Anda di halaman 1dari 19

Tugas Ski

Nama: Edryansah Putra Purwanto


Kls : XII MIA 3

MAN 2 KOTA BENGKULU


1. KH Mohammad Hasyim Asy’ari

A. Biografi
KH Mohammad Hasyim Asy'ari. Biasa disebut KH Hasyim Ashari beliau
dilahirkan pada tanggal 10 April 1875 atau menurut penanggalan arab pada
tanggal 24 Dzulqaidah 1287H di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten
Jombang, Jawa Timur. Beliau tutup usia pada tanggal 25 Juli 1947 yang
kemudian dikebumikan di Tebu Ireng, Jombang. KH Hasyim Asy'ari
merupakan pendiri Nahdlatul Ulama yaitu sebuah organisasi massa Islam
yang terbesar di Indonesia. KH Hasyim Asyari merupakan putra dari pasangan
Kyai Asyari dan Halimah, Ayahnya Kyai Ashari merupakan seorang pemimpin
Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. KH Hasyim Ashari
merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis keturunan ibunya, KH
Hasyim Ashari merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan
Pajang). dari Ayah dan Ibunya KH Hasyim Ashari mendapat pendidikan dan
nilai-nilai dasar Islam yang kokoh. Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan
kecerdasan KH Hasyim Ashari memang sudah nampak. Di antara teman
sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia
sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang
dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana
memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia
menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke
Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang.
Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di
Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kyai Cholil. KH Hasyim
Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang
juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau
berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren
Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis
di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di
Sidoarjo. Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo.
Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-
benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal
sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup
lama –lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya
Kyai Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim
itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang
baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai
Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke
Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali
ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal. Tahun 1893, ia berangkat
lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun dan
berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At
Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said
Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki,
Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi. Tahun l899
pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai
Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Kyai Hasyim
bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang
sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai
Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya.
Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil
pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi
keluarga dan pesantrennya. Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang
tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter
sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870.
Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di
sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa:
tratak) sebagai tempat tinggal. Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren
Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak
bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal.
Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat
menjadi 28 orang. Setelah dua tahun membangun Tebuireng, Kyai Hasyim
kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan
mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan. Kyai Hasyim
kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh
Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10
anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid,
(6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh,
(10) Muhammad Yusuf. Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat
sehingga Kyai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai
Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan
ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2)
Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.

B. Karya
H. Hasyim Asy’ari banyak membuat tulisan dan catatan-catatan. Sekian banyak
dari pemikirannya, setidaknya ada 9 kitab karangannya yang menggambarkan
pemikiran serta cita-cita luhur beliau. Kitab-kitab tersebut antara lain:
1. At-Tibyanfi al-Nahy‘an Muqatha’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan. Kitab
ini selesai ditulis pada Senin, 20 Syawal 1260 H dan diterbitkan oleh Maktabah al-
Turats al-Islami, Pesantren Tebuireng. Berisikan pentingnya membangun
persaudaraan di tengah perbedaan serta bahaya memutus tali persaudaraan.
2. Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama. Dari kitab ini
para pembaca akan mendapat gambaran bagaimana pemikiran dasar beliau
tentang NU. Di dalamnya terdapat ayat dan hadits serta pesan penting yang
menjadi landasan awal pendirian jam’iyah NU. Boleh dikata, kitab ini sangat
recomended bagi para pegiat NU.
3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdzibi Mazhab al-A’immahal-Arba’ah. Mengikuti manhaj
para imam empat yakni Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam
Ahmad bin Hanbal tentunya memiliki makna khusus. Mengapa akhirnya
mengikuti jejak pendapat imam empat tersebut? Temukan jawabannya di kitab
ini.
4. Mawaidz. Adalah kitab yang bisa menjadi solusi cerdas bagi para pegiat di
masyarakat. Saat Kongres NU XI tahun 1935 di Bandung, kitab ini pernah
diterbitkan secara massal. Bahkan, Prof. Buya Hamka menerjemahkan kitab ini
untuk diterbitkan di majalah Panji Masyarakat edisi 15 Agustus 1959.
5. Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatul Ulama. Hidup ini
tak akan lepas dari rintangan dan tantangan. Hanya pribadi yang tangguh serta
memiliki sosok yang kukuh dalam memegang prinsiplah yang akan lulus sebagai
pememang. Kitab ini berisikan 40 hadits pilihan yang seharusnya menjadi
pedoman bagi warga NU.
6.Al-Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyidal-Mursalin. Biografi dan akhlak baginda
Nabi Muhammad SAW ada di dalam kitab ini. Kiai Hasyim juga menyarankan agar
umat Islam senantiasa mencintai baginda Nabi dengan mengirimkan shalawat
dan tentu saja mengikuti ajarannya.
7. Al-Tanbihat al-Wajibat li man Yushna’ al-Maulid bi al-Munkarat. Merupakan
kitab yang menyajikan beberapa hal yang harus diperhatikan saat memperingati
maulidurrasul.
8. Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fi ma Yanhaju Ilaih al-Muta’allim fi Maqamati
Ta’limihi. Kitab ini merupakan resume dari kitab Adab al-Mu’allim karya Syaikh
Muhamad bin Sahnun, Ta’lim al-Muta’allim fi Thariqat al-Ta’allum karya Syaikh
Burhanuddin al-Zarnuji dan Tadzkirat al-Syaml wa al-Mutakallim fi Adab al-Alim
wa al-Muta’allim karya Syaikh Ibnu Jamaah.
9. Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah fi Hadits al-Mautawa Syuruth al-Sa’ah wa
Bayani Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah. Kitab ini seakan menemukan
relevansinya khususnya pada perkembangan mutakhir lantaran mampu
memberikan penegasan antara sunnah dan bid’ah. Kondisi akhir jaman dengan
problematika yang mengiringinya juga disampaikan oleh Hadratussyaikh.
Setidaknya ada 14 karya dari Kiai Hasyim yang sudah dipublisir. Konon ada
beberapa manuskrip lagi yang belum diterbitkan. Ini mengindikasikan bahwa
beliau adalah ulama produktif dan memiliki kedalaman ilmu.
2. KH. Ahmad Dahlan

