Anda di halaman 1dari 16

KEPEMIMPINAN K.H.

HASYIM ASY’ARI ; RESOLUSI JIHAD 22


OKTOBER 1945

Dosen : Ir. Sahala Benny Pasaribu, Ph. D.,


Oleh :
BELLA AKBAR (21202060)
Program Studi Magister Manajemen Universitas Trilogi – Jakarta
Email : bella.akbar4@gmail.com

ABSTRAK
Kepemimpinan merupakan bagaimana seseorang mampu memberikan
dampak kepada seseorang sehingga mencapai tujuan yang di inginkan
pemimpin tersebut. Seseorang kelahiran gedang Jawa Timur yang berasal
dari darah biru dan putih, mampu meberikan sebuah dampak yang begitu
besar bagi bangsa Indonesia, yaitu K.H. Muhammad Hasyim Asy'ari, beliau
merupakan seseorang yang memiliki jiwa juang sangat tinggi terutama
dalam peran memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan
mempertaruhkan harta bahkan nyawa. Tujuan dari penelitian ini untuk
mengetahui bagaiman sosok dari K.H. Hasyim Asy'ari mempunyai peran
yang begitu besar bagi bangsa Indonsia. Dalam penelitian ini menggunakan
metode metode library research atau penelitian pustaka. Peneliti akan
mengumpulkan beberapa data berupa literatur yang berkaitan dengan sosok
K.H. Hasyim Asy'ari yang sangat berpengaruh terhadap bangsa Indonesia
melalui telaah dari buku, catatan,jurnal, dan laporan lain. Berdasarkan
penelitian K.H. Hasyim Asy'ari membangkitkan semangat juang masyarakat
Indonesia dengan mengeluarkan fatwa berjihad di jalan Allah merupakan
sebuah hal yang wajib bagi umat Islam terutama dalam mempertahankan
kemerdekaan. Sehingga bangkitlah semangat juang Fisabilliah yang
menggerakan berbamasyarakat Indongai golongan seperti halnya, laskar
Hizbullah, Sabililah, PETA, dan para Ulama.

Kata Kunci : K.H. Hasyim Asy'ari, Kepemimpinan, Resolusi Jihad

1
ABSTRACT
Leadership is how a person is able to have an impact on someone so as to achieve
the desired goal of the leader. Someone who was born in Gedang, East Java, who
came from blue and white blood, was able to have such a big impact on the
Indonesian nation, namely K.H. Muhammad Hasyim Asy'ari, he is someone who
has a very high fighting spirit, especially in the role of fighting for Indonesian
independence by risking wealth and even life. The purpose of this study is to find
out how the figure of K.H. Hasyim Asy'ari has such a big role for the Indonesian
people. In this study using library research methods or library research. Researchers
will collect some data in the form of literature related to the figure of K.H. Hasyim
Asy'ari who was very influential on the Indonesian nation through a review of books,
notes, journals and other reports. Based on the research of K.H. Hasyim Asy'ari
raised the fighting spirit of the people
Indonesia by issuing a fatwa for jihad in the way of Allah is an obligation for
Muslims, especially in maintaining independence. So that the Fisabilliah fighting
spirit arose which moved the Indongai community, groups such as the Hezbollah
army, Sabililah, PETA, and the Ulama.

Keywords: K.H. Hasyim Asy'ari, Leadership, Jihad Resolution

2
A. PENDAHULUAN
Nama lengkap K.H Hasyim Asy'ari adalah Muhammad Hasyim. Meskipun
demikian, nama Asy'ari diambil dari nama ayahnya, K.H. Asy'ari, yang juga
merupakan pengasuh Pondok Pesantren Desa Keras di Jombang. Keturunan K.H.
Hasyim Asy'ari berasal dari penguasa Kerajaan Islam Demak, Sultan Pajang, atau
Jaka Tingkir, putra Brawijaya VI, penguasa Kerajaan Majapahit pada tahun 1600-
an. Di nggedang, di utara Jombang, ayahnya bernama Asy'ari membantu gurunya
dan mertuanya, Kiai Utsman.
Pada usia enam tahun, Hasyim mulai mengaji bersama orang tuanya di Desa
Keras dekat Jombang, tempat ayahnya pindah pada tahun 1876. Ia mulai berpindah
dari satu pesantren ke pesantren lain di jawa timur dan Madura ketika ia berumur
lima belas tahun. Ia mulai belajar di pesantren kiai Ya'qub di Sidoarjo pada tahun
1891. Pada tahun yang sama, ia menikah dengan anak gurunya. Pada tahun yang
sama, ia pergi ke Mekkah, di mana ia belajar selama tujuh tahun, termasuk dengan
syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabaui. Setelah kembali ke Indonesia, ia segera
mendirikan pesantren di tebu ireng dengan tujuh murid pertama. Beberapa bulan
kemudian, jumlah murid bertambah menjadi dua puluh delapan orang. Dengan
waktu, pengaruhnya semakin meluas, menarik santri dan para kiai. Pada bulan
Sya'ban, para kiai mengunjunginya selama sebulan untuk belajar, menunjukkan
penghargaan atas kealimanya. Dia membeli tanah dari seorang dalang terkenal di
daerah itu dan membangun pesantren ini sendiri.
Luas bangunan pesantrennya adalah sepuluh meter persegi. Itu dibagi
menjadi dua bagian, satu untuk siswa belajar dan yang lain untuk kiai yang
mengajar. K.H. Hasyim Asy'ari sepenuhnya bertanggung jawab atas pembiayaan
kegiatan pesantren dengan berusaha mengembangkan pertanian dan berdagang
dalam skala kecil. Ini adalah tanda kemandirian pesantren.
Pendirian pesantren K.H. Hasyim awalnya menghadapi rintangan dan
gangguan dari masyarakat setempat. Kebiasaan baru di pesantren membuat mereka
tidak senang, dan karena itu K.H. Hasyim memutuskan untuk memberikan pelatihan
bela diri kepada santrinya dengan mendatangkan para kiai dari Cirebon yang ahli
dalam seni bela diri. Gangguan ini berlangsung selama kurang lebih lima tahun.
Hubungan antara desa dan pesantren berangsur membaik setelah itu.

