Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH SKI

“KH. HASYIM ASY’ARI”

Disusun Oleh :
Nama : Yogi Ferdian Winanda
Kelas : 9D
No : 25

MTsN 6 Sleman Yogyakarta


Rogoyudan, Sinduadi, Kec. Mlati, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
TAHUN PELAJARAN 2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN

Sejak pertengahan abad ke-19 telah banyak para pemuda


Indonesia yang belajar di Mekkah dan Madinah untuk menekuni agama
Islam di pusat-pusat studi di Timur Tengah, terutama di Mekkah,
karena di sana banyak bertebaran berbagai literatur ke-Islaman.
Realitas ini sangat memungkinkan bagi mereka untuk mencapai tingkat
pengetahuan yang lebih luas serta pandangan yang lebih terbuka
mengenai sosok Islam.
Diantara mereka yang berhasil dalam mengkaji Islam adalah
Syekh Nawawi al Bantani dari Banten, Jawa Barat, Syekh Mahfudz
Attarmisi dari Pacitan Jawa Timur, serta Syekh Ahmad Chatib Sambas
dari Kalimantan. Kesuksesan mereka ini ditandai dengan kedalaman
ilmu yang mereka miliki, hal ini bukan saja diakui oleh masyarakat
Tanah Suci Mekkah saja, tapi juga diakui oleh masyarakat Arab pada
umumnya.
Ketokahan K. H. Hasyim Asy’ari sering kali dicampurkan dalam
persoalan sosial politik. Hal ini dapat dipahami karena sebagian dari
sejarah kehidupan K. H. Hasyim Asy’ari juga dihabiskan untuk merebut
kedaulatan bangsa Indonesia melawan hegemoni kolonial Belanda dan
Jepang. Lebih-lebih organisasi yang didirikannya, Nahdatul Ulama,
pada masa itu cukup aktif melakukan usaha-usaha sosial politik.
Akan tetapi, K. H. Hasyim Asy’ari sejatinya merupakan tokoh
yang piawai dalam gerakan dan pemikiran kependidikan. Sebagaimana
dapat disaksikan bahwa K. H. Hasyim Asy’ari bisa dikategorikan
sebagai generasi awal yang mengembangkan sistem pendidikan
pesantren, terutama di Jawa.

BAB II
BIOGRAFI KH. HASYIM ASY’ARI

A. KELAHIRAN DAN MASA KECIL


Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari lahir pada hari Selasa
Kliwon, 24 Dzulqa’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Februari
1871 M di Desa Gedang, satu kilometer sebelah utara Kota Jombang,
Jawa Timur. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari berasal dari Demak, Jawa
Tengah. Ibunya bernama Halimah, puteri Kiai Utsman, pendiri
Pesantren Gedang.
Dilihat dari garis keturunan itu, beliau termasuk putera
seorang pemimpin agama yang berkedudukan baik dan mulia. KH .M.
Hasyim Asy’ari merupakan keturunan kesepuluh dari Prabu Brawijaya
VI (Lembupeteng). Garis keturunan ini bila ditelusuri lewat ibundanya
sebagai berikut: Muhammad Hasyim bin Halimah binti Layyinah binti
Sihah bin Abdul Jabar bin Ahmad bin Pangeran Sambu bin Pangeran
Nawa bin Joko Tingkir alias Mas Karebet bin Prabu Brawijaya VI. Ada
yang mengatakan bahawa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau
Damarwulan dari perkahwinannya dengan Puteri Champa lahirlah
Lembu Peteng(BrawijayaVII).
Semenjak masih anak-anak, Muhammad Hasyim dikenal cerdas
dan rajin belajar. Mula-mula beliau belajar agama dibawah bimbingan
ayahnya sendiri. Otaknya yang cerdas menyebabkan ia lebih mudah
menguasai ilmu-ilmu pengetahuan agama, misalnya: Ilmu Tauhid, Fiqih,
Tafsir, Hadits dan Bahasa Arab. Karena kecerdasannya itu, sehingga
pada umur 13 tahun ia sudah diberi izin oleh ayahnya untuk mengajar
para santri yang usianya jauh lebih tua dari dirinya.
Disamping cerdas, Hasyim kecil juga dikenal rajin bekerja.
Watak kemandirian yang ditanamkan sang kakek, mendorongnya untuk
berusaha memenuhi kebutuhan diri sendiri tanpa bergantung kepada
orang lain. Itu sebabnya, Hasyim kecil selalu memanfaatkan waktu
luangnya untuk belajar mencari nafkah dengan bertani dan berdagang.
Hasilnya kemudian dibelikan kitab dan digunakan untuk bekal menuntut
ilmu.
B. MENCARI ILMU
Kemauan yang keras untuk mendalami ilmu agama, menjadikan
diri Muhammad Hasyim sebagai musyafir pencari ilmu.Kerinduan akan
tanah suci mengetuk hati Kiai Hasyim untuk pergi ke kota Mekah. Pada
tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke Mekah.
Kiai Hasyim juga rajin menemui ulama-ulama besar untuk belajar
dan mengambil berkah dari mereka. Guru-guru Kiai Hasyim selama di
Mekkah, antara lain: Syeikh Syuaib ibn Abdurrahman, Syekh Mahfudzh
at-Turmusi, Syekh Khatib al-Minagkabawi, Syekh Ahmad Amin al-
Athar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said al-Yamani, Syekh Rahmatullah,
dan Syekh Bafaddhal.
Sejumlah sayyid juga menjadi gurunya, antara lain: Sayyid Abbas
al-Maliki, Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani, Sayyid Abdullah al-
Zawawi, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas, Sayyid Alwi al-Segaf,
Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi, dan Sayyid Husain al-Habsyi
yang saat itu menjadi mufti di Makkah. Di antara mereka, ada tiga
orang yang sangat mempengaruhi wawasan keilmuan Kiai Hasyim, yaitu
Sayyid Alwi bin Ahmad al-Segaf, Sayyid Husain al-Habsyi, dan Syekh
Mahfudzh al-Turmusi.
Setelah ilmunya dinilai mumpuni, Kiai Hasyim dipercaya untuk
mengajar di Masjidil Haram bersama tujuh ulama Indonesia lainnya,
seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Anmad Khatib al-Minakabawi,
dll. Di sana beliau mempunyai banyak murid dari berbagai negara.
Diantaranya ialah Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay,
India), Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Mekkah), Al-Syihab Ahmad
ibn Abdullah (Syiria), KH. Abdul Wahhab Hasbullah (Tambakberas,
Jombang), K.H.R. Asnawi (Kudus), KH. Dahlan (Kudus), KH. Bisri
Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH. Shaleh (Tayu).
Sepulangnya ke tanah air beliau tinggal di Kediri selama beberapa
bulan. Menurut sumber lainnya, Kiai Hasyim langsung menuju
pesantren Gedang yang diasuh oleh Kiai Usman, dan tinggal di sana
membantu sang kakek. Setelah itu beliau membantu ayahnya, Kiai
Asy’ari, mengajar di Pondok Keras.
KH. M. Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama yang luar biasa.
Hampir seluruh kiai di Jawa mempersembahkan gelar “Hadratus Syekh”
yang artinya “Maha Guru” kepadanya, karena beliau adalah seorang
ulama yang secara gigih dan tegas mempertahankan ajaran-ajaran
madzhab. Dalam hal madzhab, beliau memandang sebagai masalah yang
prinsip, guna memahami maksud sebenarnya dari Al Quran dan Hadits.
Sebab tanpa mempelajari pendapat ulama-ulama besar khususnya Imam
Empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali, maka hanya akan
menghasilkan pemutar balikan pengertian dari ajaran Islam itu sendiri.

