Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

SEJARAH PEMIKIRAN DAN PENDIDIKAN ISLAM

“Pemikiran Pendidikan K.H Hasyim Asy’ari”

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Studi Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam Nusantara
Dosen Pengampu : Dr. Muhammad Hori, M.Ag

Disusun Oleh :
1. SITI LILIK MUTHOHAROH (2144990029)
2. MOH. ABD. BASIR (2144990020)

Program Pascasarjana Pendidikan Agama Islam


Institut Agama Islam Al-Falah As-Sunniyyah
Kencong – Jember
Juni 2022
KATA PENGANTAR

Bismillahirohmanirohim, Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa


Ta’ala karena telah memberikan kami Kesehatan dan kesempatan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini serta tak lupa pula Sholawat dan
Salam atas baginda kita Nabi dan Rosul Muhammad Shallaahu ‘Alaihi Wa
Sallam yang telah membimbing kita kepada agama Islam. Atas rahmat Allah
dan bimbingan Nabi-lah Penyusun dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul : “Pemikiran Pendidikan K.H Hasyim Asy’Ari” Makalah ini
berisikan tentang pemikiran-pemikiran pendidikan K.H Hasyim Asy’ari. Saya
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran dari Dosen dan Teman-teman yang bersifat membangun
selalu saya harapkan demi lebih baiknya makalah ini.Akhir kata, semoga
makalah ini bisa dapat bermanfaat dan bisa menambah wawasan bagi kita
semua dan smoga Allah SWT senantiasa meridohi segala usaha kita.

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2

A. Biografi K.H Hasyi Asy’ari..........................................................................2

B. Pemikiran Pendidikan K.H Hasyim Asy’ari................................................6

BAB III ANALISIS..............................................................................................21

BAB IV PENUTUP..............................................................................................23

A. Kesimpulan.................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................24
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan hendaknya mampu mengantarkan umat manusia menuju


kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya
mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebijakan dan norma-
norma islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat islam
harus maju dalam berbagai keilmuan agar kita tidak di bodohi oleh bangsa
atau umat yang tidak searah dengan kita. Umat islam harus sejalan dengan
sesuai nilai dan norma-norma islam.

Menurut ilmu K.H Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha
Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan di dunia
dan akhirat. Karenanya belajar harus di niatkan untuk mengembangkan dan
melestarikan nilai-nilai islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan
kebodohan.

Dalam dunia pendidikan banyak sekali terjadi persamaa pendapat dan


perbedaan khususnya dalam hal konsep pendidikan. Dalam pemikiran
pendidikan K.H Hasyim Asy’ari lebih fokus kepada persoalan-persoalan etika
dalam mecari dan menyebarkan ilmu. Beliau berpendapat bahwa bagi seorang
yang akan mencari ilmu pengetahuan, yang pertama harus ada pada diri
sendiri mereka adalah semata-mata untuk mencari keridhoan Allah Swt.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas pemakalah dapat menguraikan beberapa masalah :
1. Bagaimana Biografi KH. Hasyim Asy’ari ?
2. Apa saja pemikiran-pemikirannya dalam pendidikan islam ?
BAB II

PEMBAHASA

A. Biografi K.H. Hasyim Asy’ari

Nama lengkap K.H. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari


Ibn „Abd al-Wahid ibn „Abd al-Halim yang mempunyai gelar Pangeran Bona-
ibn al-Rahman yang dikenal Jaka Tingkir Sultan Hadiwijoyo-ibn Abdulla ub
Abdu al-„Aziz ibn Abd al-Fatih ibn Maulana Ishaq dari Raden „Ain al-Yaqin
yang disebut dengan Sunan Giri.1 Ia lahir di Gedang, sebuah desa di daerah
Jombang, Jawa Timur, pada hari selasa Kliwon pada tanggal 14 Februari
1871. 2 K.H. Hasyim Asy’ari wafat pada jam 03:45 dini hari pada tanggal 25
Juli 1947 bertepatan dengan 7 Ramadhan tahun 1366 dalam usia 79 tahun.3

Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri,


terutama pedidikan dibidang ilmu-ilmu Al-qur’an dan literatur agama lainnya.
Setelah itu, selain itu ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagai pondok
pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shona, Siwalan Buduran, Langitan
Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo, ternyata K.H. Hasyim Asy’ari
merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K.H.
Ya’qub yang merupakan Kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya’qub lambat laun
merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy’ari dalam perilaku
kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan puterinya,
Khadijah.4 Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy’ari
melangsungkan pernikahan dengan putri K.H. Ya’qub tersebut. 5

1
K.H. Hasyim Asy’ari, Adab Ta’lim wa Muta’allim., h. 3
2
K.H. Hasyim Asy’ari. Baca juga,Ridjaluddin Fadjar Nugraha, “Peranan K.H. Hasyim
Asy’ari dalam kebangkitan Islam di Indonesia”, Skripsi, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah,
1983), h.7
3
Muhammad Asad Syihab, Hadlratussyaikh Muhammda Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta :
Titian Ilahi Press, 1994) h. 73
4
Sebagaimana lazimnya tradisi pesantren, jika sang kiai mengetahui ada santrinya yang
cerdas, pintar, tulus, dan potensial, maka sang kiai menjodohkannya dengan anaknya. Begitu juga
terhadap Hasyim Asy’ari, Kiai Ya’qub pada suatu hari memanggil santrinya itu.”Hasyim, saya
Setelah nikah, K.H. Hasyim Asy’ari bersama isterinya segera melakukan
ibadah haji. Sekembalinya dari tanag suci, mertua K.H Hasyim Asy’ari
mengajurkanya untuk menuntut ilmu di makkah. Dimungkinkan hal ini
didorong oleh tradisi pada saat itu bahwa seorang ulama belumlah dikatakan
cukup ilmunya. Jika belum mengaji di makkah selama bertahun-tahun. Di
makkah itu, K.H Hasyim Asy’ari mempelajari berbagai macam disiplin ilmu,
diantaranya adalah ilmu fiqih Syafi’yah dan ilmu hadist, terutama literatur
Shahih Bukhari dan Muslim.6