A. Biografi
Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868, Nama kecil KH. Ahmad
Dahlan adalah Muhammad Darwis. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang
bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Pendiri
Muhammadiyah ini termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim,
salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama
Islam di Jawa. Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq,
Maulana 'Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana
Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung
Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan
Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan). Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di
Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan
pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani,
Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia
berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah
dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad
Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia
mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta. Sepulang dari Mekkah, ia
menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang
kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri
Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam
orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti
Zaharah. Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda
H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH.
Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Nyai Aisyah (adik
Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan
Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.
Masuk Organisasi Budi Utomo, Dengan maksud mengajar agama, pada tahun 1909 Kiai
Dahlan masuk Boedi Oetomo - organisasi yang melahirkan banyak tokoh-tokoh
nasionalis. Di sana beliau memberikan pelajaran-pelajaran untuk memenuhi keperluan
anggota. Pelajaran yang diberikannya terasa sangat berguna bagi anggota Boedi
Oetomo sehingga para anggota Boedi Oetomo ini menyarankan agar Kiai Dahlan
membuka sekolah sendiri yang diatur dengan rapi dan didukung oleh organisasi yang
bersifat permanen. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari nasib seperti
pesantren tradisional yang terpaksa tutup bila kiai pemimpinnya meninggal dunia.
Saran itu kemudian ditindaklanjuti Kiai Dahlan dengan mendirikan sebuah organisasi
yang diberi nama Muhammadiyah pada 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330).
Organisasi ini bergerak di bidang kemasyarakatan dan pendidikan. Melalui organisasi
inilah beliau berusaha memajukan pendidikan dan membangun masyarakat Islam.
Madrasah Muhammadiyah Pertama Bagi Kiai Dahlan, Islam hendak didekati serta dikaji
melalui kacamata modern sesuai dengan panggilan dan tuntutan zaman, bukan secara
tradisional. Beliau mengajarkan kitab suci Al Qur'an dengan terjemahan dan tafsir agar
masyarakat tidak hanya pandai membaca ataupun melagukan Qur'an semata,
melainkan dapat memahami makna yang ada di dalamnya. Dengan demikian
diharapkan akan membuahkan amal perbuatan sesuai dengan yang diharapkan Qur’an
itu sendiri. Menurut pengamatannya, keadaan masyarakat sebelumnya hanya
mempelajari Islam dari kulitnya tanpa mendalami dan memahami isinya. Sehingga Islam
hanya merupakan suatu dogma yang mati. Di bidang pendidikan, Kiai Dahlan lantas
mereformasi sistem pendidikan pesantren zaman itu, yang menurutnya tidak jelas
jenjangnya dan tidak efektif metodenya lantaran mengutamakan menghafal dan tidak
merespon ilmu pengetahuan umum. Maka Kiai Dahlan mendirikan sekolah-sekolah
agama dengan memberikan pelajaran pengetahuan umum serta bahasa Belanda. ada
juga Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S. met de Qur'an. Sebaliknya, beliau pun
memasukkan pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum. Kiai Dahlan terus
mengembangkan dan membangun sekolah-sekolah. Sehingga semasa hidupnya, beliau
telah banyak mendirikan sekolah, masjid, langgar, rumah sakit, poliklinik, dan rumah
yatim piatu. Kegiatan dakwah pun tidak ketinggalan. Beliau semakin meningkatkan
dakwah dengan ajaran pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau
mengajarkan bahwa semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi
Muhammad SAW. Beliau juga mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan
perlakuan yang berlebihan terhadap pusaka-pusaka keraton seperti keris, kereta kuda,
dan tombak. Di samping itu, beliau juga memurnikan agama Islam dari percampuran
ajaran agama Hindu, Budha, animisme, dinamisme, dan kejawen. Di bidang organisasi,
pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus untuk kaum
wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian dari
Muhammadiyah ini, karena menyadari pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup
dan perjuangannya sebagai pendamping dan partner kaum pria. Sementara untuk
pemuda, Kiai Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu - sekarang dikenal dengan
nama Pramuka - dengan nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para pemuda
diajari baris-berbaris dengan genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan bertopi.
Hizbul Wathan ini juga mengenakan uniform atau pakaian seragam, mirip Pramuka
sekarang. Novel Sang Pencerah Ahmad Dahlan, Pembentukan Hizbul Wathan ini
dimaksudkan sebagai tempat pendidikan para pemuda yang merupakan bunga harapan
agama dan bangsa. Sebagai tempat persemaian kader-kader terpercaya, sekaligus
menunjukkan bahwa Agama Islam itu tidaklah kolot melainkan progressif. Tidak
ketinggalan zaman, namun sejalan dengan tuntutan keadaan dan kemajuan zaman.
Karena semua pembaruan yang diajarkan Kyai Dahlan ini agak menyimpang dari tradisi
yang ada saat itu, maka segala gerak dan langkah yang dilakukannya dipandang aneh.
Sang Kiai sering diteror seperti diancam bunuh, rumahnya dilempari batu dan kotoran
binatang. Ketika mengadakan dakwah di Banyuwangi, beliau diancam akan dibunuh dan
dituduh sebagai kiai palsu. Walaupun begitu, beliau tidak mundur. Beliau menyadari
bahwa melakukan suatu pembaruan ajaran agama (mushlih) pastilah menimbulkan
gejolak dan mempunyai risiko. Dengan penuh kesabaran, masyarakat perlahan-lahan
menerima perubaban yang diajarkannya. Tujuan mulia terkandung dalam pembaruan
yang diajarkannya. Segala tindak perbuatan, langkah dan usaha yang ditempuh Kiai ini
dimaksudkan untuk membuktikan bahwa Islam itu adalah Agama kemajuan. Dapat
mengangkat derajat umat dan bangsa ke taraf yang lebih tinggi. Usahanya ini ternyata
membawa dampak positif bagi bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Banyak golongan intelektual dan pemuda yang tertarik dengan metoda yang
dipraktekkan Kiai Dahlan ini sehingga mereka banyak yang menjadi anggota
Muhammadiyah. Dalam perkembangannya, Muhammadiyah kemudian menjadi salah
satu organisasi massa Islam terbesar di Indonesia. Melihat metoda pembaruan KH
Ahmad Dahlan ini, beliaulah ulama Islam pertama atau mungkin satu-satunya ulama
Islam di Indonesia yang melakukan pendidikan dan perbaikan kehidupan um’mat, tidak
dengan pesantren dan tidak dengan kitab karangan, melainkan dengan organisasi.
Sebab selama hidup, beliau diketahui tidak pernah mendirikan pondok pesantren
seperti halnya ulama-ulama yang lain. Dan sepanjang pengetahuan, beliau juga konon
belum pernah mengarang sesuatu kitab atau buku agama. Muhammadiyah sebagai
organisasi tempat beramal dan melaksanakan ide-ide pembaruan Kiai Dahlan ini sangat
menarik perhatian para pengamat perkembangan Islam dunia ketika itu. Para sarjana
dan pengarang dari Timur maupun Barat sangat memfokuskan perhatian pada
Muhammadiyah. Nama Kiai Haji Akhmad Dahlan pun semakin tersohor di dunia. Dalam
kancah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, peranan dan sumbangan beliau
sangatlah besar. Kiai Dahlan dengan segala ide-ide pembaruan yang diajarkannya
merupakan saham yang sangat besar bagi Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20. Kiai
Dahlan menimba berbagai bidang ilmu dari banyak kiai yakni KH. Muhammad Shaleh di
bidang ilmu fikih; dari KH. Muhsin di bidang ilmu Nahwu-Sharaf (tata bahasa); dari KH.
Raden Dahlan di bidang ilmu falak (astronomi); dari Kiai Mahfud dan Syekh KH. Ayyat di
bidang ilmu hadis; dari Syekh Amin dan Sayid Bakri Satock di bidang ilmu Al-Quran,
serta dari Syekh Hasan di bidang ilmu pengobatan dan racun binatang. Pada usia 54
tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923, Kiai Haji Akhmad Dahlan wafat di
Yogyakarta. Beliau kemudian dimakamkan di kampung Karangkajen, Brontokusuman,
wilayah bernama Mergangsan di Yogyakarta. Atas jasa-jasa Kiai Haji Akhmad Dahlan
maka negara menganugerahkan kepada beliau gelar kehormatan sebagai Pahlawan
Kemerdekaan Nasional. Gelar kehormatan tersebut dituangkan dalam SK Presiden RI
No.657 Tahun 1961, tgl 27 Desember 1961.
3. Muhammad Shalih Bin Umar

