Anda di halaman 1dari 21

KONSEP PEMBARUAN DI INDONESIA (NU: K.H.

HASYIM
ASY’ARI)

Muhammad Fariq Auliya’ (E91217043) dan


Muhammad Wafiyul Ahdi (E91217099)

Abstrak: Artikel ini mencoba menjelaskan tentang sejarah, biografi dan


pemikiran-pemikiran dari K.H. Hasyim Asy’ari. Beliau merupakan salah satu
pahlawan nasional di Indonesia. Pemikiran beliau banyak meliputi aspek
kehidupan beliau, selain ahli dalam bidang agama, K.H. Hasyim Asy’ari juga
merupakan tokoh penting dalam perjuangan Indonesia mengusir penjajah.
Pandangan keagamaan beliau meliputi tentang Ahlussunnah wal Jama’ah, tauhid,
tasawuf, dan permasalahan mazhab. Sedangkan dalam memperjuangkan
kemerdekaan K.H. Hasyim Asy’ari mengobarkan semangat melalui media
pesantren dan kharisma yang dimiliki oleh beliau.

This article is trying to explain about history, biography, and thoughts of K.H.
Hasyim Asy’ari. K.H. Hasyim Asy’ari is one of Indonesian patriotist. His
thoughts inspiring to his life. Not only as religion figure, K.H. Hasyim Asy’ari is
also becoming one of important figure while Indonesia try to get independence.
His religion thoughs talks about Ahlussunnah wal Jama’ah, unity of God, sufism,
and Islamic thoughs. To fight for independence, K.H. Hasyim Asy’ari spread his
spirit by using pesantren and his authority.

Keywords: Pesantren, Tradisional, Mazhab, Ahlussunnah wal Jama’ah.

Biografi K.H. Hasyim Asy’ari

K.H. Hasyim Asy’ari merupakan salah satu tokoh pendiri dari organisasi
masyarakat yaitu Nahdlatul Ulama’ (NU). Organisasi NU menggunakan paham
Ahlusunnah wal Jama’ah dan bermazhab Imam Syafi’i. Saat mendirikan
organisasi tersebut beliau ditemani oleh tokoh lainnya yaitu K.H. Bisri Syamsuri
dan K.H. Wahab Hasbullah (pengasuh PP. Tambak Beras, Jombang). Ketiga
tokoh ini merupakan poros bendirinya organisasi Nahdlatul Ulama’.
K.H. Hasyim Asy’ari lahir pada hari Selasa kliwon, 24 Dzulqa’dah 1287
H / 14 Februari 1871 M. di pesantren Gedang, desa Tambak Rejo, Jombang. K.
H. Hasyim Asy’ari lahir dari tiga bersaudara, beliau merupakan anak tertua dari
dua saudaranya. Ayahnya bernama Kyai Asy’ari (pendiri pondok pesantren di
desa Keras, Jombang), ibunya bernama Nyai Halimah.1 K.H. Hasyim Asy’ari
memiliki nama panjang yaitu Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ’Abdul al-Wahid
ibn’ al-Halim. Karena peran dan prestasinya yang dicapai olehnya beliau
mendapat banyak sekali gelar, yaitu pangeran Bona ibn Abd al-Rahman yang
dikenal dengan nama Jaka Tingkir, Sultan Hadi Wijono ibn Abdullah ibn Abdul
al-Aziz ibn ibn Maulana Ishaq dari Raden ‘Ain al-Yaqin disebut dengan Sunan
Giri.2

Sejak kecil K.H. Hasyim Asy’ari didik mengaji dan mempelajari kitab-
kitab oleh orang tuanya. Guru pertama dari K.H. Hasyim Asy’ari adalah ayahnya
sendiri yaitu Kyai Asy’ari. Sejak umurnya 5 tahun, K.H. Hasyim Asy’ari selalu
diajak oleh ayahnya ke pesantren-pesantren. Pada usia 12 tahun beliau disuruh
ayahnya untuk mengajar di pondok pesantren asuhan ayahnya. Setelah berguru
dengan ayahnya. K.H. Hasyim Asy’ari kemudian mengembara ke 5 pondok
pesantren di Jawa untuk memperdalam ilmu keagamaannya.3 Saat mengembara
beliau masih berusia 15 tahun. Pesantren pertama yang disinggahinya untuk
memperdalam ilmunya adalah pesantren Wonokoyo di Probolinggo. Setelah
beliau menganggap ilmunya cukup terkumpul dari pesantren terebut, beliau
kemudian melanjutkan pencarian ilmunya ke pesantren Pelangitan yang sekarang
menjadi Langitan di Tuban yang saat itu dibawah asuhan oleh K.H. Muhammad
Nur. Pengembaraanya masih belum selesai.4 Beliau melanjutkan belajarnya ke
pondok pesantren Kardenangan, Bangkalan, Madura di bawah asuhan Syaikhona
Kholil. Setelah beberapa tahun menimba ilmunya yang ditempuh dari Syaikhona

1
Abdullah Hakam, “K.H. Hasyim Asy’ari dan Urgensi Riyadah Dalam Tasawuf Akhlaqi”,
Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol. 4, No. 1 (Juni 2014), 149.
2
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005), 113.
3
Mukani, “Character Education di Indonesia: Menguak Pemikiran Pendidikan K.H. Hasyim
Asy’ari”, Islamica: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 1, No. 2 (Maret 2007), 148.
4
Ibid
Kholil, beliau melanjukannya belajar ke Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo yang
saat itu dibawah asuhan Kyai Ya’qub. Ketika di Pesantren Siwalan, Kyai Ya’qub
melihat kesungguhan dan ketekunan belajarnya dari K..H. Hasyim Asy’ari. Kyai
Ya’qub ingin menikahkan putrinya Khodijah dengan K.H. Hasyim Asy’ari.

