Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Selain tokoh fundamental K.H.Hasyim Asy’ari dan K.H. A.Wahid Hasyim juga
dikenal K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang berperan penting dalam proses berdiri sampai
berkembangnya NU. Jika sosok K.H. A.Wahid Hasyim dapat dikategorikan sebagai tokoh
dan teladan kaum muda, maka K.H. Wahab Hasbullah dapat dikatakan sebagai sosok
kaum tua dari sederet kiai dalam organisasi tersebut. Beliau menjadi kiai yang paling lama
berkiprah di pentas perpolitikan nasional. Hal ini disebabkan karena ia berkiprah tanpa
henti mengikuti tiga zaman, yaitu masa pergerakan sampai merebut kemerdekaan, masa
kepemimpinan Soekarno dan masa kepemimpinan Soeharto. Sosok beliau dikenal sebagai
seorang pekerja keras, gesit dan tekun. Walaupun tubuhnya kecil dan sebenarnya tidak
layak disebut sebagai pendekar, namun ulama khos Kyai Kholil Bangkalan Madura,
menyebutnya semenjak muda sebagai “macan”. Hal tersebut dibuktikan sebagai sosol kiai
yang tidak hanya berani dengan tangan kosong, tapi juga berani berkelahi lewat jalur
politik. Beliaulah yang mendirikan organisasi Sarekat Islam (SI) cabang Mekkah.
Kemudian beliau mendirikan kelompok diskusi Tashwirul Afkarm Nahdlatul Wathan, dan
Nahdlatut Tujjar yang kesemuanya itu menjadi embrio berdirinya organisasi NU. Bahkan
dalam urusan mistik, Kiai Wahab Hasbullah mempunyai wirid tersendiri yang bukan
hanya cukup disegani, melainkan juga banyak dipercayai oleh para santri dalam
memudahkan segala urusan dunianya.
Kiai Wahab Hasbullah adalah sosok ulama dan kiai yang berpikir moderat, pragmatis,
dan terbuka. Ia bersikap sangat kontekstual dalam memandang hukum-hukum fikih
sehingga sering mendapat peringatan dari guru beliau, K.H. Hasyim Asy’ari bahwa dalam
menyampaikan fikih jangan sampai kebablasan.
Dari sinilah kita perlu menggali lebih jauh tentang sosok dan kiprah K.H. Wahab
Hasbullah. Dari berbagai referensi yang dapat penulis temukan dalam menyusun makalah
ini, semoga dapat membawa manfaat bagi kita semua, terutama bagi Anda yang ingin
menjadikan beliau sebagai teladan.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Biografi KH. Abdul Wahab Hasbullah ?
2. Bagaimana Pemikiran Kiai Wahab Hasbullah ?
3. Bagaimana Jasa dan Karya Beliau?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Bagaimana Biografi KH. Abdul Wahab Hasbullah
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Pemikiran Kiai Wahab Hasbullah
3. Untuk Mengetahui Bagaimana Jasa dan Karya Beliau

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi KH. Abdul Wahab Hasbullah


KH. Abdul Wahab Hasbullah adalah seorang ulama yang sangat alim dan tokoh besar
dalam NU dan bangsa Indonesia. Beliau dilahirkan di Desa Tambakberas, Jombang, Jawa
Timur pada bulan Maret 1888. silsilah KH. Abdul Wahab Hasbullah bertemu dengan
silsilah KHM. Hasyim Asy’ari pada datuk yang bernama Kiai Shihah.
Semenjak kanak-kanak, Abdul Wahab dikenal kawan-kawannya sebagai pemimpin
dalam segala permainan. Beliau dididik ayahnya sendiri cara hidup,seorang santri.
Diajaknya shalat berjamaah, dan sesekali dibangunkan malam hari untuk shalat tahajjud.
Kemudian K.H. Hasbullah membimbingnya untuk menghafalkan Juz Ammah dan
membaca Al Quran dengan tartil dan fasih. Lalu beliau dididik mengenal kitab-kitab
kuning, dari kitab yang paling kecil dan isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari.
Misalnya Kitab Safinatunnaja, Fathul Qorib, Fathul Mu'in, Fathul Wahab, Muhadzdzab
dan Al Majmu'. Abdul Wahab juga belajar Ilmu Tauhid, Tafsir, Ulumul Quran, Hadits,
dan Ulumul Hadits.
Kemauan yang keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak semenjak
masa kecilnya yang tekun dan cerdas memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya.
Sampai berusia 13 tahun Abdul Wahab dalam asuhan langsung ayahnya. Setelah dianggap
cukup bekal ilmunya, barulah Abdul Wahab merantau untuk menuntut ilmu. Maka beliau
pergi ke satu pesantren ke pesantren lainnya. Kemudian Abdul Wahab belajar di pesantren
Bangkalan, Madura yang diasuh oleh K.H. Kholil Waliyullah.
Beliau tidak puas hanya belajar di pesantren-pesantren tersebut, maka pada usia
sekitar 27 tahun, pemuda Abdul Wahab pergi ke Makkah. Di tanah suci itu mukim selama
5 tahun, dan belajar pada Syekh Mahfudh At Turmasi dan Syekh Yamany. Setelah pulang
ke tanah air, Abdul Wahab langsung diterima oleh umat Islam dan para ulama dengan
penuh kebanggaan.
1. Pendidikan
Masa pendidikan K.H. Abdul Wahab Hasbullah dari kecil hingga besar banyak
dihabiskan di pondok pesantren. Selama kurang lebih 20 tahun, ia secara intensif
menggali pengetahuan keagamaan dari beberapa pesantren. Karena tumbuh
dilingkungan pondok pesantren, mulai sejak dini ia diajarkan ilmu agama dan moral
pada tingkat dasar. Termasuk dalam hal ini tentu diajarkan seni Islam seperti kaligrafi,