A. Biografi
Beliau bernama Abdillah Muhammad Bin Shalih Bin Muhammad Bin Utsaimin Al-Wahib
At-Tamimi. Dilahirkan di kota Unaizah tanggal 27 Ramadhan 1347 Hijriyah. Beliau
belajar membaca Al-Qur’an kepada kakeknya dari ibunya yaitu Abdurrahman Bin
Sulaiman Ali Damigh Rahimahullah, hingga beliau hafal. Sesudah itu beliau mulai
mencari ilmu dan belajar khat (ilmu tulis menulis), ilmu hitung dan beberapa bidang
ilmu sastra. Syaikh Abdurrahman As-Sa’di Rahimahullah menugaskan kepada 2 orang
muridnya untuk mengajar murid-muridnya yang kecil. Dua murid tersebut adalah Syaikh
Ali Ash-Shalihin dan Syaikh Muhammad Bin Abdil Aziz Al-Muthawwi’ Rahimahullah.
Kepada yang terakhir ini beliau (syaikh Utsaimin) mempelajari kitab Mukhtasar Al
Aqidah Al Wasithiyah dan Minhaju Salikin fil Fiqh karya Syaikh Abdurrahman As-Sa’di
dan Al- Ajurrumiyah serta Alfiyyah. Disamping itu, beliau belajar ilmu faraidh (waris) dan
fiqh kepada Syaikh Abdurrahman Bin Ali Bin ‘Audan. Sedangkan kepada syaikh (guru)
utama beliau yang pertama yaitu Syaikh Abdurrahman Bin Nashir As-Sa’di, beliau
sempat mengkaji masalah tauhid, tafsir, hadits, fiqh, ustsul fiqh, faraidh, musthalahul
hadits, nahwu dan sharaf. Belia mempunyai kedudukan penting di sisinya Syaikhnya
Rahimahullah. Ketika ayah beliau pindah ke Riyadh, di usia pertumbuhan beliau, beliau
ingin ikut bersama ayahnya. Oleh karena itu Syaikh Abdurrahman As-Sa’di mengirim
surat kepada beliau: “Hal ini tidak mungkin, kami menginginkan Muhammad tetap
tinggal di sini agar dapat bisa mengambil faidah (ilmu).” Beliau (Syaikh Utsaimin)
berkata, “Sesungguhnya aku merasa terkesan dengan beliau (Syaikh Abdurrahman
Rahimahullah) dalam banyak cara beliau mengajar, menjelaskan ilmu, dan pendekatan
kepada para pelajar dengan contoh-contoh serta makna-makna. Demikian pula aku
terkesan dengan akhlak beliau yang agung dan utama sesuai dengan kadar ilmu dan
ibadahnya. Beliau senang bercanda dengan anak-anak kecil dan bersikap ramah kepada
orang-orang besar. Beliau adalah orang yang paling baik akhlaknya yang pernah aku
lihat.” Beliau belajar kepada Syaikh Abdul Aziz Bin Baaz -sebagai syaikh utama kedua
bagi beliau- kitab Shahih Bukhari dan sebagian risalah-risalah Syaikh Islam Ibnu
Taimiyyah serta beberapa kitab-kitab fiqh. Beliau berkata, “Aku terkesan terhadap
syaikh Abdul Aziz Bin Baz Hafidhahullah karena perhatian beliau terhadap hadits
dansaya juga terkesan dengan akhlak beliau karena sikap terbuka beliau dengan
manusia.” Pada tahun 1371 H, beliau duduk untuk mengajar di masjid Jami’. Ketika
dibukanya ma’had-ma’had al ilmiyyah di Riyadh, beliau mendaftarkan diri di sana pada
tahun 1372 H. Berkata Syaikh Utsaimin Hafidhahullah, “Saya masuk di lembaga
pendidikan tersebut untuk tahun kedua seterlah berkonsultasi dengan Syaikh Ali Ash-
Shalihin dan sesudah meminta ijin kepada Syaikh Abdurrahman As-Sa’di Rahimahullah.
Ketika itu ma’had al ilmiyyah dibagi menjadi 2 bagian, umum dan khusus. Saya berada
pada bidang yang khusus. Pada waktu itu bagi mereka yang ingin “meloncat” –
demikian kata mereka- ia dapat mempelajari tingkat berikutnya pada masa libur dan
kemudian diujikan pada awal tahun ajaran kedua. Maka jika ia lulus, ia dapat naik ke
pelajaran tingkat lebih tinggi setelah itu. Dengan cara ini saya dapat meringkas waktu.”
Sesudah 2 tahun, beliau lulus dan diangkat menjadi guru di ma’had Unaizah Al ‘Ilmi
sambil meneruskan studi beliau secara intishab (Semacam Universitas Terbuka -red)
pada fakultas syari’ah serta terus menuntut ilmu dengan bimbingan Syaikh
Abdurrahman Bin Nashir As-Sa’di. Ketika Syaikh Abdurrahman Bin Nashir As-Sa’di wafat,
beliau menggantikan sebagai imam masjid jami’ di Unaizah dan mengajar di
perpustakaan nasional Unaizah disamping tetap mengajar di ma’had Al Ilmi. Kemudian
beliau pindah mengajar di fakultas syari’ah dan ushuludin cabang universitas Al Imam
Muhammad Bin Su’ud Al Islamiyah di Qasim. Beliau juga termasuk anggota Haiatul
Kibarul Ulama di Kerajaan Arab Saudi. Syaikh Hafidhahullah mempunyai banyak
kegiatan dakwah kepada Allah serta memberikan pengarahan kepada para Da’i di setiap
tempat. Jasa beliau sangat besar dalam masalah ini. Perlu diketahui pula bahwa Syaikh
Muhammad Bin Ibrahim Rahimahullah telah menawarkan bahkan meminta berulang
kali kepada syaikh Utsaimin untuk menduduki jabatan Qadhi (hakim), bahkan telah
mengeluarkan surat pengangkatan sebagai ketua pengadilan agama di Al Ihsa, namun
beliau menolak secara halus. Setelah dilakukan pendekatan pribadi, Syaikh Muhammad
Bin Ibrahim pun mengabulkannya untuk menarik dirinya (Syaikh Utsaimin -red) dari
jabatan tersebut. Beliau meninggal pada hari Rabu 15 Syawal 1421 Hijriyah bertepatan
dengan 10 Januari 2001 dalam usia yang ke 74.