3
Pendirian pesantren tebu ireng menunjukkan penentangan langsung terhadap
teknologi barat yang berdampak buruk terhadap tingkah laku dan pemikiran
masyarakat pribumi. Pengaruh K.H. Hasyim semakin meluas, tidak hanya pada para
santri yang belajar di tempatnya, tetapi juga pada masyarakat daerah jawa timur
secara keseluruhan. Banyak santri yang telah memperoleh pengetahuan agamanya
di pesantren lain mendaftar ke pesantren tebu ireng untuk melanjutkan pendidikan
mereka di sana.
Tidak diragukan lagi bahwa kapasitas keilmuan K.H. Hasyim Asy’ari sangat
tinggi sebagai salah satu pendiri Ponpes Tebu Ireng dan Jam’iyyah Nahdatul Ulama.
Selain itu, ia disebut sebagai "Hamba Ilmu", yang berarti bahwa ia tidak pernah
merasa lapar karena mencari ilmu. Hasilnya, masa muda K.H. Hasyim Asy’ari
banyak dihabiskan untuk belajar dari pesantren ke pesantren hingga ke Mekah, yang
dianggap sebagai tempat terbaik untuk mendapatkan pendidikan pada masa itu,
terutama dalam hal agama. Menurut Imam Al-Ghozali, tujuan utama dari
pendidikan untuk orang muslim adalah keluhuran rohani, keutamaan Jiwa,
kemuliaan Akhlak, dan keperibadian yang kuat. Karena akhlak adalah komponen
penting dalam kehidupan individu, masyarakat, dan negara.
Beramal dan berakhlak dengan Akhlak yang Agung adalah salah satu
metode mengajar yang paling penting, paling agung, dan paling signifikan yang
digunakan oleh Rosululloh SAW. Jika dia memerintahkan sesuatu, beliaulah yang
pertama melakukannya, dan orang lain mencontoh dan mengamalkannya sesuai
dengan pandangan mereka. Sebagai seorang ulama, pemikiran K.H. Hasyim Asy'ari
masih relevan dan penting karena pemikirannya masih sangat dibutuhkan oleh
negara dan Negara Indonesia hingga saat ini. Relevansi pemikiran K.H. Hasyim
Asy'ari tersebut terutama terkait dengan keyakinannya yang moderat terhadap
agama.
Untuk membangun toleransi yang kuat di Indonesia dan mencegah
perpecahan yang disebabkan oleh perbedaan pendapat, sikap moderat ini harus
dihargai. Dalam melihat perbedaan dengan cara yang seimbang atau tawazun, K.H.
Hasyim Asy'ari memiliki dua sikap yang layak di teladani: tasamuh dan tawasuth.
Selain itu, perhatian K.H. Hasyim Asy'ari terhadap teradisi budaya adalah
pemikiran yang layak diteladani. Dia mengajarkan kepada kita betapa pentingnya

4
memperhatikan tradisi budaya yang ada di Indonesia, yang penuh dengan
keragaman, dan kemudian menggabungkannya dengan nilai-nilai Islam. Nilai-nilai
Islam tidak terlepas dari akhlak Islam; Akhlak Islam hanya dapat ditemukan dalam
Al-Qur'an dan Assunah, bersama dengan kisah hidup Rosululloh saw. Karena Al-
Qur'an dan Assunah adalah satu-satunya sumber akhlak yang sempurna. Mengingat
bahwa Rosululloh saw. adalah teladan bagi semua orang Muslim, pendidikan akhlak
dalam Islam tidak dapat dilakukan tanpa mempelajari sifat-sifatnya. Semakin tinggi
moral dan akhlak suatu bangsa, lebih baik bangsa yang bersangkutan. Dengan
demikian, akhlak dan moral sangat terkait dengan keberadaan pendidikan agama
karena sesuatu yang dianggap baik oleh agama dan masyarakat juga dianggap buruk
oleh agama dan masyarakat.

