OLEH :
MADRASAH ALIYAH
PERGURUAN MU’ALLIMAT
CUKIR JOMBANG JAWA TIMUR INDONESIA
TAHUN PELAJARAN 2015 - 2016
1. HADRATUSSYEKH KH. M. HASYIM ASY’ARI
beliau lahir di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten
Jombang, Jawa Timur, Beliau meninggal di Jombang, Jawa Timur, 25 Juli 1947 pada
umur 72 tahun/4 Jumadil Awwal 1292 H dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang. Beliau
adalah pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia.
Dikalangan Nahdliyin dan ulama pesantren beliau dijuluki dengan sebutan Hadratus
Syeikh yang berarti maha guru.
A. Keluarga
KH Hasyim Asyari adalah putra ketiga dari 10 bersaudara. Ayahnya bernama
Kyai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya
bernama Halimah. Sementara kesepuluh saudaranya antara lain: Nafi'ah, Ahmad Saleh,
Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi dan Adnan. Berdasarkan
silsilah garis keturunan ibu, KH. Hasyim Asy'ari memiliki garis keturunan baik
dari Sultan Pajang Jaka Tingkir juga mempunyai keturunan ke raja Hindu Majapahit, Raja
Brawijaya VI (Lembupeteng). Berikut silsilah berdasarkan KH. Hasyim Asya'ari
berdasarkan garis keturanan ibu:
Muhammad Hasyim Asy’ari putra Halimah putri Layyinah putri Sihah Putra
Abdul Jabar putra Ahmad putra Pangeran Sambo putra Pangeran Benowo putra
B. Pendidikan
KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai
Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun,
ia berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren
Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di
Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.
Pada tahun 1892, KH Hasyim Asyari pergi menimba ilmu ke Mekah, dan
berguru pada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Mahfudh at-
Tarmisi, Syekh Ahmad Amin Al-Aththar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said
Yamani, Syekh Rahmaullah, Syekh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki,Sayyid
Alwi bin Ahmad As-Saqqaf, dan Sayyid Husein Al-Habsyi.
Di Makkah, awalnya K.H. Hasyim Asy'ari belajar dibawah bimbingan Syaikh
Mafudz dari Termas (Kediri) yang merupakan ulama dari Indonesia pertama yang
mengajar Sahih Bukhori di Makkah. Syaikh Mafudz adalah ahli hadis dan hal ini
sangat menarik minat belajar K.H. Hasyim Asy'ari sehingga sekembalinya ke
Indonesia pesantren ia sangat terkenal dalam pengajaran ilmu hadis. Ia mendapatkan
ijazah langsung dari Syaikh Mafudz untuk mengajar Sahih Bukhari, dimana Syaikh
Mahfudz merupakan pewaris terakhir dari pertalian penerima (isnad) hadist dari 23
generasi penerima karya ini. Selain belajar hadis ia juga belajar tassawuf (sufi)
dengan mendalami Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah.
KH. Hasyim Asy'ari juga mempelajari fiqih madzab Syafi'i di bawah
asuhan Syaikh Ahmad Katib dari Minangkabau yang juga ahli dalam bidang
astronomi (ilmu falak), matematika (ilmu hisab), dan aljabar. Di masa belajar pada
Syaikh Ahmad Katib inilah Kyai Hasyim Asy'ari mempelajari Tafsir Al-manar karya
monumental Muhammad Abduh. Pada prinsipnya ia mengagumi rasionalitas
pemikiran Muhammad Abduh akan tetapi kurang setuju dengan ejekan Muhammad
Abduh terhadap ulama tradisionalis.
Gurunya yang lain adalah termasuk ulama terkenal dari Banten yang mukim di
Makkah yaitu Syaikh Nawawi al-Bantani. Sementara guru yang bukan dari
Nusantara antara lain Syaikh Shata dan Syaikh Dagistani yang merupakan ulama
terkenal pada masa itu.
