1. Apabila ada perintah dalam al-quran dan as-Sunnah maka hukumnya tidak terlepas dari
wajib atau sunnah
2. Apabila ada larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka hukumnya tidak terlepas
dari haram atau makruh
3. Apabila perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada, tetapi
mengandung maslahat, maka hukumnya Sunnah ( baik )
4. Apabila larangan dan perintah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan perbuatan
tersebut membawa mudarat maka hukumnya haram
5. Apabila perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan perbuatan
tersebut tidak mengandung maslahat dan mudarat maka hukumnya Ibahah
Demikian tulisan singkat seputar Ahlussunnah Wal Jama’ah semoga bermanfaat untuk kita
semua.
A. Pengertian
Perkataan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terdiri dari tiga kata, pertama perkataan ahlun,
kedua as-sunnah, dan ketiga al-jama’ah.
➢ Ahlun bisa diartikan keluarga ( QS. Huud: 45 dan QS Toha : 132 ), Penduduk (QS.
Al-A’raf : 96), dan disiplin ilmu (QS. An-Nahl: 43)
➢ As-sunnah secara etimologi (bahasa) adalah At-thariqah, yaitu jalan/sistem/cara/tradisi.
Sedangkan menurut terminologi (istilah) ialah perkataan, perbuatan, dan persetujuan
Nabi SAW.
➢ Al-Jama’ah secara etimologi (bahasa) berarti bilangan lebih dari dua dan seterusnya.
Sedangkan menurut terminologi (istilah) ialah kelompok mayoritas dalam golongan
Islam.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah
golongan terbesar umat Islam yang mengikuti sistem pemahaman Islam, baik dalam tauhid
maupun fiqih dengan mengutamakan dalil Qur’an dan hadist daripada dalil akal.
Dalam perkataan lain dapat dikatakan bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah
golongan yang menganut i’tiqad sebagai i’tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad SAW dan
Shahabat-shahabat beliau.
I’tiqad (paham) Ahlus Sunah Wal Jama’ah yang telah disusun oleh Imam Abul Hasan
Al Asy’ari meliputi 6 faktor, yaitu:
➢ Tentang Ketuhanan
➢ Tentang Malaikat-malaikat Allah
➢ Tentang Kitab-kitab Allah
➢ Tentang Rasul-rasul Allah
➢ Tentang Hari Akhir
➢ Tentang Qadha dan Qadar
F. Tokoh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam Ilmu Fiqih
➢ Imam Hanafi ( 80-150 H )
➢ Imam Maliki ( 93-179 H )
➢ Imam Syafi’i ( 150-204 H )
➢ Imam Hambali ( 164-248 H)
Keterangan:
1. Tulisan ini disampaikan pada acara LDKS Pondok Pesantren Modern Darussa’adah dan
MAKESTA PC IPNU Lebak pada hari Kamis tanggal 10 Januari 2013 di Auditorium
Pondok Pesantren Modern Darussa’adah Cimarga.
2. Penulis adalah Ketua PC Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Kabupaten Lebak dan
Pengasuh Pondok Pesantren La Tahzan “Bengkel Akhlak Anak Bangsa” Cisalam
Rangkasbitung Lebak
3. Makalah ini disampaikan pada acara MAPABA UNSERA hari Sabtu tanggal 10 Desember
2011 di Saung Galih Banten Lama
4. Penulis adalah Anggota Majelis Pembina Daerah (MABINDA) PKC PMII Banten dan
Pengasuh Pondok Pesantren La Tahzan “Bengkel Akhlak Anak Bangsa” Cisalam
Rangkasbitung Lebak
ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL FIKR
Oleh: H. Asep Saefullah, S.PdI., M.Pd.