3
hadrah, barjanji, diba’, dan sholawat. Kemudian tak lupa diajarkan tradisi yang
menghormati leluhur dan keilmuan para leluhur, yaitu dengan berziarah ke makam-
makam leluhur dan melakukan tawasul. Beliau dididik ayahnya sendiri cara
hidup,seorang santri. Diajaknya shalat berjamaah, dan sesekali dibangunkan malam
hari untuk shalat tahajjud. Kemudian Wahab Hasbullah membimbingnya untuk
menghafalkan Juz ‘Amma dan membaca Al Quran dengan tartil dan fasih. Lalu beliau
dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari kitab yang paling kecil dan isinya
diperlukan untuk amaliyah sehari-hari. Misalnya: Kitab Safinatunnaja, Fathul Qorib,
Fathul Mu’in, Fathul Wahab, Muhadzdzab dan Al Majmu’. Wahab Hasbullah juga
belajar Ilmu Tauhid, Tafsir, Ulumul Quran, Hadits, dan Ulumul Hadits.
Kemauan yang keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak
semenjak masa kecilnya yang tekun dan cerdas memahami berbagai ilmu yang
dipelajarinya. Selama enam tahun awal pendidikannya, ia dididik langsung oleh
ayahnya, baru ketika berusia 13 tahun, Wahab Hasbullah merantau untuk menuntut
ilmu. Maka beliau pergi ke satu pesantren ke pesantren lainnya.
Diantara pesantren yang pernah disinggahi Wahab Hasbullah adalah sebagai
berikut:
a. Pesantren Langitan Tuban.
b. Pesantren Mojosari, Nganjuk.
c. Pesantren Cempaka.
d. Pesantren Tawangsari, Sepanjang.
e. Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura dibawah asuhan Kiai Kholil
Bangkalan.
f. Pesantren Branggahan, Kediri.
g. Pesantren Tebu Ireng, Jombang dibawah asuhan K.H. Hasyim Asy’ari.
Khusus di Pesantren Tebu Ireng, ia cukup lama menjadi santri. Hal ini terbukti,
kurang lebih selama 4 tahun, ia menjadi “lurah pondok”, sebuah jabatan tertinggi yang
dapat dicicipi seorang santri dalam sebuah pesantren, sebagai bukti kepercayaan kiai
dan pesantren tersebut (Mashyuri, 2008:83).
2. Menikah dan Membina Rumah Tangga
Pada tahun 1914, Abdul Wahab Hasbullah menikah dengan Kiai Musa yang
bernama Maimunah. Sejak itu ia tinggal bersama mertua di kampong Kertopaten
Surabaya. Dari perkawinan ini lahir seorang anak laki-laki pada tahun 1916 bernama
Wahib, yang kemudian dikenal sebagai Kiai Wahab Wahib. Namun, pernikahan dan