Disamping aktif mengajar beliau juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik
yang bersifat lokal atau nasional. Pada tanggal 16 Sya’ban 1344 H/31 Januari 1926
M, di Jombang Jawa Timur didirikanlah Jam’iyah Nahdlotul Ulama’ (kebangkitan
ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan ulama’-ulama’
besar lainnya, dengan azaz dan tujuannya: “Memegang dengan teguh pada salah satu
dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafi’i, Imam Malik bin
Anas, Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga
mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam”. KH. Hasyim
Asy’ari terpilih menjadi rois akbar NU, sebuah gelar sehingga kini tidak seorang pun
menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi (peraturan dasar) NU yang
mengembangkan faham ahli sunnah waljama’ah.
E. Wafatnya Sang Tokoh
Pada Tanggal 7 Ramadhan 1366 M. jam 9 malam, beliau setelah mengimami
Shalat Tarawih, sebagaimana biasanya duduk di kursi untuk memberikan pengajian
kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, tiba-tiba datanglah seorang tamu
utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kiai menemui utusan tersebut
dengan didampingi Kiai Ghufron, kemudian tamu itu menyampaikan pesan berupa
surat. Entah apa isi surat itu, yang jelas Kiai Hasyim meminta waktu semalam untuk
berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya.
Namun kemudian, Kiai Ghufron melaporkan situasi pertempuran dan kondisi
pejuang yang semakin tersudut, serta korban rakyat sipil yang kian meningkat.
Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berkata,“Masya Allah, Masya
Allah…” kemudian beliau memegang kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai Ghufron
bahwa beliau sedang mengantuk. Sehingga para tamu pamit keluar. Akan tetapi,
beliau tidak menjawab, sehingga Kiai Ghufron mendekat dan kemudian meminta
kedua tamu tersebut untuk meninggalkan tempat, sedangkan dia sendiri tetap berada
di samping Kiai Hasyim Asy’ari. Tak lama kemudian, Kiai Ghufron baru menyadari
bahwa Kiai Hasyim tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia
memanggil keluarga dan membujurkan tubuh Kiai Hasyim.
Tak lama kemudian baru diketahui bahwa Kiai Hasyim terkena pendarahan
otak. Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Tuhan
berkehendak lain pada kekasihnya itu. KH.M. Hasyim Asy’ari wafat pada pukul 03.00
pagi, Tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal 07 Ramadhan 1366 H. Inna
Lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un. Kepergian
beliau ketempat peristirahatan terakhir, diantarkan bela sungkawa yang amat dalam
dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil maupun
militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU, dan khususnya para santri
Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini berbaring di
pusara beliau di tenggah Pesantrn Tebuireng. Pada saat mengantar kepergianya,
sahabat dan saudara beliau, KH. Wahab hazbulloh, sempat mengemukakan kata
sambutan yang pada intinya menjelaskan prinsip hidup belaiu, yakni, “berjuang terus
dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder istirahat”.
3. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Kajian mengenai pandangan terhadap bid’ah,
Konsisi salah satu madzhab, dan pecahnya umat menjadi 73 golongan
4. Al-Durasul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh. Kajian tentang wali dan thoriqoh
yang terangkum dalam sembilan belas permasalahan.
6. Adabul ‘Alim Wa Muata’alim. Pandangan tentang etika belajar dan mengajar didalam
pendidikan pesantrren pada khususnya
7. Dlau’ al-Misbah Fi Bayani Ahkami Nikah. Kajian hukum-hukum nikah, syarat, rukun,
dan hak-hak dalam perkawinan
8. Ziyadah Ta’liqot. Kitab yang berisikan polemic beliau dengan syaikh Abdullah bin
yasir Pasuruaan
E. Keluarga
Pada tahun 1914 M. KH. Abdul Wahab Hasbullah menikah dengan putri Kiai
Musa yang bernama Maimunah. Sejak itu beliau tinggal bersama mertua di kampung
Kertopaten Surabaya. Dari perkawinan ini lahir seorang anak laki-laki pada tahun
1916 M bernama Wahib, yang kemudian dikenal sebagai Kiai Wahab Wahib. Namun,
pernikahan dan membina rumah tangga ini tidak berlangsung lama. Istrinya
meninggal sewaktu mereka berdua menjalankan ibadah haji pada tahun 1921 M.
