Anda di halaman 1dari 27

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Swt., yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat kami
selesaikan dengan baik dan tepat waktu. Makalah kami yang membahas
mengenai “Pendidikan Islam dalam Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari” ini
kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Intelektual
Pendidikan Islam. Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr.
Mahrus, M.Ag. dan Dr. Muhamad Ali, M.A. selaku dosen mata kuliah
Sejarah Intelektual Pendidikan Islam yang telah membimbing kami
dalam menyelesaikan makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis khusunya, dan bagi para pembaca umumnya. Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
kami mengharapkan krit ik dan saran agar kedepannya kami bisa menyusun
makalah yang lebih baik lagi.

Cirebon, Mei 2018

Penulis

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam sejarah Indonesia, sejak masa pra-Kemerdekaan hingga saat


ini, posisi dan peranan ulama cukup penting terhadap proses perubahan
social kemasyarakatan, karena ulama merupakan tokoh panutan bagi umat
Islam yang merupakan agama terbesar di Indonesia. Agama pada
dasarnya bersifat independen, yang secara teoretis dan dogmatis saat
mungkin terlibat dalam kaitan saling mempengaruhi dengan kenyataan
sosial, ekonomi dan politik Sebagai unit yang independen, maka bagi
penganutnya, agama mempunyai kemungkinan yang tinggi untuk
menentukan pola prilaku manusia dan bentuk struktur social, dengan
demikian ajaran agama (aspek kultural dari agama) mempunyai potensi
untuk mendorong atau bahkan menahan proses perubahan sosial dimana
dalama agama Islam yang strategis untuk melakukan hal itu adalah
ulama dan pendidikan (pesantren).1
Jika ditelusuri lebih jauh tentang peranan ulama dalam
mewarnai proses perubahan sosial di Indonesia, maka akan tercatat beberapa
tokoh penting dari berbagai golongan dan kelompok masyarakat,
diantaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari. KH. Hasyim Asy’ari merupakan
seorang ulama yang terkemuka dizamannya, karena dia adalah pendiri
pondok pesantren Tebu Ireng dan ikut serta mendorong untuk melakukan
perlawanan terhadap penjajahan, disisilain dia adalah tokoh penting
dalam berdirinya Nahdlatul Ulama yang kelak dalam sejarah Indonesia
akan menjadi ormas Islam terbesar dan memainkan peranan yang cukup
signifikan dalam berbagai perubahan sosial dan politik di Indonesia.2

1
Taufik Abdullah, Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Rajawali Press,
1983), hal. 1
2
Greg Barton, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of
Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta: LKIS, 2002), hal. 15.

2
Berangkat dari pemikiran yang demikian maka dalam makalah ini
penulis akan menyajikan secara singkat tentang KH. Hasyim Asy’ari
dan Nahdlatul Ulama perkembangan awal dan kontemporer, hal ini
tentunya dimaksudkan untuk membedah pemikiran serta pengaruhnya
terhadap perkembangan pemikiran modern dalam Islam khususnya di
Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi K.H. Hasyim Asy’ari?
2. Bagaimana Hasyim Asy’ari dan Pendidikan?
3. Bagaimanakah Hasyim Asy’ari dan Karya-karyanya?
4. Apa sajakah Pemikiran Pendidikan Etika K.H. Hasyim Asy’ari?
5. Bagiamankah Sistem Pendidikan di masa K.H. Hasyim Asy’ari?
6. Bagaimana Relevansi Pemikiran K.H. Hasyim dengan Pendidikan
Sekarang?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Biografi K.H. Hasyim Asy’ari?
2. Mengetahui Hasyim Asy’ari dan Pendidikan?
3. Mengetahui Hasyim Asy’ari dan Karya-karyanya?
4. Mengetahui Apa sajakah Pemikiran Pendidikan Etika K.H. Hasyim
Asy’ari?
5. Mengetahui Sistem Pendidikan di masa K.H. Hasyim Asy’ari?
6. Mengetahui Relevansi Pemikiran K.H. Hasyim dengan Pendidikan
Sekarang?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi KH. Hasyim Asy’ari


K.H. Hasyim Asy’ari di lahirkan di Desa Gedang salah satu desa di
Kabupaten Jombang, Jawa Timur, pada Selasa Kliwon, 24 Dzulqa’adah
1287 H atau bertetapan dengan tanggal 25 Juli 1871 M. Nama lengkapnya
adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn Abd Al-Wahid ibn Abd Al-Rahman
yang dikenal dengan sebutan Jaka Tingkir Sultan Hadwijaya Ibn Abd Allah
ibn Abd Al-Aziz ibn Abd Al-Fatah ibn Maulana Ishal dari Raden Ain yang
disebut dengan Sunan Giri.3
Secara genealogi, KH. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan
Kiai, karena kakek buyutnya adalah Kiai Sihah yang merupakan
pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras, sedangkan kakeknya Kiai.
sedangkan ayahnya Asy’ari adalah pengasuh pondok pesantren Keras di
Jombang. Dari silsilah ini maka dapat dilihat bahwa KH. Hasyim Asy’ari
lahir dan dibesarkan di lingkungan pondok pesantren. Bahkan pada usia 13
tahun ia sudah menguasai kitab-kitab Islam klasik dan diangkat
menjadi badal (asisten pengajar) di pondok pesantren ayahnya. Pada
usia 15 tahun, Hasyim Asy’ari mulai mengembara ke berbagai
pesantren di pulau Jawa untuk memperdalam ilmu agama, seperti di
Pesantren Wonocolo Jombang, Pesantren Probolinggo, Pesantren
Langitan, Pesantren Tranggilis, dan berguru kepada Kiai Kholil di
Bangkalan, Madura.
Pada 1893, KH. Hasyim Asy’ari berangkat ke Mekah untuk
memperdalam ilmu agama dan berguru kepada Syekh Mahfudh At-Tarmisi
yang berasal dari Tremas, Jawa Timur. Syekh Mahfudh At-Tarmisi menjadi
pengajar di Masjidil Haram dan merupakan ulama ahli hadits di Mekah,
beliau adalah murid Syekh Nawawi Al-Bantany yang menjadi murid Syekh