4
membina rumah tangga ini tidak berlangsung lama. Istrinya meninggal sewaktu
mereka berdua menjalankan ibadah haji pada tahun 1921. Setelah itu Kiai Wahab
Hasbullah menikah lagi dengan perempuan bernama Alawiyah, pitri Kiai Alwi.
Namun pernikahan ini pun tidak berlangsung lama sebeb setelah mendapatkan putra,
istrinya meninggal. Begitu juga untuk ketiga kalinya ia menikah lagi, namun
pernikahannya tidak berlangsung lama. Tidak jelas siapakah nama istri ketiganya ini,
Juga, penyebab terputusnya pernikahan yang tidak lama tersebut, apakah karena
istrinya meninggal atau bercerai.
Dari sini beliau menikah lagi, pernikahan keempat dilakukan dengan Asnah,
putri Kiai Sa’id, seorang pedagang dari Surabaya dan memperoleh empat orang anak,
salah satunya bernama Kiai Nadjib (almarhum) yang sekanjutnya mengasuh Pesantren
Tambakberas.
Namun lagi-lagi pernikahan ini tidak langgeng kembali. Nyai Asnah
meninggal dunia. Kemudian Kiai Wahab menikah lagi untuk yang kelima kalinya
dengan seorang janda bernama Fatimah, anak Haji Burhan. Dari pernikahan ini beliau
tidak mendapatkan keturunan. Namun, dari Fatimah ia memperoleh anak tiri yang
salah satunya kelak besar bernama K.H. A. Syaichu.
Dari sinilah banyak orang mencemooh perilaku Kiai Wahab. Tidak jarang,
banyak orang yang menjulukinya sebagai “kiai tukang kawin” karena setekah itupun
ia menikah kembali untuk yang keenam kalinya. Kali ini dengan anak Kiai Abdul
Madjid Bangil, yang bernama Ashikhah. Pernikahan inipun tidak berlangsung lama
karena saat menunaikan ibadah haji bersama, Nyai Ashikhah meninggal dunia. Dari
istri ini beliau dikaruniai empat orang anak.
Pernikahan beliau yang terakhir, yang ketujuh adalah dengan kakak perempuan
Ashikhah, bernama Sa’diyah. Dengan perempuan inilah pernikahan Kiai Wahab
mencapai puncaknya, artinya langgeng sampai akhir hayat beliau. Dari Nyai Sa’diyah
ini beliau mendapatkan beberapa keturunan, yaitu Mahfuzah, Hasbiyah, Mujidah,
Muhammad Hasib dan Raqib (Masyhuri, 2008:84 dan Aceh, 1957:125-126).
Langkah awal yang ditempuh K.H. Abdul Wahab Hasbullah, kelak sebagai
Bapak Pendiri NU, itu merupakan usaha membangun semangat nasionalisme lewat
jalur pendidikan. Nama madrasah sengaja dipilih 'Nahdlatul Wathan' yang berarti:
'Bergeraknya/bangkitnya tanah air', ditambah dgngan gubahan syajr-syair yang penuh
dengan pekik perjuangan, kecintaan terhadap tanah tumpah darah serta kebencian

5
terhadap penjajah, adalah bukti dari cita-cita murni Kiai Abdul Wahab Hasbullah
untuk membebaskan. belenggu kolonial Belanda.
Namun demikian, tidak kalah pentingnya memperhatikan langkah selanjutnya
yang akan ditempuh Kiai Wahab, setelah berhasil mendirikan 'Nahdlatul Wathan'. Ini
penting karena dalam diri Kiai 'Wahab agaknya tersimpan beberapa sifat yang jarang
dipunyai oleh orang lain. Beliau adalah tipe manusia yang pandai bergaul dan
gampang menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Tetapi, beliau juga seorang ulama
yang paling tangguh mempertahankan dan membela pendiriannya. Beliau diketahui
sebagai pembela ulama pesantren (ulama bermadzhab) dari serangan-serangan kaum
modernis anti madzhab.
Bertolak dari sifat dan sikap Kiai Wahab itulah, maka mudah dipahami apabila
kemudian beliau mengadakan pendekatan dengan ulama-ulama terkemuka seperti,
K.H. A. Dachlan, pengasuh pondok Kebondalem Surabaya, untuk mendirikan
madrasah 'Taswirul Afkar'. Semula 'Taswirul Afkar' yang berarti 'Potret Pemikiran' itu,
merupakan kelompok diskusi yang membahas berbagai masalah keagamaan dan
kemasyarakatan. Dan anggotanya juga terdiri atas para ulama dan ulama muda yang
mempertahankan sistem bermadzhab. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya sekitar
tahun 1919, kelompok ini ditingkatkan statusnya menjadi madrasah 'Taswirul Afkar'
yang bertugas mendidik anak-anak lelaki setingkat sekolah dasar agar menguasai ilmu
pengetahuan agama tingkat elementer.
Bertempat di Ampel Suci (dekat Masjid Ampel Surabaya), madrasah 'Taswirul
Afkar' bergerak maju. Puluhan dan bahkan kemudian ratusan anak di Surabaya bagian
utara itu menjadi murid 'Taswirul Afkar', yang pada saat itu (tahun-tahun permulaan)
dipimpin K.H. A. Dachlan. Namun demikian, bukan berarti meniadakan kelompok
diskusi tadi. Kegiatan diskusi tetap berjalan dan bahkan bertambah nampak hasilnya,
berupa 'Taswirul Afkar'. Dan madrasah ini hingga sekarang masih ada dan bertambah
megah. Hanya tempatnya telah berpindah, tidak lagi di Ampel Suci, tetapi di Jalan
Pegirian Surabaya.
Hingga di sini Kiai Wahab telah berada di tiga lingkungan: Syarikat Islam (SI)
berhubungan dengan H.O.S. Tjokroaminoto, Nahdlatul Wathan dengan K.H. Mas
Mansur, dan Taswirul Afkar dengan K.H. A. Dachlan. Tiga lingkungan itu pun
memiliki ciri-ciri yang berbeda-beda. Tjokroaminoto lebih condong pada kegiatan
politik; K.H. Mas Mansur lebih dekat dengan kelompok anti madzhab sedangkan K.H.