C. PENDIRIAN PESANTREN TEBUIRENG


Dalam rangka mengabdikan diri untuk kepentingan umat, maka
KH. Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren Tebuireng, Jombang pada
tahun 1899 M. Dengan segala kemampuannya, Tebuireng kemudian
berkembang menjadi “pabrik” pencetak kiai. Sehingga pemerintah
Jepang perlu mendata jumlah kiai di Jawa yang “dibikin” di Tebuireng.
Pada tahun 1942 Sambu Bappang (Gestapo Jepang) berhasil menyusun
data tentang jumlah kiai di Jawa mencapai dua puluh lima ribu kiai.
Kesemuanya itu merupakan alumnus Tebuireng.
Dari sini dapat dilihat betapa besar pengaruh Tebuireng dalam
pengembangan dan penyebaran Islam di Jawa pada awal abad XX.
Ribuan kiai di Jawa hampir seluruhnya hasil didikan Tebuireng. Karena
itu tidaklah heran bila kemudian juga tumbuh ribuan pesantren dipimpin
para kiai yang gigih mempertahankan madzhab. semua itu dapat
dipahami sebagai hasil pengabdian Hadratus Syekh Kiai Haji
Muhammad Hasyim Asy’ari dalam perjalanan yang cukup panjang.

D. PENDIDIK SEJATI
Selain mumpuni dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli
dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran,
memutuskan persoalan-persoalan aktual kemasyarakatan, dan
mengarang kitab. Pada tahun 1919, ketika masayarakat sedang dilanda
informasi tentang koperasi sebagai bentuk kerjasama ekonomi, Kiai
Hasyim tidak berdiam diri. Beliau aktif bermuamalah serta mencari
solusi alternatif bagi pengembangan ekonomi umat, dengan berdasarkan
pada kitab-kitab Islam klasik. Beliau membentuk badan semacam
koperasi yang bernama Syirkatul Inan li Murabathati Ahli al-Tujjar.
Kiai Hasyim juga dikenal sangat mencintai para santri. Keadaan
ekonomi bangsa yang masih sangat lemah, secara otomatis
mempengaruhi kemampuan ekonomi santri. Ada yang mondok hanya
dengan bekal sekarung beras, bahkan ada yang tanpa bekal sedikitpun.
Kecintaan Kiai Hasyim pada dunia pendidikan terlihat dari pesan
yang selalu disampaikan kepada setiap santri yang telah selesai belajar
di Tebuireng: ”Pulanglah ke kampungmu. Mengajarlah di sana, minimal
mengajar ngaji.”