3
Hasyim Asy’ari, Etika Pendidikan Islam, Terjemahan (Yogyakarta: Titian Wacana, 2007),
hlm. 2.

4
Ahmad Khatib Syambasi (tokoh tasawuf yang berhasil menggabungkan
tarikat Qadariah dan tarikat Naqsabandiah)4
Untuk melengkapi pengetahuannya di bidang agama, KH.
Hasyim Asy’ari kemudian berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Al-
Minangkabau. Namun dari sekian banyak gurunya itu, yang paling
mempengaruhi jalan pikiran KH. Hasyim Asy’ari adalah Syekh
Mahfudh At-Tarmisi. Dari gurunya inilah dia memperoleh ijazah tarikat
Qadariah dan Naqsabandiah. Setelah 7 tahun belajar di Mekah, KH. Hasyim
Asy’ari pulang ke Jawa dan mendirikan pondok Pesantren Tebu Ireng di
Jombang pada 26 Rabiul Awal 1217 H/1899 M. Di dalamnya terdapat
madrasah Salafiyah Syafi’iyah, yang mana ia juga menjadi pengajar.
Sebagai pemimpin pesantren, K.H. Hasyim Asy’ari melakukan
pengembangan institusi pesantrennya, termasuk mengadakan pembaruan
sistem dan kurikulum pesantren. Selain menggunakan sistem halaqah
sebagaimana terdapat di pesantren sebelumnya, Hasyim Asy’ari juga
memperkenalkan sistem belajar madrasah (klasikal) dan memasukkan mata
pelajaran ilmu-ilmu umum ke dalam kurikulumnya yang pada waktu itu
termasuk hal baru.5 Kegiatan mengajar dimulai pada pagi hari. Selepas
memimpin shalat subuh. Ia mengajarkan kitab kepada para santri hingga
menjelang matahari terbit. Di antara kitab yang dajarkan setelah subuh
adalah al-Tahir dan Al-Syifa fi Huquq al-Musthafa karya al-Qadhi ‘Iyadh.
Kemudian setelah menunaikan shalat dhuha, Kiai Hasyim kembali memberi
pengajaran kitab kepada para santrinya. Namun sesi pelajaran ini untuk
santri senior. Kitab yang diajarkannya antara kitab al-Muhaddzab karya Al-
Syairazi dan al-Muwatta Karya Imam Malik.6 Di pondok pesantren inilah
KH. Hasyim Asy’ari mengajarkan kitab-kitab klasik kepada santrinya yang
oleh kalangan NU dikenal dengan “kitab kuning”. Dari pesantren ini pula

4
Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai: Kasus Pondok Pesantren Tebu Ireng,
(Malang: Kalimasada Press, 1983), hal. 71.
5
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di indonesia (Jakarta: Raja
Grafindo, 2005), hlm. 114.
6
Kuniawan, Syamsul dan Mahrus Erwin, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam
(Yogyakarta: AR Ruzz Media, 2016), hlm. 209.

5
kemudian banyak bermunculan kiai dan ulama terkemuka yang mewarnai
pemikiran Islam di Indonesia.7
Usman adalah kiai terkenal pendiri pondok pesantren Gedang,
Riwayat pendidikannya dimulai dari mempelajari ilmu-ilmu Al-Qur’an dan
dasar-dasar ilmu agama pada orang tuanya sendiri. Setelah itu, ia
melanjutkan pendidikannya pada berbagai pondok pesantren khususnya di
Pulau Jawa, seperti Pondok Pesantren Shona, Siwalan Bunduran, Langitan
Tuban, Demangan, Bangkalan, dan Sidoarjo. Selama belajar di Pesantren
Sidoarjo, Kiai Ya’kub yang memimpin pondok pesantren tersebut melihat
kesungguhan dan kebaikan budi pekerti K.H. Hasyim Asy’ari, hingga ia
kemudian menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Pada 1892, tepatnya
ketika Hasyim Asy’ari berusia 21 tahun, ia menikah denga Khadijah putri
K.H. Ya’kub.8 Tidak lama kemudian, ia beserta istri dan mertuanya
berangkat haji ke Mekah yang dilanjutkan dengan belajar di sana. Akan
tetapi, setelah istrinya meninggal setelah melahirkan, disusul kemudian
putranya, menyebabkan kembali lagi ke Tanah Air lama kemudian, ia
berangkat lagi ke Tanah suci, tidak hanya untuk menunaikan ibadah haji,
tetapi juga untuk belajar. Ia menetap di sana kurang lebih tujuh tahun dan
berguru pada sejumlah ulama.9
Pada 16 Rajab 1344. Ia mendirikan Jami’iyyah Nahdlatul Ulama
beserta sahabat-sahabatnya diantaranya Syaikh Abdul Wahab Hasbullah dan
Syaikh Basri Syamsuri serta ulama-ulama besar di Jawa. Jami’iyah ini atau
Jami’iyyah Diniyah Ijtimai’yyah di bawah naungan kaum muslimin yang
diharapkan dapat berpegang teguh pada kitab dan sunnah serta menjauhi
dari kesesatan dan bid’ah. Pondok Tebu Ireng dan Jami’iyyah NU keduanya
adalah peninggalan-peninggalan yang baik.10

7
Arifin, Kepemimpinan Kyai, hlm. 72
8
Abidin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, hlm. 114
9
Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: Quantum
Teaching, 2005), hlm. 215,
10
Mukhrizal, Arif, Dkk, Pendidikan Pos Modernisme, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016),
hlm. 157,

6
Kiai Hasyim Asy’ari (Rahimahulla) wafat pada 7 Ramadhan 1366
H/25 Juli 1947.11 Hal ini terjadi setelah ia mendengar berita dari Jendral
Sudirman dan Bung Tomo, bahwa pasukan Belanda di bawah Jenderal
Spoor telah kembali ke Indonesia dan menang dalam pertempuran di
Singosari (Malang) dengan meminta korban yang banyak dari rakyat biasa.
Ia sangat terkejut dengan peristiwa ini sehingga terkena serangan stroke
yang menyebabkannya meninggal dunia. Ia dimakamkan di rumahnya Tebu
Ireng, Jombang, di pesantren yang telah dibangunnya.12

B. Hasyim Asy’ari dan Pendidikan


Dalam sebuah novel yang berjudul “Penakluk Badai: Novel Biografi
KH. Hasyim Asy’ari” Karya Agug Irawan, Prof. Dr. Said Aqil Siradj dalam
kata pengantarnya menyatakan bahwa Hasyim Asy’ari dalam pendidikan
merupakan sosok revolusioner dan pembela wong cilik. Hal ini dibuktikan
dengan keinginan beliau untuk mendirikan lembaga pendidikan pesantren di
tempat yang jauh dari peradaban, karena beliau memiliki pandangan bahwa
pendidikan harus banyak diberikan kepada orang yang masih jauh dari
peradaban dan kebudayaan adiluhung. Walaupun gagasan ini banyak
ditentang oleh para Kiai yang lain, namun Hasyim Asy’ari tetap dalam
konsisten idealisme gagasannya.
Kemudian Hasyim Asy’ari memandang bahwa keberhasilan proses
belajar mengajar tidak lepas dari pendidikan akhlak atau moralitas. Menurut
Hasyim Asy’ari, moralitas merupakan pondasi yang utama dalam
pembentukan pribadi anak didik yang seutuhnya. Dengan demikian,
pendidikan yang mengarah pada terbentuknya pribadi yang memiliki akhlak
yang baik merupakan hal yang pertama yang harus dilakukan, sebab hal ini
akan melandasi kestabilan secara keseluruhan.13