Setelah itu KH. Abdul Wahab Hasbullah menikah lagi dengan perempuan
bernama Alawiyah, putri Kiai Alwi. Namun pernikahan ini pun tidak berlangsung
lama sebab setelah mendapatkan putra, istrinya meninggal. Begitu juga untuk ketiga
kalinya beliau menikah lagi, namun pernikahannya tidak berlangsung lama. Tidak
jelas siapakah nama istri ketiganya ini. Juga, penyebab terputusnya pernikahan yang
tidak lama tersebut, apakah karena istrinya meninggal atau bercerai.
Dari sini beliau menikah lagi, pernikahan keempat dilakukan dengan Asnah,
putri Kiai Sa’id, seorang pedagang dari Surabaya dan memperoleh empat orang anak,
salah satunya bernama Kiai Nadjib (almarhum) yang selanjutnya mengasuh Pesantren
Tambakberas. Namun lagi-lagi pernikahan ini tidak langgeng kembali. Nyai Asnah
meninggal dunia.
Kemudian KH. Abdul Wahab menikah lagi untuk yang kelima kalinya dengan
seorang janda bernama Fatimah, anak Haji Burhan. Dari pernikahan ini beliau tidak
mendapatkan keturunan. Namun, dari Fatimah beliau memperoleh anak tiri yang salah
satunya kelak besar bernama KH. A. Syaichu.
Dari sinilah banyak orang mencemooh perilaku KH. Abdul Wahab. Tidak
jarang, banyak orang yang menjulukinya sebagai “kiai tukang kawin” karena setelah
itupun beliau menikah kembali untuk yang keenam kalinya. Kali ini dengan anak Kiai
Abdul Madjid Bangil, yang bernama Ashikhah. Pernikahan inipun tidak berlangsung
lama karena saat menunaikan ibadah haji bersama, Nyai Ashikhah meninggal dunia.
Dari istri ini beliau dikaruniai empat orang anak.
Pernikahan beliau yang terakhir, yang ketujuh adalah dengan kakak
perempuan Ashikhah, bernama Sa’diyah. Dengan perempuan inilah pernikahan KH.
Abdul Wahab mencapai puncaknya, artinya langgeng sampai akhir hayat beliau. Dari
Nyai Sa’diyah ini beliau mendapatkan beberapa keturunan, yaitu Mahfuzah,
Hasbiyah, Mujidah, Muhammad Hasib dan Raqib.
F. Wafat
KH. Abdul Wahab Hasbullah wafat pada tanggal; 29 Desember 1971, empat
hari setelah beliau terpilih kembali sebagai Rais Aam pada Muktamar NU di
Surabaya.
A. Riwayat Pendidikan
Kiai Bisri kemudian berguru kepada KH Kholil di Bangkalan dan KH Hasyim
Asy’ari di Tebuireng, Jombang. Kiai Bisri kemudian mendalami pendidikannya di
Mekkah dan belajar ke pada sejumlah ulama terkemuka antara lain Syekh Muhammad
Baqir, Syekh Muhammad Sa’id Yamani, Syekh Ibrahim Madani, Syekh Jamal Maliki,
Syekh Ahmad Khatib Padang, Syekh Syu’aib Daghistani, dan Kiai Mahfuz Termas.
Ketika berada di Mekkah, Kiai Bisri menikahi adik perempuan Kiai Wahab. Di
kemudian hari, anak perempuan Kiai Bisri menikah dengan putra KH Hasyim As’ari,
KH Wahid Hasyim dan memiliki putra Gus Dur dan KH Solahuddin Wahid (Gus
Sholah). Ia kemudian mendalami pendidikannya di Mekkah dan belajar ke pada
sejumlah ulama terkemuka antara lain Syekh Muhammad Baqir, Syekh Muhammad
Sa'id Yamani, Syekh Ibrahim Madani, Syekh Jamal Maliki, Syekh Ahmad Khatib
Padang, Syekh Syu'aib Daghistani, dan Kiai Mahfuz Termas. Ketika berada di
Mekkah, Bisri Syansuri menikahi adik perempuan Abdul Wahab Chasbullah. Di
kemudian hari, anak perempuan Bisri Syansuri menikah dengan KH Wahid Hasyim
dan menurunkan KH Abdurrahman Wahid dan Ir.H. Solahuddin Wahid.
