Anda di halaman 1dari 20

MENGENAL KITAB RISALAH AHLISSUNNAH WAL JAMA’AH : FI HADITSIL

MAUTA WA ASYRATHIS SA’ATI WA BAYANI MAFHUMIS


SUNNAH WAL BID’AH
KARYA KH MUHAMMAD HASYIM ASY’ARI
(Asep Saefullah : Pengasuh Al-Jadid Cibeurih)

A. BIOGRAFI KH. HASYIM ASY’ARI


1. Tempat dan waktu lahir KH Muhammad Hasyim Asy’ari
KH Hasyim merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara dari pasangan Kiai Asy’ari dan
Halimah lahir pada hari Selasa kliwon tanggal 14 Februari tahun 1871 M atau bertepatan
dengan 12 Dzulqa’dah tahun 1287 H. Tempat kelahiran beliau berada di sekitar 2 kilometer
ke arah utara dari kota Jombang, tepatnya di Pesantren Gedang Desa Tambakrejo
kecamatan/Kabupaten Jombang.
2. Nasab dari pihak Ibu
Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim atau yang populer dengan
nama Pangeran Benawa bin Abdul Rahman yang juga dikenal dengan julukan Jaka Tingkir
(Sultan Hadiwijaya) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin Maulana Ishaq bin
Ainul Yakin yang populer dengan sebutan Sunan Giri.
Dari jalur ayah, nasab KH Hasyim bersambung kepada Maulana Ishak hingga Imam Ja'tar
Shadiq bin Muhammad Al-Bagir.
3. Nasab dari phak ayah
Muhammad Hasyim binti Halimah binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabbar bin Ahmad
bin Pangeran Sambo bin Pangeran Benawa bin Jaka Tingkir atau juga dikenal dengan nama
Mas Karebet bin Lembu Peteng (Prabu Brawijaya VI).
Dari jalur ibu, nasab beliau bersambung kepada pemimpin Kerajaan Majapahit, Raja
Brawijaya VI (Lembu Peteng), yang berputra Karebet atau Jaka Tingkir.
Dalam sejarah tercatat Jaka Tingkir adalah raja Pajang pertama (tahun 1568 M) dengan gelar
Sultan Pajang atau Pangeran Adiwijaya.
4. Perjalanan mencari ilmu agama
Pada usia 15 tahun, beliau mulai meninggalkan rumah, menjadi santri dan tinggal di beberapa
pesantren. KH Hasyim Asy'ari melanjutkan mencari ilmu ke Pesantren Kademangan,
Bangkalan, Madura, di bawah asuhan Kiai Kholil bin Abdul Latif. Kemudian pada tahun 1307
H bertepatan dengan tahun 1891 M, KH Hasyim belajar di Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo,
di bawah bimbingan Kiai Ya'qub
Pada usia 21 tahun, KH Hasyim Asy'ari menikah dengan Nafisah, salah seorang puteri Kiai
Ya'qub. Pernikahan itu dilangsungkan pada tahun 1892 M/1308 H. Tidak lama kemudian, Kiai
Hasyim bersama istri dan mertuanya berangkat ke Mekah guna menunaikan ibadah haji.
Kesempatan di tanah suci juga digunakan untuk memperdalam ilmu pengetahuan. Hampir
seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu hadis. Namun, saat berada di Mekah,
istri KH Hasyim Asy'ari meninggal dunia. Demikian pula dengan anaknya yang dilahirkan di
Mekah.
Sempat kembali ke tanah air dalam beberapa waktu, kemudian KH Hasyim Asy'ari kembali
ke Mekah. Pada periode kedua kembali ke Mekah, KH Hasyim Asy’ari rajin menemui ulama-
ulama besar untuk belajar dan mengambil berkah dari mereka.
Karena keilmuannya yang dinilai sudah mumpuni, KH Hasyim Asy'ari dipercaya untuk
mengajar di Masjidil Haram bersama tujuh ulama Indonesia lainnya, antara lain Syekh
Nawawi al-Bantani dan Syekh Anmad Khatib al-Minangkabawi.
Di Mekah, KH Hasyim Asy'ari memiliki banyak murid dari berbagai negara. Beberapa
muridnya, antara lain Syekh Sa'dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India), Syekh Umar
Hamdan (ahli hadis di Mekah), serta Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria). Kemudian
murid dari tanah air, antara lain KH Abdul Wahab Chasbullah (Tambakberas, Jombang),
K.H.R. Asnawi (Kudus), KH Dahlan (Kudus), KH Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan
KH Shaleh (Tayu). Pada tahun ketujuh di Mekah, tepatnya tahun 1899 M/1315 H, KH Hasyim
Asy'ari menikah dengan Khadijah, putri Kiai Romli dari desa Karangkates, Kediri. Setelah
pernikahan itu, KH Hasyim bersama istrinya kembali ke Indonesia. Setelah Nyai Khadijah
wafat kemudian menikah dengan Nyai Nafiqoh, putri Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan,
Madiun, yang dikaruniai 10 anak yaitu, Hanah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid,
Abdul Hafidz, Abdul Karim, Ubaidillah, Masruroh dan Muhammad Yusuf. Pada akhir tahun
1920, Nyai Nafiqoh wafat kemudian KH Hasyim Asy’ari menikah dengan Nyai Masyruroh
putri dari dari Kiai Hasan Pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri, dan dikaruniai
empat anak, yakni Abdul Qodir, Fatimah, Khadijah, dan Muhammad Yakub. Setelah Nyai
Masruroh tutup usia, kemudian Beliau menikah dengan Nyai Amini dan tidak dikaruniai anak

