Al-'Alim al-'Allamah asy-Syekh Haji Muhammad Kholil bin Abdul Lathif Basyaiban al-Bangkalani
al-Maduri al-Jawi asy-Syafi'i (bahasa Arab: العالم العالمه الشيخ محمد خليل بن عبد اللطيف باشيبان البنكالنى المدورى
)الجاوى الشافعى atau lebih dikenal dengan nama Syaikhona Kholil atau Syekh Kholil (lahir
di Kemayoran, Bangkalan, Bangkalan, 1820 – meninggal di Martajasah, Bangkalan,
Bangkalan, 1925 pada umur antara 104 – 105 tahun)[3] adalah seorang Ulama kharismatik
dari Pulau Madura, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Di masyarakat santri, Syaikhona
Kholil juga dikenal sebagai Waliyullah. Seperti cerita Wali Songo, banyak cerita kelebihan
di luar akal atau karamah Syekh Kholil terkisah dari lisan ke lisan, terutama di lingkungan
masyarakat Madura.[3] Biografi[sunting | sunting sumber]
Syekh Kholil al-Bangkalani berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH Abdul Lathif, mempunyai
pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah Kiai Hamim, putra dari Kiai
Abdul Karim bin Kiai Muharram bin Kiai Asror Karomah bin Kiai Abdullah bin Sayyid
Sulaiman Basyeiban. Sayyid Sulaiman inilah yang merupakan cucu dari Sunan Gunung Jati dari
pihak ibu.[4]
Pada usia 24 tahun, Syekh Kholil menikahi Nyai Asyik, putri Lodra Putih.
Pendidikan[sunting | sunting sumber]
Syekh Kholil dididik dengan sangat ketat oleh ayahnya. Mbah Kholil kecil memiliki keistimewaan
yang haus akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu. Bahkan ia sudah hafal dengan baik 1002
bait nadzam Alfiyah Ibnu Malik sejak usia muda.
Setelah dididik, orang tua Mbah Kholil kecil kemudian mengirimnya ke berbagai pesantren untuk
menimba ilmu. Mengawali pengembaraannya, Mbah Kholil muda belajar kepada Kiai
Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan ia pindah
ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian ke Pondok Pesantren Keboncandi.
Selama belajar di Pondok Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kiai Nur Hasan yang
menetap di Pondok Pesantren Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Di setiap perjalanannya dari
Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surat Yasin.
Sewaktu menjadi santri, Mbah Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah
Ibnu Malik. Disamping itu ia juga merupakan seorang Hafidz Al-Quran dan mampu membaca Al-
Qur’an dalam Qira'at Sab'ah.
Saat usianya mencapai 24 tahun setelah menikah, Mbah Kholil memutuskan untuk pergi ke
Makkah. Utuk ongkos pelayaran bisa ia tutupi dari hasil tabungannya selama nyantri
di Banyuwangi, sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon Mbah Kholil berpuasa. Hal
tersebut dilakukannya bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih
mendekatkan diri kepada Allah agar perjalanannya selamat. [4]
Karya-karyanya
Al-Matnus Syarif
Sesuai namanya, kitab Al-Matnus Syarif al-Mulaqqab bi Fat-hil Latif ini merupakan kitab matan
(inti) yang berbicara mengenai fundamen dasar hukum Islam (ilmu fiqih). Yang menarik dari kitab
setebal 52 halaman ini, adalah bukan hanya karena kemasyhuran penulisnya, melainkan kitab
ini telah menampilkan landscape keilmuan yang selama ini terkesan rumit, menjadi demikian
lugas dan mudah difahami.[5]
Guru-gurunya
Syekh Kholil pernah berguru kepada beberapa ulama, di antaranya [6][7]:
Murid-muridnya
Berikut merupakan murid-murid dari Syekh Kholil [4] :
KH. Hasyim Asy’ari memiliki nama lengkap Muhammad Hasyim bin Asy’ari
bin Abdul Wahid bin Abdul Halim atau yang populer dengan nama
Pangeran Benawa bin Abdul Rahman yang juga dikenal dengan julukan
Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul
Fatah bin Maulana Ishaq bin Ainul Yakin yang populer dengan sebutan
Sunan Giri. Sementara dari jalur ibu adalah Muhammad Hasyim binti
Halimah binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabbar bin Ahmad bin
Pangeran Sambo bin Pangeran Benawa bin Jaka Tingkir atau juga dikenal
dengan nama Mas Karebet bin Lembu Peteng (Prabu Brawijaya VI).