Di saat K.H Hasyim Asy’ari bersemangat belajar, tepatnya ketika telah


menetap 7 bulan di makkah, isterinya meninggal dunia pada waktu melahirkan
anak pertamanya sehingga bayinya pun tidak bisa di selamatkan. Sungguhpun
demikian, hal ini tidak mematahkan semangat belajarnya untuk menuntut
ilmu. K.H Hasyim Asy’ari semasa tinggal dimakkah berguru kepada Syekh
Ahmad Amin al-Athar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan
al-Atthar, Syekh Sayyid Yamay, Sayyid Alawi ibn Ahmad al-Saqqaf, Sayyid
Abbas Maliki, Sayyid Abdullah al-Zawawy, Syekh Shaleh Bafadhal, dan
Syekh Sultan Hasyim Dagastani.7 Ia tinggal di makkah selama 7 tahun dan
pada tahun 1900 M atau 1314 H K.H Hasyim Asy’ari pulang ke kampung
halamannya. Ditempat itu, ia membuka pengajaran keagamaan yang dalam
waktu relatif singkat menjadi terkenal di wilayah Jawa. Keberhasilan K.H
Hasyim Asy’ari dalam membuka kajian keagamaan ini di dukung oleh faktor
krpribadiannya yang luhur dan pantang putus asa, disamping itu ia memiliki
kekutan spiritual. James Fox, seorang Antropolog dari Australian Nationa

mengerti dan tahu bahwa engkau seorang santri yang benar-benar rajin dan sungguh-sungguh
dalam belajarnya. Saya lebih tahu dan mengerti bahwa setengah dari pada sifat-sifatmu, ialah tiada
suka membantah akan perintah guru. Hal itu telah saya ketahui benar-benar. Karena itu, saya
menghendaki..menjodohkan kamu dengan anak saya sendiri yang bernama Khadijah, bagaimana
pendapatmu?” Baca Ridjalludin Fadjar Nugraha, h. 16-17
5
Kholid Mawardi, Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan : Moralitas Pemikiran
Pendidikan K.H Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: Insania, 2008), h.2
6
Lathiful Khuluq, Kebangkitan Ulama, Biografi K.H Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta:
LKIS, 2000), h.18
7
Abu Bakar Aceh, Sejarah Hidup K.H A Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, (Jakarta:
Panitia Buku Peringatan K.H.A. Wahid Hasyim, 1975), h.35
University (ANU) yang menganggap bahwa K.H Hasyim Asy’ari adalah
seorang wali, sebagaimana dalam tulisannya :

“... Jika kiai pandai masih di anggap sebagai wali, ada satu figur dalam
sejarah Jawa kini yang dapat menjadi kadidat utama untuk peran wali. Ini
adalah ulama besar, Hadratus Syekh-Kiai Hasyim Asy’ari. Memiliki ilmu dan
di pandang sebagai sumber berkah bagi mereka yang mengetahuinnya,
Hasyim Asy’ari semasa hidupnya menjadi pusat pertalian yang
menghubungkan para kiai utama seluruh Jawa. Kiai Hasyim juga dianggap
memiliki keistimewaan luar biasa, menurut garis keturunannya, tidak saja
berasal dari garis keturunan ulama pandai, dia juga keturunan Prabu
Brawijaya.” 8

Bagi Hasyim Asy’ari, semangat mengembangkan ilmu pengetahuan tidak


ada putus-putusnya. Ia selalu merasa tidak puas terhadap apa yang di capai
pada saat itu. Semangat ini kemudian mendorong Hasyim Asy’ari untuk
mendirikan pondok pesantren tebu ireng, pada tanggal 6 februari 1906.
Pesantren yang didirikan tersebut tidak berapa lama kemudian berkembang
menjadi pesantren yang terkenal di Nusantara menjadi tempat Menggodok
kader-kader ulama untuk wilayah jawa dan sekitarnya.9

Sejak masih di pondok, ia telah di percayai untuk membimbing/mengajar


santri baru. Ketika di makkah, ia sempat mengajar. Demikian pula ketika
kembali ke tanah air, diabadikan seluruh umur hidupnya untuk agama dan
ilmu.10

Aktivitas K.H Hasyim Asy’ari di bidang sosial lainnya adalah mendirikan


organisasi Nahdlatul Ulama, bersama dengan ulama besar di jawa lainnya,

8
Lihat James J. Fox, “Ziarah Vitis to the tobs of the wali, the Founders of Islam on
Jawa”, dalam M.C. Rickles (ed). “Islam in the Indonesia Social Countext”, (Clayton, Victoria:
Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, 1991), h. 30, dalam Lathiful Khuluq,
Fajar Kebangunan Ulama: Biografi K.H Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: LkiS, 2000), h.20
9
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Ar-Ruzz Media (Yogyakarta: 2006), h. 86
10
Ensiklopedia Islam II, h. 102-3
seperti Syekh Abdul Wahab dan Syekh Bishri Syansuri, pada tanggal 31
Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H. Organisasi ini di dukung oleh para ulama,
terutama ulama Jawa, dan komunitas pesantren. Memang pada awalnya,
organisasi ini dikembangkan untuk merespon wacana khalifah dan gerakan
purifikasi yang ketika itu dikembangkan Rasyid Ridha di Mesir, tetapi pada
perkembangannya kemudian organisasi itu melakukan rekontruksi sosial
keagamaan sosial keagamaan yang lebih umum.11

Tidak banyak para ulama dari kalangan tradisional yang menulis buku.
Akan tetapi tidak demikian dengan K.H. Hasyim Asy’ari. Tidak kurang dari
sepuluh kitab disusunya,antara lain :12

1. Adab al-Alim wa al-Muta’allim fima yahtaj ilah al-Muta’allim fi


Ahuwal Ta’allum wa ma Yataqaff al-Mu’allim fi Maqamat Ta’limih.
2. Zidayat Ta’liqat, Radda fiha Mandhumat al-Syaikh ‘abd Allah bin
Yasin al-Fasuranni Allati Bihujubiha „Ala ahl Jami’iyyah Nadrathul
Ulama.
3. Al-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna al-Maulid al-Munkarat.
4. Al-Risalat al-Jami’at,sharh fiha ahwaal al-Mautta wa Asyinath al-
Sa’at ma’Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah.
5. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin,bain fihi Ma’na al-
Mahabbah Lirasul Allah wa ma Yata’allaq biha Man Ittaba’iha wa
ihya al-Sunnatih.
6. Hasyiyah „ala fath al-Rahman bi Syarth Risalat al-Wali Ruslan li
Syaikh al-Islam Zakariya al-Ansbari
7. Al-Durr al-Muntasirah fi Masail al-Tis’i Asyrat,Sharh fiha Masalat al-
Thariqah wa al-Wilayah wa ma Yata’Allaq bihima min al-Umur al-
Muhimmah li Ahl al-Thariqah.