B. ISI KITAB RISALAH AHLISSUNNAH WAL JAMA’AH


Kitab Risalah Ahlissunnah Wal Jama’ah terdiri dari mukadimah (pendahuluan), 10
pasal dan khatimah (penutup). Sebagai berikut ini:
1. MUKADIMAH (PENDAHULUAN)
2. PASAL I : Sunah dan Bid’ah
3. PASAL II : Masyarakat Nusantara Berpegang Pada Madzhab Ahlussu- nah Wal Jama’ah.
Munculnya Berbagai Bid’ah di Nusantara dan Macam-Macam Ahli Bid’ah Masa Kini
4. PASAL III : Khithah Kaum Salaf Shaleh & Penjelasan Tentang Sawadul A’dzam di Masa
Sekarang dan Pentingnya Menganut Salah Satu Empat Madzhab
5. PASAL IV : Wajib Taqlid Bagi Orang yang Tidak Mampu Ijtihad
6. PASAL V : Berhati-hati Dalam Mengambil Ilmu Agama, dan Berhati- hati Terhadap Fitnah Ahli
Bid’ah dan Orang-orang Munafiq, Serta Para Imam yang Menyesatkan
7. PASAL VI : Hadits dan Atsar Tentang dicabutnya Ilmu, dan Mewabahnya Kebodohan, dan
Peringatan Nabi, Bahwa Akhir Zaman Adalah Banyak Kejelekan, dan Mengenai Umatnya yang
Akan Mengikuti Bid’ah, serta Keberadaan Agama yang Hanya Dipegang oleh Segelintir
Orang
8. PASAL VII : Dosa Orang yang Mengajak Pada Kesesatan atau Orang yang Memberi Contoh
yang Buruk
9. PASAL VIII : Terpecahnya Umat Islam Menjadi Tujuh Puluh Tiga Golon- gan, Menjelaskan
Teologi Kelompok Sesat, & Golongan yang Selamat Yaitu Ahlussunah wal Jama’ah
10. PASAL IX : Tanda–Tanda Hari Kiamat
11. PASAL X : Orang yang Meninggal Dunia Mampu Mendengar, Berbi- cara, & Mengetahui
Orang yang Memandikan, Mengkaf- ani, & Memakamkan Jenazahnya, & Tentang
Kembalinya Ruh Kedalam Jasad Setelah Mati
12. KHATIMAH (PENUTUP)
C. KARYA-KARYA KH HASYIM ASY’ARI
KH. Hasyim Asy’ari termasuk kyai yang gemar menulis. Beberapa tulisan karya Beliau
yang masih bisa ditemui dan menjadi kitab wajib untuk dipelajari di pesantren-pesanttren
Nusantara sampai sekarang antara lain:
1. Risalah Ahlissunnah wal Jamaah fi Hadtsil Mauta wa Syuruthis Sa’ah wa Bayani
Mafhumis Sunnah wal Bid’ah
Karya KH. Hasyim Asy’ari yang satu ini dapat dikatakan sebagai kitab yang relevan untuk
dikaji saat ini. Di dalam kitab ini dibahas tentang bagaimana sebenarnya penegasan antara
sunnah dan bid’ah. Secara sederhana, kitab ini membahas persoalan-persoalan yang banyak
muncul saat ini dan di kemudian hari.
2. Adabul ‘Alim wal Muta’alim fi ma Yahtaju Ilaihil Muta’allim fi Maqamati Ta’limihi
Pada dasarnya, kitab ini merupakan iktishar (resume) dari kitab Adabul Mu’allim karya Syekh
Muhamad bin Sahnun, Ta’limul Muta’allim fi Thariqatit Ta’allum karya Syekh Burhanuddin
az-Zarnuji, dan Tadzkiratus Sami’ wa al-Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim karya
Syekh Bdruddin Ibnu Jama’ah. Kitab ini menggambarkan bahwa betapa besar perhatian KH.
Hasyim Asy’ari terhadap dunia pendidikan. Kitab ini menyuguhkan gagasan berilian yang bisa
menuntun kesuksesan pelajar dalam menuntut ilmu dan kesuksesan guru dalam mengajar
dengan menjunjung tinggi akhlakul karimah
3. An-Nurul Mubin Fi Mahabbati Sayyidil Mursalin
Kitab ini membahas tentang kecintaan kepada Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam,
sifat-sifat terpuji Beliau yang harus diteladani, silsilah keluaraga Beliau, dan kewajiban
beriman dan taat kepada Beliau. Secara sederhana kitab ini mengurai sejarah yang relatif
lengkap dan menarik untuk dikaji dan dijadikan teladan menuju insan kamil.
4. At-Tibyan fin Nahy ’an Muqatha’atil Arham wal Aqarib wal Ikhwan
Kitab ini selesai ditulis pada hari Senin, 20 Syawal 1260 H dan kemudian diterbitkan oleh
Maktabah al-Turats al-Islami, Pesantren Tebuireng. Kitab tersebut berisi penjelasan mengenai
pentingnya membangun persaudaraan di tengah perbedaan serta memberikan penjelasan akan
bahayanya memutus tali persaudaraan atau silatuhrami.
5. Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatil Ulama
Kitab ini berisikan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari. Terutama berkaitan dengan NU. Dalam
kitab ini, KH. Hasyim Asy’ari mengutip beberapa ayat dan hadits yang menjadi landasannya
dalam mendirikan NU.
6. Risalah fi Ta’khidzil Akhdzi bi Mazhab al-A’immah al-Arba’ah
Dalam kitab ini, KH. Hasyim Asy’ari tidak sekedar menjelaskan pemikiran empat imam
madzhab, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin
Hanbal. Namun, beliau juga memaparkan alasan-alasan kenapa pemikiran di antara keempat
imam itu patut kita jadikan rujukan.
7. Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatil Ulama
Kitab ini berisi empat puluh hadits pilihan yang sangat tepat dijadikan pedoman oleh umat
Islam. Hadits yang dipilih oleh KH. Hasyim Asy’ari terutama berkaitan dengan hadits-hadits
yang menjelaskan pentingnya memegang prinsip dalam kehidupan yang penuh dengan
rintangan dan hambatan ini.
Wallahu A’lamu Bish Shawab

KELUARGA BESAR ALUMNI AL-JADID


CIBEURIH
MENGUCAPKAN :
SELAMAT HARI RAYA ‘IDUL FITHRI 1444
H/2023 M
MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN

MENGENAL AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH


(Asep Saefullah : Pengasuh Al-Jadid Cibeurih)

Dengan timbulnya bermacam-macam aliran / madzhab dalam Islam sehingga banyak


membawa keragu-raguan bahkan menjurus kepada keresahan umat, tentu kita sebagai umat
Islam harus punya pilihan yang tepat dan benar. Dalam menjalankan ajaran agama Islam tentu
yang harus menjadi pilihan kita adalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Pilihan ini sangat
argumentatif karena berdasarkan pada Hadits Nabi riwayat Ibnu Majah berikut ini:

ِ ‫ اَل َّنا ِج َيةُ ِم ْن َها َو‬,ً‫س ْب ِعيْنَ فِ ْر َقة‬


,‫احدَة َوال َباقُ ْونَ َهلَ َكى‬ َ ‫ث َو‬ٍ ‫علَى ثَ ََل‬ َ ‫ستَ ْفت َِر ُق ا ُ َّمتِي‬
َ ‫اخبرالنبي ص م‬
َ ‫سنَّ ِة َو ْال َج َما‬
: ‫ع ِة ؟ قَا َل‬ ُّ ‫ َو َم ْن اَ ْه ُل ال‬: ‫ قِ ْي َل‬,‫ع ِة‬ َ ‫سنَّ ِة َو ْال َج َما‬
ُّ ‫ اَ ْه ُل ال‬: ‫اجيَةُ ؟ قَا َل‬ِ َّ‫ َو َم ِن الن‬: ‫قِ ْي َل‬
‫ ابى الفتح‬: 13 ‫ الجزءاالول صحيفة‬: ‫ص َحا ِبي (رواه ابن ما جه) (الملل والنحل‬ َ َ ‫َماأَنا‬
ْ َ‫علَ ْي ِه َوا‬
) ‫محمد بن عبد الكريم الشهرستاني‬
Artinya : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Umatku akan terpecah belah
menjadi 73 golongan, yang satu selamat dan sisanya celaka. Dikatakan : Siapa yang selamat?
Beliau menjawab : Ahlussunnah wal jama’ah. Dikatakan : Siapa Ahluussunnah wal jama’ah?
Beliau menjawab : Siapa saja yang mengikutiku dan para shahabatku. (HR. Ibnu Majah)

A. Pengertian Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja)


Perkataan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terdiri dari tiga kata, pertama perkataan ahlun,
kedua as-sunnah, dan ketiga al-jama’ah.
1. Ahlun bisa diartikan keluarga ( QS. Huud/11: 45 dan QS Toha/20 : 132 ), Penduduk
(QS. Al-A’raf /7: 96, 97, 98), dan disiplin ilmu (QS. An-Nahl/16: 43, dan QS Al-
Anbiya/21:7)
2. As-sunnah secara etimologi adalah At-thariqah, yaitu jalan/sistem/cara/tradisi. Sedangkan
menurut terminologi ialah perkataan, perbuatan, dan ketetapan/persetujuan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Al-Jama’ah secara etimologi berarti bilangan lebih dari dua dan seterusnya. Sedangkan
menurut terminologi ialah kelompok mayoritas dalam Islam.

