HASYIM
ASY’ARI)
This article is trying to explain about history, biography, and thoughts of K.H.
Hasyim Asy’ari. K.H. Hasyim Asy’ari is one of Indonesian patriotist. His
thoughts inspiring to his life. Not only as religion figure, K.H. Hasyim Asy’ari is
also becoming one of important figure while Indonesia try to get independence.
His religion thoughs talks about Ahlussunnah wal Jama’ah, unity of God, sufism,
and Islamic thoughs. To fight for independence, K.H. Hasyim Asy’ari spread his
spirit by using pesantren and his authority.
K.H. Hasyim Asy’ari merupakan salah satu tokoh pendiri dari organisasi
masyarakat yaitu Nahdlatul Ulama’ (NU). Organisasi NU menggunakan paham
Ahlusunnah wal Jama’ah dan bermazhab Imam Syafi’i. Saat mendirikan
organisasi tersebut beliau ditemani oleh tokoh lainnya yaitu K.H. Bisri Syamsuri
dan K.H. Wahab Hasbullah (pengasuh PP. Tambak Beras, Jombang). Ketiga
tokoh ini merupakan poros bendirinya organisasi Nahdlatul Ulama’.
K.H. Hasyim Asy’ari lahir pada hari Selasa kliwon, 24 Dzulqa’dah 1287
H / 14 Februari 1871 M. di pesantren Gedang, desa Tambak Rejo, Jombang. K.
H. Hasyim Asy’ari lahir dari tiga bersaudara, beliau merupakan anak tertua dari
dua saudaranya. Ayahnya bernama Kyai Asy’ari (pendiri pondok pesantren di
desa Keras, Jombang), ibunya bernama Nyai Halimah.1 K.H. Hasyim Asy’ari
memiliki nama panjang yaitu Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ’Abdul al-Wahid
ibn’ al-Halim. Karena peran dan prestasinya yang dicapai olehnya beliau
mendapat banyak sekali gelar, yaitu pangeran Bona ibn Abd al-Rahman yang
dikenal dengan nama Jaka Tingkir, Sultan Hadi Wijono ibn Abdullah ibn Abdul
al-Aziz ibn ibn Maulana Ishaq dari Raden ‘Ain al-Yaqin disebut dengan Sunan
Giri.2
Sejak kecil K.H. Hasyim Asy’ari didik mengaji dan mempelajari kitab-
kitab oleh orang tuanya. Guru pertama dari K.H. Hasyim Asy’ari adalah ayahnya
sendiri yaitu Kyai Asy’ari. Sejak umurnya 5 tahun, K.H. Hasyim Asy’ari selalu
diajak oleh ayahnya ke pesantren-pesantren. Pada usia 12 tahun beliau disuruh
ayahnya untuk mengajar di pondok pesantren asuhan ayahnya. Setelah berguru
dengan ayahnya. K.H. Hasyim Asy’ari kemudian mengembara ke 5 pondok
pesantren di Jawa untuk memperdalam ilmu keagamaannya.3 Saat mengembara
beliau masih berusia 15 tahun. Pesantren pertama yang disinggahinya untuk
memperdalam ilmunya adalah pesantren Wonokoyo di Probolinggo. Setelah
beliau menganggap ilmunya cukup terkumpul dari pesantren terebut, beliau
kemudian melanjutkan pencarian ilmunya ke pesantren Pelangitan yang sekarang
menjadi Langitan di Tuban yang saat itu dibawah asuhan oleh K.H. Muhammad
Nur. Pengembaraanya masih belum selesai.4 Beliau melanjutkan belajarnya ke
pondok pesantren Kardenangan, Bangkalan, Madura di bawah asuhan Syaikhona
Kholil. Setelah beberapa tahun menimba ilmunya yang ditempuh dari Syaikhona
1
Abdullah Hakam, “K.H. Hasyim Asy’ari dan Urgensi Riyadah Dalam Tasawuf Akhlaqi”,
Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol. 4, No. 1 (Juni 2014), 149.
2
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005), 113.
3
Mukani, “Character Education di Indonesia: Menguak Pemikiran Pendidikan K.H. Hasyim
Asy’ari”, Islamica: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 1, No. 2 (Maret 2007), 148.