6
A. Dachlan tidak berbeda dengan Kiai Wahab, yakni ulama yang mempertahankan
sistem madzhab.
Dalam hubungannya dengan gerakan pembaruan itu, agaknya Kiai Wahab
seringkali tidak dapat menghindari serangan-serangan mereka baik yang ada di SI
maupun di K.H. Mas Mansur sendiri. Meski tujuan utamanya membangun
nasionalisme, serangan-serangan kaum modernis seringkali dilancarkan hingga Kiai
Wahab perlu melayaninya. Di sinilah mulai tampak perbedaan pendapat antara Kiai
Wahab dengan K.H. Mas Mansur.
Peristiwa ini tampaknya sudah terbayang dalam pikiran Kiai Wahab, sehingga
tidak perlu mempengaruhi semangat perjuangannya. Bahkan beliau bertekad untuk
mengembangkan Nahdlatul Wathan ke berbagai daerah. Dengan K.H. Mas Alwi,
kepala sekolah yang baru, Kiai Wahab membentuk cabang-cabang baru: Akhul
Wathan di Semarang, Far'ul Wathan di Gresik, Hidayatul Wathan di Jombang, Far'ul
Wathan di Malang, Ahlul Wathan di Wonokromo, Khitabul Wathan di Pacarkeling,
dan Hidayatul Wathan di Jagalan.
Apa pun nama madrasah di beberapa cabang itu pastilah dibelakangnya
tercantum nama 'Wathan' yang berarti 'tanah air'. Ini berarti tujuan utamanya adalah
membangun semangat cinta tanah air. Dan syair 'Nahdlatul Wathan' berkumandang di
berbagai daerah dengan variasi cara menyanyikannya sendiri-sendiri. Misalnya di
Tebuireng, hingga tahun 1940-an syair tersebut tetap dinyanyikan para santri setiap
kali akan dimulainya kegiatan belajar di sekolah. Dan setiap hendak menyanyikan
syair tersebut, para murid santri diminta berdiri tegak sebagaimana layaknya
menyanyikan lagu kebangsaan 'Indonesia Raya'.
Seperti telah disinggung, bahwa selain Kiai Wahab harus memperhatikan
Nahdlatu1 Wathan dan juga keterlibatannya di SI, beliau juga tidak dapat membiarkan
serangan-serangan kaum modernis yang dilancarkan kepada ulama bermadzhab. Lagi
pula, serangan-serangan itu tidak mungkin dapat dihadapi sendirian. Sebab itu, pada
tahun 1924, Kiai Wahab membuka kursus 'masail diniyyah' (khusus masalah-masalah
keagamaan) guna menambah pengetahuan bagi ulama-ulama muda yang
mempertahankan madzhab.
Kegiatan kursus ini dipusatkan di madrasah 'Nahdlatul Wathan' tiga kali dalam
seminggu. Dan pengikutnya ternyata tidak hanya terbatas dari Jawa Timur saja,
melainkan juga ada yang dari Jawa Tengah, Jawa Barat, dan beberapa lagi dari
Madura. Jumlah peserta kursus sebanyak 65 orang. Karena peserta begitu banyak,

7
maka .Kiai Wahab meminta teman-temannya untuk membantu. Di antara teman-
temannya yang bersedia mendampingi ialah KH. Bishri Syansuri (Jombang), KH.
Abdul Halim Leuwimunding (Cirebon), KH. Mas Alwi Abdul Aziz dan KH. Ridlwan
Abdullah keduanya dari Surabaya, K.H. Maksum dan K.H. Chalil keduanya dari
Lasem, Rembang. Sedangkan dari kelompok pemuda yang setia mendampingi Kiai
Wahab ialah: Abdullah Ubaid, Kawatan Surabaya, Thahir Bakri, dan Abdul Hakim,
Petukangan Surabaya, serta Hasan dan Nawawi, keduanya dari Surabaya.
Dengan demikian, Kiai Wahab telah juga membangun pertahanan cukup
ampuh bagi menolak serangan-serangan kaum modernis. Enam puluh lima ulama yang
dikursus, agaknya dipersiapkan betul untuk menjadi juru bicara tangguh dalam
menghadapi kelompok pembaru, sehingga dalam perkembangan berikutnya, ketika
berkobar perdebatan seputar masalah 'khilafiyah' di beberapa daerah, tidak lagi perlu
meminta kedatangan Kiai Wahab, tapi cukup dihadapi ulama-ulama muda peserta
kursus tersebut.
Pada saat pemimpin-pemimpin Islam mendapat undangan dari Raja Hijaz lalu
membentuk Komite Khilafat, K.H. Abd. Wahab Hasbullah mengusulkan agar delegasi
ke Makkah menuntut dilindunginya madzahibul arba' ah di Makkah - Madinah. Dan
setelah mengetahui usulnya kurang diperhatikan oleh tokoh-tokoh SI dan
Muhammadiyah, lalu KH. Abd. Wahab atas izin KH.Hasyim Asy' ari membentuk
Komite Hijaz untuk mengirim delegasi sendiri ke Makkah - Madinah. Dan Komite
Hijaz inilah yang kemudian melahirkan JAM’IYAH NAHDLATUL ULAMA,
sehingga kehadiran NU tidak dapat dilepaskan dari perjuangan K.H. Abd. Wahab
Hasbullah.
Wafatnya KH. Wahab Chasbullah Sebelum wafat KH. Wahab masih sempat
menghadiri Muktamar NU ke-25 di Surabaya dan terpilih sebagai Ro’is ‘Am PBNU.
Pun juga masih bisa memberikan suaranya bagi partai NU dalam pemilu tahun 1971.
Menurutnya menghadiri Muktamar NU dan memberikan suara pada pemilu adalah
bagian dari salah satu perjuangan, karena perjuangan adalah bagian dari ibadah yang
harus dilaksanakan. Tetapi empat hari setelah Muktamar NU di Surabaya, kyai yang
banyak berjasa terhadap bangsa ini dipanggil kehadirat Allah swt. Beliau wafat pada
29 Desember 1971 di kediamannya yang sederhana di kompleks pesantren
Tambakberas, Jombang.