11
Abu Bakar Aceh, Sejarah Hidup K.H A Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, (Jakarta:
Panitia Buku Peringatan K.H.A. Wahid Hasyim, 1975), h.473
12
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers 2002), h. 155
8. Al-Tibyan fi al-Nahy „an Muqathi’ah al-Ikhwan, bain fih ahammiyat
shillat al-rahim wa Dhurar qath’iha
9. Al-Risalat al-Tauhidayah, wahiya Risalah Shaghiratfi Bayan „Aqiqah
Ahl Sunnah wa al-Jamaah.
10. Al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min al-‘aqaid.13

Disamping bergerak dalam dunia pendidikan, Kyai Hasyim menjadi


printis dan pendiri organisasi kemasyarakatan NU (Nahdlatul Ulama),
sekaligus sebagai Rais Akbar. Pada bagian lain ia juga bersikap kofrontatif
terhadap penjajah belanda. Ia, misalnya menolak menerima penghargaan dari
pemerintah Belanda, bahkan pada saat revolusi fisik, ia memyerukan jihad
melawan penjajah dan menolak bekerja sama dengannya. Sementara pada
masa penjajahan jepang, ia sempat ditahan dan di asingkan ke Mojokerto.
Jabatan yang pernah diterimanya adalah menjadi ketua Masyumi, ketika NU
bergabung di dalamnya. Ia wafat di tebu ireng, jombang dalam usia 79 Tahun,
tepatnya tanggal 25 juli 1947 H/7 Ramadhan 1366 H.14

B. PEMIKIRAN TENTANG PENDIDIKAN

Salah satu karya monumental K.H. Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang
pendidikan adalah kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaj Ilah al-
Muta’alim fi Ahuwul Ta’allum wa ma Yataqaff al-Mu’alim fi Maqamat
Ta’limih yang di cetak pertama kali pada tahun 1945 H. Sebagaimana
umumnya kitab kuning, pembahasan terhadap masalah pendidikan etika.
Meski demikian tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya.
Keahliannya dalam bidang hadist ikut pula mewarnai isi kitab tersebut.
Sebagai bukti adalah dikemukakannya beberapa hadist sebagai dasar dari
penjelasannya, disamping beberapa ayat al-Qura’an dan pendapat para ulama.

13
. Hasyim Asy’ari,Adab Ta’lim wa Muta’allim, h. 45
14
. Muhammad Asad Syihab,Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari,(Yogyakarta :
Titian Ilahi Press,1994), h. 73
Untuk memahami pokok pikirannya dalam kitab tersebut perlu pula
diperhatikan latar belakang ditulisnya kitab tersebut. Penyusunan karya ini
boleh jadi didorong oleh situasi pendidikan yang padat saat itu mengalami
perubahan dan perkembangan yang pesat, dari kebiasaan lama (tradisional)
yang sudah mapan kedalam bentuk baru (modern) akibat dari pengaruh sistem
pendidikan barat (Imperalis Belanda) di terapkan di Indonesia. Karyanya ini
merujuk pada kitab-kitab yang ditelaahnya dari berbagai ilmu yang langsung
diterima dari para gurunya ditambah dengan berbagai pengalaman yang
pernah di jalaninya.

Ia memulai tulisannya dengan sebuah pendahuluan yang menjadi


pengantar bagi pembahasan selanjutnya. Kitab tersebut tersebut terdiri dari 8
Bab, yaitu : keutamaan ilmu serta keutamaan belajar mengajar, etika yang
harus diperhatikan dalam belajar mengajar, etika seorang murid terhadap guru,
etika murid terhadap pelajaran dan hal-hal yang harus dipedomani bersama
guru; etika yang harus di pedomani seorang guru, etika guru ketika akan
mengajar, etika guru tegadap murid-muridnya dan etika terhadap buku, alat
untuk memperoleh pelajaran dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Dari
delapan bab tersebut dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok yaitu :15
signifikan pendidikan, tugas dan tanggung jawab seorang murid,dan tugas dan
tanggung jawab seorang guru.16 Sedangkan penelitian terakhir menelusuri
konsep etika belajar-mengajar dalam prespektif K.H Hasyim Asy’ari dan
implikasinya bagi dunia pendidikan.17

15
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Isla, h.156
16
Hasyim Asy’ari,Adab Ta’lim wa Muta’allim, h. 101
17
Nurdin, “Etika belajar-mengajar: Telaah Kritis atas Konsep Pemikiran K.H Hasyim
Asy’ari dalam Kibat Adab Al-Alim wa al-muta’alim” Tesis, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga,
1999)
1. Signifikan Pendidikan

Dalam membahas masalah ini, ia banyak mengutip ayat-ayat al-


Qur’an yang menjelaskan tentang keutamaan ilmu dan orang yang ahli
ilmu. Tidak cukup hanya ayat-ayat al-Qur’an, pembahasan dalam bab
pertama tersebut dilengkapi dengan berbagai hadist Nabi dan pendapat
para ulama,yang kemudian di ulas dan dijelaskan dengan singkat dan
jelas. Ia misalnya,menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahuan
adalah mengamalkannya. Hal yang demikian dimaksudkan agar ilmu
yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan
diakhirat kelak. Mengingat begitu pentingnya, maka syariat mewajibkan
untuk menuntutnya dengan memberikan pahala yang besar. Pada bagian
lain juga dijelaskan bahwa ilmu merupakan sifat yang menjadikan jelas
identitas pemiliknya.18
Dalam tulisan selanjutnya di kemukakan bahwa bertauhid
mengharuskan adanya keimanan. Maka barang siapa yang beriman maka
ia harus bertauhid. Keimanan mewajibkan adanya syariat,sehingga orang
yang tidak menjalankan syariat maka ia berarti tidak beriman dan tidak
bertauhid. Sementara orang yang bersyariat harus beradab. Demikan
orang yang beradab berarti juga bertauhid, beriman dan bersyariat.
Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menunutut ilmu,
yaitu :19 pertama bagi murid hendaknya berniat suci untuk menuntut
ilmu,jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan
melecehkan atau menyepelekannya,kedua bagi guru dalam mengajarkan
ilmu hendaknya harus meluruskan niat terlebih dahulu, tidak
mengharapkan materi semata-semata. Disamping itu, yang dianjurkan
hendaknya sesuai dengan tindakan-tindakan yang di perbuat.