Penyebutan pertama menunjuk pada silsilah keturunan dari jalur bapak,
sedangkan yang kedua dari jalur ibu.[1]
Ditilik dari dua silsilah diatas, Kiai Hasyim mewakili dua trah sekaligus,
yaitu bangawan jawa dan elit agama (Islam). Dari jalur ayah, bertemu
langsung dengan bangsawan muslim Jawa (Sultan Hadiwijaya atau Jaka
Tingkir) dan sekaligus elit agama Jawa (Sunan Giri). Sementara dari jalur
ibu, masih keturunan langsung Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng) yang
berlatar belakang bangsawan Hindu Jawa.
Kiai Hasyim dilahirkan dari pasangan Kiai Asy’ari dan Halimah pada hari
Selasa kliwon tanggal 14 Februari tahun 1871 M atau bertepatan dengan
12 Dzulqa’dah tahun 1287 H. Tempat kelahiran beliau berada disekitar 2
kilometer ke arah utara dari kota Jombang, tepatnya di Pesantren
Gedang. Gedang sendiri merupakan salah satu dusun yang terletak di
desa Tambakrejo kecamatan Jombang.
Pada umur lima tahun Kiai Hasyim berpindah dari Gedang ke desa Keras,
sebuah desa di sebelah selatan kota Jombang karena mengikuti ayah dan
ibunya yang sedang membangun pesantren baru. Di sini, Kiai Hasyim
menghabiskan masa kecilnya hingga berumur 15 tahun, sebelum
akhirnya, meninggalkan keras dan menjelajahi berbagai pesantren
ternama saat itu hingga ke Makkah.
Pada usianya yang ke-21, Kiai Hasyim menikah dengan Nafisah, salah
seorang putri Kiai Ya’qub (Siwalan Panji, Sidoarjo). Pernikahan itu
dilangsungkan pada tahun 1892 M/1308 H. Tidak lama kemudian, Kiai
Hasyim bersama istri dan mertuanya berangkat ke Makkah guna
menunaikan ibadah haji. Bersama istrinya, Nafisah, Kiai Hasyim kemudian
melanjutkan tinggal di Makkah untuk menuntut ilmu. Tujuh bulan
kemudian, Nafisah menninggal dunia setelah melahirkan seorang putra
bernama Abdullah. Empat puluh hari kemudian, Abdullah menyusul ibu ke
alam baka. Kematian dua orang yang sangat dicintainya itu, membuat
Kiai Hasyim sangat terpukul. Kiai Hasyim akhirnya memutuskan tidak
berlama-lama di Tanah Suci dan kembali ke Indonesia setahun kemudian.
Setelah lama menduda, Kiai Hasyim menikah lagi dengan seorang gadis
anak Kiai Romli dari desa Karangkates (Kediri) bernama Khadijah.
Pernikahannya dilakukan sekembalinya dari Makkah pada tahun 1899
M/1325 H. Pernikahannya dengan istri kedua juga tidak bertahan lama,
karena dua tahun kemudian (1901), Khadijah meninggal.
Untuk ketiga kalinya, Kiai Hasyim menikah lagi dengan perempuan nama
Nafiqah, anak Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dan
mendapatkan sepuluh orang anak, yaitu: Hannah, Khoiriyah, Aisyah,
Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim, Abdul Karim, Ubaidillah, Mashurah,
dan Muhammad Yusuf. Perkawinan Kiai Hasyim dengan Nafiqah juga
berhenti di tengah jalan, karena Nafiqah meninggal dunia pada tahun
1920 M.
Belum puas atas pengetahuan yang didapatkan dari ayahnya, Kiai Hasyim
mulai menjelajahi beberapa pesantren. Mula-mula, Kiai Hasyim belajar di
pesantren Wonokoyo (Probolinggo), lalu berpindah ke pesantren Langitan
(Tuban). Merasa belum cukup, Kiai Hasyim melanjutkan pengembaraan
intelektualnya ke Pesantren Tenggilis (Surabaya), dan kemudian
berpindah ke Pesantren Kademangan (Bangkalan), yang saat itu diasuh
oleh Kiai Kholil. Setelah dari pesantren Kiai Kholil, Kiai Hasyim
melanjutkan di pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo) yang diasuh oleh Kiai
Ya’kub dipandang sebagai dua tokoh penting yang berkontribusi
membentuk kapasitas intelektual Kiai Hasyim. Selama tiga tahun Kiai
Hasyim mendalami berbagai bidang kajian islam, terutama tata bahasa
arab, sastra, fiqh dan tasawuf kepada KiaivKholil. Sementara, di bawah
bimbingan Kiai Ya’kub, Kiai Hasyim berhasil mendalami Tauhid, fiqh,
Adab, Tafsie dan Hadith.
Atas nasihat Kiai Ya’kub, Kiai Hasyim akhirnya meninggalkan tanah air
untuk berguru pada ulama-ulama terkenal di Makkah sambal menunaikan
ibadah haji untuk kali kedua. Di Makkah, Kiai Hasyim berguru pada syaikh
Ahmad Amin al-Attar, Sayyid Sultan bin Hashim, Sayyid Ahmad bin
Hasan al-Attas, Syaikh Sa’id al-Yamani, Sayyid Alawi bin Ahmad al-
Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Syaikh Salih
Bafadal, dan Syaikh Sultan Hasim Dagastana, Syaikh Shuayb bin Abd al-
Rahman, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Rahmatullah, Sayyid Alwi al-
Saqqaf, Sayyid Abu Bakr Shata al-Dimyati, dan Sayyid Husayn al-Habshi
yang saat itu menjadi multi di Makkah. Selain itu, Kiai Hasyim juga
menimba pengetahuan dari Syaikh Ahmad Khatib Minankabawi, Syaikh
Nawawi al-Bnatani dan Syaikh Mahfuz al-Tirmisi. Tiga nama yang disebut
terakhir (Khatib, Nawawi dan Mahfuz) adalah guru besar di Makkah saat
itu yang juga memberikan pengaruh signifikan dalam pembentukan
intelektual Kiai Hasyim di masa selanjutnya.
Adapun di antara beberapa karya KH. Hasyim Asy’ari yang masih bisa
ditemui dan menjadi kitab wajib untuk dipelajari di pesantren-pesanttren
Nusantara sampai sekarang antara lain:[2]
Daftar isi
1Keluarga
2Pendidikan
3Aktivitas di Nahdatul Ulama
4Pelopor Kebebasan Berpikir
5Seorang Inspirator GP Ansor
6Pranala luar
7Referensi
Keluarga[sunting | sunting sumber]
Ayah KH Abdul Wahab Hasbullah adalah KH Hasbulloh Said, Pengasuh
Pesantren Tambakberas Jombang Jawa Timur, sedangkan Ibundanya bernama Nyai Latifah.
Pendidikan[sunting | sunting sumber]
Ia juga seorang pelopor dalam membuka forum diskusi antar ulama, baik di lingkungan
NU, Muhammadiyah dan organisasi lainnya. Ia belajar di Pesantren Langitan Tuban, Pesantren
Mojosari Nganjuk, Pesantren Tawangsari Sepanjang, belajar pada Syaikhona R. Muhammad
Kholil Bangkalan, Madura, dan Pesantren Tebuireng Jombang di bawah asuhan Hadratusy
Syaikh KH. M. Hasyim Asy‘ari. Disamping itu, Kyai Wahab juga merantau ke Mekkah untuk
berguru kepada Syaikh Mahfudz at-Tirmasi dan Syaikh Al-Yamani dengan hasil nilai istimewa.