Disusun Oleh :
1. SITI LILIK MUTHOHAROH (2144990029)
2. MOH. ABD. BASIR (2144990020)
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2
BAB IV PENUTUP..............................................................................................23
A. Kesimpulan.................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................24
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut ilmu K.H Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha
Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan di dunia
dan akhirat. Karenanya belajar harus di niatkan untuk mengembangkan dan
melestarikan nilai-nilai islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan
kebodohan.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas pemakalah dapat menguraikan beberapa masalah :
1. Bagaimana Biografi KH. Hasyim Asy’ari ?
2. Apa saja pemikiran-pemikirannya dalam pendidikan islam ?
BAB II
PEMBAHASA
1
K.H. Hasyim Asy’ari, Adab Ta’lim wa Muta’allim., h. 3
2
K.H. Hasyim Asy’ari. Baca juga,Ridjaluddin Fadjar Nugraha, “Peranan K.H. Hasyim
Asy’ari dalam kebangkitan Islam di Indonesia”, Skripsi, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah,
1983), h.7
3
Muhammad Asad Syihab, Hadlratussyaikh Muhammda Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta :
Titian Ilahi Press, 1994) h. 73
4
Sebagaimana lazimnya tradisi pesantren, jika sang kiai mengetahui ada santrinya yang
cerdas, pintar, tulus, dan potensial, maka sang kiai menjodohkannya dengan anaknya. Begitu juga
terhadap Hasyim Asy’ari, Kiai Ya’qub pada suatu hari memanggil santrinya itu.”Hasyim, saya
Setelah nikah, K.H. Hasyim Asy’ari bersama isterinya segera melakukan
ibadah haji. Sekembalinya dari tanag suci, mertua K.H Hasyim Asy’ari
mengajurkanya untuk menuntut ilmu di makkah. Dimungkinkan hal ini
didorong oleh tradisi pada saat itu bahwa seorang ulama belumlah dikatakan
cukup ilmunya. Jika belum mengaji di makkah selama bertahun-tahun. Di
makkah itu, K.H Hasyim Asy’ari mempelajari berbagai macam disiplin ilmu,
diantaranya adalah ilmu fiqih Syafi’yah dan ilmu hadist, terutama literatur
Shahih Bukhari dan Muslim.6
mengerti dan tahu bahwa engkau seorang santri yang benar-benar rajin dan sungguh-sungguh
dalam belajarnya. Saya lebih tahu dan mengerti bahwa setengah dari pada sifat-sifatmu, ialah tiada
suka membantah akan perintah guru. Hal itu telah saya ketahui benar-benar. Karena itu, saya
menghendaki..menjodohkan kamu dengan anak saya sendiri yang bernama Khadijah, bagaimana
pendapatmu?” Baca Ridjalludin Fadjar Nugraha, h. 16-17
5
Kholid Mawardi, Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan : Moralitas Pemikiran
Pendidikan K.H Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: Insania, 2008), h.2
6
Lathiful Khuluq, Kebangkitan Ulama, Biografi K.H Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta:
LKIS, 2000), h.18
7
Abu Bakar Aceh, Sejarah Hidup K.H A Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, (Jakarta:
Panitia Buku Peringatan K.H.A. Wahid Hasyim, 1975), h.35
University (ANU) yang menganggap bahwa K.H Hasyim Asy’ari adalah
seorang wali, sebagaimana dalam tulisannya :
“... Jika kiai pandai masih di anggap sebagai wali, ada satu figur dalam
sejarah Jawa kini yang dapat menjadi kadidat utama untuk peran wali. Ini
adalah ulama besar, Hadratus Syekh-Kiai Hasyim Asy’ari. Memiliki ilmu dan
di pandang sebagai sumber berkah bagi mereka yang mengetahuinnya,
Hasyim Asy’ari semasa hidupnya menjadi pusat pertalian yang
menghubungkan para kiai utama seluruh Jawa. Kiai Hasyim juga dianggap
memiliki keistimewaan luar biasa, menurut garis keturunannya, tidak saja
berasal dari garis keturunan ulama pandai, dia juga keturunan Prabu
Brawijaya.” 8
8
Lihat James J. Fox, “Ziarah Vitis to the tobs of the wali, the Founders of Islam on
Jawa”, dalam M.C. Rickles (ed). “Islam in the Indonesia Social Countext”, (Clayton, Victoria:
Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, 1991), h. 30, dalam Lathiful Khuluq,
Fajar Kebangunan Ulama: Biografi K.H Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: LkiS, 2000), h.20
9
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Ar-Ruzz Media (Yogyakarta: 2006), h. 86
10
Ensiklopedia Islam II, h. 102-3
seperti Syekh Abdul Wahab dan Syekh Bishri Syansuri, pada tanggal 31
Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H. Organisasi ini di dukung oleh para ulama,
terutama ulama Jawa, dan komunitas pesantren. Memang pada awalnya,
organisasi ini dikembangkan untuk merespon wacana khalifah dan gerakan
purifikasi yang ketika itu dikembangkan Rasyid Ridha di Mesir, tetapi pada
perkembangannya kemudian organisasi itu melakukan rekontruksi sosial
keagamaan sosial keagamaan yang lebih umum.11
Tidak banyak para ulama dari kalangan tradisional yang menulis buku.