Sepulangnya dari Mekkah, Kiai Bisri menetap di pesantren mertuanya di
Tambak Beras, Jombang, selama dua tahun. Kiai Bisri ke-mudian mendirikan Ponpes
Mam-baul Maarif di Denanyar, Jombang pada 1917. Saat itu, Kiai Bisri adalah kiai
pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang
didirikannya.
Demikian halnya Kiai Bisri yang memperoleh kemenangan juga sangat rendah
hati. Walaupun telah dipilih oleh muktamirin, tetapi kemudian Kiai Bisri segera
memberikan sambutan, selama masih ada Kiai Wahab yang lebih senior dan lebih
alim Kiai Bisri tidak bersedKiai Bisri menduduki jabatan itu. “Karena itu saya
menyatakan untuk mengundurkan diri dan kembali menyerah-kan jabatan itu kepada
Kiai Wahab Chasbullah.”
Menanggapi sikap Kiai Bisri, Kiai Wahab menerima amanah itu. Tidak perlu
merasa tersinggung, karena walaupun sudah uzur tetapi merasa masih dibutuhkan
untuk memimpin NU dalam menghadapi situasi sulit masa orde baru. Sementara Kiai
Bisri dipercaya sebagai Wakil Rais Am. Kemudian ketika Kiai Wahab wafat pada
tahun 1971, baru Kiai Bisri menduduki posisi sebagai Rais Am hingga wafat pada
tahun 1980 dan diteruskan oleh Ali Maksum.
F. Politisi Tangguh
Persinggungannya dengan politik praktis diawali ketika bergabung dengan
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota
Dewan Konstituante dan puncaknya ketika dipercaya menjadi Ketua Majelis Syuro
PPP ketika NU secara formal tergabung dalam partai berlambang ka’bah itu.
Salah satu prestasi yang paling mengesankan, ketika Kyai Bisri Syansuri
berhasil mendesakkan disyahkannya UU perkawinan hasil rancangannya bersama-
sama ulama NU. Padahal sebelumnya pemerintah sudah membuat rancangan undang-
undang perkawinan ke Dewan Perwakilan Rakyat. K.H. Bisri Syansuri wafat pada
hari Jum'at 25 April 1980 dalam usia 94 tahun. Makam beliau berada di kompleks
Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar Jombang, Jawa Timur.
Belajar ke Pesantren
Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun 1850-an, ketika usianya
menjelang tiga puluh, Mbah Kholil muda belajar kepada Kyai Muhammad Nur di
Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke
Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok
Pesantren Keboncandi. Selama belajar di Pondok Pesantren ini beliau belajar pula
kepada Kyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kyai
Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya.
Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk
mendapatkan ilmu, Mbah Kholil muda rela melakoni perjalanan yang terbilang
lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri,
ia tak pernah lupa membaca Surah Yasin. Ini dilakukannya hingga ia -dalam
perjalanannya itu- khatam berkali-kali. Sebenarnya, bisa saja Mbah Kholil muda
tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kyai Nur Hasan, tetapi ada alasan yang
cukup kuat bagi dia untuk tetap tinggal di Keboncandi, meskipun Mbah Kholil muda
sebenarnya berasal dari keluarga yang dari segi perekonomiannya cukup berada. Ini
bisa ditelisik dari hasil yang diperoleh ayahnya dalam bertani.
Akan tetapi, Mbah Kholil muda tetap saja menjadi orang yang mandiri dan
tidak mau merepotkan orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Mbah
Kholil tinggal di Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil
menjadi buruh batik itulah dia memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Sewaktu menjadi
Santri Mbah Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu
Malik (Tata Bahasa Arab). Disamping itu beliau juga seorang Hafidz Al-Quran.
Beliau mampu membaca Al-Qur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca Al-
Quran).
Pergi ke makkah
Kemandirian Mbah Kholil muda juga nampak ketika ia berkeinginan untuk
menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa itu, belajar ke Mekkah merupakan cita-
cita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya kali ini, lagi-lagi Mbah Kholil
muda tidak menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada
kedua orangtuanya.
Kemudian, setelah Mbah Kholil memutar otak untuk mencari jalan kluarnya,
akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena,
pengasuh pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan
selama nyantri di Banyuwangi ini, Mbah Kholil nyambi menjadi “buruh” pemetik
kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Uang yang
diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk makan, Mbah Kholil
menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah
lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya. Dari situlah Mbah Kholil bisa
makan gratis.
