Anda di halaman 1dari 10

Kh kholil

Al-'Alim al-'Allamah asy-Syekh Haji Muhammad Kholil bin Abdul Lathif Basyaiban al-Bangkalani
al-Maduri al-Jawi asy-Syafi'i (bahasa Arab: ‫العالم العالمه الشيخ محمد خليل بن عبد اللطيف باشيبان البنكالنى المدورى‬
‫)الجاوى الشافعى‬ atau lebih dikenal dengan nama Syaikhona Kholil atau Syekh Kholil (lahir
di Kemayoran, Bangkalan, Bangkalan, 1820 – meninggal di Martajasah, Bangkalan,
Bangkalan, 1925 pada umur antara 104 – 105 tahun)[3] adalah seorang Ulama kharismatik
dari Pulau Madura, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Di masyarakat santri, Syaikhona
Kholil juga dikenal sebagai Waliyullah. Seperti cerita Wali Songo, banyak cerita kelebihan
di luar akal atau karamah Syekh Kholil terkisah dari lisan ke lisan, terutama di lingkungan
masyarakat Madura.[3] Biografi[sunting | sunting sumber]
Syekh Kholil al-Bangkalani berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH Abdul Lathif, mempunyai
pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah Kiai Hamim, putra dari Kiai
Abdul Karim bin Kiai Muharram bin Kiai Asror Karomah bin Kiai Abdullah bin Sayyid
Sulaiman Basyeiban. Sayyid Sulaiman inilah yang merupakan cucu dari Sunan Gunung Jati dari
pihak ibu.[4]
Pada usia 24 tahun, Syekh Kholil menikahi Nyai Asyik, putri Lodra Putih.

Pendidikan[sunting | sunting sumber]
Syekh Kholil dididik dengan sangat ketat oleh ayahnya. Mbah Kholil kecil memiliki keistimewaan
yang haus akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu. Bahkan ia sudah hafal dengan baik 1002
bait nadzam Alfiyah Ibnu Malik sejak usia muda.
Setelah dididik, orang tua Mbah Kholil kecil kemudian mengirimnya ke berbagai pesantren untuk
menimba ilmu. Mengawali pengembaraannya, Mbah Kholil muda belajar kepada Kiai
Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan ia pindah
ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian ke Pondok Pesantren Keboncandi.
Selama belajar di Pondok Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kiai Nur Hasan yang
menetap di Pondok Pesantren Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Di setiap perjalanannya dari
Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surat Yasin.
Sewaktu menjadi santri, Mbah Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah
Ibnu Malik. Disamping itu ia juga merupakan seorang Hafidz Al-Quran dan mampu membaca Al-
Qur’an dalam Qira'at Sab'ah.
Saat usianya mencapai 24 tahun setelah menikah, Mbah Kholil memutuskan untuk pergi ke
Makkah. Utuk ongkos pelayaran bisa ia tutupi dari hasil tabungannya selama nyantri
di Banyuwangi, sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon Mbah Kholil berpuasa. Hal
tersebut dilakukannya bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih
mendekatkan diri kepada Allah agar perjalanannya selamat. [4]

Karya-karyanya
Al-Matnus Syarif
Sesuai namanya, kitab Al-Matnus Syarif al-Mulaqqab bi Fat-hil Latif ini merupakan kitab matan
(inti) yang berbicara mengenai fundamen dasar hukum Islam (ilmu fiqih). Yang menarik dari kitab
setebal 52 halaman ini, adalah bukan hanya karena kemasyhuran penulisnya, melainkan kitab
ini telah menampilkan landscape keilmuan yang selama ini terkesan rumit, menjadi demikian
lugas dan mudah difahami.[5]

Guru-gurunya
Syekh Kholil pernah berguru kepada beberapa ulama, di antaranya [6][7]:

1. K.H. Abdul Lathif (Ayahnya)


2. K.H. Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban
3. K.H. Nur Hasan di Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan
4. Syekh Nawawi al-Bantani di Mekkah
5. Syekh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi
6. Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan di Mekkah
7. Syeikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki di Mekkah
8. Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani di Mekkah