E. SEPAK TERJANG KH. HASYIM DILUAR DUNIA PESANTREN


Pengabdian Kiai Hasyim bukan saja terbatas pada dunia
pesantren, melainkan juga pada bangsa dan negara. Sumbangan beliau
dalam membangkitkan semangat nasionalisme dan patriotisme pada saat
jiwa bangsa sedang terbelenggu penjajah, tidaklah bisa diukur dengan
angka dan harta. Memang cukup sulit mengelompokkan mana yang
pengabdian terhadap agama, dan yang mana pula pengabdian beliau
terhadap bangsa dan negara. Sebab ternyata kedua unsur itu saling
memadu dalam diri Kiai Hasyim. Di satu pihak beliau sebagai pencetak
ribuan ulama atau kiai di seluruh Jawa, di lain pihak belaiu seringkali
ditemui tokoh-tokoh pejuang nasional seperti Bung Tomo maupun
Jenderal Soedirman guna mendapatkan saran dan bimbingan dalam
rangka perjuangan mengusir penjajah.
Pada akhir April 1942, KHM. Hasyim Asy’ari ditangkap dan
dijebloskan ke dalam penjara di Jombang. Hal ini disebabkan karena
beliau menentang kebijakan jepang dalam menerapkan budaya ‘
saikerei’ di tanah air. Kemudian beliau dipindah ke Mojokerto, dan
akhirnya ditawan bersama-sama serdadu Sekutu di dalam penjara
Bubutan, Surabaya.
Selama dalam tawanan Jepang, Kiai Hasyim disiksa habis-habisan
hingga jari-jemari kedua tangannya remuk dan tak lagi bisa digerakkan.
Namun berkat pertolongan Allah, kekejaman dan kebiadaban tentara
Jepang itupun luluh karena serbuan damai ribuan santri dan unjuk rasa
para kiai alumni Tebuireng. Beberapa kiai dan santri meminta
dipenjarakan bersama-sama Kiai Hasyim sebagai tanda setia kawan dan
pengabdian kepada guru dan pemimpin mereka yang saat itu telah
berusia 70 tahun. Peristiwa itu cukup membakar dunia pesantren dalam
memulai gerakan bawah tanah menentang dan menghancurkan Jepang.
Pihak pemerintah Jepang agaknya mulai takut, hingga kemudian pada 6
Sya’ban 1361 H bertepatan dengan tanggal 18 Agustus 1942, Kiai
Hasyim dibebaskan.
Pada tanggal 7 Ramadlan 1366 bertepatan dengan tanggal 25 Juli
1947, KHM. Hasyim Asy’ari berpulang ke Rahmayullah. Atas jasa
beliau, pemerintah Indonesia menganugerahi gelar “Pahlawan
Nasional”.

BAB III
KARYA KH.HASYIM ASY’ARI
Disamping aktif mengajar, berdakwah, dan berjuang, Kiai
Hasyim juga penulis yang produktif. Beliau meluangkan waktu untuk
menulis pada pagi hari, antara pukul 10.00 sampai menjelang dzuhur.
Waktu ini merupakan waktu longgar yang biasa digunakan untuk
membaca kitab, menulis, juga menerima tamu.
Karya-karya Kiai Hasyim banyak yang merupakan jawaban atas
berbagai problematika masyarakat. Misalnya, ketika umat Islam banyak
yang belum faham persoalan tauhid atau aqidah, Kiai Hasyim lalu
menyusun kitab tentang aqidah, diantaranya Al-Qalaid fi Bayani ma
Yajib min al-Aqaid, Ar-Risalah al-Tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah Wa
al-Jama’ah, Al-Risalah fi al-Tasawwuf, dan lain sebagainya.
Kiai Hasyim juga sering menjadi kolumnis di majalah-majalah,
seperti Majalah Nahdhatul Ulama’, Panji Masyarakat, dan Swara
Nahdhotoel Oelama’. Biasanya tulisan Kiai Hasyim berisi jawaban-
jawaban atas masalah-masalah fiqhiyyah yang ditanyakan banyak orang,
seperti hukum memakai dasi, hukum mengajari tulisan kepada kaum
wanita, hukum rokok, dll. Selain membahas tentang masail fiqhiyah,
Kiai Hasyim juga mengeluarkan fatwa dan nasehat kepada kaum
muslimin, seperti al-Mawaidz, doa-doa untuk kalangan Nahdhiyyin,
keutamaan bercocok tanam, anjuran menegakkan keadilan, dll.
Diantara karya beliau adalah :
1. Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-
Ikhwan. Berisi tentang tata cara menjalin silaturrahim, bahaya dan
pentingnya interaksi sosial (1360 H).
2. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdhatul
Ulama. Pembukaan undang-undang dasar (landasan pokok) organisasi
Nahdhatul Ulama’ (1971 M).
3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al-
Arba’ah. Risalah untuk memperkuat pegangan atas madzhab empat.
4. Mawaidz (Beberapa Nasihat). Berisi tentang fatwa dan peringatan
bagi umat (1935).
5. Arba’in Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jam’lyah Nahdhatul
Ulama’. Berisi 40 hadis Nabi yang terkait dengan dasar-dasar
pembentukan Nahdhatul Ulama’.
6. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin (Cahaya pada
Rasul), ditulis tahun 1346 H.
7. At-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat .
Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang
dicampuri dengan kemungkaran, tahun 1355 H.
8. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat as-
Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’a h. Risalah Ahl Sunnah
Wal Jama’ah tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian, tanda-
tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan bid’ah.
9. Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin al-
Fasuruani. Catatan seputar nazam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan.
Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasir.
10. Dhau’ul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah . Cahayanya lampu yang
benderang menerangkan hukum-hukum nikah. Berisi tata cara nikah
secara syar’i; hukum-hukum, syarat, rukun, dan hak-hak dalam
perkawinan.
11. Ad-Durrah al Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘Asyarah. Mutiara yang
memancar dalam menerangkan 19 masalah. Tahun 1970-an kitab ini
diterjemahkan oleh KH Tholhah Mansoer atas perintah KH. M. Yusuf
Hasyim, diterbitkan oleh percetakan Menara Kudus.
12. Al-Risalah fi al-’Aqaid. Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid,
pernah dicetak oleh Maktabah an-Nabhaniyah al-Kubra Surabaya,
bekerja sama dengan percetakan Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir
tahun 1356 H/1937 M.
13. Al-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang tashawuf;
penjelasan tentang ma’rifat, syariat, thariqah, dan haqiqat. Ditulis
dengan bahasa Jawa.
14. Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaju ilaih al-Muta’allim fi
Ahwal Ta’limih wama Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi Maqat Ta’limih .
Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar
dan pendidik, merupakan resume dari Adab al-Mu’allim karya Syekh
Muhammad bin Sahnun (w.256 H/871 M); Ta’lim al-Muta’allim fi
Thariq at-Ta’allum karya Syeikh Burhanuddin al-Zarnuji (w.591 H);
dan Tadzkirat al-Saml wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-
Muta’allim karya Syeikh Ibn Jama’ah.
Selain kitab-kitab tersebut di atas, terdapat beberapa naskah manuskrip
karya KH Hasyim Asy’ari yang hingga kini belum diterbitkan. Yaitu:
1. Hasyiyah ‘ala Fath ar-Rahman bi Syarh Risalah al-Wali Ruslan li
Syeikh al- Islam Zakariya al-Anshari.
2. Ar-Risalah at-Tawhidiyah.
3. Al-Qala’id fi Bayan ma Yajib min al-Aqa’id
4. Al-Risalah al-Jama’ah
5. Tamyiz al-Haqq min al-Bathil
6. Al-Jasus fi Ahkam al-Nuqus
7. Manasik Shughra