Akhirnya, pada tahun 1859 M, saat usianya mencapai 24 tahun, Mbah Kholil
memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Mbah Kholil
menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih. Setelah menikah,
berangkatlah dia ke Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos pelayarannya bisa
tertutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk
makan selama pelayaran, konon, Mbah Kholil berpuasa. Hal tersebut dilakukan Mbah
Kholil bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan
diri kepada Allah, agar perjalanannya selamat.
Pada tahun 1276 H/1859 M, Mbah Kholil Belajar di Mekkah. Di Mekkah
Mbah Kholil belajar dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari
Banten). Diantara gurunya di Mekkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi,
Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki,
Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani. Beberapa sanad hadits yang
musalsal diterima dari Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin
Ismail Al-Bimawi (Bima, Sumbawa).
Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk
menyebut orang Indonesia) pada umumnya, Mbah Kholil belajar pada para Syeikh
dari berbagai madzhab yang mengajar di Masjid Al-Haram. Namun
kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tak dapat disembunyikan.
Karena itu, tak heran kalau kemudian dia lebih banyak mengaji kepada para Syeikh
yang bermadzhab Syafi’i.
Konon, selama di Mekkah, Mbah Kholil lebih banyak makan kulit buah
semangka ketimbang makanan lain yang lebih layak. Realitas ini –bagi teman-
temannya, cukup mengherankan. Teman seangkatan Mbah Kholil antara lain: Syeikh
Nawawi Al-Bantani, Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syeikh
Muhammad Yasin Al-Fadani. Mereka semua tak habis pikir dengan kebiasaan dan
sikap keprihatinan temannya itu. Kebiasaan memakan kulit buah semangka
kemungkinan besar dipengaruhi ajaran ngrowot (vegetarian) dari Al-Ghazali, salah
seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya.
Mbah Kholil sewaktu belajar di Mekkah seangkatan dengan KH. Hasyim
Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah dan KH. Muhammad Dahlan. Namum Ulama-ulama
dahulu punya kebiasaan memanggil Guru sesama rekannya, dan Mbah Kholil yang
dituakan dan dimuliakan di antara mereka. Sewaktu berada di Mekkah untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari, Mbah Kholil bekerja mengambil upah sebagai
penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada
waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi Al-Bantani,
Mbah Kholil dan Syeikh Shaleh As-Samarani (Semarang) menyusun kaidah penulisan
Huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam
bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi
yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.
Mbah Kholil cukup lama belajar di beberapa pondok pesantren di Jawa dan
Mekkah. Maka sewaktu pulang dari Mekkah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar
nahwu, fiqh, tarekat dan ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengembangkan pengetahuan
keislaman yang telah diperolehnya, Mbah Kholil selanjutnya mendirikan pondok-
pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa
kelahirannya.
Kembali ke Tanah Air
Sepulangnya dari Tanah Arab (tak ada catatan resmi mengenai tahun
kepulangannya), Mbah Kholil dikenal sebagai seorang ahli Fiqh dan Tarekat. Bahkan
pada akhirnya, dia pun dikenal sebagai salah seorang Kyai yang dapat memadukan
kedua hal itu dengan serasi. Dia juga dikenal sebagai al-Hafidz (hafal Al-Qur’an 30
Juz). Hingga akhirnya, Mbah Kholil dapat mendirikan sebuah pesantren di daerah
Cengkubuan, sekitar 1 Kilometer Barat Laut dari desa kelahirannya.
Dari hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya.
Namun, setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri,
yaitu Kyai Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada
menantunya. Mbah Kholil sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan,
hampir di pusat kota; sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten
Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren
lama dan desa kelahirannya.
Di tempat yang baru ini, Mbah Kholil juga cepat memperoleh santri lagi,
bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri
pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang. Di
sisi lain, Mbah Kholil disamping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu Alat (nahwu dan
sharaf), ia juga dikenal sebagai orang yang “waskita,” weruh sak durunge winarah
(tahu sebelum terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir ini, nama Mbah Kholil lebih
dikenal.