Murid-muridnya
Berikut merupakan murid-murid dari Syekh Kholil [4] :

1. K.H. Muhammad Hasan Sepuh - pendiri Pesantren Zainul Hasan


Genggong, Probolinggo
2. K.H. Hasyim Asy’ari - pendiri Nahdlatul 'Ulama, pendiri Pondok Pesantren
Tebuireng, Jombang
3. K.H. Abdul Wahab Hasbullah - pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang
4. K.H. Bisri Syansuri - pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang
5. K.H. Manaf Abdul Karim - pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri
6. K.H. Ma'sum - Lasem, Rembang
7. K.H. Munawir - pendiri Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta
8. K.H. Bisri Mustofa - pendiri Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang
9. K.H. Nawawi - pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan
10. K.H. Ahmad Shiddiq - pengasuh Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah, Jember
11. K.H. As'ad Syamsul Arifin - pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah
Syafi'iyah, Asembagus, Situbondo
12. K.H. Abdul Majjid - Batabata, Pamekasan

Biografi KH. Hasyim Asy’ari

KH. Hasyim Asy’ari memiliki nama lengkap Muhammad Hasyim bin Asy’ari
bin Abdul Wahid bin Abdul Halim atau yang populer dengan nama
Pangeran Benawa bin Abdul Rahman yang juga dikenal dengan julukan
Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul
Fatah bin Maulana Ishaq bin Ainul Yakin yang populer dengan sebutan
Sunan Giri. Sementara dari jalur ibu adalah Muhammad Hasyim binti
Halimah binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabbar bin Ahmad bin
Pangeran Sambo bin Pangeran Benawa bin Jaka Tingkir atau juga dikenal
dengan nama Mas Karebet bin Lembu Peteng (Prabu Brawijaya VI).
Penyebutan pertama menunjuk pada silsilah keturunan dari jalur bapak,
sedangkan yang kedua dari jalur ibu.[1]
Ditilik dari dua silsilah diatas, Kiai Hasyim mewakili dua trah sekaligus,
yaitu bangawan jawa dan elit agama (Islam). Dari jalur ayah, bertemu
langsung dengan bangsawan muslim Jawa (Sultan Hadiwijaya atau Jaka
Tingkir) dan sekaligus elit agama Jawa (Sunan Giri). Sementara dari jalur
ibu, masih keturunan langsung Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng) yang
berlatar belakang bangsawan Hindu Jawa.

Kiai Hasyim dilahirkan dari pasangan Kiai Asy’ari dan Halimah pada hari
Selasa kliwon tanggal 14 Februari tahun 1871 M atau bertepatan dengan
12 Dzulqa’dah tahun 1287 H. Tempat kelahiran beliau berada disekitar 2
kilometer ke arah utara dari kota Jombang, tepatnya di Pesantren
Gedang. Gedang sendiri merupakan salah satu dusun yang terletak di
desa Tambakrejo kecamatan Jombang.

Sejak masa kanak-kanak, Kiai Hasyim hidup dalam lingkungan Pesantren


Muslim tradisional Gedang. Keluarga besarnya bukan saja pengelola
pesantren, tetapi juga pendiri pesantren yang masih cukup populer
hingga saat ini. Ayah Kiai Hasyim (Kiai Asy’ari) merupakan pendiri
Pesantren Keras (Jombang). Sedangkan kakeknya dari jalur ibu (Kiai
Utsman) dikenal sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren Gedang yang
pernah menjadi pusat perhatian terutama dari santri-santri Jawa pada
akhir abad ke-19. Sementara kakek ibunya yang bernama Kiai Sihah
dikenal luas sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren Tambak Beras
Jombang.