K.H Hasyim Asy’ari menikah dengan Khodijah di usia 21 tahun,


kemudian K.H. Hasyim Asy’ari diajak oleh mertuanya pergi ke tanah suci untuk
melakukan ibadah haji bersama dan K.H. Hasyim Asy’ari juga menimba ilmu di
sana. Ketika di Makkah istrinya hamil dan melahirkan seorang putra yang diberi
nama Abdullah. Dalam proses kelahiran dari putra pertama istri K.H. Hasyim
Asy’ari meninggal dunia, selang 40 harinya putranya juga ikut meninggal.
Mertua dari dari K.H. Hasyim Asy’ari yakni Kyai Ya’qub merasa kasihan kepada
menantunya tersebut dan kemudian Kyai Ya’qub mengajaknya kembali ke
Indonesia untuk menengangkan diri.5

Pada tahun 1893, K.H. Hasyim Asy’ari berangkat kembali ke tanah suci,
tapi dia kembali bersama dengan adiknya yaitu Anis. Beliau dan adiknya menetap
di kota Makkah yakni selama 7 tahun. Dalam masa ini beliau berhasil
mewujudkan impiannya untuk belajar ilmu agama lagi. Di Makkah K.H. Hasyim
Asy’ari sangat senang karena beliau dapat menggunakan waktu dengan baik untuk
rajin dan menekuni ilmu agama, ketika di tanah haram itu ia berguru denga para
tokoh-tokoh terkemuka di sana antara lain seperti: Syaikh al-Allamah Abdul
Hamid al-Darustani, Syaikh Muhammad Syu’aib al-Magribi, Syaikh Ahmad Ami
al-Atthar, Syaikh Syyaid Yamin, Sayyid Alawi ibn Ahmad al-Saqqaf, Sayyid
Abbas Maliki, Sayyid Abdullah al-Zawawy, Syaikh Saleh Bafdhal, dan Syaikh
Sultan Hasyim Bagastani.

Sepeninggal dari istrinya yang pertama yakni Khadijah, K.H. Hasyim


Asy’ari kemudian menikah lagi dengan perempuan yang bernama Nafiqah. Ia
merupakan putri dari Kiai Ilyas seorang pengasuh pondok pesantren Sewulan,
Madiun. Dari perkawinan dengan Nafiqah, K. H. Hasyim Asy’ari mendapatkan 10

5
Mukani, Character Education, 149.
orang anak yang diantaranya bernama: Hannah, Khoiriyah, Ubaidillah,
Mashruroh, Aisyah, Azzah, Abdul Hakim (Abdul Kholik), dan Muhammad
Yusuf. Walaupun mendapatkan banyak anak tapi pernikahan K.H. Hasyim
Asy’ari dengan Nafiqah terhenti karenakan Nafiqah meninggal dunia.

Setelah kedua istrinya meninggal Khadijah dan Nafiqah, K.H. Hasyim


Asy’ari kemudian menikah lagi karena dijodohkan oleh orang tuanya, beliau
menikah dengan Masrurah putri dari Kyai Hasan, pengasuh dari pondok pesantren
Kapurejo, Pagu, Kediri. K.H. Hasyim Asy’ari memiliki anak lagi dengan
Masruroh, mereka memiliki 4 orang anak yakni: Abdul Qadir, Fatimah, Khadijah,
dan Muhammad Ya’qub. Pernikan ini merupakan pernikahan terkhir dari K.H.
Hasyim Asy’ari.6

Setelah menempuh ilmu yang cukup lama dari tokoh-tokoh ulama di


Makkah, Hasyim Asy’ari kembali ke Indonesia yakni ke rumahnya sendiri di
Gedang, Jombang. Kemudian beliau mengajar di pondok pesanten Keras asuhan
ayahnya. Selain di pesantren milik ayahnya, beliau mengajar di pondok pesantren
Plemahan di Kediri. Dalam tradisi di pesantren di Jombang, setelah lulus dari
pesantren, kyai muda dipersilahkan untuk membawa santri dari pesantren untuk
dijadikan muridnya, dan ketika itu K.H. Hasyim Asy’ari membawa 28 santri dan
pindah ke tempat lain dan mendirikan pesantren sendiri atas izin dari ayah dan
kakeknya.

Sehubungan dengan hal tersebut, K.H. Hasyim Asy’ari kemudian pindah


ke tempat yang baru. Beliau memilih daerah yang penuh tantangan dan yang
biasanya dikenal dengan daerah hitam. Daerah yang dipilih oleh K.H. Hasyim
Asy’ari adalah daerah yang terpencil yang ada di Jombang yang bernama
Tebuireng dalam bahasa Indonesia berarti pohon-pohon tebu yang hitam. Di
sinilah beliau memulai melakukan aktifitasnya dari hal sosial, keagamaan dan
kemanusiaan. Di Tebuireng K.H. Hasyim Asy’ari berperan sebagai figur yang

6
Hakam, K.H. Hasyim Asy’ari, 150.
penting karena beliau menjandi pempimpin masyarat secara informal dan
pemimpin dari pesantren.

K.H. Hasyim Asy’ari mendapat dua peran di dua tempat yakni sebagai
pimpinan dari pondok pesantren Tebuireng dan pemimpin masyrakat. Di dalam
sistem pesantren Tebuireng ini menggunakan sistem halaqah, yang mana sistem
ini pernah juga digunakan oleh pesantren asuhan ayahnya. Di pesanten ini juga
menggunakan sistem belajar madrasah (klasikal) dan serta memasukka pelajaran
ilmu-ilmu umum ke dalam kurikulumnya yang waktu itu masih asing di
zamannya.7

Sedangkan dalam perannya sebagai pemimpin informal di masyrakat,


K.H. Hasyim Asy’ari juga menunjukkan rasa kepeduliannya terhadap kebutuhan
hidup dari masyrakat sekitar. Beliau membantu melakukan pengobatan terhadap
masyarakat yang membutuhkannya dan termasuk orang totok Indo-belanda.
Beliau juga aktif dalam berorganisasi dan melakuakan kegiatannya bersama
dengan para ulama besar yang salah satunya adalah K.H. Wahab Hasbullah dan
K.H. Bisri Syamsuri.