(Anggota Majelis Pembina Daerah PMII Banten)
A. Pendahuluan
Melacak akar sejarah munculnya istilah ahlu sunnah waljama’ah (aswaja), bahwa
aswaja sudah terkenal sejak zaman Muhammad Rasulullah SAW (lihat sabda Nabi riwayat
Ibnu Majah dalam kitab El Milal Wa El Nihal Juz 1 hal 13). Sebagai konfigurasi sejarah,
maka aswaja mengalami perkembangan dengan tiga tahap secara evolutif. Pertama, tahap
embrional pemikiran sunni dalam bidang teologi bersifat eklektik, yakni memilih salah satu
pendapat yang dianggap paling benar. Pada tahap ini masih merupakan tahap konsolidasi,
tokoh yang menjadi penggerak adalah Hasan al-Basri (w.110 H/728 M). Kedua, proses
konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah Imam al-Syafi’i (w.205 H/820 M) berhasil
menetapkan hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al- qur’an dalam konstruksi
pemikiran hukum Islam. Pada tahap ini, kajian dan diskusi tentang teologi sunni
berlangsung secara intensif. Ketiga, merupakan kristalisasi teologi sunni, disatu pihak
menolak rasionalisme dogma, di lain pihak menerima metode rasional dalam memahami
agama. Proses kristalisasi ini dilakukan oleh dua tokoh di tempat yang berbeda pada waktu
yang bersamaan, yakni; Abu Hasan al-Asy’ari (w.324 H/935 M) di Mesopotamia, dan Abu
Mansur al-Maturidi (w.331 H/944 M) di Samarkand. Pada zaman kristalisasi inilah Abu
Hasan al-Asy’ari meresmikan sebagai aliran pemikiran yang dikembangkan. Dan
munculnya aswaja ini sebagai reaksi teologis-politis terhadap Mu’tazilah, Khowarij dan
Syi’ah yang dipandang oleh al-Asy’ari sudah keluar dari paham yang semestinya.
C. Penutup
Secara sederhana dapat dimabil benang merahnya bahwa substansi aswaja sebagai manhaj
al fikr adalah tawasuth (moderat: berdiri tengah-tengah), tawazun (seimbang), tasamuh
(toleran) dan ta’addul (adil). Berarti, yang menjadi Standarisasi aswaja adalah nilai-nilai
kemoderatan.
Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfa’at dan memberikan angin
segar untuk kader PMII agar bisa bertambah moderat, sehingga bisa mengayomi dan
berdiri secara adil di tengah-tengah golongan yang ada. Dan yang penting lagi adalah bisa
menjadi pioner terwujudnya misi Islam sebagai rahmataallil alamin. Yaitu Islam yang
menebarkan kemaslahatan, kasih sayang dan kedamaian bagi seluruh alam, bukan Islam
yang galak, menakutkan, dan mudah memuncratkan darah orang lain.
5. Makalah ini disampaikan pada acara DIKLATSAR BANSER PC GP ANSOR LEBAK pada
tanggal 10 Juli 2011 di Graha PCNU Lebak
6. Penulis adalah Sekretaris PC GP Ansor Kabupaten Lebak dan Pengasuh La Tahzan
Boarding School “Bengkel Akhlak Anak Bangsa” Cisalam Rangkasbitung Lebak
7. Makalah ini disampaikan pada acara MAPABA PMII Komisariat Perguruang Tinggi Setia
Budhi Rangkasbitung yang diselenggarakan pada tanggal 31 Oktober 2009 di Auditorium
YPI Al Wadah Jawilan Serang
8. Penulis adalah
A. Pengertian
Perkataan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terdiri dari tiga kata, pertama perkataan ahlun,
kedua as-sunnah, dan ketiga al-jama’ah.
➢ Ahlun bisa diartikan keluarga ( QS. Huud: 45 dan QS Toha : 132 ), Penduduk (QS.
Al-A’raf : 96), dan disiplin ilmu (QS. An-Nahl: 43)
➢ As-sunnah secara etimologi adalah At-thariqah, yaitu jalan/sistem/cara/tradisi.