Pada umur lima tahun Kiai Hasyim berpindah dari Gedang ke desa Keras,
sebuah desa di sebelah selatan kota Jombang karena mengikuti ayah dan
ibunya yang sedang membangun pesantren baru. Di sini, Kiai Hasyim
menghabiskan masa kecilnya hingga berumur 15 tahun, sebelum
akhirnya, meninggalkan keras dan menjelajahi berbagai pesantren
ternama saat itu hingga ke Makkah.

Pada usianya yang ke-21, Kiai Hasyim menikah dengan Nafisah, salah
seorang putri Kiai Ya’qub (Siwalan Panji, Sidoarjo). Pernikahan itu
dilangsungkan pada tahun 1892 M/1308 H. Tidak lama kemudian, Kiai
Hasyim bersama istri dan mertuanya berangkat ke Makkah guna
menunaikan ibadah haji. Bersama istrinya, Nafisah, Kiai Hasyim kemudian
melanjutkan tinggal di Makkah untuk menuntut ilmu. Tujuh bulan
kemudian, Nafisah menninggal dunia setelah melahirkan seorang putra
bernama Abdullah. Empat puluh hari kemudian, Abdullah menyusul ibu ke
alam baka. Kematian dua orang yang sangat dicintainya itu, membuat
Kiai Hasyim sangat terpukul. Kiai Hasyim akhirnya memutuskan tidak
berlama-lama di Tanah Suci dan kembali ke Indonesia setahun kemudian.

Setelah lama menduda, Kiai Hasyim menikah lagi dengan seorang gadis
anak Kiai Romli dari desa Karangkates (Kediri) bernama Khadijah.
Pernikahannya dilakukan sekembalinya dari Makkah pada tahun 1899
M/1325 H. Pernikahannya dengan istri kedua juga tidak bertahan lama,
karena dua tahun kemudian (1901), Khadijah meninggal.

Untuk ketiga kalinya, Kiai Hasyim menikah lagi dengan perempuan nama
Nafiqah, anak Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dan
mendapatkan sepuluh orang anak, yaitu: Hannah, Khoiriyah, Aisyah,
Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim, Abdul Karim, Ubaidillah, Mashurah,
dan Muhammad Yusuf. Perkawinan Kiai Hasyim dengan Nafiqah juga
berhenti di tengah jalan, karena Nafiqah meninggal dunia pada tahun
1920 M.

Sepeninggal Nafiqah, Kiai Hasyim memutuskan menikah lagi dengan


Masrurah, putri Kiai Hasan yang juga pengasuh Pesantren Kapurejo, pagu
(Kediri). Dari hasil perkawinan keempatnya ini, Kiai Hasyim memiliki
empat orang anak: Abdul Qadir, Fatimah, Khadijah dan Muhammad
Ya’qub. Perkawinan dengan Masrurah ini merupakan perkawinan terakhir
bagi Kiai Hsyim hingga akhir hayatnya.

Riwayat Pendidikan KH. M. Hasyim Asy’ari

Kiai Hasyim dikenal sebagai tokoh yang haus pengetahuan agama


(islam). Untuk mengobati kehausannya itu, Kiai Hasyim pergi ke berbagai
pondok pesantren terkenal di Jawa Timur saat itu. Tidak hanya itu, Kiai
Hasyim juga menghabiskan waktu cukup lama untuk mendalami islam di
tanah suci (Makkah dan Madinah). Dapat dikatakan, Kiai Hasyim
termasuk dari sekian santri yang benar-benar secara serius menerapkan
falsafah Jawa, “Luru ilmu kanti lelaku (mencari ilmu adalah dengan
berkelana) atau sambi kelana”           

Karena berlatar belakang keluarga pesantren, Kiai Hasyim secara serius


di didik dan dibimbing mendalami pengetahuan islam oleh ayahnya
sendiri dalam jangka yang cukup lama mulai dari anak-anak hingga
berumur lima belas tahun. Melalu ayahnya, Kiai Hasyim mulai mengenal
dan mendalami Tauhid, Tafsir, Hadith, Bahasa Arab dan bidang kajian
islam lainnya. Dalam bimbingan ayahnya, kecerdasan Kiai Hasyim cukup
menonjol. Belum genap berumur 13 tahun, Kiai Hasyim telah mampu
menguasai berbagai bidang kajian islam dan dipercaya membantu
ayahnya mengajar santri yang lebih senior.