8
B. Pemikiran Kiai Wahab Hasbullah
Jika disejajarkan dengan Gus Dur (Abdurrahman Wahid), maka Kiai Wahab
Hasbullah memiliki banyak persamaan yang didasarkan pada masanya masing-masing.
Keduanya sama-sama tokoh yang sangat kontraversial di kalangan ulama dan politisi.
Abdurrahman Wahid dikenal sebagai ulama dan cendekiawan yang sikap dan maneuver-
manuver politik yang dilakukannya sering menimbulkan pertanyaan tentang integritas dan
konsistensi idealisme dan cita-cita perjuangannya. Kemudian kenapa Kiai Wahab
Hasbullah juga begitu kontraversial?.
Diantara beberapa hal yang menjadikan Kiai Wahab menjadi ulama sekaligus politisi
dan cendekiawan yang kontraversial dikalangan umat Islam Indonesia adalah ketika
meningginya konflik antara kaum modernis dan reformis dengan kaum tradisionalis,
beliau tampil sebagai “guardian” tradisionalisme dengan jalan membentuk Taswirul Afkar
pada tahun 1918 yang kemudian melaksanakan perdebatan terhadap permasalahan yang
diperdebatkan kaum tradisionalis dan modernis saat itu.
1. Bidang Pendidikan
Menurut beliau pendidikan tidak harus dilakukan di pesantren dan mendidik
anak harus tepat pada situasi dan kondisi yang dibutuhkan masyarakat, namun bukan
berarti pendidikan pesantren dilupakan. Oleh karenanya selain ia melakukan
pendidikan di Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, juga melakukan
pendidikan di luar pesantren yang ditujukan untuk kalangan umum dan terpelajar
dengan mendirikan kelompok diskusi bernama Tashwirul Afkar. Melalui Nahdlatun
Wathan beliau juga telah berhasil mendirikan beberapa sekolah di berbagai daerah,
antara lain:
a. Sekolah/Madrasah Ahloel Eathan di Wonokromo
b. Sekolah/Madrasah Far’oel Wathan di Gresik
c. Sekolah/Madrasah Hidayatoel Wathan di Jombang, dan
d. Sekolah/Madrasah Khitaboel Wathan di Surabaya (Mashyuri, 2008:86-87).
2. Bidang Keagamaan
Konsep Kiai Wahab Hasbullah tentang keagamaan terutama bagaimana peran
Islam, lebih banyak berreferensi dari tradisi politik keagamaan Sunni dan pla
pergerakan ahlus sunnah wal jama’ah. Pemikiran beliau lebih terbuka dengan tidak
keras atau fanatik pada suatu pendapat, pragmatis demi mencari solusi kebenaran
bersama, dan kebutuhan mendesak dan penting serta kontekstual, atau yang kita kenal
sebagai moderatisme.