11
Hasyim Asy’ari, Etika Pendidikan Islam, Terjemahan, hlm. 4,
12
Mukhrizal, Arif, Dkk, Pendidikan Pos Modernisme, hlm. 157,
13
Noor, R, M, K.H. Hasyim Asy’ari, Memodernisasi NU & Pendidikan Islam. (Jakarta:
Grafindo Khazanah Ilmu, 2010), hlm. 79,

7
Setelah mendirikan pondok Pesantren Tebu Ireng, KH. Hasyim
Asy’ari mewarnai lembaga pendidikannya dengan pandangan dan
metodologi tradisional. Ia banyak mengadopsi pendidikan Islam klasik
yang lebih mengedepankan aspek-aspek normatif, tradisi belajar-
mengajar, dan etika dalam belajar yang dipandangnya telah mengantarkan
umat Islam kepada zaman keemasan. Dalam karyanya, Adab al-‘Alim
wa-Al-Mutta’allim, KH. Hasyim Asy’ari terlihat banyak dipengaruhi oleh
tradisi pendidikan Islam klasik dan penulis-penulis klasik seperti Imam
al-Ghazali dan Al-Zarnuji.14
Namun hingga sekarang pesantren dan NU adalah pilar
tegaknya Islam tradsional, serta menjadi basis gerakan NU sejak masa
perjuangan melawan penjajah hingga zaman sekarang. Sampai saat ini
lembaga pendidikan pesantren masih tetap eksis dan survive dengan
segala kemajuan pembaharuan, seperti pondok pesantren Salafiyah
Syafi’iyyah, Institut Agama Islam Ibrahimy, Pondok Pesantren Nurul
Jadid, Institut Keislaman Hasyim Asy’ari, Pondok Pesantren Darul Ulum.
dll
Mungkin dengan pandangan seperti itulah yang melatarbelakangi
Hasyim Asy’ari menulis sebuah kitab yang sangat fenomenal dan masih
menjadi rujukan dan pendidikan, yaitu kitab Adab al-‘Alim wa al-
Muta’allim. Sebuah kitab yang terdiri dari delapan bab ini jika
diklasifikasikan akan menjadi tiga bagian, yaitu; kelebihan ilmu dan
ilmuwan, tanggung jawab dan tugas peserta didik, serta tanggung jawab dan
tugas pendidik.

C. Hasyim Asy’ari dan Karya-karyanya


Selain aktif mengajar, berda’wah, dan berjuang, disebutkan pula
oleh Kholil dalam bukunya yang berjudul “Kode Etik Guru; Menurut
Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dan Relevansinya Dalam

14
Anggaran Dasar NU Bab II Pasal 3 Tentang Azas dan Bab XII Pasal 24,
hal. 46.

8
Konteks Asy’ari juga merupakan seorang ulama yang aktif menulis. Karya-
karyanya yang ditulisnya banyak yang merupakan jawaban atas berbagai
masalah yang terjadi di masyarakat. Misalnya, ketika umat Islam banyak
yang kurang memahami dengan benar persoalan tauhid atau aqidah, Hasyim
Asy’ari lalu menyusun sebuah kitab tentang aqidah, di antaranya:
al-Qalaid fi Bayan ma Yajibu min al-‘Aqaid, ar-Risalah al-tauhidiyah,
Risalah Ahli Sunnah Wa al-jama’ah, al-Risalah fi al-Tasawuf, dan
sebagainya.
Selain itu Kholil menyebutkan bahwa Hasyim Asy’ari juga sering
menjadi kolumnis, khususnya majalah NU pada masa-masa awal. Biasanya,
tulisannya berisi jawaban-jawaban atas masalah-masalah fiqhiyah (hukum
islam) yang ditanyakan oleh masyarakat, seperti hukum memakai dasi pada
waktu itu, hukum mengajari tulisan kepada kaum wanita, hukum merokok,
dan lain-lain. Selain membahas masalah fiqhiyah, Hasyim Asy’ari juga
menuliskan nasehat-nasehat bagi kaum muslimin, seperti Maw’idz, do’a-
do’a untuk kalangan warga NU, keutamaan bercocok tanam, anjuran
menegakkan keadilan, dan sebagainya.15
Kholil meneybutkan beberapa karya-karya dari Hasyim Asy’ari
dalam bukunya yang berjudul “Kode Etik Guru; Menurut Hadrathus Syaikh
KH. M. Hasyim Asy’ari dan Relevansinya Dalam Konteks Pendidikan
Sekarang”. Di antaranya sebagai berikut:
1) Adab al-Alim wa al-Muta’alim fima yahtaj ilah al-Muta’alim fi
Ahawal Ta’alun wa ma Yataqaff al Mu’allim fi Maqamat
Ta’limih. Kitab tentang etika yang harus dimiliki seorang guru
dan murid. Kitab ini merupakan ikhtisar dari Adab al-Muallim
karya Syekh Muhammad ibn Sahnun (w. 256 H/ 871 M); Ta’lim
al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum karya Syekh Burhanuddin
al-Zarnuji (w. 591 H); dan Tadzkirat al-Saml wa al-Mutakallim
fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Syekh Ibn Jama’ah.

15
Kholil, M, Kode Etik Guru; Menurut Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dan
Relevansinya dalam Konteks Pendidikan Sekarang (Yogyakarta: Deepublish), hlm. 89,

9
Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia oleh
penulis dengan judul Etika Pendidikan Islam, diterbitkan tahun
2007 oleh penerbit Titian Wacana Press Yogyakarta).
2) Ziyadat Ta’liqat Radda fiha Mandhumat al-Staikh ‘abd Allah
bin yasin al-Fasurani Allati Bihujubiha ‘Ala Ahl Jamiyyah
Nahdlatul Ulama. Kitab bersisi bantahan Hasyim Asy’ari atas
penyataan Syekh Abdullah ibn Yasin Pasuruan yang dianggap
mendiskreditkan orang-orang NU).
3) Al-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna al-Maulid al-Munkarat.
Kitab berisi penjelasan seputar praktek perayaan Maulid Nabi
Saw.
4) Al-Risalat al-Jami’at, Sharh fina Ahwaal al-Mauta wa Asyirath
al-sa’at ma’ Baryan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah. Kitab
bersisi ulasan tentang alam kematian, tanda-tanda hari kiamat,
dan penjelasan seputar konsep sunnah dan bid’ah.
5) Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin bain fihi
Ma’na al-Mahabbah Lirasul Allah wa ma Yata’allaq biha Man
wa Ihya’ al-Sunnatih. Menjelaskan tentang hakikat mencintai
Rasulullah saw. Serta beberapa hal menyangkut konsep itba’
(mengikuti) dan ihya (memelihara) terhadap sunnah-sunnahnya.
6) Hasyiyah ‘ala Fath al-Rahman bi Syart Risalat al-Wali Ruslan li
Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshari. Kitab berisi penjelasan dan
catatan-catatan beliau terhadap kitab Risalat al-Waliya Ruslan
karya Syekh Zakariya al-Anshari)
7) Al-Duur al-Munktasirah fi Masail al-Tis’i Asyrat, Sharh fiha
Masalat al-Wilayah wa ma Yata’allaq min al-Umur al-
Muhimmah li Ahl al-Thariqah. Kitab yang mengulas 19
persoalan seputar tarekat dan hal-hal penting menyangkut para
pelaku tarekat. Pada tahun 1970-an kitab ini pernah
diterjemahkan oleh KH. Tholhah Mansoer atas perintah KH. M.
Yusuf Hasyim dan diterbitkan oleh percetakan Menara Kudus)

10
8) Al-Tibyan fi al-Nah’yan Muqathi’ah al-ikhwan, bain fih
Ahammiyat Shillas al-Rahim wa Dhurar Qath’iha. Kitab yang
menjelaskan pentingnya memelihara silaturahim dna bahaya
memutus silaturahim.
9) Al-Risalat al-Tauhidiyah, wahiyat Risalah Shaghirah fi Bayan
‘Aqidah Ahl Sunnah wa al-Jamaah. Kitab yang menjelaskan
pentingnya berpedoman kepada imam mahdzab
10) Al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min al-‘aqaid. Menjelaskan tentang
aqidah-aqidah wajib dalam Islam. 16

D. Pemikiran Pendidikan Etika K.H. Hasyim Asy’ari


Hasyim Asy’ari yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan
pesantren, serta banyak menuntut ilmu dan berkecimpung secara langsung
di dalamnya, di lingkungan pendidikan agama Islam khususnya. Dan semua
yang dialami dan dirasakan beliau selama itu menjadi pengalaman dan
mempengaruhi pola pikir dan pandangannya dalam masalah-masalah
pendidikan.17
Salah satu karya monumental Hasyim Asy’ari yang berbicara
tentang pendidikan adalah kitabnya yang berjudul Adab al Alim wa al
Muta’allim fima Yahtaj ilah al Muta’alim fi Ahuwal Ta’allum wama
Yataqaff al Mu’allim fi Maqamat Ta’limih (Etika Pengajar dan Pelajar
dalam hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pelajar selama belajar) yang
dicetak pertama kali pada 1415 H.18 Sebagaimana umunya kitab kuning,
terhadap masalah pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan
etika. Meski demikian, tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya.
Keahliannya dalam idang hadis ikut pula mewarnai isi kitab tersebut.
Sebagai bukti adalah dikemukakannya beberapa hadis sebagai dasar dari
penjelasannya, di samping beberapa ayat Al-Qur’an dan pendapat para

16
Hasyim Asy’ari, Etika Pendidikan Islam, hlm. 6-7
17
Mukhrizal, Arif, Dkk. Pendidikan Pos Modernisme. Hlm. 159
18
Muhammad, Rifai, KH. Hasyim Asy’ari: Biografi Singkat 1871-1947 (Jogjakarta: Garasi
House Book, 2010), hlm. 44-45

11
ulama.19 Pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih beliau tekankan
pada masalah etika dalam pendidikan, meski tidak menafikan beberapa
aspek pendidikan lainnya. Di antara pemikiran beliau dalam masalah
pendidikan adalah:
1. Signifikansi Pendidikan
Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah
mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan
manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang
harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : 
Pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu,
jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya
atau menyepelekannya.  Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu
hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi
semata.20
Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut diatas, dipengaruhi
oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu salah satu
persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau adalah
“niat yang baik dan lurus”. Belajar menurut Hasyim Asy’ari merupakan
ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk
memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus
diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan
hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan. Pendidikan hendaknya
mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju
kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu
mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma
Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus
maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan
sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam.21

19
Ramayulis dan Syamsul Nizar, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam: Mengenal Tokoh
Pendidikan di Dunia Islam dan Indonesia (Ciputat: Quantum Teaching, 2010), hlm. 206-207
20
Hasyim Asy’ari, Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, hlm. 4.
21
Mukhrizal, Arif, dkk, Pendidikan Pos Modernisme, hlm. 162.

12
2. Tugas dan Tanggung Jawab Murid
a) Etika yang harus diperhatikan dalam belajar
Pertama, etika bagi pencari ilmu (pelajar), setidaknya ada sepuluh
macam etika yang harus dimiliki seorang pencari ilmu (pelajar) 22 yaitu
sebagai berikut.
1. Membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan
keduniaan
2. Membersihkan niat, tidak menunda-nunda kesempatan belajar,
bersabar dan qanaah
3. Pandai mengatur waktu
4. Menyederhanakan makan dan minum
5. Berhati-hati (wara’)
6. Menghindari kemalasan
7. Menyedikitkan waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan
8. Meninggalkan hal-hal yang kurang berfaedah. 
Dalam hal ini terlihat, bahwa Hasyim Asy’ari lebih menekankan
kepada pendidikan ruhani atau pendidikan jiwa, meski demikian pendidikan
jasmani tetap diperhatikan, khususnya bagaimana mengatur makan, minum,
tidur dan sebagainya. Makan dan minum tidak perlu terlalu banyak dan
sederhana, seperti anjuran Rasulullah Muhammad saw. Serta jangan banyak
tidur, dan jangan suka bermalas-malasan. Banyakkan waktu untuk belajar
dan menuntut ilmu pengetahuan, isi hari-hari dan waktu yang ada dengan
hal-hal yang bermanfaat.23
b) Etika seorang murid terhadap guru
Selanjutnya yang kedua etika pelajar terhadap guru, ada sepuluh
macam24 sebagai berikut:
1. Hendaknya selalu memperhatikan dan mendengarkan guru
2. Memilih guru yang wara’
3. Mengikuti jejak guru
22
KH. Hasyim Asy’ari, Etika Pendidikan Islam, hlm. 21.
23
Mukhrizal, Arif, dkk, Pendidikan Pos Modernisme, hlm. 163
24
KH. Hasyim Asy’ari, Etika Pendidikan Islam, hlm. 27

13
4. Memuliakan dan memperhatikan hak guru
5. Bersabar terdapat kekerasan guru
6. Berkunjung pada guru pada tempatnya dan minta izin lebih dulu
7. Duduk dengan rapi bila berhadapan dengan guru
8. Berbicara dengan sopan dan lembut dengan guru
9. Dengarkan segala fatwa guru dan jangan menyela
pembicaraannya
10. Gunakan anggota kanan bila menyerahkan sesuatu pada guru.
Etika seperti tersebut di atas, masih banyak dijumpai pada
pendidikan pesantren sekarang ini, akan tetapi etika seperti itu sangat langka
di tengah budaya kosmopolit. Di tengah-tengah pergaulan sekarang, guru
dipandang sebagai teman biasa oleh murid-murid, dan tidak malu-malu
mereka berbicara lebih nyaring dari gurunya. Terlihat pula pemikiran yang
ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari lebih maju. Hal ini, misalnya terlihat dalam
memilih guru hendaknya yang profesional, memperhatikan hak-hak guru,
dan sebagainya.25
c) Etika murid terhadap pelajaran
Berikut etika belajar bagi pelajar, hendaknya seorang pelajar
memerhatikan sembilan etika26 sebagai berikut:
1. Memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu ‘ain
2. Berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama
3. Mendiskusikan dan menyetorkan hasil belajar pada orang yang
dipercaya
4. Senantiasa menganalisa dan menyimak ilmu
5. Bila terdapat hal-hal yang belum dipahami hendaknya
ditanyakan
6. Pancangkan cita-cita yang tinggi
7. Kemanapun pergi dan dimanapun berada jangan lupa membawa
catatan

25
KH. Hasyim Asy’ari, Etika Pendidikan Islam, hlm. 29
26
KH. Hasyim Asy’ari, Etika Pendidikan Islam, hlm. 46

14
8. Pelajari pelajaran yang telah dipelajari dengan continue
(istiqamah)
9. Tanamkan rasa antusias dalam belajar.
Penjelasan tersebut di atas seakan memperlihatkan akan sistem
pendidikan di pesantren yang selama ini terlihat kolot, hanya terjadi
komunikasi satu arah, guru satu-satunya sumber pengajaran, dan murid
hanya sebagai obyek yang hanya berhak duduk, dengar, catat dan hafal
(DDCH) apa yang dikatakan guru. Namun pemikiran yang ditawarkan oleh
Hasyim Asy’ari lebih terbuka, inovatif dan progresif. Beliau memberikan
kesempatan para santri untuk mengambil dan mengikuti pendapat para
ulama, tapi harus hati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama.
Hal tersebut senada dengan pemikiran beliau tentang masalah fiqh,
beliau meminta umat Islam untuk berhati-hati pada mereka yang mengklaim
mampu menjalankan ijtihad, yaitu kaum modernis, yang mengemukakan
pendapat mereka tanpa memiliki persayaratan yang cukup untuk berijtihad
itu hanya berdasarkan pertimbangan pikiran semata. Beliau percaya taqlid
itu diperbolehkan bagi sebagian umat Islam, dan tidak boleh hanya
ditujukan pada mereka yang mampu melakukan ijtihad. 27
3. Tugas Dan Tanggung Jawab Guru
a) Etika seorang guru
Tidak hanya murid yang dituntut untuk beretika. Apa artinya etika
diterapkan kepada murid, jika guru yang mendidiknya tidak mempunyai
etika. Oleh karena itu, Kiai Hasyim Asy’ari menawarkan beberapa etika
yang harus dimiliki oleh seorang guru,28 antara lain sebagai berikut.
1. Senantiasa mendekatkan diri pada Allah
2. Takut pada Allah, tawadhu’, zuhud dan khusu’
Bersikap tenang dan senantiasa berhati-hati
3. Mengadukan segala persoalan pada Allah
4. Tidak menggunakan ilmunya untuk meraih dunia

27
Mukhrizal, Arif, dkk. Pendidikan Pos Modernisme, hlm. 307
28
Kh. Hasyim Asy’ari, Etika Pendidikan Islam, hlm. 59

15
5. Tidak selalu memanjakan anak
6. Menghindari tempat-tempat yang kotor dan maksiat
7. Mengamalkan sunnah Nabi
8. Mengistiqamahkan membaca al- Qur’an
9. Bersikap ramah, ceria dan suka menabur salah
10. Menumbuhkan semangat untuk menambah ilmu
11. Membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas.
Catatan yang menarik dan perlu dikedepankan dalam membahas
pemikiran dan pandangan yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari adalah
etika atau statement yang terakhir, dimana guru harus membiasakan diri
menulis, mengarang dan meringkas, yang pada masanya jarang sekali
dijumpai. Dan hal ini beliau buktikan dengan banyaknya kitab hasil
karangan atau tulisan beliau.
b) Etika guru dalam mengajar
Ketika guru hendak mengajar perlu memerhatikan beberapa etika.
Dalam hal ini, K.H. Hasyim Asy’ari menawarkan gagasan tentang etika
guru ketika mengajar29
1. Jangan mengajarkan hal-hal yang syubhat
2. Mensucikan diri, berpakaian sopan dan memakai wewangian
3. Berniat beribadah ketika mengajar, dan memulainya dengan do’a
4. Biasakan membaca untuk menambah ilmu
5. Menjauhkan diri dari bersenda gurau dan banyak tertawa
6. Jangan sekali-kali mengajar dalam keadaan lapar, mengantuk
atau marah
7. Usahakan tampilan ramah, lemah lembut, dan tidak sombong
8. Mendahulukan materi-materi yang penting dan sesuai dengan
profesional yang dimiliki
9. Menasihati dan menegur dengan baik jika anak didik bandel
10. Bersikap terbuka terhadap berbagai persoalan yang ditemukan

29
KH. Hasyim Asy’ari, Etika Pendidikan Islam, hlm. 75

16
11. Memberikan kesempatan pada anak didik yang datangnya
terlambat dan ulangilah penjelasannya agar tahu apa yang
dimaksudkan
12. Beri anak kesempatan bertanya terhadap hal-hal yang belum
dipahaminya.
            Terlihat bahwa apa yang ditawarkan Hasyim Asy’ari lebih bersifat
pragmatis, artinya, apa yang ditawarkan beliau berangkat dari praktik yang
selama ini dialaminya. Inilah yang memberikan nilai tambah dalam konsep
yang dikemukakan oleh Bapak santri ini.Terlihat juga betapa beliau sangat
memperhatikan sifat dan sikap serta penampilan seorang guru.
Berpenampilan yang terpuji, bukan saja dengan keramahantamahan, tetapi
juga dengan berpakaian yang rapi dan memakai minyak wangi.
Agaknya pemikiran Hasyim Asy’ari juga sangat maju
dibandingkan zamannya, ia menawarkan agar guru bersikap terbuka, dan
memandang murid sebagai subyek pengajaran bukan hanya sebagai obyek,
dengan memberi kesempatan kepada murid-murid bertanya dan
menyampaikan berbagai persoalan di hadapan guru.30
c) Etika guru bersama murid
Etika guru terhadap siswa, 31
1. Berniat mendidik dan menyebarkan ilmu
2. Menghindari ketidak ikhlasan
3. Mempergunakan metode yang mudah dipahami anak
4. Memperhatikan kemampuan anak didik
5. Tidak memunculkan salah satu peserta didik dan menafikan yang
lain
6. Bersikap terbuka, lapang dada, arif dan tawadhu’
7. Membantu memecahkan masalah-masalah anak didik  Bila ada anak
yang berhalangan hendaknya mencari ihwalnya.

30
Mukhrizal, Arif, dkk. Pendidikan Pos Modernisme, hlm 308
31
KH. Hasyim Asy’ari, Etika Pendidikan Islam, hlm 85

17
           Kalau sebelumnya terlihat warna tasawufnya, khususnya ketika
membahas tentang tugas dan tanggung jawab seorang pendidik. Namun kali
ini gagasan-gagasan yang dilontarkan beliau berkaitan dengan etika guru
bersama murid menunjukkan keprofesionalnya dalam pendidikan. Hal ini
dapat dilihat dari rangkuman gagasan yang dilontarkannya tentang
kompetensi seorang pendidik, yang utamanya kompetensi profesional.
Hasyim Asy’ari sangat menganjurkan agar seorang pendidik atau
guru perlu memiliki kemampuan dalam mengembangkan metode dan
memberi motivasi serta latihan-latihan yang bersifat membantu murid-
muridnya memahami pelajaran. Selain itu, guru juga harus memahami
murid-muridnya secara psikologi, mampu memahami muridnya secara
individual dan memecahkan persoalan yang dihadapi murid, mengarahkan
murid pada minat yang lebih dicendrungi, serta guru harus bersikap arif.
Jelas pada saat Hasyim Asy’ari melontarkan pemikiran ini, ilmu
pendidikan maupun ilmu psikologi pendidikan yang sekarang beredar dan
dikaji secara luas belum tersebar, apalagi di kalangan pesantren. Sehingga
ke-genuin-an pemikiran beliau patut untuk dikembangkan selaras dengan
kemajuan dunia pendidikan.32
d) Etika Terhadap Buku, Alat Pelajaran dan Hal-hal Lain Yang
Berkaitan Dengannya.
Satu hal yang menarik dan terlihat beda dengan materi-materi yang
biasa disampaikan dalam ilmu pendidikan umumnya, adalah etika terhadap
buku dan alat-alat pendidikan. Kalaupun ada etika untuk itu, namun
biasanya hanya bersifat kasuistik dan seringkali tidak tertulis, dan seringkali
juga hanya dianggap sebagai aturan yang umum berlaku dan cukup
diketahui oleh masing-masing individu. Akan tetapi bagi Hasyim Asy’ari
memandang bahwa etika tersebut penting dan perlu diperhatikan.
Di antara etika tersebut adalah:
1. Menganjurkan untuk mengusahakan agar memiliki buku

32
Mukhrizal, Arif, dkk. Pendidikan Pos Modernisasi, hlm. 309-310

18
2. Merelakan dan mengijinkan bila ada kawan meminjam buku
pelajaran, sebaliknya bagi peminjam menjaga barang
pinjamannya
3. Memeriksa dahulu bila membeli dan meminjamnya
4. Bila menyalin buku syari’ah hendaknya bersuci dan
mengawalnya dengan basmalah, sedangkan bila ilmu retorika
atau semacamnya, maka mulailah dengan hamdalah dan shalawat
Nabi.33
Kembali tampak kejelian dan ketelitian beliau dalam melihat
permasalahan dan seluk beluk proses belajar mengajar. Etika khusus yang
diterapkan untuk mengawali suatu proses belajar adalah etika terhadap buku
yang dijadikan sumber rujukan, apalagi kitab-kitab yang digunakan adalah
kitab “kuning” yang mempunyai keistimewaan atau kelebihan tersendiri.
Agaknya beliau memakai dasar epistemologis, ilmu adalah Nur Allah, maka
bila hendak mempelajarinya orang harus beretika, bersih dan sucikan jiwa.
Dengan demikian ilmu yang dipelajari diharapkan bermanfaat dan
membawa berkah.
Pemikiran seperti yang dituangkan oleh Hasyim Asy’ari itu patut
untuk menjadi perhatian pada masa sekarang ini, apakah itu kitab “kuning”
atau tidak, misalnya kitab “kuning” yang sudah diterjemahkan, atau buku-
buku sekarang yang dianggap sebagai barang biasa, kaprah dan ada di
mana-mana. Namun untuk mendapatkan hasil yang bermanfaat dalam
belajar etika semacam di atas perlu diterapkan dan mendapat perhatian.
            Demikian sebagian dari pemikiran mengenai pendidikan yang
dikemukan oleh Hasyim Asy’ari. Kelihatannya pemikiran tentang
pendidikan ini sejalan dengan apa yang sebelumnya telah dikemukakan oleh
Imam Ghazali, misalnya saja, Hasyim Asy’ari mengemukakan bahwa tujuan
utama pendidikan itu adalah mengamalkannya, dengan maksud agar ilmu
yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan di
akhirat kelak. Imam Ghazali juga mengemukakan bahwa pendidikan pada

33
KH. Hasyim Asy’ari, Etika Pendidikan Islam, hlm. 95

19
prosesnya haruslah mengacu kepada pendekatan diri kepada Allah dan
kesempurnaan insani.34