Sedangkan menurut terminologi ialah perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi
SAW.
➢ Al-Jama’ah secara etimologi berarti bilangan lebih dari dua dan seterusnya. Sedangkan
menurut terminologi ialah kelompok mayoritas dalam golongan Islam.
Dengan demikian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan terbesar umat Islam
yang mengikuti sistem pemahaman Islam, baik dalam tauhid maupun fiqih dengan
mengutamakan dalil Qur’an dan hadist daripada dalil akal.
Dalam perkataan lain dapat dikatakan bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah
golongan yang menganut i’tiqad sebagai i’tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad SAW dan
Shahabat-shahabat beliau.
I’tiqad (paham) Ahlus Sunah Wal Jama’ah yang telah disusun oleh Imam Abul Hasan
Al Asy’ari meliputi 6 faktor, yaitu:
➢ Tentang Ketuhanan
➢ Tentang Malaikat-malaikat Allah
➢ Tentang Kitab-kitab Allah
➢ Tentang Rasul-rasul Allah
➢ Tentang Hari Akhir
➢ Tentang Qadha dan Qadar
F. Tokoh Aswaja dalam Ilmu Fiqih
➢ Imam Hanafi ( 80-150 H )
➢ Imam Maliki ( 93-179 H )
➢ Imam Syafi’i ( 150-204 H )
➢ Imam Hambali ( 164-248 H)
➢ Apabila ada perintah dalam al-quran dan as-Sunnah maka hukumnya tidak terlepas dari
wajib atau sunnah
➢ Apabila ada larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka hukumnya tidak terlepas
dari haram atau makruh
➢ Apabila perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada, tetapi
mengandung maslahat, maka hukumnya Sunnah ( baik )
➢ Apabila larangan dan perintah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan
perbuatan tersebut membawa mudarat maka hukumnya haram
➢ Apabila perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan
perbuatan tersebut tidak mengandung maslahat dan mudarat maka hukumnya Ibahah
Keterangan:
1. Makalah ini disampaikan pada acara MAPABA PMII Komisariat Perguruang Tinggi
Latansa Mashiro Rangkasbitung yang diselenggarakan pada tanggal 24 Oktober 2009 di
Yayasan Amanah Bunda Kumpay Banjarsari Lebak
2. Penulis adalah Sekretaris Majelis Pembina Cabang PMII Kabupaten Lebak
Oleh karena itu, konsep berdirinya negara (imamah) dalam Aswaja tidaklah termasuk salah
satu pilar (rukun) keimanan sebagaiman yang diyakini oleh Syi'ah. Namun, Aswaja juga tidak
membiarkan yang diakui oleh umat (rakyat). Hal ini berbeda dengan Khawarij yang
membolehkan komunitas umat Islam tanpa adanya seorang Imam apabila umat itu sudah bisa
mengatur dirinya sendiri.
Aswaja tidak memiliki patokan yang baku tentang negara. Suatu negara diberi kebebasan
menentukan bentuk pemerintahannya, bisa demokrasi, kerajaan, teokrasi ataupun bentuk yang
lainnya. Aswaja hanya memberikan kriteria (syarat-syarat) yang harus dipenuhi oleh suatu
negara. Sepanjang persyaratan tegaknya negara tersebut terpenuhi, maka negara tersebut bisa
diterima sebagai pemerintahan yang sah dengan tidak mempedulikan bentuk negara tersebut.
Sebaliknya, meskipun suatu negara memakai bendera Islam, tetapi di dalamnya terjadi banyak
penyimpangan dan penyelewengan serta menginjak-injak sistem pemerintahan yang
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka praktik semacam itu tidaklah dibenarkan
dalam Aswaja.
Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia, dan
yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya
kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa
besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan
(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang
yang apabila mereka diperlakukan dengan lalim mereka membela diri.