4
Ibid
Kholil, beliau melanjukannya belajar ke Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo yang
saat itu dibawah asuhan Kyai Ya’qub. Ketika di Pesantren Siwalan, Kyai Ya’qub
melihat kesungguhan dan ketekunan belajarnya dari K..H. Hasyim Asy’ari. Kyai
Ya’qub ingin menikahkan putrinya Khodijah dengan K.H. Hasyim Asy’ari.
Pada tahun 1893, K.H. Hasyim Asy’ari berangkat kembali ke tanah suci,
tapi dia kembali bersama dengan adiknya yaitu Anis. Beliau dan adiknya menetap
di kota Makkah yakni selama 7 tahun. Dalam masa ini beliau berhasil
mewujudkan impiannya untuk belajar ilmu agama lagi. Di Makkah K.H. Hasyim
Asy’ari sangat senang karena beliau dapat menggunakan waktu dengan baik untuk
rajin dan menekuni ilmu agama, ketika di tanah haram itu ia berguru denga para
tokoh-tokoh terkemuka di sana antara lain seperti: Syaikh al-Allamah Abdul
Hamid al-Darustani, Syaikh Muhammad Syu’aib al-Magribi, Syaikh Ahmad Ami
al-Atthar, Syaikh Syyaid Yamin, Sayyid Alawi ibn Ahmad al-Saqqaf, Sayyid
Abbas Maliki, Sayyid Abdullah al-Zawawy, Syaikh Saleh Bafdhal, dan Syaikh
Sultan Hasyim Bagastani.
5
Mukani, Character Education, 149.
orang anak yang diantaranya bernama: Hannah, Khoiriyah, Ubaidillah,
Mashruroh, Aisyah, Azzah, Abdul Hakim (Abdul Kholik), dan Muhammad
Yusuf. Walaupun mendapatkan banyak anak tapi pernikahan K.H. Hasyim
Asy’ari dengan Nafiqah terhenti karenakan Nafiqah meninggal dunia.
6
Hakam, K.H. Hasyim Asy’ari, 150.
penting karena beliau menjandi pempimpin masyarat secara informal dan
pemimpin dari pesantren.
K.H. Hasyim Asy’ari mendapat dua peran di dua tempat yakni sebagai
pimpinan dari pondok pesantren Tebuireng dan pemimpin masyrakat. Di dalam
sistem pesantren Tebuireng ini menggunakan sistem halaqah, yang mana sistem
ini pernah juga digunakan oleh pesantren asuhan ayahnya. Di pesanten ini juga
menggunakan sistem belajar madrasah (klasikal) dan serta memasukka pelajaran
ilmu-ilmu umum ke dalam kurikulumnya yang waktu itu masih asing di
zamannya.7
Sebelum mendirikan Nahdlatul Ulama, para pendiri ini meminta izin atau
meminta restu kepada para ulama sepuh atau terdahulu untuk mendirikan
organisasasi masyarakat. Peran K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Hasbullah, dan
K.H. Bisri Syamsuri sangat penting karena mereka bertiga merupakan poros
utama terbentuknya organisasi ini. Pada tanggal 31 Januari 1926 Nahdlatul
Ulama’ berdiri. Organisasi ini berlandaskan paham Ahlusunnah wal Jama’ah dan
mengikuti salah satu dari empat mazhab yakni Abu Hanifah al-Nu’man (imam
Hanafi), Imam Malik bin Anas (imam Maliki), Imam Muhammad bin Idris as-
Syafii (imam Syafi’i), Imam Muhammad bin Hambal (imam Hambali).8 K.H.
Hasyim Asy’ari juga tidak melupakan bangsa dan negara. Beliau yang
mencetuskan revolusi jihad dalam perangan melawan tentara Inggris di Surabaya.
7
Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan, 118.
8
Ibid, 119.