B. Karya
Buku-buku yag telah ditulis oleh Syaikh Utsaimin diantaranya adalah sebagai berikut:

1.Talkhis Al Hamawiyah, selesai pada tanggal 8 Dzulhijah 1380 H.


2. Tafsir Ayat Al Ahkam (belum selesai).
3. Syarh Umdatul Ahkam (belum selesai).
4. Musthalah Hadits.
5. Al Ushul min Ilmil Ushul.
6. Risalah fil Wudhu wal Ghusl wash Shalah.
7. Risalah fil Kufri Tarikis Shalah.
8. Majalisu Ar Ramadhan.
9. Al Udhiyah wa Az Zakah.
10. Al Manhaj li Muridil Hajj wal Umrah.
11. Tashil Al Faraidh.
12. Syarh Lum’atul I’tiqad.
13. Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah.
14. Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
15. Al Qowaidul Mustla fi Siftillah wa Asma’ihil Husna.
16. Risalah fi Annath Thalaq Ats Tsalats Wahidah Walau Bikalimatin (belum dicetak).
17. Takhrij Ahadits Ar Raudh Al Murbi’ (belum dicetak).
18. Risalah Al Hijab.
19. Risalah fi Ash Shalah wa Ath Thaharah li Ahlil A’dzar.
20. Risalah fi Mawaqit Ash Shalah.
21. Risalah fi Sujud As Sahwi
22. Risalah fi Aqsamil Mudayanah.
23. Risalah fi Wujubi Zakatil Huliyyi.
24. Risalah fi Ahkamil Mayyit wa Ghuslihi (belum dicetak).
25. Tafsir Ayatil Kursi.
26. Nailul Arab min Qawaid Ibnu Rajab (belum dicetak).
27. Ushul wa Qowa’id Nudhima ‘Alal Bahr Ar Rajaz (belum dicetak).
28. Ad Diya’ Allami’ Minal Hithab Al Jawami’.
29. Al Fatawaa An Nisaa’iyyah
30. Zad Ad Da’iyah ilallah Azza wa Jalla.
31. Fatawa Al Hajj.
32. Al Majmu Al Kabir Min Al Fatawa.
33. Huquq Da’at Ilaihal Fithrah wa Qarraratha Asy Syar’iyah.
34. Al Khilaf Bainal Ulama, Asbabuhu wa Muaqifuna Minhu.
35. Min Musykilat Asy Sayabab.
36. Risalah fil Al Mash ‘alal Khuffain.
37. Risalah fi Qashri Ash Shalah lil Mubtaisin.
38. Ushul At Tafsir.
39. Risalah Fi Ad Dima’ Ath Tabiiyah.
40. As’illah Muhimmah.
41. Al Ibtida’ fi Kamali Asy Syar’i wa Khtharil Ibtida’.
42. Izalat As Sitar ‘Anil Jawab Al Mukhtar li Hidayatil Muhtar.
Dan masih banyak karya-karya beliau hafidahullah ta’ala yang lain. Wallahu ‘alam.

4. KH Kholil Bangkalan Madura

A. Biografi
KH Kholil Bangkalan Madura © Hari Selasa tanggal 11 Jumadil Akhir 1235 H atau 27
Januari 1820 M, Abdul Lathif seorang Kyai di Kampung Senenan, Desa Kemayoran,
Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, ujung Barat Pulau Madura, Jawa
Timur, merasakan kegembiraan yang teramat sangat. Karena hari itu, dari rahim
istrinya lahir seorang anak laki-laki yang sehat, yang diberinya nama Muhammad
Kholil, yang kelak akan terkenal dengan nama Mbah Kholil. KH. Abdul Lathif sangat
berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin umat, sebagaimana
nenek moyangnya. Seusai mengadzani telinga kanan dan mengiqamati telinga kiri
sang bayi, KH. Abdul Lathif memohon kepada Allah agar Dia mengabulkan
permohonannya. Mbah Kholil kecil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH. Abdul
Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif
adalah Kyai Hamim, anak dari Kyai Abdul Karim. Yang disebut terakhir ini adalah
anak dari Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid
Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau KH.
Abdul Lathif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati
karena memang dia masih terhitung keturunannya. Oleh ayahnya, ia dididik dengan
sangat ketat. Mbah Kholil kecil memang menunjukkan bakat yang istimewa,
kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu, sangat luar biasa. Bahkan ia
sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak
usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu Fiqh
dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Mbah Kholil kecil mengirimnya ke berbagai
pesantren untuk menimba ilmu.

5. Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani

A. Biografi
Nama lengkapnya adalah Abu Abdul Mu’ti Muhammad bin Umar bin Arbi bin Ali Al-
Tanara Al-Jawi Al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi Al-
Jawi Al-Bantani. Beliau lahir di kampung Tanara, (sekarang masuk dalam kecamatan
Tirtayasa, Kabupaten Serang) Banten pada tahun 1813 M atau 1230 H. Ayah beliau
bernama Kyai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin masjid. Dari
silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke 12 dari Maulana
Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari Putra
Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama Sunyara-ras (Tajul ‘Arsy).
Nasabnya bersambung dengan Muhammad melalui Imam Ja’far Assidiq, Imam
Muhammad Al-Baqir, Imam Ali ZainAl-Abidin, Sayyidina Husain, Fatimah Al-Zahra
Pada usia lima tahun Syekh Nawawi belajar langsung dibawah asuhan ayahandanya.
Di usia yang masih kanak-kanak ini, beliau pernah bermimpi bermain dengan anak-
anak sebayanya di sungai, karena merasakan haus ia meminum air sungai tersebut
sampai habis. Namun, rasa dahaganya tak kunjung surut. Maka Nawawi bersama
teman-temannya beramai-ramai pergi ke laut dan air lautpun diminumnya seorang
diri hingga mengering. Syahdan, ketika usianya memasuki delapan tahun, anak
pertama dari tujuh bersaudara itu memulai peng-gembarannya mencari ilmu.
Tempat pertama yang dituju adalah Jawa Timur. Namun sebelum berangkat,
Nawawi kecil harus menyanggupi syarat yang diajukan oleh ibunya, “Aku do’akan
dan kurestui kepergianmu mengaji dengan syarat jangan pulang sebelum kelapa
yang sengaja kutanam ini berbuah.” Demikian restu dan syarat sang ibu. Dan
Nawawi kecilpun menyanggupinya. Maka berangkatlah Nawawi kecil menjalankan
kewajibannya sebagai seorang muslim yaitu menuntut ilmu. Setelah tiga tahun di
Jawa Timur, beliau pindah ke salah satu pondok di daerah Cikampek (Jawa Barat)
khusus belajar lughat (bahasa) beserta dengan dua orang sahabatnya dari Jawa
Timur. Namun, sebelum diterima di pondok baru tersebut, mereka harus mengikuti
tes terlebih dahulu. Ternyata mereka bertiga dinyatakan lulus. Tetapi menurut kyai
barunya ini, pemuda yang bernama Nawawi tidak perlu mengu-langi mondok.
“Nawawi kamu harus segera pulang karena ibumu sudah menunggu dan pohon
kelapa yang beliau tanam sudah berbuah.” Terang sang kyai tanpa memberitahu
dari mana beliau tahu masalah itu. Tidak lama setelah kepulangannya, Nawawi
muda dipercaya yang mengasuh pondok yang telah dirintis ayahnya. Di usianya yang
masih relatif muda, beliau sudah tampak kealimannya sehingga namanya mulai
terkenal di mana-mana. Mengingat semakin banyaknya santri baru yang
berdatangan dan asrama yang tersedia tidak lagi mampu menampung, maka kyai
Nawawi berinisiatif pindah ke daerah Tanah Pesisir. Pada usia 15 tahun, ia
mendapat kesempatan un-tuk pergi ke Makkah menunaikan ibadah haji. Disana ia
memanfaatkan waktunya untuk mempelajari bebe-rapa cabang ilmu, diantaranya
adalah: ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadits, tafsir dan ilmu fiqh. Setelah
tiga tahun belajar di Makkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 M dengan
khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk mem-bantu ayahnya
mengajar para santri. Namun hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan
berangkat lagi ke Makkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di
sana. Di Makkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal. Pertama kali
ia mengikuti bimbingan dari Syekh Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah wa
Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Bima, ulama asal Indonesia
yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayyid Ahmad Dimyati, Sayyid
Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Makkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada
Syekh Muhammad Khatib Al-Hambali. Kemudian pada tahun 1860 M. Nawawi mulai
mengajar di lingkungan Masjid Al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup me-muaskan,
karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai syekh disana.
Pada tahun 1870 M, kesibukannya bertambah, karena ia harus banyak menulis
kitab. Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya dan para
sahabatnya dari Jawa. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab
komentar (syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap
sulit dipahami. Alasan menulis syarh selain karena permintaan orang lain, Nawawi
juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering meng-alami
perubahan (ta’rif) dan pengurangan. Dalam menyusun karyanya Syekh Nawawi
selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya, sebelum naik cetak
naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Karya-karya beliau cepat tersiar ke
berbagai penjuru dunia karena karya-karya beliau mudah difahami dan padat isinya.
Nama Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke
14 H./19 M. Karena kemasyhurannya beliau mendapat gelar: Sayyid Ulama Al-Hijaz,
Al-Imam Al-Muhaqqiq wa Al-Fahhamah Al-Mudaqqiq, A’yan Ulama Al-Qarn Al-Ram
Asyar li Al-Hijrah, Imam Ulama’ Al-Haramain. Syekh Nawawi cukup sukses dalam
mengajar murid-muridnya, sehingga anak didiknya banyak yang menjadi ulama
kenamaan dan tokoh-tokoh nasional Islam Indonesia, diantaranya adalah: Syekh
Kholil Bangkalan, Madura, KH. Hasyim Asy’ari dari Tebu Ireng Jombang (Pendiri
Organisasi NU), KH. Asy’ari dari Bawean, KH. Tubagus Muhammad Asnawi dari
Caringin Labuan, Pandeglang Banten, KH. Tubagus Bakri dari Sempur-Purwakarta,
KH. Abdul Karim dari Banten. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H. atau 1897 M, Syeikh
Nawawi menghembuskan nafas terakhir di usia 84 tahun. Umat berduka atas
kepergian beliau untuk selama-lamanya. Beliau kemudian dimakamkan di Ma’la di
Kota Mekkah, dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Rasulullah SAW.

B. Karya
Di samping digunakan untuk mengajar kepada para muridnya, seluruh kehidupan
beliau banyak dicurahkan untuk mengarang beberapa kitab besar sehingga tak
terhitung jumlahnya. Konon saat ini masih terdapat ratusan judul naskah asli tulisan
tangan Syekh Nawawi yang belum sempat diterbitkan. Kitab-kitab karangan beliau
banyak yang di-terbitkan di Mesir, seringkali beliau hanya mengirim-kan
manuskripnya dan setelah itu tidak memperdulikan lagi bagaimana penerbit
menyebarkan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya, selanjutnya kitab-
kitab beliau itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh
pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand dan juga negara-negara
di Timur Tengah. Menurut Ray Salam T. Mangondana, peneliti di Institut Studi Islam,
Universitas of Philippines, ada sekitar 40 sekolah agama tradisional di Filipina yang
menggunakan karya Nawawi sebagai kurikulum belajarnya. Selain itu, Sulaiman
Yasin, dosen di Fakultas Studi Islam Universitas Kebangsaan di Malaysia juga
menggunakan karya beliau untuk mengajar di kuliahnya. Pada tahun 1870 para
ulama universitas Al-Azhar Mesir pernah mengundang beliau untuk memberikan
kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiah. Mereka tertarik untuk mengundang
beliau, karena sudah dikenal di seantero dunia.
Karya-karya Syekh Nawawi al-Bantani secara lebih lengkap antara lain adalah
sebagai berikut:
1.) al-Tsamâr al-Yâni’ah syarah al-Riyâdl al-Badî’ah
2.) al-‘Aqd al-Tsamîn syarah Fath al-Mubîn
3.)Sullam al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh
4.)Baĥjah al-Wasâil syarah al-Risâlah al-Jâmi’ah bayn al-Usûl wa al-Fiqh wa al-
Tasawwuf
5.)al-Tausyîh/ Quwt al-Habîb al-Gharîb syarah Fath al-Qarîb al-Mujîb
6.)Niĥâyah al-Zayyin syarah Qurrah al-‘Ain bi Muĥimmâh al-Dîn
7.)Marâqi al-‘Ubûdiyyah syarah Matan Bidâyah al-Ĥidâyah
8.)Nashâih al-‘Ibâd syarah al-Manbaĥâtu ‘ala al-Isti’dâd li yaum al-Mi’âd
9.)Salâlim al-Fadhlâ΄ syarah Mandhûmah Ĥidâyah al-Azkiyâ΄
10.)Qâmi’u al-Thugyân syarah Mandhûmah Syu’bu al-Imân
11.)al-Tafsir al-Munîr li al-Mu’âlim al-Tanzîl al-Mufassir ‘an wujûĥ mahâsin al-Ta΄wil
musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma’nâ Qur΄an Majîd
12.)Kasyf al-Marûthiyyah syarah Matan al-Jurumiyyah
13.)Fath al-Ghâfir al-Khathiyyah syarah Nadham al-Jurumiyyah musammâ al-
Kawâkib al-Jaliyyah

6. Syekh Yusuf Al-Makasari

A. Biografi
Muhammad Yusuf lahir di Gowa Sulawesi Selatan pada 13 Juli 1627. Ayahnya
bernama Abdullah, sementara ibunya adalah seorang wanita keluarga Kerajaan
Gowa Sultan Ala’uddin yang bernama Aminah. Nama Muhammad Yusuf diberikan
oleh Sultan Ala’uddin sendiri. Kesultanan Gowa adalah salah satu kerajaan Islam
yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku
Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Kerajaan ini
terletak di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Gowa dan beberapa
kabupaten di sekitarnya termasuk Kotamadya Makassar. Muhammad Yusuf dididik
menurut tradisi Islam, diajari bahasa Arab, fikih, tauhid dan ilmu-ilmu keagamaan
lainnya sejak dini. Sebagai seorang putera keluarga bangsawan, Muhammad Yusuf
berkesempatan mengenyam pendidikan yang sangat bagus dengan belajar kepada
ulama-ulama ternama pada zamannya, termasuk berkesempatan menimba ilmu di
pusat-pusat pendidikan ternama pada zamannya. Karena salah satu pusat
pendidikan keagamaan yang bagus berada di Cikoang, sebagai seorang putera
keluarga bangsawan maka Muhammad Yusuf pun berkesempatan belajar ke sana.
Cikoang pada saat itu merupakan perkampungan para guru-guru agama. Mereka
adalah keluarga-keluargasayyid Arab yang diyakini sebagai keturunan (dzurriyat)
Rasulullah Muhammad SAW. Pada usia 15 tahun Muhammad Yusuf belajar di
Cikoang pada seorang sufi, ahli tasawuf, mistik, guru agama, dan dai yang berkelana.
Beberapa di antara para guru Muhammad Yusuf yang terkenal adalah Syeikh
Jalaludin al-Aidit, Sayyid Ba’lawi At-Thahir dan Daeng Ri Tassamang. Secara
geografis, Cikoang saat ini berada termasuk ke dalam wilayah kecamatan
Mangarabombang Kabupaten Talakar yang terletak di bagian selatan Provinsi
Sulawesi Selatan dengan jarak 60 km dari Kota Metropolitan Makassar. Hingga saat
ini, di Cikoang terkenal dengan ritual Maulid Akbar Cikoang atau biasa disebut
Maudu’ Lompoa Cikoang (dalam bahasa Makassar) yang merupakan perayaan untuk
memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dalam perayaan ini digelar
berbagai atraksi budaya dengan ritual-ritual keagamaan yang digelar setiap tahun di
Bulan Rabiul Awal. Berdakwah dan MengembaraSekembalinya belajar dari Cikoang
Muhammad Yusuf menikah dengan seorang putri Sultan Goa. Pada usia 18 tahun
kemudian Muhammad Yusuf memulai pengembaraannya dalam menuntut ilmu.
Pada tahun 1644, dengan menumpang kapal Melayu, Muhammad Yusuf segera
berlayar untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu-ilmu agama di
Timur Tengah.Sesuai rute perjalanan kapal Melayu yang singgah di berbagai
pelabuhan kerajaan-kerajaan Nusantara waktu itu, Muhammad Yusuf banyak
menyinggahi berbagai daerah Nusantara. Salah satu yang kemudian menjadi sangat
penting dalam perjalanan hidup dan perjuangan Muhammad Yusuf adalah Banten,
sebuah pelabihan dagang yang dikendalikan oleh Kerajaan Islam Banten. Sebagai
seorang bangsawan, Muhammad Yusuf bersahabat dengan putra mahkota yang
kelak memerintah sebagai Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683), seorang penguasa
terakhir Kesultanan Banten. Selain Banten, Muhammad Yusuf juga sempat singgah
di Aceh dalam perjalanan pengelbarannya ini. D`ri Aceh, Muhamamad Yusuf
kemudian berlayar ke Gujarat, Sebuah kawasan yang menjadi salah satu negara
bagian India sejak 1 Mei 1960. Gujarat dikenal sebagai tempat yang asal para wali
penyebar agama Islam di Nusantara, termasuk beberapa wali songo yang kemudian
bermukin di Jawa. Di Gujarat inilah dikabarkan Muhammad Yusuf sempat bertemu
dengan Syeikh Nuruddin Ar-Raniri, salah seorang penasihat Sultonah Shofiyatuddin,
raja perempuan Aceh. Syeikh Nuruddin Ar-Raniri adalah negarawan, ahli fikih,
teolog, sufi, sejarawan dan sastrawan penting dalam sejarah Melayu pada abad ke-
17. Nama aslinya adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid Ar-
Raniri. Ia lahir di Ranir (Rander), Gujarat, India, dan mengaku memiliki darah suku
Quraisy, Beberapa pendapat menyatakan bahwa Muhammad Yusuf bertemu
dangan Syeikh Nuruddin Ar-Raniri ketika Muhammad Yusuf singgah di Aceh. Hal ini
didasarkan pada pendapat yang menyatakan bahwa Syeikh Nuruddin Ar-Raniri
meninggal dunia pada 22 Zulhijjah 1069 H./21 September 1658 M. di Aceh. Pada
masa-masa sebelum 1658 M. inilah Muhammad Yusuf bertemu dengan Syeikh
Nuruddin Ar-Raniri di Aceh. Dari Syeikh Nuruddin Ar-Raniri inilah Muhammad Yusuf
belajar dan mendapatkan ijazah Tarekat Qodiriyah. Dari Aceh, Muhammad Yusuf
kemudian bertolak ke Gujarat, Yaman, Damaskus (Suriyah) hingga akhirnya ke
Mekkah dan Madinah. Konon, Muhammad Yusuf sempat berkelana hingga ke
Istanbul (Turki) yang disebut dalam tambo-tambo Melayu sebagai “Negeri Rum”. Di
Yaman, Muhamamd Yusuf berguru pada Syeikh Abdullah Muhammad bin Abd Al-
Baqi, Di Damaskus Muhammad Yusuf berguru kepada Syeikh Abu Al-Barkah Ayyub
bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi. Konon gurunya inilah yang
memberikan laqob (gelar panggilan) kepada Muhammad Yusuf dengan “Al-
Makassari.” Syeikh Abu Al-Barkah adalah gurunya yang memberikan ijazah Tarekat
Khalwatiyah kepadanya. Kelak, setelah Muhammad Yusuf menjadi seorang ursyid,
Ijazah Tarekat Khalwatiyah inilah yang kemudian menjadikannya dikenal sebagai
Syeikh Yusuf Tajul Khalwati. Semenjak berada di Haramain (Makkah-Madinah)
Muhamamd Yusuf telah dipandang sebagai guru agama oleh orang-orang Melayu-
Indonesia yang datang naik haji ke Tanah Suci. Konon Muhammad Yusuf yang telah
menjadi guru dan dipanggil sebagai Syeikh Muhammad Yusuf al-Makassari ini
sempat menikah dengan salah seorang putri keturunan Imam Syafi’i di Mekkah yang
meninggal dunia waktu melahirkan bayi. Sebelum akhirnya pulang kembali ke
Nusantara, Syeikh Muhammad Yusuf al-Makassari sempat menikah lagi dengan
seorang perempuan asal Sulawesi di Jeddah.

7. Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari

A. Biografi
Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari atau yang biasa disebut Datu Kalampayan lahir
di Lok Gabang, Martapura, Kalimantan Selatan pada tanggal 15 Safar 1122 H/19
Maret 1710 M. Seorang ulama besar yang sangat berpengaruh dalam
perkembangan Islam di Kalimantan. Beliau tokoh yang gigih dalam
mempertahankan aliran Ahlussunnah Wal Jama’ah dan bermazhab Fiqih Syafi’i.
Beliau penasehat atau mufti Kesultanan Banjar dan penulis yang produktif. Jalur
nasabnya ialah Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari bin Abdullah bin Tuan
Penghulu Abu Bakar bin Sultan Abdurrasyid Mindanao bin Abdullah bin Abu Bakar Al
Hindi bin Ahmad Ash Shalaibiyyah bin Husein bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah
Al Idrus Al Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus) bin Abu Bakar As Sakran bin
Abdurrahman As Saqaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin
Alwi Al Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin
Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad Maula
Shama’ah bin Alawi Abi Sadah bin Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam
Isa Ar Rumi bin Al Imam Muhammad An Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam
Ja’far As Shadiq bin Al Imam Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin
Al Imam Sayyidina Husein bin Al Imam Amirul Mu’minin Ali Karamallah wajhah wa
Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah SAW. Sejak dilahirkan, Muhammad
Arsyad melewatkan masa kecil di desa kelahirannya Lok Gabang, Martapura.
Sebagaimana anak-anak pada umumnya, Muhammad Arsyad bergaul dan bermain
dengan teman-temannya. Namun pada diri Muhammad Arsyad sudah terlihat
kecerdasannya melebihi dari teman-temannya. Begitu pula akhlak budi pekertinya
yang halus dan sangat menyukai keindahan. Di antara kepandaiannya adalah seni
melukis dan seni tulis. Sehingga siapa saja yang melihat hasil lukisannya akan kagum
dan terpukau. Pada saat Sultan Tahlilullah sedang bekunjung ke kampung Lok
Gabang, sultan melihat hasil lukisan Muhammad Arsyad yang masih berumur 7
tahun. Terkesan akan kejadian itu, maka Sultan meminta pada orang tuanya agar
anak tersebut sebaiknya tinggal di istana untuk belajar bersama dengan anak-anak
dan cucu Sultan. Di istana, Muhammad Arsyad tumbuh menjadi anak yang
berakhlak mulia, ramah, penurut, dan hormat kepada yang lebih tua. Seluruh
penghuni istana menyayanginya dengan kasih sayang. Sultan sangat memperhatikan
pendidikan Muhammad Arsyad, karena sultan mengharapkan Muhammad Arsyad
kelak menjadi pemimpin yang alim. Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari masuk
lingkungan istana Banjar pada usia 7-8 tahun. Latar belakang keluarganya tidak
begitu jelas. Tradisi lisan menyebut, waku iu beliau sudah mampu membaca Al-
Qur’an dengan sempurna. Sultan tahlilulah terkesan oleh kecerdaasnnya. Sultan
sendirilah yang minta kepada orang tua Syekh Arsyad agar anak itu didik di istana
bersama anak-anak dan cucu-cucu kerajaan. Sultan pula yang menikahkan beliau
dengan seorang perempuan bernama Bajut. Hanya, ketika isteri beliau megadung,
Syekh Arsyad minta dikirim belajar ke Mekkah atas biaya negara. Kabarnya bekas
pondikannya di kampung Syami’ah, Mekkah, masih dipelihara oleh seorang syekh
yng juga berasal dari Banjarmasin. Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad mengaji
kepada masyaikh terkemuka pada masa itu. Di antara guru dia adalah Syekh
‘Athaillah bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi
dan al-‘Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-
Madani. Syekh yang disebutkan terakhir adalah guru Muhammad Arsyad di bidang
tasawuf, dimana di bawah bimbingannyalah Muhammad Arsyad melakukan suluk
dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan kedudukan sebagai khalifah.
Selain itu guru-guru Muhammad Arsyad yang lain seperti Syekh Ahmad bin Abdul
Mun'im ad Damanhuri, Syekh Muhammad Murtadha bin Muhammad az Zabidi,
Syekh Hasan bin Ahmad al Yamani, Syekh Salm bin Abdullah al Basri, Syekh Shiddiq
bin Umar Khan, Syekh Abdullah bin Hijazi asy Syarqawy, Syekh Abdurrahman bin
Abdul Aziz al Maghrabi, Syekh Abdurrahamn bin Sulaiman al Ahdal, Syekh
Abdurrahman bin Abdul Mubin al Fathani, Syekh Abdul Gani bin Muhammad Hilal,
Syekh Abis as Sandi, Syekh Abdul Wahab at Thantawy, Syekh Abdullah Mirghani,
Syekh Muhammad bin Ahmad al Jauhari, dan Syekh Muhammad Zain bin Faqih
Jalaludin Aceh. Selama menuntut ilmu di sana, Syekh Muhammad Arsyad menjalin
persahabatan dengan sesama penuntut ilmu seperti Syekh Abdussamad al-
Falimbani, Syekh Abdurrahman Misri al-Jawi, dan Syekh Abdul Wahab Bugis
sehingga mereka dikenal sebagai Empat Serangkai dari Tanah Jawi (Melayu). Selama
di Haramain, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari selalu melakukan kontak dengan
tanah air, sehingga beliau banyak mengetahui perembangan yang terjadi di
Nusantara. Dengan demikian, beliau tidak kehilangan informasi yang terjadi di tanah
air beliau. Beliau baru kembali ke tanah air setelah menetap di Mekkah selama 30
tahun dan di Madinah selama 5 tahun. Tepatnya beliau kembali ke Martapura pada
tahun1186 Hijriah bartepatan pada tahun 1773 Masehi. Sekitar 30 tahun beliau
belajar di sana. Dimasa akhir-akhir studinya ia diberi izin mengajar di Masjidil
Haram, selain memberi fatwa. Salah satu persoalan yang pernah dikemukakan
kepadanya, apakah Sultan Banjar berhak menghukm orang yang tidak
melaksanakan Shalat Jum’at dengan pembayaran denda kepada Sultan. Itu lalu
dimuat dalam kitab Fatawa, karangan gurunya, Syekh Sulaiman Kurdi. Sebelum
pulang ke tanah air,1773, beliau sempat beberapa tahun pindah belajar ke Madinah,
antara lain kepada Ibrahim Az-Zam-Zam, yang mengajari ilmu falak, yang kelak
menjadi salah satu bidang keahliannya. Syekh tidak langsung ke Martapura. Beliau
mampir ke Batavia dua bulan atas permintaan Abdurrahman al-Misri. Di sini beliau
antara lain membetulkan arah kiblat beberapa masjid. Di mihrab Masjid Jembatan
Lima, misalnya tertera catatand dalam bahasa Arab bahwa arah kiblat masjid itu
diputar kekanan sekitar 25 derajat oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Di
Martapura Syekh disambut meriah oleh Sultan Tamjidullah. Ikut pula bersama Syekh
Abdul Wahab Bugis, kawan di Mekkah dulu yang ia kawinkan dengan putrinya yang
in absentia, Syarifah namanya. Hanya saja di tanah air ternyata Syarifah menikah
dengan Usman, bahkan, ia sudah punya anak. Yang menikahkannya adalah sultan
sendiri, selaku wali hakim. Pasa tempatnya masing-masing, kedua perkawinan itu
menjadi sah. Tapi, bagaimana Syekh Arsyad mengambil keputusan hukum. Sungguh
unik. Beliau memeriksa saat terjadi perkawinan itu berdasarkan keahliannya dalam
ilmu falak dan mengingat perbedaan waktu antara Martapura dan Mekkah. Hasilnya
menunjukkan bahwa pernikahan yang di Mekkah berlangsung hanya beberapa saat
sebelum yang di Martapura. Atas dasar ini, pernikahan Syarifah dengan Usman
diputuskan. Abdul Wahab ditetapkan sebagai suami Syarifah. Demikian cerita
rakyat. Tidak seorangpun dianggap berdosa. Malahan kelak Syekh Arsyad
mengangkat cucunya yang dari perkawinan Syarifah-Usman sebagai Mufti pertama
Kesultanan Banjar. Selanjutnya posisi ini selalu diduduki keturunan Syekh Arsyad.
Beliau sendiri, meski penasehat sultan, tidak tinggal dilingkungan istana. Beliau
menempati tanah kosong di pinggiran kota, yangmana beliau telah memagari
terlebih dahulu sebelum di dakamnya dibangun pemukiman. Sampai sekarang desa
ini disebut Dalam Pagar. Di daerah transmigrasi beliau bersama menantunya
menggali saluran air baru untuk irigasi. Sehingga kampung di daerah itu
berkembang menjadi delapan buah. Salah satunya dinamakan Sungai Tuan, sebagai
peringatan atas jasa syekh. Beliau wafat pada bulan Syawal, bertepatan pada
tanggal 13 Oktober 1812 M pada usia 102 tahun. Beliau wafat di daerah Kesultanan
Banjar dan dimakamkan di Kalampayan, Martapura, Kalimantan Selatan.

B. Karya
Beberapa kitab serta risalah lainnya, di antaranya ialah:
1) Kitab Ushuluddin yang biasa disebut Kitab Sifat Dua Puluh,
2) Kitab Tuhfatur Raghibin, yaitu kitab yang membahas soal-soal itikad serta
perbuatan yang sesat
3) Kitab Nuqtatul Ajlan, yaitu kitab tentang wanita serta tertib suami-isteri,
4) Kitabul Fara-idl, yaitu kitab tentang hukum pembagian warisan
5) Kitab an-Nikah, yaitu kitab tentang nikah.
8. Syeikh Hamzah Fansuri

A. Biografi
Hamzah al-Fansuri atau dikenal juga sebagai Hamzah Fansuri adalah seorang
ulama sufi dan sastrawan yang hidup pada abad ke-16. Ia merupakan tokoh
Sastrawan Pujangga Lama dengan beberapa karyanya seperti Syarab al-'Asyiqin
(Minuman Para Pecinta) dan Asrar al-'Arifin (Rahasia-rahasia para Gnostik).
Hamzah al-Fansuri lahir di Indonesia. Meskipun nama 'al-Fansuri' sendiri berarti
'berasal dari Barus' (sekarang berada di provinsi Sumatera Utara) ada pula
sarjana yang berpendapat ia lahir di Ayutthaya, ibukota lama kerajaan Siam.
Hamzah al-Fansuri lama berdiam di Aceh. Ia terkenal sebagai penganut aliran
wahdatul wujud. Dalam sastra Melayu ia dikenal sebagai pencipta genre syair.
A. Teeuw menyebutnya sebagai Sang Pemula Puisi Indonesia.

B. KARYA
Puisi: Syair Hamzah Fansuri terdiri atas 13-21 bait. Setiap bait terdiri atas
empat baris, yang berima a-a-a-a. Pada umumnya jumlah kata tiap baris ada
empat, meskipun terdapat pengecualian. Syair Hamzah al-Fansuri banyak
terpengaruh puisi-puisi Arab dan Persia (seperti rubaiyat karya Umar
Khayyam), namun terdapat perbedaan. Rima rubaiyat adalah a-a-b-a,
sedangkan Hamzah al-Fansuri memakai a-a-a-a. Dari segi tema setiap syair
yang dikarang Hamzah al-Fansuri membahas salah satu aspek tasawuf yang
dianut oleh sang penyair itu. A Teeuw menyebutkan bahwa Hamzah Fansuri
memperkenalkan individualitas, hal yang sebelumnya tidak dikenal dalam
sastra Melayu lama. Dia juga memperkenalkan bentuk puisi baru untuk
mengekspresikan diri. Inovasi lain adalah pemakaian bahasa yang kreatif.
Hamzah Fansuri tidak segan-segan meminjam kata-kata dari bahasa Arab
dan Persia dalam puisinya.
Daftar puisi:
Syair Burung Unggas
Syair Dagang
Syair Perahu
Syair Si Burung pipit
Syair Si Burung Pungguk
Syair Sidang Fakir
Prosa:
Asrar al-Arifin
Sharab al-Asyikin
Zinat al-Muwahidin

Anda mungkin juga menyukai