Menurut ayat di atas, syura merupakan ajaran yang setara dengan iman kepada Allah (iman
billah), tawakal, menghindari dosa-dosa besar (ijtinabul kaba'ir), memberi ma'af setelah marah,
memenuhi titah ilahi, mendirikan shalat, memberikan sedekah, dan lain sebagainya. Seakan¬-
akan musyawarah merupakan suatu bagian integral dan hakekat Iman dan Islam.
b. Al-'Adl (Keadilan)
Menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan dalam Islam terutama bagi penguasa (wulat)
dan para pemimpin pemerintahan (hukkam) terhadap rakyat dan umat yang dipimpin. Hal ini
didasarkan kepada QS An-Nisa' 4:58
c. Al-Hurriyyah (Kebebasan)
Kebebasan dimaksudkan sebagai suatu jaminan bagi rakyat (umat) agar dapat melakukan hak-
hak mereka. Hak¬hak tersebut dalam syari'at dikemas dalam al-Ushul al¬Khams (lima prinsip
pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan. Kelima prinsip tersebut
adalah:
a) Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa (kehidupan) yang dirniliki warga negara (rakyat).
b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan
keyakinannya.
c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dirniliki oleh warga negara.
d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.
e) Hifzhul 'lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun
kedudukan setiap warga negara.
Kelima prinsip di atas beserta uraian derivatifnya dalam era sekarang ini lebih menyerupai Hak
Asasi Manusia (HAM).
Semua warga negara haruslah mendapat perlakuan yang sama. Semua warga negara memiliki
kewajiban dan hak yang sama pula. Sistem kasta atau pemihakan terhadap golongan, ras, jenis
kelamin atau pemeluk agama tetlentu tidaklah dibenarkan.
Dari beberapa syarat tersebut tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa sebenarnya
sistem pemerintahan yang mendekati kriteria di atas adalah sistem demokrasi. Demokrasi yang
dimaksud adalah sistem pemerintahan yang bertumpu kepada kedaulatan rakyat. Jadi
kekuasaan negara sepenuhnya berada di tangan rakyat (civil sociery) sebagai amanat dari
Allah.
Harus kita akui, bahwa istilah "demokrasi" tidak pemah dijumpai dalam bahasa Al-Qur’an
maupun wacana hukum Islam klasik. Istilah tersebut diadopsi dari para negarawan di Eropa.
Namun, harus diakui bahwa nilai¬nilai yang terkandung di dalamnya banyak menyerupai
prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam berbangsa dan bernegara menurut Aswaja.
Dalam era globalisasi di mana kondisi percaturan politik dan kehidupan umat manusia banyak
mengalami perubahan yang mendasar, misalnya kalau dulu dikenal komunitas kabilah, saat ini
sudah tidak dikenallagi bahkan kondisi umat manusia sudah menjadi "perkampungan dunia",
maka demokrasi harus dapat ditegakkan.
Pada masa lalu banyak banyak ditemui ghanimah (harta rampasan perang) sebagai suatu
perekonomian negara. Sedangkan pada saat ini sistem perekonomian tersebut sudah tidak
dikenal lagi. Perekonomian negara banyak diambil dari pajak dan pungutan lainnya. Begitu
pula jika pada tempo dulu aqidah merupakan sentral kekuatan pemikiran, maka saat ini aqidah
bukanlah merupakan satu¬satunya sumber pijakan. Umat sudah banyak berubah kepada
pemahaman aqidah yang bersifat plural.
Dengan demikian, pemekaran pemikiran umat Islam haruslah tidak dianggap sebagai sesuatu
hal yang remeh dan enteng, jika umat Islam tidak ingin tertinggal oleh bangsa-bangsa di muka
bumi ini. Tentu hal ini mengundang konsekuensi yang mendasar bagi umat Islam sebab
pemekaran terse but pasti banyak mengubah wacana pemikiran yang sudah ada (salaf/klasik)
dan umat Islam harus secara dewasa menerima transformasi tersebut sepanjang tidak
bertabrakan dengan hal-hal yang sudah paten (qath'iy). Sebagai contoh, dalam kehidupan
bemegara (baca: demokrasi), umat Islam harus dapat menerima seorang pemimpin (presiden)
dari kalangan non-muslim atau wanita.