Sebelum perang melawan tentara Inggris di Surabaya, K.H. Hasyim
Asy’ari juga pernah merasakan jeruji besi Jepang dikarenakan Jepang
menganggap bahwa Hasyim Asy’ari telah meresahkan ajaran dari mereka
sehingga masyarakat di sekitar daerah kekuasaannya tidak mau mengikuti
ajarannya. K.H. Hasyim Asy’ari disiksa dan dipaksa untuk menyembah Tuhan
mereka yaitu matahari tapi beliau tidak mau melakukan hal tersebut. Para santri
dan ulama yang berada di sekitar jombang berusaha membebaskan kyianya
tersebut. Tapi Hasyim Asy’ari bebas dari Jepang setelah ada kejadian
pengeboman oleh sekutu di kota Nagasaki dan Hiroshima yaitu Jepang menyerah
tanpa syarat oleh Indonesia. Selang 2 tahun setelah Indonesia merdeka K.H.
Hasyim Asy’ari wafat pada 25 Juli 1947 / 7 Ramadhan 1366 H. dan beliau
dikebumikan di pesantrennya di Jombang.
Bidang pendidikan
K.H. Hasyim Asy’ari adalah salah satu tokoh yang istimewa. Hal ini
berkaitan dengan silsilah beliau yang berasal dari keturunan keluarga kyai
terhormat. Ayah beliau adalah pendiri dari pesantren Keras. Kakek beliau, kyai
Utsman adalah pendiri pesantren Gedang. Sedangkan ayah dari kakek beliau,
Kyai Sihah adalah pendiri pesantren Tambakberas. Karena dilahirkan dari
keluarga kyai-kyai besar inilah maka para kyai memberikan gelar kehormatan
“Hadratus Syeikh” kepada K.H. Hasyim Asy’ari.9 Hadratus Syeikh K.H. Hasyim
Asy’ari adalah salah satu tokoh besar Islam di Indonesia yang aktif dalam
kegiatan mengajar. Ketika masih berada di pesantren, Hadratus Syeikh sudah
diminta oleh gurunya untuk mengajar santri-santri baru. Begitupun ketika sedang
menuntut ilmu di Makkah, beliau juga diminta untuk mengajar.10 Ketika di
Makkah, Hadratus Syeikh belajar tentang hadis kepada salah satu syeikh besar,
yaitu Syeikh Mahfudh at-Tarmisi. Hadratus Syeikh K.H. Hasyim Asy’ari
9
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai
Masa Depan (Jakarta: LP3ES, 2011), 138.
10
Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan, 121.
mendapatkan ijazah mengajar kitab shahih Bukhari dari Syeikh Mahfudh.11
Sepulang dari Makkah, Hadratus Syaikh mengajar di Pesantren Keras, Pesantren
Nggedang, dan Pesantren Plemahan.12
Adapun visi dari Pondok Pesantren Tebuireng yang didirikan K.H. Hasyim
Asy’ari antara lain15:
11
Dhofier, Tradisi Pesantren, 137.
12
Mukani, Character Education, 149.
13
Zuhairi Misrawi, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari: moderasi, keumatan, dan kebangsaan
(Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2013), 205.
14
Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan, 122.
15
Mohamad Muspawi, “K.H. Hasyim Asy’ari: The Reformer of Islamic Education of East Java”,
Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 7, No. 1 (Juni 2018), 161.
Pendidikan pesantren tradisional yang dilakukan oleh K.H. Hasyim
Asy’ari selama ini tidak lepas dari perjalanan agama Islam di Indonesia. Dalam
sejarah Islam di Indonesia pada mulanya agama Islam masuk melalui jalur
perdagangan yang saat itu berpusat pada pelabuhan dan berangsur-angsur
menjangkau wilayah perkotaan, dan terus menyebar hingga wilayah pedesaan. Di
wilayah pedesaan inilah lembaga pendidikan pesantren lahir. K.H. Hasyim
Asy’ari dikenal sebagai tokoh yang cinta Tanah Air dan anti penjajah. Terlihat
dari sikap beliau yang tidak memberikan respek sedikitpun terhadap penjajah.