BAB IV
PEMIKIRAN KEPENDIDIKAN KH.M. HASYIM ASY’ARI
Hasyim Asy’ari yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan
pesantren, serta banyak menuntut ilmu dan berkecimpung secara
langsung di dalamnya, di lingkungan pendidikan agama Islam
khususnya. Dan semua yang dialami dan dirasakan beliau selama itu
menjadi pengalaman dan mempengaruhi pola pikir dan pandangannya
dalam masalah-masalah pendidikan.
Salah satu karya monumental Hasyim Asy’ari yang berbicara
tentang pendidikan adalah kitabnya yang berjudul Adab al Alim wa al
Muta’allim fima Yahtaj ilah al Muta’alim fi Ahuwal Ta’allum wama
Yataqaff al Mu’allim fi Maqamat Ta’limih , Pembahasan terhadap
masalah pendidikan lebih beliau tekankan pada masalah etika dalam
pendidikan, meski tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya.
Di antara pemikiran beliau dalam masalah pendidikan adalah:
a. Signifikansi Pendidikan
Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah
mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki
menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak.
Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu,
yaitu : Pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam menuntut
ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan
melecehkannya atau menyepelekannya. Kedua, bagi guru dalam
mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak
mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran beliau tentang hal
tersebut di atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme
(tasawuf), yaitu salah satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti
jalan sufi menurut beliau adalah “niat yang baik dan lurus”.
Belajar menurut Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari
ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh
kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk
mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk
sekedar menghilangkan kebodohan.
Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia
menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-
nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat,
dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi
oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan
norma-norma Islam.
b. Tugas dan Tanggung Jawab Murid
1) Etika yang harus diperhatikan dalam belajar
 Membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan
keduniaan
 Membersihkan niat, tidak menunda-nunda kesempatan belajar,
bersabar dan qanaah
 Pandai mengatur waktu
 Menyederhanakan makan dan minum
 Berhati-hati (wara’)
 Menghindari kemalasan
 Menyedikitkan waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan
 Meninggalkan hal-hal yang kurang berfaedah.