Sebelum mendirikan Nahdlatul Ulama, para pendiri ini meminta izin atau
meminta restu kepada para ulama sepuh atau terdahulu untuk mendirikan
organisasasi masyarakat. Peran K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Hasbullah, dan
K.H. Bisri Syamsuri sangat penting karena mereka bertiga merupakan poros
utama terbentuknya organisasi ini. Pada tanggal 31 Januari 1926 Nahdlatul
Ulama’ berdiri. Organisasi ini berlandaskan paham Ahlusunnah wal Jama’ah dan
mengikuti salah satu dari empat mazhab yakni Abu Hanifah al-Nu’man (imam
Hanafi), Imam Malik bin Anas (imam Maliki), Imam Muhammad bin Idris as-
Syafii (imam Syafi’i), Imam Muhammad bin Hambal (imam Hambali).8 K.H.
Hasyim Asy’ari juga tidak melupakan bangsa dan negara. Beliau yang
mencetuskan revolusi jihad dalam perangan melawan tentara Inggris di Surabaya.

7
Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan, 118.
8
Ibid, 119.
Sebelum perang melawan tentara Inggris di Surabaya, K.H. Hasyim
Asy’ari juga pernah merasakan jeruji besi Jepang dikarenakan Jepang
menganggap bahwa Hasyim Asy’ari telah meresahkan ajaran dari mereka
sehingga masyarakat di sekitar daerah kekuasaannya tidak mau mengikuti
ajarannya. K.H. Hasyim Asy’ari disiksa dan dipaksa untuk menyembah Tuhan
mereka yaitu matahari tapi beliau tidak mau melakukan hal tersebut. Para santri
dan ulama yang berada di sekitar jombang berusaha membebaskan kyianya
tersebut. Tapi Hasyim Asy’ari bebas dari Jepang setelah ada kejadian
pengeboman oleh sekutu di kota Nagasaki dan Hiroshima yaitu Jepang menyerah
tanpa syarat oleh Indonesia. Selang 2 tahun setelah Indonesia merdeka K.H.
Hasyim Asy’ari wafat pada 25 Juli 1947 / 7 Ramadhan 1366 H. dan beliau
dikebumikan di pesantrennya di Jombang.

Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari

Bidang pendidikan

K.H. Hasyim Asy’ari adalah salah satu tokoh yang istimewa. Hal ini
berkaitan dengan silsilah beliau yang berasal dari keturunan keluarga kyai
terhormat. Ayah beliau adalah pendiri dari pesantren Keras. Kakek beliau, kyai
Utsman adalah pendiri pesantren Gedang. Sedangkan ayah dari kakek beliau,
Kyai Sihah adalah pendiri pesantren Tambakberas. Karena dilahirkan dari
keluarga kyai-kyai besar inilah maka para kyai memberikan gelar kehormatan
“Hadratus Syeikh” kepada K.H. Hasyim Asy’ari.9 Hadratus Syeikh K.H. Hasyim
Asy’ari adalah salah satu tokoh besar Islam di Indonesia yang aktif dalam
kegiatan mengajar. Ketika masih berada di pesantren, Hadratus Syeikh sudah
diminta oleh gurunya untuk mengajar santri-santri baru. Begitupun ketika sedang
menuntut ilmu di Makkah, beliau juga diminta untuk mengajar.10 Ketika di
Makkah, Hadratus Syeikh belajar tentang hadis kepada salah satu syeikh besar,
yaitu Syeikh Mahfudh at-Tarmisi. Hadratus Syeikh K.H. Hasyim Asy’ari

9
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai
Masa Depan (Jakarta: LP3ES, 2011), 138.
10
Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan, 121.
mendapatkan ijazah mengajar kitab shahih Bukhari dari Syeikh Mahfudh.11
Sepulang dari Makkah, Hadratus Syaikh mengajar di Pesantren Keras, Pesantren
Nggedang, dan Pesantren Plemahan.12

Pandangan K.H. Hasyim Ay’ari tentang menuntut ilmu melahirkan


semangat di dalam diri beliau sehingga melahirkan tujuan dalam mencari ilmu.
Tujuan daripada mencari ilmu sebanyak-banyaknya tidak lain agar kelak dapat
mengamalkan ilmu tersebut. Dengan mengamalkan ilmu, maka ilmu akan
senantiasa berkembang sepanjang zaman dan membawa kemaslahatan. Selain
karena alasan kemaslahatan, tujuan lain dalam mengamalkan ilmu ialah agar
memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.13 Karena kepedulian K.H. Hasyim
Asy’ari terhadap ilmu, beliau mendirikan sebuah pondok pesantren pada 1899.
Hadratus Syeikh memilih mendirikan pesantren di wilayah yang belum mengenal
agama Islam dengan baik, dan terkenal dengan wilayah kemaksiatan. Beliau
mendirikan pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur. Meskipun pada
mulanya banyak sekali hambatan yang diterima beliau, mulai dari tentangan dari
sahabat dan sanak keluarga, hingga dari masyarakat di wilayah sekitar pesantren.
Namun karena kegigihan beliau untuk mendakwahkan ajaran agama Islam, lama-
kelamaan santri yang belajar kepada beliau semakin banyak, dan pesantren Tebu
Ireng menjadi terkenal di berbagai wilayah Indonesia.14

Adapun visi dari Pondok Pesantren Tebuireng yang didirikan K.H. Hasyim
Asy’ari antara lain15:

1. Menjadi salah satu tempat untuk mempelajari agama Islam;


2. Menjadi salah satu tempat yang digunakan untuk mempelajari serta
mengembangkan pandangan dari ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah.