Dalam ranah pendidikan, selain karena faktor K.H. Hasyim Asy’ari yang dari
kecil hingga dewasa tidak pernah lepas dari kehidupan pesantren, semangat beliau
untuk mengajar di pesantren dilandasi oleh perasaan cinta Tanah Air. Pesantren
merupakan tempat memperoleh ilmu dan pendidikan yang telah ada sejak zaman
Hindu-Budha.16 Hingga zaman Wali Songo masuk ke Indonesia, pesantren tetap
menjadi tempat yang identik dengan pengajaran dan transfer keilmuan. Pada masa
penjajahan, K.H. Hasyim Asy’ari selain mengajarkan ilmu di pondok pesantren,
beliau juga menularkan semangat untuk melawan penjajahan. Hal ini bisa terjadi
karena alasan di atas tadi, yakni pesantren sabagai lembaga pendidikan asli
Indonesia yang tidak terpengaruh oleh bangsa penjajah. Jika dilihat dari
penjabaran ini, maka sosok Hadratus Syeikh tercermin sebagai tokoh besar yang
tidak hanya perduli dalam pendidikan, serta kebangsaan saja, tetapi juga
mencintai tradisi-tradisi yang lahir di Tanah Air.
16 Rofiq Nurhadi, “Pendidikan Nasionalisme-Agamis dalam Pandangan K.H. Ahmad Dahlan dan
K.H. Hasyim Asy’ari”, Cakrawala: Jurnal Studi Islam, Vol. 12, No. 2 (Desember 2017), 128.
17
Sorogan adalah cara belajar ala pesantren di mana santri membaca dan membahas kandungan
kitab yang dipelajari di hadapan guru. Sedangkan bandongan adalah pembelajaran di mana guru
menjelaskan dan santri mendengarkan. Nurhadi, Pendidikan Nasionalisme-Agamis, 128.
Dalam pesantren terbentuk suatu rasa yang kuat dan komitmen hati dan rasa
ikhlas antara Kyai (guru), santri, buya, tuan guru, dan pelaku-pelaku di pesantren
lainnya. Dari keharmonisan yang terjadi selama turun temurun, maka tradisi
pesantren menjadi budaya pendidikan khas yang berbeda dengan pola pendidikan
lainnya.18 Meskipun K.H. Hasyim Asy’ari menggunakan pola pendidikan
tradisional pesantren, tetapi beliau juga melakukan pembaruan dalam cara
pembelajaran. Tidak hanya menggunakan metode sorogan dan bandongan, K.H.
HasyimAsy’ari juga memperkenalkan metode mengajar yang masih baru saat itu.
Metode pembelajaran itu adalah dengan cara musyawarah.19 Metode ini kini bisa
dikatakan mirip dengan cara belajar di perguruan-perguruan tinggi.
Bidang kenegaraan
K.H. Hasyim Asy’ari selain menjadi tokoh keagamaan, tetapi beliau juga
memasukkan unsur nasionalisme atau cinta tanah air. Dalam pemikiran beliau,
persatuan dapat diperoleh dengan semangat pada dua hal, yaitu semangat
persatuan dalam kesamaan agama, dan semangat persatuan dalam kesamaan
bangsa.20 Dalam urusan membela negara, K.H. Hasyim Asy’ari tidak pernah
terbesit niatan untuk bergabung atau membantu pihak penjajah, baik ketika dalam
masa penjajahan Belanda, maupun saat masa penjajahan Jepang.21
Ketika Indonesia masih dijajah oleh Belanda, K.H. Hasyim Asy’ari mengeluarkan
sebuah fatwa perlawanan terhadap Belanda yang berisi:
18
Zaini Tamin AR, “Pesantren dan Politik: Sinergi Pendidikan Pesantren dan Kepemimpinan
dalam Pandangan K.H. M. Hasyim Asy’ari”, jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. 3, No. 2
(November 2015), 325.
19
Mahrus As’ad, “Pembaruan Pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy’ari”, Tsaqafah: Jurnal
Peradaban Islam, Vol. 8, No. 1 (April 2012), 115.
20
Muchamad Coirun Nizar, “Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari tentang Persatuan”, Endogami:
Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi, Vol. 1, No. 1 (Desember 2017), 67.
21
Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan, 123.