B. RUMUSAN MASALAH
Dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
a. Bagaiaman Perjalanan Hidup K.H. Hasyim Asy’ari?
b. Apa Peran Kepemimpinan K.H. Hasyim Asy’ari dalam Resolusi Jihad?

C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan Penelitian sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui Perjalanan Hidup K.H. Hasyim Asy’ari
b. Untuk Mengetahui Peran Kepemimpinan K.H. Hasyim Asy’ari dalam
Resolusi Jihad

D. MANFAAT PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan, dan manfaat adalah sebagai referensi
bagi seluruh pihak atau masyarakat untuk meneladani hidup K.H Hasyim Asy'ari,
memahami peran kepemimpinan dalam resolusi jihad, dan sebagai acuan untuk
penelitian selanjutnya.

E. METODE PENELITIAN
Penelitian ini melibatkan penelitian pustaka atau penelitian pustaka. Peneliti
akan mengumpulkan data melalui telaah buku, catatan, web, jurnal, dan laporan
yang berkaitan dengan kepemimpinan K.H. Hasyim Asy'ari dalam resolusi jihad.

5
Semakin berkembangnya teknologi elektronika membuat pengumpulan data sebagai
dasar penulisan menjadi lebih mudah bagi peneliti. Karena banyaknya media
elektronik dan media sosial, peneliti menggunakan Google, mesin pencari data
gratis yang mudah diakses. Penulis harus mempertimbangkan kemutakhiran dan
relevansi sumber bacaan saat menggunakannya. Penelitian pustaka biasanya
dilakukan di perpustakaan dengan menggunakan literatur penelitian sebelumnya,
laporan, dan buku. Penelitian pustaka mencakup beberapa gagasan dan teori yang
saling berkaitan dengan data yang diperoleh dari sumber. Namun, berkat kemajuan
teknologi saat ini, penelitian literatur dapat dilakukan melalui akses internet ke
sumber daya yang dapat dipercaya.

F. HIPOTESA PENELITIAN
Hipotesa penelitian tentang kepemimpinan K.H. Hasyim Asy'ari dalam
resolusi jihad dapat dirumuskan sebagai berikut: "Kepemimpinan K.H. Hasyim
Asy'ari memiliki peran penting dalam meresolusi jihad dalam konteks perjuangan
kemerdekaan Indonesia dengan mempengaruhi dan memobilisasi umat Islam untuk
berpartisipasi aktif dalam perjuangan tersebut." Hipotesa ini dapat membuka diskusi
dan penyelidikan lebih lanjut tentang peran kepemimpinan K.H. Hasyim Asy'ari
dalam konteks perjuangan kemerdekaan Indonesia dan pengaruhnya terhadap
resolusi jihad pada waktu itu.

G. PEMBAHASAN
1.1.Biografi K.H. Hasyim Asy'ari
Nama K.H. Hasyim Asy'ari adalah Muhammad Hasyim Asy'ari, dan dia
lahir di Gedang pada tanggal 24 Dzulqa'dah 1287 Hijriah atau 14 Februari 1871
Masehi. Dia meninggal karena penyakit tekanan darah tinggi pada tanggal 7
Ramadhan 1366 H/25 Juli 1947 M.
K.H. Hasyim Asy'ari adalah putra dari pasangan Kyai Muhammad Asy'ari
dan Ibu Halimah. Kyai Muhammad Asy'ari berasal dari Demak, yang terkenal
dengan kemajuan Ilmu Agamanya, dan menyantri di Gedang di bawah asuhan Kyai
Utsman. Kyai Utsman memiliki putri bernama Halimah, dan karena Kyai
Muhammad Asy'ari rajin, baik, dan pintar, Kyai Utsman menjodohkannya dengan
putrinya sendiri, yang menghasilkan Kyai Hasyim Asy'ari.