9
3. Pergerakan
Progresivitas konsep pergerakan Kiai Wahab Hasbullah terlihat jelas ketika ia
turut serta dalam membidani lahirnya organisasi kalangan Islam NU. Mengapa hal
demikian disebut sebagai progresivitas pemikiran pergerakan dari Kiai Wahab
Hasbullah?
Tidak lain karena organisasi pergerakan di Indonesia kala itu muncul dari
kalangan terpelajar atau dari kota yang dibekali pendidikan notabene ciptaan Belanda.
Pendidikan itu sangat menekankan rasionalitas modern dalam memandang persoalan
kehidupan. Sementara kalangan Islam tradisional kebanyakan adalah kelompok
masyarakat tradisional, kalangan petani, yang kebanyakan pola pandangan hidupnya
masih sedikit terpengaruh pemikiran nasional modern, karena mereka mengandalkan
bacaan kitab kuning-nya yang mereka pelajari di pesantren.
4. Demokrasi
Diceritakan oleh Saifudin Zuhri dalam salah satu bukunya, Biografi Wahab
Hasbullah, disebutkan sebagai berikut:
“Kami bertiga, Kiai Wahab, Pak Idham, dan Saifuddin Zuhri sama-sama
duduk dalam dewan pertimbangan agung mewakili NU. Berbulan-bulan dewasa ini
membicarakan “sosialisme Indonesia”, “Landreform”, “Pancasila” dan lain-lain. Ada
dua aspek yang selalu diperhatikan oleh NU dalam pembahasan tersebut. Sosialisme
Indonesia menurut NU haruslah sosialisme ala Indonesia dan bukanlah sosialisme ala
komunisme, baik Moskow atau Peking. Sosialisme Indonesia tak lain dan tak bukan
adalah dibentengi ideology Negara ualah Pancasila dan UUD Negara yang menjamin
setiap penduduk menjalankan keyakinan agamanya. Sementara itu, tentang landasan
“landreform”, pada dasarnya NU dapat menyetujuinya selama gerakan ini tidak
mengandung maksud melenyapkan hak milik pribadi dan negara. Menurut ajaran
Islam, tiap-tiap hak milik harus dilindungi dan dipertahankan, namun juga diwajibkan
menegakkan keadilan.” (Zuhri, 1983:72-73).
Bagi Wahab Hasbullah, nilai dasar demokrasi adalah memanusiakan manusia
dan mengaturnya agar pola hubungan antar-manusia itu dapat saling menghormati
perbedaan dan mampu bekerjasama sehingga menciptakan kesejahteraan bersama.

10
C. Jasa dan Karya Beliau
1. Pendirian NU
Pancaran sinar wajahnya menyimpan aura kelembutan dan kasih sayang.
Selain pemurah kyai yang satu ini sulit untuk marah dan dendam. “Meskipun
orangnya kecil, beliau tampak selalu bersikap gagah,” kata KH Saifuddin Zuhri, salah
seorang pengagumnya. Selanjutnya KH. Saifuddin Zuhri juga melukiskan bahwa KH.
Wahab adalah ulama yang mempunyai pengetahuan sangat luas, tidak terbatas pada
bidang agama saja. Orang yang pernah dekat dengannya tidak pernah jemu
mendengarkan uraian kata-katanya yang serba baru dan selalu mengandung nilai-nilai
kebenaran. KH. Wahab bukan termasuk golongan ulama “klise”. Tindak tanduk dan
tutur katanya selalu orisinal yang keluar dari perbendaharaan ilmu dan
pengalamannya. Beliau tidak pernah merasa canggung saat berbicara di muka ribuan
manusia. Beliau tidak bangga bila berbicara di hadapan orang banyak, begitu juga
tidak pernah kecewa bila yang mengerumuni sedikit orangnya. Selain karena
kecerdasan otaknya, retorika penyampaiannya juga menarik sehingga setiap uraian
kata-katanya dapat didengar dan dicerna dengan baik dan tidak membosankan.
Bagi warga NU, organisasi Islam terbesar di Indonesia, KH. Wahab tidak
sekadar tokoh dan pendiri, melainkan juga sebagai simbol pemersatu, yang menarik
juga adalah tradisi intelektualnya di kalangan ulama pesantren. Diceritakan bahwa
KH. Wahab mendirikan, memelihara dan membesarkan NU dengan ilmunya, baru
kemudian dengan harta dan tenaganya. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika orang
menyebut KH. Wahab adalah ruh sekaligus motor penggerak NU, sejak NU berwujud
kelompok kecil yang tidak diperhitungkan sampai menjadi jam’iyah Islam terbesar di
Indonesia. Agak sulit menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan sosok
KH. Wahab Chasbullah.
Meminjam istilah KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Wahab dijuluki sebagai
“kyai merdeka”. Sepanjang sejarah perjuangannya, kyai dari Jombang ini memang
berjiwa bebas, berpendirian merdeka, tidak mudah terpengaruh lingkungan sekeliling.
“Bukan “pak turut” (selalu ikut-ikutan)”, istilah KH. Saifuddin Zuhri. Bahkan sampai
cara berbicara, berjalan dan berpakaian pun beliau tidak meniru orang lain. Kyai
nyentrik ini mempunyai ciri khas dalam berpakaian, selalu memakai surban. Hingga
suatu ketika menurut cerita KH. Saifudin Zuhri saat KH. Wahab berbicara dalam
sidang parlemen sebelum naik ke podium beliau terlebih dahulu membetulkan letak
serbannya. Pada saat itu ada orang nyeletuk, “Tanpa serban kenapa sih?”. Sambil