3. Larangan berpakaian seperti yang dikenakan oleh bangsa penjajah.
Fatwa yang dikeluarkan oleh K.H. Hasyim Asy’ari terbukti mampu untuk
membakar semangat dan memperkuat tekad untuk melawan penjajahan atas
Tanah Air. Akan tetapi di lain pihak, ini membuat posisi K.H. Hasyim Asy’ari
menjadi diwaspadai oleh Belanda. Sehingga Pesantren Tebuireng pernah menjadi
sasaran penyerangan yang dilakukan oleh Belanda. Sedangkan pada masa
penjajahan Jepang, K.H. Hasyim Asy’ari dipenjara dan sempat dipindah-
pindahkan. Beliau dipenjara karena beliau menolak untuk membungkukkan badan
ke arah timur setiap pukul 7 pagi sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar
Hirohito, dan penyembahan terhadap Dewa Matahari.22 Terlihat bahwa sikap yang
dilakukan K.H. Hasyim Asy’ari sangat teguh untuk tetap pada ajaran Islam, dan
juga kecintaan terhadap Tanah Air, meski hingga jari-jari tangan Hadratus Syeikh
dipatahkan oleh tentara Jepang.
22
Misrawi, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, 87.
23
Ensiklopedi Islam, 6.
24
Yusrianto, “Pemikiran Politik dan Perjuangan K.H. M. Hasyim Asy’ari Melawan
Kolonialisme”, In Right: Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia, Vol. 3, No. 2 (Mei 2014), 268.
4. Kewajiban mengangkat senjata bagi umat Islam terutama Nahdlatul
Ulama’ untuk mengusir Belanda dan sekutunya;
5. Bahwa setiap muslim yang berada dalam radius 94 kilometer dari
kedudukan musuh, wajib untuk tiap-tiap individu (fardhu ‘ain) untuk
melawan musuh. Sedangkan yang berada di luar radius 94 kilometer
hukumnya wajib sebagian (fardhu kifayah).25
25
Misrawi, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, 286.
26
Yusrianto, Pemikiran Politik dan Perjuangan, 264.
sistem bermadzhab, maka penafsiran al-Quran dan Hadis hanya akan berupa
pemutar balikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya.27
27
Dhofier, Tradisi Pesantren, 141.
28
Muhaemin, “Teologi Aswaja Nahdlatul Ulama Di Era Modern: Studi atas Pemikiran Kyai
Hasyim Asy’ari”, Jurnal Diskursus Islam, Vol.1, No. 2 (Agustus 2013), 321.
29
Misrawi, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, 106.
dan as-Sunnah. Maka sebaiknya keputusan yang terbaik adalah dengan mengikuti
tata cara dan ajaran dalam mazhab. Perlu diketahui, bahwa untuk “menciptakan”
suatu mazhab, proses di dalamnya sangat rumit dan butuh pemahaman tinggi.
Ulama yang ahli sekalipun tidak akan dengan mudah mengeluarkan fatwa
terhadap suatu peristiwa. Banyak contoh mengenai sifat dari Imam empat mazhab
yang tetap berhati-hati ketika ditanya jawaban mengenai suatu permasalahan,
bahkan tidak sungkan untuk menjawab tidak tahu apabila benar-benar tidak
memahami persoalan tersebut. Lain halnya jika tiap muslim, mampu atau tidak di
dalam keilmuannya diperintahkan untuk berijtihad dengan dirinya sendiri, bisa
jadi tidak bisa sama antara yang satu dengan yang lain. Kekhawatiran ini muncul
karena tidak setiap orang yang mengeluarkan fatwa mampu untuk benar-benar
bersikap adil tanpa ada pengaruh dari hal lain seperti kehendak, dan pilihan politik
tertentu. Contoh nyata yang terlihat adalah gerakan Wahabi di Saudi Arabia.
Slogan untuk kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah memang terlihat menarik,
akan tetapi sejalan dengan waktu gerakan yang mendapat dukungan penuh dari
kerajaan Saudi ini malah behasil menyingkirkan gerakan lain yang dianggap tidak
sejalan dengan Wahabi. Hal ini jelas sangat menghawatirkan. Selain itu, dengan
dihapusnya fatwa, pandangan, dan pemikiran ulama masa kontemporer, maka
sebenarnya Islam seperti tidak mengakui buah pemikiran dari ulama’ di masa
kontemporer yang terkenal giat mempelajari ajaran-ajaran Islam dari masa
Rasulullah SAW. hingga masa setelahnya.