Belum puas atas pengetahuan yang didapatkan dari ayahnya, Kiai Hasyim
mulai menjelajahi beberapa pesantren. Mula-mula, Kiai Hasyim belajar di
pesantren Wonokoyo (Probolinggo), lalu berpindah ke pesantren Langitan
(Tuban). Merasa belum cukup, Kiai Hasyim melanjutkan pengembaraan
intelektualnya ke Pesantren Tenggilis (Surabaya), dan kemudian
berpindah ke Pesantren Kademangan (Bangkalan), yang saat itu diasuh
oleh Kiai Kholil. Setelah dari pesantren Kiai Kholil, Kiai Hasyim
melanjutkan di pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo) yang diasuh oleh Kiai
Ya’kub dipandang sebagai dua tokoh penting yang berkontribusi
membentuk kapasitas intelektual Kiai Hasyim. Selama tiga tahun Kiai
Hasyim mendalami berbagai bidang kajian islam, terutama tata bahasa
arab, sastra, fiqh dan tasawuf kepada KiaivKholil. Sementara, di bawah
bimbingan Kiai Ya’kub, Kiai Hasyim berhasil mendalami Tauhid, fiqh,
Adab, Tafsie dan Hadith.

Atas nasihat Kiai Ya’kub, Kiai Hasyim akhirnya meninggalkan tanah air
untuk berguru pada ulama-ulama terkenal di Makkah sambal menunaikan
ibadah haji untuk kali kedua. Di Makkah, Kiai Hasyim berguru pada syaikh
Ahmad Amin al-Attar, Sayyid Sultan bin  Hashim, Sayyid Ahmad bin
Hasan al-Attas, Syaikh Sa’id al-Yamani, Sayyid Alawi bin Ahmad al-
Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Syaikh Salih
Bafadal, dan Syaikh Sultan Hasim Dagastana, Syaikh Shuayb bin Abd al-
Rahman, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Rahmatullah, Sayyid Alwi al-
Saqqaf, Sayyid Abu Bakr Shata al-Dimyati, dan Sayyid Husayn al-Habshi
yang saat itu menjadi multi di Makkah. Selain itu, Kiai Hasyim juga
menimba pengetahuan dari Syaikh Ahmad Khatib Minankabawi, Syaikh
Nawawi al-Bnatani dan Syaikh Mahfuz al-Tirmisi. Tiga nama yang disebut
terakhir (Khatib, Nawawi dan Mahfuz) adalah guru besar di Makkah saat
itu yang juga memberikan pengaruh signifikan dalam pembentukan
intelektual Kiai Hasyim di masa selanjutnya.

Presatasi belajar Kiai Hasyim yang menonjol, membuatnya kemudian juga


mmperoleh kepercaaan untuk mengajar di Masjid al-Haram. Beberapa
ulama terkenal dari berbagai negara tercatat pernah belajar kepadanya.
Di antaranya ialah Syaikh Sa’d  Allah al-Maymani (mufti di Bombay,
India), Syaikh Umar Hamdan (ahli hadith di Makkah), al-Shihan Ahmad
bin Abdullah (Syiria), KH. Abdul Wahhanb Chasbullah (Tambakberas,
Jombang), K. H. R Asnawi (Kudus), KH. Dahlan (Kudus), KH. Bisri
Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH. Saleh (Tayu).

Seperti disinggung di atas, Kiai Hasyim pernah mendapatkan bimbingan


langsung dari Syaikh Khatib al-Minankabawi dan mengikuti halaqah-
halaqah yang di gelar oleh gurunya tersebut. Beberapa sisi tertentu dari
pandangan Kiai Hasyim, khususnya mengenai tarekat, diduga kuat juga
dipengaruhi oleh pemikiran kritisnya gurunya itu, meskipun pada sisi
yang lain Kiai Hasyim berbeda dengannya. Dialektika intelektual antara
guru dan murid (Syaikh Khatib Kiai Hasyim) ini sangat menarik.