11
Dhofier, Tradisi Pesantren, 137.
12
Mukani, Character Education, 149.
13
Zuhairi Misrawi, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari: moderasi, keumatan, dan kebangsaan
(Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2013), 205.
14
Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan, 122.
15
Mohamad Muspawi, “K.H. Hasyim Asy’ari: The Reformer of Islamic Education of East Java”,
Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 7, No. 1 (Juni 2018), 161.
Pendidikan pesantren tradisional yang dilakukan oleh K.H. Hasyim
Asy’ari selama ini tidak lepas dari perjalanan agama Islam di Indonesia. Dalam
sejarah Islam di Indonesia pada mulanya agama Islam masuk melalui jalur
perdagangan yang saat itu berpusat pada pelabuhan dan berangsur-angsur
menjangkau wilayah perkotaan, dan terus menyebar hingga wilayah pedesaan. Di
wilayah pedesaan inilah lembaga pendidikan pesantren lahir. K.H. Hasyim
Asy’ari dikenal sebagai tokoh yang cinta Tanah Air dan anti penjajah. Terlihat
dari sikap beliau yang tidak memberikan respek sedikitpun terhadap penjajah.
Dalam ranah pendidikan, selain karena faktor K.H. Hasyim Asy’ari yang dari
kecil hingga dewasa tidak pernah lepas dari kehidupan pesantren, semangat beliau
untuk mengajar di pesantren dilandasi oleh perasaan cinta Tanah Air. Pesantren
merupakan tempat memperoleh ilmu dan pendidikan yang telah ada sejak zaman
Hindu-Budha.16 Hingga zaman Wali Songo masuk ke Indonesia, pesantren tetap
menjadi tempat yang identik dengan pengajaran dan transfer keilmuan. Pada masa
penjajahan, K.H. Hasyim Asy’ari selain mengajarkan ilmu di pondok pesantren,
beliau juga menularkan semangat untuk melawan penjajahan. Hal ini bisa terjadi
karena alasan di atas tadi, yakni pesantren sabagai lembaga pendidikan asli
Indonesia yang tidak terpengaruh oleh bangsa penjajah. Jika dilihat dari
penjabaran ini, maka sosok Hadratus Syeikh tercermin sebagai tokoh besar yang
tidak hanya perduli dalam pendidikan, serta kebangsaan saja, tetapi juga
mencintai tradisi-tradisi yang lahir di Tanah Air.

Dengan latar belakang situasi penjajahan dan apresiasi yang tinggi


terhadap budaya Indonesia, K.H. Hasyim Asy’ari mengemas pola pendidikan di
pesantren dengan sedemikian rupa. Dengan budaya tradisi mengajar berupa
sorogan dan badongan, K.H. Hasyim Asy’ari mencoba membentuk ikatan antara
guru dan santri.17 Di dalam lingkup pesantren, corak kehidupan yang tergambar
menunjukkan keharmonisan dan persatuan antara pelaku-pelaku di dalamnya.

16 Rofiq Nurhadi, “Pendidikan Nasionalisme-Agamis dalam Pandangan K.H. Ahmad Dahlan dan
K.H. Hasyim Asy’ari”, Cakrawala: Jurnal Studi Islam, Vol. 12, No. 2 (Desember 2017), 128.
17
Sorogan adalah cara belajar ala pesantren di mana santri membaca dan membahas kandungan
kitab yang dipelajari di hadapan guru. Sedangkan bandongan adalah pembelajaran di mana guru
menjelaskan dan santri mendengarkan. Nurhadi, Pendidikan Nasionalisme-Agamis, 128.
Dalam pesantren terbentuk suatu rasa yang kuat dan komitmen hati dan rasa
ikhlas antara Kyai (guru), santri, buya, tuan guru, dan pelaku-pelaku di pesantren
lainnya. Dari keharmonisan yang terjadi selama turun temurun, maka tradisi
pesantren menjadi budaya pendidikan khas yang berbeda dengan pola pendidikan
lainnya.18 Meskipun K.H. Hasyim Asy’ari menggunakan pola pendidikan
tradisional pesantren, tetapi beliau juga melakukan pembaruan dalam cara
pembelajaran. Tidak hanya menggunakan metode sorogan dan bandongan, K.H.
HasyimAsy’ari juga memperkenalkan metode mengajar yang masih baru saat itu.
Metode pembelajaran itu adalah dengan cara musyawarah.19 Metode ini kini bisa
dikatakan mirip dengan cara belajar di perguruan-perguruan tinggi.

Bidang kenegaraan

K.H. Hasyim Asy’ari selain menjadi tokoh keagamaan, tetapi beliau juga
memasukkan unsur nasionalisme atau cinta tanah air. Dalam pemikiran beliau,
persatuan dapat diperoleh dengan semangat pada dua hal, yaitu semangat
persatuan dalam kesamaan agama, dan semangat persatuan dalam kesamaan
bangsa.20 Dalam urusan membela negara, K.H. Hasyim Asy’ari tidak pernah
terbesit niatan untuk bergabung atau membantu pihak penjajah, baik ketika dalam
masa penjajahan Belanda, maupun saat masa penjajahan Jepang.21

Ketika Indonesia masih dijajah oleh Belanda, K.H. Hasyim Asy’ari mengeluarkan
sebuah fatwa perlawanan terhadap Belanda yang berisi:

1. Melawan Belanda adalah bentuk jihad yang wajib dilaksanakan oleh


segenap muslim di Indonesia;
2. Larangan menggunakan moda transportasi (kapal) milik Belanda untuk
berangkat ke Tanah Suci (Haji);

18
Zaini Tamin AR, “Pesantren dan Politik: Sinergi Pendidikan Pesantren dan Kepemimpinan
dalam Pandangan K.H. M. Hasyim Asy’ari”, jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. 3, No. 2
(November 2015), 325.
19
Mahrus As’ad, “Pembaruan Pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy’ari”, Tsaqafah: Jurnal
Peradaban Islam, Vol. 8, No. 1 (April 2012), 115.
20
Muchamad Coirun Nizar, “Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari tentang Persatuan”, Endogami:
Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi, Vol. 1, No. 1 (Desember 2017), 67.
21
Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan, 123.
3. Larangan berpakaian seperti yang dikenakan oleh bangsa penjajah.

Fatwa yang dikeluarkan oleh K.H. Hasyim Asy’ari terbukti mampu untuk
membakar semangat dan memperkuat tekad untuk melawan penjajahan atas
Tanah Air. Akan tetapi di lain pihak, ini membuat posisi K.H. Hasyim Asy’ari
menjadi diwaspadai oleh Belanda. Sehingga Pesantren Tebuireng pernah menjadi
sasaran penyerangan yang dilakukan oleh Belanda. Sedangkan pada masa
penjajahan Jepang, K.H. Hasyim Asy’ari dipenjara dan sempat dipindah-
pindahkan. Beliau dipenjara karena beliau menolak untuk membungkukkan badan
ke arah timur setiap pukul 7 pagi sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar
Hirohito, dan penyembahan terhadap Dewa Matahari.22 Terlihat bahwa sikap yang
dilakukan K.H. Hasyim Asy’ari sangat teguh untuk tetap pada ajaran Islam, dan
juga kecintaan terhadap Tanah Air, meski hingga jari-jari tangan Hadratus Syeikh
dipatahkan oleh tentara Jepang.