Zainal Munasichin, Resolusi Jihad; Sejarah Yang di Lupakan, (Jakarta: DPP


18

PKB.2011), h.22
19
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.156
Dalam penjelasannya,ia tidak memberikan definisi secara khusus
tentang pengertian belajar. Dalam hal ini yang menjadi titik penekananya
adalah pada pengertian bawah belajar itu merupakan ibadah untuk
mencari ridha Allah yang mengantarkan seseorang untuk memperoleh
kebahagiaan dunia dan akhirat. Kerenanya belajar harus di niatkan untuk
mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai islam,bukan hanya sekedar
menghilangkan kebodohan.

a. Tugas dan Tanggung Jawab Murid

Dalam menerapkan tugas dan tanggung jawab murid harus


memenuhi beberapa etika :
Etika yang pertama, Etika yang harus diperhatikan dalam belajar.
Dalam hal ini terdapat sepuluh etika yang di tawarkannya adalah20
membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan
keduniawian, membersihkan niat, tidak menunda-nunda kesempatan
belajar, bersabar dan qannah terhadap segala macam pemberian dan
cobaan,pandai mengatur waktu, menyerdehanakan makanan dan
minuman, bersikap hati-hati, menghindari makanan dan minuman
yang menyebabkan kemalasan dan kebodohan, menyedikitkan
waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan dan meninggalkan hal-
hal yang kurang berfaedah.21 Dalam hal ini terlihat bahwa ia lebih
menekankan pada pendidikan rohani atau pendidikan jiwa,meski
demikian pendidikan jasmani tetap diperhatikan, khususnya
bagaimana mengatur waktu makan dan minum dan sebagainya.
Etika yang kedua, Etika seorang murid terhadap guru. Dalam
membahas masalah ini, ia menawarkan dua belas etika, yaitu :22
hendaknya selalu memperhatikan dan mendengarkan apa yang
dikatakan atau dijelaskan oleh guru, memilih guru yang wara
(berhati-hati) di samping profesioanal, mengikuti jejak-jejak guru,

20
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.157
21
K.H. Hasyim Asy’ari,Adab Ta’lim wa Muta’allim, h. 24-8
22
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h. 158
memuliakan guru, memperhatikan apa yang menjadi hak guru,
bersabar atas kekerasan guru, berkunjung kepada guru pada
tempatnya atau mintalah ijin terlebih dahulu kalau keadaan memaksa
harus tidak pada tempatnya, duduklah dengan rapi dan sopan bila
berhadapan dengan guru, berbicaralah dengan sopan dan lemah
lembut, dengarkan segala fatwanya, jangan sekali-kali menyela
ketika sedang menjelaskan dan gunakan anggota yang kanan apabila
menyerahkan sesuatu kepadanya. 23
Etika seperti ini masih banyak di jumpai pada pendidikan
pesantren,tetapi etika seperti yang dijelaskan sangat langka ditengah
budaya konsep yang ditawarkannya sudah tidak relevan, akan tetapi
masalah yang melingkupinya kian komplek seiring dengan
munculnya berbagai masalah pendidikan Islam itu sendiri. Meskipun
demikan, bila dibandingkan dengan konsep pendidikan islam
lainnya, maka pemikiran yang ditawarkannya terlihat lebih maju.
Hal ini, misalnya terlihat dalam memilih guru hendaknya yang
profesional, meperhatikan hak-hak guru, dan sebagainya.
Etika yang ketiga, Etika Murid Terhadap Pelajaran. Murid
dalam menuntut ilmu hendaknya memperhatikan etika sebagai
berikut :24 memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu ain untuk
dipelajari,harus mempelajari ilmu-ilmu yang mendukung ilmu
fardhu ain berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama,
mendiskusikan dan menyetorkan hasil belajar kepada orang yang
dipercayainya, senantiasa menganalisa dan menyimak
ilmu,pancangkan cita-cita yang tinggi, bergaulah dengan orang yang
berilmu lebih tinggi, ucapkan salam apabila sampai ditempat
sekolah/madrasah, bila terdapat hal-hal yang belum di pahami
hendaklah ditanyakan, bila kebetulan bersamaan dengan banyak
teman maka sebaiknya jangan mendahului antrian kalau tidak
mendapatka ijin, kemanapun kita pergi dan dimanapun kita berada
jangan lupa membawa catatan, pelajari pelajaran yang telah

23
Abbuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Rajagrafindo Persada 2005), h.133
24
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.159
diajarkan dengan kontinyu (istiqamah) tanamkan rasa
antusias/semangat dalam belajar. Penjelasan tersebut diatas seakan
membuka mata kita akan sistem pendidikan di pesantren yang
selama ini terlihat kolot. Hanya terjadi komunikasi satu arah,
memasung kemerdekaan berpikir dan sebagainya.25
Memang tidak dinafikan adanya model pendidikan yang hanya
mengandalkan pengetahuan yang disampaikan oleh guru. Akan
tetapi, sebenarnya bukanlah begitu maksudnya. Boleh jadi karena
begitu ketatnya etika yang diterapkan. Sehingga dalam beberapa
kasus menutup etika yang lainnya. Sebagai satu contoh adalah,
kurang adanya budaya berdiskusi dan tanya jawab dalam proses
belajar mengajar di pesantren, bukan berarti bahwa pemikiran
tersebut akan terpasung, akan tetapi karena dalam etika sebelumnya
dijelaskan bahwa murid dilarang menyela penjelasan guru atau murid
harus mendengarkan fatwa guru dan sebagainya. 26 Maka kemudian
etika tersebut di salah pahami pengertiannya dengan tertutupnya
pintu budaya bertanya dan berdiskusi di lingkungan pendidikan
pesantren. Fenomena tersebut dilengkapi dengan adanya ketakutan
bahwa apabila tidak memperhatikan apa yang dijelaskan guru, maka
ilmunya tidak membawa berkah dan tidak bermanfaat, maka semakin
menambah murid untuk selalu menurut apa yang dikatan guru. Guru
dianggap selalu benar dan tidak boleh dipertanyakan kebenaran
ilmunya kerana ilmu yang diajarka bersumber dari kitab, dimana
kitab tersebut bersumber pada al-Qur’an dan Hadist. Dari sini
kemudian muncul suatu pemahaman dikalangan pendidikan
tradisional untuk selalu menerima apa yang selalu di berikan . inilah
alasan yang bersifat epistimologi mengapa sistem pendidikan di
pesantren terlihat seolah-olah kaku. Akan tetapi bila dilihat
pemikiran yang ditawarkannya, maka pemahaman yang salah
tersebut segera berubah, menjadi terbuka, inovatif, dan progresif.