Sejak masih di Makkah, Kiai Hasyim sudah memiliki ketertarikan


tersendiri dengan tarekat. Bahkan , Kiai Hasyim juga sempat mempelajari
dan mendapat ijazah tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah melalui salah
melalui salah satu gurunya (Syaikh Mahfuz).

Karya-Karya KH. Hasyim Asy’ari

Adapun di antara beberapa karya KH. Hasyim Asy’ari yang masih bisa
ditemui dan menjadi kitab wajib untuk dipelajari di pesantren-pesanttren
Nusantara sampai sekarang antara lain:[2]

1. At-Tibyan fi al-Nahy’an Muqatha’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-


Ikhwan
Kitab ini selesai ditulis pada hari Senin, 20 Syawal 1260 H dan kemudian
diterbitkan oleh Muktabah al-Turats al-Islami, Pesantren Tebuireng. Kitab
tersebut berisi penjelasan mengenai pentingnya membangun
persaudaraan di tengah perbedaan serta memberikan penjelasan akan
bahayanya memutus tali persaudaraan atau silatuhrami.

2. Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama


Kitab ini berisikan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari. Terutama berkaitan
dengan NU. Dalam kitab tersebut, KH. Hasyim Asy’ari menguntip
beberapa ayat dan hadits yang menjadi landasannya dalam mendirikan
NU. Bagi penggerak-penggerak NU, kitab tersebut barangkali dapat
dikatakan sebagai bacaan wajib mereka.

3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdzi bi Mazhab al-A’immah al-Arba’ah


Dalam kitab ini, KH. Hasyim Asy’ari tidak sekedar menjelaskan pemikiran
empat imam madzhab, yakni Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu
Hanifah dan Imam Abu Ahmad bin Hanbal. Namun, ia juga memaparkan
alasan-alasan kenapa pemikiran di antara keempat imam itu patut kita
jadikan rujukan.

4. Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatul Ulama


Sebagaimana judulnya, kitab ini berisi empat puluh hadits pilihan yang
sangat tepat dijadikan pedoman oleh warga NU. Hadits yang dipilih oleh
KH. Hasyim Asy’ari terutama berkaitan dengan hadits-hadits yang
mejelaskan pentingnya memegang prinsip dalam kehidupan yang penuh
dengan rintangan dan hambatan ini.

5. Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim fi ma Yanhaju Ilaih al-Muta’allim fi


Maqamati Ta’limihi
Pada dasarnya, kitab ini merupakan resume dari kitab Adab al-
Mu’allim karya Syekh Muhamad bin Sahnun, Ta’lim al-Muta’allim fi
Thariqat al-Ta’allum karya Syekh Burhanuddin az-Zarnuji, dan Tadzkirat
al-Syaml wa al-Mutakalli fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim karya Syekh
Ibnu Jamaah. Meskipun merupakan bentuk resume dari kitab-kitab
tersebut, tetapi dalam kitab tersebut kita dapat mengetahui betapa besar
perhatian KH. Hasyim Asy’ari terhadap dunia pendidikan.

6. Rasalah Ahl aas-Sunnah wa al-Jamaah fi Hadts al-Mauta wa Syuruth


as-Sa’ah wa Bayani Mafhum as-Sunnah wa al-Bid’ah
Karya KH. Hasyim Asy’ari yang satu ini barangkali dapat dikatakan
sebagai kitab yang relevan untuk dikaji saat ini. Hal tersebut karena di
dalamnya banyak membahas tentang bagaimana sebenarnya penegasan
antara sunnag dan bid’ah. Secara tidak langsung, kitab tersebut banyak
membahas persoalan-persoalan yang bakal muncul di kemudian hari.
Terutama saat ini.