Hadratus Syeikh K.H. Hasyim Asy’ari pernah menjadi ketua organisasi


Islam Masyumi. Pernah suatu ketika dalam momen pidatonya beliau
menyampaikan kritik yang berisikan kekejaman-kekejaman Belanda, juga
mengingatkan tentang kewaspadaan terhadap politik yang dilakukan bangsa
Jepang.23

K.H. Hasyim Asy’ari bersama ulama-ulama Nahdlatul Ulama mengeluarkan


fatwa pada 22 Oktober 1945 yang dikenal dengan Resolusi Jihad. Isi daripada
Resolusi Jihad tersebut antara lain24:

1. mempertahankan Kemerdekaan Indonesia adalah wajib;


2. Republik Indonesia adalah satu-satunya negara yang wajib dibela;
3. Mewaspadai musuh Indonesia yaitu Belanda dan sekutunya yang
berkesempatan kembali menjajah lewat kesempatan politik dan militernya;

22
Misrawi, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, 87.
23
Ensiklopedi Islam, 6.
24
Yusrianto, “Pemikiran Politik dan Perjuangan K.H. M. Hasyim Asy’ari Melawan
Kolonialisme”, In Right: Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia, Vol. 3, No. 2 (Mei 2014), 268.
4. Kewajiban mengangkat senjata bagi umat Islam terutama Nahdlatul
Ulama’ untuk mengusir Belanda dan sekutunya;
5. Bahwa setiap muslim yang berada dalam radius 94 kilometer dari
kedudukan musuh, wajib untuk tiap-tiap individu (fardhu ‘ain) untuk
melawan musuh. Sedangkan yang berada di luar radius 94 kilometer
hukumnya wajib sebagian (fardhu kifayah).25

Meskipun bukan tokoh yang berdiri di barisan terdepan dalam medan


pertempuran, tetapi K.H. Hasyim Asy’ari tetap mempunyai pengaruh yang besar
terhadap perjuangan melawan penjajah. Tokoh-tokoh penting pejuang
kemerdekaan seperti Bung Tomo dan Jendral Sudirman tidak jarang meminta
nasihat kepada sang Hadratus Syeikh. Tercatat di dalam sejarah peristiwa 10
November 1945 ketika terjadi peperangan di Surabaya. Hal itu secara tidak
langsung terjadi setelah rakyat mendengar perintah Resolusi Jihad, dan seruan
Bung Tomo di mana keduanya mempumyai muara kepada seruan dari K.H.
Hasyim Asy’ari. Bagi Hadratus Syeikh K.H. Hasyim Asy’ari, berperang melawan
segala bentuk kezaliman adalah wajib. Maka barang siapa yang gugur dalam
berperang melawan kezaliman dan berpegang teguh pada kebenaran maka
dikatakan syahid. Dan jika ada yang beraling dari peperangan dan tidak mau
bertindak saat melihat kezaliman maka itu adalah sebuah pengkhianatan.26

Bidang pemikiran keagamaan

Pada saat Hadratus Syeikh menempuh pendidikan di Makkah, situasi saat


itu bertepatan dengan gencarnya Muhammad Abduh melakukan gerakan
pembaruan pemikiran Islam. Hadratus Syeikh mengemukakan suatu pendapat
dalam sistem bermadzhab, bahwa tanpa mempelajari madzhab, tidak mungkin
dapat memahami ajaran dari al-Quran dan Hadis. Hal ini dikarenakan tanpa
pendapat dan penelitian terhadap buku-buku ulama besar yang tergabung dalam

25
Misrawi, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, 286.
26
Yusrianto, Pemikiran Politik dan Perjuangan, 264.
sistem bermadzhab, maka penafsiran al-Quran dan Hadis hanya akan berupa
pemutar balikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya.27

K.H. Hasyim Asy’ari menggap Tauhid adalah hal yang paling


fundamental. Beliau menuliskan pemikirannya tentang tauhid ke dalam kitab yang
berjudul Tauhidiyah. Dalam bidang ketauhidan, setidaknya K.H. Hasyim Asy’ari
menerangkan ada tiga tingkatan di dalamnya. Pertama adalah ketika seorang
hamba diperintahkan untuk mengesakan Tuhannya, setelah mampu untuk
meyakini dan mengesakan Tuhannya hamba akan masuk ke dalam tingkatan yang
kedua, yaitu dimana seorang hamba akan mempelajari pengertian mengenai
segala bentuk-bentuk keesaan Tuhannya, dan setelah mengetahui segala aspek ini,
maka tingkatan yang paling tinggi dalam bertauhid adalah menjernihkan hati dan
merasakan secara mendalam atas keberadaan Tuhannya, tingkatan ini biasa
disebut dengan makrifat.28

Ahlussunnah Wal Jama’ah

Pandangan K.H. Hasyim Asy’ari mengenai Ahlussunnah wal Jamaah


dapat diketahui dari kitab beliau yang berjudul Risalah Ahlussunnah wal
Jama’ah: fi Haditsil Mauta wa Asyrathissa’ah wa Baya Mafhumis Sunnah wal
Bid’ah.29 Dalam hal Ahlussunnah wal Jama’ah, pada dasarnya muslim di Jawa
mayoritas mengikuti mazhab dari Abu Hasan al-Asy’ari di bidang akidah, Imam
as-Syafi’I di bidang fikih, dan pada Imam Ghazali di bidang tasawwuf. Sedangkan
dalam pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah yang terdapat dalam organisasi
Nahdlatul Ulama’, umat Islam diberikan kebebasan dalam memilih bermazhab.