6
Keluarga Kyai Hasyim Asy'ari berasal dari kalangan kyai agung Jawa dan
Bangswan. Ayahnya bernama Asy'ari, yang mendirikan pesantren Keras di
Jombang, dan kakeknya, Kyai Usman, adalah kyai terkenal yang mendirikan
pesantren Gedang pada akhir abad ke-19. Pendiri pesantren Tambakberas, Jombang,
adalah Kyai Sihah, moyang Hasyim Asy’ari.
Selain itu, garis keturunan ibunya adalah sebagai berikut: Muhammad
Hasyim Asy’ari bin Halimah binti Layyinah binti Sichah bin Abdul Jabbar bin
Ahmad bin Pangeran Sambo bin Pangeran Banawa bin Jaka Tingkir (juga dikenal
sebagai Mas Karebet) bin Prabu Brawijaya VI, yang juga dikenal sebagai Lembu
Peteng. Putra ketiga dari pasangan Kyai Muhammad Asy'ari dan Ibu Halimah, K.H.
Hasyim Asy'ari adalah putra ketiga dari ke-10 saudaranya: Nafi'ah, Ahmad Saleh,
Radjah, Hasan, Anis, Fathanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi, dan Adnan.
K.H. Hasyim Asy'ari tinggal degan di pesantren kakeknya sampai dia enam
tahun. Kemudian ayahnya mengajaknya pindah ke Jombang, sebuah pesantren yang
keras yang didirikan oleh ayahnya. Di Jombang, Kyai Hasim Asy'ari mempelajari
Al-Qur'an dan kitab-kitab klasik, serta literatur Islam lainnya, yang diajarkan oleh
ayahnya sendiri. Selama di sana, dia terlihat sangat rajin dan rajin, termasuk dengan
anak-anaknya sendiri. Menginjak umur 15 tahun, dia terus mencari ilmu agama
dengan berkelana. Dia mulai dari pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren
Langitan di Tuban, dan Pesantren Trenggilis di Semarang. Dia juga nyantri di
pondok pesantren Kademangan di Bangkalan di bawah asuhan Kyai Kholil. Namun,
dia tidak lama tinggal di sana, dan pindah ke pesantren Siwalan di bawah asuhan
Kyai Ya'qub, di mana dia tinggal sekitar 5 tahun.
Setelah memperoleh pengetahuan agama yang cukup, dia terus mempelajari
agamanya di Mekkah, saat dia naik Haji untuk pertama kalinya bersama istrinya.
Jadi, dia menghabiskan waktunya untuk belajar dari ulama besar seperti Syekh
Muhammad Nawawi al-Bantani, Syekh Khotib al-Minangkabawi, dan Syekh
Syu'aib bin Abdurrahman.
K.H. Hasyim Asy'ari kembali ke Mekkah untuk melakukan ibadahnya yang
kedua pada tahun 1893. Dia pergi dengan adiknya, Anis. Pada kesempatan ini, dia
juga mencari ilmu lagi dengan berguru pada Syekh Mahfud Al-Tarmasy, putra Kiai
Abdullah, yang memimpin Pesantren Tremas Pacitan di Jawa Timur. Syekh Mahfud

7
Al-Tarmasy dikenal sangat ahli dalam Ilmu Hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari, sehingga K.H. Hasyim Asy'ari dikirim oleh Syekh Mahfud untuk mengajar
Hadis Shohih Bukhori. Selain itu, Syekh Mahfud bin Abdurrahman al-Tarmasy
mengajarkan Ilmu Syari'at, Sastra, dan tradisi kontemporer.
K.H. Hasyim Asy'ari sangat ingin belajar dan sangat rajin belajar, sehingga
dia mendapatkan banyak ilmu dari guru-gurunya, yang mempengaruhi pemikiran
dan pengetahuannya tentang agama Islam, sehingga ketika dia membuat keputusan
tentang suatu masalah, dia menggunakan dasar dan pemikiran yang sesuai dengan
ajaran agama.

1.2. Jiwa Kepemimpinan K.H. Hasyim Asy'ari


Di daerah Cukir Jombang, K.H. Hasyim Asy'ari mendirikan pesantren pada
tahun 1906. Dengan uang pribadinya, dia membeli tanah untuk membangun
pesantren Tebuireng. Tanah seluas 10 meter persegi dibagi menjadi dua, satu untuk
kyai dan satu lagi untuk santri. Kyai membiayai pembangunan dengan uang yang
dia kumpulkan sendiri dari bercocok tanam dan bergadang. K.H. Hasyim Asy'ari
memulai pendidikan di pesantren Tebuireng dengan meminta izin kepada ayahnya
untuk membawa delapan santri untuk diasuh. Ayahnya mengizinkannya dan santri-
santri tersebut memiliki keilmuan agama yang baik. Setelah itu, K.H. Hasyim
Asy'ari menjadikan santri-santri tersebut sebagai pengajar di pesantren Tebuireng.
Di sinilah dia memulai perjuangan pendidikannya dengan sistem pesantren.
Namun, masyarakat di daerah ini sebagian besar tidak beragama dan tidak beradat
istiadat, sehingga banyak orang merampok, minum-minuman keras, bermain judi,
dan berzina, yang sangat tidak berperikemanusiaan. Prinsip K.H. Hasyim Asy'ari
adalah bahwa "menyiarkan Agama Islam itu sama halnya memperbaiki moral yang
belum baik, apabila moral sudah baik apalagi yang perlu diperbaiki", sehingga
semangatnya untuk mendirikan pesantren terus berkobar dalam situasi tersebut.
Pada dasarnya, prinsipnya adalah agar masyarakat di sekitar pondok pesantren dan
santri-santri yang tinggal di sana mempunyai akhlak yang baik. Setelah santri pulang
ke rumah, mereka masing-masing dapat mengamalkan apa yang mereka pelajari di
pesantren dan diterapkan di masyarakat dengan cara yang sesuai dengan ajaran
Islam. Mereka juga melakukan tindakan hanya dengan tujuan mendapatkan ridho