Akan tetapi tidak demikian dengan K.H. Hasyim Asy’ari. Tidak kurang dari
sepuluh kitab disusunya,antara lain :12
11
Abu Bakar Aceh, Sejarah Hidup K.H A Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, (Jakarta:
Panitia Buku Peringatan K.H.A. Wahid Hasyim, 1975), h.473
12
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers 2002), h. 155
8. Al-Tibyan fi al-Nahy „an Muqathi’ah al-Ikhwan, bain fih ahammiyat
shillat al-rahim wa Dhurar qath’iha
9. Al-Risalat al-Tauhidayah, wahiya Risalah Shaghiratfi Bayan „Aqiqah
Ahl Sunnah wa al-Jamaah.
10. Al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min al-‘aqaid.13
Salah satu karya monumental K.H. Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang
pendidikan adalah kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaj Ilah al-
Muta’alim fi Ahuwul Ta’allum wa ma Yataqaff al-Mu’alim fi Maqamat
Ta’limih yang di cetak pertama kali pada tahun 1945 H. Sebagaimana
umumnya kitab kuning, pembahasan terhadap masalah pendidikan etika.
Meski demikian tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya.
Keahliannya dalam bidang hadist ikut pula mewarnai isi kitab tersebut.
Sebagai bukti adalah dikemukakannya beberapa hadist sebagai dasar dari
penjelasannya, disamping beberapa ayat al-Qura’an dan pendapat para ulama.
13
. Hasyim Asy’ari,Adab Ta’lim wa Muta’allim, h. 45
14
. Muhammad Asad Syihab,Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari,(Yogyakarta :
Titian Ilahi Press,1994), h. 73
Untuk memahami pokok pikirannya dalam kitab tersebut perlu pula
diperhatikan latar belakang ditulisnya kitab tersebut. Penyusunan karya ini
boleh jadi didorong oleh situasi pendidikan yang padat saat itu mengalami
perubahan dan perkembangan yang pesat, dari kebiasaan lama (tradisional)
yang sudah mapan kedalam bentuk baru (modern) akibat dari pengaruh sistem
pendidikan barat (Imperalis Belanda) di terapkan di Indonesia. Karyanya ini
merujuk pada kitab-kitab yang ditelaahnya dari berbagai ilmu yang langsung
diterima dari para gurunya ditambah dengan berbagai pengalaman yang
pernah di jalaninya.
15
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Isla, h.156
16
Hasyim Asy’ari,Adab Ta’lim wa Muta’allim, h. 101
17
Nurdin, “Etika belajar-mengajar: Telaah Kritis atas Konsep Pemikiran K.H Hasyim
Asy’ari dalam Kibat Adab Al-Alim wa al-muta’alim” Tesis, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga,
1999)
1. Signifikan Pendidikan
PKB.2011), h.22
19
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.156
Dalam penjelasannya,ia tidak memberikan definisi secara khusus
tentang pengertian belajar. Dalam hal ini yang menjadi titik penekananya
adalah pada pengertian bawah belajar itu merupakan ibadah untuk
mencari ridha Allah yang mengantarkan seseorang untuk memperoleh
kebahagiaan dunia dan akhirat. Kerenanya belajar harus di niatkan untuk
mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai islam,bukan hanya sekedar
menghilangkan kebodohan.