Perbedaan pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah oleh K.H. Hasyim


Asy’ari dengan golongan puritan, menonjol dalam pembahasan mengenai gerakan
pemurnian dan dalam hal bermazhab. Menurut K.H. Hasyim Asy’ari tidak semua
muslim mampu memahami syariat langsung dari sumber utamanya yaitu al-Quran

27
Dhofier, Tradisi Pesantren, 141.
28
Muhaemin, “Teologi Aswaja Nahdlatul Ulama Di Era Modern: Studi atas Pemikiran Kyai
Hasyim Asy’ari”, Jurnal Diskursus Islam, Vol.1, No. 2 (Agustus 2013), 321.
29
Misrawi, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, 106.
dan as-Sunnah. Maka sebaiknya keputusan yang terbaik adalah dengan mengikuti
tata cara dan ajaran dalam mazhab. Perlu diketahui, bahwa untuk “menciptakan”
suatu mazhab, proses di dalamnya sangat rumit dan butuh pemahaman tinggi.
Ulama yang ahli sekalipun tidak akan dengan mudah mengeluarkan fatwa
terhadap suatu peristiwa. Banyak contoh mengenai sifat dari Imam empat mazhab
yang tetap berhati-hati ketika ditanya jawaban mengenai suatu permasalahan,
bahkan tidak sungkan untuk menjawab tidak tahu apabila benar-benar tidak
memahami persoalan tersebut. Lain halnya jika tiap muslim, mampu atau tidak di
dalam keilmuannya diperintahkan untuk berijtihad dengan dirinya sendiri, bisa
jadi tidak bisa sama antara yang satu dengan yang lain. Kekhawatiran ini muncul
karena tidak setiap orang yang mengeluarkan fatwa mampu untuk benar-benar
bersikap adil tanpa ada pengaruh dari hal lain seperti kehendak, dan pilihan politik
tertentu. Contoh nyata yang terlihat adalah gerakan Wahabi di Saudi Arabia.
Slogan untuk kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah memang terlihat menarik,
akan tetapi sejalan dengan waktu gerakan yang mendapat dukungan penuh dari
kerajaan Saudi ini malah behasil menyingkirkan gerakan lain yang dianggap tidak
sejalan dengan Wahabi. Hal ini jelas sangat menghawatirkan. Selain itu, dengan
dihapusnya fatwa, pandangan, dan pemikiran ulama masa kontemporer, maka
sebenarnya Islam seperti tidak mengakui buah pemikiran dari ulama’ di masa
kontemporer yang terkenal giat mempelajari ajaran-ajaran Islam dari masa
Rasulullah SAW. hingga masa setelahnya.

Pikiran K.H. Hasyim Asy’ari dan alasan beliau mengapa umat Islam tetap harus
berpegang pada ajaran empat mazhab dituliskan beliau di dalam kitab Risalah fi
Ta’kud al Akhdzi bi Madzhib al Aimmah al –Arba’ah. Alasan tersebut adalah:

1. Islam dan syari’atnya dapat diketahhui banyak orang dan menyebar ke


berbagai wilayah dengan dua cara, yaitu melalui transfer dan penggalian
hukum. Kedua cara ini tidak dapat dilalui apabila tidak dilakukan dari
orang ke orang, turun-temurun, hingga sampai pada ajaran yang berasal
dari Rasulullah SAW;
2. Rasulullah SAW. memerintahkan untuk mengikuti pendapat mayoritas.
Mazhab dapat dikatakan sebagai pendapat mayoritas, karena telah diikuti
banyak orang. Selain itu ajaran mazhab empat adalah ajaran yang lulus
ujian ruang dan waktu, sehingga kemungkinan menyimpangnya ajaran
dalam empat mazhab sangat kecil;
3. Di masa kini, dimana kepercayaan merupakan barang yang mahal, dan
kejujuran adalah hal yang langka, sulit untuk menemukan pengajar yang
dapat berlaku jujur dan ikhlas. Maka dengan mempercayai ajaran ulama-
ulama di masa lalu dimana integritas terhadap keilmuan sangat dijunjung
tinggi, maka jaminan keaslian dan ketulusan ajaran yang disampaikan
lebih tinggi nilainya.30

Dalam bidang politik kenegaraan yang berhubungan dengan


Ahlussunnah wal Jama’ah, jika dilihat dari dikeluarkannya Resolusi Jihad, hal ini
sebenarnya mengikuti pandangan dari Syekh Nawawi al-Bantani yang
mengatakan bahwa status darul Islam tidak akan terpengaruh dan menjadi darul
Harb meskipun dikuasai oleh non-muslim apabila masih terdapat muslim yang
menetap dan dapat melaksanakan perintah agamanya, tetapi jika penguasa non-
muslim itu menghalangi muslim yang menetap untuk menjalankan perintah
agamanya maka statusnya menjadi darul Harb.31

Tasawuf

Dalam bidang tasawuf, K.H. Hasyim Asy’ari banyak mengikuti prinsip


yang diungkapkan oleh al-Ghazali. Hadratus Syekh menuliskan pemikirannya
tentang sufisme di dalam kitab beliau yang berjudul at-Tibyan fi an-Nabi ‘an
Munqa’at al-Arham wal Aqorib wal Akhwan, dan juga kitab ad-Durar ala-
Muntahirah fil Masail at-Tis’ah ‘Asyarah. Dalam tasawufnya K.H. Hasyim
Asy’ari mengikuti aliran tasawuf murni, yaitu ajaran tasawuf yang sudah sangat
lama berkembang di pulau Jawa. Sehingga dapat dilihat bahwa pandangan
Hadratus Syaikh terhadap masalah tasawwuf adalah tetap memegang teguh tradisi

30
Nizar, Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari, 69.
31
Yusrianto, Pemikiran Politik dan Perjuangan, 267.
tasawwuf Islam tradisional di Jawa, dan tidak mengikuti aliran pemurnian dalam
Islam modern.32

Dalam keseharian Hadratus Syeikh selama hidupnya, beliau melakukan


amalan-amalan yang mengupayakannya untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT. amalan-amalan yang beliau lakukan antara lain adalah berziarah ke Gua
Hira dan berziarah ke makam Nabi SAW semasa beliau menetap di Makkah,
melakukan puasa sunnah dan tidak terlalu banyak makan, melaksanakan salat
Tahajjud secara berjamaah, menjalin silaturrahim yang baik dengan tetangga
beliau, rutin melakukan salat Istikhara, menjalankan salat 5 waktu secara
berjamaah, salat tarawih sebanyak 20 rakaat dan menghatamkan al-Quran dalam 1
bulan Ramadhan, serta melakukan amalan wirid.33 Selain itu K.H. Hasyim Asy’ari
juga melakukan amalan-amalan warisan wali songo, seperti tahlilan, dibaan, dan
ziarah kubur.