Dalam hal ini terlihat, bahwa Hasyim Asy’ari lebih menekankan


kepada pendidikan ruhani atau pendidikan jiwa, meski demikian
pendidikan jasmani tetap diperhatikan, khususnya bagaimana mengatur
makan, minum, tidur dan sebagainya. Makan dan minum tidak perlu
terlalu banyak dan sederhana, seperti anjuran Rasulullah Muhammad
saw. Serta jangan banyak tidur, dan jangan suka bermalas-malasan.
Banyakkan waktu untuk belajar dan menuntut ilmu pengetahuan, isi
hari-hari dan waktu yang ada dengan hal-hal yang bermanfaat.
2) Etika seorang murid terhadap guru
 Hendaknya selalu memperhatikan dan mendengarkan guru
 Memilih guru yang wara’
 Mengikuti jejak guru
 Memuliakan dan memperhatikan hak guru
 Bersabar terdapat kekerasan guru
 Berkunjung pada guru pada tempatnya dan minta izin lebih dulu
 Duduk dengan rapi bila berhadapan dengan guru
 Berbicara dengan sopan dan lembut dengan guru
 Dengarkan segala fatwa guru dan jangan menyela pembicaraannya
 Gunakan anggota kanan bila menyerahkan sesuatu pada guru.
Etika seperti tersebut di atas, masih banyak dijumpai pada
pendidikan pesantren sekarang ini, akan tetapi etika seperti itu sangat
langka di tengah budaya kosmopolit. Di tengah-tengah pergaulan
sekarang, guru dipandang sebagai teman biasa oleh murid-murid, dan
tidak malu-malu mereka berbicara lebih nyaring dari gurunya. Terlihat
pula pemikiran yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari lebih maju. Hal
ini, misalnya terlihat dalam memilih guru hendaknya yang profesional,
memperhatikan hak-hak guru, dan sebagainya.
3) Etika murid terhadap pelajaran
 Memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu ‘ain
 Berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama
 Mendiskusikan dan menyetorkan hasil belajar pada orang yang
dipercaya
 Senantiasa menganalisa dan menyimak ilmu
 Bila terdapat hal-hal yang belum dipahami hendaknya ditanyakan
 Pancangkan cita-cita yang tinggi
 Kemanapun pergi dan dimanapun berada jangan lupa membawa
catatan
 Pelajari pelajaran yang telah dipelajari dengan continue
(istiqamah)
 Tanamkan rasa antusias dalam belajar.
Penjelasan tersebut di atas seakan memperlihatkan akan sistem
pendidikan di pesantren yang selama ini terlihat kolot, hanya terjadi
komunikasi satu arah, guru satu-satunya sumber pengajaran, dan murid
hanya sebagai obyek yang hanya berhak duduk, dengar, catat dan hafal
(DDCH) apa yang dikatakan guru. Namun pemikiran yang ditawarkan
oleh Hasyim Asy’ari lebih terbuka, inovatif dan progresif. Beliau
memberikan kesempatan para santri untuk mengambil dan mengikuti
pendapat para ulama, tapi harus hati-hati dalam menanggapi ikhtilaf
para ulama.
Hal tersebut senada dengan pemikiran beliau tentang masalah
fiqh, beliau meminta umat Islam untuk berhati-hati pada mereka yang
mengklaim mampu menjalankan ijtihad, yaitu kaum modernis, yang
mengemukakan pendapat mereka tanpa memiliki persayaratan yang
cukup untuk berijtihad itu hanya berdasarkan pertimbangan pikiran
semata. Beliau percaya taqlid itu diperbolehkan bagi sebagian umat
Islam, dan tidak boleh hanya ditujukan pada mereka yang mampu
melakukan ijtihad.
c. Tugas Dan Tanggung Jawab Guru
1) Etika seorang guru
 Senantiasa mendekatkan diri pada Allah
 Takut pada Allah, tawadhu’, zuhud dan khusu’
 Bersikap tenang dan senantiasa berhati-hati
 Mengadukan segala persoalan pada Allah
 Tidak menggunakan ilmunya untuk meraih dunia
 Tidak selalu memanjakan anak
 Menghindari tempat-tempat yang kotor dan maksiat
 Mengamalkan sunnah Nabi
 Mengistiqamahkan membaca al- Qur’an
 Bersikap ramah, ceria dan suka menabur salam
 Menumbuhkan semangat untuk menambah ilmu
 Membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas.
Catatan yang menarik dan perlu dikedepankan dalam membahas
pemikiran dan pandangan yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari adalah
etika atau statement yang terakhir, dimana guru harus membiasakan diri
menulis, mengarang dan meringkas, yang pada masanya jarang sekali
dijumpai. Dan hal ini beliau buktikan dengan banyaknya kitab hasil
karangan atau tulisan beliau.
2) Etika guru dalam mengajar
- Jangan mengajarkan hal-hal yang syubhat
- Mensucikan diri, berpakaian sopan dan memakai wewangian
- Berniat beribadah ketika mengajar, dan memulainya dengan do’a
- Biasakan membaca untuk menambah ilmu
- Menjauhkan diri dari bersenda gurau dan banyak tertawa
- Jangan sekali-kali mengajar dalam keadaan lapar, mengantuk atau
marah
- Usahakan tampilan ramah, lemah lembut, dan tidak sombong
- Mendahulukan materi-materi yang penting dan sesuai dengan
profesional yang dimiliki
- Menasihati dan menegur dengan baik jika anak didik bandel
- Bersikap terbuka terhadap berbagai persoalan yang ditemukan
- Memberikan kesempatan pada anak didik yang datangnya terlambat
dan ulangilah penjelasannya agar tahu apa yang dimaksudkan
- Beri anak kesempatan bertanya terhadap hal-hal yang belum
dipahaminya.