11
menunjuk serbannya, KH. Wahab kontan menjawab, “Ini Serban pangeran
Diponegoro!, beliau, Kiai Mojo, Imam Bonjol, Teuku Umar semuanya pakai serban”.
Mendengar perkataannya seluruh peserta sidang tertawa semuanya sehingga
ruangan sidang dipenuhi gelak tawa anggota parlemen. Kiai Penuh Prestasi Prestasi-
Prestasi KH. Wahab Chasbullah sangat banyak sekali. Seperti mendirikan kelompok
diskusi Tashwirul Afkar tahun 1914, mendirikan pergerakan Nahdlatul Wathan dan
Syubbanul Wathan bersama KH. Mas Mansur, memprakarsai pembentukan Komite
Hijaz, memprakarsai berdirinya NU. Di bidang jurnalistik, dia merintis majalah Suara
Nahdhatul Ulama yang terbit setengah bulan sekali. Beliau memandang, bahwa
dengan majalah gagasan-gagasan NU dapat tersebar secara lebih efektif dan efisien.
2. Pejuang Kemerdekaan
Sebelumnya gagasan NU hanya dijalankan melalui dakwah dari panggung ke
panggung dan pengajaran di pesantren. Selain itu beliau bersama dengan tokoh NU
lainnya membeli gedung di Jalan Sasak 23 Surabaya sebagai pusat aktivitas NU.
Berangkat dari gagasn KH. Wahab di bidang jurnalistik ini kemudian menyusul
terbitnya majalah-malajah lain, seperti Suluh Nahdlatul Ulama dipimpin Umar
Burhan, Terompet Ansor dipimpin Tamyiz Khudlory dan majalah Penggugah yang
berbahasa Jawa dipimpin oleh K. Raden Iskandar yang kemudian digantikan
Saifuddin Zuhri. Dari tradisi jurnalistik ini, NU pernah mempunyai jurnalis-jurnalis
ternama seperti Asa Bafaqih, Saifuddin Zuhri dan Mahbub Junaidi. KH. Wahab juga
dikenal sebagai pengatur strategi perjuangan yang baik dalam kancah politik Islam.
Beberapa prestasinya adalah seperti pembentukan MIAI (Majelis Islam A’la
Indonesia), GAPPI (Gabungan Partai Politik Indonesia) dan Masyumi.
Lewat pergerakan inilah KH. Wahab terlibat dengan tokoh-tokoh terkemuka,
seperti K. Mas Mansur, Dr. Sukiman, Abikusno Cokrosuyoso, Mr. Sartono, Sukarjo
Wiryopranoto, Amir Syarifuddin, dsb. Tidak salah lagi, jika KH. Wahab dikategorikan
salah seorang yang mempunyai andil terbesar dalam meletakkan dasar-dasar
organisasi NU. Hampir di semua sektor beliau menggagas ide-ide yang cemerlang
untuk perkembangan NU mulai dari tradisi intelektual, jurnalistik, peletak dasar
struktur Syuriah dan Tanfidziyah NU, sampai siasat bertempur di medan laga. Karena
beliau mempunyai prinsip, “kalau kita mau keras harus punya keris.” Artinya kalau
ingin besar seseorang harus mempunyai kekuatan, baik kekuatan politik, militer
maupun batin. Selain prestasi-prestasi yang tersebut di atas perlu dicatat juga dalam
diri KH. Wahab adalah keaktifannya dalam gerakan-gerakan melawan penjajah untuk