Secara umum pengertian Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagaiman disebutkan dalam


hadits riwayat Ibnu Majah, yaitu ma ana ‘alaihi wa ashhabi : pengikut Nabi dan para
shahabat. Untuk lebih jelasnya dapat kita kaji pengertian Ahlussunnah Wal Jama’ah menurut
para ahli sebagai berikut :
1. Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah golongan terbesar umat Islam yang mengikuti sistem
pemahaman Islam, baik dalam tauhid maupun fiqih dengan mengutamakan dalil Qur’an
dan hadist daripada dalil akal (KH. Sykron Ma’mun)
2. Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan yang menganut i’tiqad sebagai i’tiqad yang
dianut oleh Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam dan Shahabat-shahabat beliau
(KH. Sirojudin Abbas)
3. Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah orang-orang yang memiliki metode berpikir
keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar
moderat, keseimbangan dan toleran (BUKU SERI MKNU 2019)

B. Sejarah dikenalnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah


Sebenarnya sistem pemahaman Islam menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah hanya
merupakan kelangsungan disain yang dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW dan
Khulafaurrosydin. Namun sistem ini kemudian menonjol setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah
pada abad ke-2 H. Sejarahnya sebagai berikut:
Seorang ulama besar bernama Al-Imam Al-Bashri dari golongan At-Tabi’in di Bashrah
mempunyai sebuah Majelis Ta’lim, tempat mengembangkan dan memancarkan ilmu Islam.
Beliau wafat tahun 110 H. Di antara murid beliau, Washil bin ‘Atha adalah seorang murid yang
pandai dan fasih dalam bahasa arab. Pada suatu ketika timbul masalah antara guru dengan
murid “ tentang seorang mu’min yang melakukan dosa besar”. Apakah ia masih tetap
mu’min atau tidak ?
Menurut Al-Imam Hasan Al-Bashri, dia tetap mu’min selama beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya, tetapi ia fasik dengan perbuatan maksiatnya. Keterangan ini berdasarkan Al-
Qur’an dan Al-Hadist karena imam Hasan Al-Bashry mempergunakan dalil akal tetapi lebih
mengutamakan dalil Qur’an dan Hadist. Tetapi menurut muridnya Washil bin ‘Atha orang
mu’min yang melakukan dosa besar sudah bukan mu’min lagi, dia berpegang pada akalnya.
Bagaimana seorang mu’min melakukan dosa besar ?, berarti iman yang ada padanya adalah
iman dusta. Semenjak itulah maka para ulama yang mengutamakan dalil Qur’an dan Hadist
daripada dalil akal mulai memasyarakatkan cara dan sistem mereka di dalam memahami
agama, kemudian disebut kelompok Ahlu Sunnah Wal Jama’ah

C. Metode Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam ilmu Tauhid


Di dalam mempelajari ilmu tauhid, kaum Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja)
menggunakan dalil-dalil Aqli (rasio) dan Naqli (Qur’an dan Hadist). Namun dalam
operasionalisasinya, kaum Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ini mendahulukan dalil naqli daripada
dalil aqli. Akal manusia diibaratkan mata, kemudian dalil naqli diibaratkan pelita, agar mata
kita tidak tersesat, maka pelita kita letakkan di depan kemudian mata (akal manusia) mengikuti
pelita (dalil Qur’an dan Hadist) bukan Qur’an dan Hadist yang disesuaikan dengan akal
manusia.

D. Metode Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam Ilmu Fiqih


Di dalam menentukan hukum fiqih, kaum Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja)
bersumber pada 3 pokok, yaitu:
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Ijtihad (Ijma’ dan Qiyas)

E. Tokoh Aswaja dalam Ilmu Tauhid


1. Imam Abul Hasan Al-Asy’ari (260-324)
2. Imam Abul Mansur Al-Maturidi (Wafat 333 H)
I’tiqad (paham) Ahlus Sunah Wal Jama’ah yang telah disusun oleh Imam Abul Hasan
Al Asy’ari meliputi 6 faktor, yaitu:
1. Tentang Ketuhanan
2. Tentang Malaikat-malaikat Allah
3. Tentang Kitab-kitab Allah
4. Tentang Rasul-rasul Allah
5. Tentang Hari Akhir
6. Tentang Qadha dan Qadar

F. Tokoh Aswaja dalam Ilmu Fiqih


1. Imam Hanafi ( 80-150 H )
2. Imam Maliki ( 93-179 H )
3. Imam Syafi’i ( 150-204 H )
4. Imam Hambali ( 164-248 H)

G. Tokoh Aswaja dalam Tashawuf


Dalam hal tashawuf, kita harus mengikuti konsep tashawuf yang dibangun oleh tokoh-
tokoh tashawuf yang menjunjung tinggi syari’ah, tidak mengabaikan syari’ah yang secara
sanad keilmuannya dapat dipertanggungjawabkan dan dapat dipastikan sampai kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Diantarnya adalah :
1. Imam Abul Qasim Muhammad Al-Junaidi Al-Baghdadi (w. 297 H / 910 M)
2. Imam Abu Hamid Al-Ghozali (w. 505 H / 1111 M)

H. Tokoh Aswaja dalam Siyasah


Dalam hal siyasah (ketatanegaraan Islam), kita harus mengikuti konsep siyasah yang
tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Di antaranya konsep siyasah yang dibangun oleh
Imam Mawardi dengan nama lengkap Imam Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib Al-
Mawardi Al-Bashri (364 – 450 H / 974 – 1058 M) yang konsep siyasah-nya terangkum dalam
karya monumentalnya, yaitu Kitab Al-Ahkamus Sulthaniyah

I. Metode Aswaja dalam memutuskan masalah


Di dalam memutuskan sesuatu masalah, tentu kita tidak boleh ceroboh dan tergesa-
gesa. Kita harus mengadakan penelitian yang cermat terhadap masalah tersebut. Langkah-
langkah yang harus diperhatikan dalam menetapkan hukum, yaitu : Pertama: kita melihat
perbuatan tersebut ada perintahnya dalam al-quran dan as-Sunnah ?, kedua: Kalau perintah
terhadap perbuatan tersebut, tidak ada baik dalam al-quran maupun as-Sunnah kita lihat
kembali, apakah ada larangan terhadap perbuatan tersebut ?, ketiga: kalau perintah dan
larangan terhadap perbuatan tersebut tidak ada dalam al-quran dan as-Sunnah, kita tinjau
kembali, apakah perbuatan tersebut ada maslahatnya terhadap agama ?, keempat: kalau
ternyata perbuatan tersebut tidak ada maslahatnya, kita tinjau kembali, apakah perbuatan
tersebut ada mudaratnya (bahayanya) terhadap agama ?, setelah tahapan – tahapan tersebut di
atas baru kita dapat menentukan hukum :

1. Apabila ada perintah dalam al-quran dan as-Sunnah maka hukumnya tidak terlepas dari
wajib atau sunnah
2. Apabila ada larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka hukumnya tidak terlepas
dari haram atau makruh
3. Apabila perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada, tetapi
mengandung maslahat, maka hukumnya Sunnah ( baik )
4. Apabila larangan dan perintah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan perbuatan
tersebut membawa mudarat maka hukumnya haram
5. Apabila perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan perbuatan
tersebut tidak mengandung maslahat dan mudarat maka hukumnya Ibahah

Demikian tulisan singkat seputar Ahlussunnah Wal Jama’ah semoga bermanfaat untuk kita
semua.