25
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.160
26
Taymiz Buharnuddin, Akhlak Pesantren Pandangan K.H Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta:
Ittaqa Press, 2001), h. 68
Dalam membahas tentang ilmu yang wajib dipelajari yang
bersifat fardhu ain, maka gagasan tersebut sejalan dengan pemikiran
al-Ghazali. Ia memberikan kesempatan secara luas kepada para
santrinya untuk mengambil dan mengikuti pendapat para ulama.
Akan tetapi terdapat catatan yang mesti diperhatikan, bahwa dalam
menanggapi ikhtilaf para ulama harus berhati-hati. Demikian pula
dengan budaya bertanya dan berdiskusi, sekaligus evaluasi di
perkenalkan dan disosialisasikan dengan etika tersendiri, begitu pula
dengan etika-etika lainnya.27

b. Tugas Dan Tanggung Jawab Guru.

Dalam menerapkan tugas dan tanggung jawab guru harus


memenuhi beberapa etika yaitu :
Etika yang pertama, Etika Seorang Guru. Tidak hanya murid
yang dituntut untuk beretika, apalah artinya etika diterapkan kepada
murid jika guru yang mendidiknya tidak mempunyai etika. Oleh
karena itu,ia juga menawarkan beberapa etika yang harus dimiliki
oleh guru, antara lain :28 senantiasa mendekatkan diri kepada Allah
,senantiasa takut kepada Allah, senantiasa bersikap tenang,
senantiasa berhati-hati, senantiasa tawadhu, senantiasa khusu’,
mengadukan segala persoalanya kepada Allah Swt,tidak
menggunakan ilmu untuk meraih keduniawian semata, tidak selalu
memanjakan anak didik, berlaku zuhud dalam kehidupan dunia,
berusaha menghindari hal-hal yang rendah, menghindari tempat-
tempat yang kotor dan tempat ma’syiat, mengamalkan sunnah Nabi,
mengistiqamahkan membaca al- Qur’an, bersikap ramah, ceria,dan
suka meburkan salam, membersihkan diri dari perbuatan-perbuatan
yang tidak disukai Allah, menumbuhkan semangat untuk menambah
ilmu pengetahuan, tidak menyalahgunakan ilmu dengan cara
menyombongkannya dan membiasakan menulis, mengarang dan
meringkas.

27
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta 2008), h.184
28
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.161
Menanggapi gagasan yang dikemukakannya diatas, maka yang
pertama terlihat adalah nuansa tasawufnya. Hal ini tidak
mengherankan, sebab dalam perilaku kehidupan, ia lebih cenderung
pada kehidupan seorang sufi. Demikian juga dengan ilmu yang
ditekuni ketika menimba ilmu,khususnya di makkah, lebih
mendalami bidang tasawuf dan hadis, maka kedua ilmu itu pula
mewarnai gagasan dan pemikirannya khususnya dalam bidang
pendidikan. Meskipun demikian, tidak hidup dalam dunia sufi yang
jauh dari kehidupan pada umumnya, akan tetapi kehidupannya akan
justru menyatu dengan masyarakat dan berusaha memberikan
jawaban terhadap tasawuf dan hadist, maka kedua ilmu itu pula yang
mewarnai gagasan dan pemikirannya, khususnya dalam bidang
pendidikan. Meskipun demikian ia tidak hidup dalam dunia sufi yang
jauh dari kehidupan pada umumnya, akan tetapi kehidupannya justru
menyatu dengan masyarakat dan berusaha memberikan jawaban
terhadap permasalahan yang melingkupinya.
Catatan menarik yang perlu dikedepankan dalam membahas
masalah ini adalah29 etika atas statement yang terakhir, dimana guru
harus membiasakan diri menulis, mengarang, dan meringkas. Untuk
menulis dan meringkas mungkin masih jarang dijumpai. Ini pula
yang dapat dijadikan sebagai salah satu faktor mengapa sulit
dijumpai tulisan-tulisan berupa karya-karya ilmiah. Sejak awal, ia
memandang perlu adanya tulisan dan karangan, sebab lewat tulisan
itulah ilmu yang dimiliki seseorang akan terabadikan dan akan
banyak memberikan manfaat bagi generasi selanjutnya. Di samping
itu juga akan terkenang sepanjang masa. Namun, tradisi menulis ini
belum membudaya di lingkungan pesantren.
Sebenarnya menarik untuk dikupas, mengapa budaya menulis
kurang mendapatkan tempat di lingkungan pendidikan tradisional?.
jawab dari permasalahan ini adalah bahwa ilmu-ilmu yang dikaji
dan dipelajari di lingkungan pesantren adalah ilmu-ilmu agama,