Organisasi Nahdlatul Ulama’

Pada 31 Januari 1926, K.H. Hasyim Asy’ari bersama K.H. Abdul Wahab
Hasbullah dan ulama-ulama lainnya di Jawa Timur mendirikan sebuah organisasi
Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ dan mendapat jabatan sebagai Rais Akbar selama
beberapa periode kepengurusan.34 Lahirnya organisasi Nahdlatul Ulama’ ini dapat
dikatakan sebagai reaksi dari semakin maraknya gerakan pembaruan Islam di
Indonesia, seperti Jami’at Khair (1905) yang menjadi cikal bakal gerakan al-
Irsyad (1913) dan Persyarikatan Ulama (1911), organisasi Muhammadyah (1912),
dan Persis (1923).35 Pada tahun 1930, Hadratus Syaikh menyampaikan pokok-
pokok pikiran organisasi Nahdlatul Ulama’. Pokok-pokok pikiran tersebut, atau
yang lebih dikenal qanun asasi atau undang-undang dasar Jam’iyah Nahdlatul
Ulama’. Intisari dari qanun asasi tersebut antara lain:

1. Latar belakang berdirinya Jam’iyah Nahdlatul Ulama’;


32
Hakam, K.H. Hasyim Asy’ari, 156.
33
Hakam, K.H. Hasyim Asy’ari, 161
34
Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan, 122.
35
Ahmad Khoirul Fata dan M. Ainun Najib, “Kontekstualisasi Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari
Tentang Persatuan Umat Islam”, Miqot: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Vol. 38, No. 2 (2014), 331.
2. Hakikat dan jati diri Jam’iyah Nahdlatul Ulama’;
3. Potensi umat yang diharapkan akan menjadi pendukung Nahdlatul
Ulama’;
4. Perlunya ulama’ be-ijtima’, ta’aruf, ittihad, dan ta’alluf di dalam wadah
organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama’36; dan
5. Keharusan warga Nahdlatul Ulama’ untuk bertaklid kepada salah satu dari
mazhab yang empat.37

Meskipun K.H. Hasyim Asy’ari memerintahkan untuk bertaklid kepada


salah satu mazhab yang empat, tetapi beliau juga mengimbangi hal tersebut
dengan melarang fanatisme terhadap mazhab tertentu. Jika melihat dari sikap
beliau ini, sebenarnya apa yang disampaikan tidak lain adalah untuk menghindari
perpecahan yang dapat terjadi dengan golongan lainnya. Hal ini karena fanatik
terhadap sesuatu tidak jarang akan menjadikan suatu kelompok akan dengan
mudah menyalahkan kelompok yang berbeda dengannya. Dalam anjuran memilih
salah satu dari empat mazhab, penjelasan di baliknya adalah mengikuti pandangan
dari ulama terdahulu adalah anjuran, terutama dalam hal syariat. Ini terlihat dari
Tabi’it tabi’in yang mengukuti ajaran dari para Tabi’in. Sedangkan Tabi’in
mengikuti ajaran daripada Sahabat.38

Hadratus Syaikh dikenal aktif dalam mengajarkan ilmu dan


menggerakkan segenap warga dalam organisasi, tetapi beliau melakukan semua
itu dengan tulus dan tanpa pamrih. Ini dibuktikan ketika penguasa Belanda yang
memberikan bintang emas tanda jasa kepada Hadratus Syaikh, namun ternyata
penghargaan tersebut ditolak oleh beliau.39 K.H. Hasyim Asy’ari mengibaratkan
menerima penghargaan dari penjajah seperti ketika Rasulullah SAW. mendapat
tawaran harta, kedudukan, dan kesenangan dari kaum kafir Quraisy.

36
Ijtima’ adalah bersama, Ta’aruf adalah saling mengenal, Ittihad adalah rukun bersatu, Ta’alluf
adalah saling mengasihi antara satu dengan yang lain. Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan,
123.
37
Adalah empat aliran mazhab di dalam agama Islam yang mengikuti ajaran dari Imam Hanfi,
Imam Maliki, Imam Syafi’I, dan Imam Hambali. Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan, 123.
38
Misrawi, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, 350.
39
Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan, 123.
Karya K.H. Hasyim Asy’ari

Karya-karya K.H. Hasyim Asy’ari yang terdokumentasikan oleh alm. Isham


Hadziq:40

1. Al-Tibyan fi Al-Nahy ‘an Muqatha’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-


Ikhwan. Berisi oentingnya membangun persaudaraan di tengah perbedaan,
dan bahaya memutus silaturrahhim.
2. Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama. Berisi
dasar-dasar tentang paham keagamaan yang diambil dari ayat-ayat al-
Quran, dan Hadis
3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdzi bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah. Berisi
tentang pentingnya berpedoman pada mazhab empat.
4. Mawa’idz. Berisi tentang nasehat cara menyelesaikan measalah yang
muncul di tengah umat akibat hilangnya kebersamaan dalam membangun
pemberdayaan.
5. Arba’ina haditsan Ta’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatul Ulama’.
Berisi tentang 40 hadis yang berisi pesan untuk meningkatkan ketaqwaan
dan kebersamaan hidup.
6. An-Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin. Berisi biografi
Rasulullah dan akhlaq beliau yang mulia dan seruan untuk mencintai dan
bersholawat atas Rasulullah SAW.
7. At-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Mawlid bi al –Munkarat. Berisi
hal-hal yang harus diperhatikan saat merayakan maulid nabi.
8. Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah fi Haditsil Mawta wa Syuruth al-Sa’ah
wa Bayani Mafhum As-Sunnah wal Bid’ah. Berisi tentang penjelasan
paham Ahlussunnah wal Jama’ah dan tanda-tanda akhir zaman serta
mambahas tentang sunnah dan bid’ah.
9. Ziyadat ta’liqat ala Mandzumat Syaikh Abdullah bin Yasin al-Fasuruani.
Berisi tentang perdebatan atara K.H. Hasyim Asy’ari dengan Syaikh
Abdullah bin Yasin.