Genealogi adalah ilmu yang mempelajari tentang garis keturunan. Jika kata geneologi
digabung dengan kata aswaja (genealogi aswaja) berarti ilmu yang membahas tentang garis
keturunan atau terbentuknya aliran Ahlussunnah Wal Jamaah.
Ketika kita membahas tentang aswaja, kesan yang muncul adalah kita ingin
menghadirkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin dengan dalil-dalil dan sanad yang sampai pada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Agar terhindar dari taqlid maka sangat penting bagi kita untuk mengetahui seluk beluk
Ahlussunnah Waljamaah An-Nahdliyyah (Aswaja NU), bagaimana awal terbentukya aswaja
dan perkembangannya sampai sekarang. Genealogi Aswaja dari masa Rasulullah sampai
sekarang, khususnya sampai ke NU tentu sangat panjang.
Ahlussunnah Wal Jamaah An-Nahdliyyah mengikuti ajaran Islam murni dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dan al-khulafaur rosyidin memiliki kekhasan, keunikan dan
keistimewaan terbaik dalam hal struktur geneologi tersebut, umat Islam Indonesia secara
mayoritas pengikut Sunni dengan mengikuti Madzhab Al-Asy’ari dan Al-Maturidzi dalam
bidang teologi/tauhid/aqidah, mengikuti salah satu madzhab empat, yakni Imam Hanafi, Imam
Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali dalam bidang fiqih, mengikuti Imam Junaidi Al-
Baghdadi dan Imam Abu Hamid Al-Ghozali dalam bidang tashawuf, dan mengikuti Imam Al-
Mawardi dalam bidang siyasah.
Ahlussunnah Wal Jamaah An-Nahdliyyah, dalam hal ini pengikut madzhab Al-Asy’ari
dan Al-Maturidzi, memiliki sanad yang kokoh dan dipercaya dari generasi ke generasi. Bahkan
diakui oleh mayoritas ulama bahwa setiap sanad ilmu pengetahuan keislaman yang sampai
kepada kaum muslimin pada saat ini bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Di Indonesia, arus aswaja tidak dibangun dan diterima secara singkat. Butuh waktu dan
strategi yang ampuh untuk melakukan Islamisasi di Nusantara. Meski dikatakan Islam sudah
datang sejak abad ke-7 namun Islam baru dapat diterima mulai abad 14 yang dibawa oleh
Walisongo dan diteruskan oleh ulama-ulama Nusantara yang membangun jejaring yang besar
dan luas hingga mampu menggugah rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari para
penjajah.