Pikiran K.H. Hasyim Asy’ari dan alasan beliau mengapa umat Islam tetap harus
berpegang pada ajaran empat mazhab dituliskan beliau di dalam kitab Risalah fi
Ta’kud al Akhdzi bi Madzhib al Aimmah al –Arba’ah. Alasan tersebut adalah:
Tasawuf
30
Nizar, Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari, 69.
31
Yusrianto, Pemikiran Politik dan Perjuangan, 267.
tasawwuf Islam tradisional di Jawa, dan tidak mengikuti aliran pemurnian dalam
Islam modern.32
Pada 31 Januari 1926, K.H. Hasyim Asy’ari bersama K.H. Abdul Wahab
Hasbullah dan ulama-ulama lainnya di Jawa Timur mendirikan sebuah organisasi
Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ dan mendapat jabatan sebagai Rais Akbar selama
beberapa periode kepengurusan.34 Lahirnya organisasi Nahdlatul Ulama’ ini dapat
dikatakan sebagai reaksi dari semakin maraknya gerakan pembaruan Islam di
Indonesia, seperti Jami’at Khair (1905) yang menjadi cikal bakal gerakan al-
Irsyad (1913) dan Persyarikatan Ulama (1911), organisasi Muhammadyah (1912),
dan Persis (1923).35 Pada tahun 1930, Hadratus Syaikh menyampaikan pokok-
pokok pikiran organisasi Nahdlatul Ulama’. Pokok-pokok pikiran tersebut, atau
yang lebih dikenal qanun asasi atau undang-undang dasar Jam’iyah Nahdlatul
Ulama’. Intisari dari qanun asasi tersebut antara lain:
36
Ijtima’ adalah bersama, Ta’aruf adalah saling mengenal, Ittihad adalah rukun bersatu, Ta’alluf
adalah saling mengasihi antara satu dengan yang lain. Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan,
123.
37
Adalah empat aliran mazhab di dalam agama Islam yang mengikuti ajaran dari Imam Hanfi,
Imam Maliki, Imam Syafi’I, dan Imam Hambali. Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan, 123.
38
Misrawi, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, 350.
39
Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan, 123.
Karya K.H. Hasyim Asy’ari
40
Misrawi, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, 96.
10. Dhawil Misbah fi Bayan Ahkam an-Nikah. Berisi tentang segala sesuatu
yang membahas tentang masalah pernikahan.
11. Al-Dzurrah al-Muntasyirah fi Masa’il Tis’a Asyarah. Beriisi tentang 19
masalah kajian wali dan thariqat.
12. Al-Risalah fi al-Aqaid. Berisi tentang permasalahan mengenai tauhid.
13. Al-Risalah fi al-Tasawwuf. Berisi tentang permasalahan mengenai
tasawwuf.
14. Adab al-‘Alim wal Muta’allim fi ma Yahtaju Ilayhil Muta’allim fi Ahwal
Ta’limihi wama Yatawaqqafu ‘alaihi al-Mu’allim fi Maqamati Ta’limihi.
Berisi tentang pedoman guru dan murid dalam proses belajar-mengajar
untuk mendapat tujuan yang diinginkan dalam dunia pendidikan.
Kesimpulan
Hakam, Abdullah. “K.H. Hasyim Asy’ari dan Urgensi Riyadah Dalam Tasawuf
Akhlaqi”. Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam. Vol. 4, No. 1,
Juni 2014.
Tamin AR, Zaini. “Pesantren dan Politik: Sinergi Pendidikan Pesantren dan
Kepemimpinan dalam Pandangan K.H. M. Hasyim Asy’ari”. jurnal
Pendidikan Agama Islam. Vol. 3, No. 2, November 2015.
Yusrianto. “Pemikiran Politik dan Perjuangan K.H. M. Hasyim Asy’ari Melawan
Kolonialisme”. In Right: Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia. Vol. 3,
No. 2, Mei 2014.