Terlihat bahwa apa yang ditawarkan Hasyim Asy’ari lebih


bersifat pragmatis, artinya, apa yang ditawarkan beliau berangkat dari
praktik yang selama ini dialaminya. Inilah yang memberikan nilai
tambah dalam konsep yang dikemukakan oleh Bapak santri ini.Terlihat
juga betapa beliau sangat memperhatikan sifat dan sikap serta
penampilan seorang guru. Berpenampilan yang terpuji, bukan saja
dengan keramahantamahan, tetapi juga dengan berpakaian yang rapi dan
memakai minyak wangi.
Agaknya pemikiran Hasyim Asy’ari juga sangat maju
dibandingkan zamannya, ia menawarkan agar guru bersikap terbuka, dan
memandang murid sebagai subyek pengajaran bukan hanya sebagai
obyek, dengan memberi kesempatan kepada murid-murid bertanya dan
menyampaikan berbagai persoalan di hadapan guru.
3) Etika guru bersama murid
§ Berniat mendidik dan menyebarkan ilmu
§ Menghindari ketidak ikhlasanM
§ empergunakan metode yang mudah dipahami anak
§ Memperhatikan kemampuan anak didik
§ Tidak memunculkan salah satu peserta didik dan menafikan yang lain
§ Bersikap terbuka, lapang dada, arif dan tawadhu’
§ Membantu memecahkan masalah-masalah anak didik
§ Bila ada anak yang berhalangan hendaknya mencari ihwalnya.

Kalau sebelumnya terlihat warna tasawufnya, khususnya ketika


membahas tentang tugas dan tanggung jawab seorang pendidik. Namun
kali ini gagasan-gagasan yang dilontarkan beliau berkaitan dengan etika
guru bersama murid menunjukkan keprofesionalnya dalam pendidikan.
Hal ini dapat dilihat dari rangkuman gagasan yang dilontarkannya
tentang kompetensi seorang pendidik, yang utamanya kompetensi
profesional.
Hasyim Asy’ari sangat menganjurkan agar seorang pendidik atau
guru perlu memiliki kemampuan dalam mengembangkan metode dan
memberi motivasi serta latihan-latihan yang bersifat membantu murid-
muridnya memahami pelajaran. Selain itu, guru juga harus memahami
murid-muridnya secara psikologi, mampu memahami muridnya secara
individual dan memecahkan persoalan yang dihadapi murid,
mengarahkan murid pada minat yang lebih dicendrungi, serta guru harus
bersikap arif.
Jelas pada saat Hasyim Asy’ari melontarkan pemikiran ini, ilmu
pendidikan maupun ilmu psikologi pendidikan yang sekarang beredar
dan dikaji secara luas belum tersebar, apalagi di kalangan pesantren.
Sehingga ke-genuin-an pemikiran beliau patut untuk dikembangkan
selaras dengan kemajuan dunia pendidikan.
d. Etika Terhadap Buku, Alat Pelajaran dan Hal-hal Lain Yang
Berkaitan Dengannya.
Satu hal yang menarik dan terlihat beda dengan materi-materi
yang biasa disampaikan dalam ilmu pendidikan umumnya, adalah etika
terhadap buku dan alat-alat pendidikan. Kalaupun ada etika untuk itu,
namun biasanya hanya bersifat kasuistik dan seringkali tidak tertulis,
dan seringkali juga hanya dianggap sebagai aturan yang umum berlaku
dan cukup diketahui oleh masing-masing individu. Akan tetapi bagi
Hasyim Asy’ari memandang bahwa etika tersebut penting dan perlu
diperhatikan.
Di antara etika tersebut adalah:
- Menganjurkan untuk mengusahakan agar memiliki buku
- Merelakan dan mengijinkan bila ada kawan meminjam buku pelajaran,
sebaliknya bagi peminjam menjaga barang pinjamannya
- Memeriksa dahulu bila membeli dan meminjamnyaB
- ila menyalin buku syari’ah hendaknya bersuci dan mengawalnya
dengan basmalah, sedangkan bila ilmu retorika atau semacamnya, maka
mulailah dengan hamdalah dan shalawat Nabi.
Kembali tampak kejelian dan ketelitian beliau dalam melihat
permasalahan dan seluk beluk proses belajar mengajar. Etika khusus
yang diterapkan untuk mengawali suatu proses belajar adalah etika
terhadap buku yang dijadikan sumber rujukan, apalagi kitab-kitab yang
digunakan adalah kitab “kuning” yang mempunyai keistimewaan atau
kelebihan tersendiri. Agaknya beliau memakai dasar epistemologis,
ilmu adalah Nur Allah, maka bila hendak mempelajarinya orang harus
beretika, bersih dan sucikan jiwa. Dengan demikian ilmu yang
dipelajari diharapkan bermanfaat dan membawa berkah.
Pemikiran seperti yang dituangkan oleh Hasyim Asy’ari itu patut
untuk menjadi perhatian pada masa sekarang ini, apakah itu kitab
“kuning” atau tidak, misalnya kitab “kuning” yang sudah
diterjemahkan, atau buku-buku sekarang yang dianggap sebagai barang
biasa, kaprah dan ada di mana-mana. Namun untuk mendapatkan hasil
yang bermanfaat dalam belajar etika semacam di atas perlu diterapkan
dan mendapat perhatian.

Demikian sebagian dari pemikiran mengenai pendidikan yang


dikemukan oleh Hasyim Asy’ari. Kelihatannya pemikiran tentang
pendidikan ini sejalan dengan apa yang sebelumnya telah dikemukakan
oleh Imam Ghazali, misalnya saja, Hasyim Asy’ari mengemukakan
bahwa tujuan utama pendidikan itu adalah mengamalkannya, dengan
maksud agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal
untuk kehidupan di akhirat kelak. Imam Ghazali juga mengemukakan
bahwa pendidikan pada prosesnya haruslah mengacu kepada pendekatan
diri kepada Allah dan kesempurnaan insani.

BAB V
SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN TEBUIRENG
A. Sistem Pendidikan di Masa Kiai Hasyim
Sejak awal berdirinya hingga tahun 1916, Pesantren
Tebuireng menggunakan sistem pengajaran sorogan dan bandongan.
Semua bentuk pengajaran tidak dibedakan dalam jenjang kelas.
Kenaikan kelas diwujudkan dengan bergantinya kitab yang telah selesai
dibaca (khatam). Materinya pun hanya berkisar pada materi
Pengetahuan Agama Islam dan Bahasa Arab. Bahasa pengantarnya
adalah Bahasa Jawa dengan huruf pego (tulisan Arab berbahasa Jawa).
Seiring perkembangan waktu, sistem dan metode pengajaran pun
ditambah, diantaranya dengan menambah kelas musyawaroh sebagai
kelas tertinggi. Santri yang berhasil masuk kelas musyawaroh
jumlahnya sangat kecil, karena seleksinya sangat ketat.
Dalam 20 tahun pertama pertumbuhan Tebuireng, Kiai Hasyim
banyak dibantu oleh saudara iparnya, KH. Alwi, yang pernah
mengenyam pendidikan 7 tahun di Mekah. Tahun 1916, KH. Ma’shum
Ali, menantu pertamanya, mengenalkan sistem klasikal (madrasah).
Sistem madrasah merupakan sistem pengajaran yang diadopsi oleh
Hadratusy Syeikh dari Mekah.
Tahun 1916, Madrasah Tebuireng membuka tujuh jenjang kelas
dan dibagi menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan
sifir awal dan sifir tsani, yaitu masa persiapan untuk dapat memasuki
masrasah lima tahun berikutnya. Para peserta sifir awal dan sifir tsani
dididik secara khusus untuk memahami bahasa Arab sebagai landasan
penting bagi pendidikan madrasah lima tahun.
Mulai tahun 1919, Madrasah Tebuireng secara resmi diberi nama
Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Kurikulumnya ditambah dengan materi
Bahasa Indonesia (Melayu), matematika, dan geografi. Lalu setelah
kedatangan Kiai Ilyas tahun 1926, pelajaran ditambah dengan pelajaran
Bahasa Belanda dan Sejarah. Tahun 1928 kedudukan Kiai Maksum
sebagai kepala madrasah digantikan Kiai Ilyas, sedang Kiai Maksum
sendiri ditunjuk oleh Kiai Hasyim untuk mendirikan Pesantren Seblak
(sekitar 200 meter arah barat Tebuireng).
Meskipun sistem pengajaran di Tebuireng sudah berkembang
pesat, namun tradisi pengajian yang diasuh Kiai Hasyim tetap bertahan.
Apalagi beliau terkenal sangat disiplin dan istiqamah mengaji. Para
santri tidak pernah bosan mengikuti pengajian beliau.
Kegiatan mengajar Kiai Hasyim diliburkan 2 kali dalam seminggu,
yaitu pada Hari Selasa dan Hari Jum’at. Kiai Hasyim biasanya
memanfaatkan 2 hari libur itu untuk mencari nafkah. Beliau memantau
perkembangan sawah dan ladangnya yang berada kurang lebih 10 km
sebelah selatan Tebuireng. Beliau juga memberi kesempatan kepada
para santri untuk mengadakan kegiatan kemasyarakatan seperti
jam’iyah. Sedangkan pada Hari Selasa, selain pergi ke sawah Kiai
Hasyim juga sering bersilaturrahim ke sanak famili serta para santrinya
yang mulai merintis pondok pesantren.
Hari libur ini dimanfaatkan oleh putranya, Abdul Wahid, untuk
memberikan pelajaran bahasa asing, Inggris dan Belanda, kepada para
santri. Meskipun pada awalnya Kiai Hasyim kurang setuju, namun
Abdul Wahid mampu meyakinkan bahwa materi bahasa asing sangat
penting bagi santri, sehingga Kiai Hasyim akhirnya membolehkan.
Pada bulan Ramadhan, Hadratus Syekh membacakan kitab Shahih
Bukhari (4 jilid) dan Shahih Muslim (4 jilid) secara rutin. Pengajian ini
dimulai pada tanggal 15 Sya’ban dan selesai pada tanggal 27 Ramadhan
(kurang lebih 40 hari). Salah seorang gurunya bahkan pernah ikut ngaji
kepada beliau. Menurut satu sumber, guru Kiai Hasyim yang pernah
ngaji ke Tebuireng adalah Kiai Kholil Bangkalan, dan menurut sumber
lainnya adalah Kiai Khozin Panji, Sidoarjo.
Kiai Hasyim terkenal sebagai ulama yang mampu melakukan
penyaringan secara ketat terhadap sekian banyak tradisi keagamaan
yang dianggapnya tidak memiliki dasar-dasar dalam hadis dan ia sangat
teliti dalam mengamati perkembangan tradisi ketarekatan di pulau Jawa,
yang nilai-nilainya telah menyimpang dari kebenaran ajaran Islam.

Menurut hasyim Asy’ari, ia tetap mempertahankan ajaran-ajaran mazhab


untuk menafsirkan al-Qur’an dan hadis dan pentingnya praktek tarikat.

BAB VI
RELEVANSI PEMIKIRAN KH.HASYIM ASY’ARI DENGAN
PENDIDIKAN SEKARANG
Relevansi pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari terhadap pendidikan
sekarang nampak pada munculnya berbagai lembaga yang dinaungi
panji-panji islam atau lebih dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren.
Pesantren sampai sekarang masih menjadi satu-satunya lembaga yang
diharapkan mampu melahirkan sosok ulama yang berkualitas, dalam arti
mendalam pengetahuan agamanya, agung moralitasnya dan besar
dedikasi sosialnya. Walaupun banyak corak dan warna profesi santri
setelah belajar dari pesantren, namun figur kiai masih dianggap sebagai
bentuk paling ideal, apalagi ditengah krisis ulama sekarang ini.
KH. Ilyas Rukyat (al-Maghfurlah) mengatakan, munculnya figur
santri sebagai seorang ulama masih menjadi harapan besar pesantren.
Label kiai tidak bisa diberikan oleh pesantren, tapi oleh masyarakat
setelah melihat ilmu, moral, dan perjuangannya ditengah masyarakat.
Santri tersebut mampu menyampaikan gagasan-gagasan besar dengan
bahasa sederhana yang bisa dipahami dan dilaksanakan masyarakat luas.
Memang harus diakui, saat ini, alumni pesantren yang mampu
muncul sebagai seorang kiai berkualitas baik dalam ilmu, moral, dan
dedikasi sosialnya sedikit jumlahnya. Modernisasi pesantren
mempengaruhi visi seorang santri dalam melihat masa depannya.
Banyak dari mereka yang berkeinginan menjadi seorang birokrat, kaum
professional, intelektual, dan wirausahawan. Ragam profesi yang
mereka sandang ini menunjukkan elastisitas dan fleksibelitas pesantren
dalam membentuk generasi masa depan bangsa. Namun, fenomena
kelangkaan ulama menjadi masalah serius yang menarik
diperbincangkan. Identitas pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin
(pendalaman ilmu agama) dipertanyakan banyak pihak. Menurut KH.
MA. Sahal Mahfudh, semangat santri dalam mengkaji dan
mengembangkan ilmu sekarang jauh dibanding santri zaman dulu.
Sehingga pesantren sekarang semakin sulit melahirkan ulama besar.
Menurutnya, figur santri yang mendalam pemahaman aqidah dan
syari’ah masih menjadi figur ideal ditengah goncangan pemikiran
keislaman yang passifsekarangini. Disinilah tantangan besar pesantren,
bagaimana memadukan visi melahirkan seorang kiai yang berkualitas di
satu sisi dan mengakomodir modernisasi tanpa kehilangan identitasnya
sebagai lembaga tafaqquh fiddin disisi yang lain.
Modernisasi kehidupan yang menyentuh semua aspek kehidupan
akibat revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi meniscayakan semua
pihak untuk meresponnya secara aktif dan kontekstual. Masalah-
masalah kontemporer yang datang silih berganti menuntut partisipasi
aktif pesantren untuk ikut memberikan kontribusi maksimal agar mampu

memandu gerak dinamika sejarah dengan nilai-nilai sucinya.


Seorang kiai atau santri dituntut untuk aktif mengikuti perkembangan
informasi dan melakukan revitalisasi tradisi intelektualnya untuk
merumuskan jawaban-jawaban sederhana yang aplikatif bagi aneka
macam problem kontemporer tersebut. Disinilah letak relevansi dan
aktualitas pesantren ditengah moderasi kehidupan.
Kalau pesantren tidak mampu merespons masalah kontemporer
dengan khazanah intelektualnya, maka krisis keilmuan pesantren akan
berimbas pada krisis identitas santri dalam menatap masa depannya.
Krisis identitas ini akan menurunkan kepercayaan diri santri dalam
mengarungi masa depannya. Efeknya, semangat santri dalam mengkaji
khazanah intelektual dan wacana kontemporer sebagai modal aktualisasi
diri ditengah kehidupan sosial menjadi rendah.
Inilah masalah serius yang harus segera ditanggulangi. Karena
kebutuhan akan lahirnya ulama masa depan yang berkualitas sudah
sangat mendesak supaya kehidupan dunia modern tidak berjalan tanpa
kontrol dan over action. Akhirnya, kita berharap pesantren mampu
menjawab kritik pedas selama ini tentang kelangkaan ulama yang
berkualitas tinggi, bukan sekedar ulama biasa. Yang perlu diyakini,
pesantren mampu melakukan tugas sucinya ini dengan kerja keras
menuju keridloan Allah Swt.

BAB VII
PENUTUP

Demikianlah makalah tentang BIOGRAFI KH. HASYIM ASY’ARI


yang kami sususn ini , semoga bermanfaat dan berguna bagi kita semua
dalam mempelajari serta untuk menambah pengetahuan. Apabila ada
kekurangan maupun kesalahan dalam penyampaian makalah ini, kami
selaku penulis mohon kritik dan saran yang membangun agar tidak
terulang lagi kesalahan di kemudian hari dan juga kami selaku penulis
minta dibukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan dan
kesalahan dalam penyampaiannya, karena kesempurnaan hanyalah milik
Allah SWT dan kesalahan hanyalah milik manusia itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai