Bisri, Kiai Wahab menerima amanah itu. Tidak perlu
merasa tersinggung, karena walaupun sudah uzur tetapi merasa masih dibutuhkan
untuk memimpin NU dalam menghadapi situasi sulit masa orde baru. Sementara Kiai
Bisri dipercaya sebagai Wakil Rais Am. Kemudian ketika Kiai Wahab wafat pada
tahun 1971, baru Kiai Bisri menduduki posisi sebagai Rais Am hingga wafat pada
tahun 1980 dan diteruskan oleh Ali Maksum.

D. Perintis Kesetaraan Gender


Rasanya tidak berlebihan kalau Kyai Bisri Syansuri disebut sebagai pejuang
kesetaraan gender, khususnya di kalangan pesantren. Kyai Bisrilah orang pertama
yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang
didirikannya. Walalupun baru diikuti perempuan-perempuan di desanya.
Di zaman yang masih kental dengan nilai-nilai patrimonial waktu itu, apa yang
dilakukan Kyai Bisri termasuk kategori “aneh“. Untung sang guru yang sangat
dihormatinya, hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari tidak menentang terobosan yang
dilakukannya. Kalau saja hadratussyaikh melarang, niscaya Kyai Bisri Syansuri tidak
akan melanjutkan langkah fenomenal yang telah dibuatnya. Hal ini semata-mata
karena takdzimnya yang begitu mendalam kepada sang guru yang selalu dipanggilnya
“kyai“. Tahun 1919 Kiai Bisri membuat terobosan baru dengan mendirikan kelas
khusus santr-santri wanita di pesantrennya. Langkah penting ini adalah tonggak baru
dalam sejarah kepesantrenan terutama di Jawa Timur

E. Ahli dan Pecinta Fiqh


Karakter sebagai pecinta Fiqh terbentuk ketika Kyai Bisri nyantri kepada KH
Kholil Bangkalan, dan semakin menguat setelah nyantri di Tebuireng. Kyai Bsiri
memang sengaja mendalami pokok-pokok pengambilan hukum agama dalam fiqh,
terutama literatur fiqh lama. Tidak mengherankan jika Kyai Bisri begitu kukuh dalam
memegangi kaidah-kaidah hukum fiqh, dan begitu teguh dalam
mengkontekstualisasikan fiqh kepada kenyataan-kenyataan hidup secara baik.
Walaupun begitu, Kyai Bisri tidak kaku dan kolot dalam berinteraksi dengan
masyarakat. Hal itu setidaknya terlihat dari upayanya dalam merintis pesantren yang
dibangunnya di Denanyar.

F. Politisi Tangguh
Persinggungannya dengan politik praktis diawali ketika bergabung dengan
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota
Dewan Konstituante dan puncaknya ketika dipercaya menjadi Ketua Majelis Syuro
PPP ketika NU secara formal tergabung dalam partai berlambang ka’bah itu.
Salah satu prestasi yang paling mengesankan, ketika Kyai Bisri Syansuri
berhasil mendesakkan disyahkannya UU perkawinan hasil rancangannya bersama-
sama ulama NU. Padahal sebelumnya pemerintah sudah membuat rancangan undang-
undang perkawinan ke Dewan Perwakilan Rakyat. K.H. Bisri Syansuri wafat pada
hari Jum'at 25 April 1980 dalam usia 94 tahun. Makam beliau berada di kompleks
Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar Jombang, Jawa Timur.

4. KH Kholil Bangkalan Madura


Hari Selasa tanggal 11 Jumadil Akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 M, Abdul
Lathif seorang Kyai di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan,
Kabupaten Bangkalan, ujung Barat Pulau Madura, Jawa Timur, merasakan
kegembiraan yang teramat sangat. Karena hari itu, dari rahim istrinya lahir seorang
anak laki-laki yang sehat, yang diberinya nama Muhammad Kholil, yang kelak akan
terkenal dengan nama Mbah Kholil.
KH. Abdul Lathif sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi
pemimpin umat, sebagaimana nenek moyangnya. Seusai mengadzani telinga kanan
dan mengiqamati telinga kiri sang bayi, KH. Abdul Lathif memohon kepada Allah
agar Dia mengabulkan permohonannya.
Mbah Kholil kecil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH. Abdul Lathif,
mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah
Kyai Hamim, anak dari Kyai Abdul Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak dari
Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid Sulaiman.
Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau KH. Abdul
Lathif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati karena
memang dia masih terhitung keturunannya.
Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Mbah Kholil kecil memang
menunjukkan bakat yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan
nahwu, sangat luar biasa. Bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu
Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga
kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Mbah
Kholil kecil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.

Belajar ke Pesantren
Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun 1850-an, ketika usianya
menjelang tiga puluh, Mbah Kholil muda belajar kepada Kyai Muhammad Nur di
Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke
Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok
Pesantren Keboncandi. Selama belajar di Pondok Pesantren ini beliau belajar pula
kepada Kyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kyai
Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya.
Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk
mendapatkan ilmu, Mbah Kholil muda rela melakoni perjalanan yang terbilang
lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri,
ia tak pernah lupa membaca Surah Yasin. Ini dilakukannya hingga ia -dalam
perjalanannya itu- khatam berkali-kali. Sebenarnya, bisa saja Mbah Kholil muda
tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kyai Nur Hasan, tetapi ada alasan yang
cukup kuat bagi dia untuk tetap tinggal di Keboncandi, meskipun Mbah Kholil muda
sebenarnya berasal dari keluarga yang dari segi perekonomiannya cukup berada. Ini
bisa ditelisik dari hasil yang diperoleh ayahnya dalam bertani.
Akan tetapi, Mbah Kholil muda tetap saja menjadi orang yang mandiri dan
tidak mau merepotkan orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Mbah
Kholil tinggal di Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil
menjadi buruh batik itulah dia memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Sewaktu menjadi
Santri Mbah Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu
Malik (Tata Bahasa Arab). Disamping itu beliau juga seorang Hafidz Al-Quran.
Beliau mampu membaca Al-Qur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca Al-
Quran).

Pergi ke makkah
Kemandirian Mbah Kholil muda juga nampak ketika ia berkeinginan untuk
menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa itu, belajar ke Mekkah merupakan cita-
cita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya kali ini, lagi-lagi Mbah Kholil
muda tidak menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada
kedua orangtuanya.
Kemudian, setelah Mbah Kholil memutar otak untuk mencari jalan kluarnya,
akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena,
pengasuh pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan
selama nyantri di Banyuwangi ini, Mbah Kholil nyambi menjadi “buruh” pemetik
kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Uang yang
diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk makan, Mbah Kholil
menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah
lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya. Dari situlah Mbah Kholil bisa
makan gratis.
Akhirnya, pada tahun 1859 M, saat usianya mencapai 24 tahun, Mbah Kholil
memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Mbah Kholil
menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih. Setelah menikah,
berangkatlah dia ke Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos pelayarannya bisa
tertutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk
makan selama pelayaran, konon, Mbah Kholil berpuasa. Hal tersebut dilakukan Mbah
Kholil bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan
diri kepada Allah, agar perjalanannya selamat.
Pada tahun 1276 H/1859 M, Mbah Kholil Belajar di Mekkah. Di Mekkah
Mbah Kholil belajar dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari
Banten). Diantara gurunya di Mekkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi,
Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki,
Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani. Beberapa sanad hadits yang
musalsal diterima dari Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin
Ismail Al-Bimawi (Bima, Sumbawa).
Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk
menyebut orang Indonesia) pada umumnya, Mbah Kholil belajar pada para Syeikh
dari berbagai madzhab yang mengajar di Masjid Al-Haram. Namun
kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tak dapat disembunyikan.
Karena itu, tak heran kalau kemudian dia lebih banyak mengaji kepada para Syeikh
yang bermadzhab Syafi’i.
Konon, selama di Mekkah, Mbah Kholil lebih banyak makan kulit buah
semangka ketimbang makanan lain yang lebih layak. Realitas ini –bagi teman-
temannya, cukup mengherankan. Teman seangkatan Mbah Kholil antara lain: Syeikh
Nawawi Al-Bantani, Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syeikh
Muhammad Yasin Al-Fadani. Mereka semua tak habis pikir dengan kebiasaan dan
sikap keprihatinan temannya itu. Kebiasaan memakan kulit buah semangka
kemungkinan besar dipengaruhi ajaran ngrowot (vegetarian) dari Al-Ghazali, salah
seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya.
Mbah Kholil sewaktu belajar di Mekkah seangkatan dengan KH. Hasyim
Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah dan KH. Muhammad Dahlan. Namum Ulama-ulama
dahulu punya kebiasaan memanggil Guru sesama rekannya, dan Mbah Kholil yang
dituakan dan dimuliakan di antara mereka. Sewaktu berada di Mekkah untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari, Mbah Kholil bekerja mengambil upah sebagai
penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada
waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi Al-Bantani,
Mbah Kholil dan Syeikh Shaleh As-Samarani (Semarang) menyusun kaidah penulisan
Huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam
bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi
yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.
Mbah Kholil cukup lama belajar di beberapa pondok pesantren di Jawa dan
Mekkah. Maka sewaktu pulang dari Mekkah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar
nahwu, fiqh, tarekat dan ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengembangkan pengetahuan
keislaman yang telah diperolehnya, Mbah Kholil selanjutnya mendirikan pondok-
pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa
kelahirannya.
Kembali ke Tanah Air
Sepulangnya dari Tanah Arab (tak ada catatan resmi mengenai tahun
kepulangannya), Mbah Kholil dikenal sebagai seorang ahli Fiqh dan Tarekat. Bahkan
pada akhirnya, dia pun dikenal sebagai salah seorang Kyai yang dapat memadukan
kedua hal itu dengan serasi. Dia juga dikenal sebagai al-Hafidz (hafal Al-Qur’an 30
Juz). Hingga akhirnya, Mbah Kholil dapat mendirikan sebuah pesantren di daerah
Cengkubuan, sekitar 1 Kilometer Barat Laut dari desa kelahirannya.
Dari hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya.
Namun, setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri,
yaitu Kyai Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada
menantunya. Mbah Kholil sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan,
hampir di pusat kota; sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten
Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren
lama dan desa kelahirannya.
Di tempat yang baru ini, Mbah Kholil juga cepat memperoleh santri lagi,
bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri
pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang. Di
sisi lain, Mbah Kholil disamping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu Alat (nahwu dan
sharaf), ia juga dikenal sebagai orang yang “waskita,” weruh sak durunge winarah
(tahu sebelum terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir ini, nama Mbah Kholil lebih
dikenal.