20
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.157
21
K.H. Hasyim Asy’ari,Adab Ta’lim wa Muta’allim, h. 24-8
22
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h. 158
memuliakan guru, memperhatikan apa yang menjadi hak guru,
bersabar atas kekerasan guru, berkunjung kepada guru pada
tempatnya atau mintalah ijin terlebih dahulu kalau keadaan memaksa
harus tidak pada tempatnya, duduklah dengan rapi dan sopan bila
berhadapan dengan guru, berbicaralah dengan sopan dan lemah
lembut, dengarkan segala fatwanya, jangan sekali-kali menyela
ketika sedang menjelaskan dan gunakan anggota yang kanan apabila
menyerahkan sesuatu kepadanya. 23
Etika seperti ini masih banyak di jumpai pada pendidikan
pesantren,tetapi etika seperti yang dijelaskan sangat langka ditengah
budaya konsep yang ditawarkannya sudah tidak relevan, akan tetapi
masalah yang melingkupinya kian komplek seiring dengan
munculnya berbagai masalah pendidikan Islam itu sendiri. Meskipun
demikan, bila dibandingkan dengan konsep pendidikan islam
lainnya, maka pemikiran yang ditawarkannya terlihat lebih maju.
Hal ini, misalnya terlihat dalam memilih guru hendaknya yang
profesional, meperhatikan hak-hak guru, dan sebagainya.
Etika yang ketiga, Etika Murid Terhadap Pelajaran. Murid
dalam menuntut ilmu hendaknya memperhatikan etika sebagai
berikut :24 memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu ain untuk
dipelajari,harus mempelajari ilmu-ilmu yang mendukung ilmu
fardhu ain berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama,
mendiskusikan dan menyetorkan hasil belajar kepada orang yang
dipercayainya, senantiasa menganalisa dan menyimak
ilmu,pancangkan cita-cita yang tinggi, bergaulah dengan orang yang
berilmu lebih tinggi, ucapkan salam apabila sampai ditempat
sekolah/madrasah, bila terdapat hal-hal yang belum di pahami
hendaklah ditanyakan, bila kebetulan bersamaan dengan banyak
teman maka sebaiknya jangan mendahului antrian kalau tidak
mendapatka ijin, kemanapun kita pergi dan dimanapun kita berada
jangan lupa membawa catatan, pelajari pelajaran yang telah
23
Abbuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Rajagrafindo Persada 2005), h.133
24
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.159
diajarkan dengan kontinyu (istiqamah) tanamkan rasa
antusias/semangat dalam belajar. Penjelasan tersebut diatas seakan
membuka mata kita akan sistem pendidikan di pesantren yang
selama ini terlihat kolot. Hanya terjadi komunikasi satu arah,
memasung kemerdekaan berpikir dan sebagainya.25
Memang tidak dinafikan adanya model pendidikan yang hanya
mengandalkan pengetahuan yang disampaikan oleh guru. Akan
tetapi, sebenarnya bukanlah begitu maksudnya. Boleh jadi karena
begitu ketatnya etika yang diterapkan. Sehingga dalam beberapa
kasus menutup etika yang lainnya. Sebagai satu contoh adalah,
kurang adanya budaya berdiskusi dan tanya jawab dalam proses
belajar mengajar di pesantren, bukan berarti bahwa pemikiran
tersebut akan terpasung, akan tetapi karena dalam etika sebelumnya
dijelaskan bahwa murid dilarang menyela penjelasan guru atau murid
harus mendengarkan fatwa guru dan sebagainya. 26 Maka kemudian
etika tersebut di salah pahami pengertiannya dengan tertutupnya
pintu budaya bertanya dan berdiskusi di lingkungan pendidikan
pesantren. Fenomena tersebut dilengkapi dengan adanya ketakutan
bahwa apabila tidak memperhatikan apa yang dijelaskan guru, maka
ilmunya tidak membawa berkah dan tidak bermanfaat, maka semakin
menambah murid untuk selalu menurut apa yang dikatan guru. Guru
dianggap selalu benar dan tidak boleh dipertanyakan kebenaran
ilmunya kerana ilmu yang diajarka bersumber dari kitab, dimana
kitab tersebut bersumber pada al-Qur’an dan Hadist. Dari sini
kemudian muncul suatu pemahaman dikalangan pendidikan
tradisional untuk selalu menerima apa yang selalu di berikan . inilah
alasan yang bersifat epistimologi mengapa sistem pendidikan di
pesantren terlihat seolah-olah kaku. Akan tetapi bila dilihat
pemikiran yang ditawarkannya, maka pemahaman yang salah
tersebut segera berubah, menjadi terbuka, inovatif, dan progresif.