40
Misrawi, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, 96.
10. Dhawil Misbah fi Bayan Ahkam an-Nikah. Berisi tentang segala sesuatu
yang membahas tentang masalah pernikahan.
11. Al-Dzurrah al-Muntasyirah fi Masa’il Tis’a Asyarah. Beriisi tentang 19
masalah kajian wali dan thariqat.
12. Al-Risalah fi al-Aqaid. Berisi tentang permasalahan mengenai tauhid.
13. Al-Risalah fi al-Tasawwuf. Berisi tentang permasalahan mengenai
tasawwuf.
14. Adab al-‘Alim wal Muta’allim fi ma Yahtaju Ilayhil Muta’allim fi Ahwal
Ta’limihi wama Yatawaqqafu ‘alaihi al-Mu’allim fi Maqamati Ta’limihi.
Berisi tentang pedoman guru dan murid dalam proses belajar-mengajar
untuk mendapat tujuan yang diinginkan dalam dunia pendidikan.

Kesimpulan

K.H. Hasyim Asy’ari lahir, tumbuh, dan mengabdikan hidupnya tidak


jauh dari pendidikan pesantren sehingga pemikirannya tidak lepas dari pendidikan
tradisional khas nusantara itu. Beliau menganggap pentingnya melestarikan
budaya khas Tanah Air di tengah himpitan modernisasi yang dibawakan oleh para
penjajah. Di samping itu, beliau ingin menumbuhkan hubungan yang erat antara
elemen-elemen yang ada di pesantren. Dengan hubungan yang erat tersebut, maka
keberlangsungan mengajar dan kemanfaatan ilmu dapat terus-menerus menurun
bahkan hingga saat ini. Selain itu dengan melestarikan pesantren, di sana lebih
mudah menumbuhkan semangat cinta Tanah Air dan berjuang merebut
kemerdekaan.

K.H. Hasyim Asyari tidak pernah mentolerir kehadiran penjajah di tanah


Indonesia. Semangatnya untuk membela Tanah Airnya ditopang oleh semangat
membela bangsa dan agama. Perjuangan membela agama dan Tanah Air adalah
harga mati, dan menyerah kepada penjajah adalah sebuah pengkhianatan.
Meskipun harus dicoba dengan berbagai siksaan, tapi perjuangan membela Tanah
Air dan agama adalah sebuah wujud dari jihad fi sabilillah. Maka keteguhannya
dalam membela NKRI dibalas dengan penghargaan setinggi-tingginya dengan
menetapkan Hadratus Syeikh K.H. Hasyim Asy’ari sebagai salah satu tokoh
pahlawan Nasional.

Pemahaman tentang agama bagi K.H. Hasyim Asy’ari harus dilandasi


dengan Tauhid yang kuat. Mengenai fiqih, K.H. Hasyim Asy’ari menyarankan
umat Islam untuk mengikuti salah satu dari empat mazhab. Dengan menyarankan
mengikuti ajaran empat mazhab, hal yang menjadi alasan kuat beliau adalah
karena ulama-ulama mazhab adalah orang yang memiliki tingkatan ilmu yang
sangat mendalam terbukti dengan masih tetap adanya mazhab para ulama
terdahulu yang tidak tergerus oleh zaman. Di samping itu untuk mencegah
terjadinya perbedaan pandangan antara satu dengan yang lain yang berakibat
saling menyalahkan dan menghilangkan rasa persatuan antar saudara sesama
muslim. K.H. Hasyim Asy’ari mengikuti pandangan tasawuf Imam al-Ghazali. Di
samping itu, K.H. Hasyim Asy’ari juga melakukan tradisi keagamaan khas
nusantara yang sudah ada semenjak zaman wali songo, seperti ritual tahlilan,
dibaan, dan ziarah kubur.
Daftar Pustaka

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan


Visinya Mengenai Masa Depan. Jakarta: LP3ES, 2011.

Misrawi, Zuhairi. Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari: moderasi, keumatan, dan


kebangsaan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2013.

Nata, Abuddin. Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:


PT Raja Grafindo Persada, 2005.

As’ad, Mahrus. “Pembaruan Pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy’ari”. Tsaqafah:


Jurnal Peradaban Islam. Vol. 8, No. 1, April 2012.

Fata, Ahmad Khoirul., dan Najib, M. Ainun. “Kontekstualisasi Pemikiran K.H.


Hasyim Asy’ari Tentang Persatuan Umat Islam”. Miqot: Jurnal Ilmu-
ilmu Keislaman. Vol. 38, No. 2, 2014.

Hakam, Abdullah. “K.H. Hasyim Asy’ari dan Urgensi Riyadah Dalam Tasawuf
Akhlaqi”. Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam. Vol. 4, No. 1,
Juni 2014.

Muhaemin. “Teologi Aswaja Nahdlatul Ulama Di Era Modern: Studi atas


Pemikiran Kyai Hasyim Asy’ari”. Jurnal Diskursus Islam. Vol.1, No. 2,
Agustus 2013.

Mukani. “Character Education di Indonesia: Menguak Pemikiran Pendidikan


K.H. Hasyim Asy’ari”. Islamica: Jurnal Studi Keislaman. Vol. 1, No. 2,
Maret 2007.

Muspawi, Mohamad. “K.H. Hasyim Asy’ari: The Reformer of Islamic Education


of East Java”. Jurnal Pendidikan Islam. Vol. 7, No. 1, Juni 2018.

Nizar, Muchamad Coirun. “Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari tentang Persatuan”.


Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi. Vol. 1, No. 1, Desember
2017.

Nurhadi, Rofiq. “Pendidikan Nasionalisme-Agamis dalam Pandangan K.H.


Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari”. Cakrawala: Jurnal Studi
Islam. Vol. 12, No. 2, Desember 2017.

Tamin AR, Zaini. “Pesantren dan Politik: Sinergi Pendidikan Pesantren dan
Kepemimpinan dalam Pandangan K.H. M. Hasyim Asy’ari”. jurnal
Pendidikan Agama Islam. Vol. 3, No. 2, November 2015.
Yusrianto. “Pemikiran Politik dan Perjuangan K.H. M. Hasyim Asy’ari Melawan
Kolonialisme”. In Right: Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia. Vol. 3,
No. 2, Mei 2014.

Anda mungkin juga menyukai