29
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.166
di mana materi dan metodenya hampir telah mencapai final, sehingga
pengembangan terhadap ilmu-ilmu tersebut bisa dikatakan tertutup.
Disamping itu,tuntutan masyarakat atau keadaan masyarakat kurang
memberikan motivasi,sebab budaya yang berkembang masih pada
tataran masyarakat atau keadaan masyarakat kurang memberikan
motivasi, sebab budaya yang berkembang masih pada tataran budaya
mendengarkan dari pada budaya membaca. Namun yang jelas,untuk
saat sekarang,budaya menulis pula merambah dunia pesantren,
meskipun tulisan yang dihasilkan bukan berupa kitab-kitab yang
dikaji pada pesantren, akan tetapi tulisan-tulisan yang membicarakan
permasalahan sosial keagamaan disekelilingnya.
Etika yang kedua, Etika Guru Dalam Mengajar. Seorang guru
ketika hendak mengajar dan ketika mengajar perlu memperhatikan
beberapa etika. Dalam hal ini ia menawarkan gagasan tentang etika
guru ketika mengajar sebagai berikut :30 mensucikan diri dari hadats
dan kotoran,berpakaian yang sopan dan rapi dan usahakan berbau
wangi, berniatlah beribadah ketika dalam mengajarkan ilmu kepada
anak didik,sampaikan hal-hal yang diajarkan oleh Allah, biasakan
membaca untuk menambah ilmu pengetahuan, berilah salam ketika
masuk dalam kelas, sebelum mengajar mulailah terlebih dahulu
dengan berdoa untuk para ilmu yang telah lama meninggalkan kita,
berpenampilan yang kalem, dan jauhi hal-hal yang tidak pantas
dipandang mata, manjauhkan diri dari bergurau dan banyak tertawa,
jangan sekali-kali mengajar dalam kondisi lapar, marah, mengantuk
dan sebagainya. Pada waktu mengajar hendaklah mengambil tempat
duduk yang strategis, usahakan tampilannya ramah, lemah lembut,
jelas, tegas dan lugas serta tidak sombong dalam mengajar,
hendaklah mendahulukan materi-materi yang penting dan sesuaikan
dengan profesional yang dimiliki, jangan sekali-kali mengajarkan

30
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.167
hal-hal yang bersifat syubhat yang bisa membinasakan, perhatikan
masihng-masing kemampuan murid dalam mengajar dan tidak terlalu
lama, menciptakan ketenangan dalam ruangan belajar, menasehati dan
menegur dengan baik apabila terdapat anak didik yang bandel,
bersikaplah terbuka terhadap berbagai macam persoalan-persoalan
yang ditemukan, berilah kesempatan kepada peserta didik yang
datangnya ketinggalan dan ulangilah penjelasannya agar tahu apa yang
dimaksud.
Terlihat bahwa apa yang ditawarkannya lebih bersifat pragmatis.
Artinya, apa yang ditawarkan berangkat dari praktek yang selama ini
dialaminya. Inilah yang memberikan nilai tambah dalam konsep yang
dikemukakan oleh bapak santri ini.
Etika yang ketiga, Etika Guru Bersama Murid. Guru dan murid
tidak hanya masing-masing mempunyai etika yang berbeda antara satu
dengan lainnya. Akan tetapi diantara keduanya juga mempunyai etika
yang sama. 31
Sama-sama harus dimiliki oleh guru dan murid.
Diantara etika tersebut adalah: berniat mendidik dan menyebarkan
ilmu pengetahuan serta menghidupkan syariat islam, menghindari
ketidak ikhlasan dan mengejar keduniawian, hendaknya selalu
melakukan itrospeksi diri, mempergunakan metode yang mudah
dipahami murid, membangkitkan antusias peserta didik dengan
memotivasinya, memberikan latihan-latihan yang bersifat
membantu,selalu memperhatikan kemampuan peserta didik, tidak
selalu memunculkan salah seorang peserta didik dan menafikan yang
lainnya, mengarahkan minat peserta didik, bersikap terbuka dan lapang
dada terhadap peserta didik, membantu memecahkan masalah dan
kesulitan peserta didik, bila terdapat peserta didik yang berhalangan
hendaknya mencari hal ihwal kepada teman-temannya, tunjukan sifat
arif dan penyayang terhadap peserta didik dan tawadhu.

Abu Bakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H Hasyim Asy’ari Biografi Singkat, (Yogyakarta:
31

Ar-Ruzz Media, 2009), h.3


c. Etika Terhadap Buku, Alat Pelajaran dan Hal-Hal Yang
Berkaitan Dengannya.
Satu hal yang paling menarik dan terlihat beda dengan materi-
materi yang biasa disampaikan dalam ilmu pendidikan pada
umumnya adalah32 etika terhadap buku dan alat-alat pendidikan.
Kalupun ada etika untuk itu, maka biasanya itu bersifat kasuistik dan
seringkali tidak tertulis. Sering pula itu dianggap sebagai aturan yang
sudah umum berlaku dan cukup diketahui oleh masing-masing
individu.

Etika khusus yang diterapkan untuk mengawali suatu proses


belajar maupun etika yang harus diterapkan terhadap kitab atau buku
yang dijadikan sebagai sumber rujukan menjadi catatan tersendiri,
sebab hal ini tidak dijumpai pada etika-etika belajar pada umumnya.

2. Karakteristik Pemikiran K.H Hasyim Asy’ari

Hasan Langgulung membuat polarisasi terhadap karekteristik


pemikiran pendidikan. Polarisasi itu didasarkan atas literatur-literatur
kependidikan yang ditulis oleh sejumlah penulis muslim. Menurutnya,
ada empat corak pemikiran pendidikan islam yang di pahami. Pertama,
sajian dalam spesifikasi fiqih, tafsir dan hadist yang kemudian mendapat
perhatian tersendiri dengan mengembangkan aspek-aspek pendidikan.
Kedua, corak pemikiran pendidikan yang bermuatan sastra. Ketiga, corak
pemikiran pendidikan filosofis. Keempat, corak pemikiran pendidikan
Islam yang berdiri sendiri dan berlainan dengan corak diatas, tetapi ia
tetap berpegang pada semangat Al-qur’an dan hadist. Corak yang terakhir
ini terlihat pada karya Muhammad ibn Sahnun (wafat 256 H/871 M)
dengan karyanya adab al-Mu’allim, dan Burhan al-Din