25
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.160
26
Taymiz Buharnuddin, Akhlak Pesantren Pandangan K.H Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta:
Ittaqa Press, 2001), h. 68
Dalam membahas tentang ilmu yang wajib dipelajari yang
bersifat fardhu ain, maka gagasan tersebut sejalan dengan pemikiran
al-Ghazali. Ia memberikan kesempatan secara luas kepada para
santrinya untuk mengambil dan mengikuti pendapat para ulama.
Akan tetapi terdapat catatan yang mesti diperhatikan, bahwa dalam
menanggapi ikhtilaf para ulama harus berhati-hati. Demikian pula
dengan budaya bertanya dan berdiskusi, sekaligus evaluasi di
perkenalkan dan disosialisasikan dengan etika tersendiri, begitu pula
dengan etika-etika lainnya.27
27
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta 2008), h.184
28
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.161
Menanggapi gagasan yang dikemukakannya diatas, maka yang
pertama terlihat adalah nuansa tasawufnya. Hal ini tidak
mengherankan, sebab dalam perilaku kehidupan, ia lebih cenderung
pada kehidupan seorang sufi. Demikian juga dengan ilmu yang
ditekuni ketika menimba ilmu,khususnya di makkah, lebih
mendalami bidang tasawuf dan hadis, maka kedua ilmu itu pula
mewarnai gagasan dan pemikirannya khususnya dalam bidang
pendidikan. Meskipun demikian, tidak hidup dalam dunia sufi yang
jauh dari kehidupan pada umumnya, akan tetapi kehidupannya akan
justru menyatu dengan masyarakat dan berusaha memberikan
jawaban terhadap tasawuf dan hadist, maka kedua ilmu itu pula yang
mewarnai gagasan dan pemikirannya, khususnya dalam bidang
pendidikan. Meskipun demikian ia tidak hidup dalam dunia sufi yang
jauh dari kehidupan pada umumnya, akan tetapi kehidupannya justru
menyatu dengan masyarakat dan berusaha memberikan jawaban
terhadap permasalahan yang melingkupinya.
Catatan menarik yang perlu dikedepankan dalam membahas
masalah ini adalah29 etika atas statement yang terakhir, dimana guru
harus membiasakan diri menulis, mengarang, dan meringkas. Untuk
menulis dan meringkas mungkin masih jarang dijumpai. Ini pula
yang dapat dijadikan sebagai salah satu faktor mengapa sulit
dijumpai tulisan-tulisan berupa karya-karya ilmiah. Sejak awal, ia
memandang perlu adanya tulisan dan karangan, sebab lewat tulisan
itulah ilmu yang dimiliki seseorang akan terabadikan dan akan
banyak memberikan manfaat bagi generasi selanjutnya. Di samping
itu juga akan terkenang sepanjang masa. Namun, tradisi menulis ini
belum membudaya di lingkungan pesantren.
Sebenarnya menarik untuk dikupas, mengapa budaya menulis
kurang mendapatkan tempat di lingkungan pendidikan tradisional?.
jawab dari permasalahan ini adalah bahwa ilmu-ilmu yang dikaji
dan dipelajari di lingkungan pesantren adalah ilmu-ilmu agama,
29
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.166
di mana materi dan metodenya hampir telah mencapai final, sehingga
pengembangan terhadap ilmu-ilmu tersebut bisa dikatakan tertutup.
Disamping itu,tuntutan masyarakat atau keadaan masyarakat kurang
memberikan motivasi,sebab budaya yang berkembang masih pada
tataran masyarakat atau keadaan masyarakat kurang memberikan
motivasi, sebab budaya yang berkembang masih pada tataran budaya
mendengarkan dari pada budaya membaca. Namun yang jelas,untuk
saat sekarang,budaya menulis pula merambah dunia pesantren,
meskipun tulisan yang dihasilkan bukan berupa kitab-kitab yang
dikaji pada pesantren, akan tetapi tulisan-tulisan yang membicarakan
permasalahan sosial keagamaan disekelilingnya.