8
Allah SWT daripada mengejar harta, pangkat, atau kekuasaan.
K.H. Hasyim Asy'ari juga menanamkan rasa nasionalisme dan semangat
perjuangan untuk melawan penjajah. Dia juga menanamkan harga diri sebagai umat
Islam yang setara dengan penjajah, bahkan lebih tinggi dari mereka.Pada tahun
1913, KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa untuk bergabung dengan tentara
hukumya Haram di Belanda, membuat masyarakat Indonesia dan musuhnya
menyegani sikap tegas dan kerasnya. Sifat ini membuat Belanda marah sehingga
membakar pesantrennya.
Pada tahun 1935, K.H. Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa lagi tentang
propaganda pelayanan Haji yang murah untuk kaum Muslimin di daerah jajahannya.
Pada Muktamar NU ke-10 di Banjarmasin, beliau menolak dengan tegas ini. Pada
tahun 1937, semua orsmas Islam di Indonesia bersatu untuk membentuk federasi
partai dan perhimpunan Islam, termasuk NU, Muhammadiyah, dan PSII.
Kesepakatan ini disebut MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia), dan K.H. Hasyim
Asy'ari menjadi ketua MIAI.
Dalam topik lain, K.H. Hasyim Asy'ari juga berkontribusi pada
penggabungan MIAI dengan gerakan nasionalisme Indonesia. Akibatnya, terbentuk
federasi politik yang disebut GAPI (Gabungan Politik Indonesia). Tujuan dari
federasi ini adalah untuk menuntut Belanda untuk menempatkan perwakilan rakyat
yang reprentatif (Indonesia Berparlemen) untuk rakyat pribumi. Saat Belanda
berusaha menghentikan tekad dan perjuangan KH. Hasyim Asy'ari, dia tetap teguh
dalam membela tanah airnya, dengan menegaskan bahwa membela tanah air adalah
kewajiban bangsa Indonesia.
Selain itu, Beliua mengeluarkan fatwa agar orang Islam menolak tanggung
jawab militer dan pemerintahan Belanda dalam upaya mempersiapkan diri untuk
melawan penjajah Jepang pada tahun 1940-an. Dia juga mengatakan bahwa tidak
boleh mendonorkan darah untuk keperluan perang Belanda. Perjuangan beliau tidak
hanya itu; dia terus mendorong orang Muslim untuk membela tanah air mereka.
Dengan semangat Jihad yang menggelora, dia kemudian secara rahasia membentuk
pasukan laskar Jihad dari santri militan untuk masuk ke Pembela Tanah Air (PETA),
yang didirikan oleh Abdul Khalid pada tahun 1913. Kemudian mereka membentuk
barisan Sabilillah dan laskar Hizbullah pada tahun 1944. Laskar Hizbullah terdiri

9
dari remaja yang membawa semboyan "Ala Inna Hizballahi Hum al-Ghalibun",
yang berarti "Wahai Sesungguhnya Golongan Allah-lah Golongan yang Menang."
Di sisi lain, laskar Sabilillah terdiri dari orang-orang alim yang membawa semboyan
"Waman Yujahid fi Sabilillah", yang berarti "Mereka yang Berjuang di Jalan Allah."
Pada masa penjajahan Jepang, K.H. Hasyim Asy'ari tetap teguh dalam
perjuangannya untuk nasionalisme religius dan melawan Jepang. Dia mengeluarkan
fatwa yang melarang dan melarang pemaksaan saikeirei Jepang, termasuk
pembungkukan tubuh di depan istana kaisar Jepang dengan cara yang mirip dengan
ruku dalam sholat. Tujuan dari penolakan ini adalah untuk mencegah kemusyrikan.
K.H.Hasyim Asy'ari, putranya, dan rekan-rekannya dipenjara oleh Jepang karena
sekapnya terhadap mereka. Reaksi tegas KH. Hasyim Asy'ari menyebabkan
kemarahan Jepang, yang menyebabkan dia dipenjara. Sebagai informasi, dia
ditransfer dari penjara di Jombang, Mojokerto, ke Bubutan, Surabaya. Perbuatan
Jepang terhadap KH. Hasyim Asy'ari sangat kejam; jari tangannya patah sehingga
dia tidak bisa bergerak.
Pada bulan Agustus 1942, K.H. Hasyim Asy'ari dibebaskan karena Jepang
menganggap tindakan yang dilakukan itu salah karena menimbulkan
ketidaksesuaian antara warga NU dan beberapa ulama. Selama K.H. Hasyim Asy'ari
di penjara, kegiatan di pondok pesantren tidak berjalan dengan baik. Beberapa
aktivitas pendidikan dihentikan karena keprihatinan terhadap K.H. Hasyim Asy'ari.
Selain itu, sebelum dipenjara, KH. Hasyim Asy'ari juga mengeluarkan fatwa untuk
menentang penjajah, mengharamkan berpakaian seperti penjajah Belanda atau
Jepang.
Setelah membentuk PETA dan meminta anggota berjihad di jalan Allah,
KH. Hasyim Asy'ari memerintahkan agar PETA dijadikan pusat pelatihan dan
pendidikan militer. Golongan politik lain, seperti MIAI dan MASYUMI, juga
berpartisipasi dalam perlawanan tersebut dan membantu pasukan Islam dalam
menuju kejayaannya. Sepirut perjuangan ulama dan umat Islam menimbulkan
kekuatan yang begitu besar bagi umat Islam, sehingga gerakan perlawanan itu
berlangsung kuat sampai jepang akhirnya menyerah kepada sekutu pada 17 Agustus
1944. Ketika peristiwa itu terjadi, orang muda Indonesia meminta Soekarno dan
Hatta untuk segera mengumumkan kemerdekaan. Di halam rumah Soekarno di Jalan