Wallahu A’lamu Bish Shawab

10 (SEPULUH) KRITERIA ALIRAN SESAT


MENURUT MAJELIS ULAMA INDONESIA
(MUI)
1. Mengingkari rukun iman yang enam (iman
kepada Allah, Malaikat, Kitab Suci, Rasul, Hari
Akhir, Qada dan Qadar) dan mengingkari rukun
Islam yang lima (Mengucapkan Dua Kalimah
Syahadat, Shalat Lima Waktu, Puasa, Zakat dan
Haji)
2. Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak
sesuai dengan dalil syar’i (Al-Quran dan Al-
Hadits)
3. Meyakini turunnya wahyu setelah Al-Quran
4. Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran Al-
Quran
5. Melakukan penafsiran Al-Quran yang tidak
berdasarkan kaidah tafsir
6. Mengingkari kedudukan hadits nabi sebagai
sumber ajaran Islam
7. Melecehkan dan atau merendahkan para Nabi
dan Rasul
8. Mengingkari Nabi Muhammad sebagai Nabi dan
Rasul terakhir
9. Mengubah pokok-pokok ibadah yang telah
ditetapkan syari’ah
10. Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i
MENGENAL AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH1
(H. Asep Saefullah, S.PdI., M.Pd.) 2

Dengan timbulnya bermacam-macam aliran/madzhab dalam Islam sehingga banyak


membawa keragu-raguan bahkan menjurus kepada keresahan umat, tentu kita sebagai umat
Islam harus punya pilihan yang tepat dan benar. Terkait dengan ini, Nahdhatul Ulama (NU)
dalam menjalankan ajaran agama Islam memilih madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Pilihan
NU sangat argumentatif karena berdasarkan pada Hadits Nabi (lihat sabda Nabi riwayat Ibnu
Majah dalam kitab El Milal Wa El Nihal Juz 1 hal 13). Berikut ini, penulis akan mencoba
untuk mengurai secara singkat tentang Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam perspektif NU.

A. Pengertian
Perkataan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terdiri dari tiga kata, pertama perkataan ahlun,
kedua as-sunnah, dan ketiga al-jama’ah.

➢ Ahlun bisa diartikan keluarga ( QS. Huud: 45 dan QS Toha : 132 ), Penduduk (QS.
Al-A’raf : 96), dan disiplin ilmu (QS. An-Nahl: 43)
➢ As-sunnah secara etimologi (bahasa) adalah At-thariqah, yaitu jalan/sistem/cara/tradisi.
Sedangkan menurut terminologi (istilah) ialah perkataan, perbuatan, dan persetujuan
Nabi SAW.
➢ Al-Jama’ah secara etimologi (bahasa) berarti bilangan lebih dari dua dan seterusnya.
Sedangkan menurut terminologi (istilah) ialah kelompok mayoritas dalam golongan
Islam.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah
golongan terbesar umat Islam yang mengikuti sistem pemahaman Islam, baik dalam tauhid
maupun fiqih dengan mengutamakan dalil Qur’an dan hadist daripada dalil akal.
Dalam perkataan lain dapat dikatakan bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah
golongan yang menganut i’tiqad sebagai i’tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad SAW dan
Shahabat-shahabat beliau.

B. Sejarah dikenalnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah


Sebenarnya sistem pemahaman Islam menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah hanya
merupakan kelangsungan disain yang dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW dan
Khulafaurrosydin. Namun sistem ini kemudian menonjol setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah
pada abad ke-II H. Sejarahnya sebagai berikut:
Seorang ulama besar bernama Al-Imam Al-Bashry dari golongan At-Tabi’in di Bashrah
mempunyai sebuah Majelis Ta’lim, tempat mengembangkan dan memancarkan ilmu Islam.
Beliau wafat tahun 110 H. Diantara murid beliau, Washil bin ‘Atha adalah seorang murid yang
pandai dan fasih dalam bahasa arab. Pada suatu ketika timbul masalah antara guru dengan
murid “ tentang seorang mu’min yang melakukan dosa besar”. Apakah ia masih tetap
mu’min atau tidak ?
Menurut Al-Imam Hasan Al-Bashry, dia tetap mu’min selama beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya, tetapi ia fasik dengan perbuatan maksiatnya. Keterangan ini berdasarkan Al-
Qur’an dan Al-Hadist karena imam Hasan Al-Bashry mempergunakan dalil akal tetapi lebih
mengutamakan dalil Qur’an dan Hadist. Tetapi menurut muridnya Washil bin ‘Atha orang
mu’min yang melakukan dosa besar sudah bukan mu’min lagi, dia berpegang pada akalnya.
Bagaimana seorang mu’min melakukan dosa besar?, berarti iman yang ada padanya adalah
iman dusta. Semenjak itulah maka para ulama yang mengutamakan dalil Qur’an dan Hadist
daripada dalil akal mulai memasyarakatkan cara dan sistem mereka di dalam memahami
agama, kemudian disebut kelompok Ahlu Sunnah Wal Jama’ah

C. Metode Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam ilmu Tauhid


Di dalam mempelajari ilmu tauhid madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menggunakan
dalil-dalil Aqli (rasio) dan Naqli (Qur’an dan Hadist). Namun dalam operasionalisasinya,
madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah ini mendahulukan dalil naqli daripada dalil aqli. Akal
manusia diibaratkan mata, kemudian dalil naqli diibaratkan pelita, agar mata kita tidak tersesat,
maka pelita kita letakkan di depan kemudian mata (akal manusia) mengikuti pelita (dalil
Qur’an dan Hadist) bukan Qur’an dan Hadist yang disesuaikan dengan akal manusia.

D. Metode Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam Ilmu Fiqih


Di dalam menentukan hukum fiqih madzhab Aswaja bersumber pada 3 pokok, yaitu:
➢ Al-Qur’an
➢ As-Sunnah
➢ Ijtihad (Ijma’ dan Qiyas)

E. Tokoh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam Ilmu Tauhid


➢ Imam Abul Hasan Al-Asy’ari ( 260-324 )
➢ Imam Abul Mansur Al-Maturidi ( Wafat 333 H )

I’tiqad (paham) Ahlus Sunah Wal Jama’ah yang telah disusun oleh Imam Abul Hasan
Al Asy’ari meliputi 6 faktor, yaitu:
➢ Tentang Ketuhanan
➢ Tentang Malaikat-malaikat Allah
➢ Tentang Kitab-kitab Allah
➢ Tentang Rasul-rasul Allah
➢ Tentang Hari Akhir
➢ Tentang Qadha dan Qadar
F. Tokoh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam Ilmu Fiqih
➢ Imam Hanafi ( 80-150 H )
➢ Imam Maliki ( 93-179 H )
➢ Imam Syafi’i ( 150-204 H )
➢ Imam Hambali ( 164-248 H)

G. Metode Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam memutuskan masalah


Di dalam memutuskan sesuatu masalah, tentu kita dapat memutuskan dengan cepat.
Kita harus mengadakan penelitian yang cermat terhadap masalah tersebut tetapi kita harus
meneliti dalam menentukan hukum. Pertama: kita melihat perbuatan tersebut ada perintahnya
dalam al-quran dan as-Sunnah?, Kedua: Kalau perintah terhadap perbuatan tersebut, tidak ada
baik dalam al-quran maupun as-Sunnah kita lihat kembali, apakah ada larangan terhadap
perbuatan tersebut?, ketiga: kalau perintah dan larangan terhadap perbuatan tersebut tidak ada
dalam al-quran dan as-Sunnah, kita tinjau kembali, apakah perbuatan tersebut ada maslahatnya
terhadap agama?, keempat: kalau ternyata perbuatan tersebut tidak ada maslahatnya, kita tinjau
kembali, apakah perbuatan tersebut ada mudaratnya (bahayanya) terhadap agama?, setelah
tahapan – tahapan tersebut di atas baru kita dapat menentukan hukum :
➢ Apabila ada perintah dalam al-quran dan as-Sunnah maka hukumnya tidak terlepas dari
wajib atau sunnah
➢ Apabila ada larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka hukumnya tidak terlepas
dari haram atau makruh
➢ Apabila perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada, tetapi
mengandung maslahat, maka hukumnya Sunnah (baik)
➢ Apabila larangan dan perintah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan
perbuatan tersebut membawa mudarat maka hukumnya haram
➢ Apabila perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan
perbuatan tersebut tidak mengandung maslahat dan mudarat maka hukumnya Ibahah

Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamit Thoriq

Keterangan:
1. Tulisan ini disampaikan pada acara LDKS Pondok Pesantren Modern Darussa’adah dan
MAKESTA PC IPNU Lebak pada hari Kamis tanggal 10 Januari 2013 di Auditorium
Pondok Pesantren Modern Darussa’adah Cimarga.
2. Penulis adalah Ketua PC Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Kabupaten Lebak dan
Pengasuh Pondok Pesantren La Tahzan “Bengkel Akhlak Anak Bangsa” Cisalam
Rangkasbitung Lebak

3. Makalah ini disampaikan pada acara MAPABA UNSERA hari Sabtu tanggal 10 Desember
2011 di Saung Galih Banten Lama
4. Penulis adalah Anggota Majelis Pembina Daerah (MABINDA) PKC PMII Banten dan
Pengasuh Pondok Pesantren La Tahzan “Bengkel Akhlak Anak Bangsa” Cisalam
Rangkasbitung Lebak
ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL FIKR
Oleh: H. Asep Saefullah, S.PdI., M.Pd.
(Anggota Majelis Pembina Daerah PMII Banten)

A. Pendahuluan
Melacak akar sejarah munculnya istilah ahlu sunnah waljama’ah (aswaja), bahwa
aswaja sudah terkenal sejak zaman Muhammad Rasulullah SAW (lihat sabda Nabi riwayat
Ibnu Majah dalam kitab El Milal Wa El Nihal Juz 1 hal 13). Sebagai konfigurasi sejarah,
maka aswaja mengalami perkembangan dengan tiga tahap secara evolutif. Pertama, tahap
embrional pemikiran sunni dalam bidang teologi bersifat eklektik, yakni memilih salah satu
pendapat yang dianggap paling benar. Pada tahap ini masih merupakan tahap konsolidasi,
tokoh yang menjadi penggerak adalah Hasan al-Basri (w.110 H/728 M). Kedua, proses
konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah Imam al-Syafi’i (w.205 H/820 M) berhasil
menetapkan hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al- qur’an dalam konstruksi
pemikiran hukum Islam. Pada tahap ini, kajian dan diskusi tentang teologi sunni
berlangsung secara intensif. Ketiga, merupakan kristalisasi teologi sunni, disatu pihak
menolak rasionalisme dogma, di lain pihak menerima metode rasional dalam memahami
agama. Proses kristalisasi ini dilakukan oleh dua tokoh di tempat yang berbeda pada waktu
yang bersamaan, yakni; Abu Hasan al-Asy’ari (w.324 H/935 M) di Mesopotamia, dan Abu
Mansur al-Maturidi (w.331 H/944 M) di Samarkand. Pada zaman kristalisasi inilah Abu
Hasan al-Asy’ari meresmikan sebagai aliran pemikiran yang dikembangkan. Dan
munculnya aswaja ini sebagai reaksi teologis-politis terhadap Mu’tazilah, Khowarij dan
Syi’ah yang dipandang oleh al-Asy’ari sudah keluar dari paham yang semestinya.

Aswaja dalam konteks Indonesia, sebagaimana yang dikembangkan oleh Nahdlatul


Ulama (NU) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) bahwa aswaja bukan
hanya sekedar faham/madzhab, tetapi aswaja sebagai metode berfikir (manhaj al fikr)
keagamaan yang mencakup segala aspek kehidupan dan berdiri di atas prinsip
keseimbangan dalam akidah, penengah dan perekat dalam sistem kehidupan sosial serta
keadilan dan toleransi. Dari sinilah PMII menggunakan aswaja sebagai manhaj al fikr
dalam landasan gerak

B. Aswaja Sebagai Manhaj al Fikr


Dalam wacana metode pemikiran, para teolog klasik dapat dikategorikan menjadi
empat kelompok. Pertama, kelompok rasionalis yang diwakili oleh aliran Mu’tazilah yang
dipelaporii oleh Washil bin Atho’, kedua, kelompok tekstualis yang dihidupkan dan
dipertahankan oleh aliran salaf yang dimunculkan oleh Ibnu Taimiyah. Ketiga, kelompok
yang pemikirannya terfokuskan pada politik dan sejarah kaum muslimin yang diwakili oleh
syi’ah dan Khawarij, dan keempat, pemikiran sintetis yang dikembangkan oleh Abu Hasan
al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.
Di dalam PMII Aswaja dijadikan Manhajul Fikri artinya Aswaja bukan dijadikan tujuan
dalam beragama melainkan dijadikan metode dalam berfikir untuk mencapai kebenaran
agama. Walaupun banyak tokoh yang telah mencoba mendekontruksi isi atau konsep yang
ada dalam aswaja tapi sampai sekarang Aswaja dalam sebuah metode berfikir ada banyak
relevansinya dalam kehidupan beragama, sehingga PMII lebih terbuka dalam mebuka
ruang dialektika dengan siapapun dan kelompok apapun.
Rumusan aswaja sebagai manhajul fikri pertama kali diintrodusir oleh Prof. Dr. Said Aqil
Siradj, MA pada tahun 1991. Upaya dekonstruktif ini selayaknya dihargai sebagai produk
intelektual walaupun juga tidak bijaksana jika diterima begitu saja tanpa ada discourse
panjang dan mendalam. Dalam perkembangannya, rumusan baru Kang Said (panggilan
akrab Said Aqil Siradj) diratifikasi menjadi konsep dasar aswaja di PMII. Prinsip utama
dari aswaja sebagai manhajul fikri meliputi; tawasuth (moderat), tasamuh (toleran),
tawazzun (seimbang) dan ta’adul (keadilan). Aktualisasi dari prinsip yang pertama adalah
bahwa selain wahyu, kita juga memposisikan akal pada posisi yang terhormat (namun tidak
terjebak pada mengagung-agungkan akal) karena martabat kemanusiaan manusia terletak
pada apakah dan bagaimana dia menggunakan akal yang dimilikinya. Artinya ada sebuah
keterkaitan dan keseimbangan yang mendalam antara wahyu dan akal sehingga kita tidak
terjebak pada paham skripturalisme (tekstual) dan rasionalisme. Selanjutnya, dalam
konteks hubungan sosial, seorang kader PMII harus bisa menghargai dan mentoleransi
perbedaan yang ada bahkan sampai pada keyakinan sekalipun. Tidak dibenarkan kita
memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar pendapat kita pada orang lain, yang
diperbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan dan mendialiektikakakan keyakinan atau
pendapat tersebut, dan ending-nya diserahkan pada otoritas individu dan hidayah dari
Tuhan. Ini adalah manifestasi dari prinsip tasamuh dari aswaja sebagai manhajul fikri. Dan
yang berikutnya adalah tawazzun (seimbang). Penjabaran dari prinsip tawazzun meliputi
berbagai aspek kehidupan, baik itu perilaku individu yang bersifat sosial maupun dalam
konteks politik sekalipun. Ini penting karena seringkali tindakan atau sikap yang diambil
dalam berinteraksi di dunia ini disusupi oleh kepentingan sesaat dan keberpihakan yang
tidak seharusnya. walaupun dalam kenyataannya sangatlah sulit atau bahkan mungkin tidak
ada orang yang tidak memiliki keberpihakan sama sekali, minimal keberpihakan terhadap
netralitas. Artinya, dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa
memandang dan memposisikan segala sesuatu pada proporsinya masing-masing adalah
sikap yang paling bijak, dan bukan tidak mengambil sikap karena itu adalah manifestasi
dari sikap pengecut dan oportunis.

C. Penutup
Secara sederhana dapat dimabil benang merahnya bahwa substansi aswaja sebagai manhaj
al fikr adalah tawasuth (moderat: berdiri tengah-tengah), tawazun (seimbang), tasamuh
(toleran) dan ta’addul (adil). Berarti, yang menjadi Standarisasi aswaja adalah nilai-nilai
kemoderatan.
Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfa’at dan memberikan angin
segar untuk kader PMII agar bisa bertambah moderat, sehingga bisa mengayomi dan
berdiri secara adil di tengah-tengah golongan yang ada. Dan yang penting lagi adalah bisa
menjadi pioner terwujudnya misi Islam sebagai rahmataallil alamin. Yaitu Islam yang
menebarkan kemaslahatan, kasih sayang dan kedamaian bagi seluruh alam, bukan Islam
yang galak, menakutkan, dan mudah memuncratkan darah orang lain.

Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit Tharieq

5. Makalah ini disampaikan pada acara DIKLATSAR BANSER PC GP ANSOR LEBAK pada
tanggal 10 Juli 2011 di Graha PCNU Lebak
6. Penulis adalah Sekretaris PC GP Ansor Kabupaten Lebak dan Pengasuh La Tahzan
Boarding School “Bengkel Akhlak Anak Bangsa” Cisalam Rangkasbitung Lebak
7. Makalah ini disampaikan pada acara MAPABA PMII Komisariat Perguruang Tinggi Setia
Budhi Rangkasbitung yang diselenggarakan pada tanggal 31 Oktober 2009 di Auditorium
YPI Al Wadah Jawilan Serang
8. Penulis adalah

MADZHAB AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH:


SEBUAH RINGKASAN1
(Asep Saefullah, M.Pd)2

Dengan timbulnya bermacam-macam aliran/madzhab dalam Islam sehingga banyak


membawa keragu-raguan bahkan menjurus kepada keresahan umat, tentu kita sebagai umat
Islam harus punya pilihan yang tepat dan benar. Terkait dengan ini, Nahdhatul Ulama (NU)
dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dalam menjalankan ajaran agama Islam
memilih mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Pilihan NU dan PMII sangat argumentatif karena
berdasarkan pada Hadits Nabi (lihat sabda Nabi riwayat Ibnu Majah dalam kitab El Milal Wa
El Nihal Juz 1 hal 13). Berikut ini, penulis akan mencoba untuk mengurai secara singkat
tentang Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam perspektif NU dan PMII

A. Pengertian
Perkataan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terdiri dari tiga kata, pertama perkataan ahlun,
kedua as-sunnah, dan ketiga al-jama’ah.

➢ Ahlun bisa diartikan keluarga ( QS. Huud: 45 dan QS Toha : 132 ), Penduduk (QS.
Al-A’raf : 96), dan disiplin ilmu (QS. An-Nahl: 43)
➢ As-sunnah secara etimologi adalah At-thariqah, yaitu jalan/sistem/cara/tradisi.
Sedangkan menurut terminologi ialah perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi
SAW.
➢ Al-Jama’ah secara etimologi berarti bilangan lebih dari dua dan seterusnya. Sedangkan
menurut terminologi ialah kelompok mayoritas dalam golongan Islam.

Dengan demikian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan terbesar umat Islam
yang mengikuti sistem pemahaman Islam, baik dalam tauhid maupun fiqih dengan
mengutamakan dalil Qur’an dan hadist daripada dalil akal.
Dalam perkataan lain dapat dikatakan bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah
golongan yang menganut i’tiqad sebagai i’tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad SAW dan
Shahabat-shahabat beliau.

B. Sejarah dikenalnya Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah


Sebenarnya sistem pemahaman Islam menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah hanya
merupakan kelangsungan disain yang dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW dan
Khulafaurrosydin. Namun sistem ini kemudian menonjol setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah
pada abad ke-II H. Sejarahnya sebagai berikut:
Seorang ulama besar bernama Al-Imam Al-Bashry dari golongan At-Tabi’in di Bashrah
mempunyai sebuah Majelis Ta’lim, tempat mengembangkan dan memancarkan ilmu Islam.
Beliau wafat tahun 110 H. Diantara murid beliau, Washil bin ‘Atha adalah seorang murid yang
pandai dan fasih dalam bahasa arab. Pada suatu ketika timbul masalah antara guru dengan
murid “ tentang seorang mu’min yang melakukan dosa besar”. Apakah ia masih tetap
mu’min atau tidak ?
Menurut Al-Imam Hasan Al-Bashry, dia tetap mu’min selama beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya, tetapi ia fasik dengan perbuatan maksiatnya. Keterangan ini berdasarkan Al-
Qur’an dan Al-Hadist karena imam Hasan Al-Bashry mempergunakan dalil akal tetapi lebih
mengutamakan dalil Qur’an dan Hadist. Tetapi menurut muridnya Washil bin ‘Atha orang
mu’min yang melakukan dosa besar sudah bukan mu’min lagi, dia berpegang pada akalnya.
Bagaimana seorang mu’min melakukan dosa besar ?, berarti iman yang ada padanya adalah
iman dusta. Semenjak itulah maka para ulama yang mengutamakan dalil Qur’an dan Hadist
daripada dalil akal mulai memasyarakatkan cara dan sistem mereka di dalam memahami
agama, kemudian disebut kelompok Ahlu Sunnah Wal Jama’ah

C. Metode Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam ilmu Tauhid


Di dalam mempelajari ilmu tauhid madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menggunakan
dalil-dalil Aqli ( rasio ) dan Naqli ( Qur’an dan Hadist ). Namun dalam operasionalisasinya,
madzhab ini mendahulukan dalil naqli daripada dalil aqli. Akal manusia diibaratkan mata,
kemudian dalil naqli diibaratkan pelita, agar mata kita tidak tersesat, maka pelita kita letakkan
di depan kemudian mata (akal manusia) mengikuti pelita (dalil Qur’an dan Hadist) bukan
Qur’an dan Hadist yang disesuaikan dengan akal manusia.

D. Metode Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam Ilmu Fiqih


Di dalam menentukan hukum fiqih madzhab Aswaja bersumber pada 3 pokok, yaitu:
➢ Al-Qur’an
➢ As-Sunnah
➢ Ijtihad (Ijma’ dan Qiyas)

E. Tokoh Aswaja dalam Ilmu Tauhid


➢ Imam Abul Hasan Al-Asy’ari ( 260-324 )
➢ Imam Abul Mansur Al-Maturidi ( Wafat 333 H )

I’tiqad (paham) Ahlus Sunah Wal Jama’ah yang telah disusun oleh Imam Abul Hasan
Al Asy’ari meliputi 6 faktor, yaitu:
➢ Tentang Ketuhanan
➢ Tentang Malaikat-malaikat Allah
➢ Tentang Kitab-kitab Allah
➢ Tentang Rasul-rasul Allah
➢ Tentang Hari Akhir
➢ Tentang Qadha dan Qadar
F. Tokoh Aswaja dalam Ilmu Fiqih
➢ Imam Hanafi ( 80-150 H )
➢ Imam Maliki ( 93-179 H )
➢ Imam Syafi’i ( 150-204 H )
➢ Imam Hambali ( 164-248 H)

G. Metode Aswaja dalam memutuskan masalah


Di dalam memutuskan sesuatu masalah, tentu kita dapat memutuskan dengan cepat.
Kita harus mengadakan penelitian yang cermat terhadap masalah tersebut tetapi kita harus
meneliti dalam menentukan hukum. Pertama : kita melihat perbuatan tersebut ada perintahnya
dalam al-quran dan as-Sunnah ?, Kedua : Kalau perintah terhadap perbuatan tersebut, tidak ada
baik dalam al-quran maupun as-Sunnah kita lihat kembali, apakah ada larangan terhadap
perbuatan tersebut ?, ketiga : kalau perintah dan larangan terhadap perbuatan tersebut tidak ada
dalam al-quran dan as-Sunnah, kita tinjau kembali, apakah perbuatan tersebut ada maslahatnya
terhadap agama ?, keempat : kalau ternyata perbuatan tersebut tidak ada maslahatnya, kita
tinjau kembali, apakah perbuatan tersebut ada mudaratnya ( bahayanya ) terhadap agama ?,
setelah tahapan – tahapan tersebut di atas baru kita dapat menentukan hukum :