E. Sistem Pendidikan di Masa Kiai Hasyim

Sejak awal berdirinya hingga tahun 1916, Pesantren Tebuireng


menggunakan sistem pengajaran sorogan dan bandongan. Semua bentuk
pengajaran tidak dibedakan dalam jenjang kelas. Kenaikan kelas
diwujudkan dengan bergantinya kitab yang telah selesai dibaca (khatam).
Materinya pun hanya berkisar pada materi Pengetahuan Agama Islam dan
Bahasa Arab. Bahasa pengantarnya adalah Bahasa Jawa dengan huruf pego
(tulisan Arab berbahasa Jawa).
Seiring perkembangan waktu, sistem dan metode pengajaran pun
ditambah, diantaranya dengan menambah kelas musyawaroh sebagai kelas
tertinggi. Santri yang berhasil masuk kelas musyawaroh jumlahnya sangat
kecil, karena seleksinya sangat ketat.
Dalam 20 tahun pertama pertumbuhan Tebuireng, Kiai Hasyim banyak
dibantu oleh saudara iparnya, KH. Alwi, yang pernah mengenyam
pendidikan 7 tahun di Mekah. Tahun 1916, KH. Ma’shum Ali, menantu
pertamanya, mengenalkan sistem klasikal (madrasah).
Sistem madrasah merupakan sistem pengajaran yang diadopsi oleh
Hadratusy Syeikh dari Mekah. Tahun 1916, Madrasah Tebuireng membuka
tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dan
kedua dinamakan sifir awal dan sifir tsani, yaitu masa persiapan untuk dapat
memasuki masrasah lima tahun berikutnya. Para peserta sifir awal dan sifir
tsani dididik secara khusus untuk memahami bahasa Arab sebagai landasan
penting bagi pendidikan madrasah lima tahun.35
Mulai tahun 1919, Madrasah Tebuireng secara resmi diberi nama
Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Kurikulumnya ditambah dengan materi

34
Mukhrizal, Arif, dkk. Pendidikan Pos Modernisme, hlm. 311
35
Muthohar, Ideologi Pendidikan Pesantren, (Semarang: Putra Rizki Putra, 2007), hlm. 55

20
Bahasa Indonesia (Melayu), matematika, dan geografi. Lalu setelah
kedatangan Kiai Ilyas tahun 1926, pelajaran ditambah dengan pelajaran
Bahasa Belanda dan Sejarah. Tahun 1928 kedudukan Kiai Maksum sebagai
kepala madrasah digantikan Kiai Ilyas, sedang Kiai Maksum sendiri
ditunjuk oleh Kiai Hasyim untuk mendirikan Pesantren Seblak (sekitar 200
meter arah barat Tebuireng).
Meskipun sistem pengajaran di Tebuireng sudah berkembang pesat,
namun tradisi pengajian yang diasuh Kiai Hasyim tetap bertahan. Apalagi
beliau terkenal sangat disiplin dan istiqamah mengaji. Para santri tidak
pernah bosan mengikuti pengajian beliau. 
Kegiatan mengajar Kiai Hasyim diliburkan dua kali dalam seminggu, yaitu
pada Hari Selasa dan Hari Jum’at. Kiai Hasyim biasanya memanfaatkan 2
hari libur itu untuk mencari nafkah. Beliau memantau perkembangan sawah
dan ladangnya yang berada kurang lebih 10 km sebelah selatan Tebuireng.
Beliau juga memberi kesempatan kepada para santri untuk mengadakan
kegiatan kemasyarakatan seperti jam’iyah. Sedangkan pada Hari Selasa,
selain pergi ke sawah Kiai Hasyim juga sering bersilaturrahim ke sanak
famili serta para santrinya yang mulai merintis pondok pesantren.
Hari libur ini dimanfaatkan oleh putranya, Abdul Wahid, untuk
memberikan pelajaran bahasa asing, Inggris dan Belanda, kepada para
santri. Meskipun pada awalnya Kiai Hasyim kurang setuju, namun Abdul
Wahid mampu meyakinkan bahwa materi bahasa asing sangat penting bagi
santri, sehingga Kiai Hasyim akhirnya membolehkan.
Pada bulan Ramadhan, Hadratus Syekh membacakan kitab Shahih
Bukhari (4 jilid) dan Shahih Muslim (4 jilid) secara rutin. Pengajian ini
dimulai pada tanggal 15 Sya’ban dan selesai pada tanggal 27 Ramadhan
(kurang lebih 40 hari). Salah seorang gurunya bahkan pernah ikut ngaji
kepada beliau. Menurut satu sumber, guru Kiai Hasyim yang pernah ngaji
ke Tebuireng adalah Kiai Kholil Bangkalan, dan menurut sumber lainnya
adalah Kiai Khozin Panji, Sidoarjo.

21
            Kiai Hasyim terkenal sebagai ulama yang mampu melakukan
penyaringan secara ketat terhadap sekian banyak tradisi keagamaan yang
dianggapnya tidak memiliki dasar-dasar dalam hadis dan ia sangat teliti
dalam mengamati perkembangan tradisi ketarekatan di pulau Jawa, yang
nilai-nilainya telah menyimpang dari kebenaran ajaran Islam.
Menurut hasyim Asy’ari, ia tetap mempertahankan ajaran-ajaran mazhab
untuk menafsirkan al-Qur’an dan hadis dan pentingnya praktek tarikat.36

F. Relevansi Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari dengan Pendidikan


Sekarang
 Relevansi pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari terhadap pendidikan
sekarang nampak pada munculnya berbagai lembaga yang dinaungi panji-
panji islam atau lebih dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren. Pesantren
sampai sekarang masih menjadi satu-satunya lembaga yang diharapkan
mampu melahirkan sosok ulama yang berkualitas, dalam arti mendalam
pengetahuan agamanya, agung moralitasnya dan besar dedikasi sosialnya.
Walaupun banyak corak dan warna profesi santri setelah belajar dari
pesantren, namun figur kiai masih dianggap sebagai bentuk paling ideal,
apalagi ditengah krisis ulama sekarang ini.
KH. Ilyas Rukyat (al-Maghfurlah) mengatakan, munculnya figur
santri sebagai seorang ulama masih menjadi harapan besar pesantren. Label
kiai tidak bisa diberikan oleh pesantren, tapi oleh masyarakat setelah
melihat ilmu, moral, dan perjuangannya ditengah masyarakat. Santri
tersebut mampu menyampaikan gagasan-gagasan besar dengan bahasa
sederhana yang bisa dipahami dan dilaksanakan masyarakat luas.
Memang harus diakui, saat ini, alumni pesantren yang mampu
muncul sebagai seorang kiai berkualitas baik dalam ilmu, moral, dan
dedikasi sosialnya sedikit jumlahnya. Modernisasi pesantren mempengaruhi
visi seorang santri dalam melihat masa depannya. Banyak dari mereka yang
berkeinginan menjadi seorang birokrat, kaum professional, intelektual, dan

36
Muthohar, Ideologi pendidikan pesantren, hlm. 56-57

22
wirausahawan. Ragam profesi yang mereka sandang ini menunjukkan
elastisitas dan fleksibelitas pesantren dalam membentuk generasi masa
depan bangsa. Namun, fenomena kelangkaan ulama menjadi masalah serius
yang menarik diperbincangkan. Identitas pesantren sebagai lembaga
tafaqquh fiddin (pendalaman ilmu agama) dipertanyakan banyak pihak.
Menurut KH. MA. Sahal Mahfudh, semangat santri dalam mengkaji dan
mengembangkan ilmu sekarang jauh dibanding santri zaman dulu. Sehingga
pesantren sekarang semakin sulit melahirkan ulama besar. Menurutnya,
figur santri yang mendalam pemahaman aqidah dan syari’ah masih menjadi
figur ideal ditengah goncangan pemikiran keislaman yang passifsekarangini.
Disinilah tantangan besar pesantren, bagaimana memadukan visi melahirkan
seorang kiai yang berkualitas di satu sisi dan mengakomodir modernisasi
tanpa kehilangan identitasnya sebagai lembaga tafaqquh fiddin disisi yang
lain.37
Modernisasi kehidupan yang menyentuh semua aspek kehidupan
akibat revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi meniscayakan semua pihak
untuk meresponnya secara aktif dan kontekstual. Masalah-masalah
kontemporer yang datang silih berganti menuntut partisipasi aktif pesantren
untuk ikut memberikan kontribusi maksimal agar mampu memandu gerak
dinamika sejarah dengan nilai-nilai sucinya. Seorang kiai atau santri dituntut
untuk aktif mengikuti perkembangan informasi dan melakukan revitalisasi
tradisi intelektualnya untuk merumuskan jawaban-jawaban sederhana yang
aplikatif bagi aneka macam problem kontemporer tersebut. Disinilah letak
relevansi dan aktualitas pesantren ditengah moderasi kehidupan.
Kalau pesantren tidak mampu merespons masalah kontemporer
dengan khazanah intelektualnya, maka krisis keilmuan pesantren akan
berimbas pada krisis identitas santri dalam menatap masa depannya. Krisis
identitas ini akan menurunkan kepercayaan diri santri dalam mengarungi
masa depannya. Efeknya, semangat santri dalam mengkaji khazanah

37
Kholil, M. Kode Etik Guru; Menurut Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan
Relevansinya Dalam Konteks Pendidikan Sekarang, hlm. 80-81

23
intelektual dan wacana kontemporer sebagai modal aktualisasi diri ditengah
kehidupan sosial menjadi rendah.
Inilah masalah serius yang harus segera ditanggulangi. Karena
kebutuhan akan lahirnya ulama masa depan yang berkualitas sudah sangat
mendesak supaya kehidupan dunia modern tidak berjalan tanpa kontrol dan
over action. Akhirnya, kita berharap pesantren mampu menjawab kritik
pedas selama ini tentang kelangkaan ulama yang berkualitas tinggi, bukan
sekedar ulama biasa. Yang perlu diyakini, pesantren mampu melakukan
tugas sucinya ini dengan kerja keras menuju keridloan Allah Swt.38

38
Kholil, M. Kode Etik Guru; Menurut Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan
Relevansinya Dalam Konteks Pendidikan Sekarang, hlm. 82-83

24
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hasyim Asy’ari telah mencontohkan dirinya sebagai figur yang
terjun ke setiap lini kehidupan masyarakat demi mensyiarkan syiar Islam.
Dengan pendidikan pesantren beliau ingin menghapus kebodohan, dengan
organisasi koperasinya beliau ingin menyejahterakan umat, dan dengan
mengakui kemajemukan sebagai realitas sosial-budaya dan sosial-politik
bangsa ini beliau ingin menunjukkan bahwa menjungjung persatuan dan
kesatuan adalah ciri-ciri mencintai tanah air, adalah bagian dari keimanan.
Inilah nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan islam.

B. Saran
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi para pembaca. Walaupun
masih banyak kekurangannya, namun ini yang bisa penyusun sajikan untuk
berbagi ilmu dan wawasan terkait tema yang dibahas di atas. Kami selaku
penyusun makalah ingin memberikan saran kepada para pembaca agar
lebih banyak menggali lagi tentang tema bahasan diatas. Karena
bahasan diatas penting sekali untuk diketahui dan dipahami, terlebih
lagi untuk mahasiswa, guru dan akademisi.

25
DAFTAR PUSTAKA

Anggaran Dasar NU Bab II Pasal 3 Tentang Azas dan Bab XII Pasal 24,
hal. 46.

Hasyim Asy’ari, Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim,

Taufik Abdullah, Agama dan Perubahan Sosial,


(Jakarta: Rajawali Press,1983)

KH. Hasyim Asy’ari, Etika Pendidikan Islam, Terjemahan.

Greg Barton, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of


Abdurrahman Wahid,

(Yogyakarta: LKIS, 2002)

Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai: Kasus Pondok Pesantren Tebu Ireng,


(Malang: Kalimasada Press, 1983)

Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di indonesia


(Jakarta: Raja Grafindo, 2005)

Mukhrizal, Arif, Dkk, Pendidikan Pos Modernisme,

(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016)

Hasyim Asy’ari, Etika Pendidikan Islam, Terjemahan,

Noor, R, M, K.H. Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU & Pendidikan Islam.

(Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2010)

Muthohar, Ideologi Pendidikan Pesantren,


(Semarang: Putra Rizki Putra, 2007)

26
Kholil, M, Kode Etik Guru; Menurut Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim
Asy’ari dan Relevansinya dalam Konteks Pendidikan Sekarang
(Yogyakarta: Deepublish, 2010)

Muhammad, Rifai, KH. Hasyim Asy’ari: Biografi Singkat 1871-1947


(Jogjakarta: Garasi House Book, 2010)

Ramayulis dan Syamsul Nizar, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam:


Mengenal Tokoh Pendidikan di Dunia Islam dan Indonesia
(Ciputat: Quantum Teaching, 2010)

Kuniawan, Syamsul dan Mahrus Erwin, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan


Islam (Yogyakarta: AR Ruzz Media, 2016)

Arifin, Kepemimpinan Kyai, hlm. 72

Mukhrizal, Arif, Dkk, Pendidikan Pos Modernisme,

(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016)

  

  

27

Anda mungkin juga menyukai