10
Pagangsaan Timur No. 56 di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945, hanya dua orang
Indonesia yang membacakan teks proklamasi.
Setelah mendengar berita bahwa pasukan sekutu akan kembali, keadaan
menjadi buruk. Soekarno mengirimkan utusan untuk bertemu dengan KH. Hasyim
Asy'ari untuk meminta saran tentang cara masyarakat Indonesia dapat
mempertahankan kemerdekaannya melawan penjajah yang akan kembali. karena
NICA, administrasi sipil Belanda India, yang didirikan oleh pemerintah Belanda,
akan membonceng tentara Sekutu yang dipimpin Inggris yang berusaha melakukan
agresi ke Jawa (Surabaya) dengan tujuan mengurus interniran dan tawanan Jepang.
Setelah kejadian ini, K.H. Hasyim Asy'ari memanggil Kiai Wahab Hasbullah, Kiai
Bisri Syamsuri, dan konsul NU di Jawa Madura untuk bermusyawarah tentang
masalah yang ada dan mencari jalan keluar. Pertemuan ini diadakan di kantor PBNU
di Bubutan, Surabaya, pada tanggal 21 dan 22 Oktober 1945. Selain itu, Panglima
Laskar Hizbullah dan zainul Arifin menghadiri pertemuan tersebut, yang dipimpin
oleh kyai Wahab Hasbullah, dan mencapai keputusan berikut:
Pertama, fardlu "ain bagi setiap orang yang berada dalam radius 94 kilometer
dari episentrum pendudukan penjajah. Fatwa "fardlu "ain" dalam Islam mengacu
pada kewajiban yang harus dilakukan setiap pagi oleh setiap orang yang sudah
mukallaf atau aqil baligh. Kedua, menjadi fardlu kifayah bagi penduduk yang
tinggal di luar radius tersebut. Namun, statusnya dapat dinaikkan menjadi fardlu
"ain" dalam situasi tertentu dan darurat. Fardlu kifayah adalah kewajiban yang
menjadi gugur apabila dilakukan oleh individu dalam komunitas.
Fatwa Resolusi Jihad Fi Sabilillah ini segera disebarkan melalui masjid,
musalla, dan gethuk tular alias. Karena alasan politik, radio dan surat kabar tidak
menyiarkan Resolusi Jihad ini. Sebaliknya, Resolusi Jihad yang disampaikan
kepada Pemerintah Republik Indonesia disiarkan melalui surat kabar. Kemudian,
dengan bantuan konsul NU yang hadir di rapat, fatwa fisabillah didistribusikan ke
daerah-daerah. Di sisi lain, salinan jihad fisabillah dikirim ke Soekarno, yang
merupakan pemimpin peran Republik Indonesia, dan ke markas besar Hizbullah dan
Sabilillah. Oleh karena itu, informasi tentang jihad fisabillah tersebar ke seluruh
Indonesia, dan orang-orang dari seluruh Indonesia berbondong-bondong menuju
Surabaya. Melalui pidatoonya di radio, Bung Tomo mendorong rakyat dengan