➢ Apabila ada perintah dalam al-quran dan as-Sunnah maka hukumnya tidak terlepas dari
wajib atau sunnah
➢ Apabila ada larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka hukumnya tidak terlepas
dari haram atau makruh
➢ Apabila perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada, tetapi
mengandung maslahat, maka hukumnya Sunnah ( baik )
➢ Apabila larangan dan perintah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan
perbuatan tersebut membawa mudarat maka hukumnya haram
➢ Apabila perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan
perbuatan tersebut tidak mengandung maslahat dan mudarat maka hukumnya Ibahah

Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit Thoriq

Keterangan:
1. Makalah ini disampaikan pada acara MAPABA PMII Komisariat Perguruang Tinggi
Latansa Mashiro Rangkasbitung yang diselenggarakan pada tanggal 24 Oktober 2009 di
Yayasan Amanah Bunda Kumpay Banjarsari Lebak
2. Penulis adalah Sekretaris Majelis Pembina Cabang PMII Kabupaten Lebak

DOKTRIN ASWAJA DI BIDANG SOSIAL


Berdirinya suatu negara merupakan suatu keharusan dalam suatu komunitas umat (Islam).
Negara tersebut dimaksudkan untuk mengayomi kehidupan umat, melayani mereka serta
menjaga kemaslahatan bersama (maslahah musytarakah). Keharusan ini bagi faham
Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) hanyalah sebatas kewajiban fakultatif (fardhu kifayah)
saja, sehingga –sebagaimana mengurus jenazah– jika sebagian orang sudah mengurus
berdirinya negara, maka gugurlah kewajiban lainnya.

Oleh karena itu, konsep berdirinya negara (imamah) dalam Aswaja tidaklah termasuk salah
satu pilar (rukun) keimanan sebagaiman yang diyakini oleh Syi'ah. Namun, Aswaja juga tidak
membiarkan yang diakui oleh umat (rakyat). Hal ini berbeda dengan Khawarij yang
membolehkan komunitas umat Islam tanpa adanya seorang Imam apabila umat itu sudah bisa
mengatur dirinya sendiri.

Aswaja tidak memiliki patokan yang baku tentang negara. Suatu negara diberi kebebasan
menentukan bentuk pemerintahannya, bisa demokrasi, kerajaan, teokrasi ataupun bentuk yang
lainnya. Aswaja hanya memberikan kriteria (syarat-syarat) yang harus dipenuhi oleh suatu
negara. Sepanjang persyaratan tegaknya negara tersebut terpenuhi, maka negara tersebut bisa
diterima sebagai pemerintahan yang sah dengan tidak mempedulikan bentuk negara tersebut.
Sebaliknya, meskipun suatu negara memakai bendera Islam, tetapi di dalamnya terjadi banyak
penyimpangan dan penyelewengan serta menginjak-injak sistem pemerintahan yang
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka praktik semacam itu tidaklah dibenarkan
dalam Aswaja.

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu negara tersebut adalah:


a. Prinsip Syura (Musyawarah)

Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS asy-Syura 42: 36-39:

Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia, dan
yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya
kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa
besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan
(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang
yang apabila mereka diperlakukan dengan lalim mereka membela diri.

Menurut ayat di atas, syura merupakan ajaran yang setara dengan iman kepada Allah (iman
billah), tawakal, menghindari dosa-dosa besar (ijtinabul kaba'ir), memberi ma'af setelah marah,
memenuhi titah ilahi, mendirikan shalat, memberikan sedekah, dan lain sebagainya. Seakan¬-
akan musyawarah merupakan suatu bagian integral dan hakekat Iman dan Islam.

b. Al-'Adl (Keadilan)

Menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan dalam Islam terutama bagi penguasa (wulat)
dan para pemimpin pemerintahan (hukkam) terhadap rakyat dan umat yang dipimpin. Hal ini
didasarkan kepada QS An-Nisa' 4:58

Sesungguhnya Allah meyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak


menerimanyaa dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat.

c. Al-Hurriyyah (Kebebasan)

Kebebasan dimaksudkan sebagai suatu jaminan bagi rakyat (umat) agar dapat melakukan hak-
hak mereka. Hak¬hak tersebut dalam syari'at dikemas dalam al-Ushul al¬Khams (lima prinsip
pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan. Kelima prinsip tersebut
adalah:

a) Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa (kehidupan) yang dirniliki warga negara (rakyat).
b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan
keyakinannya.
c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dirniliki oleh warga negara.
d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.
e) Hifzhul 'lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun
kedudukan setiap warga negara.

Kelima prinsip di atas beserta uraian derivatifnya dalam era sekarang ini lebih menyerupai Hak
Asasi Manusia (HAM).

d. Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)

Semua warga negara haruslah mendapat perlakuan yang sama. Semua warga negara memiliki
kewajiban dan hak yang sama pula. Sistem kasta atau pemihakan terhadap golongan, ras, jenis
kelamin atau pemeluk agama tetlentu tidaklah dibenarkan.

Dari beberapa syarat tersebut tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa sebenarnya
sistem pemerintahan yang mendekati kriteria di atas adalah sistem demokrasi. Demokrasi yang
dimaksud adalah sistem pemerintahan yang bertumpu kepada kedaulatan rakyat. Jadi
kekuasaan negara sepenuhnya berada di tangan rakyat (civil sociery) sebagai amanat dari
Allah.

Harus kita akui, bahwa istilah "demokrasi" tidak pemah dijumpai dalam bahasa Al-Qur’an
maupun wacana hukum Islam klasik. Istilah tersebut diadopsi dari para negarawan di Eropa.
Namun, harus diakui bahwa nilai¬nilai yang terkandung di dalamnya banyak menyerupai
prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam berbangsa dan bernegara menurut Aswaja.

Dalam era globalisasi di mana kondisi percaturan politik dan kehidupan umat manusia banyak
mengalami perubahan yang mendasar, misalnya kalau dulu dikenal komunitas kabilah, saat ini
sudah tidak dikenallagi bahkan kondisi umat manusia sudah menjadi "perkampungan dunia",
maka demokrasi harus dapat ditegakkan.

Pada masa lalu banyak banyak ditemui ghanimah (harta rampasan perang) sebagai suatu
perekonomian negara. Sedangkan pada saat ini sistem perekonomian tersebut sudah tidak
dikenal lagi. Perekonomian negara banyak diambil dari pajak dan pungutan lainnya. Begitu
pula jika pada tempo dulu aqidah merupakan sentral kekuatan pemikiran, maka saat ini aqidah
bukanlah merupakan satu¬satunya sumber pijakan. Umat sudah banyak berubah kepada
pemahaman aqidah yang bersifat plural.

Dengan demikian, pemekaran pemikiran umat Islam haruslah tidak dianggap sebagai sesuatu
hal yang remeh dan enteng, jika umat Islam tidak ingin tertinggal oleh bangsa-bangsa di muka
bumi ini. Tentu hal ini mengundang konsekuensi yang mendasar bagi umat Islam sebab
pemekaran terse but pasti banyak mengubah wacana pemikiran yang sudah ada (salaf/klasik)
dan umat Islam harus secara dewasa menerima transformasi tersebut sepanjang tidak
bertabrakan dengan hal-hal yang sudah paten (qath'iy). Sebagai contoh, dalam kehidupan
bemegara (baca: demokrasi), umat Islam harus dapat menerima seorang pemimpin (presiden)
dari kalangan non-muslim atau wanita.

KH Said Aqil Siradj


Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
GENEALOGI AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH AN-NAHDLIYYAH :
SEBUAH RINGKASAN

Genealogi adalah ilmu yang mempelajari tentang garis keturunan. Jika kata geneologi
digabung dengan kata aswaja (genealogi aswaja) berarti ilmu yang membahas tentang garis
keturunan atau terbentuknya aliran Ahlussunnah Wal Jamaah.
Ketika kita membahas tentang aswaja, kesan yang muncul adalah kita ingin
menghadirkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin dengan dalil-dalil dan sanad yang sampai pada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Agar terhindar dari taqlid maka sangat penting bagi kita untuk mengetahui seluk beluk
Ahlussunnah Waljamaah An-Nahdliyyah (Aswaja NU), bagaimana awal terbentukya aswaja
dan perkembangannya sampai sekarang. Genealogi Aswaja dari masa Rasulullah sampai
sekarang, khususnya sampai ke NU tentu sangat panjang.
Ahlussunnah Wal Jamaah An-Nahdliyyah mengikuti ajaran Islam murni dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dan al-khulafaur rosyidin memiliki kekhasan, keunikan dan
keistimewaan terbaik dalam hal struktur geneologi tersebut, umat Islam Indonesia secara
mayoritas pengikut Sunni dengan mengikuti Madzhab Al-Asy’ari dan Al-Maturidzi dalam
bidang teologi/tauhid/aqidah, mengikuti salah satu madzhab empat, yakni Imam Hanafi, Imam
Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali dalam bidang fiqih, mengikuti Imam Junaidi Al-
Baghdadi dan Imam Abu Hamid Al-Ghozali dalam bidang tashawuf, dan mengikuti Imam Al-
Mawardi dalam bidang siyasah.
Ahlussunnah Wal Jamaah An-Nahdliyyah, dalam hal ini pengikut madzhab Al-Asy’ari
dan Al-Maturidzi, memiliki sanad yang kokoh dan dipercaya dari generasi ke generasi. Bahkan
diakui oleh mayoritas ulama bahwa setiap sanad ilmu pengetahuan keislaman yang sampai
kepada kaum muslimin pada saat ini bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Di Indonesia, arus aswaja tidak dibangun dan diterima secara singkat. Butuh waktu dan
strategi yang ampuh untuk melakukan Islamisasi di Nusantara. Meski dikatakan Islam sudah
datang sejak abad ke-7 namun Islam baru dapat diterima mulai abad 14 yang dibawa oleh
Walisongo dan diteruskan oleh ulama-ulama Nusantara yang membangun jejaring yang besar
dan luas hingga mampu menggugah rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari para
penjajah.
Struktur Geneologi Madzhab Al Asyari di Indonesia, antara lain Abu Hasan Al Asyari,
Abu Hasan Al Bahili, Ruknuddin Al Ustadz Abu Ishaq Al Asfarayini, Abu Qasim Abdul Jabbar
bin Ali bin Muhammad bin Haskan Al Asfarayini Al Iskaf, Imam al Haramain Dhiyauddin
Abu Al Maali Abdul Malik bin Abdullah Al Juwaini, Abu Al qasim Salman bin Nashir bin
Imran Al Anshari Al Arghiyani, Dhiyyauddin Umar bin Al Husein Al Razi, Fakhrudin
Muhammad bin Umar Al razi, Syaifudin Abu Bakar Muhammad bin Muhammad Al Harawi,
Al Qadhi Abu Bakar Muhammad bin Abdullah At Taftazani, Al Hafiz Sirajuddin Umar bin Ali
Al Qawzini, Majdudin Abu Thahir Muhammad bin Yaqub Al Lughowi Al Syirazi Al
Fairuzzabadi, Al Hafiz Taqiyudin Muhammad bin Muhammad bin Fahad Al Makki Al Syafii
Al Alawi Al Hasyimi, Zainuddin Abu Yahya Zakariya bin Muhammad Al Anshari, Syamsudin
Muhammad bin Ahmad Al Ramli, Ahmad bin Muhammad Al Ghunaimi, Syamsudin Abu
abdillah Muhammad bin Ala Al Babili As Syafii Al Azhari, Abdullah bin Salim Al Bashri Al
Makki As Syafii, Salim bin Abdullah Al Bashri As Syafii, Syamsuddin Muhammad bin
Muhammad Al Dafiri As Syafii, Isa bin ahmad Al Barawi Al zubairi As Syafii, Muhammad
bin Ali Al Syanawani As Syafii, Utsman bin Hasan Al Dimyati, Sayid Ahmad bin Zaini
Dahlan, Sayid Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatha Al Dimyati Al Husaini As Syafii,
Muhammad Mahfuzh bin abdullah Al Tarmisi, Para Ulama Tanah Air seperti KH. Hasyim
Asyari Jombang, KH. Nawawi bin Nur Hasan Pasuruan, KH. Muhammad Baqir Yogyakarta,
KH. Wahab Hasbullah Jombang, KH. baidhawi bin Abdul Aziz Lasem, KH. Mashum bin
Ahmad Lasem, KH. Muhammad Dimyati Termas, KH. Shiddiq bin Abdullah Jember, KH.
Muhammad Faqih bin Abdul Jabbar Maskumambang, KH. Abbas Buntet Cirebon, dan lain-
lain.
Sedangkan struktur genealogi Madzhab Al Maturidzi, antara lain Abu Manshur Al
Maturudi, Abu Muhammad Abdul Karim bin Musa bin Isa Al Baidhawi, Husain bin Abdul
Karim Al Baidawi, Muhammad bin Husain Al Baidawi, Abu Al Yusr Muhammad bin
Muhammad bin Husain Al Baidawi, Al Hafiz Najmuddin Umar bin Muhammad Al Nafasi,
Muhammad bin Muhammad bin Nashr Al Nafasi, Husamuddin Husain bin Ali Al Saghnaqi,
Abu Muhammad Abdullah bin Hajjaj Al Kasyqari, Syamsuddin Muhammad Al Qurasyi, Al
Hafizh Ibn Hajar Al Anshari, Zakariya Al Anshari, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Al
Ramli, Ahmad Ibn Muhammad bin Yunus Al Qusyasyi Al Dajani Al Husaini, Burhanuddin
Abu Al Irfan Al Mulla Ibrahim bin Hasan Al Kurani, Burhanuddin Abu Hamid Muhammad
bin Muhammad Al Budairi Al Husaini Al Dimyati Al Asyari As Syafii, Muhammad bin
Muhammad bin Hasan Al Munir Al samanudi Al Syafii, Muhammad bin Ali Al Syanawani,
Utsman bin Hasan Al Dimyati, Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan, Sayid Abu Bakar bin
Muhammad Syatha Al Dimyati, Syaikh Muhammad Mahfuzh bin abdullah Al Tarmisi, Para
Ulama Tanah Air KH. Hasyim Asyari Jombang, KH. Nawawi bin Nur Hasan Pasuruan, KH.
Muhammad Baqir Yogyakarta, KH. Abdul Wahhab Hasbullah Jombang, KH. Abdullah
Baidhawi bin abdul aziz Lasem, KH. Masum bin Ahmad Lasem, KH. Muhammad Dimyati
Termas, KH. Shiddiq bin Abdullah Jember, KH. Muhammad Faqih bin Abdul Jabbar
Maskumambang, KH. Abbas Buntet Cirebon, dan lain-lain.
Demikian mata rantai geneologi Madzhab al-Asy’ari dan Madzhab al-Maturidzi yang
sampai kepada guru-guru dan kiai-kiai pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU).

Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamith Thariq

Anda mungkin juga menyukai