32
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.168
al-Zarnuji (wafat 571 atau 591 H) dengan karyanya Ta’alim al-
Muta’allim Thariq al-Ta’allum.33
Jika mengacu pada tawaran Hasan Langgulung di atas Adab al-alim
wa al- muta’allim dapat digolongkan pada corak terakhir. Hal ini
didasarkan ata kenyataan yang ada dalam kita tersebut yang tidak
memuat kajian-kajian dalam spesifikasi fiqih, sastra, dan filsafat. Kitab
ini semata-semata memberi petunjuk praktis bagi orang-orang yang
terlibat dalam proses pendidikan. Selain itu, Adab al-alim wa al-
muta’allim mempunyai banyak kesamaan dengan Ta’allim al-Muta’allim
karya al-Zarnuji dan lebih-lebi dengan Tadzkirat al-Sami wa al-
Mutakalim fi adab al-alim wa al-muta’allim karya ibn Jama’ah.
Kesamaan ini paling tidak adalah pada tingkat sama-sama membahas
secara khusus ide-ide kependidikan dengan mengutip pandangan
sejumlah ulama.
Disisi lain karakter pemikiran pendidikan K.H Hasyim Asy’ari dapat
dimasukkan ke dalam garis besar mazhab Syafi’iyah. Bukti yang cukup
kuat untuk menunjukkan hal itu adalah banyaknya syafi’iyah, termasuk
imam al- Syafi’i sendiri, yang seringkali di kutip oleh penulis kitab ini
ketimbang ulama mazhab yang lain. Dengan pengungkapan ide-ide
mazhab yang di anutnya, menurut Abd al-Mu’idz Khan, pasti
mempengaruhi pemikirannya tentang pendidikan.34
Kecenderungan lain dalam pemikiran K.H Hasyim Asy’ari adalah
mengetehkan nilai-nilai estis yang bernapaskan sufistik. Kecenderungan
ini dapat terbaca dalam gagasan-gagasannya, misalnya dalam keutamaan
menuntut ilmu. Untuk mendukung itu dapat dikemukakan bahwa bagi
K.H Hasyim Asy’ari keutamaan ilmu yang sangat istimewa adalah
bagi orang yang benar-benar li Allah Ta’ala. Kemudian, ilmu dapat

33
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992), cet
ke-2, h.123-129
34
Abd al-Mu’idz Khan dalam Affandi Mochtar, The method of Muslim Learning as
Illustrated in al-Zarnuji’s Ta’alim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum, Tesis, (Montreal : McGill
Univre)
diraih jika jiwa orang yang mencari ilmu tersebut suci dan bersih dari
segala sifat yang jahat dan aspek-aspek keduniawian.35

3. Relasi Peserta Didik-Pendidik

Untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat, K.H Hasyim Asy’ari


menyerankan kepada peserta didik untuk memperhatikan sepuluh etika
yang yang mesti dicamkan ketika belajar. Kesepuluh etika itu diantaranya
adalah membersihkan hati dari berbagai penyakit hati dan keimanan,
memiliki niat yang tulus bukan mengharapkan sesuatu yang material,
memanfaatkan waktu dengan baik, besabar dan memiliki sikap qana’ah,
pandai membagi waktu, tidak terlalu banyak makan dan minum, bersikap
hati-hati, menghindari makanan yang menyebabkan kemalasan dan
kebudayaan. 36
Atas dasar klasifikasi tersebut, menjadi semakin jelas
bahwa K.H Hasyim Asy’ari menempatkan corak kependidikannya
sebagai corak yang berbeda dari corak- corak kependidikan yang lain,
yakni tidaklah bercorak progresif ataupun esensialis.
Perbedaan-perbedaan ini di mungkinkan oleh karena adanya titik
pandang yang tidak sama dalam memahami manusia. Baik aliran
progrevisme maupun esensialisme, sama-sama mendasarkan
pandangannya pada penelitia- penelitian yang bersifat fisik-empiris.
Sedangkan K.H Hasyim Asy’ari identik dengan pemikiran Al-Ghazali
menyimpulkan bahwa subtansi manusia bukan terletak pada unsur
fisiknya, tetapi pada hatinya. Sebagai pandangan kependidikan yang di
dasarkan atas hati, memang dengan sendirinya akan menghadapi
kesulitan tersendiri, terutama di kontekskan dalam usaha verifikasi dan

35
Hasyim Asy’ari,Adab Ta’lim wa Muta’allim, h.22-23
36
Suwendi. Sejarah Dan Pemikiran Pendidikan Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2004), h. 150


pembuktian ilmiah. Sebab, usaha verifikasi dan pembuktian ilmiah
membutuhkan kerangka empiris sehingga agak sulit untuk mecari titik
temunya.
Kecenderungan para filosof barat dalam memandang manusia lebih
banyak dari sisi antroposentris, sedangkan filosof islam dalam hal ini,
misalnya Al-Ghazali memandangnya dari sisi teosentris. Dengan
demikian, dalama pendidikan islam, tugas pendidik tidak hanya
mencerdaskan pikiran sebagaimana aliran progrevisme atau menyiapkan
bahan pengajaran yang baik sebagaimana dan kebodohan, tidak
memperbanyak tidur, dan menghindari hal-hal yang kurang bermanfaat.
Untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang baik, peserta didik mesti
memilih dan mengikuti pendidik yang baik pula. Dalam hal ini, perlu
adanya batasan atau karakteristik pendidik yang baik. K.H Hasyim
Asy’ari menyebutkan ciri-ciri tersebut, yaitu37 cakap dan profesional
(kalimat ahliatuh), kasih sayang, berwibawa, menjaga diri dari hal-hal
yang merendahkan martabat, berkarya, pandai mengajar, dan berwawasan
luas. Kehati-hatian dalam memilih pendidik ini di dasarkan atas
pandangannya bahwa ilmu itu sama dengan agama. Oleh karena itu,
peserta didik harus tahu dari mana agama itu diperoleh. Tentu saja
persyaratan-persyaratan itu tidak selamanya secara keseluruhan
ditemukan dalam seorang guru. Adanya persyaratan-persyaratan itu
tampaknya lebih di fokuskan pada kerangka yang dapat menuntun peserta
agar kritis selektif dalam memilih guru sehingga proses pengalaman
kependidikannya nanti dapat memberi hasil.
Peserta didik harus memiliki anggapan (image) dalam dirinya bahwa
pendidik itu mempunyai kelebihan tersendirinya bahwa pendidik itu
mempunyai kelebihan tersendiri dan sangat berwibawa, sehingga peserta