11
keluarnya fatwa jihad fisabilah tersebut. Rekomendasi dari KH. M. Hasyim Asyari
saat Bung Tomo berkunjung ke kediaman Kiai Hasyim di Tebuireng, menghasilkan
lantunan takbir yang mengiringi pidatonya. Hanya ada dua penggerak massa yang
Kiai Hasyim anggap berpengaruh dengan suara menggelegar dan memikat: Bung
Karno dan Bung Tomo. Kiai Hasyim merekomendasikan agar radio menayangkan
lantunan takbir sebagai penutup pidato mereka.
Pasukan sekutu, dipimpin oleh Brigadir Jendral A.S.W. Mallaby, akhirnya
tiba di pelabuhan ujung Surabaya. Setelah tiba di Surabaya, mereka mendirikan pos-
pos untuk melindungi kota pada tanggal 26 Oktober 1945. Karena masyarakat
Surabaya sudah bersemangat untuk berjihad sejak tanggal 22 Oktober 1945, merka
menjadi marah, dan pada tanggal 26 Oktober 1945, pasukan sekutu melakukan
kepung besar-besaran sampai tanggal 27–28–29 Oktober 1945. Pada tanggal 30
Oktober 1945, lenan Brigadir Jendral A.S.W. Mallaby tewas. Setelah kejadian
tersebut, Jendral Philip Cristison, atasan Brigadir Jendral A.S.W. Mallaby, menjadi
marah dan meminta masyarakat Surabaya untuk menyerahkan pembunuh Brigadir
Jendral A.S.W. Mallaby dan senjata ilegal mereka kepada sekutu. Mayor Jendral
E.R. Mansergh juga melanjutkan ultimatum ini. Jika masyarakat Surabaya tidak
melakukannya pada tanggal 9 November 1945 pada sore hari, kota Surabaya akan
dibunuh. Sebenarnya, mental para pejuang dan rakyat Surabaya tidak hancur oleh
ultimatum tentara Inggris. Tidak ada satu pun orang di kota Surabaya yang tidur dari
malam 9 Nopember hingga dinihari 10 Nopember 1945. Mereka membangun
barikade untuk menutup jalan dan menghentikan pasukan musuh bergerak, dan
mereka bersiap untuk pertempuran keesokan harinya.
Dengan Resolusi Jihad ini, semangat nasionalisme warga Indonesia
meningkat, mendorong mereka untuk bertempur sampai Indonesia menjadi negara
yang merdeka sepenuhnya. Jenderal Sudirman dimotivasi untuk memulai perang
gerilya dan mendorong pejuang di wilayah lain untuk mengusir Belanda dari
Indonesia karena semangat Resolusi Jihad yang berhembus kencang dalam
perlawanan 10 November 1945. Tragedi yang disebabkan oleh Resolusi Jihad
menunjukkan konsekuensi yang dimiliki Resolusi Jihad terhadap bangsa Indonesia.
Pertama, dampak di tingkat politik; kemudian, dampak di tingkat militer. Secara
politik, resolusi Jihad memberikan legitimasi untuk membela bangsa dan negara

12
secara agama. Secara militer, itu memberikan semangat Jihad Fi Sabilillah kepada
siapa pun yang bertempur di Surabaya saat itu. Salah satu peristiwa terburuk dalam
sejarah Indonesia adalah resolusi jihad. Oleh karena itu, semangat perlawanan
semakin meningkat karena sudah menjadi darah bangsa Indonesia, terutama bagi
umat Islam yang harus membawa senjata. Karena dukungan para kiai, barisan
kekuatan yang berusaha mewaspadai penjajah semakin kuat.

1.3.Kelebihan Dan Kekurangan K.H. Hasyim Asy’ari


Sebagai seorang pemimpin, KH. Hasyim Asy'ari memiliki pandangan yang
khas tentang jihad dan menggunakan resolusi jihad sebagai salah satu alat dalam
memperjuangkan tujuan organisasinya. Berikut adalah beberapa kekuatan dan
kelemahan kepemimpinan KH. Hasyim Asy'ari dalam resolusi jihad:
Kekuatan kepemimpinan KH. Hasyim Asy'ari dalam resolusi jihad :
1. Konsistensi dengan prinsip Islam: KH. Hasyim Asy'ari adalah seorang
ulama yang sangat mengenal ajaran Islam dan memahami prinsip-prinsip
jihad dalam konteksnya. Kekuatan utamanya adalah kemampuannya dalam
mengartikan dan menerapkan prinsip-prinsip jihad secara akurat sesuai
dengan ajaran agama Islam.
2. Penekanan pada jihad defensif: KH. Hasyim Asy'ari memandang jihad
sebagai upaya pertahanan dan perlindungan terhadap ancaman terhadap
agama dan umat Muslim. Kekuatan kepemimpinannya terletak pada
penekanan yang tegas pada jihad defensif, yang menghindarkan NU dari
aksi-aksi kekerasan yang tidak berdasar.
3. Komitmen terhadap perdamaian: Meskipun mengakui pentingnya jihad, KH.
Hasyim Asy'ari juga menekankan pentingnya perdamaian. Ia berusaha
memastikan bahwa jihad yang dijalankan oleh NU selalu berlandaskan pada
prinsip-prinsip keadilan dan perdamaian, serta menghindari kekerasan yang
tidak perlu.
4. Penggunaan jihad sebagai sarana pendidikan dan pemurnian: Salah satu
kekuatan kepemimpinan KH. Hasyim Asy'ari adalah pemahaman dan
penerapannya tentang jihad sebagai sarana pendidikan dan pemurnian diri.

13
Ia melihat jihad sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran keagamaan,
moralitas, dan kualitas spiritual individu dan masyarakat.