Etika yang kedua, Etika Guru Dalam Mengajar. Seorang guru
ketika hendak mengajar dan ketika mengajar perlu memperhatikan
beberapa etika. Dalam hal ini ia menawarkan gagasan tentang etika
guru ketika mengajar sebagai berikut :30 mensucikan diri dari hadats
dan kotoran,berpakaian yang sopan dan rapi dan usahakan berbau
wangi, berniatlah beribadah ketika dalam mengajarkan ilmu kepada
anak didik,sampaikan hal-hal yang diajarkan oleh Allah, biasakan
membaca untuk menambah ilmu pengetahuan, berilah salam ketika
masuk dalam kelas, sebelum mengajar mulailah terlebih dahulu
dengan berdoa untuk para ilmu yang telah lama meninggalkan kita,
berpenampilan yang kalem, dan jauhi hal-hal yang tidak pantas
dipandang mata, manjauhkan diri dari bergurau dan banyak tertawa,
jangan sekali-kali mengajar dalam kondisi lapar, marah, mengantuk
dan sebagainya. Pada waktu mengajar hendaklah mengambil tempat
duduk yang strategis, usahakan tampilannya ramah, lemah lembut,
jelas, tegas dan lugas serta tidak sombong dalam mengajar,
hendaklah mendahulukan materi-materi yang penting dan sesuaikan
dengan profesional yang dimiliki, jangan sekali-kali mengajarkan
30
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.167
hal-hal yang bersifat syubhat yang bisa membinasakan, perhatikan
masihng-masing kemampuan murid dalam mengajar dan tidak terlalu
lama, menciptakan ketenangan dalam ruangan belajar, menasehati dan
menegur dengan baik apabila terdapat anak didik yang bandel,
bersikaplah terbuka terhadap berbagai macam persoalan-persoalan
yang ditemukan, berilah kesempatan kepada peserta didik yang
datangnya ketinggalan dan ulangilah penjelasannya agar tahu apa yang
dimaksud.
Terlihat bahwa apa yang ditawarkannya lebih bersifat pragmatis.
Artinya, apa yang ditawarkan berangkat dari praktek yang selama ini
dialaminya. Inilah yang memberikan nilai tambah dalam konsep yang
dikemukakan oleh bapak santri ini.
Etika yang ketiga, Etika Guru Bersama Murid. Guru dan murid
tidak hanya masing-masing mempunyai etika yang berbeda antara satu
dengan lainnya. Akan tetapi diantara keduanya juga mempunyai etika
yang sama. 31
Sama-sama harus dimiliki oleh guru dan murid.
Diantara etika tersebut adalah: berniat mendidik dan menyebarkan
ilmu pengetahuan serta menghidupkan syariat islam, menghindari
ketidak ikhlasan dan mengejar keduniawian, hendaknya selalu
melakukan itrospeksi diri, mempergunakan metode yang mudah
dipahami murid, membangkitkan antusias peserta didik dengan
memotivasinya, memberikan latihan-latihan yang bersifat
membantu,selalu memperhatikan kemampuan peserta didik, tidak
selalu memunculkan salah seorang peserta didik dan menafikan yang
lainnya, mengarahkan minat peserta didik, bersikap terbuka dan lapang
dada terhadap peserta didik, membantu memecahkan masalah dan
kesulitan peserta didik, bila terdapat peserta didik yang berhalangan
hendaknya mencari hal ihwal kepada teman-temannya, tunjukan sifat
arif dan penyayang terhadap peserta didik dan tawadhu.
Abu Bakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H Hasyim Asy’ari Biografi Singkat, (Yogyakarta:
31
32
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.168
al-Zarnuji (wafat 571 atau 591 H) dengan karyanya Ta’alim al-
Muta’allim Thariq al-Ta’allum.33
Jika mengacu pada tawaran Hasan Langgulung di atas Adab al-alim
wa al- muta’allim dapat digolongkan pada corak terakhir. Hal ini
didasarkan ata kenyataan yang ada dalam kita tersebut yang tidak
memuat kajian-kajian dalam spesifikasi fiqih, sastra, dan filsafat. Kitab
ini semata-semata memberi petunjuk praktis bagi orang-orang yang
terlibat dalam proses pendidikan. Selain itu, Adab al-alim wa al-
muta’allim mempunyai banyak kesamaan dengan Ta’allim al-Muta’allim
karya al-Zarnuji dan lebih-lebi dengan Tadzkirat al-Sami wa al-
Mutakalim fi adab al-alim wa al-muta’allim karya ibn Jama’ah.
Kesamaan ini paling tidak adalah pada tingkat sama-sama membahas
secara khusus ide-ide kependidikan dengan mengutip pandangan
sejumlah ulama.