37
Suwendi. Sejarah Dan Pemikiran Pendidikan Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2004), h. 151-153
didik harus mengetahui dan mengamalkan etika berbicara dengan
pendidik. Bahkan, ketika peserta didik berangkat ke pendidik hendaknya
bersedekah dan berdoa terlebih dahulu untuk pendidik.
Peserta didik harus senantiasa sabar terhadap segala kekasaran dan
kesalahan pendidik, selama tidak menjadi kebiasaan dan tidak
menggoyahkan keimanan. Meski sikap yang ditampilkan pendidik tidak
mencerminkan etika dan akhlak yang luhur, tetapi bagi peserta didik
hendaknya menyikapinya dengan arif. Sebab, respon demikian memberi
kebahagiaan dan menjaga perasaan pendidik, di samping ilmu yang di
dapat lebih bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat. Perspektif
demikian agaknya lebih banyak di dukung oleh asumsi-asumsi bahwa
guru merupakan sosok yang patut digugu dan di tiru sementara peserta
didik didudukkan sebagai orang yang belum memiliki kecakapan-
kecakapan tertentu sehingga masih menergantungkan pada guru itu.
Pada hubungan antara peserta didik dengan pendidik seperti yang di
kembangkan K.H Hasyim Asy’ari di atas agaknya menyiratkan pada
sebuah pemahaman bahwa pendidikan itu lebih banyak ditekankan oleh
aspek guru. Guru juga tidak hanya sebagai transmitor pengetahuan (know
ledge) kepada peserta didik, tetapi juga pihak yang memberi pengaruh
secara signifikan terhadap pembentukan perilaku (etika) peserta didik.38

38
Suwendi. Sejarah Dan Pemikiran Pendidikan Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2004), h. 154
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari dilahirkan dari keturunan eliet kiai
(pesantren) pada tanggal 24 Zulhijjah 1287H bertepatan 14 Februari
1871M, tepatnya sebelah Timur Jombang Jawa Timur. Suasana
kehidupan pesantren sangat mempengaruhi pembentukan karakter
Hasyim Asy’ari yang sederhana dan rajin belajar, belajar dari pesantren
ke pesantren di Jawa sampai ke Tanah Hijaz. Sebagai pendidik
merupakan bagian yang yang terpisahkan dari perjalanan hidupnya sejak
usia muda. Setelah mengajar keliling dari pesantren orangtua hingga
mertua, pada tahun 1899 Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren sendiri,
mewujudkan cita-citanya di daerah Tebuireng Jombang, Jawa Timur.

Pemikiran Hasyim Asy’ari dalam bidang pendidikan lebih


menekankan pada etika dalam pendidikan, meski tidak menafikan
beberapa aspek pendidikan lainnya. Dalam hal ini banyak dipengaruh
dengan keahliannya pada bidang Hadits, dan pemikirannya dalam bidang
tasawuf dan fiqih yang sejalan dengan teologi al Asy’ari dan al Maturidi.
Juga searah dengan pemikiran al-Ghazali, yang lebih menekankan pada
pendidikan rohani. Misalnya belajar dan mengajar harus dengan ikhlas,
semata-mata karena Allah, bukan hanya untuk kepentingan dunia tetapi
juga untuk kebahagian di akhirat. Dan untuk mencapainya seseorang
yang belajar atau mengajar harus punya etika, punya adab dan moral,
baik murid ataupun guru sendiri. K.H. Muhammad Hasyim Asy'ari
memandang pendidik sebagai pihak yang sangat penting dalam
pendidikan. Baginya, guru adalah sosok yang mampu mentransmisikan
ilmu pengetahuan disamping pembentuk sikap dan etika peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar Atjeh. Sejarah Hidup K.H Hasyim Asy’ari Biografi Singkat,

Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009

Aceh, Abu Bakar. Sejarah Hidup K.H A Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar,

Jakarta: Panitia Buku Peringatan K.H.A. Wahid Hasyim, 1975

Asy’ari, K.H Hasyim, Adab Ta’lim wa Muta’allim

Asy’ari, K.H. Hasyim. Ridjaluddin Fadjar Nugraha, “Peranan K.H. Hasyim

Asy’ari dalam kebangkitan Islam di Indonesia”, Skripsi, Jakarta: IAIN Syarif

Hidayatullah, 1983

Buharnuddin, Taymiz. Akhlak Pesantren Pandangan K.H Hasyim Asy’ari,

Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001

Ensiklopedia Islam II

Fox, James J. Fajar Kebangunan Ulama: Biografi K.H Hasyim Asy’ari,

Yogyakarta: LkiS, 2000

Khan, al-Mu’idz Abd. dalam Affandi Mochtar, The method of Muslim Learning as

Illustrated in al-Zarnuji’s Ta’alim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum, Tesis,

Montreal : McGill Univre

Khuluq, Lathiful. Kebangkitan Ulama, Biografi K.H Hasyim Asy’ari,

Yogyakarta: LKIS, 2000

Langgulung, Hasan. Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna,

1992, cet ke-2

Mawardi, Kholid. Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan : Moralitas Pemikiran

Pendidikan K.H Hasyim Asy’ari, Yogyakarta: Insania, 2008


Muhammad, Asad Syihab. Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari,

Yogyakarta : Titian Ilahi Press,1994

Munasichin, Zainal. Resolusi Jihad; Sejarah Yang di Lupakan, Jakarta: DPP

PKB.2011

Nata, Abbuddin. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia,

Jakarta: Raja grafindo Persada 2005

Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis,Teoritis,

dan Praktis. Jakarta: Ciputat Pers, Juli 2002

Nurdin, “Etika belajar-mengajar: Telaah Kritis atas Konsep Pemikiran

K.H Hasyim Asy’ari dalam Kibat Adab Al-Alim wa al-muta’alim” Tesis,

Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1999

Rizal, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam, Ciputat Pers. Jakarta 2002

Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan Islam, Ar-Ruzz Media Yogyakarta: 2006

Suwendi. Sejarah Dan Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2004

Syihab, Muhammad Asad. Hadlratussyaikh Muhammda Hasyim Asy’ari,

Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 1994

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta 2008

Anda mungkin juga menyukai