Kelemahan kepemimpinan KH. Hasyim Asy'ari dalam resolusi jihad:


1. Konteks politik yang kompleks: KH. Hasyim Asy'ari hidup dalam konteks
politik yang kompleks, termasuk masa penjajahan dan perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Dalam menghadapi situasi ini, kadang-kadang ada
kelemahan dalam memahami dan menavigasi dinamika politik saat itu, yang
mungkin mempengaruhi strategi dan keputusan yang diambilnya terkait
jihad.
2. Pengaruh eksternal: Dalam konteks perjuangan politik dan keagamaan,
kepemimpinan KH. Hasyim Asy'ari tidak terlepas dari pengaruh dan tekanan
dari luar. Pengaruh politik dan kepentingan eksternal mungkin
mempengaruhi cara dan prioritas yang ditetapkan dalam resolusi jihad.
3. Tantangan dalam mengelola perbedaan pendapat: NU adalah organisasi
yang heterogen dengan anggota yang memiliki beragam pandangan dan
pemahaman tentang jihad. Mengelola perbedaan pendapat dan mencapai
konsensus mungkin merupakan tantangan bagi kepemimpinan KH. Hasyim
Asy'ari dalam meresolusi jihad.
4. Kendala sumber daya: Jihad dapat melibatkan sumber daya fisik, finansial,
dan manusia yang signifikan. Keterbatasan sumber daya dapat menjadi
kendala bagi kepemimpinan KH. Hasyim Asy'ari dalam menjalankan
resolusi jihad secara efektif dan efisien.

H. KESIMPULAN
Semua orang tahu siapa KH. Hasyim Asy'ari, bahkan orang-orang dari
berbagai organisasi Islam yang sebelumnya tidak setuju dengan pemikirannya.
Namun, pemikirannya menginspirasi dan diterima sebagai landasan untuk bersikap
terhadap kekuatan saat itu. Ketika dia masih kecil dan bermain dengan teman-
temannya, K.H. Hasyim Asy'ari sudah menunjukkan sifat kepemimpinannya.
Ketika teman-temannya bertengkar, dia yang memisahkan mereka dan memberi
tahu mereka bahwa hal itu tidak baik. Selain itu, beliau juga merupakan pemimpin

14
yang memiliki semnagat berjuang baik dalam hal religius maupun nasionalisme,
seperti yang terlihat ketika beliau membangun pondok pesantren di tengah
masyarakat yang sangat keras kepala, di mana mayoritas orang berperilaku sesuka
mereka, seperti zina, minuman keras, dan perjudian, tetapi semangat belau untuk
memperbaiki masyarakat tidak luntur, Selain itu, selama aktifnya pondok pesantren
Tebuireng, dia menanamkan nasionalisme kepada murid-muridnya untuk
menentang penjajah dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dia juga sangat
nasionalis sehingga membentuk dan memimpin berbagai ormas di Indonesia. Pada
saat itu, sangat penting untuk mendorong masyarakat Indonesia untuk bangkit dan
memperjuangkan kemerdekaan. Meskipun mereka mengumumkan kemerdekaan,
setelah beberapa bulan diberitahu bahwa Jepang akan kembali dengan membonceng
sekutu, mereka dengan cepat mengumpulkan semua warganya. Untuk
menyelesaikan jihad, ulama dan konsul-konsul Nahdlatul Ulama berkumpul dan
mengeluarkan rekomendasi untuk berjihad di jalan Allah, yang merupakan
kewajiban bagi umat Islam di seluruh Indonesia. Dengan demikian, KH. Hasyim
Asy'ari memiliki sifat kepemimpinan yang kuat, tanggung jawab, komitmen
kebangsaan, dan wawasan kenegaraan yang luas sebagai bukti cintanya kepada
negara. Selain itu, dia mengambil keputusan melalui musyawarah.

15
DAFTAR PUSTAKA
Baso, Ahmad ,Agus Sunyoto, Rijal Mummaziq. (2017). KH. HASYIM
ASY’ARI PENGABDIAN SEORANG KYAI UNTUK NEGRI. Jakarta:
Museum Kebangkitan Nasional.
Khuluq, Lathifu. Fajar Kebangunan Ulama Biografi K.H. Hasyim Asy'ari.
Jogjakarta: LKiS.Nurhadi, Rofi. (2017). Pendidikan Nasionalisme-
Agamis dalam Pandangan K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim
Asyfari. CAKRAWALA. Vol. XII, No. 2.
Rifai,Mohammad. (2009). K.H. Hasyim Asy'ari Biografi Singkat. 1871-
1947. Jogjakarta :Garasi.
Rijal Fadli, Muhammad, Ajat Sudrajat. (2020). KEISLAMAN DAN
KEBANGSAAN: TELAAH PEMIKIRAN KH. HASYIM ASY’ARI.
Khazanah. Vol. 18 (1).
Rijal Fadli, Muhammad. (2019). DARI PESANTREN UNTU
NEGERI:KIPRAH KEBANGSAAN KH. HASYIM ASY’ARI. Jurnal
Islam NUsantara. Vol. 03 No. 02. p. 307-338.
Saputra, Saputra. (2019). RESOLUSI JIHAD : NASIONALISME KAUM
SANTRI MENUJU INDONESIA MERDEKA. Jurnal Islam
NUsantara. Vol. 03 No. 01. p. 205-237. 201.
Sholikah, Nurotun Mumtahanah. (2021). KONSTRIBUSI KEBANGSAAN
KIAI HASYIM ASY’ARI: Membangun Relasi Harmonis Islam dan
Indonesia. Akademika. Volume 15. Nomor 1.

16

Anda mungkin juga menyukai