Dalam beberapa karya KH. Hasyim Asy’ari tersebut, kita dapat


menyimpulkan betapa besar dan luasnya perhatian KH. Hasyim Asy’ari
terhadap agama serta betapa mendalamnya pengetahuannya di bidang
tersebut. Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari itu menjadi bukti tak
terbantahkan betapa ia memang merupakan seorang ulama
sam mujtahid yang telah banyak mengahasilkan berbagai warisan tak
ternilai, baik dari segi keilmuan maupun dari segi keorganisasian seperti
halnya NU.

K.H. Abdul Wahab Hasbullah (lahir di Jombang, 31 Maret 1888 – meninggal 29


Desember 1971 pada umur 83 tahun) adalah seorang ulama pendiri Nahdatul Ulama. KH Abdul
Wahab Hasbullah adalah seorang ulama yang berpandangan modern, dakwahnya dimulai
dengan mendirikan media massa atau surat kabar, yaitu harian umum “Soeara Nahdlatul
Oelama” atau Soeara NO dan Berita Nahdlatul Ulama. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional
Indonesia oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 7 November 2014[1].
Beliau adalah pengarang syair "Ya Lal Wathon" yang banyak dinyanyikan
dikalangan Nahdliyyin, lagu Ya Lal Wathon di karangnya pada tahun 1934. KH Maimun
Zubair mengatakan bahwa syair tersebut adalah syair yang beliau dengar, peroleh, dan di
nyanyikan saat masa mudanya di Rembang. Dahulu syair Ya Lal Wathon ini dilantangkan setiap
hendak memulai kegiatan belajar oleh para santri.[Tim Sejarah Tambakberas, Tambakberas: Menelisik Sejarah, Memetik Uswah. 2017 1]
Lirik Syubbanul Wathon (Cinta Tanah Air) – Yaa Lal Wathon – Hubbul Wathon Minal Iman
Karya: KH. Abdul Wahab Chasbullah (1934) (Ijazah KH. Maemon Zubair Tahun 2012) َ ‫يا َ لَ ْل َو َطنْ يا‬
ْ‫ لَ ْل َو َطن يا َ لَ ْل َو َطن‬Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon
ْ‫ حُبُّ ْال َو َطنْ مِنَ ْاِإلي َمان‬Hubbul Wathon minal Iman
ْ‫ َوالَ َت ُكنْ مِنَ ْالحِرْ ماَن‬Wala Takun minal Hirman
ْ‫ ِا ْنهَضوُ ا َأهْ َل ْال َو َطن‬Inhadlu Alal Wathon
‫ اِندُونيْسِ يا َ ِبالَدى‬Indonesia Biladi
َ ‫ َأ ْنتَ ُع ْنواَنُ ْال َف َخاما‬Anta ‘Unwanul Fakhoma
َ ‫ ُك ُّل َمنْ َيْأ ِت ْيكَ ي َْوما‬Kullu May Ya’tika Yauma
‫ َطامِحا ً ي َْلقَ حِماَمًا‬Thomihay Yalqo Himama
Pusaka Hati Wahai Tanah Airku Cintamu dalam Imanku Jangan Halangkan Nasibmu Bangkitlah
Hai Bangsaku Pusaka Hati Wahai Tanah Airku Cintamu dalam Imanku Jangan Halangkan
Nasibmu Bangkitlah Hai Bangsaku
Indonesia Negeriku Engkau Panji Martabatku Siapa Datang Mengancammu Kan Binasa di
bawah durimu[2]

Daftar isi

 1Keluarga
 2Pendidikan
 3Aktivitas di Nahdatul Ulama
 4Pelopor Kebebasan Berpikir
 5Seorang Inspirator GP Ansor
 6Pranala luar
 7Referensi

Keluarga[sunting | sunting sumber]
Ayah KH Abdul Wahab Hasbullah adalah KH Hasbulloh Said, Pengasuh
Pesantren Tambakberas Jombang Jawa Timur, sedangkan Ibundanya bernama Nyai Latifah.

Pendidikan[sunting | sunting sumber]
Ia juga seorang pelopor dalam membuka forum diskusi antar ulama, baik di lingkungan
NU, Muhammadiyah dan organisasi lainnya. Ia belajar di Pesantren Langitan Tuban, Pesantren
Mojosari Nganjuk, Pesantren Tawangsari Sepanjang, belajar pada Syaikhona R. Muhammad
Kholil Bangkalan, Madura, dan Pesantren Tebuireng Jombang di bawah asuhan Hadratusy
Syaikh KH. M. Hasyim Asy‘ari. Disamping itu, Kyai Wahab juga merantau ke Mekkah untuk
berguru kepada Syaikh Mahfudz at-Tirmasi dan Syaikh Al-Yamani dengan hasil nilai istimewa.

Aktivitas di Nahdatul Ulama[sunting | sunting sumber]


KH. Abdul Wahab Hasbulloh merupakan bapak Pendiri NU Selain itu juga pernah menjadi
Panglima Laskar Mujahidin (Hizbullah) ketika melawan penjajah Jepang. Ia juga tercatat sebagai
anggota DPA bersama Ki Hajar Dewantoro. Tahun 1914 mendirikan kursus bernama “Tashwirul
Afkar”.
Tahun 1916 mendirikan Organisasi Pemuda Islam bernama Nahdlatul Wathan, kemudian
pada 1926 menjadi Ketua Tim Komite Hijaz. KH. Abdul Wahab Hasbulloh juga seorang pencetus
dasar-dasar kepemimpinan dalam organisasi NU dengan adanya dua badan, Syuriyah dan
Tanfidziyah sebagai usaha pemersatu kalangan Tua dengan Muda.

Pelopor Kebebasan Berpikir[sunting | sunting sumber]


KH. A. Wahab Hasbullah adalah pelopor kebebasan berpikir di kalangan Umat Islam Indonesia,
khususnya di lingkungan nahdhiyyin. KH. A. Wahab Hasbullah merupakan seorang ulama besar
Indonesia. Ia merupakan seorang ulama yang menekankan pentingnya kebebasan dalam
keberagamaan terutama kebebasan berpikir dan berpendapat. Untuk itu kyai Abdul Wahab
Hasbullah membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran)
di Surabaya pada 1914.
Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi berkat
prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan
mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi
sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai
kalangan bertemu dalam forum itu untuk memperdebatkan dan memecahkan permasalahan
pelik yang dianggap penting. [butuh rujukan]
Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang
komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasional sekaligus jembatan bagi
komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Karena sifat rekrutmennya yang lebih
mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, maka jelas pula kelompok diskusi ini juga
menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan
dunia politik.[butuh rujukan]
Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya, Kyai Abdul Wahab Hasbullah
bersama KH. Mas Mansur menghimpun sejumlah ulama dalam organisasi Nahdlatul
Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang mendapatkan kedudukan badan hukumnya pada 1916.
Dari organisasi inilah Kyai Abdul Wahab Hasbullah mendapat kepercayaan dan dukungan penuh
dari ulama pesantren yang kurang-lebih sealiran dengannya. Di antara ulama yang berhimpun
itu adalah Kyai Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), Kyai Abdul Halim, (Leimunding Cirebon),
Kyai Alwi Abdul Aziz, Kyai Ma’shum (Lasem) dan Kyai Cholil (Kasingan Rembang). Kebebasan
berpikir dan berpendapat yang dipelopori Kyai Wahab Hasbullah dengan membentuk Tashwirul
Afkar merupakan warisan terpentingnya kepada kaum muslimin Indonesia. Kyai Wahab telah
mencontohkan kepada generasi penerusnya bahwa prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat
dapat dijalankan dalam nuansa keberagamaan yang kental. Prinsip kebebasan berpikir dan
berpendapat tidak akan mengurangi ruh spiritualisme umat beragama dan kadar keimanan
seorang muslim. Dengan prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat, kaum muslim justru akan
mampu memecahkan problem sosial kemasyarakatan dengan pisau analisis keislaman. [butuh rujukan]
Pernah suatu ketika Kyai Wahab didatangi seseorang yang meminta fatwa tentang Qurban yang
sebelumnya orang itu datang kepada Kyai Bisri Syansuri. “Bahwa menurut hukum Fiqih
berqurban seekor sapi itu pahalanya hanya untuk tujuh orang saja”, terang Kyai Bisri. Akan
tetapi Si Fulan yang bertanya tadi berharap anaknya yang masih kecil bisa terakomodir juga.
Tentu saja jawaban Kyai Bisri tidak memuaskan baginya, karena anaknya yang kedelapan tidak
bisa ikut menikmati pahala Qurban. Kemudian oleh Kyai Wahab dicarikan solusi yang logis bagi
Si Fulan tadi. “Untuk anakmu yang kecil tadi belikan seekor kambing untuk dijadikan lompatan ke
punggung sapi”, seru kyai Wahab.[butuh rujukan]
Dari sekelumit cerita di atas tadi, kita mengetahui dengan jelas bahwa seni berdakwah di
masyarakat itu memerlukan cakrawala pemikiran yang luas dan luwes. Kyai Wahab
menggunakan kaidah Ushuliyyah “Maa laa yudraku kulluh, laa yutraku julluh”, Apa yang tidak
bisa diharapkan semuanya janganlah ditinggal sama sekali. Di sinilah peranan Ushul Fiqih
terasa sangat dominan dari Fiqih sendiri. [butuh rujukan]

Seorang Inspirator GP Ansor[sunting | sunting sumber]


Dari catatan sejarah berdirinya GP Ansor dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama (NU). Berawal
dari perbedaan antara tokoh tradisional dan tokoh modernis yang muncul di tubuh Nahdlatul
Wathan, organisasi keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan Islam, pembinaan mubaligh
dan pembinaan kader. KH. Abdul Wahab Hasbullah, tokoh tradisional dan KH. Mas Mansyur
yang berhaluan modernis, akhirnya menempuh arus gerakan yang berbeda justru saat tengah
tumbuhnya semangat untuk mendirikan organisasi kepemudaan Islam. Dua tahun setelah
perpecahan itu, pada 1924 para pemuda yang mendukung KH. Abdul wshab hasbulloh –yang
kemudian menjadi pendiri NU– membentuk wadah dengan nama Syubbanul Wathan (Pemuda
Tanah Air).[butuh rujukan]
Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Gerakan Pemuda Ansor setelah
sebelumnya mengalami perubahan nama seperti Persatuan Pemuda NU (PPNU), Pemuda NU
(PNU), dan Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO).[butuh rujukan]
Nama Ansor ini merupakan saran KH. Abdul Wahab Hasbullah —ulama besar sekaligus guru
besar kaum muda saat itu, yang diambil dari nama kehormatan yang diberikan Nabi Muhammad
SAW kepada penduduk Madinah yang telah berjasa dalam perjuangan membela dan
menegakkan agama Allah. Dengan demikian ANO dimaksudkan dapat mengambil hikmah serta
tauladan terhadap sikap, perilaku dan semangat perjuangan para sahabat Nabi yang mendapat
predikat Ansor tersebut. Gerakan ANO harus senantiasa mengacu pada nilai-nilai dasar sahabat
Ansor, yakni sebagi penolong, pejuang dan bahkan pelopor dalam menyiarkan, menegakkan
dan membentengi ajaran Islam.
Meski ANO dinyatakan sebagai bagian dari NU, secara formal organisatoris belum tercantum
dalam struktur organisasi NU. Baru pada Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada
tanggal 10 Muharram 1353 H atau 24 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian
(departemen) pemuda NU. Dimasukkannya ANO sebagai salah satu departemen dalam struktur
kelembagaan NU berkat perjuangan kiai-kiai muda seperti KH. Machfudz Siddiq, KH. A. Wahid
Hasyim, KH. Dachlan

Anda mungkin juga menyukai