Disisi lain karakter pemikiran pendidikan K.H Hasyim Asy’ari dapat
dimasukkan ke dalam garis besar mazhab Syafi’iyah. Bukti yang cukup
kuat untuk menunjukkan hal itu adalah banyaknya syafi’iyah, termasuk
imam al- Syafi’i sendiri, yang seringkali di kutip oleh penulis kitab ini
ketimbang ulama mazhab yang lain. Dengan pengungkapan ide-ide
mazhab yang di anutnya, menurut Abd al-Mu’idz Khan, pasti
mempengaruhi pemikirannya tentang pendidikan.34
Kecenderungan lain dalam pemikiran K.H Hasyim Asy’ari adalah
mengetehkan nilai-nilai estis yang bernapaskan sufistik. Kecenderungan
ini dapat terbaca dalam gagasan-gagasannya, misalnya dalam keutamaan
menuntut ilmu. Untuk mendukung itu dapat dikemukakan bahwa bagi
K.H Hasyim Asy’ari keutamaan ilmu yang sangat istimewa adalah
bagi orang yang benar-benar li Allah Ta’ala. Kemudian, ilmu dapat
33
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992), cet
ke-2, h.123-129
34
Abd al-Mu’idz Khan dalam Affandi Mochtar, The method of Muslim Learning as
Illustrated in al-Zarnuji’s Ta’alim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum, Tesis, (Montreal : McGill
Univre)
diraih jika jiwa orang yang mencari ilmu tersebut suci dan bersih dari
segala sifat yang jahat dan aspek-aspek keduniawian.35
35
Hasyim Asy’ari,Adab Ta’lim wa Muta’allim, h.22-23
36
Suwendi. Sejarah Dan Pemikiran Pendidikan Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo
37
Suwendi. Sejarah Dan Pemikiran Pendidikan Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004), h. 151-153
didik harus mengetahui dan mengamalkan etika berbicara dengan
pendidik. Bahkan, ketika peserta didik berangkat ke pendidik hendaknya
bersedekah dan berdoa terlebih dahulu untuk pendidik.
Peserta didik harus senantiasa sabar terhadap segala kekasaran dan
kesalahan pendidik, selama tidak menjadi kebiasaan dan tidak
menggoyahkan keimanan. Meski sikap yang ditampilkan pendidik tidak
mencerminkan etika dan akhlak yang luhur, tetapi bagi peserta didik
hendaknya menyikapinya dengan arif. Sebab, respon demikian memberi
kebahagiaan dan menjaga perasaan pendidik, di samping ilmu yang di
dapat lebih bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat. Perspektif
demikian agaknya lebih banyak di dukung oleh asumsi-asumsi bahwa
guru merupakan sosok yang patut digugu dan di tiru sementara peserta
didik didudukkan sebagai orang yang belum memiliki kecakapan-
kecakapan tertentu sehingga masih menergantungkan pada guru itu.
Pada hubungan antara peserta didik dengan pendidik seperti yang di
kembangkan K.H Hasyim Asy’ari di atas agaknya menyiratkan pada
sebuah pemahaman bahwa pendidikan itu lebih banyak ditekankan oleh
aspek guru. Guru juga tidak hanya sebagai transmitor pengetahuan (know
ledge) kepada peserta didik, tetapi juga pihak yang memberi pengaruh
secara signifikan terhadap pembentukan perilaku (etika) peserta didik.38
38
Suwendi. Sejarah Dan Pemikiran Pendidikan Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004), h. 154
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari dilahirkan dari keturunan eliet kiai
(pesantren) pada tanggal 24 Zulhijjah 1287H bertepatan 14 Februari
1871M, tepatnya sebelah Timur Jombang Jawa Timur. Suasana
kehidupan pesantren sangat mempengaruhi pembentukan karakter
Hasyim Asy’ari yang sederhana dan rajin belajar, belajar dari pesantren
ke pesantren di Jawa sampai ke Tanah Hijaz. Sebagai pendidik
merupakan bagian yang yang terpisahkan dari perjalanan hidupnya sejak
usia muda. Setelah mengajar keliling dari pesantren orangtua hingga
mertua, pada tahun 1899 Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren sendiri,
mewujudkan cita-citanya di daerah Tebuireng Jombang, Jawa Timur.
Abu Bakar Atjeh. Sejarah Hidup K.H Hasyim Asy’ari Biografi Singkat,
Aceh, Abu Bakar. Sejarah Hidup K.H A Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar,
Hidayatullah, 1983
Ensiklopedia Islam II
Khan, al-Mu’idz Abd. dalam Affandi Mochtar, The method of Muslim Learning as
PKB.2011
Suwendi. Sejarah Dan Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004