12
membebaskan negara ini dari kungkungan penjajajah seperti dibuktikannya dalam
Laskar Hizbullah pimpinan KH. Zainal Arifin, Laskar Sabilillah pimpinan KH.
Masykur dan Barisan Kyai pimpinan beliau sendiri untuk berperang melawan
penjajah.
3. Komite Hijaz sebagai Benteng Islam Aswaja
Prestasi gemilang lainnya adalah keberhasilannya memperjuangkan
kepentingan kaum sunni untuk mendapat perlindungan dan kebebasan di negara Arab
Saudi dalam Kongres Dunia Islam di Mekkah. Pada saat itu Raja Saud Arab Saudi
melarang berkembangnya faham sunni di negara kekuasaannya. Akan tetapi karena
usulan KH. Wahab beserta tokoh-tokoh Islam yang tergabung dalam Komite Hijaz,
diantaranya KH Bisri Syansuri, K. Ridwan Semarang, KH Raden Asnawi Kudus, K.
Nawawi Pasuruan, K. Nachrowi Malang dan K. Alwi Abdul Aziz Surabaya akhirnya
Raja Saud membebaskan faham sunni hidup dan berkembang di Mekkah.
Dalam khutbah iftitah terakhir sebagai Rois ‘Am, KH. Wahab mengharapkan
supaya NU tetap menemukan arah jalannya dengan selalu menyukuri nikmat yang
dikaruniakan Allah swt. sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan melalui
cara-cara yang sesuai dengan akhlak Ahlussunnah wal- Jama’ah. Beliau juga
mengingatkan agar kaum Nahdliyin kembali pada jiwa Nahdlatul Ulama tahun 1926
atau lebih dikenal dengan khittah NU 1926. Demikianlah sosok KH. Wahab
Chasbullah, kyai yang diberkati memperoleh kesempatan hidup dalam tiga zaman,
zaman penjajahan, zaman kemerdekaan (orde lama) dan zaman pembangunan (Orde
Baru). Maka tak heran jika pengalaman dan sejarah hidupnya selalu dikenang
sepanjang masa karena jasanya yang tidak sedikit. Dan masih banyak teladan yang
ditinggalkannya untuk dijadikan ibrah bagi generasi penerusnya.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
KH. Abdul Wahab Chasbullah adalah seorang kiai pesantren yang hidup di awal abad
XX dimana ide-ide pembaharuan Islam sedang tumbuh. Meskipun tidak secara total
mengadopsi ide pembaharuan Islam tetapi secara substansi, kiai Wahab sesungguhnya telah
mengaplikasikan pemikiran pembaharuan sekaligus menanamkan nasionalisme kebangsaan
melalui lembaga pendidikan Nahdlatul Wathan, Taswirul Aftar, dan menjadi perintis, dan
pengawal berdirinya NU.

B. Saran
Dengan selesainya makalah ini, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang turut andil dalam penulisan makalah ini, semoga makalah ini dapat
bermanfaat.Dan taklupa kami menyadari bahwa dari penulisan makalah ini jauh dari
kesempurnaan, dari itu saran dan kritik yang membangun selalu kami tunggu dan
perhatikan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Anam, Choirul, 1985. Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, Sala : Jatayu

Asry, Zul LA. , 1993. Nahdlatul Ulama, Studi tentang Faham Keagamaan dan
Pelestariannya Melalui Lembaga Pendidikan Pesantren, Pekan Baru : CV. Fajar
Harapan

Bruinessen, Martin van, 1999. Tradisionalist Muslims in A Modernizing World : The


Nahdlatul Ulama and Indonesia’s New Order Politics, Factional Conflict and The
Search for A New Discourse (Manuskrip) (terj. NU Tradisi Relasi-Relasi Kuasa
Pencarian Wacana Baru) cet. Ketiga, Yogyakarta : LKiS

Fealy, Greg, 2009, Ulama and Politics in Indonesia a History of Nahdlatul Ulama (terj.
Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952 – 1967), (terj. Farid Wajidi, Mulni Adelina
Bachtar), Yogyakarta : LKiS

Horikoshi, Hiroko, 1987. Kyai dan Perubahan Sosial, Jakarta : Perhimpunan Pengembangan
Pesantren dan Masyarakat (P3M)

I.N., Soebagijo, 1982. K.H. Masjkur Sebuah Biografi, Cet. 1, Jakarta: Gunung Agung

Kuntowijoyo, 2003. Metodologi Sejarah, Edisi Kedua, Yogyakarta: Tiara Wacana

Masyhuri, 2010. 99 Kiai Kharismatik Indonesia, Biografi, Perjuangan, Ajaran, dan Doa-Doa
Utama yang Diajarkan, jilid kedua, Jombang: Pustaka Anda

Panitia Daerah Mu’tamar, t.th. NU ke-27, Bunga Rampai Mu’tamar NU ke- 27 dan Konggres
Mu’tamar NU ke-11, Fatayat NU ke-9, Mu’tamar NU ke-27 di Situbondo 8 s/d
Desember 1984, Situbondo : Panitia Daerah Mu’tamar

15
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan
kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu
menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktu.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu dengan tugas yang kami
sajikan berdasarkan pengamatan yang telah kami lakukan.Makalah ini di susun oleh penyusun
dengan berbagai rintangan.Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari
luar.Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah
ini dapat terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa.Saya sadar bahwa
makalah ini masih banyak kekurangan dan jau dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen
pembimbing saya meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah saya di
masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Bengkulu, Januari 2018

Penyusun,

i
16
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 2
C. Tujuan.................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Biografi KH. Abdul Wahab Hasbullah................................................ 3
B. Pemikiran Kiai Wahab Hasbullah ....................................................... 9
C. Jasa dan Karya Beliau.......................................................................... 11

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan.......................................................................................... 14
B. Saran .................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA

ii
17
MAKALAH
FILSAFAT PENDIDIKAN
Biografi dan Pemikiran KH.Abdul Wahab Abdullah

Disusun Oleh :
ULPA

Dosen Pembimbing:
Ahmad Syarifin, M.Ag

PRODI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI


FAKULTAS TARBIYAH DAN TADRI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BENGKULU
2018

18
19

Anda mungkin juga menyukai