Geo Sosio Politika


Pada masa hidup Mbah Kholil, terjadi sebuah penyebaran Ajaran Tarekat
Naqsyabandiyah di daerah Madura. Mbah Kholil sendiri dikenal luas sebagai ahli
tarekat; meskipun tidak ada sumber yang menyebutkan kepada siapa Mbah Kholil
belajar Tarekat. Tapi, menurut sumber dari Martin Van Bruinessen (1992), diyakini
terdapat sebuah silsilah bahwa Mbah Kholil belajar kepada Kyai ‘Abdul Adzim dari
Bangkalan (salah satu ahli Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah). Tetapi, Martin
masih ragu, apakah Mbah Kholil penganut Tarekat tersebut atau tidak? Masa hidup
Mbah Kholil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah. Tetapi, dengan
caranya sendiri Mbah Kholil melakukan perlawanan.
Pertama: Ia melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini, Mbah
Kholil mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu,
berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas, baik kepada agama maupun bangsa.
Ini dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari
tangannya; salah satu diantaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebu
Ireng.
Kedua: Mbah Kholil tidak melakukan perlawanan secara terbuka, melainkan
ia lebih banyak berada di balik layar. Realitas ini tergambar, bahwa ia tak segan-segan
untuk memberi suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga dalam) kepada pejuang. Mbah
Kholil pun tidak keberatan pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.
Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Mbah Kholil ditangkap dengan harapan
para pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Mbah Kholil, malah membuat
pusing pihak Belanda. Karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka
mengerti; seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga
penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri.
Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi
makanan kepada Mbah Kholil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan
bersamanya. Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan
Mbah Kholil untuk dibebaskan saja. Mbah Kholil adalah seorang ulama yang benar-
benar bertanggung jawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya
agama Islam dan bangsanya. Beliau sadar benar bahwa pada zamannya, bangsanya
adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang
dianutnya.
Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus persen memeluk agama
Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama
Kristiani. Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekkah yang telah
berumur lanjut, tentunya Mbah Kholil tidak melibatkan diri dalam medan perang,
memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang
diasaskannya.
Mbah Kholil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda karena dituduh
melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya.
Beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaan lainnya yang terlibat
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat
pendidikan dari Mbah Kholil.
Diantara sekian banyak murid Mbah Kholil yang cukup menonjol dalam
sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah KH. Hasyim Asy’ari
(pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdlatul Ulama/NU),
KH. Abdul Wahab Chasbullah (pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang),
KH. Bisri Syansuri (pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang), KH. Ma’shum
(pendiri Pondok Pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda KH. Ali Ma’shum),
KH. Bisri Mustofa (pendiri Pondok Pesantren Rembang), dan KH. As’ad Syamsul
`Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Asembagus, Situbondo).

Anda mungkin juga menyukai