Struktur Geneologi Madzhab Al Asyari di Indonesia, antara lain Abu Hasan Al Asyari,
Abu Hasan Al Bahili, Ruknuddin Al Ustadz Abu Ishaq Al Asfarayini, Abu Qasim Abdul Jabbar
bin Ali bin Muhammad bin Haskan Al Asfarayini Al Iskaf, Imam al Haramain Dhiyauddin
Abu Al Maali Abdul Malik bin Abdullah Al Juwaini, Abu Al qasim Salman bin Nashir bin
Imran Al Anshari Al Arghiyani, Dhiyyauddin Umar bin Al Husein Al Razi, Fakhrudin
Muhammad bin Umar Al razi, Syaifudin Abu Bakar Muhammad bin Muhammad Al Harawi,
Al Qadhi Abu Bakar Muhammad bin Abdullah At Taftazani, Al Hafiz Sirajuddin Umar bin Ali
Al Qawzini, Majdudin Abu Thahir Muhammad bin Yaqub Al Lughowi Al Syirazi Al
Fairuzzabadi, Al Hafiz Taqiyudin Muhammad bin Muhammad bin Fahad Al Makki Al Syafii
Al Alawi Al Hasyimi, Zainuddin Abu Yahya Zakariya bin Muhammad Al Anshari, Syamsudin
Muhammad bin Ahmad Al Ramli, Ahmad bin Muhammad Al Ghunaimi, Syamsudin Abu
abdillah Muhammad bin Ala Al Babili As Syafii Al Azhari, Abdullah bin Salim Al Bashri Al
Makki As Syafii, Salim bin Abdullah Al Bashri As Syafii, Syamsuddin Muhammad bin
Muhammad Al Dafiri As Syafii, Isa bin ahmad Al Barawi Al zubairi As Syafii, Muhammad
bin Ali Al Syanawani As Syafii, Utsman bin Hasan Al Dimyati, Sayid Ahmad bin Zaini
Dahlan, Sayid Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatha Al Dimyati Al Husaini As Syafii,
Muhammad Mahfuzh bin abdullah Al Tarmisi, Para Ulama Tanah Air seperti KH. Hasyim
Asyari Jombang, KH. Nawawi bin Nur Hasan Pasuruan, KH. Muhammad Baqir Yogyakarta,
KH. Wahab Hasbullah Jombang, KH. baidhawi bin Abdul Aziz Lasem, KH. Mashum bin
Ahmad Lasem, KH. Muhammad Dimyati Termas, KH. Shiddiq bin Abdullah Jember, KH.
Muhammad Faqih bin Abdul Jabbar Maskumambang, KH. Abbas Buntet Cirebon, dan lain-
lain.
Sedangkan struktur genealogi Madzhab Al Maturidzi, antara lain Abu Manshur Al
Maturudi, Abu Muhammad Abdul Karim bin Musa bin Isa Al Baidhawi, Husain bin Abdul
Karim Al Baidawi, Muhammad bin Husain Al Baidawi, Abu Al Yusr Muhammad bin
Muhammad bin Husain Al Baidawi, Al Hafiz Najmuddin Umar bin Muhammad Al Nafasi,
Muhammad bin Muhammad bin Nashr Al Nafasi, Husamuddin Husain bin Ali Al Saghnaqi,
Abu Muhammad Abdullah bin Hajjaj Al Kasyqari, Syamsuddin Muhammad Al Qurasyi, Al
Hafizh Ibn Hajar Al Anshari, Zakariya Al Anshari, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Al
Ramli, Ahmad Ibn Muhammad bin Yunus Al Qusyasyi Al Dajani Al Husaini, Burhanuddin
Abu Al Irfan Al Mulla Ibrahim bin Hasan Al Kurani, Burhanuddin Abu Hamid Muhammad
bin Muhammad Al Budairi Al Husaini Al Dimyati Al Asyari As Syafii, Muhammad bin
Muhammad bin Hasan Al Munir Al samanudi Al Syafii, Muhammad bin Ali Al Syanawani,
Utsman bin Hasan Al Dimyati, Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan, Sayid Abu Bakar bin
Muhammad Syatha Al Dimyati, Syaikh Muhammad Mahfuzh bin abdullah Al Tarmisi, Para
Ulama Tanah Air KH. Hasyim Asyari Jombang, KH. Nawawi bin Nur Hasan Pasuruan, KH.
Muhammad Baqir Yogyakarta, KH. Abdul Wahhab Hasbullah Jombang, KH. Abdullah
Baidhawi bin abdul aziz Lasem, KH. Masum bin Ahmad Lasem, KH. Muhammad Dimyati
Termas, KH. Shiddiq bin Abdullah Jember, KH. Muhammad Faqih bin Abdul Jabbar
Maskumambang, KH. Abbas Buntet Cirebon, dan lain-lain.
Demikian mata rantai geneologi Madzhab al-Asy’ari dan Madzhab al-Maturidzi yang
sampai kepada guru-guru dan kiai-kiai pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU).